FAKTOR - FAKTOR KLASIFIKATORIS UMUM - Sastra Education

Breaking

Minggu, 27 November 2016

FAKTOR - FAKTOR KLASIFIKATORIS UMUM



Karena pengaruhnya terhadap pemilihan alat-alat pengukuran dan terhadap hakikat hubungan antara asessor dan klien, maka sangat penting untuk memperoleh informasi mengenai usia siswa, usia terjadinya ketunanetraannya, tingkat sisa penglihatan yang masih dimilikinya, dan kehadiran kondisi-kondisi ketunaan lainnya jika ada.
Umur kalender dapat memberikan petunjuk, meskipun tidak sepenuhnya reliabel, tentang keluasan dasar pengetahuan siswa dan tentang jenis bahasa yang tepat baginya. Misalnya, dalam upaya mengukur keterampilan membaca seorang anak usia enam tahun kita akan menggunakan tes yang berbeda dengan tes yang dipergunakan bagi anak usia 15 tahun. Tetapi bukan hanya tingkat kesulitan isi tesnya yang berbeda untuk siswa yang lebih tua; kita juga harus siap untuk mendiskusikan dengannya tujuan pengetesan itu, menjelaskan apakah umpan balik dapat atau tidak dapat diberikan, dan menjelaskan tentang perlunya menerapkan batas waktu. Dengan anak kecil, biasanya tidak akan ada persoalan dalam hal penerimaannya terhadap otoritas asesor, tetapi dengan siswa yang lebih tua soal pemberdayaan dan otonominya harus memperoleh pengakuan jika anda ingin menumbuhkan lingkungan kooperatif yang diperlukan.

Usia terjadinya ketunanetraan dan sudah berapa lama ketunanetraan itu sudah disandangnya juga dapat berdampak terhadap "apa" yang harus diteskan dan "bagaimana" cara mengeteskannya. Anak usia empat tahun yang buta total sejak lahir yang perkembangan sensorimotoriknya diases dengan skala Reynell Zinkin (Reynell, 1979) mungkin masih mengalami kesulitan dalam menyortir manik-manik ke dalam dua kelompok ukuran (besar dan kecil) dan kemudian menyimpannya ke dalam gelas besar dan gelas kecil, satu tugas yang dapat dilakukan oleh banyak anak awas usia dua tahun dan oleh banyak anak low vision usia tiga tahun. Seorang siswa usia 15 tahun yang baru menjadi tunanetra mungkin akan mengalami banyak kesulitan dalam menguasai seluk-beluk tulisan Braille, dan oleh karenanya harus diases dengan cara yang sangat berbeda dari teman sebayanya yang tunanetra sejak lahir. Dalam masing-masing kasus, pemilihan tes dan cara penyajiannya akan membutuhkan pertimbangan yang seksama, termasuk pertimbangan mengenai apakah rubrik manual tes itu dapat diikuti secara ketat.
Sebagian besar anak yang terdaftar sebagai tunanetra masih memiliki sisa penglihatan yang mungkin bermanfaat, dan wajib bagi seorang asesor untuk memahami seberapa banyak sisa penglihatan itu dan untuk keperluan apa serta dalam kondisi cahaya bagaimana penglihatan itu dapat dipergunakan. Tidak cukup bila hanya mengandalkan ketajaman penglihatan yang diukur secara obyektif yang tercatat dalam berkas-berkas medisnya. Informasi seperti itu tidak akan secara tepat menentukan ukuran yang ideal, warna, dan tingkat kekontrasan tulisan awas dalam materi pengajaran bagi anak yang bersangkutan. Asesor yang melaksanakan asesmennya di dalam kelas mungkin harus menggunakan pendekatan trial and error, mempergunakan item-item latihan dari tes yang sudah tercetak untuk memastikan apakah item-item tersebut sesuai dengan kapasitas penglihatan anak. Pada dasarnya, asesor harus merancang metode-metode observasi informal untuk mengukur berbagai kompetensi visual yang tepat, tetapi bagi anak-anak kecil, daftar cek yang lebih formal, seperti prosedur Look and Think (Chapman et al., 1989), akan menghasilkan informasi yang bermanfaat mengenai keterampilan persepsi dan kognitif, dan akan membantu dalam memberikan penilaian apakah tes prestasi yang diterbitkan secara komersial dapat dipergunakan untuk mengases keterampilan-keterampilan lain.
Sebagaimana akan dibahas di bawah ini, sebagian besar anak tunanetra menyandang kesulitan lain. Oleh karena itu sangat penting bagi asesor untuk mengetahui keberadaan kondisi-kondisi ini, dan dia tidak hanya harus mampu memilih prosedur pengukurannya yang tepat serta memahami dampaknya, tetapi juga harus mengakui bahwa dia membutuhkan masukan dari sebuah tim multidisipliner. Tidak mungkin ada seorang individu yang cukup ahli dalam semua disiplin terkait untuk melaksanakan sebuah asesmen yang komprehensif tanpa dukungan seperti ini. Fungsi faktor-faktor klasifikasitoris ini adalah untuk menunjukkan heterogenitas populasi "target", karena mereka merupakan sumber pembeda bagi apa yang harus kita sadari bila mengases anak berpenglihatan normal. Bila kita tidak memperhatikannya, maka hasil pengetesannya tidak akan ada gunanya, atau sekurang-kurangnya cenderung menaksir terlalu rendah kemampuan anak atau salah dalam menafsirkan kebutuhannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar