Aku menatapnya tak mengerti.
“Aku menantangmu berduel.” Dia nyaris tersenyum, tapi tidak juga. Lalu wajahnya
serius. “Jika kau tak datang aku akan menghindarimu.”
Awalnya aku tidak langsung
memahaminya. Aku terus menatapnya cemas saat kata-katanya satu per satu
tersusun dalam benakku bagai kepingan puzzle mengerikan. Aku nyaris tak
menyadari detak jantungku yang semakin memburu, meskipun, saat napasku semakin
liar, aku merasakan hangat di dadaku.
Dia tidak mengatakan
apa-apa; Dia meninggalkanku dengan senyuman ceria ketika aku ada dikamar
penyembuh. Aku sungguh terkesima.
Apa
aku akan berhenti keheranan, bahwa akulah orang yang dijawab ya olehnya? Sepertinya
aku akan terus heran.
Aku langsung melesat masuk
ke ruang kelas, tidak sabar ingin berada di sampingnya. Dia
tidak terlihat kaget dengan kemunculanku yang tiba-tiba. Kebahagiaan yang kurasakan ketika aku duduk disampingnya seperti ini, tidak ada bandingannya.
tidak terlihat kaget dengan kemunculanku yang tiba-tiba. Kebahagiaan yang kurasakan ketika aku duduk disampingnya seperti ini, tidak ada bandingannya.
Sima terlihat menerawang
memandang ke luar. Aku hanya tahan berdiam diri selama beberapa detik. Aku
harus tahu apa yang dia pikirkan pagi ini. Ada banyak hal yang berubah
diantara kami sejak matahari terbit.
“Apa tidak ada rentetan
pertanyaan hari ini?” tanyaku sesantai mungkin.
Dia tersenyum, terlihat
lega aku mengungkitnya. “Apakah pertanyaan-pertanyaanku mengganggumu?”
“Tidak seperti reaksimu,”
jawabku jujur sambil tersenyum untuk membalas senyumnya.
Ujung bibirnya mengerut
turun. “Apakah reaksiku buruk?”
“Tidak, itu masalahnya.
Kau menerimanya dengan tenang sekali tidak wajar.” Tidak ada
satu jeritanpun. Bagaimana itu mungkin? “Itu memuatku bertanya-tanya, apa yang sebenarnya
kau pikirkan.”
Tentu saja, apapun yang
dia perbuat atau tidak perbuat, membuatku bertanya-tanya.
“Aku selalu mengatakan apa
yang sebenarnya kupikirkan.”
“Kau mengeditnya.”
Dia menggigit bibirnya
lagi, kelihatannya tidak sadar—reflek ketika sedang tegang.
“Tidak terlalu banyak.”
Hanya dengan mendengar
kata-kata itu sudah membuat penasaranku memuncak. Apa yang
dengan sengaja dia tutupi dariku?
“Cukup untuk memuatku
gila,” sergahku.
Dia ragu sejenak, lalu
berbisik, “Kau tidak ingin mendengarnya.”
Aku harus berpikir
sebentar, mengulang kembali seluruh pembicaraan kemarin siang, kata perkata,
mencari hubungannya. Mungkin aku mesti lebih berkonsentrasi lagi karena aku
tidak bisa
membayangkan ada sesuatu yang tidak ingin kudengar dari dia. Tapi kemudian karena nada
bicaranya sama dengan kemarin siang; ada kecemasan yang tiba-tiba muncul aku
ingat.
Secara spesifik aku sempat meminta dia untuk tidak mengucapkan
pikirannya; Jangan pernah katakan itu. Aku hampir menggeram
ketika itu, dan membuatnya menangis...
Aku tidak bisa berkata
apa-apa. Kebahagiaan dan penderitaan ini terlalu kuat untuk diungkapkan
lewat kata-kata. Benturan keduanya terlalu liar untuk dijelaskan. Keadaan hening,
hanya ada suara dari detak jantungnya yang teratur.
“Kau tidak lupa hari
inikan,” tanyanya tiba-tiba.
“Tentu,” kataku. “Aku
tentu masih mengingatnya.”
Guru pelajaran Hadist mulai
masuk dan mengisi pelajaran. Ada untungnya juga Ustad Abila sudah tidak pernah
menanyaiku lagi. Hari ini mungkin dia bisa memergokiku tanpa jawaban. Pikiranku
sedang berkeliaran ke tempat lain; hanya badanku yang di kelas.
Tentu saja aku sedang
memandangi Sima. Itu jadi alamiah sealami seperti bernapas. Aku melihat
senyumannya mempesona. Pipinya merah merona tersenyum bahagia.
Ketika pelajaran hadist
berakahir. Aku memandang Sima serius, dan sekali lagi melirik.
“Sima,” kataku.
Rasa bingung menghantamaku. Melanjutkan
perkataanku membuat pikiran dan hatiku terhenti sesaat.
“Ada apa?” tanyanya lembut. Dia
tersenyum. Sikapnya tak menghindariku. Rasanya dia malah semakin dekat padaku.
Aku menggeleng dan
menggumamkan sesuatu yang kuanggap tak dapat dia pahami. “Bereaksi berlebihan.”
“Mengapa kau bilang begitu?” dia berbisik,
menjaga suaranya agar tidak gemetaran. “Apakah kau lelah berteman denganku
setiap saat? Kau ingin aku pergi?”
“Tidak, aku tak ingin tanpa
dirimu. Sima, tentu saja tidak. Yang benar saja. Dan aku juga senang-senang
saja menyelamatkanmu jika saja bukan karena fakta bahwa akulah yang justru
selalu di selamatkanmu ketika aku terluka... bahwa akulah alasan kau berada di
sini.”
“Bukan, justru kau
menolongku.” Dia merengut. “Alasan aku berada di sini hidup-hidup.”
“Maksudku bukan pengalaman
nyaris mati yang baru saja kualami ini,” kataku, mulai jengkel. “Aku sedang
memikirkan yang lain kau boleh pilih. Kalau bukan karena kau, aku sudah
membusuk di pinggiran hutan Gumbala.”
Dia meringis mendengar
kata-kataku, tapi raut khawatir tak enyah juga dari wajahnya.
“Meski begitu, itu bukan
yang terburuk,” dia melanjutkan berbisik, seolah-olah aku tak pernah mengatakan
apa-apa. “Yang terburuk bukanlah saat melihatmu di sana, terkapar di tanah...
meringkuk dan terluka.” Suaranya tercekat
“Aku akan menjadi yang
pertama mengakui bahwa aku tak berpengalaman menjalin hubungan,” kataku. “Tapi
kelihatannya masuk akal... seorang laki-laki dan perempuan seharusnya
sederajat... salah satu dari mereka tak bisa selalu menghambur dan
menyelamatkan yang lain. Mereka harus saling menyelamatkan satu sama lain.”
Sima terdiam. Tetapi rasanya
dia mulai merasa cemas dan tegang. Dia membuang muka. Sepertinya dia agak
sedikit dingin memperhatikan ke arahku. Matanya menyorot tajam dan ragu
kepadaku. Dia mengangkat bahu.
“Kurasa kau simpan saja
kata-kata itu,” kata Sima. “Aku tunggu kau di pinggiran hutan Gumbala.”
Sima pergi. Dia
meninggalkanku duduk diam dan melongo. Aku hanya bisa memperhatikan arah dia
menghilang. Sekejap mata dia telah lenyap dibalik pintu kelas.
Waktu telah berlalu. Sholat
zhuhur telah didirikan. Aku bersiap untuk memenuhi ekspektasinya. Tubuhku
tampak tegang berdiri memadang ke depan. Mataku tajam mengamati keadaan.
Kurasa pohon-pohon mulai
menunjukkan keperkasaannya. Mereka terlihat lebih menantang. Aku meluncur sendirian
menuju ke arah pinggiran hutan Gumbala. Langkahku begitu cemas dan tegang.
Rasanya kakiku sangat berat untuk melakukannya. Tetapi aku tak mau membuat dia
kecewa.
Perlahan-lahan aku mendekati
pinggiran hutan Gumbala. Mataku tampak tajam dan waspada memperhatikan sekitar.
Ketegangan dan kecemasan menderaku, saat aku memperhatikan gadis berhijab
didepan pohon besar. Dia membalikkan tubuhnya mengarah didepan pohon besar. Dia
berdiri tegap menyilang tangan didada. Kakinya terlihat kokoh menyanggah tubuh
indahnya. Pakain kebaya telihat lebih casual. Lengan panjang berwarna
kecoklatan. Bawahannya memakai celana congklang hitam. Walaupun dia
memunggungiku terasa energy tenang dan membara.
“Terima kasih,” katanya. “Kau telah memenuhi
ekspektasiku.”
Aku tegang dan cemas.Wajahku
hampir kaku dan dingin memandangnya.
Dia mulai memandang ke
arahku. Senyumannya mengudara dari arah aku menatapnya. Wajahya mempesona mata.
Bibirnya tampak menggoda. Dia berdiri tegap hingga membuat orang terpana. Pipinya
merah merona membuatku terkesima.
“Aku benar-benar terkejut
kau belum mengetahuinya juga.” Dia tersenyum mengejek, dan aku tercekat. Apakah
aku bakal terbiasa dengan kesempurnaannya?
“Aku bilang kau terlihat
sangat cantik, bukan?” ujarku.
“Sudah.” Dia tersenyum. Dia
mengangkat bahu. “Aku ingin pertarungan imbang. Kita hanya memakai Amral.”
Aku mengangguk. Sejujurnya
aku begitu tegang memperhatikannya. Dia begitu percaya diri hingga aku sedikit
ragu untuk menentangnya.
“Apa siap?” tanyanya.
Tangannya tajam dan sigap
membangun kuda-kuda bertahan. Dia sedikitpun taka da keraguan dalam
pergerakannya.
“Tunggu,” kataku. “Boleh aku
bertanya satu pertanyaan saja.”
“Tentu,” katanya.
Dahinya mengerut. Tatapan
dingin memandangku. Tetapi aku tak salah memperhatikannya dia terlihat lebih
menawan dari sebelumnya.
“Dan sejujurnya aku ragu
tentang hal ini,” kataku. “Tetapi aku tahu harus apa mengenai apa yang terjadi.
Jangan tersinggung. Apa aku begitu bodoh menerima tantanganmu?”
Sima tertawa sesaat. Dia
menatap dingin padaku. Dia mengangkat bahu.
“Jangan berlagak bodoh,” katanya. Aku tahu maksudmu. Apa kau
meremehkanku, karena aku seorang wanita?”
Sima tidak menoleh. Dia
terus memandang ke kejauhan, mengabaikanku. Wajahnya tampak memburu.
Badanku membeku. Rasanya
aku seperti tidak dihargai. Sesuatu yang sudah sangat-sangat jelas, entah bagaimana
jadi terpelintir di dalam otaknya yang ganjil.
“Tidak,” kataku. “Maksud
bukan itu. Tetapi…”
“Itu tidak penting bukan,”
katanya. “Aku tak mau lama-lama. Jika terlalu lama kau tak mau membuatku
kecewa, bukan!”
Aku terhenti sebelum
perkataanku berlanjut. Dia memandangku dingin. Jika diibaratkan sedingin es dia
menatapku. Rasanya asaku terbungkam dalam diam.
Tiba-tiba serangan tumbuhan
berduri mulai meluncur menembus udara. Tumbuhan berduri itu menjangkau tubuhku
yang berdiri tegap membeku. Aku melemparkan tubuhku untuk menghindar.
Dia tersenyum mengambang.
Tak ada keraguan dalam serangannya. Ketenangan dan keefektiftan sangat sempurna
untuk menciptakan luka. Aku mengeleng-gelengkan kepala.
Dia menciptakan serangan
kembali. Kali ini dia membangun sebuah kekuatan tersendiri. Tumbuhan berduri
membentuk sebilah pedang terlihat seperti tombak berduri yang mengancam.
Sima tersenyum. Mata yang
berwarna hitam itu dipenuhi dengan nafsu memburu saat dia menatap langsung kepadaku.
"Soma! Ini akan sangat
menyenangkan bukan!
Dia tertawa. Sima
pelan-pelan menggerakkan satu kakinya ke depan, membuat sebuah retakan di tanah
yang kosong.
Dia memperkecil jarak
kepadaku dengan satu langkah, lalu satu langkah lagi, dan mengayunkan tombak
berduri di tangannya dengan satu tangan. Suara tombak berduri yang membelah
udara tu adalah bukti nyata bahwa dia siap bertarung.
Mata tajam Sima melihat ke
arahku yang tidak siap.”.......Kalau begitu... mari kita mulai!”
Bagiku, yang unggul dalam pertarungan jarak dekat, memperkecil jarak hanya akan
membuatnya berada dalam kerugian.
Namun, alih-alih aku memasang kuda-kuda bertahan, aku bicara kepada Sima dengan
sikap yang memaksakan, seperti
seorang juara yang menunggu penantangnya.
"Itu adalah hadiah yang
membosankan, tapi apakah kamu menyukainya Sima?"
Sima tersenyum simpul. Dia
tidak kesal atau menyebalkan sikap begitu ceria. Dari lubuk hatinya, seakan dia
tertawa keras.
"Ini menakjubkan! Aku
tidak percaya aku akan berani menantang dengan kekuatan yang luar biasa seperti itu, Soma!"
Dengan kecepatan yang bisa
membuat angin terlihat pelan sebagai perbandingannya, Sima mendekat, dipenuhi dengan semangat tinggi tanpa ragu. Setiap langkahnya
menyebabkan gesekan udara terasa ringan. Tombak berduri begitu mudah menembus
udara.
Aku mulai memasang kuda-kuda
bertahan. Dari tangan kananku muncul sebilah keris pendek. Keris itu aku pegang
erat dan kuat. Aku bersyukur tubuhku tak perlu
berkedip. Jika aku berkedip sekali saja, aku akan kehilangan jejak
Sima. Dia begitu cepat bahkan rasa dia malah semakin cepat tidak seperti biasa.
Aku melihat matanya tajam
memandangku. Serangan yang dilancarkan tak ada keraguan dan kecemasan. Dia
begitu percaya diri.
Dengan senyum mengudara yang
mengikuti di belakangnya, Tombak Sima terbang ke arahku. Mataku sigap membaca
arahnya. Aku mengangkat bahu dan menghadang lajunya. Tombak itu seperti
tumbuhan hidup. Ketika kerisku berhasil menghadangnya. Tombak itu melilit
kerisku hingga tak bisa aku gerakan. Aku
tak menyangka tumbuhan berduri ternyata begitu kuat dan keras. Rasanya tombak
berduri itu seperti besi baja. Aku begitu kerepotan melepaskan lilitannya.
Akhirnya aku membiarkan kerisku terlepas dari peganganku. Aku mengelengkan
kepala. Aku segera melemparkan diri untuk menghindar.
Sima tersenyum. Tatapan tak
berubah sama sekali. Dia percaya diri dan berani. Dia mengangkat bahu.
“Seperti kau terlalu
meremehkan bukan!”
Dahinya mengerut. Matanya
mengeryit. Dia terlihat menyebalkan tetapi menawan hingga aku tersenyum
padanya.
“Bukan begitu,” kataku. “Aku
tahu kau akan sungguh-sungguh padaku. Tetapi aku baru tahu perkembanganmu
sepesat ini. Kurasa aku akan lebih waspada lagi terhadap seranganmu.”
Sima mengangguk.
“Bagus,” kata Sima. “Itu
yang aku tunggu. Kau jangan ragu-ragu padaku. Jangan anggap remeh seorang
wanita.”
Aku terdiam. Aku bimbang
dalam mengatur seranganku. Jika menggunakan kekuatan penuh kurasa dia akan
terluka. Tetapi yang terpenting dia akan lebih bahagia. Kurasa itu memang
pilihan yang tepat.
Aku membentangkan tanganku.
Dihapadanku satu keris agak panjang muncul. Dengan menerbangkannya di udara aku
mulai menyerang menembus udara. Kecepatan begitu kencang menerjang angin.
Kerisku terbang memburu ke arah Sima. Tombak Sima berhasil menghadang lajunya.
Kedua ujung senjata saling bertemu. Keduanya sama-sama menekan dan mendorong. Karena
imbang akhirnya kerisku mengubah seranganya dari tusukan menjadi sabetan. Aku
kembali menerbangkannya. Kerisku begitu sengit memberikan perlawanan. Dia
menyerang dari sisi kanan kiri, depan belakang hingga aku melihat Sima begitu
kerepotan bertahan.
Pertarungan sengit sangat
intens. Kedua senjata saling menyerang dan bertahan. Aku hanya mengerakkan
jariku dari kejauhan. Sementara Sima agak kerepotan untuk mendekat menyerang.
Dia sampai jungkir balik menghadang dan menyerang.
Sima sigap mengatur
strateginya. Dia mengubah serangannya. Dia mengubah tombak menjadi tumbuhan
berduri menjalar. Dari kejuahan dia hanya menggerakkan jarinya untuk menerobos
pertahananku. Tumbuhan berduri itu meluncur memburuku. Cepat dan akurat
menyerangku dalam posisi menyerang. Aku melemparkan tubuhku untuk menghindar.
Serangan itu tak ada kompromi.
Sebelum aku berpindah halaun, dia melancarkan serangan berikutnya. Aku sungguh
sangat kerepotan. Untung kerisku berhasil memotongnya sebelum mengenai diriku.
Tetapi aku melihat bunga mawar terjatuh ke tanah. Aku segera mengambil dan
menyerang ke depan. Aku melesat kencang, kerisku aku pegang dengan tangan kiri
memotong setiap tumbuhan berduri menjalar menyerang. Sementara tangan kananku
memegang bunga mawar.
Sima terus melancarkan
serangannya. Aku mencoba mendekatinya. Jantungku berdetak kencang. Kerisku
memotong setiap tumbuhan berduri yang meluncur ke arahku. Aku begitu cepat
meluncur dihadapannya. Tumbuhan berduri miliknya tak sanggup menghentikan
langkah. Aku terpaksa menggunakan Aji Narantaka untuk menguatkan kerisku.
Karena hatiku terasa tersiksa setiap aku menyerangnya. Ketika aku sampai
dihapadannya. Begitu cepat dan akurat, aku tertunduk dihapadanya. Kakiku kutekuk,
lututku menyentuh tanah. Kepalaku tegap menatapnya. Aku mengangkat bahu kanan.
Tangan kiriku sibuk menebas serangannya.
“Aku menyukaimu,” kataku
menyerahkan sekuntum bunga mawar mengarah dihadapannya. “Apa kau mau
menerimaku?”
Dia mendadak syok. Wajahnya
terlihat merah merona. Serangannya berhenti seketika. Matanya membelalak. Aku
melihat dia tersenyum kecil. Tetapi aku terkejut dia malah membuang muka.
Seperkian detik dia kembali menatapku.
“Aku belum bisa
menjawabnya,” kata Sima agak malu. “Tetapi aku harap itu yang terbaik untukmu.”
Aku mendadak syok. Mataku
melongo.
Dia membalikkan tubuhnya,
lalu meninggalkanku. Aku tertunduk seperti patung membisu. Tanganku masih
memegang bunga mawar itu. Aku begitu tahu diri tak mudah menerima apa yang ada
dihatiku. Aku seraya terkena mawar berduri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar