Sholat zuhur telah
ditunaikan.
Aku nampak santai di kamar
bilikku. Tanganku tertimpa kepala sambil memandang langit atap. Aku sempat
berfikir sejenak.
“Apa aku benar melakukan
ini?” pikirku. “Kupikir tidak salah keluar tanpa izin. Aku lebih baik
menghindari debat dengan Aki Syekh. Aku merasa ingin mencari udara segar di
hutan Gumbala. siapa tahu aku beruntung menemukan Uwoh Amral?”
Aku nampak terlelap memikirkan
pergulatan hatiku. Mataku hampir terpejam sekejap. Tiba-tiba ketukan pintu dan
ucapan salam membuatku mendadak bangkit dari rebahanku.
“Assalamu’alaikum,” ucapnya.
“Wa’alaikum sallam,”
balasku.
Aku meluncur menghampiri
pintu kamarku. Ketika aku buka ternyata memang benar suara itu aku kenal.
Sumantri nampak tersengal-sengal nafasnya. Dia nampak basah kuyup bernafas.
“Kau Man,” kataku.
“Bagaimana? Apa kau sudah menaruh perlengkapan kita ditempat tersembunyi.”
Aku menatap serius padanya.
“Aman,” katanya sambil dia
menata nafas. “Tetapi ada hal penting. Di pintu gerbang depan ada dua santri
penjaga.”
Aku mendadak terkejut. Aku
mengeryitkan mata.
“Boleh aku masuk,” katanya.
“Lebih aman kita bicara di dalam.”
Aku mempersilakan Man masuk.
Aku mengambilkan air putih ke dalam cawan. Untuk lebih santai aku mempersilakan
dia duduk di atas tempat tidurku. Aku dududk disampingnya. Kami saling pandang
dingin. Man terlihat masih menata nafasnya. lalu aku mulai penasaran mengenai
perkataannya tadi.
“Kau bilang dua santri,”
kataku mengulang.
Aku diam seperkian. Aku
menatapnya serius.
“Siapa mereka?” tanyaku.
“Apa kau kenal mereka?”
“Tentu,” katanya serius.
“Mereka kakak kelas kita. Kang Petruk dan Kang Gareng.”
“Kang Petruk dan Kang
Gareng,” kataku mengulang. “Ada apa mereka disana? Tetapi biasa mereka jarang
sekali menjaga pintu gerbang.”
“Aku tak tahu,” kata Man.
“Kemungkinan ada masalah besar terjadi. Tetapi menurut desas-desus siang ini di
Hutan Gumbala ada Simo mengamuk.”
Aku tak terkejut dengan
perkataannya. Mataku tetap biasa menatapnya. Aku tersenyum kecil.
“Ohhh,” kataku santai.
“Kenapa kau tak terkejut?”
tanyanya nampak nafas masih tersengal-sengal. “Apa kita jadi berburu hari ini?
Seperti kita harus menunda rencana kita.”
Aku memang tak terlalu
memikirkan perkataannya. Tetapi sepertinya aku melihat Man agak gemetar
memandangku.
“Apa kau takut?” tanyaku.
“Sepertinya rasa lelakimu sudah hilang Man. Mana Man yang semangat dan
pemberani malam tadi.”
Aku membakar hatinya. Kata-kataku
agak cetus dan keras.
“Ti---dak,” kata Man
terbata-bata. “Aku tidak takut. Hanya saja siang ini terlalu berbahaya. Aku tak
mau mengambil resiko tinggi untuk ini.”
Mata Man terlihat ragu dan
bimbang. Tangannya memang terlihat gemetaran.
“Dasar,” kataku. “Kau memang
pecundang.”
Aku membakar kata pedas
padanya. Man terlihat menatap tajam. Bahunya sedikit terangkat.
“Aku bukan pecundang,”
katanya serius. “Jika hari ini kita ingin berburu. Ayo kita lakukan.”
Man berdiri tegap. Dadanya
sedikit dibusungkan. Walaupun begitu dia tetap kerempeng. Tubuhnya yang
jangkung nampak seperti tiang listrik.
“Bagus,” kataku. “Itulah Man
yang kukenal.”
Aku tersenyum kecil.
Akhirnya kami memutuskan
untuk berangkat. Tetapi aku melihat Man nampak kurang begitu bersemangat. Dia
seperti cacing yang kurang makanan.
“Bersemangat bro?” kataku.
“Jangan lemas begitu. Kau nampak seperti cacing mengeliat saja.”
Aku membakar semangatnya.
Aku memberikan sedikit dorongan agar Man percaya diri.
“Oke,” katanya. “Aku akan
ikut kau.”
Akhirnya kami segera keluar
dari kamarku. Mata kami begitu mewaspadai gerak-gerak yang membuat hati kami
was-was. Kami meluncur waspada dari pondok santri pria. Kami berjalan biasa
menuju pintu gerbang utama. Banyak kawan-kawan santri yang menyapa kami. Kami
berlagak santai dan supel untuk membalas sapanya. Seperti biasanya kami
melangkah tanpa ragu dan bersemangat agar rencana kami tidak gagal dan tak ketahuan.
Kami akhirnya keluar dari
pondok pria. Langkah kami semakin cepat. Kami meluncur ke pintu gerbang utama.
Ternyata benar apa yang dikatakan Man. Kang Petruk dan Kang Gareng tepat berada
disana. Mereka nampak waspada mengawasi area pintu gerbang utama.
Kami bersembunyi dibalik
pohon besar. Kami tak ingin Kang Petruk dan Kang Gareng melihat kami.
“Kau benar,” kataku. “Mereka
adalah kang Petruk dan kang Gareng. Sepertinya kita akan cukup sulit untuk
menembus gerbang utama.”
“Kau betul,” kata Man. “Sebaiknya
kita kembali. Mereka kelihatannya kuat dan tangguh. Apa lagi mereka bukan
seumuran dengan kita? Pastinya mereka memiliki kekuatan diatas kita.”
Aku terdiam sejenak. Aku
memperhatikan Kang Petruk dan Kang Gareng serius. Wajah mereka nampak biasa tetapi
lebih kearah komedi. Aku jadi bingung dan tertawa kecil.
“Kau kenapa malah
tersenyum?” kata Man kesal. “Apa kau tak mendengar perkataanku?”
Man menyeryit mata
memandangku. Dahinya mengerut.
“Coba lihat mereka,” kataku
tersenyum. “Mereka sepertinya tak berbahaya. Aku malah tertawa jika terlalu
lama memandangnya.”
Man mendadak syok.
“Jangan bercanda,” kata Man
bingung. “Mereka adalah guru kanuragan tinggi diantara para santri yang ada.
Sepertinya kau bercanda. Mereka bukan tandingan kita.”
Aku malah semakin lebar
menebarkan senyum. Man semakin kesal memandangku. Bola matanya hampir keluar
dari rahang mata. Dia tnpa sengaja menginjak ranting kecil dibawahnya.
krek….
“Siapa itu?” lontar Petruk.
“Jangan sembunyi! Cepat keluar.”
Mereka mewaspadai gerakan
kami. Pandangan mereka sangat tajam dan intens. Mereka tidak kesulitan
menemukan suara ranting patah itu. Sungguh mereka memiliki indra pendengaran
sangat tajam.
“Tuh kan malah ketahuan,”
bisik Man agak gemetaran. “Seharusnya kita kembali saja.”
“Siapa itu?” lontar Gareng
kembali. “Aku tahu kalian mau keluar pondok ini bukan. Sebaiknya kalian keluar
atau kalian akan mendapat hukuman.”
Man makin terlihat menggigil
ketakutan. Ada keringat dingin mengucur didahinya. Tangannya gemetaran bahkan
aku biasa merasakan getarannya.
Sementara aku bersikap
santai dan penuh wibawa. Rasa takut timbul akibat kecemasan pada level tinggi
menekan perasaan. Hal itu mungkin biasa bagi orang yang tidak percaya diri dan
kurang semangat.
Kami meluncur pelan-pelan
keluar dari balik pohon. Mataku teduh memandang. Sementara Man terlihat
tertunduk takut untuk memperhatikan. Dia ada dibelakangku dengan memegang
tanganku. Man menggigil ketakutan.
Kami mulai meluncur dan
mendekat pada mereka. Mereka mengawasi kami sangat waspada. Mata mereka sedikit
memberi tekanan.
“Ternyata kalian,” kata
Petruk. “Apa yang ingin kalian lakukan? Jangan mengendap-gendap menuju gerbang
pintu utama. Apa kalian ingin keluar dari pondok? Mau kemana kalian?”
Mata Petruk melotit tajam.
Dia memberikan tekanan intens pada kami berdua.
“Tidak,” kataku meragu.
“Kami hanya ingin jalan-jalan saja. Bukan begitu Man!”
Aku menyikutkan sikuku ke
tubuhnya. Man terkejut, tubuhnya seperti tersengat listrik. Dia mulai bangkit.
“Tentu,” kata man agak
gemetaran. “Kami hanya ingin jalan-jalan saja.”
Aku memperhatikan wajah
mereka berdua. tetapi lama-kelamaan mereka malah ketawa.
“Ha…ha…ha…,” tawa mereka.
Mereka diam seperkian detik.
“Kukira kau akan takut pada kami Suta,” kata
Petruk. “Tetapi sepertinya kau memang pemberani anak muda. Kau memang bukan
sembarang manusia Suta.”
Aku malah bingung memandang.
Rasanya tubuhku begitu nyaman ketika dia tertawa. tetapi aku sedikit rasanya
kesal bercampur tawa yang tak bisa aku luapkan begitu saja. Sementara Man masih terlihat menggigil
ketakutan. Dia hampir tak bisa berkata.
“Maksud kalian apa kang?”
tanyaku meragu. “Aku malah jadi bingung.”
“Ha…ha…ha…,” tawa Gareng.
“Kalian ingin berburu bukan. Apa yang ingin kalian lakukan disini semua sudah
kami ketahui.”
Aku mendadak syok. Man makin
menggigil gemetaran. Dia seperti diterkam binatang buas yang kurang makan.
“Maksud kang Gareng,”
kataku. “Apa kalian diutus oleh syekh Sidik untuk menghukum kami?”
Wajah kami nampak suram. Man
sampai tak berani memperhatikan mereka. Dia hanya memegang erat tanganku hingga
aku merasakan sedikit rasa nyeri.
“Ha…ha…ha…,” tawa Gareng.
“Sebenarnya…..”
Dia menghentikan
perkataanya. Wajahnya tersenyum lebar. Aku malah bingung memperhatikannya.
Tingkah aneh mereka membuatku hanya nyengir bodoh saja.
“Sebenarnya apa?” tanyaku
penasaran.
“Mungkin dia mau menghukum
kita, Suta,” tegas Man masih gemetaran.
“Sebenarnya kami ingin
menemani kalian,” kata Petruk.
Kami mendadak syok. Man
melepaskan pegangannya. Dia agak kasar meleparkan tanganku hingga membanting ke
tubuhku.
“Aduh!” kataku.
Aku diam seperkian detik.
“Jadi kalian ingin menemani
kami,” kataku meragu. “Bukan kalian ingin menghukum kami. Kenapa malah jadi
seperti ini?”
Aku berfikir bodoh
memandang. Kulihat wajah mereka kurang menyakinkan untuk aku percaya.
“Kau masih bingung Suta,”
kata Petruk. “Syekh Sidik sudah tahu semua. Beliau memberi perintah pada kami
untuk menemanimu. Beliau akan membebaskan hukuman padamu. Jika kalian berhasil
menyelesaikan masalah ini.”
“Maksudmu kang,” kataku
dingin. “Memang masalah apa yang terjadi? Bukankah kalian lebih hebat dariku. Kenapa
meminta hal ini padaku.”
“Kau akan tahu,” kata
Petruk. “Didalam hutan Gumbala ada masalah terjadi. Kami belum dapat
memastikan. Tetapi sepertinya ada makhluk jahat menyerang hutan Gumbala. Banyak
hewan liar tanpa bisa dikendalikan. Mereka saling membunuh satu sama lainnya.”
“Bukan itu wajar,” kataku.
“Ekosistem alam hutan memang seperti bukan. Yang kuat yang berkuasa.”
“Bagaimana bisa kau
berbicara seperti itu? tanya Gareng kesal. “Hewan itu sangat kejam dan
mengerikan dalam membantai mangsa. Hewan herbivora ikut menjadi karnivora.
Mereka saling membantai satu sama lain. Tak ada kelompok atau persaudaraan
diantara sesama jenis hewan. Sungguh itu sangat mengerikan bukan.”
Matanya mengeryit.
Tatapannya intens.
“Baik,” kataku. “Apa rencana
kita? Aku hanya menurut hasrat untuk berburu. Jika ada masalah sebesar itu di
hutan Gumbala. Maka dapat dipastikan ada bahaya besar menghadang kita.”
Aku menatap kang Gareng dan
kang Petruk. Kami saling pandang. Seperkian detik kami terdiam.
Man masih terlihat
gemetaran. Aku tak tahu apa yang dia pikirkan? Tetapi sepertinya dia masih
memikirkan hal yang diluar logikanya.
“Apa sebaiknya kita bertanya
pada Syekh Sdik saja?” cetus Man tiba-tiba. “Beliau mungkin mengetahui apa yang
bisa kita lakukan?”
“Kita ini bukan pecundang
Man!” kataku dingin. “Aku tak mau bergantung pada keputusan Aki syekh. Beliau
telah mempercayakan padaku. Jadi lebih baik kita cari solusi sendiri saja.”
“Ini jelas taruhannya nyawa
Suta!” kata Man kesal. “Salah sedikit saja. Keputusan dan rencana akan menjadi
malapetaka.”
Dahi Man mengerut.
Tatapannya tajam merah kejam.
“Tentu,” kataku. “Maka dari
itu keputuasan tepat dan efektif akan menjadi jalan kita berhasil dalam misi
ini.”
“Terserahlah!” kata Man
dingin. “Aku tak mau kena hukuman pastinya.”
“Aku tahu,” kataku. Aku juga
tak ingin kena hukuman. Maka sudah pasti aku mau menerima misi ini. Tetapi bila
keputusan dalam menjalankan misi merupakan pola pikir untuk kita terus maju
bukan malah sebagai pencudang.”
Man tertunduk. Dia terdiam. Kata-kataku
menyambar pedas ditelinganya.
Aku kembali menatap kang
Gareng dan kang Petruk kembali. Mereka nampak berfikir serius. Sepertinya otak
mereka berkonsentrasi pada rencana yang dijalankan. Untuk mengetahui
teori-teorinya, aku mulai unjuk bicara.
“Bagaimana kang?” tanyaku.
“Apa kalian sudah menemukan rencananya?”
Kang Gareng dan kang Petruk
tersenyum bodoh memandang. Mereka seperti komedi yang memberikan hiburan.
Mereka berlagak pintar dan menyebalkan. Tetapi aku melihatnya malah membuatku tersenyum
geli tidak karuan. Mereka memberikan ekspresi yang menyegarkan pikiran. Rasanya
mereka seperti komedi hiburan.
“Kurasa kita ikut saja
aturan mainnya,” kata Petruk. “Toh kita pasti dapat menemukan solusi bila kita
ketahui masalahnya. Lebih baik segera kita meluncur ke Gumbala. Jika kita terus
berdebat hasilnya pasti kurang menyenangkan bukan.”
“Aku setuju,” kataku.
“Urusan ini cepat kita selesaikan. Aku ingin waktu ashar kita tak terlambat
datang.”
“Memang itu yang kami
harapkan,” kata Gareng. “Kau adalah wujud dari rembulan Suta. Namamu terpancar
bagai anak bulan. Kau adalah wujud terang dari cahaya kegelapan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar