PENGERTIAN TUNANETRA - Sastra Education

Breaking

Sabtu, 26 November 2016

PENGERTIAN TUNANETRA





BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Semua orang tua pastinya menginginkan anaknya terlahir secara normal, baik normal secara fisik maupun normal secara psikis. Namun keinginan tersebut hanyalah sekedar keinginan saja, karena pada kenyataannya tak jarang anak terlahir dalam kondisi tak normal baik secara fisik maupun secara psikis. Tapi bagaimana pun, mereka adalah seorang anak yang juga tidak ingin dilahirkan sebagai anak cacat. Kita sebagai orang tua, mau tidak mau harus menerimanya dengan ikhlas meskipun sangat sulit untuk mengikhlaskannya. Kita harus memahami apa yang mereka butuhkan karena tidak semua kegiatan dapat mereka lakukan, dan kita yang mempunya fisik yang normal hendaknyalah membantu dan membimbing mereka. Kita juga harus mendidik mereka agar mereka tumbuh tidak sebagai anak yang cacat, melainkan seperti kebanyakan anak lainnya yang tumbuh berbeda, meskipun pada kenyataanya berlainan. Seperti hal nya yang diatur dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 1 bahwa : “Tiap-tiap warga negara Indonesia berhak mendapatkan pengajaran“, jelas disitu tertuang bahwa tidak ada kata diskriminasi dalam proses pembelajaran, baik mereka anak normal maupun anak berkebutuhan khusus.
Pelayanan khusus ini juga diperlukan bagi mereka yang menyandang tunanetra, tanpa adanya perbedaan satu sama lain. Anak dengan tunanetra juga bukan menjadi keinginannya, banyak faktor yang dapat menyebabkan itu. Mereka pastinya ada rasa berbeda dengan teman lainnya. Maka dari itu Pemerintah sudah selayaknya memberi perhatian penuh bagi pendidikan anak berkebutuhan khusus contohnya tunanetra. Agar mereka tidak merasa terasingkan dan didiskriminasi dalam hal pendidikan di lingkungan formal khususnya. Anak tunanetra pastinya mempunyai kharakterstik tertentu yang menyebabkan mereka berbeda dengan teman sebayanya, mereka tidak bisa bermain sesuka mereka. Dibutuhkannya pendampingan khusus bagi mereka yang menyandang tunanetra.

B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apakah yang dimaksud dengan tunanetra ?
2.      Apakah yang menjadi penyebab terjadinya ketunanetraan ?
3.      Bagaimanakah karakteristik anak dengan ketunanetraan ?
4.      Bagaimana pembelajaran yang tepat untuk anak tunanetra ?
5.      Bagaimana strategi pembelajaran bagi anak tunanetra ?
6.      Bagaiamanakah dengan pola pembelajaran ?
7.      Apa saja dampak dari ketunanetraan ?

C.    Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Menjelaskan apa yang dimaksud dengan tunanetra
2.      Menjelaskan penyebab terjadinya tunanetra
3.      Menyebutkan karakteristik anak tunanetra
4.      Menjelaskan pembelajaran yang tepat untuk anak tunanetra
5.      Menjelaskan strategi pembelajaran bagi anak tunanetra
6.      Menjelaskan pola pembelajarannya
7.      Menyebutkan dampak ketunanetraan



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Tunanetra
Dari segi bahasa kata tunanetra terdiri dari kata tuna dan netra. Dalam kamus lengkap Bahasa Indonesia kata tuna berarti tidak memiliki, tidak punya, luka atau rusak. Sedangkan kata netra berarti penglihatan. Dengan demikian tunanetra berarti buta, tetapi buta belum tentu sama sekali gelap atau sama sekali tidak dapat melihat. Dalam literatur bahasa inggris istilah tunanetra juga disebut dengan “Visual Impairment (Kerusakan Penglihatan)” atau “Sight Loss (Kehilangan Penglihatan)”. Dari kutipan Dr. Asep Supena, M.Psi mengatakan bahwa tunanetra (Visual Imprairment) adalah “mereka yang mengalami gangguan hambatan penglihatan secara signifikan (berarti). Sehingga membutuhkan layanan pendidikan atau pembelajaran yang khusus”. Contohnya penggunaan sistem baca tulis braille, alat pembesar bahan bacaan dan bentuk modifikasi lainnya.
Menurut Pertuni (persatuan tunanetra indonesia) tunanetra adalah mereka yang tidak memiliki penglihatan sama sekali (buta total) hingga mereka yang masih memiliki sisah penglihatan, tetapi tidak mampu menggunakan penglihatanya untuk membaca tulisan biasa berukuran 12 point dalam keadaan cahaya normal meski pun dibantu dengan kacamata (kurang awas). Pertuni (persatuan tunanetra indonesia) yang berkedudukan di jakarta. Sala satu wadah institusi ormas, yang mengakfokasi hak- hak tunanetra dalam kehidupan dan penghidupan dalam masyarakat. Baik dari segi hukum, HAM (hak asasi manusia) dan pendidikan. Jadi dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa tunanetra yaitu orang yang kehilangan penglihatan sedemikian rupa, sehingga seseorang itu sukar atau tidak mungkin dapat mengikuti pendidikan dengan metode yang biasanya dipergunakan disekolah biasa.
Ukuran ketajaman penglihatan dalam ilmu medis diperoleh melalui tes dengan menggunakan kartu snellen. Kartu snellen ada 3 macam : yaitu kartu bentuk E, bentuk Abjad, bentuk gambar-gambar. Bentuk gambar-gambar dianggap kurang efektif karena tidak semua gambar dikenal oleh anak-anak. Anak-anak dengan hambatan penglihatan adalah anak-anak yang kurang beruntung dalam memfungsikan indra penglihatannya, namun bukan berarti mereka tidak memiliki hak dan kurang beruntung dalam belajar, bermain dan berinteraksi sosial dengan masyarakat lainnya. Mereka mempunyai hak dan kesempatan serta kesetaraan hak yang sama dengan anak yang lainnya, hanya saja mereka memerlukan pelayan yang khusus untuk aktivitas dalam keseharian mereka. Salah satunya mereka membutuhkan pendidikan orientasi mobilitas untuk bisa mengenali wilayah suatu tempat dan berpindah atau bergerak dari tempat dia berada ketempat yang ingin dituju serta dapat berinteraksi dengan objek-objek sekitar. Anak  tunanetra dalam pendidikan tidak saja mempergunakan metode khusus, melainkan juga alat-alat bantu khusus, yang digunakan untuk membaca dan menulis. Ada anak tunanetra yang sama sekali tidak ada penglihatan, anak semacam ini biasanya disebut buta total. Disamping buta total, masih ada juga anak yang mempunyai sisa penglihatan tetapi tidak dapat dipergunakan untuk membaca dan menulis huruf biasa.
Istilah buta ini mencakup pengertian yang sama dengan istilah tunanetra atau istilah asingnya blind. Istilah buta yang sering digunakan masyarakat umum hendaknya tidak digunakan untuk sebutan atau panggilan terhadap orang yang memiliki kelainan penglihatan, tetapi hanya digunakan dalam pengelompokan untuk keperluan layanan pendidikan yang sesuai dengan tingkat kemampuan penglihatan. Klasifikasi Tunanetra dapat dibagi menjadi beberapa bagian yaitu:
a)        Berdasarkan Tingkat Ketajaman Penglihatan
Tingkat ketajaman penglihatan yang dihasilkan dari tes Snellen, dapat dikelompokan menjadi berbagai tingkatan. Hasil tes Snellen 20/20 feet atau 6/6 meter menunjukan bahwa penglihatannya normal. Gangguan penglihatan yang ringan atau yang mempunyai ketajaman antara 6/6 meter - 6/16 m atau 20/20 feet -20/50 feet, tidak dikelompokkan pada tunanetra atau bahkan masih dapat dikatakan normal sedangkan yang mengalami gangguan penglihatan yang cukup berat atau kurang dari 6/20m atau 20/70 feet, sudah dikategorikan tunanetra. Dengan demikian, klasifikasi tunanetra berdasarkan ketajaman penglihatan dapat dikemukakan sebagai berikut:
·         Tunanetra dengan ketajaman penglihatan 6/20 m - 6/60 m atau 20/70 feet -20/200 feet. Tingkat ketajaman penglihatan seperti ini pada umumnya dikatakan tunanetra (low vision). Pada taraf ini, para penderita masih mampu melihat dengan bantuan alat khusus.
·         Tunanetra dengan ketajaman penglihatan antara 6/60 m atau 20/200 feet atau kurang.Tingkat ketajaman seperti ini sudah dikatakan tunanetra berat atau secara umum dapat dikatakan buta (bind). Kelompok ini masih dapat terbagi menjadi dua yaitu kelompok tunanetra yang masih dapat melihat gerakan tangan. Dan Kelompok tunanetra yang hanya dapat membedakan terang dan gelap.
·         Tunanetra yang memiliki visus 0. Pada taraf yang terakhir ini, anak sudah tidak mampu lagi melihat rangsangan cahaya atau dapat dikatakan tidak dapat melihat apapun. Kelompok ini sering disebut buta total (totally blind).
b)        Berdasarkan saat terjadinya ketunanetraan
·         Tunanetra sebelum dan sejak lahir. Kelompok ini terdiri dari orang yang mengalami ketunanetraan pada saat dalam kandungan atau sebelum usia satu tahun.
·         Tunanetra batita. Yaitu orang yang mengalami ketunanetraan pada saat ia berusia dibawah tiga tahun.
·         Tunanetra balita. Yaitu orang yang mengalami ketunanetraan pada saat ia berusia antara 3-5 tahun.
·         Tunanetra pada usia sekolah. Kelompok ini meliputi anak yang mengalami ketunanetraan pada usia anak 6 -12 tahun.
·         Tunanetra remaja. Adalah orang yang mengalami ketunanetraan pada saat usia remaja atau antara usia 13-19 tahun.
·         Tunanetra dewasa. Yaitu orang yang mengalami ketunanetraan pada usia dewasa atau usia 19 tahun keatas.
c)        Berdasarkan adaptasi pendidikan
Klasifikasi tunanetra ini tidak didasarkan pada hasil tes ketajaman tetapi didasarkan adaptasi/penyesuaian pendidikan khusus yang sangat penting dalam membantu mereka belajar atau diperlukan dalam menentukan pelayanan pendidikan yang sesuai dengan kemampuan penglihatannya. Klasifikasi ini dikemukakan oleh Kirk, yaitu sebagai berikut:
·         Ketidakmampuan melihat taraf sedang
·         Ketidakmampuan melihat taraf berat
·         Ketidakmampuan melihat taraf sangat berat

Dapat disimpulkan orang tunanetra belum tentu buta, sedangkan orang buta sudah pasti tunanetra, kebutaan merupakan tingkat ketunanetraan yang paling berat. Terdapat sejenis konsensus internasional untuk menggunakan dua jenis definisi sehubungan dengan kelainan penglihatan yaitu definisi secara legal (legally definition) adalah definisi atau batasan tentang ketunanetraan yang didasarkan pada hasil pengukuran ketajaman penglihatan (visus : index pengukuran ketajaman penglihatan), yang biasa dilakukan oleh tenaga medis. Sehingga definisi ini juga disebut dengan definisi klinis atau medik. Dikatakan legal karena sering dijadikan persyaratan untuk menentukan seseorang dikatagorikan sebagai tunanetra atau tidak. Sedangkan dalam definisi pendidikan adalah didasarkan pada cara atau strategi pembelajaran yang mungkin dapat diberikan kepada mereka sesuai dengan sisa kemampuan penglihatan yang dimilikinya. Definisi ini biasa digunakan dalam dunia pendidikan. Berikut ini adalah definisi tentang tunanetra yang berdasarkan dari dua aspek diatas yaitu definisi legal dan definisi pendidikan :
·           Definisi tunanetra secara legal adalah mereka yang memiliki ketajaman penglihatan mulai dari 20/70 feet hingga buta total serta luas pandang mereka yang sedemikian sempit terhadap suatu luas bidang wilayah yang tidak lebih dari 20 derajat, maka mereka itu juga dapat dikatagorikan dalam tunanetra. Sementara definisi tunanetra secara pendidikan adalah mereka yang mengalami gangguan hambatan penglihatan yang signifikan (berarti) sehingga membutuhkan layanan pendidikan khusus.
·           Definisi yang didasarkan pada pendidikan dikemukakan oleh Barraga (1983) bahwa anak yang mengalami ketidakmampuan melihat adalah anak yang mempunyai gangguan atau kerusakan dalam penglihatannya. Sehingga menghambat prestasi belajar secara optimal, kecuali jika dilakukan penyesuaian dalam metode-metode penyajian pengalaman belajar, sifat-sifat bahan yang digunakan, dan atau lingkungan belajar.

Jadi dapat disimpulkan bahwa definisi tunanetra secara legal sudah merupakan aturan yang sah untuk menentukan seseorang tergolong tunanetra atau tidak, seperti yang dikemukakan diatas. Namun definisi tunanetra dalam pendidikan ialah mereka yang memiliki hambatan penglihatan secara signifikan (berarti) walaupun telah dikoreksi atau diobati dengan penggunaan kacamata namun tetap masih memiliki penglihatan yang kurang baik dari anak normal, yang kemudian terbagi menjadi beberapa tingkatan menjadi low vision (kurang lihat) dan blind (buta), sehingga mereka membutuhkan dan memerlukan pelayan pendidikan yang khusus dalam pembelajaran untuk mengoptimalkan kemampuan prestasi belajar mereka dalam pendidikannya di sekolah. Berikut penjelasannya
·           Kurang Lihat (Low Vision)
Faye dalam samuel A.Kirk (1989 : 348) mendefinisikan orang yang kurang lihat (low vision) sebagai orang yang meskipun sudah diperbaiki penglihatannya namun masih lebih randah atau kurang dari normal tetapi penglihatanya dapat dipergunakan secara berarti. Namun jika penglihatannya masih dapat diperbaiki, dikoreksi, diobati dengan kacamata yang tepat seperti myopia dan hypermetropia lalu bisa mengikuti pendidikan seperti anak yang lainnya dan bisa melihat seperti anak normal pada jarak yang normal maka secara umum tidak dikelompokan dalam tunanetra. De Mott (1982  : 272) mendefinisikan orang yang kurang lihat adalah mereka yang memiliki tingkat ketajaman penglihatan sentral antara 20/70 dan 20/200 feet, maka membutuhkan bantuan khusus atau modifikasi materi atau membutuhkan kedua-duanya dalam pendidikannya di sekolah
·           Buta (Blind)
Barraga dalam Samuel A.Kirk (1989 : 343) mengemukakan bahwa orang uang buta memiliki persepsi sinar tanpa proyeksi(yang berarti mereka merasakan adanya sinar tetapi tidak mampu untuk memproyeksi atau mengidentifikasi sumber sinarnya) atau sama sekali tidak memiliki persepsi sinar. De Mott (1982 : 272) mengemukakan bahwa istilah buta, diberikan kepada orang yang sama sekali tidak memiliki penglihatan atau yang hanya memiliki persepsi cahaya. Siswa yang buta akan diajarkan braile, maka membutuhkan bantuan khusus atau modifikasi materi atau membutuhkan kedua-duanya dalam pendidikannya disekolah. Geraldine T.Scholl (1986 : 26) mengemukakan bahwa orang yang memiliki kebutaan menurut hukum (legal blindness) apabila ketajaman penglihatan sentralnya 20/200 feet atau kurang pada penglihatan terbaiknya. setelah dikoreksi dengan kacamata atau ketajaman penglihatan sentralnya lebih buruk dari 20/200 feet, serta ada kerusakan pada lantang pandangnya membentuk sudut yang tidak lebih besar dari 20 derajat pada mata terbaiknya.

B.     Penyebab Terjadinya Ketunanetraan
Penyebab terjadinya tunanetra pada dasarnya sangat beraneka ragam, bak itu dari pre-natal (sebelum kelahiran) dan post-natal (setelah kelahiran).
a.      Prenatal
Faktor penyebab ketunanetraan pada masa pre-natal sangat erat hubungannya dengan masalah keturunan dan pertumbuhan seorang anak dalam kandungan, antara lain:
1.      Keturunan
Ketunanetraan yang disebabkan oleh faktor keturunan terjadi dari hasil perkawinan bersaudara, sesama tunanetra atau mempunyai orang tua yang tunanetra. Ketunanetraan akibat faktor keturunan antara lain Retinitis Pigmentosa, penyakit pada retina yang umumnya merupakan keturunan. Penyakit ini sedikit demi sedikit menyebabkan mundur atau memburuknya retina. Gejala pertama biasanya sukar melihat di malam hari, diikuti dengan hilangnya penglihatan periferal, dan sedikit saja penglihatan pusat yang tertinggal.
2.      Pertumbuhan anak dalam kandungan
Ketunanetraan yang disebabkan karena proses pertumbuhan dalam kandungan dapat disebabkan oleh:
1)      Gangguan waktu ibu hamil.
2)      Penyakit menahun seperti TBC, sehingga merusak sel-sel darah tertentu selama pertumbuhan janin dalam kandungan.
3)      Infeksi atau luka yang dialami oleh ibu hamil akibat terkena rubella atau cacar air, dapat menyebabkan kerusakan pada mata, telinga, jantung dan sistem susunan saraf pusat pada janin yang sedang berkembang.
4)      Infeksi karena penyakit kotor, toxoplasmosis, trachoma dan tumor. Tumor dapat terjadi pada otak yang berhubungan dengan indera penglihatan atau pada bola mata itu sendiri.
5)      Kurangnya vitamin tertentu, dapat menyebabkan gangguan pada mata sehingga hilangnya fungsi penglihatan.
b.      Postnatal
Penyebab ketunanetraan yang terjadi pada masa post-natal dapat terjadi sejak atau setelah bayi lahir antara lain :
a)    Kerusakan pada mata atau saraf mata pada waktu persalinan, akibat benturan alat-alat atau benda keras.
b)   Pada waktu persalinan, ibu mengalami penyakit gonorrhoe, sehingga baksil gonorhoe menular pada bayi, yang pada ahkirnya setelah bayi lahir mengalami sakit dan berakibat hilangnya daya penglihatan.
c)    Mengalami penyakit mata yang menyebabkan ketunanetraan, misalnya:
·      Xeropthalmia; yakni penyakit mata karena kekurangan vitamin A.
·      Trachoma; yaitu penyakit mata karena virus chilimidezoon trachomanis.
·      Catarac; yaitu penyakit mata yang menyerang bola mata sehingga lensa mata menjadi keruh, akibatnya terlihat dari luar mata menjadi putih.
·      Glaucoma; yaitu penyakit mata karena bertambahnya cairan dalam bola mata, sehingga tekanan pada bola mata meningkat.
·      Diabetik Retinopathy; adalah gangguan pada retina yang disebabkan karena diabetis. Retina penuh dengan pembuluh-pembuluh darah dan dapat dipengaruhi oleh kerusakan sistem sirkulasi hingga merusak penglihatan.
·      Macular Degeneration; adalah kondisi umum yang agak baik, dimana daerah tengah dari retina secara berangsur memburuk. Anak dengan retina degenerasi masih memiliki penglihatan perifer akan tetapi kehilangan kemampuan untuk melihat secara jelas objek-objek di bagian tengah bidang penglihatan.
·      Retinopathy of prematurity; biasanya anak yang mengalami ini karena lahirnya terlalu prematur. Pada saat lahir masih memiliki potensi penglihatan yang normal. Bayi yang dilahirkan prematur biasanya ditempatkan pada inkubator yang berisi oksigen dengan kadar tinggi, sehingga pada saat bayi dikeluarkan dari inkubator terjadi perubahan kadar oksigen yang dapat menyebabkan pertumbuhan pembuluh darah menjadi tidak normal dan meninggalkan semacam bekas luka pada jaringan mata. Peristiwa ini sering menimbulkan kerusakan pada selaput jala (retina) dan tunanetra total.
d)   Kerusakan mata yang disebabkan terjadinya kecelakaan, seperti masuknya benda keras atau tajam, cairan kimia yang berbahaya, kecelakaan dari kendaraan, dll.

C.    Karakteristik Anak dengan Ketunanetraan
Anak-anak tunanetra kehilangan masa belajar dalam hidupnya. Anak tunanetra yang memiliki keterbatasan pengelihatan tidak mudah untuk bergerak dalam interaksi dengan lingkungannya, kesulitan dalam menemukan mainan dan teman-temannya, serta mengalami kesulitan untuk meniru orang tuanya dalam kehidupan sehari-hari. Hal inilah yang dikhawtirkan akan memberikan dampak terhadap perkembangan, belajar, ketrampilan sosial, dan perilakunya.
1.    Karakteristik Kognitif
Ketunanetraan secara langsung berpengaruh pada perkembangan dan belajar dalam hal yang bervariasi. Lowenfield menggambarkan dampak kebutaan dan lowvision terhadap perkembangan kognitif. Adapun identifikasi keterbatasan yang mendasar pada anak tunanetra ada dalam tiga area, antara lain :
·         Tingkat dan keanekaragaman pengalaman
Keterbatasan pengalaman anak tunanetra dikarenakan pengaruh pengalih fungsian organ-organ yang masih normal lainnya. Seorang anak tuna netra lebih mengandalkan indra peraba dan pendengaran untuk membantunya berinteraksi dengan lingkungan luar, walaupun demikian hal tersebut tentu saja tidak bekerja secara maksimal layaknya indra pengelihatan yang secara cepat dangan menyeluruh dalam memperoleh informasi, misalnya ukuran, warna dan hubungan ruang yang dapat dengan mudah diperoleh dengan indra penglihatan.Sehingga hal iniberpengaruh pada variasi dan jenis pengalaman anak yang membutuhkan strategidan kemampuan anak dalam memahami informasi tersebut.
·         Kemampuan untuk berpindah tempat
Indera penglihatan yang normal memungkinkan individu untuk bergerak dengan leluasa dalam suatu lingkungan, tapi keterbatasan penglihatan sangat mempengaruhi kemampuan untukbergerak (mobilitas) dalam kehidupan sehari-hari. Keterbatasan tersebut menghalangi mereka untuk memperoleh pengalaman dan juga berpengaruh juga pada hubungan sosial lingkungan sekitar mereka. Kemampuan untuk bergerakpada anak tunanetra memerlukan pembelajaran yang mengakomodasi indera nonvisualdalam bergerak secara mandiri, sehingga anak tunanetra harus belajar bagaimana berjalan dengan aman dan efisien dalam suatu lingkungan dengan kemampuan orientasi dan mobilitas.
·         Interaksi dengan lingkungan
Jika seorang yang normal berada pada suatu ruangan yang ramai, maka dengan cepat akan mengenali keadaan ruangan tersebut. Orang tunanetra tidak memiliki kontrol seperti itu. Bahkan dengan keterampilan mobilitas yang dimilikinya, gambaran tentang lingkungan masih tidak utuh.
2.    Karakteristik Akademik
Dampak ketunanetraan tidak hanya pada terhadap perkembangan kognitif, tetapi juga berpengaruh pada perkembangan keterampilan akademisnya, khususnya dalam bidang membaca dan menulis. Sebagai contoh, ketika seorang yang normal melakukan kegiatan membaca dan menulis mereka tidak perlu memperhatikan secara rinci bentuk huruf atau kata, tetapi bagi tunanetra hal tersebut tidak bisa dilakukan karena ada gangguan pada ketajaman pengelihatan. Kesulitan mereka dalam kegiatan membaca dan menulis biasanya sedikit mendapat pertolongan  dengan mempergunakan berbagai alternatif media atau alat membaca dan menulis, sesuai dengan kebutuhan masing-masing.  
3.    Karakteristik Sosial dan Emosional
Perilaku sosial secara tipikal dikembangkan melalui observasi kebiasaan dan kejadian sosial serta menirunya. Perbaikan biasanya dilakukan melalui penggunaan yang berulang-ulang dan bila diperlukan meminta masukan dari orang lain yang berkompeten . Karena tunanetra mempunyai keterbatasan dalam belajar melalui pengamatan dan menirukan, siswa tunaneta sering mempunyai kesulitan dalam melakukan perilaku sosial yang benar. Oleh sebab itu siswa tunanetra harus mendapatkan pembelajaran yang langsung dan sistematis dalam bidang pengembangan persahabatan, menjaga kontak mata atau orientasi wajah, penampilan postur tubuh yang baik mempergunakan gerakan tubuh dan ekspresi wajah dengan benar, mempergunakan tekanan dan alunan suara dengan baik, mengekspresikan perasaan, menyampaikan pesan yang tepat pada waktu melakukan komunikasi serta menggunakan alat bantu yang tepat.
4.    Karakteristik Perilaku
Ketunanetraan itu sendiri tidak menimbulkan masalah atau penyimpangan perilaku pada diri anak, meskipun demikian hal tersebut berpengaruh pada perilakunya sebagai berikut:
·      Rasa curiga terhadap orang lain
Tidak berfungsinya indera penglihatan berpengaruh terhadap penerimaaninformasi visual saat berkomunikasi dan berinteraksi. Seorang anak tunanetratidak memahami ekspresi wajah dari teman bicaranya atau hanya dapat melaluisuara saja. Hal ini mempengaruhi saat teman bicaranya berbicara dengan oranglainnya secara berbisik-bisik atau kurang jelas, sehingga dapat mengakibatkanhilangnya rasa aman dan cepat curiga terhadap orang lain. Anak tunanetra perludikenalkan dengan orang-orang di sekitar lingkungannya terutama anggotakeluarga, tetangga, masyarakat sekitar rumah, sekolah dan masyarakat sekitarsekolah.
·      Perasaan mudah tersinggung
Perasaan mudah tersinggung juga dipengaruhi oleh keterbatasan yang iaperoleh melalui auditori/ pendengaran. Bercanda dan saling membicarakan agarsaat berinteraksi dapat membuat anak tunanetra tersinggung. Perasaan mudahtersinggung juga perlu diatasi dengan memperkenalkan anak tunanetra denganlingkungan sekitar. Hal ini untuk memberikan pemahaman bahwa setiap orangmemiliki karakteristik dalam bersikap, bertutur kata dan cara berteman. Haltersebut bila diajak bercanda, anak tunanetra dapat mengikuti tanpa ada perasaan tersinggung bila saatnya ia yang dibicarakan.
·      Verbalisme
Pengalaman dan pengetahuan anak tunanetra pada konsep abstrakmengalami keterbatasan. Hal ini dikarenakan konsep yang bersifat abstrak sepertifatamorgana, pelangi dan lain sebagainya terdapat bagian-bagian yang tidak dapatdibuat media konkret yang dapat menjelaskan secara detail tentang konseptersebut, sehingga hanya dapat dijelaskan melalui verbal. Anak tunanetra yangmengalami keterbatasan dalam pengalaman dan pengetahuan konsep abstrak akanmemiliki verbalisme, sehingga pemahaman anak tunanetra hanya berdasarkankata-kata saja (secara verbal) pada konsep abstrak yang sulit dibuat media konkretyang dapat menyerupai.
·      Perasaan rendah diri
Keterbatasan yang dimiliki anak tunanetra berimplikasi pada konsepdirinya. Implikasi keterbatasan penglihatan yaitu perasaan rendah diri untukbergaul dan berkompetisi dengan orang lain. Hal ini disebabkan bahwapenglihatan memiliki pengaruh yang cukup besar dalam memperoleh informasi.Perasaan rendah diri dalam bergaul terutama dengan anak awas. Perasaan tersebutakan sangat dirasakan apabila teman sepermainannya menolak untuk bermain bersama.
·      Adatan atau perilaku stereotip
Adatan merupakan upaya rangsang bagi anak tunanetra melalui indera nonvisual. Bentuk adatan tersebut misalnya gerakan mengayunkan badan ke depan kebelakang silih berganti, menekan matanya,menggerakkan kaki saat duduk, menggelenggelengkankepala, dan lain sebagainya. Adatan dilakukan oleh anak tunanetrasebagai pengganti apabila dalam suatu kondisi anak yang tidak memilikirangsangan sensoris, terbatasnya aktifitas dan gerak dalam lingkungan, serta keterbatasan sosialbaginya, sedangkan bagi anak awas dapat dilakukan melalui indra  penglihatan dalam mencari informasi di lingkungan sekitar.Biasanya para ahli mencoba mengurangi dan menghilangkan perilaku tersebut dengan membantu mereka memperbanyak aktifitas, atau dengan mempergunakan strategi perilaku tertentu, misalnya pemberian pujian atau alternatif pengajaran, perilaku yang positif dan sebagainya.
·      Suka berfantasi
Implikasi dari keterbatasan penglihatan pada anak tunanetra yaitu sukaberfantasi. Hal ini bila dibandingkan dengan anak awas dapat melakukan kegiatanmemandang, sekedar melihat-lihat dan mencari informasi saat santai atau saat-saattertentu. Kegiatan tersebut tidak dapat dilakukan oleh anak tunanetra, sehinggaanak tunanetra hanya dapat berfantasi saja.
·      Berpikir kritis
Keterbatasan informasi visual dapat memotivasi anak tunanetra dalamberpikir kritis terhadap suatu permasalahan. Hal ini bila dibandingkan anak awasdalam mengatasi permasalahan memiliki banyak informasi dari luar yang dapatmempengaruhi terutama melalui informasi visual. Anak tunanetra akanmemecahkan permasalahan secara fokus dan kritis berdasarkan informasi yang iaperoleh sebelumnya serta terhindar dari pengaruh visual (penglihatan) yang dapatdialami oleh orang awas.
·      Pemberani
Pada anak tunanetra yang telah memiliki konsep diri yang baik, maka iamemiliki sikap berani dalam meningkatkan pengetahuan, kemampuan,keterampilan, dan pengalamannya. Sikap pemberani tersebut merupakan konsepdiri yang harus dilatih sejak dini agar dapat mandiri dan menerima keadaandirinya serta mau berusaha dalam mencapai cita-cita.Sari Rudiyati (2002: 34-38)
·      Ketergantungan yang berlebihan
Anak tunanetra dalam melakukan suatu hal yang bersifat barumembutuhkan bantuan dan arahan agar dapat melakukannya. Hal ini dilakukan olehanak tunanetra dikarenakan adanya asumsi bahwa dengan bantuan orang awas terutamamobilitas mereka merasa lebih aman, sehingga akan menjadikan anak tunanetra memilikiketergantungan secara berlebihan kepada orang awas terutama pada hal-hal yang anak tunanetra dapat melakukan secara mandiri.Namun bantuan dan arahan tersebut tidak dapat dilakukan secara terus menerus, karena ditakutkan apabila hal ini terjadi maka siswa akan cenderung berlaku pasif.

Karakteristik anak tunanetra yang berupa potensi meliputi sikap pemberani, berpikir kritis, dan suka berfantasi. Sikap tersebut dapat dimanfaatkan dalamproses pembelajaran aktif seperti pada konsep penjumlahansehingga dapat meminimalisir karakteristik yang berupakekurangan anak tunanetra. Karakteristik yang berupa kekurangan anak tunanetra meliputi sikapmudah curiga, mudah tersinggung, rendah diri, verbalisme, adatan danketergantungan yang berlebihan. Sikap tersebut dipandang akan mempengaruhisosialisasi dan adaptasi di lingkungan anak tunanetra (rumah, sekolah danmasyarakat). Hal ini menunjukkan bahwa anak tunanetra membutuhkan prosespembelajaran, sosialisasi dan adaptasi dalam mengenal dan memahami kondisiserta situasi lingkungan agar dapat mengurangi kekurangannya.

D.    Pembelajaran bagi Anak dengan Ketunanetraan
Pembelajaran  yang terbaik bagi siswa tunanetra adalamh yang berpusat pada apa, bagaimana, dan di mana pembelajaran khusus yang sesuai dengan kebutuhannya itu tersedia. Pembelajaran khusus yang sesuai dengan kebutuhan siswa adalamh tentang apa yang diajarkan,   prinsip-prinsip tentang metoda khusus yang ditawarkan dalam konteks bagaimana pembelajaran tersebut disediakan, dan yang terakhir adalamh tempat  pendidikan  yang  sesuai  dengan  kebutuhan  anak  dimana  pembelajaran akan dilakukan.
Dalam mengajar anak dengan kelainan penglihatan ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian secara khusus yaitu :
·      Pembelajaran dalam Kurikulum Inti yang Diperluas.
Para ahli mengemukakan, bahwa tunanetra mempunyai dua perangkat kebutuhan  kurikulum:  pertama  adalamh  kurikulum  yang  diperuntukan  bagi siswa  pada  umumnya,  seperti:  bahasa,  seni,  matematika,  dan  IPS;  kedua adalamh yang dapat memenuhi kebutuhan khususnya sebagai akibat dari ketunanetraannya  yaitu kurikulum inti yang diperluas, seperti: keterampilan kompensatoris,  keterampilan  interaksi  sosial,  dan  keterampilan  pendidikan karir.   Para   ahli   pendidikan   bagi   tunanetra,   khususnya   mereka   yang memberikan bantuan dan mengajar siswa dalam setting inklusi, mungkin akan dihadapkan  dengan  dilema  apa  yang  akan  diajarkan  dalam  waktu  yang terbatas. Mereka sebaiknya mengajarkan langsung kepada siswa tunanetra keterampilan khusus untuk mendukung keberhasilannya berada di sekolah umum.
·      Mempergunakan Prinsip-prinsip Metoda Khusus.
Siswa tunanetra hendaknya diberikan pembelajaran  yang sesuai dengan kebutuhan   belajar   khusus   bagi   mereka.   Guru   umum   biasanya   lebih menekankan  pembelajaran  melalui  saluran  visual,  yang  sudah  tentu  tidak sesuai  dengan  tunanetra.  Lowenfeld  mengemukakan  tiga  prinsip  metoda khusus untuk membantu mengatasi keterbatasan akibat ketunanetraan:
a.      Membutuhkan Pengalaman Nyata.
Guru perlu memberikan kesempatan kepada siswa untuk mempelajari lingkungannya  melalui  eksplorasi  perabaan  tentang  situasi  dan  benda- benda yang ada di sekitarnya selain melalui indera-indera yang lainnya. Bagi siswa yang masih mempunyai sisa penglihatan (low vision), aktifitas seperti  itu  merupakan  tambahan  dari  eksplorasi  visual  yang dilakukan. Kalau benda-benda nyata tidak tersedia, bisa dipergunakan model.
b.      Membutuhkan Pengalaman Menyatukan
Karena   ketunanetraan   menimbulkan   keterbatasan   kemampuan   untuk melihat keseluruhan dari suatu benda atau kejadian, guru hendaknya memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyatukan bagian-bagian menjadi satu kesatuan yang utuh. Mempegunakan pembelajaran gabungan, dimana siswa belajar menghubungkan antara mata pelajaran akademis dengan pengalaman kehidupan nyata, merupakan suatu cara yang bagus untuk memberikan pengalaman menyatukan.
c.       Membutuhkan Belajar sambil Bekerja.
Guru hendaknya memberi kesempatan kepada siswa tunanetra untuk mempelajari suatu keterampilan dengan melakukan dan mempraktekan keterampilan tersebut. Banyak bidang yang terdapat dalam kurikulum inti yang diperluas, misalnya orientasi dan mobilitas, dapat diperlajari dengan mudah oleh tunanetra apabila mempergunakan pendekatan  belajar sambil bekerja ini.

Semua siswa, apakah dia tunanetra atau bukan, akan mendapatkan keuntungan dari pembelajaran yang berdasar pada tiga prinsip metoda khusus tersebut,   dan   mempergunakan   metoda   pembelajaran   seperti   itu   dapat membantu siswa untuk belajar membuat suatu konsep dari suatu pola umum. Ada beberapa hal yang dapat diberikan kepada siswa sehubungan dengan adanya kekurangan siswa dalam hal penglihatan (tunanetra). Kebutuhan-kebutuhan ini sangat membantu siswa tunanetra dalam menjalankan pendidikannya, antara lain:
·      Alat pendidikan
1.      Tunanetra (blind)
Alat pendidikan bagi tunanetra terdiri dari :
a)      Alat Pendidikan Khusus :
-          Mesin tik Braille
-          Printer Braille
b)      Alat Bantu
-          Alat bantu perabaan (buku-buku, air panas/dingin, batu, dsb)
-          Alat Bantu pendengaran (kaset, CD, talkingbooks)
c)      Alat Peraga
Alat peraga tactual atau audio yaitu alat peraga yang dapat diamati melalui perabaan atau pendengaran.(patung hewan, patung tubuh manusia , peta timbul)
2.      Low vision
Alat Bantu pendidikan bagi anak low vision terdiri dari:
a)      Alat Bantu Optik :
-          Kaca mata
-          Kaca mata perbesaran
-          Hand magnifier / kaca pembesar
b)      Alat Bantu
-          Kertas bergaris besar
-          Spidol hitam
-          Lampu meja
-          Penyangga buku
c)      Alat Peraga
-          Gambar yang diperbesar
-          Benda asli yang diawetkan
-          Patung / benda model tiruan


E.     Strategi Pembelajaran bagi Anak Tunanetra
Permasalahan strategi pembelajaran dalam pendidikan anak tunanetra didasarkan pada dua pemikiran, yaitu :
1.      Upaya memodifikasi lingkungan agar sesuai dengan kondisi anak (di satu sisi).
2.      Upaya pemanfaatan secara optimal indera-indera yang masih berfungsi, untuk mengimbangi kelemahan yang disebabkan hilangnya fungsi penglihatan (di sisi lain).
Strategi pembelajaran dalam pendidikan anak tunanetra pada hakekatnya adalah strategi pembelajaran umum yang diterapkan dalam kerangka dua pemikiran di atas. Pertama-tama guru harus menguasai karakteristik/strategi pembelajaran yang umum pada anak-anak awas, meliputi tujuan, materi, alat, cara, lingkungan, dan aspek-aspek lainnya. Langkah berikutnya adalah menganalisis komponen-komponen mana saja yang perlu atau tidak perlu dirubah/dimodifikasi dan bagaimana serta sejauh mana modifikasi itu dilakukan jika perlu. Pada tahap berikutnya, pemanfaatan indera yang masih berfungsi secara optimal dan terpadu dalam praktek/proses pembelajaran memegang peran yag sangat penting dalam menentukan keberhasilan belajar.
Dalam pembelajaran anak tunanetra, terdapat prinsip-prinsip yang harus diperhatikan, antara lain :
a.       Prinsip Individual
Prinsip individual adalah prinsip umum dalam pembelajaran manapun (PLB maupun pendidikan umum) guru dituntut untuk memperhatikan adanya perbedaan-perbedaan individu. Dalam pendidikan tunanetra, dimensi perbedaan individu itu sendiri menjadi lebih luas dan kompleks. Di samping adanya perbedaan-perbedaan umum seperti usia, kemampuan mental, fisik, kesehatan, sosial, dan budaya, anak tunanetra menunjukkan sejumlah perbedaan khusus yang terkait dengan ketunanetraannya (tingkat ketunanetraan, masa terjadinya kecacatan, sebab-sebab ketunanetraan, dampak sosial-psikologis akibat kecacatan, dll). Secara umum, harus ada beberapa perbedaan layanan pendidikan antara anak low vision dengan anak yang buta total. Prinsip layanan individu ini lebih jauh mengisyaratkan perlunya guru untuk merancang strategi pembelajaran yang sesuai dengan keadaan anak. Inilah alasan dasar terhadap perlunya (Individual Education ProgramIEP).
b.       Prinsip kekonkritan/pengalaman penginderaan
Strategi pembelajaran yang digunakan oleh guru harus memungkinkan anak tunanetra mendapatkan pengalaman secara nyata dari apa yang dipelajarinya. Dalam bahasa Bower (1986) disebut sebagai pengalaman penginderaan langsung. Anak tunanetra tidak dapat belajar melalui pengamatan visual yang memiliki dimensi jarak, bunga yang sedang mekar, pesawat yang sedang terbang, atau seekor semut yang sedang mengangkut makanan. Strategi pembelajaran harus memungkinkan adanya akses langsung terhadap objek, atau situasi. Anak tunanetra harus dibimbing untuk meraba, mendengar, mencium, mengecap, mengalami situasi secara langsung dan juga melihat bagi anak low vision. Prinsip ini sangat erat kaitannya dengan komponen alat/media dan lingkungan pembelajaran. Untuk memenuhi prinsip kekonkritan, perlu tersedia alat atau media pembelajaran yang mendukung dan relevan. Pembahasan mengenai alat pembelajaran akan disampaikan pada bagian khusus.
c.       Prinsip totalitas
Strategi pembelajaran yang dilakukan guru haruslah memungkinkan siswa untuk memperoleh pengalaman objek maupun situasi secara utuh dapat terjadi apabila guru mendorong siswa untuk melibatkan semua pengalaman penginderaannya secara terpadu dalam memahami sebuah konsep. Dalam bahasa Bower (1986) gagasan ini disebut sebagai multi sensory approach, yaitu penggunaan semua alat indera yang masih berfungsi secara menyeluruh mengenai suatu objek. Untuk mendapatkan gambaran mengenai burung, anak tunanetra harus melibatkan perabaan untuk mengenai ukuran bentuk, sifat permukaan, kehangatan. Dia juga harus memanfaatkan pendengarannya untuk mengenali suara burung dan bahkan mungkin juga penciumannya agar mengenali bau khas burung. Pengalaman anak mengenai burung akan menjadi lebih luas dan menyeluruh dibandingkan dengan anak yang hanya menggunakan satu inderanya dalam mengamati burung tersebut. Hilangnya penglihatan pada anak tunanetra menyebabkan dirinya menjadi sulit untuk mendapatkan gambaran yang utuh/menyeluruh mengenai objek-objek yang tidak bisa diamati secara seretak (suatu situasi atau benda berukuran besar). Oleh sebab itu, perabaan dengan beberapa tekhnik penggunaannya menjadi sangatlah penting.
d.      Prinsip aktivitas mandiri (selfactivity)
Strategi pembelajaran haruslah memungkinkan atau mendorong anak tunanetra belajar secara aktif dan mandiri. Anak belajar mencari dan menemukan, sementara guru adalah fasilitator yang membantu memudahkan siswa untuk belajar dan motivator yang membangkitkan keinginannya untuk belajar. Prinsip ini pun mengisyaratkan bahwa strategi pembelajaran harus memungkinkan siswa untuk bekerja dan mengalami, bukan mendengar dan mencatat. Keharusan ini memiliki implikasi terhadap perlunya siswa mengetahui, menguasai, dan menjalani proses dalam memperoleh fakta atau konsep. Isi pelajaran (fakta, konsep) adalah penting bagi anak, tetapi akan lebih penting lagi bila anak menguasai dan mengalami guna mendapatkan isi pelajaran tersebut.



F.     Pola Pembelajaran bagi Anak Tunanetra
Permasalahan pembelajaran dalam pendidikan tunanetra adalah masalah penyesuaian. Penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran pada anak tunanetra lebih banyak berorientasi pada pendidikan umum, terutama menyangkut tujuan dan muatan kurikulum. Dalam strategi pembelajaran, tugas guru adalah mencermati setiap bagian dari kurikulum, mana yang bisa disampaikan secara utuh tanpa harus mengalami perubahan, mana yang harus dimodifikasi, dan mana yang harus dihilangkan sama sekali.

G.    Dampak Ketunanetraan
Penglihatan merupakan salah satu saluran informasi yang sangat penting bagi manusia selain pendengaran, pengecap, pembau, dan perabaan. Pengalaman manusia kira-kira 80 persen dibentuk berdasarkan informasi dari penglihatan. Di bandingkan dengan indera yang lain indera penglihatan mempunyai jangkauan yang lebih luas. Pada saat seseorang melihat sebuah mobil maka ada banyak informasi yang sekaligus diperoleh seperti misalnya warna mobil, ukuran mobil, bentuk mobel, dan  lain-lain termasuk detail bagian-bagiannya. Informasi semacam itu tidak mudah diperoleh dengan indera selain penglihatan. Kehilangan indera penglihatan berarti kehilangan saluran informasi visual. Sebagai akibatnya menyandang kelainan penglihatan akan kekuarangan atau kehilangan informasi yang bersifat visual. Seseorang yang kehilangan atau mengalami kelainan penglihatan, sebagai kompensasi, harus berupaya untuk meningkatkan indera lain yang masih berfungsi. Seberapa jauh dampak kehilangan atau kelainan penglihatan terhadap kemampuan seseorang tergantung pada banyak faktor misalnya kapan (sebelum atau sesudah lahir, masa balita atau sesudah lima tahun)  terjadinya kelainan, berat ringannya kelainan, jenis kelainan dan lain-lain. Seseorang yang kehilangan penglihatan sebelum lahir sering sampai usia lima tahun pengalaman visualnya sangat sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali. Sedangkan yang kehilangan penglihatan setelah usia lima tahun atau lebih dewasa biasanya masih memiliki pengalaman visual yang lebih baik tetapi memiliki dampak yang lebih buruk terhadap penerimaan diri.

1.    Dampak terhadap Kognisi
Kognisi adalamh persepsi individu tentang orang lain dan obyek-obyek yang diorganisasikannya secara selektif. Respon individu terhadap orang dan obyek tergantung pada bagaimana orang dan obyek tersebut tampak dalam dunia kognitifnya ,dan citra atau “peta” dunia setiap orang itu bersifat individual. Setiap orang mempunyai citra dunianya masing-masing karena citra tersebut merupakan produk yang ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan fisik dan sosisalnya, struktur fisiologisnya, keinginan dan tujuannya, dan pengalaman-pengalaman masa lalunya. Dari keempat faktor yang menentukan kognisi individu tunanetra menyandang kelainan dalam struktur fisiologisnya, dan mereka harus menggantikan fungsi indera penglihatan dengan indera-indera lainnya untuk mempersepsi lingkungannya. Banyak di antara mereka tidak pernah mempunyai pengalaman visual, sehingga konsepsi mereka tentang dunia ini mungkin berbeda dari konsepsi orang normal pada umumnya.
2.    Dampak terhadap Keterampilan Sosial
Orang tua memainkan peranan yang penting dalam perkembangan sosial anak. Perlakuan orang tua terhadap anaknya yang tunanetra sangat ditentukan oleh sikapnya terhadap ketunanetraan itu, dan emosi merupakan satu komponen dari sikap di samping dua komponen lainnya yaitu kognisi dan kecenderungan tindakan. Ketunanetraan yang terjadi pada seorang anak selalu menimbulkan masalah emosional pada orang tuanya. Ayah dan ibunya akan merasa kecewa, sedih, malu dan berbagai bentuk emosi lainnya. Mereka mungkin akan merasa bersalah atau saling menyalahkan, mungkin akan diliputi oleh rasa marah yang dapat meledak dalam berbagai cara, dan dalam kasus yang ekstrem bahkan dapat mengakibatkan perceraian. Persoalan seperti ini terjadi pada banyak keluarga yang mempunyai anak cacat. Pada umumnya orang tua akan mengalami masa duka akibat kehilangan anaknya yang “normal” itu dalam tiga tahap; tahap penolakan, tahap penyesalan, dan akhirnya tahap penerimaan, meskipun untuk orang tua tertentu penerimaan itu mungkin akan tercapai setelah bertahun-tahun. Proses “dukacita” ini merupakan proses yang umum terjadi pada orang tua anak penyandang semua jenis kecacatan. Sikap orang tua tersebut akan berpengaruh terhadap hubungan di antara mereka (ayah dan ibu) dan hubungan mereka dengan anak itu, dan hubungan tersebut pada gilirannya akan mempengaruhi perkembangan emosi dan sosial anak.
3.    Dampak terhadap Bahasa
Pada umumnya para ahli yakin bahwa kehilangan penglihatan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kemampuan memahami dan menggunakan bahasa, dan secara umum mereka berkesimpulan bahwa tidak terdapat defisiensi dalam bahasa anak tunanetra. Mereka mengacu pada banyak studi yang menunjukkan bahwa siswa-siswa tunanetra tidak berbeda dari siswa-siswa yang normal dalam hasil tes intelegensi verbal. Mereka juga mengemukakan bahwa berbagai studi yang membandingkan anak-anak tunanetra dan normal tidak menemukan perbedaan dalam aspek-aspek utama perkembangan bahasa. Karena persepsi auditif lebih berperan daripada persepsi visual sebagai media belajar bahasa, maka tidaklah mengherankan bila berbagai studi telah menemukan bahwa anak tunanetra relatif tidak terhambat dalam fungsi bahasanya. Banyak anak tunanetra bahkan lebih termotivasi daripada anak normal untuk menggunakan bahasa karena bahasa merupakan saluran utama komunikasinya dengan orang lain. Secara konseptual sama bagi anak tunanetra maupun anak normal, karena makna kata-kata dipelajarinya melalui konteksnya dan penggunaannya di dalam bahasa. Sebagaimana halnya dengan semua anak, anak tunanetra belajar kata-kata yang didengarnya meskipun kata-kata itu tidak terkait dengan pengalaman nyata dan tak ada makna baginya. Kalaupun anak tunanetra mengalami hambatan dalam perkembangan bahasanya, hal itu bukan semata-mata akibat langsung dari ketunanetraannya melainkan terkait dengan cara orang lain memperlakukannya. Ketunanetraan tidak menghambat pemrosesan informasi ataupun pemahaman kaidah-kaidah bahasa.
4.    Dampak terhadap Orientasi dan Mobilitas
Mungkin kemampuan yang paling terpengaruh oleh ketunanetraan untuk berhasil dalam penyesuaian social individu tunanetra adalamh kemampuan mobilitas yaitu keterampilan untuk bergerak secara leluasa di dalam lingkungannya. Ketrampilan mobilitas ini sangat terkait dengan kemampuan orientasi, yaitu kemampuan untuk memahami hubungan lokasi antara satu obyek dengan obyek lainnya di dalam lingkungan. Untuk membentuk mobilitas itu, alat bantu yang umum dipergunakan oleh orang tuna netra di Indonesia adalamh tongkat, sedangkan di banyak negara barat penggunaan anjing penuntun (guide dog) juga populer. Dan penggunaan alat elektronik untuk membantu orientasi dan mobilitas individu tunanetra masih terus dikembangkan. Agar anak tuna netra memiliki rasa percaya diri untuk bergerak secara leluasa di dalam lingkungannya dalam bersosialisasi, mereka harus memperoleh latihan orientasi dan mobilitas. Program latihan orientasi dan mobilitas tersebut harus mencakup sejumlah komponen, termasuk kebugaran fisik, koordinasi motor, postur, keleluasaan gerak, dan latihan untuk mengembangkan fungsi indera –indera yang masih berfungsi.

ü  Perkembangan Kognitif, Motorik Emosi, Sosial Tunanetra
1.    Perkembangan Kognitif Anak Tunanetra
Akibat dari ketunanertaan, maka pengenalan atau pengertian terhadap dunia luar anak, tidak dapat diperoleh secara lengkap dan utuh. Akibatnya perkembangan kognitif anak tunanerta cendrung terhambat dibandingkan dengan anak-anak normal pada umumnya. Hal ini disebabkan perkembangan kognitf tidak saja erat kaitannya dengan kecerdasan (IQ), tetapi juga dengan kemampuan indra penglihatannya. Melalui indera penglihatan seseorang mampu melakukan pengamatan terhadap dunia sekitar, tidak saja pada bentuknya (pada objek berdimensi dua) tetapi juga pengamatan dalam (pada objek berdimensi tiga), warna, dan dinamikanya. Melalui indra inilah sebagian besar rangsang atau informasi akan diterima untuk selanjutnya diteruskan ke otak, sehingga timbul kesan atau persepsi dan pengertian tertentu terhadap rangsang tersebut. Melalui kegiatan-kegiatan yang bertahap dan terus menerus seperti inilah yang pada akhirnya mampu merangsang pertumbuhan dan perkembangan kognitif seseorang sehingga mampu berkembang secara optimal.
2.    Perkembangan Motorik Anak Tunanetra
Perkembangan motorik anak tunanetra cendrung lambat dibandingkan dengan anak awas pada umumnya. Keterlambatan ini terjadi karna dalam perkembangan perilaku motorik diperlukan adanya koordinasi fungsional antara neuromuscular system (system persyarafan dan otot) dan fungsi psikis (kognitif, afektif, dan konatif), serta kesempatan yang diberikan oleh lingkungan. Pada anak tunanerta mungkin fungsi neuromuscular system tidak bermasalah tetapi fungsi psikisnya kurang mendukung serta menjadi hambatan tersendiri dalam perkembangan motoriknya. Secara fisik, mungkin anak mampu mencapai kematangan sama dengan anak awas pada umumnya, tetapi karna fungsi psikisnya (seperti pemahaman terhadap realitas lingkungan, kemungkinan mengetahui adanya bahaya dan cara menghadapi, keterampilan gerak yang serba terbatas, serta kurangnya keberanian dalam melakukan sesuatu) mengakibatkan kematangan fisiknya kurang dapat dimanfaatkan secara maksimal dalam melakukan aktivitas motorik. Hambatan dalam fungsi psikis ini secara langsung atau tidak langsung terutama berpangkal dari ketidakmampuannya dalam melihat.
3.    Perkembangan Emosi Anak Tunanetra
Perkembangan emosi anak tunanetra akan sedikit mengalami hambatan dibandingkan dengan anak yang awas. Keterhambatan ini terutama disebabkan oleh keterbatasan kemampuan anak tunanetra dalam proses belajar. Pada awal masa kanak-kanak, anak tunanetra mungkin akan melakukan proses belajar mencoba-coba untuk menyatakan emosinya, namun hal ini tetap dirasakan tidak efisien karena dia tidak dapat melakukan pengamatan terhadap reaksi lingkungannya secara tepat. Akibatnya pola emosi yang ditampilkannya mungkin berbeda atau tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh diri maupun lingkungannya. Perkembangan emosi anak tunanetra akan semakin terhambat bila anak tersebut mengalami deprivasi emosi , yaitu keadaan dimana anak tunanetra tersebut kurang memiliki kesempatan untuk menghayati pengalaman emosi yang menyenangkan seperti kasih sayang, kegembiraan, perhatian, dan kesenangan. Anak tunanetra yang cenderung mengalami deprivasi emosi ini terutama adalah anak-anak yang pada masa awal kehidupan atau perkembangannya ditolah kehadirannya oleh linkungan keluarga atau masyarakat. Deprivasi emosi ini akan sangat berpengaruh terhadap aspek perkembangan lain seperti kelambatan dalam perkembangan fisik, motorik, bicara, intelektual dan social. Selain itu, anak yang mengalami deprivasi emosi akan bersifat menarik diri, mementingkan diri sendiri,serta sangat menuntut pertolongan atau perhatian dan kasih sayang dari orang-orang disekitarnya.
4.        Perkembangan Sosial Anak Tunanetra
Perkembangan sosial berarti dikuasainya seperangkat kemampuan untuk bertingkah laku sesuai dengan tuntutan masyarakat. Bagi anak tunanetra penguasaan seperangkat kemampuan bertingkah laku tersebut tidaklah mudah. Anak tunanetra lebih banyak menghadapi masalah dalam perkembangan social. Hambatan-hambatan tersebut adalah kurangnya motivasi, ketakutan menghadapi lingkungan social yang lebih luas atau baru, perasaan rendah diri, malu, keterbatasan anak untuk dapat belajar social melalui proses identifikasi dan imitasi, serta sikap-sikap masyarakat yang sering kali tidak menguntungkan : penolakan, penghinaan dan sikap tak acuh.  Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa bagaimana perkembangan social anak tunanetra itu sangat bergantung pada bagaimana perlakuan dan penerimaan lingkungan terutama lingkungan keluarga terhadap anak tunanetra itu sendiri. Bila perlakuan dan penerimaannya baik, maka perkembangan sosial anak tunanetra tersebut akan baik dan begitu juga sebaliknya.




BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
B.     Saran



DAFTAR PUSTAKA

Delphie, Bandi. 2006. Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus. Bandung : PT Refika Aditama
Kartadinata, Sunaryo. 1996. Psikologi Anak Luar Biasa. Surabaya : Dikti


Tidak ada komentar:

Posting Komentar