Pertengahan Desember.
Saloka terbangun dengan hujan yang deras seperti tetesan es. Danau penuh dengan
air dan si kembar Yuda dihukum karena menyulap beberapa air untuk mengikuti
Batara Somad, dan memantul-mantul dibelakang turbannya. Sedikit burung bondol
yang berhasil menembus langit berbadai air untuk mengantar surat, harus dirawat
Permadi sampai sehat sebelum mereka terbang lagi.
Semua sudah tak sabar
menunggu datangnya liburan. Walaupun ruang rekreasi Jodhipati dan Aula Besar
punya perapian yang menyala-nyala, koridor-koridor yang biasa berangin telah
menjadi sedingin es dan angin dingin kencang menerpa jendela-jendela kelas
sampai bergetar. Yang paling parah kelas Batara Saka di ruang bawah tanah. Di
dalam ruang itu napas mereka langsung berubah jadi kabut di depan mata dan
mereka berusaha berada sedekat mungkin dengan Genthong-Genthong panas mereka.
“Aku sungguh kasihan,”
kata Alas Bronto dalam salah satu pelajaran Ramuan,” pada semua anak yang
terpaksa tinggal di Saloka selama liburan Semester karena mereka tidak
diinginkan di rumahnya.”
Dia bicara begitu
sambil menoleh memandang Awan. Yama dan Cingkara tertawa-tawa kecil. Awan yang
sedang menakar bubuk tulang punggung ikan lepu, tidak mempedulikan mereka.
Bronto menjadi semakin
menyebalkan sejak pertandingan Braja yang lalu. Kesal karena Madukara kalah,
dia mencoba membuat lelucon dengan mengatakan kodok bermulut besar akan
menggantikan Awan sebagai Wulung dalam pertandingan berikutnya. Kemudian
disadarinya bahwa tak seorang pun menganggap ini lucu, karena anak-anak amat
terkesan dengan bagaimana Awan bisa bertahan di atas dengan kutangnya yang
menggila.
Maka Bronto yang iri
dan marah, kembali mengejek Awan dengan mengungkit-ungkit bahwa Awan tak punya
keluarga. Memang betul Awan tidak akan pulang ke Perumahan Puri Indah No 4
keluarga Raketi Semester ini. Dewi Fatimah telah berkeliling minggu sebelumnya,
mencatat nama anak-anak yang akan tinggal di Saloka selama liburan, dan Awan
langsung mendaftar. Ia sendiri sama sekali tidak berkecil hati, mungkin ini
bahkan akan jadi Semester paling menyenangkan baginya. Man dan kakak-kakaknya
juga akan tinggal, karena keluarga Yuda akan ke India untuk menengok Barata.
Ketika meninggalkan
ruang bawah tanah pada akhir pelajaran Ramuan, mereka melihat pohon cemara
besar memblokir koridor di depan. Dua kaki raksasa yang muncul di bagian
bawahnya dan napas keras tersengal-sengal memberitahu mereka Permadi ada di
belakang pohon itu.
“Hai, Permadi, perlu
bantuan?” Man bertanya, seraya menjulurkan kepalanya di antara dahan-dahan.
“Tidak, aku tak
apa-apa. Terima kasih, Man.”
“Minggir,” terdengar
geram dingin Bronto dari belakang mereka. “Apa kau mencoba cari uang tambahan,
Yuda?
Kepingin jadi pengawas
binatang liar juga setelah meninggalkan Saloka, rupanya gubuk Permadi pastilah
seperti istana dibanding rumah keluargamu.”
Man menerjang Bronto
tepat ketika Batara Saka menaiki tangga.
“YUDA!”
Man melepas bagian
depan jubah Bronto.
“Dia diprovokasi,
Batara Saka,” kata Permadi, seraya melongokkan wajahnya yang besar berbulu dari
balik pohon.
“Bronto menghina
keluarganya.”
“Kalaupun betul begitu,
berkelahi dilarang di Saloka, Permadi,” tukas Saka. “Lima angka dipotong dari
Jodhipati, Yuda, dan berterima kasihlah tidak lebih dari itu. Ayo, semua jalan
terus.”
Bronto, Yama, dan
Cingkara menerobos kasar melewati pohon sambil menyeringai, membuat daun-daun
cemara rontok berhamburan.
“Akan kuberi dia
pelajaran,” kata Man sambil mengertak gigi di balik punggung Bronto. “Suatu hari
nanti kuberi dia pelajaran...”
“Aku benci mereka
berdua,” kata Awan. “Bronto dan Saka.”
“Ayo, bergembiralah,
sudah hampir Semester,” kata Permadi.
“Begini saja, ikut aku
dan lihat Aula Besar, bagus sekali.”
Maka Awan, Man, dan
Kirana mengikuti Permadi dan karpet besar telah digelar ke Aula Besar. Dewi
Fatimah dan Batara Flamboyan sedang sibuk menangani panantaan tahilan untuk
menyambut datangnya Tahun Baru.
“Ah, Permadi, karpet terakhir...
taruh saja di sudut paling jauh.”
Aula itu tampak spektakuler.
Rangkaian bunga bergantungan di sepanjang dinding dan tak kurang dari dua belas
pohon Semester menjulang tinggi di sekeliling ruangan, beberapa berkilau dengan
untaian air yang membeku, yang lain berkelap-kelip dengan ratusan lilin.
“Berapa hari lagi
sebelum kalian libur?” tanya Permadi.
“Tinggal sehari,” kata
Kirana. “Dan aku jadi ingat Awan, Man, kita punya waktu setengah jam sebelum
makan siang, kita seharusnya ada di perpustakaan.”
“Oh, yeah, kau benar,”
kata Man, dengan susah payah mengalihkan pandangannya dari Batara Flamboyan
yang membuat gelembung-gelembung emas bermunculan dari ujung tongkatnya dan
menggantungkannya di dahan-dahan pohon baru tadi.
“Perpustakaan?” kata Permadi, mengikuti mereka meninggalkan
Aula. “Sehari sebelum liburan? Rajin amat.”
“Oh, kami tidak
belajar,” kata Awan riang. “Sejak kau menyebut Nambi Fora, kami berusaha
mencari tahu siapa dia.”
“Apa?” Permadi tampak
kaget. “Dengar... sudah kubilang... lupakan. Tidak ada hubungannya dengan yang
dijaga macan itu.”
“Kami ingin tahu siapa
Nambi Fora, cuma itu,” kata Kirana. “Kecuali kau mau memberitahu kami, jadi
kami tak perlu repot-repot?” Awan menambahkan. “Kami sudah membuka-buka lebih
dari seratus buku dan kami tidak bisa menemukannya di mana-mana... coba beri
kami petunjuk rasanya aku sudah pernah membaca nama itu entah di mana.”
“Aku tak mau bilang
apa-apa,” kata Permadi datar.
“Kalau begitu, ya kami
cari sendiri,” kata Man. Mereka lalu meninggalkan Permadi yang tidak puas dan
bergegas menuju perpustakaan.
Mereka memang sudah
mencari-cari nama Fora di buku sejak Permadi keceplosan sebab, kalau tidak,
bagaimana mereka bisa tahu apa yang ingin dicuri Saka? Sulitnya, susah sekali
mengetahui dari mana mereka harus mulai, karena tak tahu apa yang pernah
dilakukan Fora yang membuat namanya layak disebut di buku. Dia tidak ada dalam
buku Ksatria Besar Abad Dua Puluh atau Nama-nama Terkenal di Dunia Ajian Masa
Kini; namanya juga tak disebut dalam Penemuan-penemuan Penting Ajian Modern dan
Perkembangan Terakhir dalam Dunia Ajian. Dan tentu saja, harus diingat, betapa
besarnya perpustakaan itu: berpuluh-puluh ribu buku, beribu-ribu rak,
berates-ratus deret sempit.
Kirana mengeluarkan
sederet topik dan judul yang telah diputuskannya akan dia cari, sementara Man
berjalan menyusuri deretan buku dan mulai menarik beberapa di antaranya secara
acak. Awan berjalan ke Seksi Terlarang. Selama beberapa waktu ia telah
berpikir, jangan-jangan nama Fora ada di sana.
Sayangnya, kau perlu
surat keterangan yang ditandatangani salah satu guru untuk bisa meminjam salah
satu buku terlarang itu, dan Awan tahu ia tak akan memperoleh surat semacam
itu.
Yang ada di bagian ini
adalah buku-buku berisi Ajian Hitam manjur yang tak pernah diajarkan di Saloka
dan hanya dibaca oleh murid-murid kelas lebih tinggi yang pelajarannya tentang
Pertahanan terhadap Ilmu Hitam sudah jauh lebih maju.
“Kau cari apa, Nak?”
“Tidak cari apa-apa,”
jawab Awan.
Dewi Pregiwati, petugas
perpustakaan, mengacungkan pembersih yang terbuat dari bulu ayam pada Awan. “Kalau
begitu, lebih baik kau keluar. Ayo... keluar!”
Awan menyesal tidak
sedikit lebih cepat memikirkan alasan. Awan meninggalkan perpustakaan. Bersama
Man dan Kirana, ketiganya sudah sepakat tidak akan bertanya kepada Dewi
Pregiwati di mana mereka bisa menemukan Fora. Mereka yakin Dewi Pregiwati akan
bisa memberitahu mereka, tetapi mereka tak mau mengambil risiko Saka mendengar
apa yang mereka lakukan.
Awan menunggu di
koridor, kalau-kalau kedua temannya menemukan sesuatu, tetapi ia tak terlalu
berharap. Mereka memang sudah mencari selama dua minggu, tetapi karena hanya
mencari pada waktu-waktu di antara pelajaran, tidaklah mengherankan mereka
belum menemukan apa-apa. Yang mereka butuhkan adalah pencarian panjang tanpa
Dewi Pregiwati mencurigai mereka. Lima menit kemudian, Man dan Kirana bergabung
dengannya, menggelengkan kepala. Mereka pergi makan siang.
“Kalian akan mencari
terus selama aku tak ada, kan?” kata Kirana. “Dan kirim burung Ruda padaku
kalau kalian menemukan sesuatu.”
“Dan kau bisa bertanya
kepada orangtuamu kalau-kalau mereka tahu siapa Fora,” kata Man. “Aman bertanya
kepada mereka.”
“Sangat aman, karena
mereka berdua dokter gigi,” kata Kirana.
Begitu liburan mulai,
Man dan Awan kelewat senang sehingga tak sempat memikirkan Fora. Kamar mereka
hanya berisi mereka berdua dan ruang rekreasi jauh lebih kosong daripada
biasanya, jadi mereka bisa duduk di kursi berlengan nyaman dekat perapian. Mereka
duduk lama sekali sambil makan segala macam yang bisa mereka tusuk dengari
garpu panggang roti, kue, manisan dan merencanakan cara-cara membuat Bronto
dikeluarkan. Asyik sekali membicarakan itu, walaupun jelas tidak akan terjadi.
Man juga mengajar Awan
main catur Ajian. Sebetulnya persis seperti catur Wusana, hanya saja
bidak-bidaknya hidup, sehingga memainkannya serasa memimpin pasukan tentara
dalam pertempuran. Set permainan catur Man sudah tua dan bocel-bocel. Seperti
semua benda lain yang dimilikinya, papan catur itu dulunya milik orang lain
dalam keluarganya dalam hal ini kakeknya. Meskipun demikian, bidak catur tua
sama sekali bukan hambatan. Man sudah kenal baik semuanya, sehingga dia tak
pernah punya kesulitan menyuruh mereka melakukan apa yang diinginkannya.
Awan bermain dengan
buah-buah catur yang dipinjamkan
Sumpena Fly dan mereka
sama sekali tidak mau menurut kepadanya. Ia belum pandai bermain dan
bidak-bidak itu terus-menerus meneriakkan saran-saran kepadanya, membuatnya
bingung. “Jangan suruh aku ke sana, apa kau tidak melihat perwira itu? Kirim
dia saja, kalau kehilangan dia sih tidak apa-apa.”
Pada malam menjelang
Tahun Baru, Awan pergi tidur dengan gembira, menantikan hari berikutnya,
mengharapkan makanan dan kegembiraan, tetapi sama sekali tidak mengharapkan
hadiah.
Meskipun demikian,
ketika pagi-pagi sekali ia bangun, yang pertama kali dilihatnya adalah tumpukan
kecil bungkusan di kaki tempat tidurnya.
“Selamat Tahun Baru,”
kata Man masih mengantuk ketika Awan turun dari tempat tidur dan memakai jas
kamarnya.
“Selamat Tahun Baru
juga,” kata Awan. “Coba lihat ini. Aku dapat hadiah!”
“Tentu saja. Memangnya
kau mengharap dapat apa? Lobak?” kata Man, menoleh memandang tumpukan
hadiahnya, yang jauh lebih banyak daripada hadiah Awan.
Awan mengambil
bungkusan paling atas. Hadiah ini terbungkus kertas cokelat tebal dan di
atasnya ada tulisan Untuk Awan, dari Permadi. Di dalamnya ada seruling kayu
yang buatannya kasar. Jelas Permadi membuatnya sendiri. Awan meniupnya
kedengarannya agak mirip bunyi burung hantu.
Yang kedua, amplop
kecil berisi surat pendek.
Kami menerima pesanmu
dan terlampir hadiah Tahun Baru mu. Dari Paman Raketi dan Bibi Suketi.
Tertempel di surat itu dengan selotip adalah sekeping uang logam lima puluh
pence.
“Wah, mereka baik,”
kata Awan.
Man terpesona melihat
keping lima puluh pence itu.
“Aneh,” katanya. “Bentuknya
ajaib. Ini uang?”
“Boleh buatmu,” kata Awan.
Ia tertawa melihat betapa gembiranya Man. “Permadi atau bibi atau pamanku jadi
siapa yang mengirim ini?”
“Kurasa aku tahu yang
itu dari siapa,” kata Man, wajahnya agak memerah, seraya menunjuk bungkusan
yang bentuknya tak beraturan. “Ibuku. Aku bilang padanya kau tidak berharap
mendapat hadiah dan oh, tidak,” dia mengeluh, “dia membuatkanmu rompi Yuda.”
Awan sudah merobek
bungkusan itu dan menemukan sweter rajutan tanpa lengan berwarna hijau zamrud
dan satu kotak besar gudeg lunak buatan sendiri.
“Setiap tahun dia
membuatkan kami rompi,” kata Man, seraya membuka bungkusannya sendiri, “dan
rompiku selalu merah tua.”
“Ibumu
baik sekali,” kata Awan. Ia mencoba gudegnya, yang ternyata enak sekali.
Hadiahnya berikutnya
juga berisi makanan kecil sekotak besar Cokelat Kodok dari Kirana.
Tinggal satu hadiah
lagi. Awan mengambilnya dan menimangnya. Ringan sekali. Dibukanya bungkus
hadiah itu. Sesuatu yang licin berwarna abu-abu keperakan meluncur ke lantai,
teronggok berkilauan. Man kaget sekali.
“Aku sudah mendengar
tentang itu,” katanya terpesona, kotak kacang Segala Rasa yang didapatnya dari
Kirana sampai terjatuh. “Kalau itu betul seperti dugaanku itu sangat langka dan
sangat berharga.”
“Apa ini?”
Awan memungut kain
berkilau keperakan itu dari lantai. Rasanya aneh, seperti air yang ditenun
menjadi kain.
“Ini Jubah Gaib,” kata
Man, wajahnya tampak kagum. “Aku yakin ini Jubah Gaib coba pakai.” Awan
menyampirkan jubah itu di sekeliling bahunya dan Man langsung memekik.
“Betul! Lihat ke bawah!”
Awan memandang ke
bawah, ke kakinya, tapi ternyata tak ada. Ia berlari ke depan cermin. Memang
bayangannya memandang kepadanya, tapi hanya kepalanya yang melayang di udara,
seluruh tubuhnya sama sekali lenyap. Ditariknya jubah itu menutupi kepalanya,
dan bayangannya lenyap seluruhnya.
“Ada suratnya!” kata Man tiba-tiba. “Ada surat yang jatuh
dari jubah itu!”
Awan melepas jubahnya
dan menyambar suratnya. Tertulis dalam huruf-huruf ramping berliuk yang belum
pernah dilihatnya, kata-kata berikut ini:
Ayahmu menitipkan ini
padaku sebelum dia meninggal sudah waktunya untuk dikembalikan. Gunakan
baik-baik. Selamat Tahun Baru yang menyenangkan untukmu.
Tak ada tanda tangan. Awan
bengong memandang surat itu. Man sibuk mengagumi jubah itu. “Aku rela
memberikan apa saja untuk mendapatkan ini,” katanya. “Apa saja. Ada apa?”
“Tidak apa-apa,” kata Awan.
Ia merasa sangat aneh. Siapa yang mengirim jubah ini? Betulkah ini dulu milik
ayahnya?
Sebelum ia bisa berkata
atau berpikir apa-apa lagi, pintu kamar menjeblak terbuka dan Sekutrem dan
Palasara Yuda melompat masuk. Awan cepat-cepat menyingkirkan jubah itu.
Ia belum rela
membaginya dengan orang lain.
“Selamat Tahun Baru!”
“Hei, lihat Awan dapat
rompi Yuda juga!”
Sekutrem dan Palasara
memakai rompi biru, yang satu dengan huruf S besar kuning, satunya lagi dengan
huruf P besar kuning.
“Tapi rompi Awan lebih
bagus daripada punya kita,” kata Sekutrem seraya mengangkat rompi Awan. “Jelas
Mak berusaha lebih keras kalau membuatkan sesuatu bukan untuk keluarga.”
“Kenapa milikmu tidak
kaupakai, Man?” Palasara mempertanyakan. “Ayo pakai, rompinya kan bagus dan
hangat.” “Aku benci merah,” Man mengeluh
setengah hati sambil menarik rompinya melewati kepalanya.
“Punyamu tidak ada
hurufnya,” Palasara baru sadar. “Rupanya Mak mengira kau tidak akan melupakan
namamu. Tetapi kami tidak bodoh kami tahu nama kami Sekutrem dan Palasara.”
“Ada apa sih, ribut
amat?”
Sakri Yuda menjulurkan
kepalanya ke dalam kamar, kelihatan tidak senang. Rupanya dia juga baru membuka
hadiahnya, karena dia juga membawa rompi yang tersampir di tangannya. Sekutrem
segera menyambar rompi itu.
“P untuk Pramugari!
Pakailah, Sakri ayo, kami semua memakai rompi kami, bahkan Awan juga.”
“Aku... tak... mau...,”
kata Sakri sementara si kembar memaksakan rompi itu melewati kepalanya, membuat
Awanmatanya miring.
“Dan hari ini kau kan
tidak bersama para Pramugari lainnya,” kata Palasara. “Tahun Baru kan waktu
untuk keluarga.”
Mereka menggiring Sakri
keluar ruangan, rompinya menjepit lengannya.
Habis sholat isya’.
Sebelum pesta makan,
mereka membaca surah Yaasiin dipimpin langsung oleh Bataar Giri. Kemudian
membaca tahlil dimulai membaca:
Bismillaahir rohmmaanir
rahiim. Ilaa hadrotin nabiyyil mushthofaa shollalloohu ‘alaihi wa sallama wa
aalihi wa azwaajihii wa aulaadihi wa dzurriyyaatihii al faatihah:
Bismillaahir rohmmaanir
rahiim. Al hamdulillahi robbil ‘aalamin. Arrohmaanir rohiim. Maaliki yaumidiin.
Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin. Ihdinash shiroothol mustaqiim. Shiroothol
ladziina an’amta ‘alaihim. Ghoiril maghdhuubi ‘alaihim walaadhdhoollin. Aamiin.
Ilaa hadhroti
akhowaatihii minal anbiyaa i wal mursaliina wal auliyaa i wasy syuhadaa i
washoolihii na wash shohaabati wat taabi’iina wal’ulamaa il’aamiliinawal
mushonnifiinal mukhlis hiina wa jamii’il malaa ikatil muqorrobiina khushuushon:
ILAA SAYYIDINA AS SYAIKHI’ABDUL QOODIRI AL JAILAANI.
Ilaa jamii ahlil
qubuuri minal muslimiina walmuslimaati wal mu’miniina walmu’minaati minmas
yaariqil ardhi wa maghooribiina barrihaa wa bahrihaa khushushon aabaa inaa
waummahaatina waajdaadana wajaddaati naa wamasyaayik hinaa wamasyaayikhi
masyaayikhinaa waasaatidzati asaa tidatinaa walimanijtama’naa haahunaa
bisababihi.
Kemudian dilanjutkan
surat Al-ikhlas sebanyak 3 kali.
Bismillaahir rohmmaanir
rahiim. Qulhuwallohu ahad. Alloohushshomad. Lamyalid walam yuulad. Wa lam yakun
lahuu kufuwan ahad. 3x
Kemudian membaca surat
Al Falaq sebanyak 3 kali.
Bismillaahir rohmmaanir
rahiim. Qul a’uudzubi robbil falaq. Min syarri maa kholaq wamin syarri
ghoosiqin idzaawaqob. Wa min syarrin naffatsaati fil ‘uqod. Wa min syarri
haasidin idzaa hasad. 3x. Laa illaha illal loohu alloohu akbaru wa lil laahil
hamdu.
Kemudian membaca surat
An Naas sebanyak 3 kali.
Bismillaahir rohmmaanir
rahiim. Qul a’uudzubi robbinnaas malikin naas. Ilaahinnas. Min syarril was
waasil khonnaas alladzii yuwaswisu fiishuduurin naas. Minal jinnati wan naas.
3x. Laa illaha illal loohu alloohu akbaru wa lil laahil hamdu.
Kemudian membaca surat al fatehah disusul
dengan membaca surat Al Baqoroh ayat 1-5:
Bismillaahir rohmmaanir
rahiim. Alif laam miim. Dzalikal kitaabu laa roiba fiihi lil muttaqiin. Al
ladziina yu’minuuna bilqhoibi wayuqimuunash sholaata wamimmaa rozaqnaa hum
yunfiquun. Walladziina yu’minuuna bimaa unzila ilaika wa maaunzila min qoblika
wa bil aakhiroti hum yuuqinuun. Ulaa ika ‘alaa hudan min robbihim waulaa ika
humul muflihuun.
Disusul membaca surat
Al Baqoroh ayat 163.
Wa ilaahukum ilaahun
waahidun laa ilaaha illaahu war rohmaanur rohiimmu.
Disusul membaca ayat
kursi.
Allohu laa ilaaha illaa
huwal hayyul quyyumu laata’khudzuhuu sinatun wa laa naumun lahuu maa
fissamaawaati wa maa fil ardhi man dzal ladzi yasyfa’u ‘indahuu illa biidznihiiya’lamu
maa baina aidiihim wa maakholfahum walaa yuhiithuuna bisyai in min
‘ilmihii illa bima syaa a wasi’a
kursiyyunus samaawaati wal ardho walaa yauuduhuu hifdluhumaa wa huwal ‘aliyyul
‘adlim.
Kemudian disusul surat
Al Baqoroh ayat 284-286.
Lil laahi maa
fissamaawaati wamaa fil ardhi wain tubduu maa fii anfusikum au tukhfuuhu
yuhaasibkum bihillaah. Fa yaghfiru limay yasyaau wa
yu’adzdzibu may yasyaau wallaahu ‘alaakulli syai-in qadiir. Aamanar rasuulu
bimaa unzila ilaihi mirrabbihii wal muu’minuun kullun aamana billahi wa
malaaikatihii wa kutubihii wa rusulihii, laa nufarriqu baina ahadim mir
rusulihii wa qaa-luu sami’naa wa atha’naa ghuufraanaka rabbanaa wa ilaikal
mashiir. Laa yukallifullaahu nafsaan illaa wus ‘ahaa, lahaa maa kasabat wa
‘alaihaa maktasabat, rabbanaa laa tuaakhidnaa in nasiinaa au akhtha’naa,
rabbanaa wa laa tahmil ‘alainaa ishraan kamaa hamaltahuu ‘alal ladziina min
qabliinaa, rabbanaa wa laa tuhammilnaa maa laathaaqata lanaa bihii. (Wa’fu
‘annaa, waghfir-lanaa warhamnaa) 7X anta maulaanaa fanshuur-naa ‘alal qaumil
kaafiriin.
Kemudian
membaca:
Irhamnaa
yaa arhamar raahimiin 7x. Rahmatullaahi wabarakaatuh. Alaikuumaahlal baiti
innahuu ha-miidum majiid. (Huud : 73)
Kemudian
membaca surat Al Ahzab ayat 33 dan 56:
Innamaa
yuriidullaahu liyudzhiba ‘ankumurrijsa ahlal baiti wa yuthahhirakuum
tathhiiraan. (Al – Ahzab : 33).
Innallaha
wa malaa ikatahuu yusholluuna alan nabiyyi yaa ayyuhal ladziina aamanu shollu
alaihiwa sallimu tasliiman. (Al – Ahzab : 56).
Kemudian
membaca doa:
Allaahumma
shalli afdlalash shalaati ‘alaa as’adi makhluuqaatika nuuril hudaa sayyidinaa
wa maulaanaa Muhammadiw wa ‘alaa aali sayyidinaa Muhammadin ‘adada
ma’luumaatika wa midaada kalimaatika kullamaa dzakarakadzdzaakiruuna wa ghafala
‘an dzikrikal ghaafiluun.
Allahumma
shalli afdlalash shalaati ‘alaa as’adi makhluuqaatika syamsidl dluhaa
sayyidinaa wa maulaanaa muhammadiw wa ‘alaa aali sayyidinaa muhammadin. ‘adada
ma’luumaatika wamidaada kalimaatika kullamaa dzakarakadzdzaakiruuna wa
ghafala’an dzikrikal ghaafiluun.
Allaahumma
shalli afdlalash shalaati ‘alaa as’adi makhluuqaatika badrid dujaa sayyidinaa
wa maulaanaa muhammadiw wa ‘alaa aali sayyidinaa muhammadin ‘adada
ma’luumaatika wa midaada kalimaatika kullamaa dzakarakadz dzaakiruuna waghfala
‘andzikrikal ghaafiluun. Wasallim waradliallaahu ta’aalaa ‘an saadaatinaa
ashhaabi rasuulillaahi ajma’iin.
Kemudian
membaca surat Ali Imron ayat 173 dan An Anfaal ayat 40:
Hasbunallaahu
wa ni’mal wakiil (Ali Imran : 173). Ni’mal maulaa wa ni’man nashiir. (Al-Anfal
: 40).
Wa laa
haula wa laa quwwata illaa billaahil ‘alayyil ‘adziim.
Astaghfirullaahal’adhiim.
3x
Afdlaludz dzikri fa’lam annahuu :
Laa ilaaha illaallaahu, hayyum maujuud.
Laa ilaaha illaallaahu, hayyum ma’buud.
Laa ilaaha illaallaahu, hayyum baaqin.
Laa ilaaha illaallaahu.100x
Laa ilaaha illaallaahu Muhammadur rasuulullaah.
Allahumma
shalli alaa muhammadin. Allahumma sholli alaihi wasallim. 3x
Subhaanallahi
wa bihamdzihi subhaanallahil adhiimi. 33x
Allaahumma
shalli ‘alaa habiibika sayyidinaa muhammadin wa ‘alaa aalihii wa shahbihii
wasallim 3x, ajma’iin. Al faatihah
Bismillaa hirrahmaanir rahiim
Alhamdulillaahi rabbill’aalamiin. Arrohmaanir
rahiim. Maalikiyaumiddin.
Iyyaakana’budu wa iyyaakanasta’iin. Ihdinash
shiraathal mustaqiim. Shiraathal ladziina
an’amta ‘alaihim ghoiril maghdhuubi’alaihim
waladhaalliin. Aamiinn
A’uudzubillaahi
minasy syauthaanir rajiim. Bismillaahir rahmaanir rahiim. Alhamdulillaahi
rabbil ‘aalamiin. Hamdasy syaakiriina hamdan naa’imiin. Hamdaay yuwaafii
ni’amahuu wa yukaafiu maziidah. Yaa rabbanaa lakal hamdu kamaa yanbaghii
lijalaali wajhika wa ‘adhii-mi sulthaanik. Allaahumma shalli ‘alaa sayyidinaa
Muhammadiw wa’alaa aali sayyidinaa Muhammad. Allaahumma taqabbal wa aushil
tsawaaba maa qaraa naahu minal quraanil ‘adhiim, wa maa halalalnaa, wa maa
sabbahnaa, wa mas taghfarnaa, wamaa shalainaa ‘alaa sayyidinaa muhammadin
shallallaahu ‘alaihi wasallama hadiyyatan waashilatan wa rahmatan hadlaraati
habiibinaa wa syafii’inaa wa qurrati a’yuuninaa sayyidinaa wa maulaanaa
muhammadin shallallaahu ‘alaihi wasallama wa ilaa jamii’i ikhwaanihii minal
anbiyaai wal mursaliina wal auliyaai wasy syuhadaai wash shaalihiina wash
shahaabati wat taabi’iina wal’ulamaa’il ‘aamiliina wal mushanni-fiina
mukhlishiina wa jamii’il mujaahidiina fii sabiilillaahi rabbil ‘aalamiina wal
malaaikatil muqarrabiina khushuushaan ilaa sayyidinaa syaikhi ‘abdil Qaadiril
Jailaniy, tsumma ilaa arwaahi jamii’i ahlilqubuuri minal muslimiina wal
muslimaati wal muu’miniina wal muu’minaati min masyaariqi ardli wa
maghaaribihaa barrihaa khushuushan ilaa aabaainaa wa ummahaatinaa wa ajdaadinaa
wa jaddaatinaa wa nakhushshu khu-shuushaan ilaa manij tama’naa haahunaa
bisababihii wa liajlih. Allaahummagh firlahum warhamhum wa ‘aafihim waa’fu
‘anhum. Allaahumma anzilirrahmata wal maghfirata ‘alaa ahlil qubuuri min ahli
laa ilaaha illallaahu muhammadur rasulullah.rabbanaa arinal haqqa haqqaw
warzuqnattibaa’ahu wa arinaal baathilaw warzuqnaj tinaabah. Rabbanaa aatinaa
fid dunyaa hasanataw wa fil aakhirati hasanataw waqinaa ‘adzaabannaar. Subhaana
rabbika rabbil ‘izzati’ammay yushifuuna wasalaamun ‘alal mursaliina wal hamdu
lillaahi rabbil ‘aalamiin. Al faatihah…
Bismillaa hirrahmaanir rahiim
Alhamdulillaahi rabbill’aalamiin. Arrohmaanir
rahiim. Maalikiyaumiddin.
Iyyaakana’budu wa iyyaakanasta’iin. Ihdinash
shiraathal mustaqiim. Shiraathal ladziina
an’amta ‘alaihim ghoiril maghdhuubi’alaihim
waladhaalliin. Aamiinn
Seumur hidup belum
pernah Awan mengalami jamuan Tahun Baru seperti itu. Seratus kalkun panggang
gemuk, segunung kentang panggang dan rebus, berpiring-piring ayam gudeg,
bermangkuk-mangkuk kacang polong bermentega, bermacam-macam saus lezat dan
bertumpuk-tumpuk petasan Ajian di setiap jarak satu meter di sepanjang meja.
Petasan luar biasa ini sama sekali lain daripada petasan Wusana yang sering
dibeli keluarga Raketi di dalamnya ada hadiah mainan plastik kecilkecil dan
topi kertas tipis. Bersama Sekutrem, Awan menarik sebuah petasan Ajian, dan
petasan itu tidak cuma meletus, melainkan menggelegar seperti bunyi meriam dan
menyelubungi mereka semua dengan asap biru, sementara dari dalamnya meletup
topi laksamana berwarna merah bersama beberapa ekor merpati putih hidup. Di
Meja Tinggi, Batara Giri telah menukar Bangklon kumalnya dengan topi
berbunga-bunga dan sedang tertawa-tawa mendengar lelucon yang dibacakan Batara
Flamboyan.
Puding Tahun Baru
menyala dihidangkan setelah kalkun. Gigi Sakri nyaris patah ketika dia
menggigit Sickle perak yang terselip di potongan pudingnya. Awan memandang
Permadi yang wajahnya makin lama makin semangat sementara dia terus-menerus
minta tambah kopi, dan akhirnya mencium pipi Dewi Fatimah. Betapa tercengangnya
Awan melihat Dewi Fatimah terkikik dan mukanya memerah, rasa malu mungkin
tersimpan dibalik tawa.
Ketika Awan akhirnya
meninggalkan meja perjamuan, ia membawa banyak hadiah dari petasan, termasuk
satu pak balon menyala anti pecah, seperangkat alat untuk menumbuhkan tahi
lalatmu sendiri, dan set permainan catur Ajian barunya. Merpati-merpati
putihnya telah menghilang dan Awan punya perasaan tak enak mereka akan berakhir
sebagai santapan Tahun Baru Nona. Awan dan Yuda bersaudara melewatkan sore
menyenangkan dengan perang bola api seru di halaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar