The
Look and Think Checklist (Chapman et al., 1989)
adalah alat bagi guru untuk mengases keterampilan persepsi dan kognitif anak
usia 5 11 tahun. Daftar cek ini dimaksudkan untuk dilaksanakan di dalam setting
kelas, dan dilukiskan sebagai "sebuah instrumen untuk pengamatan yang
tertib dan terstruktur terhadap tingkat keberfungsian anak pada saat ini dalam
keterampilan-keterampilan visual tertentu" (Chapman et al., 1989).
Instrumen ini berisi 18 sub-skala untuk mengamati keterampilan membeda-bedakan
dan mengenali secara visual obyek-obyek dua dimensi dan tiga dimensi, dengan
asesmen untuk keterampilan koordinasi tangan-mata, dan dengan penyaringan awal
bagi kemampuan membeda-bedakan warna. Instrumen ini bukan tes untuk ketajaman
penglihatan, untuk bidang pandang, ataupun untuk aspek-aspek fisiologis dari
keberfungsian visual. Rasionalnya adalah bahwa melihat yang efektif itu
tergantung juga pada pengalaman yang memadai, kemauan untuk menggunakan sisa
penglihatan yang masih ada, dan penggunaan bahasa dan keterampilan-keterampilan
kognitif lainnya untuk membantu mengarahkan perhatian dan penafsiran.
Diklaim
bahwa banyak anak penyandang ketunanetraan berat tidak memperoleh kesempatan
dan insentif yang memadai untuk memanfaatkan sisa penglihatannya yang sedikit
itu, dan daftar cek ini merupakan koleksi berbagai metode untuk membantu guru
menemukan apa yang dapat dilakukan oleh anak di dalam kelas - bukan di klinik
mata - dengan maksud untuk menciptakan latihan-latihan (yang oleh siswa
dipandang sebagai permainan) yang akan mendorong penggunaan keterampilan
menatap, mencari, membedakan, menjodohkan, dan keterampilan-keterampilan
persepsi dan kognitif lainnya. Tidak ada angka tingkatan persepsi ataupun skor
yang terkait dengan usia yang diperoleh dari daftar cek Look and Think ini.
Oleh karena itu, daftar cek ini merupakan instrumen acuan kriteria, dan
penulisnya memandangnya sebagai alat untuk asesmen dan pengajaran.
Pengukuran inteligensi
kini didasarkan atas konsep bahwa inteligensi itu berbentuk multi-faset.
Terdapat bermacam-macam inteligensi, dan oleh karenanya harus diukur dengan
instrumen yang berbeda-beda. Tes Inteligensi Williams untuk anak penyandang
kelainan penglihatan (Williams, 1956) didasarkan atas konseptualisasi lama,
yang hasil tesnya adalah angka satuan inteligensi global. Sesungguhnya, tes
Williams ini, yang merupakan satu-satunya tes yang dibakukan untuk populasi
anak tunanetra di Inggris, berisi item-item yang dapat dikelompokkan ke dalam
beberapa kategori besar, seperti ingatan jangka pendek, kosakata, kefasihan
verbal, penalaran, perbandingan jarak, dan pengungkapan serta penerapan
pengetahuan. Akan tetapi, skor yang terpisah-pisah untuk masing-masing
kemampuan tersebut tidak dapat diperoleh dari tes Williams itu.
Bila guru ingin
memperoleh informasi mengenai berbagai kemampuan seorang anak berdasarkan
bermacam-macam proses mental tersebut, dia sebaiknya meminta seorang psikolog
pendidikan untuk melakukan tes dengan beberapa sub-skala dari the British
Ability Scales (BAS; Elliott et al., 1983). Di antara ke-23 sub-skala BAS
tersebut, terdapat beberapa yang dapat dipergunakan dengan mudah terhadap anak
tunanetra. Misalnya, item-item tes dalam sub-skala tentang persamaan, hafalan
bilangan satuan dan definisi kata, semuanya disajikan secara lisan dan
responnya pun dituntut lisan. Bagi anak-anak low vision, sub-skala ini juga
tepat, dan bagi anak-anak low vision tertentu, informasi yang bermanfaat dapat
diperoleh dari kinerjanya dalam sub-skala kecepatan pemerosesan informasi,
matrik, dan desain balok.
Sub-skala kecepatan pemerosesan informasi BAS terdiri dari item-item (masing-masing terdiri dari satu halaman penuh) yang menuntut anak menelusuri (dengan penglihatannya) baris-baris lingkaran yang mengitari berbagai kelompok kotak kecil-kecil yang jumlahnya bervariasi, dan kemudian bagi subyek yang lebih tua, angka-angka yang panjangnya semakin meningkat dari satu digit hingga lima digit. Pada setiap baris, anak harus memilih lingkaran dengan jumlah kotak terbanyak atau angka-angka dengan nilai terbesar. Tugas ini relatif mudah, dan yang harus diperhatikan adalah kecepatan keberfungsian mentalnya. Item-item ini juga menuntut keterampilan persepsi dasar tertentu, dan meskipun tes ini dirancang untuk anak-anak yang awas, perancangnya berpendapat bahwa tes ini dapat mengungkapkan informasi tentang kesulitan-kesulitan yang mungkin dialami anak-anak low vision dalam tugas-tugas yang memerlukan eksplorasi visual terhadap teks, gambar, dan tabel serta diagram yang dijumpai dalam IPA, matematika, geografi, atau mata pelajaran lain yang serupa. Skor yang tinggi akan sangat informatif, tetapi skor yang rendah mungkin diakibatkan oleh kelainan penglihatan anak itu atau mungkin juga akibat kecepatan pemerosesan mentalnya. Bagi anak tunanetra yang bersekolah di sekolah umum, skor tinggi pada tes ini akan merupakan prediktor yang baik tentang kemampuannya untuk mengikuti pelajaran yang disajikan secara visual yang merupakan karakteristik metode pengajaran saat ini. Skor yang rendah akan merupakan peringatan bagi guru bahwa dia perlu mencari metode alternatif agar anak itu dapat mencapai tujuan yang sama.
Sub-skala kecepatan pemerosesan informasi BAS terdiri dari item-item (masing-masing terdiri dari satu halaman penuh) yang menuntut anak menelusuri (dengan penglihatannya) baris-baris lingkaran yang mengitari berbagai kelompok kotak kecil-kecil yang jumlahnya bervariasi, dan kemudian bagi subyek yang lebih tua, angka-angka yang panjangnya semakin meningkat dari satu digit hingga lima digit. Pada setiap baris, anak harus memilih lingkaran dengan jumlah kotak terbanyak atau angka-angka dengan nilai terbesar. Tugas ini relatif mudah, dan yang harus diperhatikan adalah kecepatan keberfungsian mentalnya. Item-item ini juga menuntut keterampilan persepsi dasar tertentu, dan meskipun tes ini dirancang untuk anak-anak yang awas, perancangnya berpendapat bahwa tes ini dapat mengungkapkan informasi tentang kesulitan-kesulitan yang mungkin dialami anak-anak low vision dalam tugas-tugas yang memerlukan eksplorasi visual terhadap teks, gambar, dan tabel serta diagram yang dijumpai dalam IPA, matematika, geografi, atau mata pelajaran lain yang serupa. Skor yang tinggi akan sangat informatif, tetapi skor yang rendah mungkin diakibatkan oleh kelainan penglihatan anak itu atau mungkin juga akibat kecepatan pemerosesan mentalnya. Bagi anak tunanetra yang bersekolah di sekolah umum, skor tinggi pada tes ini akan merupakan prediktor yang baik tentang kemampuannya untuk mengikuti pelajaran yang disajikan secara visual yang merupakan karakteristik metode pengajaran saat ini. Skor yang rendah akan merupakan peringatan bagi guru bahwa dia perlu mencari metode alternatif agar anak itu dapat mencapai tujuan yang sama.
Sebagaimana akan
dibahas pada bagian tentang prosedur asesmen untuk keterampilan membaca,
berkurangnya kecepatan pemerosesan itu merupakan salah satu konsekuensi negatif
dari kebutaan dan low vision dalam bidang pendidikan, dan harus diperhatikan
oleh guru, psikolog, dan lembaga-lembaga yang merancang naskah ujian. Untuk
melengkapi versi cetak dari sub-skala tes itu, Hall dan Mason (1993) telah
merancang dan membakukan versi taktual dari tes kecepatan pemerosesan informasi
tersebut. Tes ini dapat dilaksanakan dengan mudah dan cepat, terdiri dari
bentuk-bentuk yang dapat diraba, dan bagi subyek yang lebih tua, terdiri dari
angka-angka Braille. Pada saat ini belum ada data publik mengenai daya prediksi
tes tersebut dalam kaitannya dengan prestasi sekolah, tetapi tanpa dukungan
data itu pun penggunanya dapat mengamati bagaimana tingkat keberhasilan dan
efisiensi seorang anak dalam menyimak, memproses, dan menafsirkan pola-pola
taktual tes tersebut. Signifikansi praktis yang langsung dapat diamati guru
adalah temuan bahwa angka-angka Braille itu kira-kira tiga kali lebih lama untuk
memprosesnya daripada angka-angka awas dalam BAS versi cetak (Hull dan Mason,
1993).
Karena membaca
merupakan landasan bagi akses ke kurikulum, maka asesmen membaca harus
memperoleh perhatian khusus agar program yang tepat untuk remediasi
pengajarannya dapat dipersiapkan. Dalam membedakan antara pengajaran dan
remediasi, penulis bermaksud mengemukakan pentingnya pengajaran membaca karena
membaca merupakan suatu kegiatan yang harus dipelihara selama masa sekolah,
tidak hanya terbatas pada sekolah dasar. Hal ini terutama diperlukan untuk
pengajaran membaca Braille, di mana pengajaran keterampilan membaca
"tingkat tinggi" harus berlanjut setelah anak memperoleh keterampilan
dasar membaca jika ingin mempelajari sistem tulisan singkat (tusing). Pemantauan
kemajuan dalam belajar Braille akan dapat dilakukan secara efektif jika
guru/asesor sendiri adalah pembaca Braille yang kompeten, baik dengan perabaan
maupun dengan penglihatan, sehingga mampu menarik inferensi yang valid mengenai
kemungkinan penyebab kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh seorang anak.
Kesalahan mungkin disebabkan oleh kegagalan dalam mendeteksi kehadiran salah
satu titik dalam petak Braille, oleh masalah huruf-huruf yang bentuknya
berbanding terbalik, oleh salah baca antara tanda atas dan tanda bawah, atau
oleh keraguan tentang arti simbol-simbol tulisan singkat. Oleh karena itu,
nilai diagnostik dari sebuah tes harus dievaluasi, dan dalam hal ini masih
banyak yang dapat dimanfaatkan dari instrumen-instrumen yang sudah lama
terlembaga seperti Tooze Braille Speed Test (Tooze, 1962) dan Lorimer Braille
Recognition Test (Lorimer, 1962) yang dapat diperoleh dari VIEW (sebelumnya bernama Association for the Education and
Welfare of the Visually Handicapped).
Kedua tes tersebut
memungkinkan penggunanya menunjukkan dengan tepat apa yang digambarkan oleh
Lorimer sebagai "faktor-faktor Braille" yang unik di dalam proses
membacanya. Akan tetapi, tes-tes tersebut lebih berupa tes pengenalan kata
daripada tes membaca prosa yang sinambung. Untuk tujuan yang kedua tersebut,
direkomendasikan untuk menggunakan versi Braille dari the Neale Analysis of
Reading Ability, karena tes ini sekaligus mengukur ketepatan, kecepatan dan
pemahaman, dan dilengkapi dengan manual yang memungkinkan tester
memperhitungkan usia baca dan peringkat umumnya bila perbandingan dengan
karakteristik populasi dibutuhkan. Dengan merekam suara anak membaca, asesor
dapat mendengar ulang dan menganalisis kinerjanya untuk mendiagnosis
kesalahan-kesalahannya, sehingga memudahkan perencanaan program remedial. Yang
ditunjukkan oleh tes Neale ini, berdasarkan ukuran norma-norma membaca tulisan
biasa, adalah bahwa sistem membaca dengan perabaan itu kecepatannya jauh lebih
lambat. Fenomena ini berimplikasi terhadap keseluruhan kurikulum, bagi siswa,
guru, maupun mereka yang berwenang mengatur penyelenggaraan ujian umum. Siswa
tunanetra membutuhkan lebih banyak waktu untuk mempelajari teks dan
menyelesaikan ujian, mesin tik Braille harus disediakan bagi mereka, dan untuk
kegiatan belajarnya, terutama pada tahap pencatatan dan revisi, harus dibantu
dengan menggunakan tape recorder.
Meskipun bagi siswa low
vision kesulitan akibat lambatnya pemerosesan informasi itu tidak begitu besar,
tetapi tetap merupakan masalah besar, dan dalam menggunakan tes dalam tulisan
awas, seperti tes Neale, asesor harus siap untuk menerima hasil dalam sub-skala
kecepatan yang jauh lebih rendah daripada prestasinya dalam ketepatan dan
pemahaman bacaan. Kecuali bagi pembaca pemula yang masih kecil, penggunaan tes
pengenalan kata itu tidak direkomendasikan karena tes tersebut cenderung
menyembunyikan kesulitan yang dihadapi pembaca low vision bila dihadapkan pada
kegiatan "membaca yang sesungguhnya", yaitu membaca prosa panjang
secara terus-menerus.
Sebagai tes kosa kata
yang dapat disajikan secara cepat, British Picture Vocabulary Scale (BPVS; Dunn
et al., 1982) dalam segi lain dapat bersifat informatif, karena tes tersebut
memungkinkan asesor melakukan pengamatan yang seksama terhadap penggunaan sisa
penglihatan oleh anak low vision. Pada setiap halaman BPVS terdapat empat baris
gambar, dan anak harus memilih gambar yang paling mewakili kata yang diucapkan
oleh tester. Selama pelaksanaan asesmen itu, asesor dapat mencatat seberapa
dekat ke lembaran tes itu anak harus mendekatkan matanya, apakah dia menatap
dari kiri ke kanan atau dari atas ke bawah secara sistematis, dan apakah dengan
mengubah intensitas dan posisi sumber cahaya akan lebih memudahkan anak
melakukan tugasnya. Tes ini tidak dirancang sebagai alat asesmen penglihatan
fungsional, tetapi guru yang berpengalaman akan dapat mendeteksi tanda-tanda
yang relevan dengan keberfungsian penglihatan anak di dalam kelas. Karena BPVS
mengukur kosakata reseptif, tes ini juga dapat mengungkapkan apa yang pernah
dipelajari anak sebelumnya di rumah maupun di sekolah. Apa yang sangat penting
adalah bahwa skor hasil tes ini harus dievaluasi dalam kaitannya dengan kinerja
anak dalam tes-tes lain yang tidak didasarkan atas penglihatan, sehingga dampak
ketunanetraannya dapat diketahui.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar