MENEMUI BATARA GIRI - Sastra Education

Breaking

Selasa, 04 Februari 2020

MENEMUI BATARA GIRI


Semester ini Awan akan mengerjakan soal-soal ujiannya, ketika ia setengah percaya bahwa Nagasura bisa menerobos masuk setiap saat. Tak ada keraguan Jaladara masih hidup dan sehat dibalik pintu tertutup.
Udara panas sekali, terutama diruang kelas besar. Tempat mereka mengerjakan ujian tertulis. Kepada mereka dibagikan pena bulu baru khusus untuk ujian, pena yang diKsatrian dengan mantra anti nyontek.
Mereka juga ujian praktek. Batara Flamboyan memanggil mereka satu per satu ke dalam kelas untuk menguji apakah mereka bisa membuat nanas menari di atas meja. Awan mungkin agak sedikit lambat dalam ilmu Ajian.
Bawa yang dimiliki tak sebanyak kawan-kawannya atau bisa dibilang bahkan kurang bagi seorang Ksatria. Tetapi Praba yang dimiliki sangat luar biasa. Kekuatan tak terbatas dalam dirinya. Tetapi ia bisa masuk ke Saloka karena ada darah Ksatria hebat dalam dirinya. Mungkin ia lemah bawa tetapi bawa dapat dinetralkan oleh Praba Awan. 
Dewi Fatimah mengawasi mereka mengubah tikus menjadi kotak tembakau angka diberikan sesuai dengan seberapa indahnya kotak tembakau itu, tetapi dikurangi jika kotak itu punya kumis.
Saka membuat mereka gugup, terus menempel sementara mereka mencoba mengingat bagaimana membuat Ramuan Lupa.

Awan mengerjakan tugas-tugasnya sebaik mungkin, berusaha mengabaikan rasa sakit yang menusuk-nusuk dahinya, yang terus mengganggunya sejak perjalanannya ke Hutan. Norman mengira Awan senewen berat gara-gara ujian karena Awan tak bisa tidur, tetapi kenyataannya adalah Awan berkali-kali terbangun gara-gara mimpi buruknya yang dulu, hanya saja sekarang mimpi itu lebih mengerikan, karena ada sosok berkerudung dengan darah menetes-netes di dalam mimpinya.
Mungkin karena mereka tidak melihat apa yang dilihat Awan di dalam Hutan, atau karena mereka tidak memiliki bekas luka yang terasa panas membara di dahi mereka, tetapi Man dan Kirana tidak secemas Awan memikirkan batu itu. Nagasura tentu saja membuat mereka takut, tetapi dia tidak mendatangi mereka berkali-kali dalam mimpi, dan mereka terlalu sibuk belajar sehingga tak punya banyak waktu untuk mencemaskan apa yang akan dilakukan Saka atau ksatria jahat lainnya.
Ujian terakhir mereka adalah Sejarah Ksatria. Setelah satu jam menjawab berbagai pertanyaan tentang Ksatria nyentrik yang menemukan kendhaga yang bisa mengaduk sendiri, mereka akan bebas, bebas selama seminggu penuh yang menyenangkan sampai hasil ujian mereka diumumkan. Ketika Batara Brata menyuruh mereka meletakkan pena bulu dan menggulung perkamen mereka, Awan ikut bersorak bersama yang lain.
“Ujiannya lebih mudah daripada dugaanku,” kata Kirana, ketika mereka bergabung dengan gerombolan anak-anak keluar ke lapangan yang disinari matahari. “
Kirana senang mendiskusikan soal-soal ujiannya, tetapi Man mengatakan ini membuatnya pusing, maka mereka pergi ke danau dan duduk di bawah pohon. Si kembar Yuda dan Lee Jamang sedang menggelitik sungut cumi-cumi raksasa yang sedang menghangatkan diri di air yang dangkal.
“Tak perlu lagi belajar,” Man menghela napas dengan senang, berbaring di atas rumput. “Ceria sedikit dong, Awan, kita punya waktu seminggu sebelum kita tahu ujian kita jeblok. Sekarang tak perlu cemas.”
Awan menggosok-gosok dahinya.
“Aku ingin tahu apa artinya ini!” celetuknya jengkel. “Bekas lukaku sakit terus, sebelumnya memang pernah sakit, tapi tidak sesering ini.”
“Pergilah ke Dewi Pertiwi,” Kirana mengusulkan.
“Aku tidak sakit,” kata Awan. “Kurasa ini peringatan... artinya akan ada bahaya...”
Man tak bisa diajak kompromi, hawa terlalu panas.
“Awan, santai saja. Kirana benar. Batu itu aman selama Batara Giri ada. Lagi pula, kita tak pernah punya bukti Saka sudah menemukan cara melewati Jaladara. Kakinya pernah nyaris copot satu kali, dia tidak akan buru-buru mencoba lagi. Dan Norman akan main Braja untuk tim Indonesia sebelum Permadi mengecewakan Batara Giri.”
Awan mengangguk, tetapi ia tidak dapat menghilangkan perasaan bahwa ada sesuatu yang lupa ia lakukan, sesuatu yang penting. Ketika dia mencoba menjelaskan soal ini,
Kirana berkata, “Itu cuma dampak ujian. Semalam aku terbangun dan sudah membaca setengah buku catatan Transfigurasi-ku sebelum aku ingat ujian itu sudah selesai.”
Meskipun demikian, Awan yakin perasaannya yang galau tidak ada hubungannya dengan ujian. Ia memandang seekor burung hantu terbang menuju sekolah melintasi langit biru cerah, paruhnya menggigit surat. Permadi-lah satu-satunya orang yang pernah mengiriminya surat. Permadi tak akan pernah mengkhianati Batara Giri. Permadi tak akan pernah memberitahu siapa pun bagaimana caranya melewati Jaladara... tak pernah... tetapi...
Mendadak Awan melompat bangun.
“Mau kemana kau?” tanya Man mengantuk.
“Baru saja terpikir olehku,” kata Awan Wajahnya sudah menjadi pucat. “Kita harus menemui Permadi sekarang.”
“Kenapa?” Kirana tersengal, berusaha mengejar Awan.
“Tidakkah menurut kalian agak aneh,” kata Awan sambil mendaki lereng berumput, “bahwa Permadi sangat ingin memiliki naga, dan tiba-tiba saja muncul orang asing yang kebetulan punya telur naga dalam kantongnya?  Berapa orang sih yang bepergian membawa telur naga, padahal sebetulnya itu dilarang oleh undang-undang Ksatria? Untung mereka menemukan Permadi, iya, kan? Kenapa aku tidak menyadari hal ini sebelumnya?”
“Apa sih maksudmu?” tanya Man. Tetapi Awan yang berlari menyeberangi lapangan menuju. tepi Hutan, tidak menjawab. Permadi sedang duduk di kursi berlengan di luar rumahnya. Celana panjang dan lengan kemejanya digulung dan dia sedang mengupas Kacang polong yang kemudian dimasukkannya ke dalam mangkuk besar.
“Halo,” sapanya, tersenyum. “Selesai ujian? Ada waktu untuk minum?”
“Ada,” kata Man, tetapi Awan menyelanya.
“Tidak, kami sedang buru-buru. Permadi, aku harus tanya sesuatu padamu. Kau ingat malam kau memenangkan Nabha? Seperti apa orang asing yang main kartu denganmu itu?”
“Tak tahu,” kata Permadi santai, “dia tak mau lepas kerudungnya.” Permadi melihat mereka bertiga kaget dan dia mengangkat alisnya.
“Tidak begitu luar biasa, ada banyak orang aneh di Hargo Hara itu nama tempat minum di desa itu. Mungkin saja dia pedagang naga, kan? Aku tak pernah lihat mukanya, kerudungnya dipakai terus.”
Awan terenyak duduk di sebelah mangkuk Kacang polong.
“Apa yang kau obrolkan dengannya? Apa kau menyebut-nyebut Saloka?”
“Mungkin saja,” kata Permadi mengerutkan kening, berusaha mengingat-ingat. “Yeah... dia tanya aku kerja apa, dan kukatakan aku pengawas binatang liar di sini... Dia tanya-tanya sedikit tentang makhluk-makhluk apa yang kupelihara...  jadi kuceritakan... dan kubilang yang sebetulnya kuinginkan adalah naga...  dan  kemudian...  aku  tak  ingat  persis,  karena  dia terusterusan  belikan  aku  minum...  Coba kuingat...  yeah, kemudian dia bilang dia punya telur naga dan kami bisa main kartu dengan telur itu sebagai taruhannya kalau aku mau...  tapi dia harus yakin aku bisa rawat naganya, dia tak mau telur naganya jatuh ke rumah sembarangan. Jadi kubilang, setelah Jaladara, naga sih barang mudah...”
“Dan apakah dia, apakah dia kelihatannya tertarik pada Jaladara?” Awan bertanya, berusaha agar suaranya tetap tenang.
“Nah, yeah, ada berapa macan kepala tiga yang kautemui, bahkan di Saloka sekalipun? Jadi kuceritakan, Jaladara barang mudah kalau kau tahu cara menenangkan dia. Mainkan saja musik, maka dia akan langsung tertidur...”
Mendadak Permadi tampak ketakutan.
“Seharusnya tak kuceritakan pada kalian!” sergah Permadi.
“Lupakan saja apa yang barusan aku bilang! Hei! mau ke mana kalian?”
Awan, Man, dan Kirana sama sekali tidak saling bicara sampai mereka berhenti di Aula Depan, yang terasa sangat dingin dan suram dibanding lapangan di luar.
“Kita harus menemui Batara Giri,” kata Awan. “Permadi memberitahu orang asing itu cara melewati Jaladara, dan entah Saka atau Nagasura di bawah kerudung itu, pasti soal gampang, begitu dia berhasil membuat Permadi mabuk. Kuharap saja Batara Giri mempercayai kita. Eman mungkin mau mendukung kita kalau Banu tidak melarangnya. Di mana kantor Batara Giri?”
Mereka memandang berkeliling, seakan berharap melihat papan yang bisa menunjukkan arah yang benar. Mereka tak pernah diberitahu di mana Batara Giri tinggal, dan mereka pun belum pernah bertemu seseorang yang pernah pergi ke kediaman Batara Giri.
“Kita harus...,” Awan baru mulai berkata ketika mendadak terdengar suara dari seberang aula.
“Apa yang kalian lakukan di sini?”
Dewi Fatimah, membawa setumpuk buku.
“Kami ingin menemui Batara Giri,” kata Kirana, agak nekat, pikir Awan dan Man.
“Menemui Batara Giri?” Dewi Fatimah mengulang, seakan itu hal yang sangat aneh. “Kenapa?”
Awan menelan ludah, sekarang bagaimana?
“Ini semacam rahasia,” katanya, lalu langsung menyesal, karena lubang hidung Dewi Fatimah melebar.
“Batara Giri berangkat sepuluh menit yang lalu,” katanya dingin. “Dia menerima panggilan penting dari
Kementerian Ksatrian dan langsung terbang ke Jakarta.”
“Dia pergi?” kata Awan panik. “Sekarang?”
“Batara Giri ksatria hebat, Negara, urusannya banyak...”
“Tapi ini penting.”
“Sesuatu yang ingin kau sampaikan lebih penting daripada Kementerian Ksatria, Negara?”
“Soalnya,” kata Awan yang sudah tidak menutup-nutupi lagi,
“Dewi, ini tentang Batu Naran...”
Entah apa yang diharapkan Dewi Fatimah, pasti bukan itu. Buku-buku yang dibawanya berjatuhan dari tangannya, tetapi dia tidak memungutnya.
“Bagaimana kau tahu...?” tanyanya gugup.
“Dewi, saya rasa, saya tahu bahwa ada orang yang akan mencoba mencuri batu itu. Saya harus bicara dengan Batara Giri.”
Dewi Fatimah menatapnya dengan kaget bercampur curiga.
“Batara Giri akan kembali besok,” katanya akhirnya. “Aku tak tahu bagaimana kalian sampai bisa tahu tentang batu itu, tetapi tenanglah, tak seorang pun bisa mencurinya, perlindungannya sangat ketat.”
“Tapi, Dewi...”
“Negara, aku tahu apa yang kubicarakan,” katanya pendek.
Dia membungkuk dan mengumpulkan buku-bukunya yang jatuh. “Kusarankan kalian semua kembali keluar dan menikmati sinar matahari.”
Tetapi mereka tidak melakukan itu.
“Pasti malam ini,” kata Awan, begitu ia yakin Dewi Fatimah tak bisa mendengarnya. “Saka akan masuk lewat pintu jebakan malam ini. Dia sudah berhasil mengetahui semua yang diperlukannya dan dia berhasil menyingkirkan Batara Giri. Dialah yang mengirim surat itu. Pasti Kementerian Ksatria akan kaget begitu Batara Giri muncul.”
“Tapi apa yang bisa kita...”
Kirana terperangah. Awan dan Man berbalik. Ada Saka.
“Selamat sore,” katanya lancar.
Mereka terbelalak memandangnya.
“Kalian seharusnya tidak berada di dalam pada hari seindah ini,” katanya dengan senyum aneh.
“Kami baru...,” kata Awan tanpa tahu apa yang akan dikatakannya.
“Kalian seharusnya lebih hati-hati,” kata Saka. “Kasak-kusuk begini, orang-orang akan mengira kalian hendak berbuat sesuatu. Dan riskan sekali bagi Jodhipati kalau kehilangan angka lebih banyak lagi, kan?”
Wajah Awan memerah. Mereka berbalik hendak keluar, tetapi Saka memanggil mereka kembali.
“Ingat, Negara, sekali lagi berkeliaran di malam hari, aku sendiri yang akan memastikan kau dikeluarkan. Selamat sore.”
Dia berjalan menuju ruang guru. Menuruni undakan batu di luar, Awan menoleh kepada kedua temannya.
“Baik, ini yang akan kita lakukan,” bisiknya tegang. “Salah satu dari kita harus memata-matai Saka, tunggu di luar ruang guru dan ikuti dia kalau dia keluar. Kirana, sebaiknya kau saja.”
“Kenapa aku?”
“Jelas kenapa,” kata Man. “Kau bisa berpura-pura sedang menunggu Batara Flamboyan, kan.” Man meninggikan suaranya.
“Oh, Batara Flamboyan, saya cemas sekali, saya rasa jawaban saya untuk soal empat belas b salah...”
“Oh, diam kau,” kata Kirana, tetapi dia setuju memata-matai Saka. “Dan kami lebih baik berjaga di luar koridor lantai tiga,” kata Awan kepada Man. “Ayo.”
Tetapi bagian rencana yang ini tidak bisa dilaksanakan. Baru saja mereka tiba di pintu yang memisahkan Jaladara dari bagian lain sekolah, Dewi Fatimah muncul lagi, dan kali ini dia marah sekali.
“Rupanya kalian pikir kalian lebih susah ditembus daripada satu set mantra Ajian!” semburnya. “Cukup omong kosong ini! Kalau kudengar kalian berada dekat-dekat sini lagi, aku akan mengurangi lima puluh angka lagi dari Jodhipati! Ya, Yuda, dari Ksatrianku sendiri!”
Awan dan Man kembali ke ruang rekreasi. Awan baru saja berkata, “Paling tidak Kirana mengawasi Saka,” ketika lukisan Dewi Cantik berayun terbuka dan Kirana masuk.
“Pangapunten, Awan!” ratapnya.  “Saka keluar dan bertanya aku sedang apa, jadi kukatakan aku menunggu Batara Flamboyan, dan Saka masuk memanggilkan dia. Terpaksa aku buru-buru menyingkir.
Aku tak tahu Saka ke mana.”
“Apa boleh buat kalau begitu, kan?” kata Awan. Kedua temannya menatapnya. Wajah Awan pucat dan matanya berkilauan. “Aku akan ke sana malam ini dan aku akan berusaha mendapatkan batu itu lebih dulu.”
“Kau gila!” kata Man.
“Jangan!” cegah Kirana. “Setelah Dewi Fatimah dan Batara Saka mengancammu seperti itu? Kau akan dikeluarkan!”
“JADI KENAPA?” teriak Awan. “Tidak mengertikah kalian?
Jika Saka berhasil mendapatkan batu itu, Nagasura akan kembali! Tidak pernahkah kalian dengar bagaimana keadaannya ketika dia mencoba mengambil alih kekuasaan? Tak ada lagi Saloka, jadi kita tak bisa dikeluarkan! Dia akan merobohkannya, atau mengubahnya menjadi sekolah untuk Ksatrian Hitam! Kehilangan angka tidak berarti lagi, tidakkah kalian paham? Apakah kalian pikir dia akan membiarkan kalian dan keluarga kalian hidup tenang jika Jodhipati memenangkan Piala Ksatrian? Kalau aku tertangkap sebelum mencapai tempat batu itu disimpan, yah, aku harus kembali ke keluarga Raketi dan menunggu Nagasura menemukanku di sana. Itu cuma berarti aku menunda kematian sebentar, karena aku tak mau menyeberang ke Ksatria Hitam! Aku akan menembus pintu jebakan malam ini dan apa pun yang kalian katakan, takkan bisa mencegahku! Nagasura membunuh orangtuaku, ingat?”
Ia mendelik menatap mereka.
“Kau betul, Awan,” kata Kirana pelan.
“Aku akan memakai Jubah Gaib,” kata Awan.  “Untunglah jubah itu dikembalikan kepadaku.”
“Tapi apa jubah itu bisa menyelubungi kita bertiga?” tanya Man.
“Ki-kita bertiga?”
“Oh, tentu, mana mungkin kami membiarkanmu pergi sendiri?”
“Tentu saja tidak,” kata Kirana tegas. “Kaupikir bagaimana kau bisa mencapai tempat batu tanpa kami?  Lebih baik aku mencari di buku-bukuku, siapa tahu ada yang berguna...”
“Tetapi kalau kita tertangkap, kalian berdua akan dikeluarkan juga.”
“Tidak, kalau bisa kucegah,” kata Kirana muram. “Batara Flamboyan memberitahuku rahasia, bahwa aku mendapat seratus dua belas persen dalam pelajarannya. Mereka tidak akan mengeluarkanku dengan nilai setinggi itu.”
Sesudah makan malam mereka bertiga duduk gelisah, memisahkan diri di ruang rekreasi. Tak ada yang mengganggu mereka; toh tak seorang anak Jodhipati pun mau bicara lagi dengan Awan. Malam ini pertama kalinya Awan tidak merasa sedih karenanya. Kirana membaca sekilas semua catatannya, berharap menemukan salah satu Ksatrian yang akan mereka coba punahkan. Awan dan Man tidak banyak bicara. Keduanya memikirkan apa yang sebentar lagi akan mereka lakukan.
Perlahan ruangan menjadi kosong ketika anak-anak satu demi satu pergi tidur.
“Lebih baik ambil jubahnya sekarang,” gumam Man, ketika akhirnya Lee Jamang pergi sambil menggeliat dan menguap. Awan berlari ke atas, ke kamar mereka yang gelap. Ditariknya jubahnya dan kemudian terlihat olehnya seruling hadiah Tahun Baru dari Permadi. Dikantonginya seruling itu untuk digunakan pada Jaladara, ia sedang tak ingin menyanyi.
Awan berlari kembali ke ruang rekreasi.
“Lebih baik kita pakai jubahnya di sini, dan kita pastikan jubah ini menyelubungi kita bertiga, kalau Tiwul melihat sepotong kaki kita berjalan sendiri...”
“Apa yang kalian lakukan?” terdengar suara dari sudut ruangan. Norman muncul dari balik kursi, memegangi Teror si katak, yang kelihatannya baru saja mencoba kabur.
“Tidak apa-apa, Norman,” kata Awan cepat-cepat, menyembunyikan jubah di belakang punggungnya.  Norman menatap wajah mereka yang bersalah.
“Kalian akan keluar lagi,” komentarnya.
“Tidak, tidak, tidak,” kata Kirana. “Kami tidak akan keluar. Kenapa kau tidak tidur saja, Norman?”
Awan memandang jam besar yang berdiri dekat pintu. Mereka tak bisa lagi membuang-buang waktu.  Mungkin sekarang Saka sedang main musik untuk menidurkan Jaladara.
“Kalian tak boleh keluar,” kata Norman, “kalian akan tertangkap lagi. Jodhipati akan lebih parah.”
“Kau tidak mengerti,” kata Awan. “Ini penting.” Tetapi Norman jelas menguatkan diri untuk bertindak nekat.
“Tak akan kubiarkan kalian keluar,” katanya sambil bergegas berdiri di depan lubang lukisan. “Aku, aku akan melawan kalian!”
“Norman,” Man meledak, “minggir dari lubang itu dan jangan bego...”
“Jangan menyebutku bego!” kata Norman. “Menurutku kalian tak boleh lagi melanggar peraturan! Dan kalianlah yang menasihatiku agar berani melawan yang tidak benar!”
“Ya, tapi bukan terhadap kami,” kata Man putus asa.
“Norman, kau tak tahu apa yang kaulakukan.”
Man maju selangkah dan Norman menjatuhkan Bala si katak yang langsung melompat lenyap dari pandangan.
“Ayo, kalau begitu, coba pukul aku!” kata Norman, mengangkat tinjunya. “Aku siap!”
Awan menoleh kepada Kirana.
“Lakukan sesuatu,” katanya putus asa.
Kirana maju.
“Norman,” katanya, “aku minta maaf, aku terpaksa berbuat begini.” Diangkatnya tongkatnya. “Ikat Slira!” serunya, seraya menunjuk Norman. Lengan Norman mengatup ke sisi tubuhnya. Kedua kakinya saling menempel. Seluruh tubuhnya menjadi kaku, dia terhuyung di tempatnya berdiri dan kemudian jatuh terjerembap, kaku seperti papan. Kirana berlari untuk menelentangkannya. Rahang Norman terkunci sehingga dia tidak bisa bicara. Hanya matanya yang bergerak-gerak, memandang mereka dengan ngeri.
“Apa yang kaulakukan kepadanya?” bisik Awan.
“Ajian Ikat Tubuh Sempurna,” kata Kirana merana.
“Oh, Norman, pengaputen, pengaputen.”
“Kami terpaksa, Norman, tak ada waktu untuk menjelaskan,” kata Awan.
“Kau akan mengerti nanti, Norman,” kata Man, ketika mereka melangkahinya dan memakai Jubah Gaib.
Tetapi meninggalkan Norman yang tak bisa bergerak terbaring di lantai, rasanya bukan pertanda yang baik. Dalam keadaan cemas, bagi mereka bayangan patung kelihatan seperti Tiwul, semua desus angin di kejauhan terdengar seperti Bawor yang meluncur turun ke arah mereka.
Di kaki tangga pertama mereka melihat Nona mengendap-endap di dekat puncak tangga.
“Oh, ayo kita tendang dia, kali ini saja,” bisik Man ke telinga Awan, tetapi Awan menggeleng. Ketika mereka hati-hati naik melewatinya, Nona mengarahkan matanya yang seperti senter kepada mereka, tetapi tidak berbuat apa-apa.
Mereka tidak bertemu siapa-siapa lagi sampai tiba di tangga menuju ke lantai tiga. Bawor sedang berada di tengah tangga, melepas karpetnya supaya orang yang lewat tersandung. “Siapa itu?” katanya tiba-tiba ketika mereka naik ke arahnya.
Dia menyipitkan mata hitamnya yang kejam. “Aku tahu kau di situ, meskipun aku tak bisa melihatmu. Apakah kau hantu atau murid bandel?” Bawor melayang ke atas dan memandang mereka. “Harus panggil Tiwul, harus, kalau ada makhluk tidak tampak berkeliaran.”
Mendadak Awan mendapat ide.
“Bawor,” katanya, berbisik serak, “Bagong Berdarah punya alasan sendiri untuk tidak menampakkan diri.”
Bawor nyaris jatuh dari udara saking kagetnya.
Tapi dia berhasil menguasai diri dan melayang kira-kira tiga puluh senti dari tangga.
“Maaf sekali, Yang Berdarah, Tuan Bagong,” katanya menjilat. “Salahku, salahku, aku tidak melihatmu, tentu saja tidak, kau tidak kelihatan, maafkan gurauan kecil Bawor, Tuan.”
“Aku ada urusan di sini, Bawor,” kata Awan serak. “Pergilah jauh-jauh dari tempat ini malam ini.”
“Baik, Tuan, aku akan pergi,” kata Bawor, melayang naik lagi.
“Mudah-mudahan urusanmu berjalan lancar, Tuan Bagong. Aku tidak akan mengganggumu.” Dan dia pun melayang pergi.
“Brilian, Awan!” bisik Man.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar