Hadiah Tahun Baru - Sastra Education

Breaking

Jumat, 20 Maret 2020

Hadiah Tahun Baru


Pertengahan Desember. Saloka terbangun dengan hujan yang deras seperti tetesan es. Danau penuh dengan air dan si kembar Yuda dihukum karena menyulap beberapa air untuk mengikuti Batara Somad, dan memantul-mantul dibelakang turbannya. Sedikit burung bondol yang berhasil menembus langit berbadai air untuk mengantar surat, harus dirawat Permadi sampai sehat sebelum mereka terbang lagi.
Semua sudah tak sabar menunggu datangnya liburan. Walaupun ruang rekreasi Jodhipati dan Aula Besar punya perapian yang menyala-nyala, koridor-koridor yang biasa berangin telah menjadi sedingin es dan angin dingin kencang menerpa jendela-jendela kelas sampai bergetar. Yang paling parah kelas Batara Saka di ruang bawah tanah. Di dalam ruang itu napas mereka langsung berubah jadi kabut di depan mata dan mereka berusaha berada sedekat mungkin dengan Genthong-Genthong panas mereka.
“Aku sungguh kasihan,” kata Alas Bronto dalam salah satu pelajaran Ramuan,” pada semua anak yang terpaksa tinggal di Saloka selama liburan Semester karena mereka tidak diinginkan di rumahnya.”

Dia bicara begitu sambil menoleh memandang Awan. Yama dan Cingkara tertawa-tawa kecil. Awan yang sedang menakar bubuk tulang punggung ikan lepu, tidak mempedulikan mereka.
Bronto menjadi semakin menyebalkan sejak pertandingan Braja yang lalu. Kesal karena Madukara kalah, dia mencoba membuat lelucon dengan mengatakan kodok bermulut besar akan menggantikan Awan sebagai Wulung dalam pertandingan berikutnya. Kemudian disadarinya bahwa tak seorang pun menganggap ini lucu, karena anak-anak amat terkesan dengan bagaimana Awan bisa bertahan di atas dengan kutangnya yang menggila.
Maka Bronto yang iri dan marah, kembali mengejek Awan dengan mengungkit-ungkit bahwa Awan tak punya keluarga. Memang betul Awan tidak akan pulang ke Perumahan Puri Indah No 4 keluarga Raketi Semester ini. Dewi Fatimah telah berkeliling minggu sebelumnya, mencatat nama anak-anak yang akan tinggal di Saloka selama liburan, dan Awan langsung mendaftar. Ia sendiri sama sekali tidak berkecil hati, mungkin ini bahkan akan jadi Semester paling menyenangkan baginya. Man dan kakak-kakaknya juga akan tinggal, karena keluarga Yuda akan ke India untuk menengok Barata.
Ketika meninggalkan ruang bawah tanah pada akhir pelajaran Ramuan, mereka melihat pohon cemara besar memblokir koridor di depan. Dua kaki raksasa yang muncul di bagian bawahnya dan napas keras tersengal-sengal memberitahu mereka Permadi ada di belakang pohon itu.
“Hai, Permadi, perlu bantuan?” Man bertanya, seraya menjulurkan kepalanya di antara dahan-dahan.
“Tidak, aku tak apa-apa. Terima kasih, Man.”
“Minggir,” terdengar geram dingin Bronto dari belakang mereka. “Apa kau mencoba cari uang tambahan, Yuda?
Kepingin jadi pengawas binatang liar juga setelah meninggalkan Saloka, rupanya gubuk Permadi pastilah seperti istana dibanding rumah keluargamu.”
Man menerjang Bronto tepat ketika Batara Saka menaiki tangga.
“YUDA!”
Man melepas bagian depan jubah Bronto.
“Dia diprovokasi, Batara Saka,” kata Permadi, seraya melongokkan wajahnya yang besar berbulu dari balik pohon.
“Bronto menghina keluarganya.”
“Kalaupun betul begitu, berkelahi dilarang di Saloka, Permadi,” tukas Saka. “Lima angka dipotong dari Jodhipati, Yuda, dan berterima kasihlah tidak lebih dari itu. Ayo, semua jalan terus.”
Bronto, Yama, dan Cingkara menerobos kasar melewati pohon sambil menyeringai, membuat daun-daun cemara rontok berhamburan.
“Akan kuberi dia pelajaran,” kata Man sambil mengertak gigi di balik punggung Bronto. “Suatu hari nanti kuberi dia pelajaran...”
“Aku benci mereka berdua,” kata Awan. “Bronto dan Saka.”
“Ayo, bergembiralah, sudah hampir Semester,” kata Permadi.
“Begini saja, ikut aku dan lihat Aula Besar, bagus sekali.”
Maka Awan, Man, dan Kirana mengikuti Permadi dan karpet besar telah digelar ke Aula Besar. Dewi Fatimah dan Batara Flamboyan sedang sibuk menangani panantaan tahilan untuk menyambut datangnya Tahun Baru.
“Ah, Permadi, karpet terakhir... taruh saja di sudut paling jauh.”
Aula itu tampak spektakuler. Rangkaian bunga bergantungan di sepanjang dinding dan tak kurang dari dua belas pohon Semester menjulang tinggi di sekeliling ruangan, beberapa berkilau dengan untaian air yang membeku, yang lain berkelap-kelip dengan ratusan lilin.
“Berapa hari lagi sebelum kalian libur?” tanya Permadi.
“Tinggal sehari,” kata Kirana. “Dan aku jadi ingat Awan, Man, kita punya waktu setengah jam sebelum makan siang, kita seharusnya ada di perpustakaan.”
“Oh, yeah, kau benar,” kata Man, dengan susah payah mengalihkan pandangannya dari Batara Flamboyan yang membuat gelembung-gelembung emas bermunculan dari ujung tongkatnya dan menggantungkannya di dahan-dahan pohon baru tadi.
“Perpustakaan?”  kata Permadi, mengikuti mereka meninggalkan Aula. “Sehari sebelum liburan? Rajin amat.”
“Oh, kami tidak belajar,” kata Awan riang. “Sejak kau menyebut Nambi Fora, kami berusaha mencari tahu siapa dia.”
“Apa?” Permadi tampak kaget. “Dengar... sudah kubilang... lupakan. Tidak ada hubungannya dengan yang dijaga macan itu.”
“Kami ingin tahu siapa Nambi Fora, cuma itu,” kata Kirana. “Kecuali kau mau memberitahu kami, jadi kami tak perlu repot-repot?” Awan menambahkan. “Kami sudah membuka-buka lebih dari seratus buku dan kami tidak bisa menemukannya di mana-mana... coba beri kami petunjuk rasanya aku sudah pernah membaca nama itu entah di mana.”
“Aku tak mau bilang apa-apa,” kata Permadi datar.
“Kalau begitu, ya kami cari sendiri,” kata Man. Mereka lalu meninggalkan Permadi yang tidak puas dan bergegas menuju perpustakaan.
Mereka memang sudah mencari-cari nama Fora di buku sejak Permadi keceplosan sebab, kalau tidak, bagaimana mereka bisa tahu apa yang ingin dicuri Saka? Sulitnya, susah sekali mengetahui dari mana mereka harus mulai, karena tak tahu apa yang pernah dilakukan Fora yang membuat namanya layak disebut di buku. Dia tidak ada dalam buku Ksatria Besar Abad Dua Puluh atau Nama-nama Terkenal di Dunia Ajian Masa Kini; namanya juga tak disebut dalam Penemuan-penemuan Penting Ajian Modern dan Perkembangan Terakhir dalam Dunia Ajian. Dan tentu saja, harus diingat, betapa besarnya perpustakaan itu: berpuluh-puluh ribu buku, beribu-ribu rak, berates-ratus deret sempit.
Kirana mengeluarkan sederet topik dan judul yang telah diputuskannya akan dia cari, sementara Man berjalan menyusuri deretan buku dan mulai menarik beberapa di antaranya secara acak. Awan berjalan ke Seksi Terlarang. Selama beberapa waktu ia telah berpikir, jangan-jangan nama Fora ada di sana.
Sayangnya, kau perlu surat keterangan yang ditandatangani salah satu guru untuk bisa meminjam salah satu buku terlarang itu, dan Awan tahu ia tak akan memperoleh surat semacam itu.
Yang ada di bagian ini adalah buku-buku berisi Ajian Hitam manjur yang tak pernah diajarkan di Saloka dan hanya dibaca oleh murid-murid kelas lebih tinggi yang pelajarannya tentang Pertahanan terhadap Ilmu Hitam sudah jauh lebih maju.
“Kau cari apa, Nak?”
“Tidak cari apa-apa,” jawab Awan.
Dewi Pregiwati, petugas perpustakaan, mengacungkan pembersih yang terbuat dari bulu ayam pada Awan. “Kalau begitu, lebih baik kau keluar. Ayo... keluar!”
Awan menyesal tidak sedikit lebih cepat memikirkan alasan. Awan meninggalkan perpustakaan. Bersama Man dan Kirana, ketiganya sudah sepakat tidak akan bertanya kepada Dewi Pregiwati di mana mereka bisa menemukan Fora. Mereka yakin Dewi Pregiwati akan bisa memberitahu mereka, tetapi mereka tak mau mengambil risiko Saka mendengar apa yang mereka lakukan.
Awan menunggu di koridor, kalau-kalau kedua temannya menemukan sesuatu, tetapi ia tak terlalu berharap. Mereka memang sudah mencari selama dua minggu, tetapi karena hanya mencari pada waktu-waktu di antara pelajaran, tidaklah mengherankan mereka belum menemukan apa-apa. Yang mereka butuhkan adalah pencarian panjang tanpa Dewi Pregiwati mencurigai mereka. Lima menit kemudian, Man dan Kirana bergabung dengannya, menggelengkan kepala. Mereka pergi makan siang.
“Kalian akan mencari terus selama aku tak ada, kan?” kata Kirana. “Dan kirim burung Ruda padaku kalau kalian menemukan sesuatu.”
“Dan kau bisa bertanya kepada orangtuamu kalau-kalau mereka tahu siapa Fora,” kata Man. “Aman bertanya kepada mereka.”
“Sangat aman, karena mereka berdua dokter gigi,” kata Kirana.
Begitu liburan mulai, Man dan Awan kelewat senang sehingga tak sempat memikirkan Fora. Kamar mereka hanya berisi mereka berdua dan ruang rekreasi jauh lebih kosong daripada biasanya, jadi mereka bisa duduk di kursi berlengan nyaman dekat perapian. Mereka duduk lama sekali sambil makan segala macam yang bisa mereka tusuk dengari garpu panggang roti, kue, manisan dan merencanakan cara-cara membuat Bronto dikeluarkan. Asyik sekali membicarakan itu, walaupun jelas tidak akan terjadi.
Man juga mengajar Awan main catur Ajian. Sebetulnya persis seperti catur Wusana, hanya saja bidak-bidaknya hidup, sehingga memainkannya serasa memimpin pasukan tentara dalam pertempuran. Set permainan catur Man sudah tua dan bocel-bocel. Seperti semua benda lain yang dimilikinya, papan catur itu dulunya milik orang lain dalam keluarganya dalam hal ini kakeknya. Meskipun demikian, bidak catur tua sama sekali bukan hambatan. Man sudah kenal baik semuanya, sehingga dia tak pernah punya kesulitan menyuruh mereka melakukan apa yang diinginkannya.
Awan bermain dengan buah-buah catur yang dipinjamkan
Sumpena Fly dan mereka sama sekali tidak mau menurut kepadanya. Ia belum pandai bermain dan bidak-bidak itu terus-menerus meneriakkan saran-saran kepadanya, membuatnya bingung. “Jangan suruh aku ke sana, apa kau tidak melihat perwira itu? Kirim dia saja, kalau kehilangan dia sih tidak apa-apa.”
Pada malam menjelang Tahun Baru, Awan pergi tidur dengan gembira, menantikan hari berikutnya, mengharapkan makanan dan kegembiraan, tetapi sama sekali tidak mengharapkan hadiah.
Meskipun demikian, ketika pagi-pagi sekali ia bangun, yang pertama kali dilihatnya adalah tumpukan kecil bungkusan di kaki tempat tidurnya.
“Selamat Tahun Baru,” kata Man masih mengantuk ketika Awan turun dari tempat tidur dan memakai jas kamarnya.
“Selamat Tahun Baru juga,” kata Awan. “Coba lihat ini. Aku dapat hadiah!”
“Tentu saja. Memangnya kau mengharap dapat apa? Lobak?” kata Man, menoleh memandang tumpukan hadiahnya, yang jauh lebih banyak daripada hadiah Awan.
Awan mengambil bungkusan paling atas. Hadiah ini terbungkus kertas cokelat tebal dan di atasnya ada tulisan Untuk Awan, dari Permadi. Di dalamnya ada seruling kayu yang buatannya kasar. Jelas Permadi membuatnya sendiri. Awan meniupnya kedengarannya agak mirip bunyi burung hantu.
Yang kedua, amplop kecil berisi surat pendek.
Kami menerima pesanmu dan terlampir hadiah Tahun Baru mu. Dari Paman Raketi dan Bibi Suketi. Tertempel di surat itu dengan selotip adalah sekeping uang logam lima puluh pence.
“Wah, mereka baik,” kata Awan.
Man terpesona melihat keping lima puluh pence itu.
“Aneh,” katanya. “Bentuknya ajaib. Ini uang?”
“Boleh buatmu,” kata Awan. Ia tertawa melihat betapa gembiranya Man. “Permadi atau bibi atau pamanku jadi siapa yang mengirim ini?”
“Kurasa aku tahu yang itu dari siapa,” kata Man, wajahnya agak memerah, seraya menunjuk bungkusan yang bentuknya tak beraturan. “Ibuku. Aku bilang padanya kau tidak berharap mendapat hadiah dan oh, tidak,” dia mengeluh, “dia membuatkanmu rompi Yuda.”
Awan sudah merobek bungkusan itu dan menemukan sweter rajutan tanpa lengan berwarna hijau zamrud dan satu kotak besar gudeg lunak buatan sendiri.
“Setiap tahun dia membuatkan kami rompi,” kata Man, seraya membuka bungkusannya sendiri, “dan rompiku selalu merah tua.”
“Ibumu baik sekali,” kata Awan. Ia mencoba gudegnya, yang ternyata enak sekali.
Hadiahnya berikutnya juga berisi makanan kecil sekotak besar Cokelat Kodok dari Kirana.
Tinggal satu hadiah lagi. Awan mengambilnya dan menimangnya. Ringan sekali. Dibukanya bungkus hadiah itu. Sesuatu yang licin berwarna abu-abu keperakan meluncur ke lantai, teronggok berkilauan. Man kaget sekali.
“Aku sudah mendengar tentang itu,” katanya terpesona, kotak kacang Segala Rasa yang didapatnya dari Kirana sampai terjatuh. “Kalau itu betul seperti dugaanku itu sangat langka dan sangat berharga.”
“Apa ini?”
Awan memungut kain berkilau keperakan itu dari lantai. Rasanya aneh, seperti air yang ditenun menjadi kain.
“Ini Jubah Gaib,” kata Man, wajahnya tampak kagum. “Aku yakin ini Jubah Gaib coba pakai.” Awan menyampirkan jubah itu di sekeliling bahunya dan Man langsung memekik.
“Betul! Lihat ke bawah!”
Awan memandang ke bawah, ke kakinya, tapi ternyata tak ada. Ia berlari ke depan cermin. Memang bayangannya memandang kepadanya, tapi hanya kepalanya yang melayang di udara, seluruh tubuhnya sama sekali lenyap. Ditariknya jubah itu menutupi kepalanya, dan bayangannya lenyap seluruhnya.
“Ada suratnya!”  kata Man tiba-tiba. “Ada surat yang jatuh dari jubah itu!”
Awan melepas jubahnya dan menyambar suratnya. Tertulis dalam huruf-huruf ramping berliuk yang belum pernah dilihatnya, kata-kata berikut ini:
Ayahmu menitipkan ini padaku sebelum dia meninggal sudah waktunya untuk dikembalikan. Gunakan baik-baik. Selamat Tahun Baru yang menyenangkan untukmu.
Tak ada tanda tangan. Awan bengong memandang surat itu. Man sibuk mengagumi jubah itu. “Aku rela memberikan apa saja untuk mendapatkan ini,” katanya. “Apa saja. Ada apa?”
“Tidak apa-apa,” kata Awan. Ia merasa sangat aneh. Siapa yang mengirim jubah ini? Betulkah ini dulu milik ayahnya?
Sebelum ia bisa berkata atau berpikir apa-apa lagi, pintu kamar menjeblak terbuka dan Sekutrem dan Palasara Yuda melompat masuk. Awan cepat-cepat menyingkirkan jubah itu.
Ia belum rela membaginya dengan orang lain.
“Selamat Tahun Baru!”
“Hei, lihat Awan dapat rompi Yuda juga!”
Sekutrem dan Palasara memakai rompi biru, yang satu dengan huruf S besar kuning, satunya lagi dengan huruf P besar kuning.
“Tapi rompi Awan lebih bagus daripada punya kita,” kata Sekutrem seraya mengangkat rompi Awan. “Jelas Mak berusaha lebih keras kalau membuatkan sesuatu bukan untuk keluarga.”
“Kenapa milikmu tidak kaupakai, Man?” Palasara mempertanyakan. “Ayo pakai, rompinya kan bagus dan hangat.”  “Aku benci merah,” Man mengeluh setengah hati sambil menarik rompinya melewati kepalanya.
“Punyamu tidak ada hurufnya,” Palasara baru sadar. “Rupanya Mak mengira kau tidak akan melupakan namamu. Tetapi kami tidak bodoh kami tahu nama kami Sekutrem dan Palasara.”
“Ada apa sih, ribut amat?”
Sakri Yuda menjulurkan kepalanya ke dalam kamar, kelihatan tidak senang. Rupanya dia juga baru membuka hadiahnya, karena dia juga membawa rompi yang tersampir di tangannya. Sekutrem segera menyambar rompi itu.
“P untuk Pramugari! Pakailah, Sakri ayo, kami semua memakai rompi kami, bahkan Awan juga.”
“Aku... tak... mau...,” kata Sakri sementara si kembar memaksakan rompi itu melewati kepalanya, membuat Awanmatanya miring.
“Dan hari ini kau kan tidak bersama para Pramugari lainnya,” kata Palasara. “Tahun Baru kan waktu untuk keluarga.”
Mereka menggiring Sakri keluar ruangan, rompinya menjepit lengannya.
Habis sholat isya’.
Sebelum pesta makan, mereka membaca surah Yaasiin dipimpin langsung oleh Bataar Giri. Kemudian membaca tahlil dimulai membaca:
Bismillaahir rohmmaanir rahiim. Ilaa hadrotin nabiyyil mushthofaa shollalloohu ‘alaihi wa sallama wa aalihi wa azwaajihii wa aulaadihi wa dzurriyyaatihii al faatihah:
Bismillaahir rohmmaanir rahiim. Al hamdulillahi robbil ‘aalamin. Arrohmaanir rohiim. Maaliki yaumidiin. Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin. Ihdinash shiroothol mustaqiim. Shiroothol ladziina an’amta ‘alaihim. Ghoiril maghdhuubi ‘alaihim walaadhdhoollin. Aamiin.
Ilaa hadhroti akhowaatihii minal anbiyaa i wal mursaliina wal auliyaa i wasy syuhadaa i washoolihii na wash shohaabati wat taabi’iina wal’ulamaa il’aamiliinawal mushonnifiinal mukhlis hiina wa jamii’il malaa ikatil muqorrobiina khushuushon: ILAA SAYYIDINA AS SYAIKHI’ABDUL QOODIRI AL JAILAANI.
Ilaa jamii ahlil qubuuri minal muslimiina walmuslimaati wal mu’miniina walmu’minaati minmas yaariqil ardhi wa maghooribiina barrihaa wa bahrihaa khushushon aabaa inaa waummahaatina waajdaadana wajaddaati naa wamasyaayik hinaa wamasyaayikhi masyaayikhinaa waasaatidzati asaa tidatinaa walimanijtama’naa haahunaa bisababihi.
Kemudian dilanjutkan surat Al-ikhlas sebanyak 3 kali.
Bismillaahir rohmmaanir rahiim. Qulhuwallohu ahad. Alloohushshomad. Lamyalid walam yuulad. Wa lam yakun lahuu kufuwan ahad. 3x
Kemudian membaca surat Al Falaq sebanyak 3 kali.
Bismillaahir rohmmaanir rahiim. Qul a’uudzubi robbil falaq. Min syarri maa kholaq wamin syarri ghoosiqin idzaawaqob. Wa min syarrin naffatsaati fil ‘uqod. Wa min syarri haasidin idzaa hasad. 3x. Laa illaha illal loohu alloohu akbaru wa lil laahil hamdu.
Kemudian membaca surat An Naas sebanyak 3 kali.
Bismillaahir rohmmaanir rahiim. Qul a’uudzubi robbinnaas malikin naas. Ilaahinnas. Min syarril was waasil khonnaas alladzii yuwaswisu fiishuduurin naas. Minal jinnati wan naas. 3x. Laa illaha illal loohu alloohu akbaru wa lil laahil hamdu.
 Kemudian membaca surat al fatehah disusul dengan membaca surat Al Baqoroh ayat 1-5:
Bismillaahir rohmmaanir rahiim. Alif laam miim. Dzalikal kitaabu laa roiba fiihi lil muttaqiin. Al ladziina yu’minuuna bilqhoibi wayuqimuunash sholaata wamimmaa rozaqnaa hum yunfiquun. Walladziina yu’minuuna bimaa unzila ilaika wa maaunzila min qoblika wa bil aakhiroti hum yuuqinuun. Ulaa ika ‘alaa hudan min robbihim waulaa ika humul muflihuun.
Disusul membaca surat Al Baqoroh ayat 163.
Wa ilaahukum ilaahun waahidun laa ilaaha illaahu war rohmaanur rohiimmu.
Disusul membaca ayat kursi.
Allohu laa ilaaha illaa huwal hayyul quyyumu laata’khudzuhuu sinatun wa laa naumun lahuu maa fissamaawaati wa maa fil ardhi man dzal ladzi yasyfa’u ‘indahuu illa biidznihiiya’lamu maa baina aidiihim wa maakholfahum walaa yuhiithuuna bisyai in min ‘ilmihii  illa bima syaa a wasi’a kursiyyunus samaawaati wal ardho walaa yauuduhuu hifdluhumaa wa huwal ‘aliyyul ‘adlim.
Kemudian disusul surat Al Baqoroh ayat 284-286.
Lil laahi maa fissamaawaati wamaa fil ardhi wain tubduu maa fii anfusikum au tukhfuuhu yuhaasibkum bihillaah. Fa yaghfiru limay yasyaau wa yu’adzdzibu may yasyaau wallaahu ‘alaakulli syai-in qadiir. Aamanar rasuulu bimaa unzila ilaihi mirrabbihii wal muu’minuun kullun aamana billahi wa malaaikatihii wa kutubihii wa rusulihii, laa nufarriqu baina ahadim mir rusulihii wa qaa-luu sami’naa wa atha’naa ghuufraanaka rabbanaa wa ilaikal mashiir. Laa yukallifullaahu nafsaan illaa wus ‘ahaa, lahaa maa kasabat wa ‘alaihaa maktasabat, rabbanaa laa tuaakhidnaa in nasiinaa au akhtha’naa, rabbanaa wa laa tahmil ‘alainaa ishraan kamaa hamaltahuu ‘alal ladziina min qabliinaa, rabbanaa wa laa tuhammilnaa maa laathaaqata lanaa bihii. (Wa’fu ‘annaa, waghfir-lanaa warhamnaa) 7X anta maulaanaa fanshuur-naa ‘alal qaumil kaafiriin.
Kemudian membaca:
Irhamnaa yaa arhamar raahimiin 7x. Rahmatullaahi wabarakaatuh. Alaikuumaahlal baiti innahuu ha-miidum majiid. (Huud : 73)
Kemudian membaca surat Al Ahzab ayat 33 dan 56:
Innamaa yuriidullaahu liyudzhiba ‘ankumurrijsa ahlal baiti wa yuthahhirakuum tathhiiraan. (Al – Ahzab : 33).
Innallaha wa malaa ikatahuu yusholluuna alan nabiyyi yaa ayyuhal ladziina aamanu shollu alaihiwa sallimu tasliiman. (Al – Ahzab : 56).
Kemudian membaca doa:
Allaahumma shalli afdlalash shalaati ‘alaa as’adi makhluuqaatika nuuril hudaa sayyidinaa wa maulaanaa Muhammadiw wa ‘alaa aali sayyidinaa Muhammadin ‘adada ma’luumaatika wa midaada kalimaatika kullamaa dzakarakadzdzaakiruuna wa ghafala ‘an dzikrikal ghaafiluun.
Allahumma shalli afdlalash shalaati ‘alaa as’adi makhluuqaatika syamsidl dluhaa sayyidinaa wa maulaanaa muhammadiw wa ‘alaa aali sayyidinaa muhammadin. ‘adada ma’luumaatika wamidaada kalimaatika kullamaa dzakarakadzdzaakiruuna wa ghafala’an dzikrikal ghaafiluun.
Allaahumma shalli afdlalash shalaati ‘alaa as’adi makhluuqaatika badrid dujaa sayyidinaa wa maulaanaa muhammadiw wa ‘alaa aali sayyidinaa muhammadin ‘adada ma’luumaatika wa midaada kalimaatika kullamaa dzakarakadz dzaakiruuna waghfala ‘andzikrikal ghaafiluun. Wasallim waradliallaahu ta’aalaa ‘an saadaatinaa ashhaabi rasuulillaahi ajma’iin.
Kemudian membaca surat Ali Imron ayat 173 dan An Anfaal ayat 40:
Hasbunallaahu wa ni’mal wakiil (Ali Imran : 173). Ni’mal maulaa wa ni’man nashiir. (Al-Anfal : 40).
Wa laa haula wa laa quwwata illaa billaahil ‘alayyil ‘adziim.
Astaghfirullaahal’adhiim. 3x
Afdlaludz dzikri fa’lam annahuu :
Laa ilaaha illaallaahu, hayyum maujuud.
Laa ilaaha illaallaahu, hayyum ma’buud.
Laa ilaaha illaallaahu, hayyum baaqin.
Laa ilaaha illaallaahu.100x
Laa ilaaha illaallaahu Muhammadur rasuulullaah.
Allahumma shalli alaa muhammadin. Allahumma sholli alaihi wasallim. 3x
Subhaanallahi wa bihamdzihi subhaanallahil adhiimi. 33x
Allaahumma shalli ‘alaa habiibika sayyidinaa muhammadin wa ‘alaa aalihii wa shahbihii wasallim 3x, ajma’iin. Al faatihah
Bismillaa hirrahmaanir rahiim
Alhamdulillaahi rabbill’aalamiin. Arrohmaanir rahiim. Maalikiyaumiddin.
Iyyaakana’budu wa iyyaakanasta’iin. Ihdinash shiraathal mustaqiim. Shiraathal ladziina
an’amta ‘alaihim ghoiril maghdhuubi’alaihim waladhaalliin. Aamiinn
A’uudzubillaahi minasy syauthaanir rajiim. Bismillaahir rahmaanir rahiim. Alhamdulillaahi rabbil ‘aalamiin. Hamdasy syaakiriina hamdan naa’imiin. Hamdaay yuwaafii ni’amahuu wa yukaafiu maziidah. Yaa rabbanaa lakal hamdu kamaa yanbaghii lijalaali wajhika wa ‘adhii-mi sulthaanik. Allaahumma shalli ‘alaa sayyidinaa Muhammadiw wa’alaa aali sayyidinaa Muhammad. Allaahumma taqabbal wa aushil tsawaaba maa qaraa naahu minal quraanil ‘adhiim, wa maa halalalnaa, wa maa sabbahnaa, wa mas taghfarnaa, wamaa shalainaa ‘alaa sayyidinaa muhammadin shallallaahu ‘alaihi wasallama hadiyyatan waashilatan wa rahmatan hadlaraati habiibinaa wa syafii’inaa wa qurrati a’yuuninaa sayyidinaa wa maulaanaa muhammadin shallallaahu ‘alaihi wasallama wa ilaa jamii’i ikhwaanihii minal anbiyaai wal mursaliina wal auliyaai wasy syuhadaai wash shaalihiina wash shahaabati wat taabi’iina wal’ulamaa’il ‘aamiliina wal mushanni-fiina mukhlishiina wa jamii’il mujaahidiina fii sabiilillaahi rabbil ‘aalamiina wal malaaikatil muqarrabiina khushuushaan ilaa sayyidinaa syaikhi ‘abdil Qaadiril Jailaniy, tsumma ilaa arwaahi jamii’i ahlilqubuuri minal muslimiina wal muslimaati wal muu’miniina wal muu’minaati min masyaariqi ardli wa maghaaribihaa barrihaa khushuushan ilaa aabaainaa wa ummahaatinaa wa ajdaadinaa wa jaddaatinaa wa nakhushshu khu-shuushaan ilaa manij tama’naa haahunaa bisababihii wa liajlih. Allaahummagh firlahum warhamhum wa ‘aafihim waa’fu ‘anhum. Allaahumma anzilirrahmata wal maghfirata ‘alaa ahlil qubuuri min ahli laa ilaaha illallaahu muhammadur rasulullah.rabbanaa arinal haqqa haqqaw warzuqnattibaa’ahu wa arinaal baathilaw warzuqnaj tinaabah. Rabbanaa aatinaa fid dunyaa hasanataw wa fil aakhirati hasanataw waqinaa ‘adzaabannaar. Subhaana rabbika rabbil ‘izzati’ammay yushifuuna wasalaamun ‘alal mursaliina wal hamdu lillaahi rabbil ‘aalamiin. Al faatihah…
Bismillaa hirrahmaanir rahiim
Alhamdulillaahi rabbill’aalamiin. Arrohmaanir rahiim. Maalikiyaumiddin.
Iyyaakana’budu wa iyyaakanasta’iin. Ihdinash shiraathal mustaqiim. Shiraathal ladziina
an’amta ‘alaihim ghoiril maghdhuubi’alaihim waladhaalliin. Aamiinn
Seumur hidup belum pernah Awan mengalami jamuan Tahun Baru seperti itu. Seratus kalkun panggang gemuk, segunung kentang panggang dan rebus, berpiring-piring ayam gudeg, bermangkuk-mangkuk kacang polong bermentega, bermacam-macam saus lezat dan bertumpuk-tumpuk petasan Ajian di setiap jarak satu meter di sepanjang meja. Petasan luar biasa ini sama sekali lain daripada petasan Wusana yang sering dibeli keluarga Raketi di dalamnya ada hadiah mainan plastik kecilkecil dan topi kertas tipis. Bersama Sekutrem, Awan menarik sebuah petasan Ajian, dan petasan itu tidak cuma meletus, melainkan menggelegar seperti bunyi meriam dan menyelubungi mereka semua dengan asap biru, sementara dari dalamnya meletup topi laksamana berwarna merah bersama beberapa ekor merpati putih hidup. Di Meja Tinggi, Batara Giri telah menukar Bangklon kumalnya dengan topi berbunga-bunga dan sedang tertawa-tawa mendengar lelucon yang dibacakan Batara Flamboyan.
Puding Tahun Baru menyala dihidangkan setelah kalkun. Gigi Sakri nyaris patah ketika dia menggigit Sickle perak yang terselip di potongan pudingnya. Awan memandang Permadi yang wajahnya makin lama makin semangat sementara dia terus-menerus minta tambah kopi, dan akhirnya mencium pipi Dewi Fatimah. Betapa tercengangnya Awan melihat Dewi Fatimah terkikik dan mukanya memerah, rasa malu mungkin tersimpan dibalik tawa.
Ketika Awan akhirnya meninggalkan meja perjamuan, ia membawa banyak hadiah dari petasan, termasuk satu pak balon menyala anti pecah, seperangkat alat untuk menumbuhkan tahi lalatmu sendiri, dan set permainan catur Ajian barunya. Merpati-merpati putihnya telah menghilang dan Awan punya perasaan tak enak mereka akan berakhir sebagai santapan Tahun Baru Nona. Awan dan Yuda bersaudara melewatkan sore menyenangkan dengan perang bola api seru di halaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar