TANTANGAN - Sastra Education

Breaking

Jumat, 03 April 2020

TANTANGAN


Aku menatapnya tak mengerti. “Aku menantangmu berduel.” Dia nyaris tersenyum, tapi tidak juga. Lalu wajahnya serius. “Jika kau tak datang aku akan menghindarimu.”
Awalnya aku tidak langsung memahaminya. Aku terus menatapnya cemas saat kata-katanya satu per satu tersusun dalam benakku bagai kepingan puzzle mengerikan. Aku nyaris tak menyadari detak jantungku yang semakin memburu, meskipun, saat napasku semakin liar, aku merasakan hangat di dadaku.
Dia tidak mengatakan apa-apa; Dia meninggalkanku dengan senyuman ceria ketika aku ada dikamar penyembuh. Aku sungguh terkesima.
  Apa aku akan berhenti keheranan, bahwa akulah orang yang dijawab ya olehnya? Sepertinya aku akan terus heran.
Aku langsung melesat masuk ke ruang kelas, tidak sabar ingin berada di sampingnya. Dia
tidak terlihat kaget dengan kemunculanku yang tiba-tiba. Kebahagiaan yang kurasakan ketika aku duduk disampingnya seperti ini, tidak ada bandingannya.
Sima terlihat menerawang memandang ke luar. Aku hanya tahan berdiam diri selama beberapa detik. Aku harus tahu apa yang dia pikirkan pagi ini. Ada banyak hal yang berubah diantara kami sejak matahari terbit.
“Apa tidak ada rentetan pertanyaan hari ini?” tanyaku sesantai mungkin.
Dia tersenyum, terlihat lega aku mengungkitnya. “Apakah pertanyaan-pertanyaanku mengganggumu?”

“Tidak seperti reaksimu,” jawabku jujur sambil tersenyum untuk membalas senyumnya.
Ujung bibirnya mengerut turun. “Apakah reaksiku buruk?”
“Tidak, itu masalahnya. Kau menerimanya dengan tenang sekali tidak wajar.” Tidak ada satu jeritanpun. Bagaimana itu mungkin? “Itu memuatku bertanya-tanya, apa yang sebenarnya kau pikirkan.”
Tentu saja, apapun yang dia perbuat atau tidak perbuat, membuatku bertanya-tanya.
“Aku selalu mengatakan apa yang sebenarnya kupikirkan.”
“Kau mengeditnya.”
Dia menggigit bibirnya lagi, kelihatannya tidak sadar—reflek ketika sedang tegang.
“Tidak terlalu banyak.”
Hanya dengan mendengar kata-kata itu sudah membuat penasaranku memuncak. Apa yang dengan sengaja dia tutupi dariku?
“Cukup untuk memuatku gila,” sergahku.
Dia ragu sejenak, lalu berbisik, “Kau tidak ingin mendengarnya.”
Aku harus berpikir sebentar, mengulang kembali seluruh pembicaraan kemarin siang, kata perkata, mencari hubungannya. Mungkin aku mesti lebih berkonsentrasi lagi karena aku tidak bisa membayangkan ada sesuatu yang tidak ingin kudengar dari dia. Tapi kemudian karena nada bicaranya sama dengan kemarin siang; ada kecemasan yang tiba-tiba muncul aku ingat. Secara spesifik aku sempat meminta dia untuk tidak mengucapkan pikirannya; Jangan pernah katakan itu. Aku hampir menggeram ketika itu, dan membuatnya menangis...
Aku tidak bisa berkata apa-apa. Kebahagiaan dan penderitaan ini terlalu kuat untuk diungkapkan lewat kata-kata. Benturan keduanya terlalu liar untuk dijelaskan. Keadaan hening, hanya ada suara dari detak jantungnya yang teratur.
“Kau tidak lupa hari inikan,” tanyanya tiba-tiba.
“Tentu,” kataku. “Aku tentu masih mengingatnya.”
Guru pelajaran Hadist mulai masuk dan mengisi pelajaran. Ada untungnya juga Ustad Abila sudah tidak pernah menanyaiku lagi. Hari ini mungkin dia bisa memergokiku tanpa jawaban. Pikiranku sedang berkeliaran ke tempat lain; hanya badanku yang di kelas.
Tentu saja aku sedang memandangi Sima. Itu jadi alamiah sealami seperti bernapas. Aku melihat senyumannya mempesona. Pipinya merah merona tersenyum bahagia.
Ketika pelajaran hadist berakahir. Aku memandang Sima serius, dan sekali lagi melirik.
“Sima,” kataku.
 Rasa bingung menghantamaku. Melanjutkan perkataanku membuat pikiran dan hatiku terhenti sesaat.
“Ada apa?” tanyanya lembut. Dia tersenyum. Sikapnya tak menghindariku. Rasanya dia malah semakin dekat padaku.
Aku menggeleng dan menggumamkan sesuatu yang kuanggap tak dapat dia pahami. “Bereaksi berlebihan.”
 “Mengapa kau bilang begitu?” dia berbisik, menjaga suaranya agar tidak gemetaran. “Apakah kau lelah berteman denganku setiap saat? Kau ingin aku pergi?”
“Tidak, aku tak ingin tanpa dirimu. Sima, tentu saja tidak. Yang benar saja. Dan aku juga senang-senang saja menyelamatkanmu jika saja bukan karena fakta bahwa akulah yang justru selalu di selamatkanmu ketika aku terluka... bahwa akulah alasan kau berada di sini.”
“Bukan, justru kau menolongku.” Dia merengut. “Alasan aku berada di sini hidup-hidup.”
“Maksudku bukan pengalaman nyaris mati yang baru saja kualami ini,” kataku, mulai jengkel. “Aku sedang memikirkan yang lain kau boleh pilih. Kalau bukan karena kau, aku sudah membusuk di pinggiran hutan Gumbala.”
Dia meringis mendengar kata-kataku, tapi raut khawatir tak enyah juga dari wajahnya.
“Meski begitu, itu bukan yang terburuk,” dia melanjutkan berbisik, seolah-olah aku tak pernah mengatakan apa-apa. “Yang terburuk bukanlah saat melihatmu di sana, terkapar di tanah... meringkuk dan terluka.” Suaranya tercekat
“Aku akan menjadi yang pertama mengakui bahwa aku tak berpengalaman menjalin hubungan,” kataku. “Tapi kelihatannya masuk akal... seorang laki-laki dan perempuan seharusnya sederajat... salah satu dari mereka tak bisa selalu menghambur dan menyelamatkan yang lain. Mereka harus saling menyelamatkan satu sama lain.”
Sima terdiam. Tetapi rasanya dia mulai merasa cemas dan tegang. Dia membuang muka. Sepertinya dia agak sedikit dingin memperhatikan ke arahku. Matanya menyorot tajam dan ragu kepadaku. Dia mengangkat bahu.
“Kurasa kau simpan saja kata-kata itu,” kata Sima. “Aku tunggu kau di pinggiran hutan Gumbala.”
Sima pergi. Dia meninggalkanku duduk diam dan melongo. Aku hanya bisa memperhatikan arah dia menghilang. Sekejap mata dia telah lenyap dibalik pintu kelas.
Waktu telah berlalu. Sholat zhuhur telah didirikan. Aku bersiap untuk memenuhi ekspektasinya. Tubuhku tampak tegang berdiri memadang ke depan. Mataku tajam mengamati keadaan.
Kurasa pohon-pohon mulai menunjukkan keperkasaannya. Mereka terlihat lebih menantang. Aku meluncur sendirian menuju ke arah pinggiran hutan Gumbala. Langkahku begitu cemas dan tegang. Rasanya kakiku sangat berat untuk melakukannya. Tetapi aku tak mau membuat dia kecewa.
Perlahan-lahan aku mendekati pinggiran hutan Gumbala. Mataku tampak tajam dan waspada memperhatikan sekitar. Ketegangan dan kecemasan menderaku, saat aku memperhatikan gadis berhijab didepan pohon besar. Dia membalikkan tubuhnya mengarah didepan pohon besar. Dia berdiri tegap menyilang tangan didada. Kakinya terlihat kokoh menyanggah tubuh indahnya. Pakain kebaya telihat lebih casual. Lengan panjang berwarna kecoklatan. Bawahannya memakai celana congklang hitam. Walaupun dia memunggungiku terasa energy tenang dan membara.
 “Terima kasih,” katanya. “Kau telah memenuhi ekspektasiku.”
Aku tegang dan cemas.Wajahku hampir kaku dan dingin memandangnya.
Dia mulai memandang ke arahku. Senyumannya mengudara dari arah aku menatapnya. Wajahya mempesona mata. Bibirnya tampak menggoda. Dia berdiri tegap hingga membuat orang terpana. Pipinya merah merona membuatku terkesima.
“Aku benar-benar terkejut kau belum mengetahuinya juga.” Dia tersenyum mengejek, dan aku tercekat. Apakah aku bakal terbiasa dengan kesempurnaannya?
“Aku bilang kau terlihat sangat cantik, bukan?” ujarku.
“Sudah.” Dia tersenyum. Dia mengangkat bahu. “Aku ingin pertarungan imbang. Kita hanya memakai Amral.”
Aku mengangguk. Sejujurnya aku begitu tegang memperhatikannya. Dia begitu percaya diri hingga aku sedikit ragu untuk menentangnya.
“Apa siap?” tanyanya.
Tangannya tajam dan sigap membangun kuda-kuda bertahan. Dia sedikitpun taka da keraguan dalam pergerakannya.
“Tunggu,” kataku. “Boleh aku bertanya satu pertanyaan saja.”
“Tentu,” katanya.
Dahinya mengerut. Tatapan dingin memandangku. Tetapi aku tak salah memperhatikannya dia terlihat lebih menawan dari sebelumnya.
“Dan sejujurnya aku ragu tentang hal ini,” kataku. “Tetapi aku tahu harus apa mengenai apa yang terjadi. Jangan tersinggung. Apa aku begitu bodoh menerima tantanganmu?”
Sima tertawa sesaat. Dia menatap dingin padaku. Dia mengangkat bahu.
“Jangan berlagak bodoh,” katanya. Aku tahu maksudmu. Apa kau meremehkanku, karena aku seorang wanita?”
Sima tidak menoleh. Dia terus memandang ke kejauhan, mengabaikanku. Wajahnya tampak memburu.
Badanku membeku. Rasanya aku seperti tidak dihargai. Sesuatu yang sudah sangat-sangat jelas, entah bagaimana jadi terpelintir di dalam otaknya yang ganjil.
“Tidak,” kataku. “Maksud bukan itu. Tetapi…”
“Itu tidak penting bukan,” katanya. “Aku tak mau lama-lama. Jika terlalu lama kau tak mau membuatku kecewa, bukan!”
Aku terhenti sebelum perkataanku berlanjut. Dia memandangku dingin. Jika diibaratkan sedingin es dia menatapku. Rasanya asaku terbungkam dalam diam.
Tiba-tiba serangan tumbuhan berduri mulai meluncur menembus udara. Tumbuhan berduri itu menjangkau tubuhku yang berdiri tegap membeku. Aku melemparkan tubuhku untuk menghindar.
Dia tersenyum mengambang. Tak ada keraguan dalam serangannya. Ketenangan dan keefektiftan sangat sempurna untuk menciptakan luka. Aku mengeleng-gelengkan kepala.
Dia menciptakan serangan kembali. Kali ini dia membangun sebuah kekuatan tersendiri. Tumbuhan berduri membentuk sebilah pedang terlihat seperti tombak berduri yang mengancam.
Sima tersenyum. Mata yang berwarna hitam itu dipenuhi dengan nafsu memburu saat dia menatap langsung kepadaku.
"Soma! Ini akan sangat menyenangkan bukan!
Dia tertawa. Sima pelan-pelan menggerakkan satu kakinya ke depan, membuat sebuah retakan di tanah yang kosong.
Dia memperkecil jarak kepadaku dengan satu langkah, lalu satu langkah lagi, dan mengayunkan tombak berduri di tangannya dengan satu tangan. Suara tombak berduri yang membelah udara tu adalah bukti nyata bahwa dia siap bertarung.
Mata tajam Sima melihat ke arahku yang tidak siap.”.......Kalau begitu... mari kita mulai!”
Bagiku, yang unggul dalam pertarungan jarak dekat, memperkecil jarak hanya akan membuatnya berada dalam kerugian. Namun, alih-alih aku memasang kuda-kuda bertahan, aku bicara kepada Sima dengan sikap yang memaksakan, seperti seorang juara yang menunggu penantangnya.
"Itu adalah hadiah yang membosankan, tapi apakah kamu menyukainya Sima?"
Sima tersenyum simpul. Dia tidak kesal atau menyebalkan sikap begitu ceria. Dari lubuk hatinya, seakan dia tertawa keras.
"Ini menakjubkan! Aku tidak percaya aku akan berani menantang dengan kekuatan yang luar biasa seperti itu, Soma!"
Dengan kecepatan yang bisa membuat angin terlihat pelan sebagai perbandingannya, Sima mendekat, dipenuhi dengan semangat tinggi tanpa ragu. Setiap langkahnya menyebabkan gesekan udara terasa ringan. Tombak berduri begitu mudah menembus udara.
Aku mulai memasang kuda-kuda bertahan. Dari tangan kananku muncul sebilah keris pendek. Keris itu aku pegang erat dan kuat. Aku bersyukur tubuhku tak perlu berkedip. Jika aku berkedip sekali saja, aku akan kehilangan jejak Sima. Dia begitu cepat bahkan rasa dia malah semakin cepat tidak seperti biasa.
Aku melihat matanya tajam memandangku. Serangan yang dilancarkan tak ada keraguan dan kecemasan. Dia begitu percaya diri.  
Dengan senyum mengudara yang mengikuti di belakangnya, Tombak Sima terbang ke arahku. Mataku sigap membaca arahnya. Aku mengangkat bahu dan menghadang lajunya. Tombak itu seperti tumbuhan hidup. Ketika kerisku berhasil menghadangnya. Tombak itu melilit kerisku hingga tak bisa aku gerakan.  Aku tak menyangka tumbuhan berduri ternyata begitu kuat dan keras. Rasanya tombak berduri itu seperti besi baja. Aku begitu kerepotan melepaskan lilitannya. Akhirnya aku membiarkan kerisku terlepas dari peganganku. Aku mengelengkan kepala. Aku segera melemparkan diri untuk menghindar.
Sima tersenyum. Tatapan tak berubah sama sekali. Dia percaya diri dan berani. Dia mengangkat bahu.
“Seperti kau terlalu meremehkan bukan!”
Dahinya mengerut. Matanya mengeryit. Dia terlihat menyebalkan tetapi menawan hingga aku tersenyum padanya.
“Bukan begitu,” kataku. “Aku tahu kau akan sungguh-sungguh padaku. Tetapi aku baru tahu perkembanganmu sepesat ini. Kurasa aku akan lebih waspada lagi terhadap seranganmu.”
Sima mengangguk.
“Bagus,” kata Sima. “Itu yang aku tunggu. Kau jangan ragu-ragu padaku. Jangan anggap remeh seorang wanita.”
Aku terdiam. Aku bimbang dalam mengatur seranganku. Jika menggunakan kekuatan penuh kurasa dia akan terluka. Tetapi yang terpenting dia akan lebih bahagia. Kurasa itu memang pilihan yang tepat.
Aku membentangkan tanganku. Dihapadanku satu keris agak panjang muncul. Dengan menerbangkannya di udara aku mulai menyerang menembus udara. Kecepatan begitu kencang menerjang angin. Kerisku terbang memburu ke arah Sima. Tombak Sima berhasil menghadang lajunya. Kedua ujung senjata saling bertemu. Keduanya sama-sama menekan dan mendorong. Karena imbang akhirnya kerisku mengubah seranganya dari tusukan menjadi sabetan. Aku kembali menerbangkannya. Kerisku begitu sengit memberikan perlawanan. Dia menyerang dari sisi kanan kiri, depan belakang hingga aku melihat Sima begitu kerepotan bertahan.
Pertarungan sengit sangat intens. Kedua senjata saling menyerang dan bertahan. Aku hanya mengerakkan jariku dari kejauhan. Sementara Sima agak kerepotan untuk mendekat menyerang. Dia sampai jungkir balik menghadang dan menyerang.
Sima sigap mengatur strateginya. Dia mengubah serangannya. Dia mengubah tombak menjadi tumbuhan berduri menjalar. Dari kejuahan dia hanya menggerakkan jarinya untuk menerobos pertahananku. Tumbuhan berduri itu meluncur memburuku. Cepat dan akurat menyerangku dalam posisi menyerang. Aku melemparkan tubuhku untuk menghindar.
Serangan itu tak ada kompromi. Sebelum aku berpindah halaun, dia melancarkan serangan berikutnya. Aku sungguh sangat kerepotan. Untung kerisku berhasil memotongnya sebelum mengenai diriku. Tetapi aku melihat bunga mawar terjatuh ke tanah. Aku segera mengambil dan menyerang ke depan. Aku melesat kencang, kerisku aku pegang dengan tangan kiri memotong setiap tumbuhan berduri menjalar menyerang. Sementara tangan kananku memegang bunga mawar.
Sima terus melancarkan serangannya. Aku mencoba mendekatinya. Jantungku berdetak kencang. Kerisku memotong setiap tumbuhan berduri yang meluncur ke arahku. Aku begitu cepat meluncur dihadapannya. Tumbuhan berduri miliknya tak sanggup menghentikan langkah. Aku terpaksa menggunakan Aji Narantaka untuk menguatkan kerisku. Karena hatiku terasa tersiksa setiap aku menyerangnya. Ketika aku sampai dihapadannya. Begitu cepat dan akurat, aku tertunduk dihapadanya. Kakiku kutekuk, lututku menyentuh tanah. Kepalaku tegap menatapnya. Aku mengangkat bahu kanan. Tangan kiriku sibuk menebas serangannya.
“Aku menyukaimu,” kataku menyerahkan sekuntum bunga mawar mengarah dihadapannya. “Apa kau mau menerimaku?”
Dia mendadak syok. Wajahnya terlihat merah merona. Serangannya berhenti seketika. Matanya membelalak. Aku melihat dia tersenyum kecil. Tetapi aku terkejut dia malah membuang muka. Seperkian detik dia kembali menatapku.
“Aku belum bisa menjawabnya,” kata Sima agak malu. “Tetapi aku harap itu yang terbaik untukmu.”
Aku mendadak syok. Mataku melongo.
Dia membalikkan tubuhnya, lalu meninggalkanku. Aku tertunduk seperti patung membisu. Tanganku masih memegang bunga mawar itu. Aku begitu tahu diri tak mudah menerima apa yang ada dihatiku. Aku seraya terkena mawar berduri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar