Semester ini Awan akan
mengerjakan soal-soal ujiannya, ketika ia setengah percaya bahwa Nagasura bisa
menerobos masuk setiap saat. Tak ada keraguan Jaladara masih hidup dan sehat
dibalik pintu tertutup.
Udara panas sekali,
terutama diruang kelas besar. Tempat mereka mengerjakan ujian tertulis. Kepada
mereka dibagikan pena bulu baru khusus untuk ujian, pena yang diKsatrian dengan
mantra anti nyontek.
Mereka juga ujian
praktek. Batara Flamboyan memanggil mereka satu per satu ke dalam kelas untuk
menguji apakah mereka bisa membuat nanas menari di atas meja. Awan mungkin agak
sedikit lambat dalam ilmu Ajian.
Bawa yang dimiliki tak
sebanyak kawan-kawannya atau bisa dibilang bahkan kurang bagi seorang Ksatria.
Tetapi Praba yang dimiliki sangat luar biasa. Kekuatan tak terbatas dalam
dirinya. Tetapi ia bisa masuk ke Saloka karena ada darah Ksatria hebat dalam dirinya.
Mungkin ia lemah bawa tetapi bawa dapat dinetralkan oleh Praba Awan.
Dewi Fatimah mengawasi
mereka mengubah tikus menjadi kotak tembakau angka diberikan sesuai dengan
seberapa indahnya kotak tembakau itu, tetapi dikurangi jika kotak itu punya
kumis.
Saka membuat mereka
gugup, terus menempel sementara mereka mencoba mengingat bagaimana membuat
Ramuan Lupa.
Awan mengerjakan
tugas-tugasnya sebaik mungkin, berusaha mengabaikan rasa sakit yang
menusuk-nusuk dahinya, yang terus mengganggunya sejak perjalanannya ke Hutan.
Norman mengira Awan senewen berat gara-gara ujian karena Awan tak bisa tidur,
tetapi kenyataannya adalah Awan berkali-kali terbangun gara-gara mimpi buruknya
yang dulu, hanya saja sekarang mimpi itu lebih mengerikan, karena ada sosok
berkerudung dengan darah menetes-netes di dalam mimpinya.
Mungkin karena mereka
tidak melihat apa yang dilihat Awan di dalam Hutan, atau karena mereka tidak
memiliki bekas luka yang terasa panas membara di dahi mereka, tetapi Man dan
Kirana tidak secemas Awan memikirkan batu itu. Nagasura tentu saja membuat
mereka takut, tetapi dia tidak mendatangi mereka berkali-kali dalam mimpi, dan
mereka terlalu sibuk belajar sehingga tak punya banyak waktu untuk mencemaskan
apa yang akan dilakukan Saka atau ksatria jahat lainnya.
Ujian terakhir mereka
adalah Sejarah Ksatria. Setelah satu jam menjawab berbagai pertanyaan tentang
Ksatria nyentrik yang menemukan kendhaga yang bisa mengaduk sendiri, mereka
akan bebas, bebas selama seminggu penuh yang menyenangkan sampai hasil ujian
mereka diumumkan. Ketika Batara Brata menyuruh mereka meletakkan pena bulu dan
menggulung perkamen mereka, Awan ikut bersorak bersama yang lain.
“Ujiannya lebih mudah
daripada dugaanku,” kata Kirana, ketika mereka bergabung dengan gerombolan
anak-anak keluar ke lapangan yang disinari matahari. “
Kirana senang
mendiskusikan soal-soal ujiannya, tetapi Man mengatakan ini membuatnya pusing,
maka mereka pergi ke danau dan duduk di bawah pohon. Si kembar Yuda dan Lee
Jamang sedang menggelitik sungut cumi-cumi raksasa yang sedang menghangatkan
diri di air yang dangkal.
“Tak perlu lagi
belajar,” Man menghela napas dengan senang, berbaring di atas rumput. “Ceria
sedikit dong, Awan, kita punya waktu seminggu sebelum kita tahu ujian kita
jeblok. Sekarang tak perlu cemas.”
Awan menggosok-gosok
dahinya.
“Aku ingin tahu apa
artinya ini!” celetuknya jengkel. “Bekas lukaku sakit terus, sebelumnya memang
pernah sakit, tapi tidak sesering ini.”
“Pergilah ke Dewi
Pertiwi,” Kirana mengusulkan.
“Aku tidak sakit,” kata
Awan. “Kurasa ini peringatan... artinya akan ada bahaya...”
Man tak bisa diajak
kompromi, hawa terlalu panas.
“Awan, santai saja.
Kirana benar. Batu itu aman selama Batara Giri ada. Lagi pula, kita tak pernah
punya bukti Saka sudah menemukan cara melewati Jaladara. Kakinya pernah nyaris
copot satu kali, dia tidak akan buru-buru mencoba lagi. Dan Norman akan main
Braja untuk tim Indonesia sebelum Permadi mengecewakan Batara Giri.”
Awan mengangguk, tetapi
ia tidak dapat menghilangkan perasaan bahwa ada sesuatu yang lupa ia lakukan,
sesuatu yang penting. Ketika dia mencoba menjelaskan soal ini,
Kirana berkata, “Itu cuma
dampak ujian. Semalam aku terbangun dan sudah membaca setengah buku catatan
Transfigurasi-ku sebelum aku ingat ujian itu sudah selesai.”
Meskipun demikian, Awan
yakin perasaannya yang galau tidak ada hubungannya dengan ujian. Ia memandang
seekor burung hantu terbang menuju sekolah melintasi langit biru cerah,
paruhnya menggigit surat. Permadi-lah satu-satunya orang yang pernah
mengiriminya surat. Permadi tak akan pernah mengkhianati Batara Giri. Permadi
tak akan pernah memberitahu siapa pun bagaimana caranya melewati Jaladara...
tak pernah... tetapi...
Mendadak Awan melompat
bangun.
“Mau kemana kau?” tanya
Man mengantuk.
“Baru saja terpikir
olehku,” kata Awan Wajahnya sudah menjadi pucat. “Kita harus menemui Permadi
sekarang.”
“Kenapa?” Kirana
tersengal, berusaha mengejar Awan.
“Tidakkah menurut
kalian agak aneh,” kata Awan sambil mendaki lereng berumput, “bahwa Permadi
sangat ingin memiliki naga, dan tiba-tiba saja muncul orang asing yang
kebetulan punya telur naga dalam kantongnya?
Berapa orang sih yang bepergian membawa telur naga, padahal sebetulnya
itu dilarang oleh undang-undang Ksatria? Untung mereka menemukan Permadi, iya,
kan? Kenapa aku tidak menyadari hal ini sebelumnya?”
“Apa sih maksudmu?”
tanya Man. Tetapi Awan yang berlari menyeberangi lapangan menuju. tepi Hutan,
tidak menjawab. Permadi sedang duduk di kursi berlengan di luar rumahnya.
Celana panjang dan lengan kemejanya digulung dan dia sedang mengupas Kacang
polong yang kemudian dimasukkannya ke dalam mangkuk besar.
“Halo,” sapanya,
tersenyum. “Selesai ujian? Ada waktu untuk minum?”
“Ada,” kata Man, tetapi
Awan menyelanya.
“Tidak, kami sedang
buru-buru. Permadi, aku harus tanya sesuatu padamu. Kau ingat malam kau
memenangkan Nabha? Seperti apa orang asing yang main kartu denganmu itu?”
“Tak tahu,” kata
Permadi santai, “dia tak mau lepas kerudungnya.” Permadi melihat mereka bertiga
kaget dan dia mengangkat alisnya.
“Tidak begitu luar
biasa, ada banyak orang aneh di Hargo Hara itu nama tempat minum di desa itu.
Mungkin saja dia pedagang naga, kan? Aku tak pernah lihat mukanya, kerudungnya
dipakai terus.”
Awan terenyak duduk di
sebelah mangkuk Kacang polong.
“Apa yang kau obrolkan
dengannya? Apa kau menyebut-nyebut Saloka?”
“Mungkin saja,” kata
Permadi mengerutkan kening, berusaha mengingat-ingat. “Yeah... dia tanya aku
kerja apa, dan kukatakan aku pengawas binatang liar di sini... Dia tanya-tanya
sedikit tentang makhluk-makhluk apa yang kupelihara... jadi kuceritakan... dan kubilang yang
sebetulnya kuinginkan adalah naga...
dan kemudian... aku
tak ingat persis,
karena dia terusterusan belikan
aku minum... Coba kuingat... yeah, kemudian dia bilang dia punya telur
naga dan kami bisa main kartu dengan telur itu sebagai taruhannya kalau aku
mau... tapi dia harus yakin aku bisa
rawat naganya, dia tak mau telur naganya jatuh ke rumah sembarangan. Jadi
kubilang, setelah Jaladara, naga sih barang mudah...”
“Dan apakah dia, apakah
dia kelihatannya tertarik pada Jaladara?” Awan bertanya, berusaha agar suaranya
tetap tenang.
“Nah, yeah, ada berapa
macan kepala tiga yang kautemui, bahkan di Saloka sekalipun? Jadi kuceritakan,
Jaladara barang mudah kalau kau tahu cara menenangkan dia. Mainkan saja musik,
maka dia akan langsung tertidur...”
Mendadak Permadi tampak
ketakutan.
“Seharusnya tak
kuceritakan pada kalian!” sergah Permadi.
“Lupakan saja apa yang
barusan aku bilang! Hei! mau ke mana kalian?”
Awan, Man, dan Kirana
sama sekali tidak saling bicara sampai mereka berhenti di Aula Depan, yang
terasa sangat dingin dan suram dibanding lapangan di luar.
“Kita harus menemui
Batara Giri,” kata Awan. “Permadi memberitahu orang asing itu cara melewati
Jaladara, dan entah Saka atau Nagasura di bawah kerudung itu, pasti soal
gampang, begitu dia berhasil membuat Permadi mabuk. Kuharap saja Batara Giri
mempercayai kita. Eman mungkin mau mendukung kita kalau Banu tidak melarangnya.
Di mana kantor Batara Giri?”
Mereka memandang
berkeliling, seakan berharap melihat papan yang bisa menunjukkan arah yang
benar. Mereka tak pernah diberitahu di mana Batara Giri tinggal, dan mereka pun
belum pernah bertemu seseorang yang pernah pergi ke kediaman Batara Giri.
“Kita harus...,” Awan
baru mulai berkata ketika mendadak terdengar suara dari seberang aula.
“Apa yang kalian
lakukan di sini?”
Dewi Fatimah, membawa
setumpuk buku.
“Kami ingin menemui
Batara Giri,” kata Kirana, agak nekat, pikir Awan dan Man.
“Menemui Batara Giri?”
Dewi Fatimah mengulang, seakan itu hal yang sangat aneh. “Kenapa?”
Awan menelan ludah,
sekarang bagaimana?
“Ini semacam rahasia,”
katanya, lalu langsung menyesal, karena lubang hidung Dewi Fatimah melebar.
“Batara Giri berangkat
sepuluh menit yang lalu,” katanya dingin. “Dia menerima panggilan penting dari
Kementerian Ksatrian
dan langsung terbang ke Jakarta.”
“Dia pergi?” kata Awan
panik. “Sekarang?”
“Batara Giri ksatria
hebat, Negara, urusannya banyak...”
“Tapi ini penting.”
“Sesuatu yang ingin kau
sampaikan lebih penting daripada Kementerian Ksatria, Negara?”
“Soalnya,” kata Awan
yang sudah tidak menutup-nutupi lagi,
“Dewi, ini tentang Batu
Naran...”
Entah apa yang
diharapkan Dewi Fatimah, pasti bukan itu. Buku-buku yang dibawanya berjatuhan
dari tangannya, tetapi dia tidak memungutnya.
“Bagaimana kau tahu...?”
tanyanya gugup.
“Dewi, saya rasa, saya
tahu bahwa ada orang yang akan mencoba mencuri batu itu. Saya harus bicara
dengan Batara Giri.”
Dewi Fatimah menatapnya
dengan kaget bercampur curiga.
“Batara Giri akan
kembali besok,” katanya akhirnya. “Aku tak tahu bagaimana kalian sampai bisa
tahu tentang batu itu, tetapi tenanglah, tak seorang pun bisa mencurinya,
perlindungannya sangat ketat.”
“Tapi, Dewi...”
“Negara, aku tahu apa
yang kubicarakan,” katanya pendek.
Dia membungkuk dan
mengumpulkan buku-bukunya yang jatuh. “Kusarankan kalian semua kembali keluar
dan menikmati sinar matahari.”
Tetapi mereka tidak
melakukan itu.
“Pasti malam ini,” kata
Awan, begitu ia yakin Dewi Fatimah tak bisa mendengarnya. “Saka akan masuk
lewat pintu jebakan malam ini. Dia sudah berhasil mengetahui semua yang
diperlukannya dan dia berhasil menyingkirkan Batara Giri. Dialah yang mengirim
surat itu. Pasti Kementerian Ksatria akan kaget begitu Batara Giri muncul.”
“Tapi apa yang bisa
kita...”
Kirana terperangah. Awan
dan Man berbalik. Ada Saka.
“Selamat sore,” katanya
lancar.
Mereka terbelalak
memandangnya.
“Kalian seharusnya
tidak berada di dalam pada hari seindah ini,” katanya dengan senyum aneh.
“Kami baru...,” kata Awan
tanpa tahu apa yang akan dikatakannya.
“Kalian seharusnya
lebih hati-hati,” kata Saka. “Kasak-kusuk begini, orang-orang akan mengira
kalian hendak berbuat sesuatu. Dan riskan sekali bagi Jodhipati kalau
kehilangan angka lebih banyak lagi, kan?”
Wajah Awan memerah.
Mereka berbalik hendak keluar, tetapi Saka memanggil mereka kembali.
“Ingat, Negara, sekali
lagi berkeliaran di malam hari, aku sendiri yang akan memastikan kau dikeluarkan.
Selamat sore.”
Dia berjalan menuju
ruang guru. Menuruni undakan batu di luar, Awan menoleh kepada kedua temannya.
“Baik, ini yang akan
kita lakukan,” bisiknya tegang. “Salah satu dari kita harus memata-matai Saka,
tunggu di luar ruang guru dan ikuti dia kalau dia keluar. Kirana, sebaiknya kau
saja.”
“Kenapa aku?”
“Jelas kenapa,” kata
Man. “Kau bisa berpura-pura sedang menunggu Batara Flamboyan, kan.” Man
meninggikan suaranya.
“Oh, Batara Flamboyan,
saya cemas sekali, saya rasa jawaban saya untuk soal empat belas b salah...”
“Oh, diam kau,” kata
Kirana, tetapi dia setuju memata-matai Saka. “Dan kami lebih baik berjaga di
luar koridor lantai tiga,” kata Awan kepada Man. “Ayo.”
Tetapi bagian rencana
yang ini tidak bisa dilaksanakan. Baru saja mereka tiba di pintu yang
memisahkan Jaladara dari bagian lain sekolah, Dewi Fatimah muncul lagi, dan
kali ini dia marah sekali.
“Rupanya kalian pikir
kalian lebih susah ditembus daripada satu set mantra Ajian!” semburnya. “Cukup
omong kosong ini! Kalau kudengar kalian berada dekat-dekat sini lagi, aku akan
mengurangi lima puluh angka lagi dari Jodhipati! Ya, Yuda, dari Ksatrianku
sendiri!”
Awan dan Man kembali ke
ruang rekreasi. Awan baru saja berkata, “Paling tidak Kirana mengawasi Saka,”
ketika lukisan Dewi Cantik berayun terbuka dan Kirana masuk.
“Pangapunten, Awan!”
ratapnya. “Saka keluar dan bertanya aku
sedang apa, jadi kukatakan aku menunggu Batara Flamboyan, dan Saka masuk
memanggilkan dia. Terpaksa aku buru-buru menyingkir.
Aku tak tahu Saka ke
mana.”
“Apa boleh buat kalau
begitu, kan?” kata Awan. Kedua temannya menatapnya. Wajah Awan pucat dan
matanya berkilauan. “Aku akan ke sana malam ini dan aku akan berusaha
mendapatkan batu itu lebih dulu.”
“Kau gila!” kata Man.
“Jangan!” cegah Kirana.
“Setelah Dewi Fatimah dan Batara Saka mengancammu seperti itu? Kau akan
dikeluarkan!”
“JADI KENAPA?” teriak Awan.
“Tidak mengertikah kalian?
Jika Saka berhasil
mendapatkan batu itu, Nagasura akan kembali! Tidak pernahkah kalian dengar
bagaimana keadaannya ketika dia mencoba mengambil alih kekuasaan? Tak ada lagi
Saloka, jadi kita tak bisa dikeluarkan! Dia akan merobohkannya, atau
mengubahnya menjadi sekolah untuk Ksatrian Hitam! Kehilangan angka tidak
berarti lagi, tidakkah kalian paham? Apakah kalian pikir dia akan membiarkan
kalian dan keluarga kalian hidup tenang jika Jodhipati memenangkan Piala Ksatrian?
Kalau aku tertangkap sebelum mencapai tempat batu itu disimpan, yah, aku harus
kembali ke keluarga Raketi dan menunggu Nagasura menemukanku di sana. Itu cuma
berarti aku menunda kematian sebentar, karena aku tak mau menyeberang ke
Ksatria Hitam! Aku akan menembus pintu jebakan malam ini dan apa pun yang
kalian katakan, takkan bisa mencegahku! Nagasura membunuh orangtuaku, ingat?”
Ia mendelik menatap
mereka.
“Kau betul, Awan,” kata
Kirana pelan.
“Aku akan memakai Jubah
Gaib,” kata Awan. “Untunglah jubah itu
dikembalikan kepadaku.”
“Tapi apa jubah itu
bisa menyelubungi kita bertiga?” tanya Man.
“Ki-kita bertiga?”
“Oh, tentu, mana
mungkin kami membiarkanmu pergi sendiri?”
“Tentu saja tidak,”
kata Kirana tegas. “Kaupikir bagaimana kau bisa mencapai tempat batu tanpa
kami? Lebih baik aku mencari di
buku-bukuku, siapa tahu ada yang berguna...”
“Tetapi kalau kita
tertangkap, kalian berdua akan dikeluarkan juga.”
“Tidak, kalau bisa
kucegah,” kata Kirana muram. “Batara Flamboyan memberitahuku rahasia, bahwa aku
mendapat seratus dua belas persen dalam pelajarannya. Mereka tidak akan
mengeluarkanku dengan nilai setinggi itu.”
Sesudah makan malam mereka
bertiga duduk gelisah, memisahkan diri di ruang rekreasi. Tak ada yang
mengganggu mereka; toh tak seorang anak Jodhipati pun mau bicara lagi dengan Awan.
Malam ini pertama kalinya Awan tidak merasa sedih karenanya. Kirana membaca
sekilas semua catatannya, berharap menemukan salah satu Ksatrian yang akan
mereka coba punahkan. Awan dan Man tidak banyak bicara. Keduanya memikirkan apa
yang sebentar lagi akan mereka lakukan.
Perlahan ruangan
menjadi kosong ketika anak-anak satu demi satu pergi tidur.
“Lebih baik ambil
jubahnya sekarang,” gumam Man, ketika akhirnya Lee Jamang pergi sambil
menggeliat dan menguap. Awan berlari ke atas, ke kamar mereka yang gelap.
Ditariknya jubahnya dan kemudian terlihat olehnya seruling hadiah Tahun Baru
dari Permadi. Dikantonginya seruling itu untuk digunakan pada Jaladara, ia
sedang tak ingin menyanyi.
Awan berlari kembali ke
ruang rekreasi.
“Lebih baik kita pakai
jubahnya di sini, dan kita pastikan jubah ini menyelubungi kita bertiga, kalau Tiwul
melihat sepotong kaki kita berjalan sendiri...”
“Apa yang kalian
lakukan?” terdengar suara dari sudut ruangan. Norman muncul dari balik kursi,
memegangi Teror si katak, yang kelihatannya baru saja mencoba kabur.
“Tidak apa-apa, Norman,”
kata Awan cepat-cepat, menyembunyikan jubah di belakang punggungnya. Norman menatap wajah mereka yang bersalah.
“Kalian akan keluar
lagi,” komentarnya.
“Tidak, tidak, tidak,”
kata Kirana. “Kami tidak akan keluar. Kenapa kau tidak tidur saja, Norman?”
Awan memandang jam
besar yang berdiri dekat pintu. Mereka tak bisa lagi membuang-buang waktu. Mungkin sekarang Saka sedang main musik untuk
menidurkan Jaladara.
“Kalian tak boleh
keluar,” kata Norman, “kalian akan tertangkap lagi. Jodhipati akan lebih parah.”
“Kau tidak mengerti,”
kata Awan. “Ini penting.” Tetapi Norman jelas menguatkan diri untuk bertindak
nekat.
“Tak akan kubiarkan
kalian keluar,” katanya sambil bergegas berdiri di depan lubang lukisan. “Aku,
aku akan melawan kalian!”
“Norman,” Man meledak, “minggir
dari lubang itu dan jangan bego...”
“Jangan menyebutku
bego!” kata Norman. “Menurutku kalian tak boleh lagi melanggar peraturan! Dan
kalianlah yang menasihatiku agar berani melawan yang tidak benar!”
“Ya, tapi bukan
terhadap kami,” kata Man putus asa.
“Norman, kau tak tahu
apa yang kaulakukan.”
Man maju selangkah dan
Norman menjatuhkan Bala si katak yang langsung melompat lenyap dari pandangan.
“Ayo, kalau begitu,
coba pukul aku!” kata Norman, mengangkat tinjunya. “Aku siap!”
Awan menoleh kepada
Kirana.
“Lakukan sesuatu,”
katanya putus asa.
Kirana maju.
“Norman,” katanya, “aku
minta maaf, aku terpaksa berbuat begini.” Diangkatnya tongkatnya. “Ikat Slira!”
serunya, seraya menunjuk Norman. Lengan Norman mengatup ke sisi tubuhnya. Kedua
kakinya saling menempel. Seluruh tubuhnya menjadi kaku, dia terhuyung di
tempatnya berdiri dan kemudian jatuh terjerembap, kaku seperti papan. Kirana
berlari untuk menelentangkannya. Rahang Norman terkunci sehingga dia tidak bisa
bicara. Hanya matanya yang bergerak-gerak, memandang mereka dengan ngeri.
“Apa yang kaulakukan
kepadanya?” bisik Awan.
“Ajian Ikat Tubuh
Sempurna,” kata Kirana merana.
“Oh, Norman,
pengaputen, pengaputen.”
“Kami terpaksa, Norman,
tak ada waktu untuk menjelaskan,” kata Awan.
“Kau akan mengerti
nanti, Norman,” kata Man, ketika mereka melangkahinya dan memakai Jubah Gaib.
Tetapi meninggalkan
Norman yang tak bisa bergerak terbaring di lantai, rasanya bukan pertanda yang
baik. Dalam keadaan cemas, bagi mereka bayangan patung kelihatan seperti Tiwul,
semua desus angin di kejauhan terdengar seperti Bawor yang meluncur turun ke
arah mereka.
Di kaki tangga pertama
mereka melihat Nona mengendap-endap di dekat puncak tangga.
“Oh, ayo kita tendang
dia, kali ini saja,” bisik Man ke telinga Awan, tetapi Awan menggeleng. Ketika
mereka hati-hati naik melewatinya, Nona mengarahkan matanya yang seperti senter
kepada mereka, tetapi tidak berbuat apa-apa.
Mereka tidak bertemu
siapa-siapa lagi sampai tiba di tangga menuju ke lantai tiga. Bawor sedang
berada di tengah tangga, melepas karpetnya supaya orang yang lewat tersandung. “Siapa
itu?” katanya tiba-tiba ketika mereka naik ke arahnya.
Dia menyipitkan mata
hitamnya yang kejam. “Aku tahu kau di situ, meskipun aku tak bisa melihatmu.
Apakah kau hantu atau murid bandel?” Bawor melayang ke atas dan memandang
mereka. “Harus panggil Tiwul, harus, kalau ada makhluk tidak tampak
berkeliaran.”
Mendadak Awan mendapat
ide.
“Bawor,” katanya,
berbisik serak, “Bagong Berdarah punya alasan sendiri untuk tidak menampakkan
diri.”
Bawor nyaris jatuh dari
udara saking kagetnya.
Tapi dia berhasil
menguasai diri dan melayang kira-kira tiga puluh senti dari tangga.
“Maaf sekali, Yang
Berdarah, Tuan Bagong,” katanya menjilat. “Salahku, salahku, aku tidak
melihatmu, tentu saja tidak, kau tidak kelihatan, maafkan gurauan kecil Bawor,
Tuan.”
“Aku ada urusan di
sini, Bawor,” kata Awan serak. “Pergilah jauh-jauh dari tempat ini malam ini.”
“Baik, Tuan, aku akan
pergi,” kata Bawor, melayang naik lagi.
“Mudah-mudahan urusanmu
berjalan lancar, Tuan Bagong. Aku tidak akan mengganggumu.” Dan dia pun
melayang pergi.
“Brilian, Awan!” bisik
Man.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar