Habis sholat magrib.
Aku berduduk tenang dan bersila. Tangan
kananku sambil memegang tasbih hitam legam. Aku tarik pelan-pelan butiran demi
butiran sambil aku berguman.
“ASTAGHHFIRULLOOHA.”
Aku berguman berulang-ulang. Mataku
begitu teduh memandang.
Aku bernama Sutasoma. Aku sekarang telah
mencapai remaja kira-kira umur empat belas tahun. Semenjak hari itu aku hidup
di pesantren Andong Sumawi. Aku dibesarkan oleh syekh Sidikwacana. Aku tumbuh
menjadi pribadi tangguh dengan keimanan dan ketaqwaan yang berakhlak mulia.
Bibirku masih berguman pelan dan ringan.
Aku membiarkan dzikirku meresap dalam hati dan jiwa. Alunan sederhana
memberikan rasa kepercayaan diriku. Begitulah aku menikmati alam raya ciptaan
Allah SWT.
Kata
"dzikr" menurut bahasa artinya ingat. Sedangkan dzikir menurut pengertian
syariat adalah mengingat Allah SWT dengan maksud untuk mendekatkan diri
kepadaNya. Kita diperintahkan untuk berdzikir kepada Allah untuk selalu
mengingat akan kekuasaan dan kebesaranNya sehingga kita bisa terhindar dari
penyakit sombong dan takabbur.
"Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama)
Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya."
(QS. Al-Ahzab :
41).
Aku merasakan kenikmatan. Pikiranku menjadi
tenang dalam keheningan. Hatiku menikmati keindahan seraya terus mengagungkan
kebesaran Allah SWT.
Pandanganku masih teduh. Menatap tempat aku
bersujud sungguh sangat membuatku begitu tenang dan membahagiakan.
Aku mendadak terkejut. Sebuah tangan menepuk
bahu kananku agak kasar.
“Suta,” panggilnya.
Aku menoleh ke arahnya. Rupanya aku baru tahu
ternyata temanku Sumantri ada dibelakangku. Mungkin aku tak tahu jika dia ada
dibelakangku.
“Kau Man!” kataku. “Ada apa? Aku sampai
terkejut. Untung aku tak jantungan.”
“Kau bisa saja bercanda,” katanya. “Hari ini
kau ada acara tidak. Aku ingin mengajakmu berburu.”
Aku berfikir sejenak. Tanganku masih menikmati
butiran tasbih yang kupegang.
“Apa kau sudah dapat izin dari Syekh Sidik?”
tanyaku. “Jika sudah kurasa aku akan ikut. Tetapi jika belum dapat izin, sebaiknya
kita minta izin dahulu.”
Mantri agak sedikit ragu. Aku melihat wajahnya
begitu tegang. Tangannya terlihat getaran kecil.
“Belum sih,” katanya melemah. “Kita hanya
keluar sebentar.”
“Memang kita mau berburu kemana?” tanyaku.
“Hutan Gumbala,” katanya.
Aku mendadak syok. Tanganku sampai berhenti
menarik butiran tasbihku.
“Kita tak diizinkan kesana bukan,” kataku.
“Disana terlalu berbahaya. Banyak binatang buas yang menunggunya.”
Aku menatap sinis padanya. Mataku memberikan
intimidasi kuat.
“Aku tahu itu,” kata Man. “Tetapi apa kau tak
bosan selama ini kita hanya di wilayah pesantren saja?”
Man mulai merayu. Dia memberi argument untuk
meluluhkan hatiku.
“Bosan,” kataku mengulang. “Aku paham
maksudmu. Tetapi kau tahu bukan konsukwensinya.”
“Aku mengerti,” kata Man. “Tetapi apa kau tak
tertarik mengenai Uwoh Amral? Uwoh yang katanya memilihkan kekuatan. Siapa tahu
kita beruntung bisa mendapatkan di hutan Gumbala?”
Mata Man berbinar-binar menatapku. Dia
memberikan ekspresi ceria untuk melembutkan hatiku.
“Uwoh Amral,” kataku mengulang kembali.
“Maksudmu uwoh yang muncul sekali dalam tumbuhan. Tidak mudah menemukan uwoh
seperti itu. Hanya keberuntungan saja untuk mendapatkan Uwoh Amral.”
Aku menatapnya. Man terlihat diam seperkian
detik. Dia memainkan bola matanya. Sepertinya dia berfikir sesaat.
“Apa kau tak tertarik mengenai Uwoh Amral?”
katanya menegaskan. “Dengan uwoh itu kita bisa mendapatkan kekuatan.”
“Tidak,” kataku. “Bagiku kekuatan hanya
perlindungan dan penolong saja. kebanyakan kekuatan hanya menciptakan
kesombongan. Padahal kau tahu bukan kesombongan menciptakan malapetaka.”
Man terlihat mengangguk-anggukkan kepala. Dia
terlihat seperti orang bodoh yang terdiam. Dia nampak lesu memandang.
“Baiklah,” katanya memicingkan mata. “Kukira
kau akan tertarik. Tetapi rasanya memang percuma aku mengajakmu. Lebih baik aku
pergi sendiri saja.”
Man terlihat kesal. Dahinya mengerut keras. Ekspresinya
marah. Dia memaling wajahnya. Dia seperti membuat perumpahan untuk meluluhkan
hatiku. Tetapi aku akhirnya mengikutinya juga.
“Baik,” kataku. “Tetapi aku minta jangan malam
ini. Kurasa kita bisa berburu besok siang. Malam ini aku ingin khusyu’
beribadah.”
Ekspresi kembali ceria. Man terlihat bahagia.
Raut wajahnya kembali berbinar-binar.
“Aku ikut saja,” katanya. “Besok siang juga
tak apa? Nah ini baru kawanku. Aku tahu pasti kau akan setuju bila aku sedikit
kesal padamu. aku tahu sikapmu Suta kau terlalu baik. Jadi kau tak mungkin
membiarkanku pergi sendiri.”
Aku hanya menggeleng-gelangkan kepala. Aku
diam seperkian detik.
“Kita tidak usah minta izin pada syekh Sidik,”
kataku. “Kita akan pergi diam-diam. Kemungkinan habis zuhur kita melancarkan
aksi kita.”
Man mendadak syok. Dia tak percaya temannya
yang akhlak baik memiliki jiwa bandel juga.
“Kenapa kita tidak minta izin pada Syekh
Sidik?” kataku meragu. “Bukankah kau akan pergi setelah mendapatkan izin dari
beliau.”
“Aku tak mau berdebat,” kataku sepihak. “Hutan
Gumbala merupakan tempat terlarang bagi santri Andong Sumawi. Tetapi rasanya
aku juga ingin tahu mengenai situasi diluar pesantren.”
Man tersenyum simpul. Dia mengekspresikan
dirinya yang ceria.
“Ahh…” gumannya. “Memang kita harus refresing
sekali-kali biar tidak bosan. Tetapi mengenai hukumannya memang kau tak
mengkhawatirkannya.”
“Itu sudah resiko,” kataku. “Ini adalah
perjudian kita, bila kita ketahuan resikonya adalah hukuman tetapi bila kita
aman maka kita akan selamat dari hukuman.”
Man menelan ludah. Tak disangka temannya yang
tenang ternyata punya ketegasan luar biasa. Man tak sempat berfikir panjang lebar,
dia hanya menggeleng-gelengkan kepala saja. Rasanya dia terbungkam kuat dari
sebuah tekanan luar biasa.
Seperkian kami terdiam. Aku dan Man saling
pandang memandang.
“Suta,”panggil Syekh Sidik yang baru datang.
“Segera adzan! Ini sudah masuk waktu isya’.”
“Baik aki!” kataku.
Aku bangkit dari duduk. Tasbih aku kalungkan
dileherku. Aku meluncur segera ke tempat muazin. Aku mengangkat tangan. Kedua
telinga kupegang.
“ALLOOHU AKBARU ALLOHU AKBARU…,”
Aku melantunkan adzan dengan merdunya. Aku
nampak emosial mendendang suara adzan. Mataku menatap teduh.
“ALLOOHU AKBARU ALLOHU AKBARU......”
Hatiku ikut bergetar. “Allah Maha Besar,”
hatiku meresapi dalam-dalam makna yang terkandung dalam setiap lantunan.
“ASYHADU AN LAA ILAL LOOHU…” Suaraku menggema dan menggucangkan hati. “ASYHADU
AN LAA ILAL LOOHU……”
Hatiku ikut hanyut dalam kedalaman
keagungan-Nya
“Aku bersaksi Tiada Tuhan kecuali hanya
Allah,” Hati dan pikiranku menyatu. Ketika lafal ‘Laa Ilaaha Illal loohu’
menggetarkan hatiku. Aku merasakan gelombang tinggi menerjang. Gelombang itu
menciptakan rasa nyaman dan tenang. Sungguh inikah Keesaan-Nya.
“ASYHADU ANNA MUHAMMADAR ROSUULUL LOOHI…”ASYHADU ANNA MUHAMMADAR
ROSUULUL LOOHI……”
Pikiran dan hati terpampang menamparkan
kelembutan. Nabi Muhammad benar-benar utusan-Nya. “Aku bersaksi bahwa Muhammad
itu adalah utusan Allah.” Detirminasi tinggi pikiranku membayangkan sebuah
sentuhan lembut tangan nabi Muhammad menyambutku.
Ketika lafal mendirikan sholat mulai bergema.
Hatiku menjelma penuh bara yang menggebu.
“HAYYA ‘ALASH SHOLAATI…” lantunku. “HAYYA
‘ALASH SHOLAATI……”
Aku menampakkan kesungguhan dan kebahagiaan
untuk segera mendirikan sholat. Rasanya hati bagai deru yang siap menyapu
hambatan dan halangan dalam aku menjalankan ibadah sholat.
“HAYYA ALAL FALAAHI…” Mataku memejamkan seperkian detik. Aku
mengguncang hati untuk menyelami kedalaman imajinasi. Marilah menuju
keberuntungan. “HAYYA ALAL FALAAHI……”
‘Laa haula walaa quwwata illa billaahil
‘aliyyil ‘adliimi.’ Tiada daya upaya dan kekuatan melainkan dengan pertolongan
Allah Yang Tinggi lagi Maha Agung.
Bait terakhir lantunanku menjelma. Aku
memandang teduh ke arah dinding mimbar. Pikiranku ikut meresapi makna
terdalam.
“ALLOHU AKBARU
ALLOHU AKBARU…LAA ILAAHA ILLAL LOOHU…”
Aku ikut mendengarkan suaraku sendiri, karena
hatiku hanyut dalam setiap lantunan yang kudendangkan. Memang aku begitu
bergema untuk memberikan pujian. Allah Maha Besar, Tiada Tuhan selain Allah.
Aku menurunkan tangan. Aku mengangkat kedua
tanganku dengan posisi mengenadah. Aku berguman ringan hanya saja telingaku
yang mendengarkan dan merasakan:
“ALLOHUMMA ROBBA HAADZIHID DA’WATIT TAAMMATI WASH SHOLAATIL QOOIMATI
AATI SAYYIDANAA MUHAMMADANIL WASIILTA WAL FADHIILATA WASY SYAROFA WAD DAROJATAL
‘AALIYATAR ROFII’ATA WAB’ATSHUL MAQOOMAL MAHMUUDANIL LADZII WA ‘ADTAHU INNAKA
LAA TUKHLIFUL MII’AADA.”
Memang menyenangkan. Rasanya hatiku bagai
badai menerjangkan. Nikmatmya sebuah panggilan. Melantunkan kebesaran Allah
SWT. Hatiku bergetar. Nafasku tertata rapi dan ringan. Sungguh-sungguh
melegakan.
Aku mulai membalikkkan badan. Aku meluncur
kembali ke tempat wudhu.
Ketika aku melangkah ke tempat wudhu. Aku
memperhatikan arah pintu utama masjid. Sungguh suatu kebahagiaan. Orang-orang
berbondong-bondong ke rumah Tuhan. Mereka terlihat ceria dan bersemangat. Itulah
rasanya mendirikan sholat berjama’ah dapat membangunan kerukunan kebersamaan.
Aku segera meluncur ke tempat wudhu. Perlahan
dan pasti aku mengambil tutup genthong air besar. Suara gemercik air mengalir
ringan meluncur lepas. Kedua tanganku menerimanya. Pertama aku membasuh
tanganku dengan mengucapkan niat berwudhu dalam hati.
Aku membaca Basmalah.
“Bismillahir rohmanir
rohiim”
Aku mulai berkumur sebanyak
3 kali. Menghirup air dilubang hidung 3 kali. Membasuh muka 3 kali. Membasuh
tangan dan sela-sela jari hingga siku 3 kali dilanjutkan mengusap kepala dan
telinga bagian dalam dan luar kaki 3 kali.
Aku membasuh kedua kaki
mulai dari ujung jari sampai mata kaki masing-masing sebanyak 3 kali. Akhirnya
aku bangkit dan mengangkat bahu. Tanganku mengenadah ke atas. aku membaca:
“ALLOOHUMMAJ ‘ALNI MINAT TAWWAABIINA WAJ’ALNI MINAL MUTATHOHHIRIINA.”
Aku meluncur segera ke
tempat sholat. Aku mendirikan sholat tahiyatul masjid dua raka’at. Ketika aku
selesai sholat sunat, iqomat mulai berkumandang. Kali ini Man yang melantunkan.
Suaranya agak serak-serak
basah. Dia melantunkannya begitu cepat dan liar. Tetapi aku tak tahu. Rasanya
hatiku bergetar.
“ALLAHU AKBARU ALLAHI AKBARU”
“ASYHADU AN LAA ILAL LOOHU”
“ASYHADU ANNA MUHAMMADAR ROSUULUL LOOHI”
Makmum mulai bangkit dan berdiri. Mereka
menatap teduh. Mereka merapikan shaf-shaf. Sementara aku bangkit dan berdiri
menghampiri shaf kosong disamping Man. Mataku memandang teduh. Ketika itu Syekh
Sidik mulai meluncur ke mimbar imam sholat. Beliau berdiri tegak sambil
memandang teduh ditempat sujud.
“HAYYA ‘ALASH SHOLAATI”
“HAYYA ALAL FALAAHI”
“QOD QOOMATISH SHOLAAH” 2x
“ALLOOHU AKBARU ALLOOHU AKBARU”
“LAA ILAAHA ILLAL LOOHU”
Syekh Sidik membalikkan
badan. Beliau memperhatikan dan mengawasi shof-shof dibelakang. Matanya begitu
teduh. Beliau terlihat berwibawa dan bijaksana. Beliau mengatakan:
“Sawwu shufufakum, fa inna tashfiyah al-shaf min tamam
al-shalah”
Artinya, “Luruskanlah saf kalian,
karena lurusnya saf adalah bagian dari kesempurnaan salat atau bagian dari
mendirikan salat.”
Kemudiam beliau kembali menghadap kiblat
lagi. Beliau berdiri tegap dan sempurna. Beliau diam seperkian. Kupikirkan
beliau mengatakan sesuatu dalam hatinya. Yang pasti niat sholat isya’ tentunya.
Sebagai imam
“Usholli fardodh Isya’i arba'a
raka'atim mustaqbilal qiblati adaa-an imaaman lillahi ta'ala.”
Artinya,
“Saya niat sholat fardhu isya’ empat rakaat
dengan adzan menjadi imam karena Allah Ta'ala.”
Sebagai makmum
“Usholli fardodh isya’i arba'a
raka'atim mustaqbilal qiblati adaa-an makmuman lillahi ta'ala.”
Artinya,
“Saya niat sholat fardhu isya’ empat
rakaat dengan adzan menjadi makmum karena Allah Ta'ala.”
Akhirnya beliau mengangkat
kedua tangan setinggi telinga dengan memulai bertakbirotul ikram.
“ALLOOHU AKBARU.”
Makmum mengikuti gerakannya.
Aku sebagai makmun tak ketinggalan mengikutinya. Ketika Syekh Sidik telah
bersedekap aku baru memulai takbirotul ikram.
“ALLOOHU AKBARU”
Aku kemudian bersedekap
dengan posisi diatas pusat bawah dada. Mataku memandang teduh ke arah tempat
sujud. Telingaku tajam dan konsentrasi mendengarkan bacaan Iman.
Syekh Sidik. Beliau diam
beberapa detik setelah bersedekap. Rasanya dia membatin membaca do’a Iftitah
dilanjutkan Ta’awwudz. Baru kemudian di membaca Surat Al Fatihah dengan jahar
atau keras:
“BISMILLAHIR
RAHMAANIR ROHIIM. AL HAMDU LIL LAAHI ROBBIL ‘AALAMIIN. ARROHMAANIR ROHIIM. MAALIKI
YAUMID DIIN. IYYAAKA NA’BUDU
WA IYYAAKA ANSTA’IN
IHDINASH SHIROOTHOL MUSTAQIIM. SHIROOTHOLLADZIINA AN’AMTA ‘ALAIHIM…”
Aku begitu melayang dalam
lantunannya. Aku meresapi setiap makna bacaannya. Hati dan pikiran terasa bergetar.
Gemuruh gejolak jiwa bagai gelombang menerjang. Aku terpesona dalam lantunan
semesta bahwa Allah SWT Sang Pencipta segalanya.
“…GHOIRIL MAGHDHUUBI ‘ALAIHIM WALAADHDHOOLLIIN.”
Hatiku mengikuti makna bacaan.
Dilantunan terakhir makmum memberikan kata ‘Amin’ untuk mengakhiri do’anya. Aku
tak ketinggalkan membaca ‘Aamiiiin’ untuk mengakhiri do’anya.
Seperkian detik beliau diam.
Kemudian beliau melanjutkan surah Al kafirun.
“BISMILLAHIR RAHMAANIR ROHIIM.
QUL YA
AYYUHAL KAFIIRUN. LAA A’BUDU MAA TA’ BUDUN. WA LAA ANTUM ‘ABIDUN NAMA A’BUD. WA
LAA ANNA ‘ABIDUN WA ‘ABATUM. WA LAA ANTUM ‘ABIDUN NAMA A’BUD. LAKUM DIINUKUM
WALIYADIIN.
Allahu
Akbaru.”
Beliau melorot melakukan ruku’
secara thuma’ninah diikuti makmum. Pososi ruku’ adalah kedua tangan memegang lutut, sedang punggung
dan kepala
dalam posisi rata.
Bacaannya: Subhaana
robbiyal “adlimi wa bi hamdihi 3x secara pelan. Lalu
beliau melakukan gerakan I’tidal secara thuma’ninah diikuti makmum. Posisi
I’tidal yakni bangkit dari ruku’ sambil mengangkat kedua tangan setinggi telinga.
Bacaannya: Sami’al loohu
liman hamidah dengan jahar atau agak keras.
Setelah berdiri sempurna makmum membaca: Robbana lakal hamdu mil us samaawaati walmil ul ardhi wamil u maasyitamin syain ba’du.
Setelah berdiri sempurna makmum membaca: Robbana lakal hamdu mil us samaawaati walmil ul ardhi wamil u maasyitamin syain ba’du.
Lalu beliau melakukan sujud
pertama dengan posisi tubuh melipat. Dahi, hidung, tangan
lutut dan jari kaki menempel dilantai. Makmum mengikutinya.
Bacaannya: Subhana robbiyal
a’laa wa bi hamdihi 3x secara pelan.
Lalu beliau sujud kedua bacaan
seperti diatas. Beliau bangkit berdiri sempurna seperti di awal tadi dilanjutkan
membaca Al fatihah dan surat Al Ikhlas. Kemudian beliau ruku’, I’tidal, sujud
pertama, duduk diantara dua sujud, sujud kedua dilanjutkan duduk tahiyat awal.
Bacaannya,
Attahiyaatul mubaarokaatush
sholawaatuth thoyibaatu lillaah. Assalaamu’alaika ayyuhannabiyyuwa
rohmatullloohi wa barikaatuh. Assalaamu’alainaa wa’alaa ‘ibaadilaahish
shoolihin. Asyhadu anlaa ilaaha illal looh wa asyhadu anna muhammadar
rosuulullooh. Alloohumma sholli ‘alaa sayyidinaa Muhammad. Wa ‘alaa aali
sayyidinaa Muhammadin.
Beliau bangkit berdiri
sempurna seperti di awal tadi. Beliau seperti berguman lirih. Mungkin beliau
membaca dalam hati. Kemudian beliau ruku’, I’tidal, sujud pertama, duduk diantara
dua sujud, sujud kedua.
Dan beliau kembali bangkit
berdiri seperti di awal tadi Kemudian beliau ruku’, I’tidal, sujud pertama,
duduk diantara dua sujud, sujud kedua dilanjutkan duduk tahiyat akhir.
Kamaa shollaita ‘ala
sayyidinaa Ibrroohima wa ‘alaa aali sayyidinaa Ibroohim. Wa
baarik ‘alaa sayyidinaa Muhammadin wa ‘alaa aali sayyidinaa Muhammadin. Kamaa
baarokta ‘alaa sayyidina Ibroohiima wa ‘alaa aali sayyidinaa Ibroohiima fil “aalamiina
innaka hamiidun majiidun.
Allohumma inni a’uudzu bika min
‘adzaabi jahannama wa min ‘adzaabil qobri wa min fitnatil mahyaa wal mamaati wa min syarrifitnatil masiihid
dajjaal.
Kemudian beliau mengucapkan
salam, berpaling ke kanan seraya membaca salam yang pertama di lanjutkan salam kedua berpaling ke kiri.
Aku mengikuti gerakan, karena
aku sebagai makmum wajib mengikuti gerakan tetapi jangan terburu-buru. Tetapi
tertib dan rapi sesuai rukun dan sunnah.
Beliau membalikkan tubuhnya
menghadap kami semua. Beliau seperti berguman lirih. Sepertinya beliau
berzikir.
Aku mengikuti lantunan
dzikirnya. Sungguh hati dan pikiranku menyatu dalam nada irama yang bergelora.
Pikiranku meresapi makna dzikir hingga menebus hatiku. Rasanya hatiku bergetar.
Malam semakin
menjelma. Hatiku bergetar dalam balutan lembut keagungan Sang Pencipta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar