Lambannya peningkatan kualitas sumber daya manusia
Indonesia disebabkan oleh rendahnya pencapaian di bidang pendidikan. Pendidikan
di semua jenjang tak terlepas dari peranan kurikulum yang diberlakukan.
Sejarah mencatat, sejak merdeka Indonesia telah mengalami beberapa kali
pergantian kurikulum, mulai dari kurikulum 1968, kurikulum 1975,
kurikulum 1994, Kurikulum Berbasis Kompetensi dan terakhir Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan.
Menurut Undang-Undang nomor 20 tahun 2003, kurikulum
adalah “seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan
bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.” Kalangan
filosofis-progresif memandang kurikulum sebagai jawaban untuk
menyelesaikan berbagai masalah sosial, membangun kehidupan masa depan dimana
kehidupan masa lalu, masa sekarang dan berbagai rencana pengembangan dan
pembangunan bangsa dijadikan dasar untuk mengembangkan kehidupan masa depan
melalui pendidikan (Hartato: 2009). Jadi kurikulum adalah alat untuk mencapai
tujuan pendidikan, yaitu sebagai gambaran tentang ketercapaian
nilai-nilai yang baik, luhur, pantas, benar, dan indah dalam suatu
tatanan masyarakat beserta dua fungsi lainnya yaitu memberikan arah kepada
segenap kegiatan pendidikan yang bermutu dan merupakan impian yang ingin
dicapai oleh segenap kegiatan pendidikan itu sendiri
Benjamin S. Bloom (1956), merumuskan tujuan
belajar menjadi beberapa ranah, yaitu kognitif, afektif dan
psikomotorik, setiap ranah dibagi kembali menjadi beberapa kategori dan sub
kategori berurutan secara hierarkis, mulai dari tingkah laku yang sederhana
sampai tingkah laku yang paling kompleks. Dia menyakini bahwa tingkatan ranah
berpikir ini juga menentukan dampak belajar yang dialami siswa. Keberhasilannya
tergantung pada kecermatan guru menentukan tujuan belajar, tehnik pembelajaran
dan kegiatan kelas. Kegiatan kelas disesuaikan dengan kemampuan belajar
siswa-siswa yang beragam, sehingga diharapkan mampu mencapai hasil sebagai
ketuntasan belajar. Keberhasilan pembelajaran dibalik ruang-ruang kelas akan
meningkatkan mutu pendidikan lebih dari sekedar angka kelulusan, tetapi juga
mutu lulusannya. Pendidikan yang bermutu adalah pendidikan yang mencerdaskan
peserta didiknya atau pendidikan yang memberi tempat dalam pembentukan karakter
siswa-siswanya, sehingga mereka memiliki daya saing tinggi dan memiliki
keterampilan sebagai kecakapan hidup.
Persoalannya tidak semua guru mampu membuat dan
merancang kegiatan belajar yang berkualitas. Kendala seperti keterbatasan
fasilitas, kemampuan konten dan dukungan dari institusi atau lingkungan
pendidikan, target ketuntasan kurikulum masih menjadi kendala. Sehingga guru
harus meningkatkan kemampuannya menterjemahkan amanat Standar Isi dalam
kurikulum KTSP yang berlaku lebih luas, mengatasi kendala keterbatasan
fasilitas, mengkomunikasikan keterbatasan menjadi dukungan dari manajeman
sekolah atau sivitas akademika.
Keuntungan guru bila mampu menentukan metode belajar
yang tepat adalah, memudahkan tugasnya sebagai fasilitator, membuat
penilaian yang adil dan akuntabel, melakukan pendekatan terhadap siswa sesuai
dengan kekhususannya, membuat refleksi mengajar yang cerdas. Refleksi mengajar
berisi tindakan dan akibat yang dialami kelas setelah suatu metode mengajar
diterapkan. Tak selamanya sebuah metode cocok untuk topik tertentu, refleksi
membuat guru mampu memperbaiki kesalahan atau kelemahan yang dibuatnya.
Refleksi juga memperkaya khasanah guru dalam belajar, kumpulannya bernama
portofolio yang terus bertumbuh seiring dengan pertambahan jam mengajar. Guru
dapat meningkatkannya dengan membuat pemetaan keragaman kemampuan kelasnya,
membingkai hasil kerjanya sehingga menjadi dokumen penting literatur pribadi
dan institusi. Karena sesungguhnya pendidikan tidak terjadi dalam satu malam
sehingga catatannya akan menjadi rekap jejak kreatifitas seorang guru.
Berkualitas atau tidaknya seorang guru dapat dia potret sendiri. Dalam skala
yang lebih luas hasil kerja guru menentukan kualitas pendidikan disekolah pada
khususnya dan pendidikan Indonesia pada umumnya.
Keuntungan bagi siswa, bila mengacu pada teori
Bloom, susun tahapan berpikir dari tahapan tingkat rendah (low
order thinking skill) menuju ke tingkat tinggi (high order thinking
skill) memudahkan siswa beradaptasi di setiap tahapannya sehingga
tidak kesulitan beradaptasi terhadap materi, sekali lagi dengan bantuan metode
belajar yang dirancang dengan pas. Dampaknya mendorong siswa kreatif dan kritis
dan menggunakan ragam kecerdasannya, memaklumi kelemahan dan kelebihannya
karena tertakar sesuai tahapan. Terhadap suasana belajar, akan lebih
menyenangkan karena tidak terjebak dalam kebuntuan belajar yang statis dan
monoton.
Membuat metode pembelajaran yang baik membutuhkan
imajinasi dan kreatifitas. Ben Zander seorang komposer lagu-lagu klasik
mengemukakan teori kebermungkinan, dia menyatakan seorang pemimpin yang hebat
mirip seorang konduktor terbaik, mereka menjangkau melampaui nada musik untuk mencapai
keajaiban di setiap pemain. Demikian juga guru di kelas dia dapat memilih
metode belajar yang tepat untuk mencapai kebermungkinan kemampuan muridnya
secara maksimal. Ben Zanders percaya bila setiap orang mempunyai nilai ‘A’
di dalam dirinya, tergantung bagaimana cara menstimulasinya. Bila dikaitkan
dengan pemilihan metode belajar di kelas, guru dapat membangkitkan potensi
siswanya melalui stimulus yang tepat lewat metode-metode belajar kreatif dan
imajinatif, sehingga setiap siswa dapat belajar untuk memperoleh nilai ‘A’
sebagai hasil rangkaian kegiatan belajar.
Guru yang kreatif akan membiarkan dirinya menjadi
mirip dengan metode pengajarannya (Hallman: 2008). Metode mengajar tidak
terpaku pada satu macam saja tetapi dapat menggabungkan dengan berbagai metode
yang ada seperti metode penemuan, pemberian tugas, pemecahan masalah, penelitan
bahkan metode ceramah. Guru dapat menggunakan bantuan media visual,
audiovisual atau hasil karya satra. Pelajaran sastra diyakini mampu
menyuplai energi imajinasi, yang muaranya memberi rangsangan inspirasi
sekaligus kreatifitas. Sastra juga diyakini memberi kontribusi positif
bagi kehidupan, terutama sumbangan imajinasi yang menjadi medium manusia
mendapat ide dan teori (Wibowo:2010). Penemuan-penemuan besar bermula
dari imajinasi pelakunya, bahkan seorang Copernicus sang penemu aliran
Heliosentris tahun 1517 adalah seorang pengagum sastra yang nyentrik. Sehingga seorang guru
sastrawan atau penikmat sastra akan memiliki intuisi naluriah kreatif
yang penuh ‘mimpi-mimpi’ sehingga mengasah kemampuan lewat belajar, membaca,
menuliskan intisari bacaan dan menjadikannya sebagai kegiatan mengikat
ilmu adalah pekerjaan rumah para guru selanjutnya harus ditularkan kepada
murid-muridnya.
Dapat disimpulkan betapa pentingnya imajinasi dalam
mengembangkan metode mengajar. Guru yang kreatif mampu menjebatani
pelajaran menjadi belajar, melalui penemuan konteks suatu materi terhadap
kebutuhan keingintahuan seseorang dalam menemukan pemecahan masalah
kehidupannya sehari-hari dengan bantuan metode mengajar yang tepat. Seorang
guru yang kreatif adalah guru yang mengikuti perkembangan zaman melalui
tehnologinya tanpa meninggalkan nilai-nilai keluhuran dengan antusias, terbuka,
peka dan tetap belajar sebagai pribadi yang terus bertumbuh untuk menciptakan
komunitas yang berkemanusiaan yang beradab dalam suatu tatanan masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar