SURA - Sastra Education

Breaking

Sabtu, 14 Maret 2020

SURA


Kami meluncur menelusuri jalan. Langkah kami begitu hati-hati dan waspada. Mataku memperhatikan tajam setiap gerakan bila kemungkinkan membahayakan. Tanganku mengepal keras jika bahaya menjadi ancaman.
Kami mungkin telah memutuskan melakukan hal bodoh. Sebodoh-bodoh manusia yang memakan daging tanpa tahu penyakit apa yang ditimbulkan. Bahkan lebih bodoh lagi. Mencari masalah dalam rencana buntu merupakan pemikiran ambyar.
Aku tidak merencanakan, niatku hanya berburu. Tetapi malah sebalik mendapat misi dalam pertimbangan yang bodoh menjadi momok tinggi dalam bahaya.
Melangkah keluar dari pintu gerbang utama, aku telah melakukan hal bodoh dan ambyar. Tidak memiliki pertimbangan matang dalam setiap langkah merupakan bagian tergila dalam menghadapi bahaya.
Ada kemungkinan semua persis seperti apa seharusnya, tetapi itu bila kemungkinan masalah itu tak terlalu dalam ancaman. Aku hanya melakukan hasrat untuk menyelesaikan.
Aku tidak tahu situasi macam apa yang akan menghadang. Tetapi aku berharap itu tidak terlalu berbahaya. Jika aku melewatkan ksempatan ini, aku akan menyumpahi kebodohanku selama bertahun-tahun.

Kami ada dihadapan gerbang hutan Gumbala. Petruk, Gareng dan Man memperhatikanku. Mereka terlihat suram memandangku. Kurasa pikiran mereka agak tegang. Man terlihat menelan ludah. Petruk dan Gareng mungkin hampir sama dalam keadaan.
 “Apa kita masuk sekarang?” tanya Man. “Seperti ada kegelapan yang mengancam di dalam hutan ini. Kurasa bulu kuduk hampir merinding semua.”
Man menggigil ketakutan. Wajahnya tegang dan suram. Tangannya nampak gemetaran.
“Dimana kau taruh perlengkapan berburu kita Man?” tanyaku. “Sekarang kita butuhkan, sebelum kita masuk. Lebih baik kita persiapan yang cukup untuk menjaga keselamatan.”
Man mendekati pohon besar agak jauh dari gerbang hutan. Dia mengambil sesuatu semacam bungkusan besar dalam kain hitam legam. Bungkusan itu dibawa ke hadapanku. Dia membuka bungkusan itu. Dalam bungkusan itu ada dua gandewa, dua slot anak panah dan dua keris.
Aku meminta satu gandewa, satu slot anak panah dan satu keris padanya. Aku kalungkan satu slot anak panah menyilang di ditubuhku. Keris aku selipkan di belakang punggungku. Tanganku memegang gandewa. Satu sisa perlengkapan Man yang memegang.
“Kalian siap!” kataku.
Kami berjajar dihadapan gerbang hutan Gumbala.
Pohon-pohon menjulang tinggi menampakan pesona bangunan alam. Angin bertiup riang membelai lembut daun-daun pepohonan. Suara burung-burung menerjang gelombang, memberikan sebuah peringatan. Awan gelap sangat tebal mengudara diatas langit hutan. Sungguh bahaya yang mengerikan bukan.
Aku memegang erat gandewa. Tanganku kananku siap melesatkan anak panah yang mulai aku pasang di tali gendewa. Man mengikuti apa yang aku lakukan? Dia mulai waspada dan tajam. Biarpun tangannya masih gemetaran dia sangat intens memandang.
Petruk dan Gareng nampak suram memandang dan tegang. Mereka hanya teman dalam perjalanan. Dalam bahasa jawa mungkin bisa dibilang pamomong atau Dwikawan. 
  Angin bertiup sepoi-sepoi membelai tubuh kami. Aku memalingkan wajah ke kiri dan kanan. Mataku memperhatikan mereka tajam. Mereka terlihat tegang dan suram. Ancaman didepan mereka gedung tinggi menjulang. Kegelapan mengumpal tebal menyelimuti seluruh hutan. Area yang cukup berbahaya dan mematikan.
“Kita harus waspada,” kata Man mengingatkan. “Rasanya hutan ini memiliki beribu-ribu ancaman mematikan. Terlihat pohon ikut merasakan kegelisah diluar nalar.”
Aku melirik langit dengan serius.
“Memang benar apa yang di katakan Man,” kataku. “Waspada adalah kunci kita keluar dari bahaya.”
Petruk melihat ketegangan disekitar mulut Man. Kegelisahan yang nyaris tak bisa disembunyikan dimatanya. Dia melihat Man seperti kutu yang selalu merasakan ketakutan.
Gareng dan Petruk merasakan kegelisahan serupa. Mereka sudah lama mengenyam kegetiran kegelapan. Kali pertama mereka dikirim ke luar, mereka teringat-ingat cerita seram. Saat ini mereka sudah berpengalaman dalam ratusan perjalanan di luar pondok pesantren dan rimba gelap tak berujung yang orang jawa disebut hutan angker tak lagi membuatnya gentar.
Sampai hari ini. Rasanya ada yang berbeda. Kegelapan disekitarnya tidak seperti biasa sehingga membuat bulu kuduk mereka meremang. Hari ini yang terburuk. Angin bertiup dari utara, membuat pepohonan bekersak seolah hidup. Mereka merasakan sedang diawasi. Sesuatu yang dingin, keras kepala dan tidak menyukainya.
“Kalian siap,” kataku kembali.
Mereka menganguk. Mata mereka suram memandang. Mereka terlihat tegang dan gelisah.
Aku meluncur pelan memasuki pintu gerbang hutan. Mereka bertiga mengikuti dari belakang. Aku mengamati pohon-pohon tinggi menjulang. Pohon itu menjelma bagai kekuatan gelap mengancam.  
Kami menelusuri area pepohonan perlahan-lahan. Setiap gerakan kami antisipasi agar tidak mencurigakan. Ancaman kuat memberikan tekanan intens, terlihat Man, Petruk dan Gareng tegang dan gelisah. Aku nampak kokoh melangkah.
“Apa kau merasakan sesuatu?” tanya Man menggigil ketakutan. “Sepertinya ada yang mengawasi kita. Itu semacam hal yang tidak bisa aku gambarkan.”
Aku mengangkat bahu. “Kita harus hati-hati.”
Dedaun kering mulai mendesir lewat. Ranting pohong bekersak hidup menampar rasa tegang dan gelisah terdalam.
Kami melanjutkan berjalan. Aku berjalan paling depan. Mereka bertiga mengikutiku dari belakang. Gareng dan Man paling belakang. Man terlihat mengerutu sendirian.
Gelap makin menampar. Langit berawan menjadi gelap ditutup pohon-pohon tinggi menjulang.
Aku berhenti.
“Apa kau dengar sesuatu?” kataku. “Sepertinya ada suara orang.”
“Jangan bercanda,” kata Man. “Memang siapa yang berani datang di hutan berbahaya seperti ini?”
Man nampak suram mengawasi sekitar. Dia masih gemetaran memegang gandewa yang siap dilepaskan. 
“Aku tak bercanda,” kataku memasang tajam telinga. “Bagaimana kang? Apa kalian mendengar sesuatu?
Aku mengarahkan pandangan pada kang Gareng dan kang Petruk. Mereka nampak tegang. Mata mereka terlihat gelisah. Mereka masih terdiam sambil memasangkan telinga mereka untuk mendengarkan.
“Tidak,” kata Gareng. “Kami tidak mendengar suara apapun. Bukan begitu Petruk.”
Petruk mengangguk.
“Jangan bercanda,” kata Man kembali. “Sepertinya telingamu salah mendengarkan.”
Man kuat memegang gandewanya. Tangannya terlihat gemetaran. Wajahnya suram dan kesal.
 “Tidak,” kataku. “Itu memang suara orang.”
“Jangan…jangan...,” guman Petruk. “Itu hantu hutan.”
“Hantu hutan,” kata Man mengulang. Dia mendadak syok. “Kalian jangan membuatku takut. Jika memang ada terus bagaimana nasib kita?”
Man menggigil ketakutan. Tangan dan gandewanya hampir bergetar tak karuan. Wajahnya begitu suram dan menyedihkan.
“Kurasa bukan,” kataku menegaskan.
Langkah cepat menghampiri kami. Wanita muda seusiaku. Dia tertunduk bernafas cepat dan tersengal-sengal. Rambutnya acak-acakan. Dia mengangkat bahu. 
“To-long,” katanya sambil mengatur nafas cepat. “Tuan Putri Sima ada dalam bahaya. Ada dua binatang buas mengejarnya.”
Dia memegang pohon besar sambil memperhatikan kami semua. Nafasnya masih tersengal-sengal. Sepertinya dia berlari habis dikejar syetan.  
“Tenang dulu,” kataku. “Anda siapa? Kenapa ada bisa ada dalam hutan Gumbala? Terus siapa itu Tuan Putri Sima.”
Aku menyuruh dia untuk menata nafasnya. Dia mulai mengambil nafas dalam-dalam. Dia menaikkan bahunya lalu dia menghembuskannya. Kemudian dia mulai unjuk bicara.
“Tolong cepat!” katanya tenang. “Tuan Putri Sima dalam bahaya. Ada dua binatang buas mengejarnya.”
“Baik,” kataku. “Lalu dimana posisi dia?”
“Agak jauh dari sini,” katanya agak kesal. “Cepatlah! Dia dalam bahaya. Kemungkinan binatang buas itu akan memangsanya.”   
Aku melesat kencang meninggalkan Man, kang Gareng, kang Petruk dan dia. Aku berlari cepat mengejar posisi Sima agak jauh kami. Kecepatan lariku bagai sprinter internasional. Sungguh cepat bukan.
Mataku sungguh tajam memperhatikan. Tanganku siap melepaskan anak panah jika posisiku sudah dekat pada ancaman. 
Dari arah kejauhan aku memandang sungguh mengerikan. Dua binatang besar berwarna loreng mendekati seorang gadis yang terjatuh diatas tanah.
Aku sigap melakukan sergapan. Aku melepaskan anak panahku. Dua anak panah kulepaskan secara bersamaan hanya beberapa detik saja perbedaannya. Keduanya melesat kencang menerobos deru angin sepoi-sepoi.  Keduanya mengenai kaki dua binatang buas. Mereka meraung kencang. Suaranya menggetarkan area hutan. Burung-burung berhamburan terbang. 
Kedua binatang buas sangat kejam. Matanya menerkam tajam memperhatikan. Aku segera meluncur tepat dihadapannya. Gandewa aku buang. Keris aku genggam utuk pertahanan.
Gadis itu tepat dibelakangku. Dia bangkit berdiri. Dia agak sempoyongan. Dia begitu lemah dan ketakutan. Rasanya dia memang butuh pertolongan. Dia memang harus diutamakan. Tetapi pilihan pertama aku segera membereskan ancaman. 
Mataku menatap tajam. Tingkat intensitas pandanganku tajam sangat mengancam. Mataku memberikan efek tekanan. Aku tak tahu apa yang terjadi kedua binatang itu lari tunggang langgang meninggalkan kami berdua. Sungguh aku bingung. Pikiranku seperti tak bisa bekerja sama dengan otakku. Rasanya itu diluar nalarku. Tetapi aku samar-samar mendengar gadis dibelakangku berguman ringan.
“Aji Prabawanata,” gumannya.
Dia memperhatikanku serius. Matanya tanpa berkedip memandangku. Bola matanya tepat ditengah-tengah. Dia menghampiriku. Lalu dia unjuk bicara.
“Siapa kau?” tanyanya sinis.
Aku terlulai kaku. Tanganku perlahan-lahan menyarungkan kerisku. Bukan ucapan terima kasih tetapi malah tatapan sinis dan menyebalkan.
“Mohon maaf dewi,” kataku. “Bukan dewi masih terluka. Bukan sebaiknya dewi harus segera diobati.”
“Ini bukan urusanmu,” katanya. “Ini hanya luka kecil. Nanti juga sembuh sendiri.”
Dia malah mengeryit melihatku. Melototkan matanya yang menawan tepat dihadapanku.
“Ku bilang kau siapa?” tanyanya kembali agak kesal. “Kau anak bangsawan siapa atau ksatria dari sehingga kau memiliki Aji Prabawanata.”
 “Namaku Sutasoma,” kataku lembut. “Aku bukan bangsawan atau ksatria. Aku hanya anak santri biasa.”
Mendadak dia malah syok. Dia tampak terlihat bingung.
“Anak santri,” katanya mengulang. “Bagaimana kau memiliki Aji Prabawanata? Jangan bohong Aji Prabawanata itu hanya dimiliki oleh kawanan bangsawan dan ksatria. Tetapi tidak semua. Mereka hanya yang terpilih saja. Lalu kau hanya anak santri memiliki aji itu. Bagaimana bisa? Jangan bohong.”
Dia mengamati penuh curiga. Aku tak tahu apa yang ada dipikirannya tentangku. Dia terlihat menyebalkan memandangku. Aku malah terkejut kenapa dia memberondong tentang pertanyaan begitu. Sungguh aku bingung sekali.
 “Aku tak bohong,” kataku menegaskan. “Aku memang anak santri. Jika kau tak percaya datang saja ke pesantren Andong Sumawi. Kau akan tahu siapa Sutasoma.”
“Baik,” katanya. “Aku akan ikuti saranmu.”
Dia diam seperkian detik.
“Terima kasih,” katanya lembut. “Berkatmu aku bisa selamat dari marabahaya. Jika kau tak datang tepat waktu mungkin aku akan menjadi santapan kedua binatang buas itu.”
Matanya menatapku teduh. Berbeda ketika pertama kali dia memberondongku dengan pertanyaan yang membuatku bingung. Dia terlihat menawan dan cantik sekali. Matanya sungguh mempesona. Bibirnya membuat laki-laki terkesima.
“Sama-sama,”kataku. “Boleh saya tahu nama dewi. Dan kenapa dewi ada disini?”
Aku begitu lembut mengatakannya. Nada suaraku mengalun indah dan penuh warna.
“Sima,” katanya. “Aku bersama temanku sedang mencari Uwoh Amral. Ketika aku mau mengambil dua Uwoh Amral. Tiba-tiba saja muncul dua binatang buas menyerangku. lalu kami lari tunggang langgang mencari keselamatan, tetapi mereka malah mengejarku.”
“Uwoh Amral,” kataku mengulang. “Dimana sang dewi melihatnya?”
Aku mendadak syok. Aku penasaran ingin mengetahui jelasnya.
“Mana mungkin aku menunjukkannya padamu,” kata Sima sinis. “Aku saja belum mengenalmu. Enak saja kau mau mendapatkannya.”
Sima terlihat kesal. Wajahnya kembali menyebalkan memandangku. Dia mengamatiku curiga. Kembali matanya melotot tajam.
“Kau sudah memiliki aji Prabawanata,” katanya kesal. “Memang kau masih ingin mendapatkan Uwoh Amral. Kau gunakan untuk apa kekuatan itu?”
“Aji Prabawanata apa?” kataku bingung. “Maksud sang Dewi apa?”   
 Aku memandang bingung. Pikiranku tak bisa mencerna apa yang dibicarakan. Nalarku tak sanggup menelaah konsep bicaranya. Dia nampak menyebalkan mengamatiku.
“Kau itu memang idiot,” katanya dingin. “Aji Prabawanata. Kekuatan penakluk dengan hanya menatap matanya saja bisa membuat musuh dalam keadaan panik dan ketakutan.”
Aku memperhatikannya serius. Walaupun dia menyebalkan tetapi tetap cantik dipandang. Aku sungguh terkesima padanya.
Aku mengangguk. Dia melanjutkannya.
“Ketika seorang memiliki Aji Prabawanata,” kata Sima. “Maka secara otomatis dia memiliki Aji Narantaka. Kekuatan itu setara untuk menghancur sebuah gunung.”
Dia diam seperkian detik. Matanya mengeryit.
“Kau paham tidak,” katanya. “Dasar idiot.”
Sima memaling wajahnya. Dia memperhatikan pohon-pohon dihadapannya.
Aku terdiam sejenak, menatap ke kejauhan, wajahku termenung. Angin sepoi berbisik disela pepohonan. Daun-daun bekersakan bagai ancaman yang membahayakan. Binatang buang meraung kencang dan menggetarkan. Suasana hutan Gumbala terasa mencekam.
“Ada yang salah disini,” gumanku.
Gadis muda itu memberinya senyum mencela. “Masa?”
“Tak bisakah kau merasakan?” tanyaku. “Dengarkan baik-baik!”
Aku dapat merasakan kehadirannya. Mataku memberi sinyal kewaspadaan. Aku belum pernah merasa takut seperti ini. Ada apa sebenarnya?
Sima tadinya agak tenang. Sekarang ekspresinya berubah dratis. Wajahnya nampak suram dan gelisah. Dia dipenuhi ketakutan yang tak terbayangkan.
“Angin, pohon-pohon gemersak. Simo. Semuanya menggelegar,” kata Sima panik. “Apa yang terjadi?”
“Hati-hati dewi,” gumanku. “Dia akan datang! Sebaiknya Dewi berada dibelakagnku.”
Sima terdiam dibelakangku. Dia menggigil ketakutan.
Aku segera memegang erat kerisku kembali. Lekukan sembilan menandakan bahwa kerisku lumayan kuat dan tangguh. Jantungku berhenti berdetak. Untuk sesaat aku tak bernafas. Rasa sesak dalam dadaku. 
Aku melihat gerakan dari sudut mataku. Sesosok pucat meluncur diantara pepohonan.
“Siapa disana?” tanyaku.
Tak ada jawaban terdengar. Hanya gemerisik dedaunan. Pohon-pohon bekersak kencang. Deru angin membelai kasar menjatuhkan dedaunan. Binatang meraung kencang. Suasana makin memberi ancaman.
“Pepohonan disini sangat rapat,” Sima memperingatkan. “Hati-hati…”
Sima duduk dibalik pohon besar. Tangannya memegang erat kedua kakinya. Kepalanya agak tertunduk. Tubuhnya bergetar.
Aku mengawasi kehadirannya. Tetapi aku tak tahu dia datang bagai gelombang. Tiba-tiba sesosok bayangan muncul dari kegelapan hutan. Sosok itu berdiri didepanku. Jangkung, besar dan sekeras besi dengan daging secoklat susu. Tubuhnya kekar terlihat otot-otot bisep yang mengerikan. Dia membawa pentungan besar. Matanya melotot tajam bagai elang. Rambutnya gimbal. Rawisnya dipelintir bagai pedang.
“Dasar bocah,” gumannya. “Apa yang kau lakukan disini? Kau mengganggu urusanku saja.”
Amarahnya mengumpal. Kegelapan menelan pepohonan. Dia memberangas kejam. Matanya memberikan tekanan kuat mengerikan.
Aku menatapnya penuh tekanan. Mataku menerobos dalam imajinasi diluar nalar.
“Siapa kau?” tanyaku gagah berani. Aku mengambil posisi kuda-kuda pertahanan.
“Ha…ha…ha…,” tawanya. Suara tawa pecah menggema. Bahkan aku merasakan tanahnya ikut bergetar karena tawanya. Sungguh-sungguh sangat mengerikan.
“Aku Mahasura,” katanya. “Tapi aku akan senang jika kau memanggilku Sura.”
Aku memang berjarak cukup jauh darinya, tapi angin yang membawa suaranya sangat jelas.
Sura memberikan intimidasi. Tatapannya mengancam. Dia mengangkat alisnya.
“Siapa kau bocah?” kata Sura marah. “Kau berani mencampuri urusanku. Kebodohan itu benar-benar menyedihkan. Kamu akan membayar mahal atas kebodohanmu.”
Aku gagah berani memandangnya. Mataku kembali menekan intimadasinya.
“Sutasoma,” kataku. “Aku hanya santri dari pesantren Andong Suwami. Kau telah mengganggu ketentraman hutan Gumbala. Apa tujuan sebenarnya?”
“Itu bukan urusanmu,” katanya marah. “Kau hanya sampah pengganggu. Untuk apa kau tahu? Mungkin dengan membunuhmu semua urusanku akan beres.”
Sura mengangkat bahu. Dia mengangkat pentungan itu tinggi diatas kepala. Pentungan menghantam keras ke arah tubuhku. Aku sergap menahan pukulannya. Kerisku menerima kuat tekanan pentungannya. Tanganku bergetar menyangga berat itu.
Benturan kuat dan hebat menciptakan suasana makin menggila. Suaranya bergema keras membahana mempekik telinga. Aku melemparkan tubuhku untuk menghindar. Pentungan itu menujam ke tanah. Tanah disekitar ikut bergetar.
Sura kembali mengangkat bahu. Pentungan pucat itu mengoyak udara.
Aku menghadangnya dengan keris. Ketika keduanya bertemu, ada nada logam beradu. Nada tinggi dan kasar mempekik telinga seperti binatang meruang kencang.
Aku menepis serangan kedua, ketiga dan keempat, lalu mundur selangkah. Serangan bertubi-tubi lagi. Dan aku kembali mundur.
Keris dan pentungan kembali bertemu berkali-kali. Aku masih gagah berani menghadang serangannya. Tanganku terasa bergetar kencang tetapi aku tak mengendurkan serangan. Mataku menatap tajam.
Sura kembali menyerang. Dia masih kuat memberikan perlawanan. Aku terlihat tersengal-sengal menghadang serangan. Nafasku mengepul dibawah gelapnya pepohonan rindang. Aku semakin terdesak. Tanganku bergetar kencang, keris ditanganku hampir tak bisa aku pegang.
Tiba-tiba aku tak tahu apa yang kulakukan. Pikiranku kosong dan tak bernalar. Tanganku mengencang tanpa sadar. Warna hitam legam membungkus kulitku. Kedua lenganku sekeras baja. Keris aku lepaskan. Aku melancarkan pukulan tanpa sadar. Pukulan menghantam keras mengahancurkan pentungan itu. Dibalik aku melepaskan pukulan. Kabut pekat menyelimuti. gema suara terdengar.
“Lain kali kita akan bertemu,” katanya. “Ini belum saat bocah.”
Ketika kabut tebal menghilang. Sura telah lenyap dari pertarungan. Aku tak tahu dia kemana perginya. Sepertinya kabut itu membawa pergi.
Tubuhku kokoh berdiri. Kedua tanganku mengencang. Aku membusungkan dada. Aku melepaskan suara.
“Sura!” teriakku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar