I.
KEUTAMAAN TAWADHU’
1.
Merupakan karakter
orang-orang yang berkelas, orang-orang yang mulia. Akhlak yang hanya dimiliki
oleh orang-orang pilihan.
Imam Syafi’i mengatakan:
“Ketawadhuan
adalah salah satu akhlaknya orang-orang yang mulia.”
2.
Ini adalah akhlak yang akan mengangkat derajat
kita di dunia dan di akhirat. Nabi bersabda dalam HR. Muslim:
“Tidaklah
seseorang bertawadhu karena ALLAH kecuali ALLAH akan angkat derajatnya di dunia
dan di akhirat.”
Kita akan simpati dengan
orang yang rendah hati, yang tawadhu.
Dan kita tidak akan suka kepada orang yang suka pamer, menyombongkan diri.
Bahkan orang yang sombong pun tidak suka kalau temannya suka pamer, suka besar
kalau berbicara. Oleh karena itu, semakin kita tawadhu’,
semakin tidak ingin mengungkit-ungkit maka ALLAH akan mengangkat kedudukan
kita. Orang akan senang.
Jadi kalau ingin mulia di
hadapan ALLAH dan di hadapan manusia maka marilah kita
II.
HUKUM MEMILIKI SIFAT TAWADHU’
Hukumnya wajib, karena
Nabi bersabda dalam HR. Muslim:
“Sesungguhnya
ALLAH telah mewahyukan kepada diriku agar aku memerintahkan kalian supaya
bertawadhu’”
Hukum asal perintah
mengandung hukum wajib sampai ada dalil yang memalingkannya. Kalau kita
memiliki sifat ini maka kita akan mendapatkan pahala. Sebaliknya jika kita
tidak memilikinya di dalam hati kita maka kita berdosa.
III.
MAKNA TAWADHU’
1.
Secara bahasa, tawadhu’ berasal dari bahasa arab, التذلل والتخاشع , artinya kerendahan dan kehinaan. Orang
arab biasa mengatakan تواضعت الأرض
tanah itu tawadhu’, maksudnya
permukaan tanah itu lebih rendah daripada tanah yang ada di sekelilingnya.
2.
Secara istilah agama, tawadhu’ memiliki dua makna/unsur:
1.
Tawadhu
kepada ALLAH dan Rasulnya, ini yang paling utama
2.
Tawadhu
kepada manusia.
1.
TAWADHU’ kepada ALLAH dan RASUL-NYA
Yaitu sikap tunduk kepada
kebenaran/menerima kebenaran yang berasal dari ALLAH dan Rasul-Nya dengan penuh
kerendahan hati.
Artinya orang yang tawadhu’ adalah orang yang
menghinakan dirinya di hadapan ALLAH dan Rasul-Nya, menerima kebenaran yang
datang dari ALLAH dan Rasul-Nya. Ini adalah tawadhu’
yang pertama dan yang paling utama.
Dalilnya adalah sabda Nabi
dalam HR. Muslim:
“Tidak
akan masuk surga orang yang memiliki sifat sombong di dalam hatinya walaupun
sebesar biji dzarrah (partikel terkecil yang ada di muka bumi ini).” Para
sahabat kaget dan bertanya kepada beliau: “Wahai Rasulullah, bagaimana
menurut engkau jika ada seseorang yang suka memakai pakaian yang bagus dan
sandal/alas kaki yang bagus?” Maka beliau menjawab: “Sesungguhnya ALLAH
Dzat Yang Maha Indan dan menyukai segala bentuk keindahan. Kesombongan itu adalah sikap menolak kebenaran dan
meremehkan manusia.”
Pembahasannya tentang tawadhu’ namun haditsnya tentang
sombong, sombong adalah lawan dari tawadhu’.
Kalau sombong bermakna menolak kebenaran maka tawadhu’ adalah sikap tunduk dan
menerima kebenaran dengan penuh kerendahan hati. Jika kesombongan memiliki dua
unsur maka tawadhu’ juga memiliki dua unsur.
Ini yang harus kita camkan
dengan baik-baik, karena mayoritas umat islam berfikir bahwa tawadhu’ hanya berkaitan dengan
hubungan sesama manusia. Adapun hubungan dia dengan ALLAH maka diacuhkan. Dan
hal ini keliru.
Ketika kita berbicara tentang
tawadhu, sebelum kita berbicara hablun
minan naas maka kita harus berbicara tentang ALLAH dan Rasul-Nya. ALLAH
berfirman dalam QS. An Nuur ayat 51, ini adalah syiarnya orang yang tawadhu’:
Sesungguhnya
jawaban dari orang-orang yang beriman jika diajak kembali kepada ALLAH dan
Rasul-Nya agar Rasul memberikan hukum di tengah kehidupan mereka, mereka hanya
menjawab: “Sami’na wa atho’na (Kami
dengar dan kami ta’at).”
Inilah karakter orang-orang
yang tawadhu’,
mereka berani menanggalkan ego mereka kalau ALLAH dan Rasul-Nya sudah
berbicara. Jadi kalau kita ingin jadi orang tawadhu’, lalu kita dikasih tahu
ternyata apa yang dikerjakan kita selama ini ada yang keliru maka kita jawab sami’na
wa atho’na. Kalau sudah di hadapan Al
Qur’an dan Hadits maka tidak ada pikir-pikir lagi.
Membuat manusia mengakui
agama kita ini mudah, membuat negara mengakui agama kita mudah. Yang sulit
adalah membuat ALLAH mengakui keislaman dan keimanan kita.
ALLAH berfirman dalam QS. An
Nisa ayat 65, inilah hatinya orang-orang tawadhu’:
“Demi
Rabb-mu wahai Muhammad, mereka tidak akan beriman sampai mereka menjadikan
engkau wahai Muhammad rujukan/sumber hukum di tengah-tengah mereka, dan tidak
ada rasa berat hati dalam dada mereka, dan mereka menerima tuntunan itu dengan
totalitas dan penuh kerendahan hati.”
Dan ini adalah inti dari Islam, yaitu ISTISLAM, artinya berserah
diri.
Oleh karena itu, ulama
mendefiniskan Islam
dengan berserah diri kepada ALLAH, tunduk kepada
perintah-perintah ALLAH, serta berlepas diri dari kesyirikan dan pelakunya.
Ilustrasi:
Seorang tentara yang
menyerahkan diri kepada musuhnya, maka ia akan melakukan apa yang diperintahkan
oleh musuhnya tersebut. Kenapa?? Karena ia sudah menyerah.
Itulah Islam. Ketika kita menyebutkan
agama kita adalah Islam,
kita dicatat oleh malaikat Raqib
dan Atid bahwa kita sedang
memproklamirkan bahwa kita menyerahkan diri kita kepada Rabbul ‘aalamiin. Kita
siap diatur dimana dan kapan saja dan bagaimana peraturannya.
Oleh karena itu, orang yang
fasih mengatakan bahwa dirinya muslim/muslimah maka ia tidak akan membangkang,
ia tidak akan menolak kebenaran, karena semuanya akan ditanya di hari akhir
nanti.
Itu adalah pilihan kita
sendiri, tidak ada yang memaksa kita untuk mengucapkan hal ini. Namun ketika
kita sudah mengucapkan bahwa kita seorang muslim maka kita harus jujur dengan mengamalkan
konsekuensinya.
Tawadhu’ adalah hakikat dari Islam
itu sendiri.
Dan ingat kalau tentara pasti
akan dikerjai oleh musuhnya namun tidak dengan ALLAH, agama Islam/syariat ini untuk
kepentingan kita. Sebaliknya barangsiapa yang berpaling dari agama ALLAH maka
ia akan menjalani kehidupan yang sengsara. ALLAH berfirman dalam QS. Thaha ayat
124-126 :
“Dan barang
siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang
sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta”
(124) Berkatalah ia: “Ya Rabb-ku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam
keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?” (125) Allah
berfirman: “Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu
melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamu pun dilupakan” (126)
Dan ini menunjukkan sebuah
kekeliruan orang-orang zaman sekarang ketika mengatakan: yang penting kita
baik sama orang, adapun urusan shalat itu urusan nanti. Buat apa shalat kalau
tidak bisa bertawadhu kepada manusia?!
Kalau kita tidak bisa bertawadhu’ kepada ALLAH yang telah
menciptakan kita, yang telah memberikan nikmat yang sangat banyak kepada kita,
maka kita tidak akan bisa bertawadhu’
kepada manusia yang belum memberikan kita apa-apa.
Sebaik-baik orang terhadap
manusia/makhluk, namun ia tidak tawadhu’
kepada ALLAH maka orang ini tidak bisa dikatakan orang yang baik.
Ilustrasi:
Seorang pembantu yang baik
dengan sesama pembantu atau orang lain, namun ia tidak ta’at kepada perintah
majikannya maka itu bukan pembantu yang baik.
Kalau kita tidak mau ta’at
kepada perintah ALLAH, walaupun kita baik dalam sosial maka kita belum bisa
dikatakan orang yang tawadhu’.
Tawadhu’
adalah prinsip para Ulama terdahulu,
contohnya:
Abdullah bin Abbas pernah menghalalkan riba’ fadhl padahal beliau adalah tokoh
besar namun tergelincir, salah. Lalu salah satu sahabat beliau yang bernama Abu Sa’id Al Khudry untuk
mengklarifikasi fatwa beliau dengan membawakan hadits Nabi. Ketika mengetahui
hal ini haram, maka beliau mengatakan: “Semoga ALLAH membalas engkau dengan
surga karena engkau telah mengingatkanku perkara yang aku lupa. Aku memohon
ampun kepada ALLAH dan bertaubat kepada-Nya.”
Kita ambil contoh iblis dalam
QS. Al Baqarah ayat 34:
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada
para Malaikat, sujudlah kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali
Iblis. Ia enggandan takabbur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang
yang kafir.”
Ketika iblis tidak mau ta’at
kepada perintah ALLAH, hanya satu perintah, maka ALLAH langsung memvonis
sombong dan termasuk orang-orang kafir. Kasusnya iblis berkaitan dengan
hubungan kepada ALLAH. Padahal sebelum kasus ini terjadi, iblis tidak suka
mengganggu makhluk yang lain. Iblis suka mengganggu manusia setelah kasus ini.
ALLAH berfirman dalam QS. Al
Isra ayat 62:
Ia (iblis) berkata, "Terangkanlah kepadaku,
inikah orangnya yang Engkau muliakan daripada aku? Sekiranya Engkau memberi
waktu kepadaku sampai hari kiamat, pasti akan aku sesatkan keturunannya,
kecuali sebagian kecil.”
Ulama kita kalau di kritik
orang, mereka mengatakan: rahimallahumra’an ahdaa ilayya ‘uyuubii, “Semoga
ALLAH merahmati seseorang yang memberikan hadiah kepada diriku berupa
kesalahan-kesalahanku.”
Kalau kita punya kebiasaan
menolak kebenaran, dikhawatirkan sampai pada suatu titik, Lebih baik saya
masuk neraka daripada menerima kebenaran. Lebih baik saya diadzab daripada saya
harus menjilat ludah saya kembali. Sebagaimana iblis tidak mau minta maaf
atas kedurhakaannya walaupun ia tahu bahwa ia akan diadzab oleh ALLAH dengan
adzab yang pedih
2.
TAWADHU’
kepada MANUSIA
Puncak ketawadhu’an
kepada manusia sebagaimana yang dijelaskan Hasan
Al Basri:
“Orang
yang keluar dari rumahnya dan tidaklah ia bertemu muslim yang lain kecuali ia
merasa saudaranya itu lebih baik dari dirinya.”
Ia merasa saudaranya itu
lebih beriman dari dia. Itu adalah profil orang-orang yang telah mencapai
puncak ketawadhuan.
Kita tidak bisa meng-claim
diri kita lebih baik dari orang lain. Diantara beberapa alasannya:
1.
Kita
tidak dapat menghitung/mengetahui seluruh amalan yang dikerjakan saudara kita
itu. Kalau
kita tidak tahu amalan-amalan yang saudara kita kerjakan, bagaimana kita bisa
meng-klaim diri kita lebih baik darinya. Bisa
jadi ia melakukan dosa di hadapan kita, dan pada malam harinya ia menangis
menyesali dosanya itu. Mungkin kita unggul dari satu sisi, namun belum tentu
kita unggul dari sisi yang lain.
2.
Amal ibadah kita belum tentu diterima dan
dosa-dosa saudara kita bisa jadi diampuni oleh ALLAH.
3.
Anggaplah ibadah kita lebih banyak daripada dia,
namun kita tidak tahu amalan hatinya. Kita
mungkin lebih sering beribadah kepada ALLAH namun hati kita sering hasad (dengki).
Ibnu Rajab
mengatakan: “Amalan hati pahalanya lebih
besar daripada amalan anggota badan.” Ulama mengatakan: “Keikhlasan
itu lebih besar pahalanya daripada amalan itu sendiri.”
Mana yang lebih mulia di sisi
ALLAH, Abu Bakar Ash Shidiq atau Abdullah bin Amr bin Ash? Semua ulama sepakat bahwa
yang paling mulia di sisi ALLAH adalah Abu
Bakar walaupun yang lebih banyak beribadah Abdullah bin Amr bin Ash.
Imam Al Muzanni mengatakan:
“Abu
Bakar tidak mengalahkan para sahabat yang lain dari sisi shalat dan puasanya,
namun karena amalan yang menancap kokoh di dalam hatinya.”
Keikhlasan Abu Bakar diabadikan ALLAH dalam surat
Al Lail ayat 17-18:
“Dan
kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu.” (17) “Yang menafkahkan hartanya (di
jalan Allah) untuk membersihkannya.”
(18)
4.
Anggaplah saat ini ibadah dan amalan hati kita
lebih baik daripada saudara kita, namun kita tetap tidak bisa meng-claim bahwa
kita lebih baik daripada dia karena kita tidak tahu bagaimana kondisi kita dan
dia saat meninggal dunia. Bisa jadi dia bertaubat dan mendapatkan husnul khatimah, dan kita terjatuh dan
mengalami su’ul khatimah.
_________
Referensi:
1.
Al Qur’an
2.
Shahih Muslim
3.
Tawadhu karya Syeikh Salim Al
Hilaly
4.
Ushuluts Tsalatsah karya Syeikh Muhammad At
Tamimi
5.
Jami ‘ulum wal hikam Imam
Ibnu Rajab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar