PROSEDUR KHUSUS BAGI ANAK USIA SEKOLAH - Sastra Education

Breaking

Minggu, 27 November 2016

PROSEDUR KHUSUS BAGI ANAK USIA SEKOLAH

The Look and Think Checklist (Chapman et al., 1989) adalah alat bagi guru untuk mengases keterampilan persepsi dan kognitif anak usia 5 11 tahun. Daftar cek ini dimaksudkan untuk dilaksanakan di dalam setting kelas, dan dilukiskan sebagai "sebuah instrumen untuk pengamatan yang tertib dan terstruktur terhadap tingkat keberfungsian anak pada saat ini dalam keterampilan-keterampilan visual tertentu" (Chapman et al., 1989). Instrumen ini berisi 18 sub-skala untuk mengamati keterampilan membeda-bedakan dan mengenali secara visual obyek-obyek dua dimensi dan tiga dimensi, dengan asesmen untuk keterampilan koordinasi tangan-mata, dan dengan penyaringan awal bagi kemampuan membeda-bedakan warna. Instrumen ini bukan tes untuk ketajaman penglihatan, untuk bidang pandang, ataupun untuk aspek-aspek fisiologis dari keberfungsian visual. Rasionalnya adalah bahwa melihat yang efektif itu tergantung juga pada pengalaman yang memadai, kemauan untuk menggunakan sisa penglihatan yang masih ada, dan penggunaan bahasa dan keterampilan-keterampilan kognitif lainnya untuk membantu mengarahkan perhatian dan penafsiran.
Diklaim bahwa banyak anak penyandang ketunanetraan berat tidak memperoleh kesempatan dan insentif yang memadai untuk memanfaatkan sisa penglihatannya yang sedikit itu, dan daftar cek ini merupakan koleksi berbagai metode untuk membantu guru menemukan apa yang dapat dilakukan oleh anak di dalam kelas - bukan di klinik mata - dengan maksud untuk menciptakan latihan-latihan (yang oleh siswa dipandang sebagai permainan) yang akan mendorong penggunaan keterampilan menatap, mencari, membedakan, menjodohkan, dan keterampilan-keterampilan persepsi dan kognitif lainnya. Tidak ada angka tingkatan persepsi ataupun skor yang terkait dengan usia yang diperoleh dari daftar cek Look and Think ini. Oleh karena itu, daftar cek ini merupakan instrumen acuan kriteria, dan penulisnya memandangnya sebagai alat untuk asesmen dan pengajaran.
Pengukuran inteligensi kini didasarkan atas konsep bahwa inteligensi itu berbentuk multi-faset. Terdapat bermacam-macam inteligensi, dan oleh karenanya harus diukur dengan instrumen yang berbeda-beda. Tes Inteligensi Williams untuk anak penyandang kelainan penglihatan (Williams, 1956) didasarkan atas konseptualisasi lama, yang hasil tesnya adalah angka satuan inteligensi global. Sesungguhnya, tes Williams ini, yang merupakan satu-satunya tes yang dibakukan untuk populasi anak tunanetra di Inggris, berisi item-item yang dapat dikelompokkan ke dalam beberapa kategori besar, seperti ingatan jangka pendek, kosakata, kefasihan verbal, penalaran, perbandingan jarak, dan pengungkapan serta penerapan pengetahuan. Akan tetapi, skor yang terpisah-pisah untuk masing-masing kemampuan tersebut tidak dapat diperoleh dari tes Williams itu.
Bila guru ingin memperoleh informasi mengenai berbagai kemampuan seorang anak berdasarkan bermacam-macam proses mental tersebut, dia sebaiknya meminta seorang psikolog pendidikan untuk melakukan tes dengan beberapa sub-skala dari the British Ability Scales (BAS; Elliott et al., 1983). Di antara ke-23 sub-skala BAS tersebut, terdapat beberapa yang dapat dipergunakan dengan mudah terhadap anak tunanetra. Misalnya, item-item tes dalam sub-skala tentang persamaan, hafalan bilangan satuan dan definisi kata, semuanya disajikan secara lisan dan responnya pun dituntut lisan. Bagi anak-anak low vision, sub-skala ini juga tepat, dan bagi anak-anak low vision tertentu, informasi yang bermanfaat dapat diperoleh dari kinerjanya dalam sub-skala kecepatan pemerosesan informasi, matrik, dan desain balok.
Sub-skala kecepatan pemerosesan informasi BAS terdiri dari item-item (masing-masing terdiri dari satu halaman penuh) yang menuntut anak menelusuri (dengan penglihatannya) baris-baris lingkaran yang mengitari berbagai kelompok kotak kecil-kecil yang jumlahnya bervariasi, dan kemudian bagi subyek yang lebih tua, angka-angka yang panjangnya semakin meningkat dari satu digit hingga lima digit. Pada setiap baris, anak harus memilih lingkaran dengan jumlah kotak terbanyak atau angka-angka dengan nilai terbesar. Tugas ini relatif mudah, dan yang harus diperhatikan adalah kecepatan keberfungsian mentalnya. Item-item ini juga menuntut keterampilan persepsi dasar tertentu, dan meskipun tes ini dirancang untuk anak-anak yang awas, perancangnya berpendapat bahwa tes ini dapat mengungkapkan informasi tentang kesulitan-kesulitan yang mungkin dialami anak-anak low vision dalam tugas-tugas yang memerlukan eksplorasi visual terhadap teks, gambar, dan tabel serta diagram yang dijumpai dalam IPA, matematika, geografi, atau mata pelajaran lain yang serupa. Skor yang tinggi akan sangat informatif, tetapi skor yang rendah mungkin diakibatkan oleh kelainan penglihatan anak itu atau mungkin juga akibat kecepatan pemerosesan mentalnya. Bagi anak tunanetra yang bersekolah di sekolah umum, skor tinggi pada tes ini akan merupakan prediktor yang baik tentang kemampuannya untuk mengikuti pelajaran yang disajikan secara visual yang merupakan karakteristik metode pengajaran saat ini. Skor yang rendah akan merupakan peringatan bagi guru bahwa dia perlu mencari metode alternatif agar anak itu dapat mencapai tujuan yang sama.
Sebagaimana akan dibahas pada bagian tentang prosedur asesmen untuk keterampilan membaca, berkurangnya kecepatan pemerosesan itu merupakan salah satu konsekuensi negatif dari kebutaan dan low vision dalam bidang pendidikan, dan harus diperhatikan oleh guru, psikolog, dan lembaga-lembaga yang merancang naskah ujian. Untuk melengkapi versi cetak dari sub-skala tes itu, Hall dan Mason (1993) telah merancang dan membakukan versi taktual dari tes kecepatan pemerosesan informasi tersebut. Tes ini dapat dilaksanakan dengan mudah dan cepat, terdiri dari bentuk-bentuk yang dapat diraba, dan bagi subyek yang lebih tua, terdiri dari angka-angka Braille. Pada saat ini belum ada data publik mengenai daya prediksi tes tersebut dalam kaitannya dengan prestasi sekolah, tetapi tanpa dukungan data itu pun penggunanya dapat mengamati bagaimana tingkat keberhasilan dan efisiensi seorang anak dalam menyimak, memproses, dan menafsirkan pola-pola taktual tes tersebut. Signifikansi praktis yang langsung dapat diamati guru adalah temuan bahwa angka-angka Braille itu kira-kira tiga kali lebih lama untuk memprosesnya daripada angka-angka awas dalam BAS versi cetak (Hull dan Mason, 1993).
Karena membaca merupakan landasan bagi akses ke kurikulum, maka asesmen membaca harus memperoleh perhatian khusus agar program yang tepat untuk remediasi pengajarannya dapat dipersiapkan. Dalam membedakan antara pengajaran dan remediasi, penulis bermaksud mengemukakan pentingnya pengajaran membaca karena membaca merupakan suatu kegiatan yang harus dipelihara selama masa sekolah, tidak hanya terbatas pada sekolah dasar. Hal ini terutama diperlukan untuk pengajaran membaca Braille, di mana pengajaran keterampilan membaca "tingkat tinggi" harus berlanjut setelah anak memperoleh keterampilan dasar membaca jika ingin mempelajari sistem tulisan singkat (tusing). Pemantauan kemajuan dalam belajar Braille akan dapat dilakukan secara efektif jika guru/asesor sendiri adalah pembaca Braille yang kompeten, baik dengan perabaan maupun dengan penglihatan, sehingga mampu menarik inferensi yang valid mengenai kemungkinan penyebab kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh seorang anak. Kesalahan mungkin disebabkan oleh kegagalan dalam mendeteksi kehadiran salah satu titik dalam petak Braille, oleh masalah huruf-huruf yang bentuknya berbanding terbalik, oleh salah baca antara tanda atas dan tanda bawah, atau oleh keraguan tentang arti simbol-simbol tulisan singkat. Oleh karena itu, nilai diagnostik dari sebuah tes harus dievaluasi, dan dalam hal ini masih banyak yang dapat dimanfaatkan dari instrumen-instrumen yang sudah lama terlembaga seperti Tooze Braille Speed Test (Tooze, 1962) dan Lorimer Braille Recognition Test (Lorimer, 1962) yang dapat diperoleh dari VIEW (sebelumnya bernama Association for the Education and Welfare of the Visually Handicapped).
Kedua tes tersebut memungkinkan penggunanya menunjukkan dengan tepat apa yang digambarkan oleh Lorimer sebagai "faktor-faktor Braille" yang unik di dalam proses membacanya. Akan tetapi, tes-tes tersebut lebih berupa tes pengenalan kata daripada tes membaca prosa yang sinambung. Untuk tujuan yang kedua tersebut, direkomendasikan untuk menggunakan versi Braille dari the Neale Analysis of Reading Ability, karena tes ini sekaligus mengukur ketepatan, kecepatan dan pemahaman, dan dilengkapi dengan manual yang memungkinkan tester memperhitungkan usia baca dan peringkat umumnya bila perbandingan dengan karakteristik populasi dibutuhkan. Dengan merekam suara anak membaca, asesor dapat mendengar ulang dan menganalisis kinerjanya untuk mendiagnosis kesalahan-kesalahannya, sehingga memudahkan perencanaan program remedial. Yang ditunjukkan oleh tes Neale ini, berdasarkan ukuran norma-norma membaca tulisan biasa, adalah bahwa sistem membaca dengan perabaan itu kecepatannya jauh lebih lambat. Fenomena ini berimplikasi terhadap keseluruhan kurikulum, bagi siswa, guru, maupun mereka yang berwenang mengatur penyelenggaraan ujian umum. Siswa tunanetra membutuhkan lebih banyak waktu untuk mempelajari teks dan menyelesaikan ujian, mesin tik Braille harus disediakan bagi mereka, dan untuk kegiatan belajarnya, terutama pada tahap pencatatan dan revisi, harus dibantu dengan menggunakan tape recorder.
Meskipun bagi siswa low vision kesulitan akibat lambatnya pemerosesan informasi itu tidak begitu besar, tetapi tetap merupakan masalah besar, dan dalam menggunakan tes dalam tulisan awas, seperti tes Neale, asesor harus siap untuk menerima hasil dalam sub-skala kecepatan yang jauh lebih rendah daripada prestasinya dalam ketepatan dan pemahaman bacaan. Kecuali bagi pembaca pemula yang masih kecil, penggunaan tes pengenalan kata itu tidak direkomendasikan karena tes tersebut cenderung menyembunyikan kesulitan yang dihadapi pembaca low vision bila dihadapkan pada kegiatan "membaca yang sesungguhnya", yaitu membaca prosa panjang secara terus-menerus. 
Sebagai tes kosa kata yang dapat disajikan secara cepat, British Picture Vocabulary Scale (BPVS; Dunn et al., 1982) dalam segi lain dapat bersifat informatif, karena tes tersebut memungkinkan asesor melakukan pengamatan yang seksama terhadap penggunaan sisa penglihatan oleh anak low vision. Pada setiap halaman BPVS terdapat empat baris gambar, dan anak harus memilih gambar yang paling mewakili kata yang diucapkan oleh tester. Selama pelaksanaan asesmen itu, asesor dapat mencatat seberapa dekat ke lembaran tes itu anak harus mendekatkan matanya, apakah dia menatap dari kiri ke kanan atau dari atas ke bawah secara sistematis, dan apakah dengan mengubah intensitas dan posisi sumber cahaya akan lebih memudahkan anak melakukan tugasnya. Tes ini tidak dirancang sebagai alat asesmen penglihatan fungsional, tetapi guru yang berpengalaman akan dapat mendeteksi tanda-tanda yang relevan dengan keberfungsian penglihatan anak di dalam kelas. Karena BPVS mengukur kosakata reseptif, tes ini juga dapat mengungkapkan apa yang pernah dipelajari anak sebelumnya di rumah maupun di sekolah. Apa yang sangat penting adalah bahwa skor hasil tes ini harus dievaluasi dalam kaitannya dengan kinerja anak dalam tes-tes lain yang tidak didasarkan atas penglihatan, sehingga dampak ketunanetraannya dapat diketahui.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar