Pengembangan potensi tersebut memerlukan strategi yang sistematis dan
terarah. Tanpa layanan pembinaan yang sistematis terhadap siswa yang berpotensi
cerdas istimewa, bangsa Indonesia akan kehilangan sumber daya manusia terbaik.
Strategi pendidikan yang ditempuh selama ini bersifat masal memberikan
perlakuan standar/rata-rata kepada semua siswa sehingga kurang memperhatikan
perbedaan antar siswa dalam kecakapan, minat, dan bakatnya. Dengan strategi
semacam ini, keunggulan akan muncul secara acak dan sangat tergantung kepada
motivasi belajar siswa serta lingkungan belajar dan mengajarnya. Oleh karena
itu perlu dikembangkan keunggulan yang dimiliki oleh siswa agar potensi yang
dimiliki menjadi prestasi yang unggul.
Deskrepansi antara perkembangan kognitif dan ketertinggalan motorik halus,
ditambah karakteristik perfeksionisnya bisa menimbulkan masalah yang cukup
serius baginya, terutama kefrustrasian dan munculnya konsep diri negatip, ia
merasa sebagai anak yang bodoh tidak bisa menulis. Namun seringkali
pendeteksian tidak diarahkan pada apa akar permasalahan yang sebenarnya, dan
penanggulangan hanya ditujukan pada masalah perilakunya yang dianggap sebagai
perilaku membangkang Anak cerdas
(brigth/higt achiever) berbeda
dengan dengan anak CIBI (gifted) dan
anak-anak cerdas tidak bisa dimaksukkan ke dalam kelompok gifted karena mereka memiliki
karakteristik yang berbeda. Sekalipun mereka juga memiliki tingkat intelegensi
yang tinggi, namun kemampuan mereka dalam analisis, abstraksi dan kreativitas
tidak seluar biasa anak-anak CIBI.
Dalam mengidentifikasi peserta didik cerdas istimewa menggunakan
pendekatan multidimensional. Artinya kriteria yang digunakan lebih dari satu
(bukan sekedar intelligensi). Batasan yang digunakan adalah peserta didik yang
memiliki dimensi kemampuan umum pada taraf cerdas ditetapkan skor IQ 130 ke atas dengan
pengukuran menggunakan skala Wechsler (Pada alat tes yang lain = rerata skor IQ
ditambah dua standar deviasi), dimensi kreativitas tinggi (ditetapkan skor CQ
dalam nilai baku tinggi atau plus satu standar deviasi di atas rerata) dan
pengikatan diri (Task commitment) terhadap tugas baik (ditetapkan skor
TC dalam kategori nilai baku baik, atau plus satu standar deviasi
di atas rerata). Tiga komponen ini dikenal sebagai Konsepsi Tiga Cincin dari
Renzulli yang banyak digunakan dalam menyusun pendidikan untuk anak cerdas
istimewa, dan merupakan teori yang mendasari pengembangan pendidikan anak
cerdas istimewa dan berbakat istimewa (Gifted and Talented children).
Model lain adalah The Triadich
dari Renzulli-Mönks yang merupakan pengembangan dari Konsepsi Tiga Cincin
Keberbakatan dari Renzulli. Model Renzulli-Mönks ini disebut sebagai model
multifaktor yang melengkapi Konsepsi Tiga Cincin Keberbakatan dari Renzulli.
Dalam model multifaktornya Mönks mengatakan bahwa potensi kecerdasan istimewa (giftedness)
yang dikemukakan oleh Renzulli itu tidak akan terwujud jika tidak mendapatkan
dukungan yang baik dari sekolah, keluarga, dan lingkungan di mana si anak
tinggal.
Heller
mengembangkan model multifaktor yang pada dasarnya merupakan pengembangan dari Triadic
Interdependence model Mönks serta Multiple Intelligences dari
Howard Gardner. Menurut Heller konsep keberbakatan dapat ditinjau
berdasarkan empat dimensi multifaktor yang saling terkait satu sama
lain: (1) faktor talenta (talent) yang relatif mandiri (relatif
mandiri); (2) faktor kinerja (performance); (3) faktor kepribadian; dan
(4) faktor lingkungan;
Proses Identifikasi merupakan salah satu tahap awal yang merupakan kunci
utama yang penting dalam keberhasilan suatu program layanan pendidikan khusus
bagi siswa CIBI. Dalam proses rekrutmen dan seleksi dipengaruhi oleh model
layanan pendidikan yang diberikan bagi peserta didik cerdas istimewa ada
beberapa prinsip identifikasi yang perlu diperhatikan adalah yaitu: Cerdas
Istimewa merupakan suatu fenomena yang kompleks sehingga identifikasi hendaknya
dilakukan secara multidimensional dengan:
1. Menggunakan sejumlah cara pengukuran untuk melihat
variasi dari kemampuan yang dimiliki oleh siswa cerdas istimewa pada usia yang
berbeda.
2. Mengukur bakat-bakat khusus yang dimiliki untuk
dijadikan acuan penyusunan program belajar bagi siswa cerdas istimewa.
3. Tidak hanya memperhatikan hal-ahl yang sudah
teraktualisasi, namun juga mengidentifikasi potensi.
4. Identifikasi tidak hanya untuk mengukur aspek
kognitif, namun juga motivasi, minat, perkembangan sosial emosional serta aspek
non kognitif lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar