TAWADHU' - Sastra Education

Breaking

Minggu, 20 November 2016

TAWADHU'





I.          KEUTAMAAN TAWADHU

1.         Merupakan karakter orang-orang yang berkelas, orang-orang yang mulia. Akhlak yang hanya dimiliki oleh orang-orang pilihan. Imam Syafi’i mengatakan:
“Ketawadhuan adalah salah satu akhlaknya orang-orang yang mulia.”
2.         Ini adalah akhlak yang akan mengangkat derajat kita di dunia dan di akhirat. Nabi bersabda dalam HR. Muslim:
“Tidaklah seseorang bertawadhu karena ALLAH kecuali ALLAH akan angkat derajatnya di dunia dan di akhirat.”
Kita akan simpati dengan orang yang rendah hati, yang tawadhu. Dan kita tidak akan suka kepada orang yang suka pamer, menyombongkan diri. Bahkan orang yang sombong pun tidak suka kalau temannya suka pamer, suka besar kalau berbicara. Oleh karena itu, semakin kita tawadhu, semakin tidak ingin mengungkit-ungkit maka ALLAH akan mengangkat kedudukan kita. Orang akan senang.
Jadi kalau ingin mulia di hadapan ALLAH dan di hadapan manusia maka marilah kita

II.        HUKUM MEMILIKI SIFAT TAWADHU’
Hukumnya wajib, karena Nabi bersabda dalam HR. Muslim:
“Sesungguhnya ALLAH telah mewahyukan kepada diriku agar aku memerintahkan kalian supaya bertawadhu’”
Hukum asal perintah mengandung hukum wajib sampai ada dalil yang memalingkannya. Kalau kita memiliki sifat ini maka kita akan mendapatkan pahala. Sebaliknya jika kita tidak memilikinya di dalam hati kita maka kita berdosa.
III.      MAKNA TAWADHU’
1.         Secara bahasa, tawadhu berasal dari bahasa arab, التذلل والتخاشع , artinya kerendahan dan kehinaan.  Orang arab biasa mengatakan تواضعت الأرض tanah itu tawadhu, maksudnya permukaan tanah itu lebih rendah daripada tanah yang ada di sekelilingnya.
2.         Secara istilah agama, tawadhu memiliki dua makna/unsur:
1.     Tawadhu kepada ALLAH dan Rasulnya, ini yang paling utama
2.     Tawadhu kepada manusia.

1.         TAWADHU’ kepada ALLAH dan RASUL-NYA
Yaitu sikap tunduk kepada kebenaran/menerima kebenaran yang berasal dari ALLAH dan Rasul-Nya dengan penuh kerendahan hati.
Artinya orang yang tawadhu adalah orang yang menghinakan dirinya di hadapan ALLAH dan Rasul-Nya, menerima kebenaran yang datang dari ALLAH dan Rasul-Nya. Ini adalah tawadhu yang pertama dan yang paling utama.
Dalilnya adalah sabda Nabi dalam HR. Muslim:
“Tidak akan masuk surga orang yang memiliki sifat sombong di dalam hatinya walaupun sebesar biji dzarrah (partikel terkecil yang ada di muka bumi ini).” Para sahabat kaget dan bertanya kepada beliau: “Wahai Rasulullah, bagaimana menurut engkau jika ada seseorang yang suka memakai pakaian yang bagus dan sandal/alas kaki yang bagus?” Maka beliau menjawab: “Sesungguhnya ALLAH Dzat Yang Maha Indan dan menyukai segala bentuk keindahan. Kesombongan itu adalah sikap menolak kebenaran dan meremehkan manusia.
Pembahasannya tentang tawadhu namun haditsnya tentang sombong, sombong adalah lawan dari tawadhu’. Kalau sombong bermakna menolak kebenaran maka tawadhu adalah sikap tunduk dan menerima kebenaran dengan penuh kerendahan hati. Jika kesombongan memiliki dua unsur maka tawadhu’ juga memiliki dua unsur.
Ini yang harus kita camkan dengan baik-baik, karena mayoritas umat islam berfikir bahwa tawadhu hanya berkaitan dengan hubungan sesama manusia. Adapun hubungan dia dengan ALLAH maka diacuhkan. Dan hal ini keliru.
Ketika kita berbicara tentang tawadhu, sebelum kita berbicara hablun minan naas maka kita harus berbicara tentang ALLAH dan Rasul-Nya. ALLAH berfirman dalam QS. An Nuur ayat 51, ini adalah syiarnya orang yang tawadhu:
Sesungguhnya jawaban dari orang-orang yang beriman jika diajak kembali kepada ALLAH dan Rasul-Nya agar Rasul memberikan hukum di tengah kehidupan mereka, mereka hanya menjawab: “Sami’na wa atho’na (Kami dengar dan kami ta’at).”
Inilah karakter orang-orang yang tawadhu, mereka berani menanggalkan ego mereka kalau ALLAH dan Rasul-Nya sudah berbicara. Jadi kalau kita ingin jadi orang tawadhu, lalu kita dikasih tahu ternyata apa yang dikerjakan kita selama ini ada yang keliru maka kita jawab sami’na wa atho’na. Kalau sudah di hadapan Al Qur’an dan Hadits maka tidak ada pikir-pikir lagi.
Membuat manusia mengakui agama kita ini mudah, membuat negara mengakui agama kita mudah. Yang sulit adalah membuat ALLAH mengakui keislaman dan keimanan kita.
ALLAH berfirman dalam QS. An Nisa ayat 65, inilah hatinya orang-orang tawadhu:
“Demi Rabb-mu wahai Muhammad, mereka tidak akan beriman sampai mereka menjadikan engkau wahai Muhammad rujukan/sumber hukum di tengah-tengah mereka, dan tidak ada rasa berat hati dalam dada mereka, dan mereka menerima tuntunan itu dengan totalitas dan penuh kerendahan hati.”
Dan ini adalah inti dari Islam, yaitu ISTISLAM, artinya berserah diri.
Oleh karena itu, ulama mendefiniskan Islam dengan berserah diri kepada ALLAH, tunduk kepada perintah-perintah ALLAH, serta berlepas diri dari kesyirikan dan pelakunya.

Ilustrasi:
Seorang tentara yang menyerahkan diri kepada musuhnya, maka ia akan melakukan apa yang diperintahkan oleh musuhnya tersebut. Kenapa?? Karena ia sudah menyerah.
Itulah Islam. Ketika kita menyebutkan agama kita adalah Islam, kita dicatat oleh malaikat Raqib dan Atid bahwa kita sedang memproklamirkan bahwa kita menyerahkan diri kita kepada Rabbul ‘aalamiin. Kita siap diatur dimana dan kapan saja dan bagaimana peraturannya.
Oleh karena itu, orang yang fasih mengatakan bahwa dirinya muslim/muslimah maka ia tidak akan membangkang, ia tidak akan menolak kebenaran, karena semuanya akan ditanya di hari akhir nanti.
Itu adalah pilihan kita sendiri, tidak ada yang memaksa kita untuk mengucapkan hal ini. Namun ketika kita sudah mengucapkan bahwa kita seorang muslim maka kita harus jujur dengan mengamalkan konsekuensinya.
Tawadhu adalah hakikat dari Islam itu sendiri.
Dan ingat kalau tentara pasti akan dikerjai oleh musuhnya namun tidak dengan ALLAH, agama Islam/syariat ini untuk kepentingan kita. Sebaliknya barangsiapa yang berpaling dari agama ALLAH maka ia akan menjalani kehidupan yang sengsara. ALLAH berfirman dalam QS. Thaha ayat 124-126 :
“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta” (124) Berkatalah ia: “Ya Rabb-ku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?” (125) Allah berfirman: “Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamu pun dilupakan” (126)
Dan ini menunjukkan sebuah kekeliruan orang-orang zaman sekarang ketika mengatakan: yang penting kita baik sama orang, adapun urusan shalat itu urusan nanti. Buat apa shalat kalau tidak bisa bertawadhu kepada manusia?!
Kalau kita tidak bisa bertawadhu kepada ALLAH yang telah menciptakan kita, yang telah memberikan nikmat yang sangat banyak kepada kita, maka kita tidak akan bisa bertawadhu kepada manusia yang belum memberikan kita apa-apa.
Sebaik-baik orang terhadap manusia/makhluk, namun ia tidak tawadhu kepada ALLAH maka orang ini tidak bisa dikatakan orang yang baik.

Ilustrasi:
Seorang pembantu yang baik dengan sesama pembantu atau orang lain, namun ia tidak ta’at kepada perintah majikannya maka itu bukan pembantu yang baik.
Kalau kita tidak mau ta’at kepada perintah ALLAH, walaupun kita baik dalam sosial maka kita belum bisa dikatakan orang yang tawadhu’.
Tawadhu adalah prinsip para Ulama  terdahulu, contohnya:
Abdullah bin Abbas pernah menghalalkan riba’ fadhl padahal beliau adalah tokoh besar namun tergelincir, salah. Lalu salah satu sahabat beliau yang bernama Abu Sa’id Al Khudry untuk mengklarifikasi fatwa beliau dengan membawakan hadits Nabi. Ketika mengetahui hal ini haram, maka beliau mengatakan: “Semoga ALLAH membalas engkau dengan surga karena engkau telah mengingatkanku perkara yang aku lupa. Aku memohon ampun kepada ALLAH dan bertaubat kepada-Nya.”
Kita ambil contoh iblis dalam QS. Al Baqarah ayat 34:
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat, sujudlah kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Ia enggandan takabbur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.”
Ketika iblis tidak mau ta’at kepada perintah ALLAH, hanya satu perintah, maka ALLAH langsung memvonis sombong dan termasuk orang-orang kafir. Kasusnya iblis berkaitan dengan hubungan kepada ALLAH. Padahal sebelum kasus ini terjadi, iblis tidak suka mengganggu makhluk yang lain. Iblis suka mengganggu manusia setelah kasus ini.
ALLAH berfirman dalam QS. Al Isra ayat 62:
Ia (iblis) berkata, "Terangkanlah kepadaku, inikah orangnya yang Engkau muliakan daripada aku? Sekiranya Engkau memberi waktu kepadaku sampai hari kiamat, pasti akan aku sesatkan keturunannya, kecuali sebagian kecil.”

Ulama kita kalau di kritik orang, mereka mengatakan: rahimallahumra’an ahdaa ilayya ‘uyuubii, “Semoga ALLAH merahmati seseorang yang memberikan hadiah kepada diriku berupa kesalahan-kesalahanku.”
Kalau kita punya kebiasaan menolak kebenaran, dikhawatirkan sampai pada suatu titik, Lebih baik saya masuk neraka daripada menerima kebenaran. Lebih baik saya diadzab daripada saya harus menjilat ludah saya kembali. Sebagaimana iblis tidak mau minta maaf atas kedurhakaannya walaupun ia tahu bahwa ia akan diadzab oleh ALLAH dengan adzab yang pedih
2.         TAWADHU’ kepada MANUSIA
Puncak ketawadhuan kepada manusia sebagaimana yang dijelaskan Hasan Al Basri:
“Orang yang keluar dari rumahnya dan tidaklah ia bertemu muslim yang lain kecuali ia merasa saudaranya itu lebih baik dari dirinya.”
Ia merasa saudaranya itu lebih beriman dari dia. Itu adalah profil orang-orang yang telah mencapai puncak ketawadhuan.
Kita tidak bisa meng-claim diri kita lebih baik dari orang lain. Diantara beberapa alasannya:
1.         Kita tidak dapat menghitung/mengetahui seluruh amalan yang dikerjakan saudara kita itu. Kalau kita tidak tahu amalan-amalan yang saudara kita kerjakan, bagaimana kita bisa meng-klaim diri kita lebih baik darinya. Bisa jadi ia melakukan dosa di hadapan kita, dan pada malam harinya ia menangis menyesali dosanya itu. Mungkin kita unggul dari satu sisi, namun belum tentu kita unggul dari sisi yang lain.

2.         Amal ibadah kita belum tentu diterima dan dosa-dosa saudara kita bisa jadi diampuni oleh ALLAH.

3.         Anggaplah ibadah kita lebih banyak daripada dia, namun kita tidak tahu amalan hatinya. Kita mungkin lebih sering beribadah kepada ALLAH namun hati kita sering hasad (dengki).
Ibnu Rajab mengatakan:  “Amalan hati pahalanya lebih besar daripada amalan anggota badan.” Ulama mengatakan: “Keikhlasan itu lebih besar pahalanya daripada amalan itu sendiri.”
Mana yang lebih mulia di sisi ALLAH, Abu Bakar Ash Shidiq atau Abdullah bin Amr bin Ash? Semua ulama sepakat bahwa yang paling mulia di sisi ALLAH adalah Abu Bakar walaupun yang lebih banyak beribadah Abdullah bin Amr bin Ash.
Imam Al Muzanni mengatakan:
“Abu Bakar tidak mengalahkan para sahabat yang lain dari sisi shalat dan puasanya, namun karena amalan yang menancap kokoh di dalam hatinya.”
Keikhlasan Abu Bakar diabadikan ALLAH dalam surat Al Lail ayat 17-18:
“Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu.” (17) “Yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya.”  (18)
4.         Anggaplah saat ini ibadah dan amalan hati kita lebih baik daripada saudara kita, namun kita tetap tidak bisa meng-claim bahwa kita lebih baik daripada dia karena kita tidak tahu bagaimana kondisi kita dan dia saat meninggal dunia. Bisa jadi dia bertaubat dan mendapatkan husnul khatimah, dan kita terjatuh dan mengalami su’ul khatimah.
_________
Referensi:
1.         Al Qur’an
2.         Shahih Muslim
3.         Tawadhu karya Syeikh Salim Al Hilaly
4.          Ushuluts Tsalatsah karya Syeikh Muhammad At Tamimi
5.         Jami ‘ulum wal hikam Imam Ibnu Rajab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar