ANAK BULAN - Sastra Education

Breaking

Rabu, 11 Maret 2020

ANAK BULAN


Sholat zuhur telah ditunaikan.
Aku nampak santai di kamar bilikku. Tanganku tertimpa kepala sambil memandang langit atap. Aku sempat berfikir sejenak.
“Apa aku benar melakukan ini?” pikirku. “Kupikir tidak salah keluar tanpa izin. Aku lebih baik menghindari debat dengan Aki Syekh. Aku merasa ingin mencari udara segar di hutan Gumbala. siapa tahu aku beruntung menemukan Uwoh Amral?”
Aku nampak terlelap memikirkan pergulatan hatiku. Mataku hampir terpejam sekejap. Tiba-tiba ketukan pintu dan ucapan salam membuatku mendadak bangkit dari rebahanku.
“Assalamu’alaikum,” ucapnya.
“Wa’alaikum sallam,” balasku.
Aku meluncur menghampiri pintu kamarku. Ketika aku buka ternyata memang benar suara itu aku kenal. Sumantri nampak tersengal-sengal nafasnya. Dia nampak basah kuyup bernafas.
“Kau Man,” kataku. “Bagaimana? Apa kau sudah menaruh perlengkapan kita ditempat tersembunyi.”
Aku menatap serius padanya.
“Aman,” katanya sambil dia menata nafas. “Tetapi ada hal penting. Di pintu gerbang depan ada dua santri penjaga.”
Aku mendadak terkejut. Aku mengeryitkan mata.

“Boleh aku masuk,” katanya. “Lebih aman kita bicara di dalam.”
Aku mempersilakan Man masuk. Aku mengambilkan air putih ke dalam cawan. Untuk lebih santai aku mempersilakan dia duduk di atas tempat tidurku. Aku dududk disampingnya. Kami saling pandang dingin. Man terlihat masih menata nafasnya. lalu aku mulai penasaran mengenai perkataannya tadi.
“Kau bilang dua santri,” kataku mengulang.
Aku diam seperkian. Aku menatapnya serius.
“Siapa mereka?” tanyaku. “Apa kau kenal mereka?”
“Tentu,” katanya serius. “Mereka kakak kelas kita. Kang Petruk dan Kang Gareng.”
“Kang Petruk dan Kang Gareng,” kataku mengulang. “Ada apa mereka disana? Tetapi biasa mereka jarang sekali menjaga pintu gerbang.”
“Aku tak tahu,” kata Man. “Kemungkinan ada masalah besar terjadi. Tetapi menurut desas-desus siang ini di Hutan Gumbala ada Simo mengamuk.”
Aku tak terkejut dengan perkataannya. Mataku tetap biasa menatapnya. Aku tersenyum kecil.
“Ohhh,” kataku santai.
“Kenapa kau tak terkejut?” tanyanya nampak nafas masih tersengal-sengal. “Apa kita jadi berburu hari ini? Seperti kita harus menunda rencana kita.”
Aku memang tak terlalu memikirkan perkataannya. Tetapi sepertinya aku melihat Man agak gemetar memandangku.
“Apa kau takut?” tanyaku. “Sepertinya rasa lelakimu sudah hilang Man. Mana Man yang semangat dan pemberani malam tadi.”
Aku membakar hatinya. Kata-kataku agak cetus dan keras.
“Ti---dak,” kata Man terbata-bata. “Aku tidak takut. Hanya saja siang ini terlalu berbahaya. Aku tak mau mengambil resiko tinggi untuk ini.”
Mata Man terlihat ragu dan bimbang. Tangannya memang terlihat gemetaran.
“Dasar,” kataku. “Kau memang pecundang.”
Aku membakar kata pedas padanya. Man terlihat menatap tajam. Bahunya sedikit terangkat.
“Aku bukan pecundang,” katanya serius. “Jika hari ini kita ingin berburu. Ayo kita lakukan.”
Man berdiri tegap. Dadanya sedikit dibusungkan. Walaupun begitu dia tetap kerempeng. Tubuhnya yang jangkung nampak seperti tiang listrik.
“Bagus,” kataku. “Itulah Man yang kukenal.”
Aku tersenyum kecil.
Akhirnya kami memutuskan untuk berangkat. Tetapi aku melihat Man nampak kurang begitu bersemangat. Dia seperti cacing yang kurang makanan. 
“Bersemangat bro?” kataku. “Jangan lemas begitu. Kau nampak seperti cacing mengeliat saja.”
Aku membakar semangatnya. Aku memberikan sedikit dorongan agar Man percaya diri.
“Oke,” katanya. “Aku akan ikut kau.”
Akhirnya kami segera keluar dari kamarku. Mata kami begitu mewaspadai gerak-gerak yang membuat hati kami was-was. Kami meluncur waspada dari pondok santri pria. Kami berjalan biasa menuju pintu gerbang utama. Banyak kawan-kawan santri yang menyapa kami. Kami berlagak santai dan supel untuk membalas sapanya. Seperti biasanya kami melangkah tanpa ragu dan bersemangat agar rencana kami tidak gagal dan tak ketahuan.
Kami akhirnya keluar dari pondok pria. Langkah kami semakin cepat. Kami meluncur ke pintu gerbang utama. Ternyata benar apa yang dikatakan Man. Kang Petruk dan Kang Gareng tepat berada disana. Mereka nampak waspada mengawasi area pintu gerbang utama.
Kami bersembunyi dibalik pohon besar. Kami tak ingin Kang Petruk dan Kang Gareng melihat kami.
“Kau benar,” kataku. “Mereka adalah kang Petruk dan kang Gareng. Sepertinya kita akan cukup sulit untuk menembus gerbang utama.”
“Kau betul,” kata Man. “Sebaiknya kita kembali. Mereka kelihatannya kuat dan tangguh. Apa lagi mereka bukan seumuran dengan kita? Pastinya mereka memiliki kekuatan diatas kita.”
Aku terdiam sejenak. Aku memperhatikan Kang Petruk dan Kang Gareng serius. Wajah mereka nampak biasa tetapi lebih kearah komedi. Aku jadi bingung dan tertawa kecil.
“Kau kenapa malah tersenyum?” kata Man kesal. “Apa kau tak mendengar perkataanku?”
Man menyeryit mata memandangku. Dahinya mengerut.
“Coba lihat mereka,” kataku tersenyum. “Mereka sepertinya tak berbahaya. Aku malah tertawa jika terlalu lama memandangnya.”
Man mendadak syok.
“Jangan bercanda,” kata Man bingung. “Mereka adalah guru kanuragan tinggi diantara para santri yang ada. Sepertinya kau bercanda. Mereka bukan tandingan kita.”
Aku malah semakin lebar menebarkan senyum. Man semakin kesal memandangku. Bola matanya hampir keluar dari rahang mata. Dia tnpa sengaja menginjak ranting kecil dibawahnya.
krek….
“Siapa itu?” lontar Petruk. “Jangan sembunyi! Cepat keluar.”
Mereka mewaspadai gerakan kami. Pandangan mereka sangat tajam dan intens. Mereka tidak kesulitan menemukan suara ranting patah itu. Sungguh mereka memiliki indra pendengaran sangat tajam. 
“Tuh kan malah ketahuan,” bisik Man agak gemetaran. “Seharusnya kita kembali saja.”
“Siapa itu?” lontar Gareng kembali. “Aku tahu kalian mau keluar pondok ini bukan. Sebaiknya kalian keluar atau kalian akan mendapat hukuman.”
Man makin terlihat menggigil ketakutan. Ada keringat dingin mengucur didahinya. Tangannya gemetaran bahkan aku biasa merasakan getarannya.
Sementara aku bersikap santai dan penuh wibawa. Rasa takut timbul akibat kecemasan pada level tinggi menekan perasaan. Hal itu mungkin biasa bagi orang yang tidak percaya diri dan kurang semangat.
Kami meluncur pelan-pelan keluar dari balik pohon. Mataku teduh memandang. Sementara Man terlihat tertunduk takut untuk memperhatikan. Dia ada dibelakangku dengan memegang tanganku. Man menggigil ketakutan.
Kami mulai meluncur dan mendekat pada mereka. Mereka mengawasi kami sangat waspada. Mata mereka sedikit memberi tekanan.
“Ternyata kalian,” kata Petruk. “Apa yang ingin kalian lakukan? Jangan mengendap-gendap menuju gerbang pintu utama. Apa kalian ingin keluar dari pondok? Mau kemana kalian?”
Mata Petruk melotit tajam. Dia memberikan tekanan intens pada kami berdua.
“Tidak,” kataku meragu. “Kami hanya ingin jalan-jalan saja. Bukan begitu Man!”
Aku menyikutkan sikuku ke tubuhnya. Man terkejut, tubuhnya seperti tersengat listrik. Dia mulai bangkit.
“Tentu,” kata man agak gemetaran. “Kami hanya ingin jalan-jalan saja.”
Aku memperhatikan wajah mereka berdua. tetapi lama-kelamaan mereka malah ketawa.
“Ha…ha…ha…,” tawa mereka.
Mereka diam seperkian detik.
 “Kukira kau akan takut pada kami Suta,” kata Petruk. “Tetapi sepertinya kau memang pemberani anak muda. Kau memang bukan sembarang manusia Suta.”
Aku malah bingung memandang. Rasanya tubuhku begitu nyaman ketika dia tertawa. tetapi aku sedikit rasanya kesal bercampur tawa yang tak bisa aku luapkan begitu saja.  Sementara Man masih terlihat menggigil ketakutan. Dia hampir tak bisa berkata.
“Maksud kalian apa kang?” tanyaku meragu. “Aku malah jadi bingung.”
“Ha…ha…ha…,” tawa Gareng. “Kalian ingin berburu bukan. Apa yang ingin kalian lakukan disini semua sudah kami ketahui.”
Aku mendadak syok. Man makin menggigil gemetaran. Dia seperti diterkam binatang buas yang kurang makan.
“Maksud kang Gareng,” kataku. “Apa kalian diutus oleh syekh Sidik untuk menghukum kami?”
Wajah kami nampak suram. Man sampai tak berani memperhatikan mereka. Dia hanya memegang erat tanganku hingga aku merasakan sedikit rasa nyeri.
“Ha…ha…ha…,” tawa Gareng. “Sebenarnya…..”
Dia menghentikan perkataanya. Wajahnya tersenyum lebar. Aku malah bingung memperhatikannya. Tingkah aneh mereka membuatku hanya nyengir bodoh saja.
“Sebenarnya apa?” tanyaku penasaran.
“Mungkin dia mau menghukum kita, Suta,” tegas Man masih gemetaran. 
“Sebenarnya kami ingin menemani kalian,” kata Petruk.
Kami mendadak syok. Man melepaskan pegangannya. Dia agak kasar meleparkan tanganku hingga membanting ke tubuhku.
“Aduh!” kataku.
Aku diam seperkian detik.
“Jadi kalian ingin menemani kami,” kataku meragu. “Bukan kalian ingin menghukum kami. Kenapa malah jadi seperti ini?”
Aku berfikir bodoh memandang. Kulihat wajah mereka kurang menyakinkan untuk aku percaya.
“Kau masih bingung Suta,” kata Petruk. “Syekh Sidik sudah tahu semua. Beliau memberi perintah pada kami untuk menemanimu. Beliau akan membebaskan hukuman padamu. Jika kalian berhasil menyelesaikan masalah ini.”
“Maksudmu kang,” kataku dingin. “Memang masalah apa yang terjadi? Bukankah kalian lebih hebat dariku. Kenapa meminta hal ini padaku.”
“Kau akan tahu,” kata Petruk. “Didalam hutan Gumbala ada masalah terjadi. Kami belum dapat memastikan. Tetapi sepertinya ada makhluk jahat menyerang hutan Gumbala. Banyak hewan liar tanpa bisa dikendalikan. Mereka saling membunuh satu sama lainnya.”
“Bukan itu wajar,” kataku. “Ekosistem alam hutan memang seperti bukan. Yang kuat yang berkuasa.”
“Bagaimana bisa kau berbicara seperti itu? tanya Gareng kesal. “Hewan itu sangat kejam dan mengerikan dalam membantai mangsa. Hewan herbivora ikut menjadi karnivora. Mereka saling membantai satu sama lain. Tak ada kelompok atau persaudaraan diantara sesama jenis hewan. Sungguh itu sangat mengerikan bukan.”
Matanya mengeryit. Tatapannya intens.
“Baik,” kataku. “Apa rencana kita? Aku hanya menurut hasrat untuk berburu. Jika ada masalah sebesar itu di hutan Gumbala. Maka dapat dipastikan ada bahaya besar menghadang kita.”
Aku menatap kang Gareng dan kang Petruk. Kami saling pandang. Seperkian detik kami terdiam.
Man masih terlihat gemetaran. Aku tak tahu apa yang dia pikirkan? Tetapi sepertinya dia masih memikirkan hal yang diluar logikanya.
“Apa sebaiknya kita bertanya pada Syekh Sdik saja?” cetus Man tiba-tiba. “Beliau mungkin mengetahui apa yang bisa kita lakukan?”
“Kita ini bukan pecundang Man!” kataku dingin. “Aku tak mau bergantung pada keputusan Aki syekh. Beliau telah mempercayakan padaku. Jadi lebih baik kita cari solusi sendiri saja.”
“Ini jelas taruhannya nyawa Suta!” kata Man kesal. “Salah sedikit saja. Keputusan dan rencana akan menjadi malapetaka.”
Dahi Man mengerut. Tatapannya tajam merah kejam.
“Tentu,” kataku. “Maka dari itu keputuasan tepat dan efektif akan menjadi jalan kita berhasil dalam misi ini.”
“Terserahlah!” kata Man dingin. “Aku tak mau kena hukuman pastinya.”
“Aku tahu,” kataku. Aku juga tak ingin kena hukuman. Maka sudah pasti aku mau menerima misi ini. Tetapi bila keputusan dalam menjalankan misi merupakan pola pikir untuk kita terus maju bukan malah sebagai pencudang.”
Man tertunduk. Dia terdiam. Kata-kataku menyambar pedas ditelinganya.
Aku kembali menatap kang Gareng dan kang Petruk kembali. Mereka nampak berfikir serius. Sepertinya otak mereka berkonsentrasi pada rencana yang dijalankan. Untuk mengetahui teori-teorinya, aku mulai unjuk bicara.
“Bagaimana kang?” tanyaku. “Apa kalian sudah menemukan rencananya?”
Kang Gareng dan kang Petruk tersenyum bodoh memandang. Mereka seperti komedi yang memberikan hiburan. Mereka berlagak pintar dan menyebalkan. Tetapi aku melihatnya malah membuatku tersenyum geli tidak karuan. Mereka memberikan ekspresi yang menyegarkan pikiran. Rasanya mereka seperti komedi hiburan.
“Kurasa kita ikut saja aturan mainnya,” kata Petruk. “Toh kita pasti dapat menemukan solusi bila kita ketahui masalahnya. Lebih baik segera kita meluncur ke Gumbala. Jika kita terus berdebat hasilnya pasti kurang menyenangkan bukan.”
“Aku setuju,” kataku. “Urusan ini cepat kita selesaikan. Aku ingin waktu ashar kita tak terlambat datang.”
“Memang itu yang kami harapkan,” kata Gareng. “Kau adalah wujud dari rembulan Suta. Namamu terpancar bagai anak bulan. Kau adalah wujud terang dari cahaya kegelapan.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar