Kami meluncur menelusuri
jalan. Langkah kami begitu hati-hati dan waspada. Mataku memperhatikan tajam
setiap gerakan bila kemungkinkan membahayakan. Tanganku mengepal keras jika
bahaya menjadi ancaman.
Kami mungkin telah memutuskan
melakukan hal bodoh. Sebodoh-bodoh manusia yang memakan daging tanpa tahu
penyakit apa yang ditimbulkan. Bahkan lebih bodoh lagi. Mencari masalah dalam
rencana buntu merupakan pemikiran ambyar.
Aku tidak merencanakan,
niatku hanya berburu. Tetapi malah sebalik mendapat misi dalam pertimbangan yang
bodoh menjadi momok tinggi dalam bahaya.
Melangkah keluar dari pintu
gerbang utama, aku telah melakukan hal bodoh dan ambyar. Tidak memiliki
pertimbangan matang dalam setiap langkah merupakan bagian tergila dalam
menghadapi bahaya.
Ada kemungkinan semua persis
seperti apa seharusnya, tetapi itu bila kemungkinan masalah itu tak terlalu
dalam ancaman. Aku hanya melakukan hasrat untuk menyelesaikan.
Aku tidak tahu situasi macam
apa yang akan menghadang. Tetapi aku berharap itu tidak terlalu berbahaya. Jika
aku melewatkan ksempatan ini, aku akan menyumpahi kebodohanku selama
bertahun-tahun.
Kami ada dihadapan gerbang
hutan Gumbala. Petruk, Gareng dan Man memperhatikanku. Mereka terlihat suram
memandangku. Kurasa pikiran mereka agak tegang. Man terlihat menelan ludah.
Petruk dan Gareng mungkin hampir sama dalam keadaan.
“Apa kita masuk sekarang?” tanya Man. “Seperti
ada kegelapan yang mengancam di dalam hutan ini. Kurasa bulu kuduk hampir
merinding semua.”
Man menggigil ketakutan.
Wajahnya tegang dan suram. Tangannya nampak gemetaran.
“Dimana kau taruh
perlengkapan berburu kita Man?” tanyaku. “Sekarang kita butuhkan, sebelum kita
masuk. Lebih baik kita persiapan yang cukup untuk menjaga keselamatan.”
Man mendekati pohon besar
agak jauh dari gerbang hutan. Dia mengambil sesuatu semacam bungkusan besar
dalam kain hitam legam. Bungkusan itu dibawa ke hadapanku. Dia membuka
bungkusan itu. Dalam bungkusan itu ada dua gandewa, dua slot anak panah dan dua
keris.
Aku meminta satu gandewa,
satu slot anak panah dan satu keris padanya. Aku kalungkan satu slot anak panah
menyilang di ditubuhku. Keris aku selipkan di belakang punggungku. Tanganku
memegang gandewa. Satu sisa perlengkapan Man yang memegang.
“Kalian siap!” kataku.
Kami berjajar dihadapan
gerbang hutan Gumbala.
Pohon-pohon menjulang tinggi
menampakan pesona bangunan alam. Angin bertiup riang membelai lembut daun-daun
pepohonan. Suara burung-burung menerjang gelombang, memberikan sebuah
peringatan. Awan gelap sangat tebal mengudara diatas langit hutan. Sungguh
bahaya yang mengerikan bukan.
Aku memegang erat gandewa.
Tanganku kananku siap melesatkan anak panah yang mulai aku pasang di tali
gendewa. Man mengikuti apa yang aku lakukan? Dia mulai waspada dan tajam.
Biarpun tangannya masih gemetaran dia sangat intens memandang.
Petruk dan Gareng nampak
suram memandang dan tegang. Mereka hanya teman dalam perjalanan. Dalam bahasa
jawa mungkin bisa dibilang pamomong atau Dwikawan.
Angin
bertiup sepoi-sepoi membelai tubuh kami. Aku memalingkan wajah ke kiri dan
kanan. Mataku memperhatikan mereka tajam. Mereka terlihat tegang dan suram.
Ancaman didepan mereka gedung tinggi menjulang. Kegelapan mengumpal tebal
menyelimuti seluruh hutan. Area yang cukup berbahaya dan mematikan.
“Kita harus waspada,” kata
Man mengingatkan. “Rasanya hutan ini memiliki beribu-ribu ancaman mematikan.
Terlihat pohon ikut merasakan kegelisah diluar nalar.”
Aku melirik langit dengan
serius.
“Memang benar apa yang di
katakan Man,” kataku. “Waspada adalah kunci kita keluar dari bahaya.”
Petruk melihat ketegangan
disekitar mulut Man. Kegelisahan yang nyaris tak bisa disembunyikan dimatanya.
Dia melihat Man seperti kutu yang selalu merasakan ketakutan.
Gareng dan Petruk merasakan
kegelisahan serupa. Mereka sudah lama mengenyam kegetiran kegelapan. Kali
pertama mereka dikirim ke luar, mereka teringat-ingat cerita seram. Saat ini
mereka sudah berpengalaman dalam ratusan perjalanan di luar pondok pesantren
dan rimba gelap tak berujung yang orang jawa disebut hutan angker tak lagi
membuatnya gentar.
Sampai hari ini. Rasanya ada
yang berbeda. Kegelapan disekitarnya tidak seperti biasa sehingga membuat bulu
kuduk mereka meremang. Hari ini yang terburuk. Angin bertiup dari utara,
membuat pepohonan bekersak seolah hidup. Mereka merasakan sedang diawasi.
Sesuatu yang dingin, keras kepala dan tidak menyukainya.
“Kalian siap,” kataku kembali.
Mereka menganguk. Mata
mereka suram memandang. Mereka terlihat tegang dan gelisah.
Aku meluncur pelan memasuki
pintu gerbang hutan. Mereka bertiga mengikuti dari belakang. Aku mengamati
pohon-pohon tinggi menjulang. Pohon itu menjelma bagai kekuatan gelap
mengancam.
Kami menelusuri area
pepohonan perlahan-lahan. Setiap gerakan kami antisipasi agar tidak
mencurigakan. Ancaman kuat memberikan tekanan intens, terlihat Man, Petruk dan
Gareng tegang dan gelisah. Aku nampak kokoh melangkah.
“Apa kau merasakan sesuatu?”
tanya Man menggigil ketakutan. “Sepertinya ada yang mengawasi kita. Itu semacam
hal yang tidak bisa aku gambarkan.”
Aku mengangkat bahu. “Kita
harus hati-hati.”
Dedaun kering mulai mendesir
lewat. Ranting pohong bekersak hidup menampar rasa tegang dan gelisah terdalam.
Kami melanjutkan berjalan.
Aku berjalan paling depan. Mereka bertiga mengikutiku dari belakang. Gareng dan
Man paling belakang. Man terlihat mengerutu sendirian.
Gelap makin menampar. Langit
berawan menjadi gelap ditutup pohon-pohon tinggi menjulang.
Aku berhenti.
“Apa kau dengar sesuatu?”
kataku. “Sepertinya ada suara orang.”
“Jangan bercanda,” kata Man.
“Memang siapa yang berani datang di hutan berbahaya seperti ini?”
Man nampak suram mengawasi
sekitar. Dia masih gemetaran memegang gandewa yang siap dilepaskan.
“Aku tak bercanda,” kataku
memasang tajam telinga. “Bagaimana kang? Apa kalian mendengar sesuatu?
Aku mengarahkan pandangan
pada kang Gareng dan kang Petruk. Mereka nampak tegang. Mata mereka terlihat
gelisah. Mereka masih terdiam sambil memasangkan telinga mereka untuk
mendengarkan.
“Tidak,” kata Gareng. “Kami
tidak mendengar suara apapun. Bukan begitu Petruk.”
Petruk mengangguk.
“Jangan bercanda,” kata Man
kembali. “Sepertinya telingamu salah mendengarkan.”
Man kuat memegang
gandewanya. Tangannya terlihat gemetaran. Wajahnya suram dan kesal.
“Tidak,” kataku. “Itu memang suara orang.”
“Jangan…jangan...,” guman
Petruk. “Itu hantu hutan.”
“Hantu hutan,” kata Man
mengulang. Dia mendadak syok. “Kalian jangan membuatku takut. Jika memang ada
terus bagaimana nasib kita?”
Man menggigil ketakutan.
Tangan dan gandewanya hampir bergetar tak karuan. Wajahnya begitu suram dan
menyedihkan.
“Kurasa bukan,” kataku
menegaskan.
Langkah cepat menghampiri
kami. Wanita muda seusiaku. Dia tertunduk bernafas cepat dan tersengal-sengal.
Rambutnya acak-acakan. Dia mengangkat bahu.
“To-long,” katanya sambil
mengatur nafas cepat. “Tuan Putri Sima ada dalam bahaya. Ada dua binatang buas
mengejarnya.”
Dia memegang pohon besar
sambil memperhatikan kami semua. Nafasnya masih tersengal-sengal. Sepertinya
dia berlari habis dikejar syetan.
“Tenang dulu,” kataku. “Anda
siapa? Kenapa ada bisa ada dalam hutan Gumbala? Terus siapa itu Tuan Putri
Sima.”
Aku menyuruh dia untuk
menata nafasnya. Dia mulai mengambil nafas dalam-dalam. Dia menaikkan bahunya
lalu dia menghembuskannya. Kemudian dia mulai unjuk bicara.
“Tolong cepat!” katanya
tenang. “Tuan Putri Sima dalam bahaya. Ada dua binatang buas mengejarnya.”
“Baik,” kataku. “Lalu dimana
posisi dia?”
“Agak jauh dari sini,”
katanya agak kesal. “Cepatlah! Dia dalam bahaya. Kemungkinan binatang buas itu
akan memangsanya.”
Aku melesat kencang
meninggalkan Man, kang Gareng, kang Petruk dan dia. Aku berlari cepat mengejar
posisi Sima agak jauh kami. Kecepatan lariku bagai sprinter internasional.
Sungguh cepat bukan.
Mataku sungguh tajam
memperhatikan. Tanganku siap melepaskan anak panah jika posisiku sudah dekat
pada ancaman.
Dari arah kejauhan aku
memandang sungguh mengerikan. Dua binatang besar berwarna loreng mendekati
seorang gadis yang terjatuh diatas tanah.
Aku sigap melakukan
sergapan. Aku melepaskan anak panahku. Dua anak panah kulepaskan secara
bersamaan hanya beberapa detik saja perbedaannya. Keduanya melesat kencang
menerobos deru angin sepoi-sepoi.
Keduanya mengenai kaki dua binatang buas. Mereka meraung kencang.
Suaranya menggetarkan area hutan. Burung-burung berhamburan terbang.
Kedua binatang buas sangat kejam.
Matanya menerkam tajam memperhatikan. Aku segera meluncur tepat dihadapannya.
Gandewa aku buang. Keris aku genggam utuk pertahanan.
Gadis itu tepat
dibelakangku. Dia bangkit berdiri. Dia agak sempoyongan. Dia begitu lemah dan
ketakutan. Rasanya dia memang butuh pertolongan. Dia memang harus diutamakan. Tetapi
pilihan pertama aku segera membereskan ancaman.
Mataku menatap tajam.
Tingkat intensitas pandanganku tajam sangat mengancam. Mataku memberikan efek
tekanan. Aku tak tahu apa yang terjadi kedua binatang itu lari tunggang
langgang meninggalkan kami berdua. Sungguh aku bingung. Pikiranku seperti tak
bisa bekerja sama dengan otakku. Rasanya itu diluar nalarku. Tetapi aku
samar-samar mendengar gadis dibelakangku berguman ringan.
“Aji Prabawanata,” gumannya.
Dia memperhatikanku serius.
Matanya tanpa berkedip memandangku. Bola matanya tepat ditengah-tengah. Dia
menghampiriku. Lalu dia unjuk bicara.
“Siapa kau?” tanyanya sinis.
Aku terlulai kaku. Tanganku
perlahan-lahan menyarungkan kerisku. Bukan ucapan terima kasih tetapi malah
tatapan sinis dan menyebalkan.
“Mohon maaf dewi,” kataku.
“Bukan dewi masih terluka. Bukan sebaiknya dewi harus segera diobati.”
“Ini bukan urusanmu,”
katanya. “Ini hanya luka kecil. Nanti juga sembuh sendiri.”
Dia malah mengeryit
melihatku. Melototkan matanya yang menawan tepat dihadapanku.
“Ku bilang kau siapa?”
tanyanya kembali agak kesal. “Kau anak bangsawan siapa atau ksatria dari sehingga
kau memiliki Aji Prabawanata.”
“Namaku Sutasoma,” kataku lembut. “Aku bukan
bangsawan atau ksatria. Aku hanya anak santri biasa.”
Mendadak dia malah syok. Dia
tampak terlihat bingung.
“Anak santri,” katanya
mengulang. “Bagaimana kau memiliki Aji Prabawanata? Jangan bohong Aji
Prabawanata itu hanya dimiliki oleh kawanan bangsawan dan ksatria. Tetapi tidak
semua. Mereka hanya yang terpilih saja. Lalu kau hanya anak santri memiliki aji
itu. Bagaimana bisa? Jangan bohong.”
Dia mengamati penuh curiga. Aku
tak tahu apa yang ada dipikirannya tentangku. Dia terlihat menyebalkan
memandangku. Aku malah terkejut kenapa dia memberondong tentang pertanyaan
begitu. Sungguh aku bingung sekali.
“Aku tak bohong,” kataku menegaskan. “Aku
memang anak santri. Jika kau tak percaya datang saja ke pesantren Andong
Sumawi. Kau akan tahu siapa Sutasoma.”
“Baik,” katanya. “Aku akan
ikuti saranmu.”
Dia diam seperkian detik.
“Terima kasih,” katanya
lembut. “Berkatmu aku bisa selamat dari marabahaya. Jika kau tak datang tepat
waktu mungkin aku akan menjadi santapan kedua binatang buas itu.”
Matanya menatapku teduh. Berbeda
ketika pertama kali dia memberondongku dengan pertanyaan yang membuatku
bingung. Dia terlihat menawan dan cantik sekali. Matanya sungguh mempesona.
Bibirnya membuat laki-laki terkesima.
“Sama-sama,”kataku. “Boleh
saya tahu nama dewi. Dan kenapa dewi ada disini?”
Aku begitu lembut
mengatakannya. Nada suaraku mengalun indah dan penuh warna.
“Sima,” katanya. “Aku
bersama temanku sedang mencari Uwoh Amral. Ketika aku mau mengambil dua Uwoh
Amral. Tiba-tiba saja muncul dua binatang buas menyerangku. lalu kami lari
tunggang langgang mencari keselamatan, tetapi mereka malah mengejarku.”
“Uwoh Amral,” kataku
mengulang. “Dimana sang dewi melihatnya?”
Aku mendadak syok. Aku
penasaran ingin mengetahui jelasnya.
“Mana mungkin aku
menunjukkannya padamu,” kata Sima sinis. “Aku saja belum mengenalmu. Enak saja
kau mau mendapatkannya.”
Sima terlihat kesal.
Wajahnya kembali menyebalkan memandangku. Dia mengamatiku curiga. Kembali
matanya melotot tajam.
“Kau sudah memiliki aji
Prabawanata,” katanya kesal. “Memang kau masih ingin mendapatkan Uwoh Amral.
Kau gunakan untuk apa kekuatan itu?”
“Aji Prabawanata apa?”
kataku bingung. “Maksud sang Dewi apa?”
Aku memandang bingung. Pikiranku tak bisa
mencerna apa yang dibicarakan. Nalarku tak sanggup menelaah konsep bicaranya.
Dia nampak menyebalkan mengamatiku.
“Kau itu memang idiot,”
katanya dingin. “Aji Prabawanata. Kekuatan penakluk dengan hanya menatap
matanya saja bisa membuat musuh dalam keadaan panik dan ketakutan.”
Aku memperhatikannya serius.
Walaupun dia menyebalkan tetapi tetap cantik dipandang. Aku sungguh terkesima
padanya.
Aku mengangguk. Dia
melanjutkannya.
“Ketika seorang memiliki Aji
Prabawanata,” kata Sima. “Maka secara otomatis dia memiliki Aji Narantaka.
Kekuatan itu setara untuk menghancur sebuah gunung.”
Dia diam seperkian detik.
Matanya mengeryit.
“Kau paham tidak,” katanya.
“Dasar idiot.”
Sima memaling wajahnya. Dia
memperhatikan pohon-pohon dihadapannya.
Aku terdiam sejenak, menatap
ke kejauhan, wajahku termenung. Angin sepoi berbisik disela pepohonan.
Daun-daun bekersakan bagai ancaman yang membahayakan. Binatang buang meraung
kencang dan menggetarkan. Suasana hutan Gumbala terasa mencekam.
“Ada yang salah disini,”
gumanku.
Gadis muda itu memberinya
senyum mencela. “Masa?”
“Tak bisakah kau merasakan?”
tanyaku. “Dengarkan baik-baik!”
Aku dapat merasakan
kehadirannya. Mataku memberi sinyal kewaspadaan. Aku belum pernah merasa takut
seperti ini. Ada apa sebenarnya?
Sima tadinya agak tenang.
Sekarang ekspresinya berubah dratis. Wajahnya nampak suram dan gelisah. Dia dipenuhi ketakutan yang tak terbayangkan.
“Angin, pohon-pohon gemersak. Simo. Semuanya
menggelegar,” kata Sima panik. “Apa yang terjadi?”
“Hati-hati dewi,” gumanku.
“Dia akan datang! Sebaiknya Dewi berada dibelakagnku.”
Sima terdiam dibelakangku.
Dia menggigil ketakutan.
Aku segera memegang erat
kerisku kembali. Lekukan sembilan menandakan bahwa kerisku lumayan kuat dan
tangguh. Jantungku berhenti berdetak. Untuk sesaat aku tak bernafas. Rasa sesak
dalam dadaku.
Aku melihat gerakan dari
sudut mataku. Sesosok pucat meluncur diantara pepohonan.
“Siapa disana?” tanyaku.
Tak ada jawaban terdengar.
Hanya gemerisik dedaunan. Pohon-pohon bekersak kencang. Deru angin membelai
kasar menjatuhkan dedaunan. Binatang meraung kencang. Suasana makin memberi
ancaman.
“Pepohonan disini sangat rapat,” Sima memperingatkan.
“Hati-hati…”
Sima duduk dibalik pohon besar. Tangannya memegang
erat kedua kakinya. Kepalanya agak tertunduk. Tubuhnya bergetar.
Aku mengawasi kehadirannya. Tetapi aku tak tahu dia
datang bagai gelombang. Tiba-tiba sesosok bayangan muncul dari kegelapan hutan.
Sosok itu berdiri didepanku. Jangkung, besar dan sekeras besi dengan daging
secoklat susu. Tubuhnya kekar terlihat otot-otot bisep yang mengerikan. Dia
membawa pentungan besar. Matanya melotot tajam bagai elang. Rambutnya gimbal.
Rawisnya dipelintir bagai pedang.
“Dasar bocah,” gumannya. “Apa yang kau lakukan disini?
Kau mengganggu urusanku saja.”
Amarahnya mengumpal. Kegelapan menelan pepohonan. Dia
memberangas kejam. Matanya memberikan tekanan kuat mengerikan.
Aku menatapnya penuh tekanan. Mataku menerobos dalam
imajinasi diluar nalar.
“Siapa kau?” tanyaku gagah berani. Aku mengambil
posisi kuda-kuda pertahanan.
“Ha…ha…ha…,” tawanya. Suara tawa pecah menggema.
Bahkan aku merasakan tanahnya ikut bergetar karena tawanya. Sungguh-sungguh
sangat mengerikan.
“Aku Mahasura,” katanya. “Tapi aku akan senang jika
kau memanggilku Sura.”
Aku memang berjarak cukup
jauh darinya, tapi angin yang membawa suaranya sangat jelas.
Sura memberikan intimidasi. Tatapannya mengancam. Dia
mengangkat alisnya.
“Siapa kau bocah?” kata Sura marah. “Kau berani
mencampuri urusanku. Kebodohan itu benar-benar menyedihkan.
Kamu akan membayar mahal atas kebodohanmu.”
Aku gagah berani
memandangnya. Mataku kembali menekan intimadasinya.
“Sutasoma,” kataku. “Aku
hanya santri dari pesantren Andong Suwami. Kau telah mengganggu ketentraman
hutan Gumbala. Apa tujuan sebenarnya?”
“Itu bukan urusanmu,”
katanya marah. “Kau hanya sampah pengganggu. Untuk apa kau tahu? Mungkin dengan
membunuhmu semua urusanku akan beres.”
Sura mengangkat bahu. Dia
mengangkat pentungan itu tinggi diatas kepala. Pentungan menghantam keras ke
arah tubuhku. Aku sergap menahan pukulannya. Kerisku menerima kuat tekanan
pentungannya. Tanganku bergetar menyangga berat itu.
Benturan kuat dan hebat
menciptakan suasana makin menggila. Suaranya bergema keras membahana mempekik
telinga. Aku melemparkan tubuhku untuk menghindar. Pentungan itu menujam ke
tanah. Tanah disekitar ikut bergetar.
Sura kembali mengangkat
bahu. Pentungan pucat itu mengoyak udara.
Aku menghadangnya dengan
keris. Ketika keduanya bertemu, ada nada logam beradu. Nada tinggi dan kasar
mempekik telinga seperti binatang meruang kencang.
Aku menepis serangan kedua,
ketiga dan keempat, lalu mundur selangkah. Serangan bertubi-tubi lagi. Dan aku
kembali mundur.
Keris dan pentungan kembali
bertemu berkali-kali. Aku masih gagah berani menghadang serangannya. Tanganku terasa
bergetar kencang tetapi aku tak mengendurkan serangan. Mataku menatap tajam.
Sura kembali menyerang. Dia
masih kuat memberikan perlawanan. Aku terlihat tersengal-sengal menghadang
serangan. Nafasku mengepul dibawah gelapnya pepohonan rindang. Aku semakin
terdesak. Tanganku bergetar kencang, keris ditanganku hampir tak bisa aku
pegang.
Tiba-tiba aku tak tahu apa
yang kulakukan. Pikiranku kosong dan tak bernalar. Tanganku mengencang tanpa
sadar. Warna hitam legam membungkus kulitku. Kedua lenganku sekeras baja. Keris
aku lepaskan. Aku melancarkan pukulan tanpa sadar. Pukulan menghantam keras
mengahancurkan pentungan itu. Dibalik aku melepaskan pukulan. Kabut pekat
menyelimuti. gema suara terdengar.
“Lain kali kita akan
bertemu,” katanya. “Ini belum saat bocah.”
Ketika kabut tebal
menghilang. Sura telah lenyap dari pertarungan. Aku tak tahu dia kemana perginya.
Sepertinya kabut itu membawa pergi.
Tubuhku kokoh berdiri. Kedua
tanganku mengencang. Aku membusungkan dada. Aku melepaskan suara.
“Sura!”
teriakku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar