HATIKU BERGETAR - Sastra Education

Breaking

Sabtu, 07 Maret 2020

HATIKU BERGETAR


Habis sholat magrib.
Aku berduduk tenang dan bersila. Tangan kananku sambil memegang tasbih hitam legam. Aku tarik pelan-pelan butiran demi butiran sambil aku berguman.
“ASTAGHHFIRULLOOHA.”
Aku berguman berulang-ulang. Mataku begitu teduh memandang.
Aku bernama Sutasoma. Aku sekarang telah mencapai remaja kira-kira umur empat belas tahun. Semenjak hari itu aku hidup di pesantren Andong Sumawi. Aku dibesarkan oleh syekh Sidikwacana. Aku tumbuh menjadi pribadi tangguh dengan keimanan dan ketaqwaan yang berakhlak mulia.
Bibirku masih berguman pelan dan ringan. Aku membiarkan dzikirku meresap dalam hati dan jiwa. Alunan sederhana memberikan rasa kepercayaan diriku. Begitulah aku menikmati alam raya ciptaan Allah SWT.
Kata "dzikr" menurut bahasa artinya ingat. Sedangkan dzikir menurut pengertian syariat adalah mengingat Allah SWT dengan maksud untuk mendekatkan diri kepadaNya. Kita diperintahkan untuk berdzikir kepada Allah untuk selalu mengingat akan kekuasaan dan kebesaranNya sehingga kita bisa terhindar dari penyakit sombong dan takabbur.
"Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya."
(QS. Al-Ahzab : 41).

Aku merasakan kenikmatan. Pikiranku menjadi tenang dalam keheningan. Hatiku menikmati keindahan seraya terus mengagungkan kebesaran Allah SWT.
Pandanganku masih teduh. Menatap tempat aku bersujud sungguh sangat membuatku begitu tenang dan membahagiakan.
Aku mendadak terkejut. Sebuah tangan menepuk bahu kananku agak kasar.
“Suta,” panggilnya.
Aku menoleh ke arahnya. Rupanya aku baru tahu ternyata temanku Sumantri ada dibelakangku. Mungkin aku tak tahu jika dia ada dibelakangku.
“Kau Man!” kataku. “Ada apa? Aku sampai terkejut. Untung aku tak jantungan.”
“Kau bisa saja bercanda,” katanya. “Hari ini kau ada acara tidak. Aku ingin mengajakmu berburu.”
Aku berfikir sejenak. Tanganku masih menikmati butiran tasbih yang kupegang.
“Apa kau sudah dapat izin dari Syekh Sidik?” tanyaku. “Jika sudah kurasa aku akan ikut. Tetapi jika belum dapat izin, sebaiknya kita minta izin dahulu.”
Mantri agak sedikit ragu. Aku melihat wajahnya begitu tegang. Tangannya terlihat getaran kecil.
“Belum sih,” katanya melemah. “Kita hanya keluar sebentar.”
“Memang kita mau berburu kemana?” tanyaku.
“Hutan Gumbala,” katanya.
Aku mendadak syok. Tanganku sampai berhenti menarik butiran tasbihku.
“Kita tak diizinkan kesana bukan,” kataku. “Disana terlalu berbahaya. Banyak binatang buas yang menunggunya.”
Aku menatap sinis padanya. Mataku memberikan intimidasi kuat.
“Aku tahu itu,” kata Man. “Tetapi apa kau tak bosan selama ini kita hanya di wilayah pesantren saja?”
Man mulai merayu. Dia memberi argument untuk meluluhkan hatiku.
“Bosan,” kataku mengulang. “Aku paham maksudmu. Tetapi kau tahu bukan konsukwensinya.”
“Aku mengerti,” kata Man. “Tetapi apa kau tak tertarik mengenai Uwoh Amral? Uwoh yang katanya memilihkan kekuatan. Siapa tahu kita beruntung bisa mendapatkan di hutan Gumbala?”
Mata Man berbinar-binar menatapku. Dia memberikan ekspresi ceria untuk melembutkan hatiku.
“Uwoh Amral,” kataku mengulang kembali. “Maksudmu uwoh yang muncul sekali dalam tumbuhan. Tidak mudah menemukan uwoh seperti itu. Hanya keberuntungan saja untuk mendapatkan Uwoh Amral.”
Aku menatapnya. Man terlihat diam seperkian detik. Dia memainkan bola matanya. Sepertinya dia berfikir sesaat.
“Apa kau tak tertarik mengenai Uwoh Amral?” katanya menegaskan. “Dengan uwoh itu kita bisa mendapatkan kekuatan.”
“Tidak,” kataku. “Bagiku kekuatan hanya perlindungan dan penolong saja. kebanyakan kekuatan hanya menciptakan kesombongan. Padahal kau tahu bukan kesombongan menciptakan malapetaka.”
Man terlihat mengangguk-anggukkan kepala. Dia terlihat seperti orang bodoh yang terdiam. Dia nampak lesu memandang.
“Baiklah,” katanya memicingkan mata. “Kukira kau akan tertarik. Tetapi rasanya memang percuma aku mengajakmu. Lebih baik aku pergi sendiri saja.”
Man terlihat kesal. Dahinya mengerut keras. Ekspresinya marah. Dia memaling wajahnya. Dia seperti membuat perumpahan untuk meluluhkan hatiku. Tetapi aku akhirnya mengikutinya juga.
“Baik,” kataku. “Tetapi aku minta jangan malam ini. Kurasa kita bisa berburu besok siang. Malam ini aku ingin khusyu’ beribadah.”
Ekspresi kembali ceria. Man terlihat bahagia. Raut wajahnya kembali berbinar-binar.
“Aku ikut saja,” katanya. “Besok siang juga tak apa? Nah ini baru kawanku. Aku tahu pasti kau akan setuju bila aku sedikit kesal padamu. aku tahu sikapmu Suta kau terlalu baik. Jadi kau tak mungkin membiarkanku pergi sendiri.” 
Aku hanya menggeleng-gelangkan kepala. Aku diam seperkian detik. 
“Kita tidak usah minta izin pada syekh Sidik,” kataku. “Kita akan pergi diam-diam. Kemungkinan habis zuhur kita melancarkan aksi kita.”
Man mendadak syok. Dia tak percaya temannya yang akhlak baik memiliki jiwa bandel juga.
“Kenapa kita tidak minta izin pada Syekh Sidik?” kataku meragu. “Bukankah kau akan pergi setelah mendapatkan izin dari beliau.”
“Aku tak mau berdebat,” kataku sepihak. “Hutan Gumbala merupakan tempat terlarang bagi santri Andong Sumawi. Tetapi rasanya aku juga ingin tahu mengenai situasi diluar pesantren.”
Man tersenyum simpul. Dia mengekspresikan dirinya yang ceria.
“Ahh…” gumannya. “Memang kita harus refresing sekali-kali biar tidak bosan. Tetapi mengenai hukumannya memang kau tak mengkhawatirkannya.”
“Itu sudah resiko,” kataku. “Ini adalah perjudian kita, bila kita ketahuan resikonya adalah hukuman tetapi bila kita aman maka kita akan selamat dari hukuman.”
Man menelan ludah. Tak disangka temannya yang tenang ternyata punya ketegasan luar biasa. Man tak sempat berfikir panjang lebar, dia hanya menggeleng-gelengkan kepala saja. Rasanya dia terbungkam kuat dari sebuah tekanan luar biasa.
Seperkian kami terdiam. Aku dan Man saling pandang memandang.
“Suta,”panggil Syekh Sidik yang baru datang. “Segera adzan! Ini sudah masuk waktu isya’.”
“Baik aki!” kataku.
Aku bangkit dari duduk. Tasbih aku kalungkan dileherku. Aku meluncur segera ke tempat muazin. Aku mengangkat tangan. Kedua telinga kupegang.
ALLOOHU AKBARU ALLOHU AKBARU…,”
Aku melantunkan adzan dengan merdunya. Aku nampak emosial mendendang suara adzan. Mataku menatap teduh.
“ALLOOHU AKBARU ALLOHU AKBARU......”
Hatiku ikut bergetar. “Allah Maha Besar,” hatiku meresapi dalam-dalam makna yang terkandung dalam setiap lantunan.  
“ASYHADU AN LAA ILAL LOOHU…” Suaraku menggema dan menggucangkan hati. “ASYHADU AN LAA ILAL LOOHU……”
Hatiku ikut hanyut dalam kedalaman keagungan-Nya
“Aku bersaksi Tiada Tuhan kecuali hanya Allah,” Hati dan pikiranku menyatu. Ketika lafal ‘Laa Ilaaha Illal loohu’ menggetarkan hatiku. Aku merasakan gelombang tinggi menerjang. Gelombang itu menciptakan rasa nyaman dan tenang. Sungguh inikah Keesaan-Nya.
“ASYHADU ANNA MUHAMMADAR ROSUULUL LOOHI…”ASYHADU ANNA MUHAMMADAR ROSUULUL LOOHI……”
Pikiran dan hati terpampang menamparkan kelembutan. Nabi Muhammad benar-benar utusan-Nya. “Aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah utusan Allah.” Detirminasi tinggi pikiranku membayangkan sebuah sentuhan lembut tangan nabi Muhammad menyambutku.
Ketika lafal mendirikan sholat mulai bergema. Hatiku menjelma penuh bara yang menggebu. 
HAYYA ‘ALASH SHOLAATI…” lantunku. “HAYYA ‘ALASH SHOLAATI……”
Aku menampakkan kesungguhan dan kebahagiaan untuk segera mendirikan sholat. Rasanya hati bagai deru yang siap menyapu hambatan dan halangan dalam aku menjalankan ibadah sholat.
“HAYYA ALAL FALAAHI…” Mataku memejamkan seperkian detik. Aku mengguncang hati untuk menyelami kedalaman imajinasi. Marilah menuju keberuntungan.  HAYYA ALAL FALAAHI……”
‘Laa haula walaa quwwata illa billaahil ‘aliyyil ‘adliimi.’ Tiada daya upaya dan kekuatan melainkan dengan pertolongan Allah Yang Tinggi lagi Maha Agung.
Bait terakhir lantunanku menjelma. Aku memandang teduh ke arah dinding mimbar. Pikiranku ikut meresapi makna terdalam. 
 ALLOHU AKBARU ALLOHU AKBARU…LAA ILAAHA ILLAL LOOHU…”
Aku ikut mendengarkan suaraku sendiri, karena hatiku hanyut dalam setiap lantunan yang kudendangkan. Memang aku begitu bergema untuk memberikan pujian. Allah Maha Besar, Tiada Tuhan selain Allah.
Aku menurunkan tangan. Aku mengangkat kedua tanganku dengan posisi mengenadah. Aku berguman ringan hanya saja telingaku yang mendengarkan dan merasakan:
“ALLOHUMMA ROBBA HAADZIHID DA’WATIT TAAMMATI WASH SHOLAATIL QOOIMATI AATI SAYYIDANAA MUHAMMADANIL WASIILTA WAL FADHIILATA WASY SYAROFA WAD DAROJATAL ‘AALIYATAR ROFII’ATA WAB’ATSHUL MAQOOMAL MAHMUUDANIL LADZII WA ‘ADTAHU INNAKA LAA TUKHLIFUL MII’AADA.”
Memang menyenangkan. Rasanya hatiku bagai badai menerjangkan. Nikmatmya sebuah panggilan. Melantunkan kebesaran Allah SWT. Hatiku bergetar. Nafasku tertata rapi dan ringan. Sungguh-sungguh melegakan.
Aku mulai membalikkkan badan. Aku meluncur kembali ke tempat wudhu.
Ketika aku melangkah ke tempat wudhu. Aku memperhatikan arah pintu utama masjid. Sungguh suatu kebahagiaan. Orang-orang berbondong-bondong ke rumah Tuhan. Mereka terlihat ceria dan bersemangat. Itulah rasanya mendirikan sholat berjama’ah dapat membangunan kerukunan kebersamaan.
Aku segera meluncur ke tempat wudhu. Perlahan dan pasti aku mengambil tutup genthong air besar. Suara gemercik air mengalir ringan meluncur lepas. Kedua tanganku menerimanya. Pertama aku membasuh tanganku dengan mengucapkan niat berwudhu dalam hati.
Aku membaca Basmalah.
“Bismillahir rohmanir rohiim”
Aku mulai berkumur sebanyak 3 kali. Menghirup air dilubang hidung 3 kali. Membasuh muka 3 kali. Membasuh tangan dan sela-sela jari hingga siku 3 kali dilanjutkan mengusap kepala dan telinga bagian dalam dan luar kaki 3 kali. 
Aku membasuh kedua kaki mulai dari ujung jari sampai mata kaki masing-masing sebanyak 3 kali. Akhirnya aku bangkit dan mengangkat bahu. Tanganku mengenadah ke atas. aku membaca:
ALLOOHUMMAJ ‘ALNI MINAT TAWWAABIINA WAJ’ALNI MINAL MUTATHOHHIRIINA.”
Aku meluncur segera ke tempat sholat. Aku mendirikan sholat tahiyatul masjid dua raka’at. Ketika aku selesai sholat sunat, iqomat mulai berkumandang. Kali ini Man yang melantunkan.
Suaranya agak serak-serak basah. Dia melantunkannya begitu cepat dan liar. Tetapi aku tak tahu. Rasanya hatiku bergetar.
ALLAHU AKBARU ALLAHI AKBARU”
“ASYHADU AN LAA ILAL LOOHU”
“ASYHADU ANNA MUHAMMADAR ROSUULUL LOOHI”
Makmum mulai bangkit dan berdiri. Mereka menatap teduh. Mereka merapikan shaf-shaf. Sementara aku bangkit dan berdiri menghampiri shaf kosong disamping Man. Mataku memandang teduh. Ketika itu Syekh Sidik mulai meluncur ke mimbar imam sholat. Beliau berdiri tegak sambil memandang teduh ditempat sujud.
“HAYYA ‘ALASH SHOLAATI”
“HAYYA ALAL FALAAHI”
“QOD QOOMATISH SHOLAAH” 2x
“ALLOOHU AKBARU ALLOOHU AKBARU”
“LAA ILAAHA ILLAL LOOHU”
Syekh Sidik membalikkan badan. Beliau memperhatikan dan mengawasi shof-shof dibelakang. Matanya begitu teduh. Beliau terlihat berwibawa dan bijaksana. Beliau mengatakan:
Sawwu shufufakum, fa inna tashfiyah al-shaf min tamam al-shalah
Artinya, “Luruskanlah saf kalian, karena lurusnya saf adalah bagian dari kesempurnaan salat atau bagian dari mendirikan salat.”
Kemudiam beliau kembali menghadap kiblat lagi. Beliau berdiri tegap dan sempurna. Beliau diam seperkian. Kupikirkan beliau mengatakan sesuatu dalam hatinya. Yang pasti niat sholat isya’ tentunya.  
Sebagai imam
“Usholli fardodh Isya’i arba'a raka'atim mustaqbilal qiblati adaa-an imaaman lillahi ta'ala.”
Artinya,
“Saya niat sholat fardhu isya’ empat rakaat dengan adzan menjadi imam karena Allah Ta'ala.”
Sebagai makmum
“Usholli fardodh isya’i arba'a raka'atim mustaqbilal qiblati adaa-an makmuman lillahi ta'ala.”
Artinya,
“Saya niat sholat fardhu isya’ empat rakaat dengan adzan menjadi makmum karena Allah Ta'ala.”
Akhirnya beliau mengangkat kedua tangan setinggi telinga dengan memulai bertakbirotul ikram.
“ALLOOHU AKBARU.”
Makmum mengikuti gerakannya. Aku sebagai makmun tak ketinggalan mengikutinya. Ketika Syekh Sidik telah bersedekap aku baru memulai takbirotul ikram.
“ALLOOHU AKBARU”
Aku kemudian bersedekap dengan posisi diatas pusat bawah dada. Mataku memandang teduh ke arah tempat sujud. Telingaku tajam dan konsentrasi mendengarkan bacaan Iman.
Syekh Sidik. Beliau diam beberapa detik setelah bersedekap. Rasanya dia membatin membaca do’a Iftitah dilanjutkan Ta’awwudz. Baru kemudian di membaca Surat Al Fatihah dengan jahar atau keras:
BISMILLAHIR RAHMAANIR ROHIIM. AL HAMDU LIL LAAHI ROBBIL AALAMIIN. ARROHMAANIR ROHIIM. MAALIKI YAUMID DIIN. IYYAAKA NABUDU WA IYYAAKA ANSTAIN IHDINASH SHIROOTHOL MUSTAQIIM. SHIROOTHOLLADZIINA ANAMTA ALAIHIM…”
Aku begitu melayang dalam lantunannya. Aku meresapi setiap makna bacaannya. Hati dan pikiran terasa bergetar. Gemuruh gejolak jiwa bagai gelombang menerjang. Aku terpesona dalam lantunan semesta bahwa Allah SWT Sang Pencipta segalanya.
“…GHOIRIL MAGHDHUUBI ALAIHIM WALAADHDHOOLLIIN.”
Hatiku mengikuti makna bacaan. Dilantunan terakhir makmum memberikan kata ‘Amin’ untuk mengakhiri do’anya. Aku tak ketinggalkan membaca ‘Aamiiiin’ untuk mengakhiri do’anya.
Seperkian detik beliau diam. Kemudian beliau melanjutkan surah Al kafirun.
“BISMILLAHIR RAHMAANIR ROHIIM.
QUL YA AYYUHAL KAFIIRUN. LAA A’BUDU MAA TA’ BUDUN. WA LAA ANTUM ‘ABIDUN NAMA A’BUD. WA LAA ANNA ‘ABIDUN WA ‘ABATUM. WA LAA ANTUM ‘ABIDUN NAMA A’BUD. LAKUM DIINUKUM WALIYADIIN.
Allahu Akbaru.”
Beliau melorot melakukan ruku’ secara thuma’ninah diikuti makmum. Pososi ruku’ adalah kedua tangan memegang lutut, sedang punggung dan kepala dalam posisi rata.
Bacaannya: Subhaana robbiyal “adlimi wa bi hamdihi 3x secara pelan. Lalu beliau melakukan gerakan I’tidal secara thuma’ninah diikuti makmum. Posisi I’tidal yakni bangkit dari ruku’ sambil mengangkat kedua tangan setinggi telinga.
Bacaannya: Sami’al loohu liman hamidah dengan jahar atau agak keras.
Setelah berdiri sempurna makmum membaca: Robbana lakal hamdu mil us samaawaati walmil ul ardhi wamil u maasyitamin syain ba’du.
Lalu beliau melakukan sujud pertama dengan posisi tubuh melipat. Dahi, hidung, tangan lutut dan jari kaki menempel dilantai. Makmum mengikutinya.
Bacaannya: Subhana robbiyal a’laa wa bi hamdihi 3x secara pelan.
Lalu beliau sujud kedua bacaan seperti diatas. Beliau bangkit berdiri sempurna seperti di awal tadi dilanjutkan membaca Al fatihah dan surat Al Ikhlas. Kemudian beliau ruku’, I’tidal, sujud pertama, duduk diantara dua sujud, sujud kedua dilanjutkan duduk tahiyat awal.
Bacaannya,
Attahiyaatul mubaarokaatush sholawaatuth thoyibaatu lillaah. Assalaamu’alaika ayyuhannabiyyuwa rohmatullloohi wa barikaatuh. Assalaamu’alainaa wa’alaa ‘ibaadilaahish shoolihin. Asyhadu anlaa ilaaha illal looh wa asyhadu anna muhammadar rosuulullooh. Alloohumma sholli ‘alaa sayyidinaa Muhammad. Wa ‘alaa aali sayyidinaa Muhammadin.
Beliau bangkit berdiri sempurna seperti di awal tadi. Beliau seperti berguman lirih. Mungkin beliau membaca dalam hati. Kemudian beliau ruku’, I’tidal, sujud pertama, duduk diantara dua sujud, sujud kedua.
Dan beliau kembali bangkit berdiri seperti di awal tadi Kemudian beliau ruku’, I’tidal, sujud pertama, duduk diantara dua sujud, sujud kedua dilanjutkan duduk tahiyat akhir.
Kamaa shollaita ‘ala sayyidinaa Ibrroohima wa ‘alaa aali sayyidinaa Ibroohim. Wa baarik ‘alaa sayyidinaa Muhammadin wa ‘alaa aali sayyidinaa Muhammadin. Kamaa baarokta ‘alaa sayyidina Ibroohiima wa ‘alaa aali sayyidinaa Ibroohiima fil “aalamiina innaka hamiidun majiidun.
Allohumma inni a’uudzu bika min ‘adzaabi jahannama wa min ‘adzaabil qobri wa min fitnatil mahyaa wal mamaati wa min syarrifitnatil masiihid dajjaal.
Kemudian beliau mengucapkan salam, berpaling ke kanan seraya membaca salam yang pertama di lanjutkan salam kedua berpaling ke kiri.
Aku mengikuti gerakan, karena aku sebagai makmum wajib mengikuti gerakan tetapi jangan terburu-buru. Tetapi tertib dan rapi sesuai rukun dan sunnah.
Beliau membalikkan tubuhnya menghadap kami semua. Beliau seperti berguman lirih. Sepertinya beliau berzikir.
Aku mengikuti lantunan dzikirnya. Sungguh hati dan pikiranku menyatu dalam nada irama yang bergelora. Pikiranku meresapi makna dzikir hingga menebus hatiku. Rasanya hatiku bergetar.
Malam semakin menjelma. Hatiku bergetar dalam balutan lembut keagungan Sang Pencipta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar