Malam hari.
Aku merebahkan badan
setelah melakukan kegiatan sehabis sholat isya’. Tubuhku terasa lelah, letih
dan lunglai. Disebelahku ada Samba yang tertidur pulas. Dia adalah teman kamar sekaligus
sahabatku selain Man. Jangkung, gempal postur tubuhnya. Walaupun begitu dia
sangat cekatan. Pekerjaan berat mencangkul dan membajak sawah merupakan
keahliannya. Jadi dia sangat jarang mendapat misi untuk keluar pondok.
Aku menatap langit kamarku.
Perlahan-lahan mataku mulai terpejam. Aku tertidur pulas. Itu adalah malam
pertama aku memimpikan Sima si cantik yang membuatku terkesima.
DALAM mimpiku sangat gelap,
dan cahaya samar-samar di sana sepertinya terpancar dari kulit Sima. Aku tak
bisa melihat wajahnya, hanya punggungnya ketika dia menjauh dariku,
meninggalkanku dalam kegelapan. Tak peduli betapa cepat aku berlari, aku tak
bisa mengejarnya;
tak peduli betapa keras aku memanggil, dia tak pernah berbalik. Karena ketakutan, aku terbangun di tengah malam dan tak bisa tidur lagi untuk waktu yang sepertinya lama sekali. Tetapi bagiku ini malah bagus karena aku bisa mengerjakan sholat malam lebih awal dari biasanya.
tak peduli betapa keras aku memanggil, dia tak pernah berbalik. Karena ketakutan, aku terbangun di tengah malam dan tak bisa tidur lagi untuk waktu yang sepertinya lama sekali. Tetapi bagiku ini malah bagus karena aku bisa mengerjakan sholat malam lebih awal dari biasanya.
Aku bangkit dari tempat
tidur. Aku duduk sebentar sambil mengusap-usap mataku dari gelapnya kotoran. Mataku
terlihat cerah dan bening memandang.
Aku tersenyum lebar. Pikiranku
melayang menembus imajinasi liar. Aku mengangkat bahu. Aku berdiri dan meluncur
melangkah keluar kamar. Aku masuk ke kamar mandi. Aku mencuci muka dan
berwudhu.
Aku kembali masuk kamar.
Disamping tempat tidurku aku mengelegar sajadah. Aku berdiri tegap diatas
sajadah menghadap kiblat. Membaca niat sholat tahajud:
“Usholli sunnatan Tahajudi raka'atim
mustaqbilal qiblati lillahi ta'ala.”
“Allahu Akbaru” Aku bertakbiratul ikram. Sholat tahajud mulai
aku tunaikan. Dua raka’at selesai disusul dua raka’at berikutnya.
Kemudian dua rakaat berikutnya telah selesai aku tunaikan, aku
mengakhiri dengan doa.
“ALLOOHUMMA
LAKAL HAMDU ANTA QOYYIMUS SAMAAWAATI WAL ARDHI WA MAN FIIHINNA WA LAKAL HAMDU
LAKA MULKUS SAMAAWAATI WAL ARDHI WA MAN FIIHINNA WA LAKAL HAMDU ANTA NUURUS
SAMAAWAATI WAL ARDHI WA LAKAL HAMDU ANTAL HAQQU WA WA’DUKAL HAQQU WA LIQOO-UKA
HAQQUN WA QOULUKA HAQQUN WA JANNATU HAQQUN WAN NAARU HAQQUN WAN NABIYYUUNA HAQQUN
WA MUHAMMADUN SHOLLALLOHU ‘ALAIHI WA SALLAMA HAQQUN WAS SAA’ATU HAQQUN
ALLOOHUMMALAKA ASLAMTU WA BIKA AAMANTU WA’ALAIKA TAWAKKALTU WA ILAIKA ANABTU WA
BIKA KHOOSHOMTU WA ILAIKA HAAKAMTU, FAGHFIRLII MAA QODDAMTU WAMAA AKHKHORTU
WAMAA ASRORTU MU’AKHKHIRU LAA ILAAHA ILLAA ANTA AU LAA ILAAHA GHOIRUKA WALAA
HAULA WALAA QUWWATA ILLAA BIL LAAHI.”
Aku bangkit dari duduk. Aku
kembali merebahkan tubuhku. Memandang langit kamar mungkin sudah kembali
menjadi kebiasaan. Matamu memperhatikan serius. Walau hanya imajinasi tetapi
bayangan matanya sungguh membekas dalam ingatan.
Perlahan-lahan aku mataku
kembali terpejam. Tanpa sadar aku masuk kedalam mimpi yang sama. Dalam semalam
ini kedua kali aku memimpikan hal sama. Sima bagai mimpi dalam tidurku.
Seperkian detik aku tertidur pulas. Kemudian aku terbangun lagi. Masih ada satu
jam lagi sebelum shubuh berkumandang.
Aku kembali melaksanakan
sholat tahajud malam. Untuk menambah sebeles raka’at. Aku menuai dua raka’at
tahajud dan tiga raka’at witir. Ketika selesai sholat witir aku melanjutkan
berdzikir hingga lima menit sebelum adzan shubuh berkumandang.
Aku keluar kamar untuk
mandi. Pagi hari merasakan dinginnya air membuat tubuhku kembali bugar. Air
dingin membuka mataku semakin tajam memandang.
Tubuhku tersegarkan. Aku
mengenakan surjan lurik coklat dan celana congklang. Bangklon lurik menghiasi
kepala untuk merapikan rambutku.
Aku dan Samba siap melangkah
ke rumah Tuhan.
“Allahu Akbaru Allahu Akbaru… Allahu Akbaru Allahu Akbaru……”
Suara Man menggelegar membahana
di saentro Andong Sumawi. Suaranya menetes-netas merdu sepagi yang indah.
Aku dan Samba meluncur
keluar kamar. Dia mengenakan surjan hitam dan celana congklang. Bangklon hitam
menghiasi kepalanya. Wajah ovalnya sangat serasi dengan bangklonnya.
Kami berjalan ringan sambil
mengucapkan salam setiap bertemu orang. Mengucapkan salam adalah bentuk tata
krama dalam pergaulan. Sebagai orang islam kita wajib mengucapkan salam bukan.
Didepan masjid telah menanti
kedatangan. Sampai dibait terakhir Man mengumandang adzan.
“Allahu Akbaru Allahu Akbaru… Laa illaha illal loohu…”
Man merasakan kenyamanan
sampai dibait terakhir aku begitu dalam mendengarnya. Hatiku turut bergetar
ketika aku mengucap ulang.
Ya Allah pemilik panggilan yang sempuna
ini dan sholat yang didirikan berilah Muhammad wasilah dan keutamaan dan
bangkitlah dia pada tempat yang terpuji yang telah Engkau janjikan padanya
melainkan dia akan mendapatkan syafaatku pada hari kiamat.
Kami meluncur ke teras depan
masjid. Aku melepaskan alas sandal, kaki kanan melangkah berdahuluan. Aku
berguman ringan:
“Allohummaftahlii abwaaba
rahmatik”
Aku ke tempat wudhu untuk menyempurnakan sholatku. Berwudhu sesuai
rukun menjadi pedoman untuk mendapat pahala dan berkah. Sunat-sunat wudhu tak
ketinggalan untuk aku tunaikan.
Aku segera meluncur ke ruang utama masjid. Shaf-shaf mulai ditempati
para santri. Berada di shaf depan masih ada satu tempat kosong. Aku bergegas
memenuhinya.
Untuk menghormati masjid aku menuaikan sholat tahaiyatul masjid. Dua
raka’at bro! sama seperti sholat biasa.
Akhirnya muazin mengumandang
Iqomat. Man melangkah di depan. Dia memegang telinga kanan.
“Allahu
Akbaru Allahu Akbaru”
Makmum berdiri dibelakang
imam. Posisi
seperti ini sudah jelas dalam tatanan sholat berjamaah dalam islam yang benar.
Dimana tidak ada sorang pun yang posisi nya sejajar dengan imam atau mendahului
imam ketika melakukan sholat secara berjamaah. Jika ruangan penuh maka posisi
makmum boleh dekat dengan imam dengan tumit makmum minimal tidak mendahului
tumit imam. Tatanan tersebut bisa dikatakan sholat berjamaah sah. Namun jika
makmum berada di posisi yang sejajar dengan makmum atau mendahului maka sholat
berjamaah bisa dikatakan tidak sah.
“Asyhadu
an laa ilaah illal loohu…
Asyhadu
anna muhammadar rosuulul loohu…
Hayya
‘alash sholaati…
Hayya
‘alal falaahi…
Qod
qoomatish sholaah… Qod qoomatish sholaah…
Allahu
Akbaru… Allahu Akbaru…”
Man mengenadah. Aku berfikir dia membaca
doa sesudah iqomah. Man berguman ringan.
“ALLOHUMMA
ROBBA HAADZIHID DA’WATIT TAAMMATI WASH SHOLAATIL QOOIMATI SHOLLI WA SALLAM
‘ALAA SAYYIDINAA MUHAMMADIN WA AATIHII SU’LAHU YAUMUL QIYAAMATI.”
Syekh Sidik meluncur ringan didepan para
makmum. Beliau sebagai imam sholat shubuh berjama’ah. Beliau sedikit melirik ke
belakang. Shaf-shaf belakang beliau rapikan dan rapatkan. Beliau berucap:
“Sawwu
shufufakum, fa inna tashfiyah al-shaf min tamam al-shalah”
Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’-nya
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan lurusnya saf pada hadis di atas adalah
memenuhi saf yang pertama terlebih dahulu, kemudian baru menyambungnya dengan
saf yang selanjutnya serta menutup ruang/celah kosong yang terdapat di dalam
saf. Termasuk ke dalam makna hadis itu juga menyejajarkan barisan dengan
standar dada salah seorang makmum tidak terkedepan dari dada para makmum yang
lain. Begitu juga dengan tumitnya, tidak ada yang terkebelakang dari tumit
makmum yang di sebelahnya.
Sementara itu, Syekh Zainuddin
al-Malibari dalam karyanya Fath al-Mu’in menegaskan bahwa
yang menjadi standar lurusnya saf adalah kesejajaran bahu dan tumit antar
makmum, bukan jari-jari kaki mereka, karena jari-jari kaki seseorang bisa saja
berbeda-beda dalam hal panjang dan lebarnya, sehingga tidak bisa dijadikan
patokan. Sedangkan standar rapatnya saf adalah tidak adanya ruang atau celah
yang kosong antar makmum yang ada. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh para
ulama dalam kitab Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaytiyyah.
Hal senada juga dijelaskan oleh Abu
al-Naja Musa ibn Ahmad ibn Musa al-Hijawi, seorang ulama bermazhab Hambali,
dalam karyanya yang berjudul Zad al-Mustaqni’ fi Ikhtishar
al-Muqni’. Kitab ini juga dikomentari langsung oleh Syekh Muhammad
ibn Shaleh al-‘Utsaimin, mantan mufti Kerajaan Saudi Arabia, sebagai kitab
kecil yang mempunyai kandungan yang padat dan lengkap. Abu Naja menggarisbawahi
bahwa yang dimaksud rapat di sini bukan berdesak-desakan dalam artian menempel
secara ketat antar satu sama lain.
Abu Naja juga menyindir sebagian
kalangan yang, mungkin lantaran kecintaan mereka terhadap sunah, keliru dalam
memahami hadis tentang anjuran merapatkan saf. Mereka memahami bahwa rapat itu
harus dengan menempelkan ujung kaki mereka dengan ujung kaki makmum yang lain.
Malahan menurutnya hal ini dapat saja menyakiti makmum yang disebelahnya karena
membuatnya terganggu dan sulit untuk melakukan gerakan sunat-sunat haiat salat
seperti duduk tawaruk, duduk untuk tumakninah, dan gerakan-gerakan sunah
lainnya.
Jadi dapat dipahami bahwa tidak
seorangpun dari ulama yang sudah penulis sebutkan di atas yang mengharuskan
kaki seorang makmum harus menempel dengan kaki makmum yang disebelahnya, karena
hal itu dapat menyakiti serta menyusahkan makmum yang di sampingnya. Hanya saja
yang dianjurkan adalah tidak menyisakan ruang kosong di tengah saf yang
berpotensi memutuskan saf. Bagi makmum yang mendapati kondisi seperti ini
hendaknya segera menutupinya dengan masuk ke saf yang bolong tersebut.
Di samping itu, rapatnya saf merupakan
simbol persatuan umat, sehingga dengan saf yang bolong-bolong serta tidak lurus
itu dikhawatirkan akan merusak hati dan persatuan umat. Begitu juga, di antara
saf-saf yang kosong akan dengan mudah dimasuki oleh setan yang bertugas
menganggu serta mempengaruhi manusia agar tidak khusyuk dalam salatnya.
Melihat posisi shaf makmum sempurna.
Syekh Sidik kembali menghadap kiblat. Beliau berdiri tegak. Beliau berguman
ringan:
“Usholli fardodh shubuhi raka'atim
mustaqbilal qiblati adaa-an imaaman lillahi ta'ala.”
Beliau mengangkat kedua tangan setinggi telinga sambil berkata lantang.
“Allohu Akbaru…”
Kemudian beliau bersedekap. Meletakkan tangan kanan pada pergelangan
tangan kiri, dan membaca do’a iftitah.
Makmum dibelangnya mengikuti gerakannya.
Aku sebelum memulai takbiratul menunggu imam bersedekap aku berguman ringan
membaca niat.
“Usholli fardodh dhuhri arba'a
raka'atim mustaqbilal qiblati adaa-an makmuman lillahi ta'ala.”
Aku melanjutkan mengangkat kedua tangan mengikuti imam. Aku sambil
berguman ringan:
“Allohu Akbaru…”
Aku bersedekap mengikuti imam.
Imam adalah seseorang yang memimpin
ketika sholat berjamaah. Maka dari itu seluruh makmum harus mengikuti gerakan
imam ketika sholat. Contohnya ketika imam melakukan gerakan ruku', I'tidal,
sujud dan seterusnya. Makmum harus mengikuti gerakan-gerakan itu serta membaca
doa di setiap gerakannya tanpa mendahului imam. Sedangkan makmum yang berada di
shaf paling belakang juga harus tetap mengikuti gerakan sholat oleh shaf yang
ada di depannya. Begitulah seterusnya supaya tidak ada ketertinggalan antara
shaf depan, tengah, dan belakang.
Dua raka’at sholat shubuh telah
ditunaikan. Selesai berzikir aku bersandar di serambi masjid. Tubuhku menempel
dinding papan yang dingin. Aku merasakan dingin pagi yang menyejukkan.
Aku termenung. Mataku menatap langit
jauh melintang. Aku merasakan dingin angina berhembus ringan. Surjanku agak
dingin karena embun mulai menampakkan.
Man meluncur ke arahku. Dia menepuk
bahuku. Aku terkejut bukan kepalang.
“Kenapa kau bro?” tanyanya riang.
“Pagi-pagi begini sudah melamun. Memang apa yang kau pikirkan?”
Man memandangku. Matanya agak
terheran-heran melihatku.
“Kupikir hatiku sebuah hipotesa rumit,”
kataku. “Aku tak tahu apa yang aku rasakan? Malam ini aku bermimpi dua kali.
Dia selalu membayang dalam pikiranku.”
“Maksudmu dia siapa?” tanya Man.
Mata Man penasaran. Dia mendesakku.
“Gadis hutan Gumbala,” gumanku ringan.
Mataku menatap bodoh melihat langit awan
yang mulai terang. Pikiranku melayang tanpa batas-batasan menembus imajinasi
liar.
“Maksudmu Sima atau Maya,” tanya Man.
Man makin mendesakku. Matanya
berbinar-binar menatapku. Dia seakan-akan meluluhkan perasaanku.
Aku mengangkat bahu. “Dewi Sima,”
kataku. “Dia memang menyebalkan. Tetapi aku tak tahu kenapa aku bisa terkesima
padanya?”
Man tertawa kecil. Dia menatapku. Dia
mengamati wajahku seksama. Tampak dia memperhatikanku penasaran.
“Kupikir kau memang gila,” cetus Man.
“Dia baru kau kenal. Bukankah selama ini banyak wanita datang padamu!”
Aku sontak mendadak syok. Mataku
terbelalak menatapnya. Kupikir dia akan memberiku solusi. Tetapi dia malah
membuat suasana hatiku makin kesal dan menyebalkan.
“Maksudmu,” kataku kesal. “Kau pikir aku
orang gila. Aku play boy cap kaleng begitu.”
Aku makin kesal memandang Man. Dalam
seperkian detik aku memalingkan wajahku menatap langit cerah tampak matahari
mulai terbit. Kecerahan matahari membuatku tersenyum simpul sendiri.
“Itukan kau memang gila,” kata Man
kembali. “Hanya melihat matahari terbit saja membuat tersenyum lebar begitu.”
Aku terdiam. Aku tak mempedulikan
perkataannya. Bagiku dia hanya akan mengejek ceritaku jika aku lanjutkan. Aku
lebih baik memandang pesona matahari. Kulihat dia begitu bersahabat mengerti
rasa gundah hatiku.
“Ah begitu saja marah,” guman Man. “Aku
hanya bercanda. Kita inikan teman sudah lama. Kau tahu sifatku bukan.”
Aku mengangguk-angguk tanpa
memperhatikan wajahnya. Bagiku matahari terbit lebih berarti dari wajah Man
yang membosankan. Kulihat imajinasi liar menerpa-nerpa selaput kelabu tanpa ada
gangguan. Aku membayangkan pesona pagi muncul tanpa halangan. Langit cerah
bersabahat matahari bersinar. Pohon-pohon rindang menantang sinar pagi untuk
menghidupkan kehidupan.
Man mengikutiku memandang langit
menantang. Dia berfikir jitu untuk membuatku keceplosan. Rasanya dia memang
ingin membuatku.
“Apa dia cantik?” tanyanya. “Rasanya
Sima ada dibalik awan itu.”
“Dia memang disana,” kataku tanpa
berfikir panjang. “Memang dia cantik bagai matahari bersinar. Tanpa sadar
hatiku terkesima memandangnya.”
“Kau memang gila bro,” kata Man. “Jelas
sekali kau jatuh cinta. Kenapa kau tak ungkapkan saja ketika dia ada? Sekarang
apa yang akan kau lakukan? Dia tidak ada di disini. Kau tidak tahu dia ada dimana?
Kau sungguh malang bro!”
Aku hanya terdiam seperkian detik. Aku
memainkan bola mata. Mataku kembali memandang Man.
“Jatuh cinta memang gila,” gumanku.
“Hatiku bagai terpenjara dalam laut gelap penuh rintangan. Semakin dalam aku
menyelam makin terasa hatiku bergetar.”
Man menggeleng-gelengkan kepala.
“Kau pikir dia akan tahu jika hanya kau
kagumi,” kata Man. “Sekarang bukan saat untuk jatuh cinta. Sebaiknya kau lupakan
dia. Kurasa dia hanya akan menjadi penghalangmu dalam menjalani kehidupan ini.”
Man memberi nasehat. Tatapannya
menyebalkan memandangku. Pikirannya dengan mudah mudah membanting rasa hatiku.
Dia seperti tak memberiku dukungan untuk terus maju.
“Bagaimana aku melupakan dia?” tanyaku
kesal. “Wajahnya saja membekas dalam ingatan. Senyumannya begitu mempesona
hatiku. Dia selalu membayangi malam tidurku.”
Man mengangkat bahu. Matanya memandang
tajam padaku.
“Kukira bila jodoh pasti bertemu,” kata
Man. “Pepatah bilang jatuh cinta bikin orang menjadi gila. Mungkin itu tepat
sekali.”
Man berkata lepas. Dia membuka mulutnya
tanpa berfikir lebih dulu.
“Memang kau pernah jatuh cinta,” kataku.
Aku menatap tajam padanya. Mataku
mengungkapkan ekspresi penasaran.
“Jatuh cinta,” kata Man agak ragu. “Aku
tak bisa.”
Man begitu sepihak mengatakannya. Wajahnya
tanpa dingin memandangku.
“Maksudmu,” kataku bingung. “Bukan kau
laki-laki normal bukan. Kau bukan macam banci kaleng. Kenapa kau tak bisa jatuh
cinta.”
“Perjodohan,” Man sepihak.
Aku mengamati Man dalam cahaya pagi yang
mempesona. Wajahnya dingin tanpa ekspresi. Dia kaku dan kurang berselera.
“Kau tahu bukan,” katanya melanjutkan.
“Aku anak siapa? Jabatan ayahku menjadikanku tak banyak pilihan. Jatuh cinta
bukan hal yang biasa keluarga kami lakukan. Maka kau lebih beruntung dariku.”
Man diam seperkian detik.
Aku mengangguk. Mataku memperhatikan
serius.
“Kau bebas,” kata Man. “Anak santri
tanpa ikatan. Hidup hanya kau yang menentukan. Kau punya banyak keberuntungan.”
Man terlihat lesu tanpa gairah. Wajahnya
nampak suram memandangku.
“Sabar,” kataku menghibur. Tanganku
memegang bahunya. “Mungkin ini adalah nasib. Tetapi kita masih mempunyai
kekuatan. Allahu Akbaru.”
Man mengangkat bahu. “Allahu Akbaru.”
Dia kembali berselera. Wajahnya tampak
ceria. Matanya terlihat tenang dan teduh.
Aku sungguh bahagia menatapnya. Aku
kembali bangkit. Aku mengangkat bahu. Tanganku berdiri tegak setinggi kepala.
Aku berguman kencang. “Allahu Akbaru.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar