ALLOHU AKBARU - Sastra Education

Breaking

Jumat, 13 Maret 2020

ALLOHU AKBARU


Malam hari.
Aku merebahkan badan setelah melakukan kegiatan sehabis sholat isya’. Tubuhku terasa lelah, letih dan lunglai. Disebelahku ada Samba yang tertidur pulas. Dia adalah teman kamar sekaligus sahabatku selain Man. Jangkung, gempal postur tubuhnya. Walaupun begitu dia sangat cekatan. Pekerjaan berat mencangkul dan membajak sawah merupakan keahliannya. Jadi dia sangat jarang mendapat misi untuk keluar pondok.
Aku menatap langit kamarku. Perlahan-lahan mataku mulai terpejam. Aku tertidur pulas. Itu adalah malam pertama aku memimpikan Sima si cantik yang membuatku terkesima.
DALAM mimpiku sangat gelap, dan cahaya samar-samar di sana sepertinya terpancar dari kulit Sima. Aku tak bisa melihat wajahnya, hanya punggungnya ketika dia menjauh dariku, meninggalkanku dalam kegelapan. Tak peduli betapa cepat aku berlari, aku tak bisa mengejarnya;
tak peduli betapa keras aku memanggil, dia tak pernah berbalik. Karena ketakutan, aku terbangun di tengah malam dan tak bisa tidur lagi untuk waktu yang sepertinya lama sekali. Tetapi bagiku ini malah bagus karena aku bisa mengerjakan sholat malam lebih awal dari biasanya.
Aku bangkit dari tempat tidur. Aku duduk sebentar sambil mengusap-usap mataku dari gelapnya kotoran. Mataku terlihat cerah dan bening memandang.
Aku tersenyum lebar. Pikiranku melayang menembus imajinasi liar. Aku mengangkat bahu. Aku berdiri dan meluncur melangkah keluar kamar. Aku masuk ke kamar mandi. Aku mencuci muka dan berwudhu.

Aku kembali masuk kamar. Disamping tempat tidurku aku mengelegar sajadah. Aku berdiri tegap diatas sajadah menghadap kiblat. Membaca niat sholat tahajud:
“Usholli sunnatan Tahajudi raka'atim mustaqbilal qiblati lillahi ta'ala.”
“Allahu Akbaru” Aku bertakbiratul ikram. Sholat tahajud mulai aku tunaikan. Dua raka’at selesai disusul dua raka’at berikutnya.
Kemudian dua rakaat berikutnya telah selesai aku tunaikan, aku mengakhiri dengan doa.
“ALLOOHUMMA LAKAL HAMDU ANTA QOYYIMUS SAMAAWAATI WAL ARDHI WA MAN FIIHINNA WA LAKAL HAMDU LAKA MULKUS SAMAAWAATI WAL ARDHI WA MAN FIIHINNA WA LAKAL HAMDU ANTA NUURUS SAMAAWAATI WAL ARDHI WA LAKAL HAMDU ANTAL HAQQU WA WA’DUKAL HAQQU WA LIQOO-UKA HAQQUN WA QOULUKA HAQQUN WA JANNATU HAQQUN WAN NAARU HAQQUN WAN NABIYYUUNA HAQQUN WA MUHAMMADUN SHOLLALLOHU ‘ALAIHI WA SALLAMA HAQQUN WAS SAA’ATU HAQQUN ALLOOHUMMALAKA ASLAMTU WA BIKA AAMANTU WA’ALAIKA TAWAKKALTU WA ILAIKA ANABTU WA BIKA KHOOSHOMTU WA ILAIKA HAAKAMTU, FAGHFIRLII MAA QODDAMTU WAMAA AKHKHORTU WAMAA ASRORTU MU’AKHKHIRU LAA ILAAHA ILLAA ANTA AU LAA ILAAHA GHOIRUKA WALAA HAULA WALAA QUWWATA ILLAA BIL LAAHI.”
Aku bangkit dari duduk. Aku kembali merebahkan tubuhku. Memandang langit kamar mungkin sudah kembali menjadi kebiasaan. Matamu memperhatikan serius. Walau hanya imajinasi tetapi bayangan matanya sungguh membekas dalam ingatan.
Perlahan-lahan aku mataku kembali terpejam. Tanpa sadar aku masuk kedalam mimpi yang sama. Dalam semalam ini kedua kali aku memimpikan hal sama. Sima bagai mimpi dalam tidurku. Seperkian detik aku tertidur pulas. Kemudian aku terbangun lagi. Masih ada satu jam lagi sebelum shubuh berkumandang.
Aku kembali melaksanakan sholat tahajud malam. Untuk menambah sebeles raka’at. Aku menuai dua raka’at tahajud dan tiga raka’at witir. Ketika selesai sholat witir aku melanjutkan berdzikir hingga lima menit sebelum adzan shubuh berkumandang.
Aku keluar kamar untuk mandi. Pagi hari merasakan dinginnya air membuat tubuhku kembali bugar. Air dingin membuka mataku semakin tajam memandang.
Tubuhku tersegarkan. Aku mengenakan surjan lurik coklat dan celana congklang. Bangklon lurik menghiasi kepala untuk merapikan rambutku.
Aku dan Samba siap melangkah ke rumah Tuhan.
Allahu Akbaru Allahu Akbaru… Allahu Akbaru Allahu Akbaru……”
Suara Man menggelegar membahana di saentro Andong Sumawi. Suaranya menetes-netas merdu sepagi yang indah.
Aku dan Samba meluncur keluar kamar. Dia mengenakan surjan hitam dan celana congklang. Bangklon hitam menghiasi kepalanya. Wajah ovalnya sangat serasi dengan bangklonnya.
Kami berjalan ringan sambil mengucapkan salam setiap bertemu orang. Mengucapkan salam adalah bentuk tata krama dalam pergaulan. Sebagai orang islam kita wajib mengucapkan salam bukan.
Didepan masjid telah menanti kedatangan. Sampai dibait terakhir Man mengumandang adzan.
Allahu Akbaru Allahu Akbaru… Laa illaha illal loohu…”
Man merasakan kenyamanan sampai dibait terakhir aku begitu dalam mendengarnya. Hatiku turut bergetar ketika aku mengucap ulang.
Ya Allah pemilik panggilan yang sempuna ini dan sholat yang didirikan berilah Muhammad wasilah dan keutamaan dan bangkitlah dia pada tempat yang terpuji yang telah Engkau janjikan padanya melainkan dia akan mendapatkan syafaatku pada hari kiamat.
Kami meluncur ke teras depan masjid. Aku melepaskan alas sandal, kaki kanan melangkah berdahuluan. Aku berguman ringan:
“Allohummaftahlii abwaaba rahmatik”
Aku ke tempat wudhu untuk menyempurnakan sholatku. Berwudhu sesuai rukun menjadi pedoman untuk mendapat pahala dan berkah. Sunat-sunat wudhu tak ketinggalan untuk aku tunaikan.
Aku segera meluncur ke ruang utama masjid. Shaf-shaf mulai ditempati para santri. Berada di shaf depan masih ada satu tempat kosong. Aku bergegas memenuhinya.
Untuk menghormati masjid aku menuaikan sholat tahaiyatul masjid. Dua raka’at bro! sama seperti sholat biasa.
Akhirnya muazin mengumandang Iqomat. Man melangkah di depan. Dia memegang telinga kanan.
 Allahu Akbaru Allahu Akbaru”
Makmum berdiri dibelakang imam. Posisi seperti ini sudah jelas dalam tatanan sholat berjamaah dalam islam yang benar. Dimana tidak ada sorang pun yang posisi nya sejajar dengan imam atau mendahului imam ketika melakukan sholat secara berjamaah. Jika ruangan penuh maka posisi makmum boleh dekat dengan imam dengan tumit makmum minimal tidak mendahului tumit imam. Tatanan tersebut bisa dikatakan sholat berjamaah sah. Namun jika makmum berada di posisi yang sejajar dengan makmum atau mendahului maka sholat berjamaah bisa dikatakan tidak sah.
“Asyhadu an laa ilaah illal loohu…
Asyhadu anna muhammadar rosuulul loohu…
Hayya ‘alash sholaati…
Hayya ‘alal falaahi…
Qod qoomatish sholaah… Qod qoomatish sholaah…
Allahu Akbaru… Allahu Akbaru…”
Man mengenadah. Aku berfikir dia membaca doa sesudah iqomah. Man berguman ringan.
“ALLOHUMMA ROBBA HAADZIHID DA’WATIT TAAMMATI WASH SHOLAATIL QOOIMATI SHOLLI WA SALLAM ‘ALAA SAYYIDINAA MUHAMMADIN WA AATIHII SU’LAHU YAUMUL QIYAAMATI.”
Syekh Sidik meluncur ringan didepan para makmum. Beliau sebagai imam sholat shubuh berjama’ah. Beliau sedikit melirik ke belakang. Shaf-shaf belakang beliau rapikan dan rapatkan. Beliau berucap: 
“Sawwu shufufakum, fa inna tashfiyah al-shaf min tamam al-shalah
Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’-nya menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan lurusnya saf pada hadis di atas adalah memenuhi saf yang pertama terlebih dahulu, kemudian baru menyambungnya dengan saf yang selanjutnya serta menutup ruang/celah kosong yang terdapat di dalam saf. Termasuk ke dalam makna hadis itu juga menyejajarkan barisan dengan standar dada salah seorang makmum tidak terkedepan dari dada para makmum yang lain. Begitu juga dengan tumitnya, tidak ada yang terkebelakang dari tumit makmum yang di sebelahnya.
Sementara itu, Syekh Zainuddin al-Malibari dalam karyanya Fath al-Mu’in menegaskan bahwa yang menjadi standar lurusnya saf adalah kesejajaran bahu dan tumit antar makmum, bukan jari-jari kaki mereka, karena jari-jari kaki seseorang bisa saja berbeda-beda dalam hal panjang dan lebarnya, sehingga tidak bisa dijadikan patokan. Sedangkan standar rapatnya saf adalah tidak adanya ruang atau celah yang kosong antar makmum yang ada. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh para ulama dalam kitab Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaytiyyah.
Hal senada juga dijelaskan oleh Abu al-Naja Musa ibn Ahmad ibn Musa al-Hijawi, seorang ulama bermazhab Hambali, dalam karyanya yang berjudul Zad al-Mustaqni’ fi Ikhtishar al-Muqni’. Kitab ini juga dikomentari langsung oleh Syekh Muhammad ibn Shaleh al-‘Utsaimin, mantan mufti Kerajaan Saudi Arabia, sebagai kitab kecil yang mempunyai kandungan yang padat dan lengkap. Abu Naja menggarisbawahi bahwa yang dimaksud rapat di sini bukan berdesak-desakan dalam artian menempel secara ketat antar satu sama lain.
Abu Naja juga menyindir sebagian kalangan yang, mungkin lantaran kecintaan mereka terhadap sunah, keliru dalam memahami hadis tentang anjuran merapatkan saf. Mereka memahami bahwa rapat itu harus dengan menempelkan ujung kaki mereka dengan ujung kaki makmum yang lain. Malahan menurutnya hal ini dapat saja menyakiti makmum yang disebelahnya karena membuatnya terganggu dan sulit untuk melakukan gerakan sunat-sunat haiat salat seperti duduk tawaruk, duduk untuk tumakninah, dan gerakan-gerakan sunah lainnya.
Jadi dapat dipahami bahwa tidak seorangpun dari ulama yang sudah penulis sebutkan di atas yang mengharuskan kaki seorang makmum harus menempel dengan kaki makmum yang disebelahnya, karena hal itu dapat menyakiti serta menyusahkan makmum yang di sampingnya. Hanya saja yang dianjurkan adalah tidak menyisakan ruang kosong di tengah saf yang berpotensi memutuskan saf. Bagi makmum yang mendapati kondisi seperti ini hendaknya segera menutupinya dengan masuk ke saf yang bolong tersebut.
Di samping itu, rapatnya saf merupakan simbol persatuan umat, sehingga dengan saf yang bolong-bolong serta tidak lurus itu dikhawatirkan akan merusak hati dan persatuan umat. Begitu juga, di antara saf-saf yang kosong akan dengan mudah dimasuki oleh setan yang bertugas menganggu serta mempengaruhi manusia agar tidak khusyuk dalam salatnya.
Melihat posisi shaf makmum sempurna. Syekh Sidik kembali menghadap kiblat. Beliau berdiri tegak. Beliau berguman ringan:
Usholli fardodh shubuhi raka'atim mustaqbilal qiblati adaa-an imaaman lillahi ta'ala.”
Beliau mengangkat kedua tangan setinggi telinga sambil berkata lantang.
“Allohu Akbaru…”
Kemudian beliau bersedekap. Meletakkan tangan kanan pada pergelangan tangan kiri, dan membaca do’a iftitah.
Makmum dibelangnya mengikuti gerakannya. Aku sebelum memulai takbiratul menunggu imam bersedekap aku berguman ringan membaca niat.
“Usholli fardodh dhuhri arba'a raka'atim mustaqbilal qiblati adaa-an makmuman lillahi ta'ala.”
Aku melanjutkan mengangkat kedua tangan mengikuti imam. Aku sambil berguman ringan:
“Allohu Akbaru…”
Aku bersedekap mengikuti imam.
Imam adalah seseorang yang memimpin ketika sholat berjamaah. Maka dari itu seluruh makmum harus mengikuti gerakan imam ketika sholat. Contohnya ketika imam melakukan gerakan ruku', I'tidal, sujud dan seterusnya. Makmum harus mengikuti gerakan-gerakan itu serta membaca doa di setiap gerakannya tanpa mendahului imam. Sedangkan makmum yang berada di shaf paling belakang juga harus tetap mengikuti gerakan sholat oleh shaf yang ada di depannya. Begitulah seterusnya supaya tidak ada ketertinggalan antara shaf depan, tengah, dan belakang.
Dua raka’at sholat shubuh telah ditunaikan. Selesai berzikir aku bersandar di serambi masjid. Tubuhku menempel dinding papan yang dingin. Aku merasakan dingin pagi yang menyejukkan.
Aku termenung. Mataku menatap langit jauh melintang. Aku merasakan dingin angina berhembus ringan. Surjanku agak dingin karena embun mulai menampakkan.
Man meluncur ke arahku. Dia menepuk bahuku. Aku terkejut bukan kepalang.
“Kenapa kau bro?” tanyanya riang. “Pagi-pagi begini sudah melamun. Memang apa yang kau pikirkan?”
Man memandangku. Matanya agak terheran-heran melihatku.
“Kupikir hatiku sebuah hipotesa rumit,” kataku. “Aku tak tahu apa yang aku rasakan? Malam ini aku bermimpi dua kali. Dia selalu membayang dalam pikiranku.”
“Maksudmu dia siapa?” tanya Man. 
Mata Man penasaran. Dia mendesakku.
“Gadis hutan Gumbala,” gumanku ringan.
Mataku menatap bodoh melihat langit awan yang mulai terang. Pikiranku melayang tanpa batas-batasan menembus imajinasi liar.
“Maksudmu Sima atau Maya,” tanya Man.
Man makin mendesakku. Matanya berbinar-binar menatapku. Dia seakan-akan meluluhkan perasaanku. 
Aku mengangkat bahu. “Dewi Sima,” kataku. “Dia memang menyebalkan. Tetapi aku tak tahu kenapa aku bisa terkesima padanya?”
Man tertawa kecil. Dia menatapku. Dia mengamati wajahku seksama. Tampak dia memperhatikanku penasaran.
“Kupikir kau memang gila,” cetus Man. “Dia baru kau kenal. Bukankah selama ini banyak wanita datang padamu!”
Aku sontak mendadak syok. Mataku terbelalak menatapnya. Kupikir dia akan memberiku solusi. Tetapi dia malah membuat suasana hatiku makin kesal dan menyebalkan.
“Maksudmu,” kataku kesal. “Kau pikir aku orang gila. Aku play boy cap kaleng begitu.”
Aku makin kesal memandang Man. Dalam seperkian detik aku memalingkan wajahku menatap langit cerah tampak matahari mulai terbit. Kecerahan matahari membuatku tersenyum simpul sendiri.
“Itukan kau memang gila,” kata Man kembali. “Hanya melihat matahari terbit saja membuat tersenyum lebar begitu.”
Aku terdiam. Aku tak mempedulikan perkataannya. Bagiku dia hanya akan mengejek ceritaku jika aku lanjutkan. Aku lebih baik memandang pesona matahari. Kulihat dia begitu bersahabat mengerti rasa gundah hatiku.
“Ah begitu saja marah,” guman Man. “Aku hanya bercanda. Kita inikan teman sudah lama. Kau tahu sifatku bukan.”
Aku mengangguk-angguk tanpa memperhatikan wajahnya. Bagiku matahari terbit lebih berarti dari wajah Man yang membosankan. Kulihat imajinasi liar menerpa-nerpa selaput kelabu tanpa ada gangguan. Aku membayangkan pesona pagi muncul tanpa halangan. Langit cerah bersabahat matahari bersinar. Pohon-pohon rindang menantang sinar pagi untuk menghidupkan kehidupan.
Man mengikutiku memandang langit menantang. Dia berfikir jitu untuk membuatku keceplosan. Rasanya dia memang ingin membuatku.
“Apa dia cantik?” tanyanya. “Rasanya Sima ada dibalik awan itu.”
“Dia memang disana,” kataku tanpa berfikir panjang. “Memang dia cantik bagai matahari bersinar. Tanpa sadar hatiku terkesima memandangnya.”
“Kau memang gila bro,” kata Man. “Jelas sekali kau jatuh cinta. Kenapa kau tak ungkapkan saja ketika dia ada? Sekarang apa yang akan kau lakukan? Dia tidak ada di disini. Kau tidak tahu dia ada dimana? Kau sungguh malang bro!”
Aku hanya terdiam seperkian detik. Aku memainkan bola mata. Mataku kembali memandang Man.
“Jatuh cinta memang gila,” gumanku. “Hatiku bagai terpenjara dalam laut gelap penuh rintangan. Semakin dalam aku menyelam makin terasa hatiku bergetar.”
Man menggeleng-gelengkan kepala.
“Kau pikir dia akan tahu jika hanya kau kagumi,” kata Man. “Sekarang bukan saat untuk jatuh cinta. Sebaiknya kau lupakan dia. Kurasa dia hanya akan menjadi penghalangmu dalam menjalani kehidupan ini.”
Man memberi nasehat. Tatapannya menyebalkan memandangku. Pikirannya dengan mudah mudah membanting rasa hatiku. Dia seperti tak memberiku dukungan untuk terus maju.
“Bagaimana aku melupakan dia?” tanyaku kesal. “Wajahnya saja membekas dalam ingatan. Senyumannya begitu mempesona hatiku. Dia selalu membayangi malam tidurku.”
Man mengangkat bahu. Matanya memandang tajam padaku.
“Kukira bila jodoh pasti bertemu,” kata Man. “Pepatah bilang jatuh cinta bikin orang menjadi gila. Mungkin itu tepat sekali.”
Man berkata lepas. Dia membuka mulutnya tanpa berfikir lebih dulu.
“Memang kau pernah jatuh cinta,” kataku.
Aku menatap tajam padanya. Mataku mengungkapkan ekspresi penasaran.
“Jatuh cinta,” kata Man agak ragu. “Aku tak bisa.”
Man begitu sepihak mengatakannya. Wajahnya tanpa dingin memandangku.
“Maksudmu,” kataku bingung. “Bukan kau laki-laki normal bukan. Kau bukan macam banci kaleng. Kenapa kau tak bisa jatuh cinta.”
“Perjodohan,” Man sepihak.
Aku mengamati Man dalam cahaya pagi yang mempesona. Wajahnya dingin tanpa ekspresi. Dia kaku dan kurang berselera.
“Kau tahu bukan,” katanya melanjutkan. “Aku anak siapa? Jabatan ayahku menjadikanku tak banyak pilihan. Jatuh cinta bukan hal yang biasa keluarga kami lakukan. Maka kau lebih beruntung dariku.”
Man diam seperkian detik.
Aku mengangguk. Mataku memperhatikan serius.
“Kau bebas,” kata Man. “Anak santri tanpa ikatan. Hidup hanya kau yang menentukan. Kau punya banyak keberuntungan.”
Man terlihat lesu tanpa gairah. Wajahnya nampak suram memandangku.
“Sabar,” kataku menghibur. Tanganku memegang bahunya. “Mungkin ini adalah nasib. Tetapi kita masih mempunyai kekuatan. Allahu Akbaru.”
Man mengangkat bahu. “Allahu Akbaru.”
Dia kembali berselera. Wajahnya tampak ceria. Matanya terlihat tenang dan teduh.
Aku sungguh bahagia menatapnya. Aku kembali bangkit. Aku mengangkat bahu. Tanganku berdiri tegak setinggi kepala. Aku berguman kencang. “Allahu Akbaru.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar