Karena pengaruhnya terhadap
pemilihan alat-alat pengukuran dan terhadap hakikat hubungan antara asessor dan
klien, maka sangat penting untuk memperoleh informasi mengenai usia siswa, usia
terjadinya ketunanetraannya, tingkat sisa penglihatan yang masih dimilikinya,
dan kehadiran kondisi-kondisi ketunaan lainnya jika ada.
Umur kalender dapat memberikan
petunjuk, meskipun tidak sepenuhnya reliabel, tentang keluasan dasar
pengetahuan siswa dan tentang jenis bahasa yang tepat baginya. Misalnya, dalam
upaya mengukur keterampilan membaca seorang anak usia enam tahun kita akan
menggunakan tes yang berbeda dengan tes yang dipergunakan bagi anak usia 15
tahun. Tetapi bukan hanya tingkat kesulitan isi tesnya yang berbeda untuk siswa
yang lebih tua; kita juga harus siap untuk mendiskusikan dengannya tujuan
pengetesan itu, menjelaskan apakah umpan balik dapat atau tidak dapat
diberikan, dan menjelaskan tentang perlunya menerapkan batas waktu. Dengan anak
kecil, biasanya tidak akan ada persoalan dalam hal penerimaannya terhadap otoritas
asesor, tetapi dengan siswa yang lebih tua soal pemberdayaan dan otonominya
harus memperoleh pengakuan jika anda ingin menumbuhkan lingkungan kooperatif
yang diperlukan.
Usia terjadinya ketunanetraan dan
sudah berapa lama ketunanetraan itu sudah disandangnya juga dapat berdampak
terhadap "apa" yang harus diteskan dan "bagaimana" cara
mengeteskannya. Anak usia empat tahun yang buta total sejak lahir yang
perkembangan sensorimotoriknya diases dengan skala Reynell Zinkin (Reynell,
1979) mungkin masih mengalami kesulitan dalam menyortir manik-manik ke dalam
dua kelompok ukuran (besar dan kecil) dan kemudian menyimpannya ke dalam gelas
besar dan gelas kecil, satu tugas yang dapat dilakukan oleh banyak anak awas
usia dua tahun dan oleh banyak anak low vision usia tiga tahun. Seorang siswa
usia 15 tahun yang baru menjadi tunanetra mungkin akan mengalami banyak
kesulitan dalam menguasai seluk-beluk tulisan Braille, dan oleh karenanya harus
diases dengan cara yang sangat berbeda dari teman sebayanya yang tunanetra
sejak lahir. Dalam masing-masing kasus, pemilihan tes dan cara penyajiannya
akan membutuhkan pertimbangan yang seksama, termasuk pertimbangan mengenai
apakah rubrik manual tes itu dapat diikuti secara ketat.
Sebagian besar anak yang terdaftar
sebagai tunanetra masih memiliki sisa penglihatan yang mungkin bermanfaat, dan
wajib bagi seorang asesor untuk memahami seberapa banyak sisa penglihatan itu
dan untuk keperluan apa serta dalam kondisi cahaya bagaimana penglihatan itu
dapat dipergunakan. Tidak cukup bila hanya mengandalkan ketajaman penglihatan
yang diukur secara obyektif yang tercatat dalam berkas-berkas medisnya.
Informasi seperti itu tidak akan secara tepat menentukan ukuran yang ideal,
warna, dan tingkat kekontrasan tulisan awas dalam materi pengajaran bagi anak
yang bersangkutan. Asesor yang melaksanakan asesmennya di dalam kelas mungkin
harus menggunakan pendekatan trial and error, mempergunakan item-item latihan
dari tes yang sudah tercetak untuk memastikan apakah item-item tersebut sesuai
dengan kapasitas penglihatan anak. Pada dasarnya, asesor harus merancang
metode-metode observasi informal untuk mengukur berbagai kompetensi visual yang
tepat, tetapi bagi anak-anak kecil, daftar cek yang lebih formal, seperti
prosedur Look and Think (Chapman et
al., 1989), akan menghasilkan informasi yang bermanfaat mengenai keterampilan
persepsi dan kognitif, dan akan membantu dalam memberikan penilaian apakah tes
prestasi yang diterbitkan secara komersial dapat dipergunakan untuk mengases
keterampilan-keterampilan lain.
Sebagaimana akan dibahas di bawah
ini, sebagian besar anak tunanetra menyandang kesulitan lain. Oleh karena itu
sangat penting bagi asesor untuk mengetahui keberadaan kondisi-kondisi ini, dan
dia tidak hanya harus mampu memilih prosedur pengukurannya yang tepat serta
memahami dampaknya, tetapi juga harus mengakui bahwa dia membutuhkan masukan
dari sebuah tim multidisipliner. Tidak mungkin ada seorang individu yang cukup
ahli dalam semua disiplin terkait untuk melaksanakan sebuah asesmen yang
komprehensif tanpa dukungan seperti ini. Fungsi faktor-faktor klasifikasitoris
ini adalah untuk menunjukkan heterogenitas populasi "target", karena
mereka merupakan sumber pembeda bagi apa yang harus kita sadari bila mengases
anak berpenglihatan normal. Bila kita tidak memperhatikannya, maka hasil
pengetesannya tidak akan ada gunanya, atau sekurang-kurangnya cenderung
menaksir terlalu rendah kemampuan anak atau salah dalam menafsirkan
kebutuhannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar