GADIS SOMBONG - Sastra Education

Breaking

Rabu, 12 Februari 2020

GADIS SOMBONG


Aku meluncur masuk ke dalam kamar. Badanku kali ini terasa letih dan payah. Membersihkan toilet menjadi hukumanku adalah hal terburuk dalam hidupku. Sepertinya ini terakhir kali aku membolos. Lain kali aku akan sekolah seperti biasa. Pertama bolos mendapat masalah apalagi kalau terus membolos pasti masalah menjadi makananku.
Merebahkan tubuh ditempat tidur memang menjadi pilihan untuk menghilangkan rasa letih. Aku masih mengenakan seragam sekolah. Bagian atas baju batik, bawahan ungu celana panjang menjadi pakaian khas SMP di wilayahku. Dimana itu? Pastinya Indonesialah!
Kalian pasti ingin tahu wajahku. Mungkin tubuhku memang agak jangkung dan langsing. Wajahku seperti wajah pada anak SMP pada umumnya. Tetapi lumayan sih untuk anak jaman milenial sekarang. Maksudku lumayan tampan.
Mungkin kalian perlu tahu namaku. Ali Manggala sebutanku. Biasa dipanggil Al. Aku berkulit kekuningan, rambutku hitam legam. Mataku seperti mata anak Indonesia pada umumnya.  Meskipun sering terpapar sinar matahari. Tubuhku selalu langsing tapi kuat, yang jelas bukan atlet; aku memiliki kemampuan koordinasi antara tangan dan mata untuk berolahraga. Kepalan tanganku lumayan kokoh untuk menghancurkan satu batu bata.
Aku bangkit dan meluncur ke kamar mandi untuk membersihkan diri setelah petualangan sehari. Aku memandang wajahku di cermin sambil merapikan rambutku yang lembab dan kusut.
Barangkali tipuan cahaya, tapi aku terlihat pucat, tidak sehat. Pertama kali aku merasakan ancaman begitu kuat pagi itu seakan menjadi mimpi malam bagiku.
Malam itu aku gelisah. Bayangan hitam dalam pikiran menggangguku. Seakan itu nyata bagiku. Malam itu terdengar sunyi. Kedua orang tuaku belum ada tanda kepulangan. Mereka berdua masih sibuk seperti biasa. Jadi aku masih meringkuk sendiri di rumah lumayan besar itu. ditemani dua asisten pembantu di kamar bawah.

Lelaki tua yang cepat menghilang itu menggangu pikiran dan jiwaku. Perkataannya tentang masjid Al Mutaqim selalu tergiang terus dalam telingga. Hingga tak terasa awal malam menjelang. Apalagi malam itu hujan cukup deras tetapi yang tak menyebabkan mataku tersapu malam. Aku hanya menatap langit rumah, menarik selimut itu menutupi kepala, kemudian menambahkan bantal-bantal. Hujan terus menderu dan angin yang menyapu atap tak lenyap juga dari kesadaranku.
Kegelisahan dan kecemasan adalah factor susahnya untuk memejamkan mata. Langit rumah nampak hitam, terlihat ancaman lelaki bercodet menjadi varian pandangan. Ketika aku membayangan pagi itu, seraya bulu kudukku kembali tegak. Rasanya kengerian dan ketakutan kembali menyelimutiku.
 Aku menarik selimutku erat-erat untuk menutupi mataku. Tetapi tetap saja hal itu tak membuat mata dan pikiran berubah. Bayangan itu makin dalam menghantui. Pikiranku dibawa melayang menyentuh dinding-dinding kecemasan. Rasanya memang aku tak bisa tidur.
Aku bangkit. Aku menghampil hpku. Kutancapkan earphone ke soket hp. Dua ear itu aku selipkan di kedua telingaku. Sebuah lagu aku putar. Lagu lama mungkin jarang diputar. Koes Plus, lagu yang terdengar enak dan lembut di telingaku.  Lamban laun mataku mulai merasakan kantuk.
Aku bangkit walau rasa kantuk menghambatku. Aku lepaskan kedua ear dari telingaku. Kuletakkan hpku. Aku berbaring kembali. Tapi lepas tengah malam barulah aku tertidur,
ketika hujan akhirnya berubah jadi gerimis.
Paginya hanya kabut tebal yang bisa kulihat dari jendela kamarku. Di sini kau tak pernah bisa melihat langit, seperti di kandang. Sarapan bersama kedua orang tuaku berlangsung hening. Ibuku mengolesi rotinya dengan selai strawbery nampak tegang dan serius. Bapakku yang menikmati sepotong kue sambil membuka document di hpnya terlihat serius dan tak terganggu. Gigitan kedua dari potongan rotinya, dikunyah dan ditelan.
“Bagaimana dengan sekolahmu?” tanyanya. “Apakah baik-baik saja?”
Aku mendadak syok. Belum pernah bapakku menanyakan hal itu padaku. Rasanya angin pagi seperti sahabat bagiku.
“Ada sedikit masalah!” kataku sepihak.   
“Masalah,” katanya mengulang. Wajahnya nampak tenang, tetapi tangannya nampak tegang membuka file di hpnya. Masalah apa? Apakah masalah serius?”
“Tak!” kataku. “Hanya bosan saja.”
“Bosan,” katanya. “Apa sekolah itu membuatmu bosan? Apa kau mau pindah sekolah?”
“Tak!” kataku. 
“Jadi kenapa kau bilang bosan?” tanyanya.
Belum sempat aku menjawab pertanyaanku. Hp bapakku berdering, dia meninggalkan meja makan dan menjauh. Dia berdiri di ruang tamu dan mengangkatnya. Wajahnya nampak tegang tetapi tiba-tiba berubah menjadi bahagia. Lalu dia kembali mendekatiku dan mencium dahiku. Dia menghampiri ibuku.
“Aku pergi dulu,” katanya. Tangan kanannya dicium ibuku. Kemudian dia melesat kencang menghampiri mobilnya dan meninggalkan rumahnya.
“Ada apa bapak, bu?” tanyaku. “Sepertinya dia nampak bahagia.”
Ibuku menatapku. Senyumannya memang terlihat manis. Memang manis ibuku lumayan cantik sih.
“Mungkin proyeknya gol,” kata ibu sepihak.
Dia menikmati sepotong roti lagi.
“Kau bilang tadi bosan,” kata ibu. “Jadi kenapa kau tak mau pindah?”
Ibu melanjutkan pertanyaan bapakku. Wajahnya nampak serius tetepi tenang menatapku.
“Aku hanya bercanda,” kataku. “Aku hanya ingin kalian memperhatikanku.”
“Oh!” kata ibuku. “Memang ibu dan bapak selama ini kurang memperhatikanmu.”
Wajahnya memang terlihat agak kesal.
Ketika hpnya berdering. Dia mencium dahi dan meninggalkanku sendiri di ruang makan.
“Jadi anak baik-baik,” katanya.
Rasanya mustahil berada di rumah ini, dan aku menyadari bahwa kedua orang tuaku selalu pergi meninggalkan sendiri. Itu membuatku tidak nyaman.
Aku tak mau terburu-buru ke sekolah, tapi aku tak bisa tinggal di rumah lebih lama lagi. Aku mengenakan jaketku— yang rasanya seperti pakaian antiradiasi—dan menerobos hujan.
Hujan masih gerimis, tapi tak sampai membuatku basah kuyup ketika mencoba keluar untuk mengamati keadaan. Rasanya memang agak dingin tetapi jaketku membalut hangat ditubuhku.  Aku kembali masuk.
“Mbok aku pergi dulu,” kataku berpamitan pada kedua asisten pembantuku. Mereka hanpir sebaya nenekkku. Wajah mereka nampak termakan usia. Terlihat kerutan tua di dahi mereka.
Aku menyambar tasku dikursi. Aku buru-buru keluar dari kabut lembab yang menyelubungi kepalaku dan hinggap di rambutku di balik tudung jaket.
Sepeda telah disiapkan di muka gerbang. Aku meluncur menaikinya. Aku kayuh sepeda itu dengan lincah dan cepat. Aku meluncur ke jalan aspal khusus untuk jalur sepeda. Beberapa meter dari dari arah sekolahku nampak Bronto menungguku.
“Hai bro,” sapaku.
Dia mengikutiku. Kami mengayuh secara bersamaan. Kecepatan kami memiliki rata-rata sama untuk menyamai laju. Aku dan Bronto memang memiliki tubuh langsing yang membedakan hanya tinggi saja. Aku lebih tinggi dari Bronto, mungkin hanya tiga centi.
“Hari kau tidak bolos, bukan!” katanya. “Aku tak ikut bila kamu bolos. Rasanya membolos membuatku ketakutan. Aku tak mau kejadian aneh seperti kemarin menjadi terulang.”
Wajahnya terlihat kecut ketika dia berbicara. Dia seperti menggigil takut. Tangannya agak gemetaran.
“Tentu,” kataku. “Semalam aku tak bisa tidur memikirkan kejadian pagi kemarin. Pertama kali membolos malah menciptakan ketakutan. Hal ini menjadi momok mimpiku.”
Aku menatap padanya sambil mengayuh sepedaku sejajar dengannya. Wajahku nampak kesal dan tegang.
“Sama,” katanya. “Aku tak bisa tidur semalam. Kejadian lelaki bercodet itu membuat malamku begitu menakutkan. Ditambah lelaki tua yang cepat menghilang. Itu seperti mimpi buruk bagiku.”
Belum lama berbincang. Papan besar bertuliskan sekolah kami terlihat jelas. Meluncur kencang, kami masuk ke gerbang parkir. Kami meletakkan sepeda disana. Kami segera meluncur ke gerbang sekolah. Pak Muh, tepat berdiri di depan pintu gerbang.
“Tak bolos,” sapanya.
“Tidak Pak!” kataku. “Kami sudah tak ingin mengulangi lagi. Membersihkan kamar mandi membuat tubuh kami letih dan payah.”
“Bagus tu,” katanya. “Sekarang kalian masuk! Beberapa menit lagi bel akan berbunyi.”
“Baik,” kataku. Kami bersalaman dan mencium tangan.
Kami melangkah santai meluncur ke ruang kelas. Aku menghela nafas untuk merasakan udara pagi. Di dalam keadaan cukup terang dan lebih hangat dari yang kuharap. Aku masuk ke dalam kelasku. Papan diatas tertulis kelas 2A.
Aku memang kelas dua SMP. Kalian kira aku kelas berapa. Kelas dua SMA. Pantas saja kalian berfikir tentang cinta remaja. Ini bukan kisah drama cinta melainkan ini hanya komedi bercanda.
Ruang kelasku hampir sama dengan yang lainnya. Kursi bermeja berbaris 4 setiap baris ada 6 kursi bermeja. Papan tulis putih dan hitam ada didepan. Mengantung layar proyektor diatsa langit kelas. Meja guru berada di sudut arah masuk pintu, berlapis kain batik menyilang.
Aku meluncur masuk ke bangku tepat berada di depan meja guru. Kurang lebih berjarak satu meter.
Aku lepaskan jaketku. Dan kuletakkan di dekat kursi. Bronto duduk disebelahku. Dia memandangku. Wajahnya masih tegang dan ragu sama ketika kami berangkat bersama. Matanya terlihat sayup penuh kecemasan.
“Bagaimana kau semalam?” tanyanya. “Apa kau bermimpi aneh semalam. Nyatanya aku tak bisa tidur semalam. Aku masih memikirkan kejadian pagi kemarin hingga sekarang. Hari itu memang menjadi mimpi semalam yang tak bisa kulupakan.”
“Tenang kawan,” kataku. “Aku mungkin sama denganmu, tetapi aku masih bisa tidur walau cuma sebentar sih.”
Aku menepuk bahunya. Aku memberikan sedikit sentuhan ketenangan.
“Bagaimana kau bisa tenang?” tanyanya. “Aku tak bisa melupakan seluruh kejadian itu. Aku tak tahu bila kejadian itu menjadi momok bagiku. Aku sungguh menyesal kemarin membolos bersamamu.”
“Aku juga menyesal,” kataku. “Tetapi apa kau tak penasaran dengan lelaki tua itu. Mengenai perkataannya tentang masjid Al Mutaqim. Hal itu tergiang dalam pikiran dan benakku.”
“Penasaran!” kata Bronto mengulang. Wajahnya terlihat kesal. Dia mengerutkan dahinya. “Aku malah ketakutan bukan penasaran memikirkan lelaki tua itu semalaman. Kau malah bilang penasaran.”
Dia terlihat jengkel. Matanya memandang sinis padaku.
Bel bunyi. Pelajaran bahasa Indonesia menjadi pembuka untuk hari kamis itu. Lelaki gempal dan jangkung masuk. Dia terlihat seperti buah tomat terlalu matang. Wajahnya begitu bundar. Tangannya sangat besar. Pak Darmawangsa sebutannya. Orang memanggil Pak Darma. Dia memang terlihat komedi tetapi bila salah sedikit kata-kata pedas terucap dari mulutnya.
Aku mungkin orang pintar, tetapi aku selalu memperhatikan pelajarannya. Bagiku dia adalah panutan. Walaupun kata-katanya pedas, tetapi itu bagiku motivasi. Maksud membuat semangat untuk belajar tinggi. Disusul pelajaran sejarah, memang memnyenang atau mungkin membosankan karena gurunya suka bercerita. Tetapi tentunya diakhir cerita dia memberikan kami tugas untuk merangkumnya. Nama guru sejarah kami adalah Pak Karna Wijaya. Panggilannya Pak Karna. Dia masih seumuran ayahku. Walaupun lebih tua dari ayahku sih. Tetapi dia begitu bersemangat mengajar kami tentang sejarah.
Ketika bel berbunyi, Aku dan Bronto meluncur ke kantin sekolah. Berada diujung kelas kelas satu kantin itu terlihat ramai. Kami melangkah santai. Tanpa sadar seorang gadis menabrakku. Aku hampir terjungkal jatuh. Untungnya Bronto berhasil menahanku. Aku mulai bangkit dan berdiri lagi. Sementara gadis itu tertahan di depanku. Kedua tangannya memegang pinggungnya sambil menatap kesal padaku. Wajahnya terlihat jengkel dan marah.
“Apa kau tak melihat?” tanyanya. “Dimana matamu?”
Aku mendadak syok. Ya salah siapa? pikirku, malah dia marahku.
 Matanya memberangas memandangku. Aku mungkin tak sanggup menatapnya. Tetapi aku hanya tersenyum padanya.
Dia malah semakin kesal menatapku. Tangannya makin kencang memegang pinggungnya.
“Jangan senyum-senyum saja,” gumannya. “Apa kau tak bisa bicara? Apa mulutmu bisu?”
Dia begitu pedas berkata membabi buta padaku. Nyatanya memang tak bisa bicara. Matanya merah padam seakan membungkam mulutmu.
“Salah siapa?” tanyanya Bronto. “Kau menabrak, kenapa kau malah marah-marah? Apa kau tak sadar bahwa kau tadi menabrak temanku.”
Bronto membalas kesal padanya. Gadis itu sepertinya membungkam. Tetapi dia merah padam. Matanya masih memberangas memandangku. Kemudian dia pergi meninggalkan kami.
“Siapa dia Bro?” tanyaku. “Bukankah dia anak baru itu. Siapa namanya aku lupa?”
“Dia memang anak baru itu,” kata Bronto. “Dia anak baru yang sok cantik itu. Aku saja malas memandangnya. Namanya Ara Malika. Biasa dipanggil Ara.”
“Memang dia cantik,” kataku. “Apa salah kalau dia cantik?”
“Cantiknya memang tak salah,” kata Bronto. “Tetapi sifat sombongnya itu bikin aku muak memperhatikannya.”
“Ah ya benar!” kataku. “Jangan-jangan kau naksir padanya.”
Aku agak sedikit menggodanya. Dia terlihat kesal menatapku. Tatapan begitu sinis memandangku.
“Jangan bercanda,” kata Bronto kesal. “Dia bukan tipeku. Aku lebih suka pada tipe gadis seperti Ami Maika.”
“Ami!” kataku terkejut. “Anak kelas 1A itu. Dia memang cantik. Bukankah dia sudah punya pacar.”
“Iya sih,” kata Bronto. “Ah! lebih baik kita jangan bahas, aku sudah lapar niih. Perutku hampir memburu usus-ususku.”
“Bisa saja kau mengeles,” kataku.
Kami segera meluncur ke kantin sekolah. Aku memesan dua mangkok mie ayam dua gelas the hangat. Sementara Bronto mencari meja kosong. Ketika dia menemukan meja kosong. Dia melambaikan tangan. Aku meluncur menghampirinya. Aku mula mendekat. Belum sempat duduk Bronto memburu pertanyaan.
“Bagaimana mas broo?” tanyanya. “Sudah pesan!”
Wajahnya nampak berbinar. Berbeda sekali waktu datang dan pelajaran.
“Siip,” jawabku.
Sambil menunggu pesan datang. Tanpa sadar aku melihat gadis yang menabrakku. Dia ada diseberang mejaku. Aku memutuskan untuk berpura-pura tidak tahu.  Sekali lagi aku mengintip, dan menyesalinya. Dia sedang menatapku, matanya yang hitam penuh rasa jijik. Ketika
aku mengalihkan pandang, menciut di kursiku, tiba-tiba pesan datang.
 “Siap,” kata Bronto. “Makanan datang. Lapar sekali aku.”
Bronto telah bersiap dengan sendok dan garpunya. Dia terlihat tidak sabar menyantap makanannya.
Mie ayam itu menghembuskan aroma nikmat ke hidungku. Rasanya aku terbius oleh aroma menawan rempah-rempah yang membakar hidungku. Kenikmatan mie ayam itu melupakan sesaat tentang gadis disampingku.
Aku menikmati mie ayam itu dengan santai dan tenang. Nikmatnya mie panjang menyedot seluruh perhatianku. Mie itu terasa lembut dan kenyal dimulutku. Rasanya gelombang laut menyapu seluruh tubuhku. Ketika terpuaskan aku menyambar the gelas dihadapan. Rasa lega dan puas menjadi penutupku.
Tanpa sadar aku mengamati gadis disampingku. Ara Malika begitu penasaran aku padanya.
Aku mendongak dan beradu pandang denganku, kali ini ekspresinya memancarkan rasa penasaran yang nyata. Ketika aku pelan-pelan mengalihkan pandangan, tampak olehku bahwa tatapannya mencerminkan semacam harapan yang tak terpuaskan.
“Ngapain lihat-lihat,” sambarnya. Dia bangkit dan berdiri dihadapanku. Tangannya memegang pinggul.
Mendadak aku syok. Wajahku nampak lesu. Aku kembali menunduk. Aku menggigit bibir untuk menyembunyikan senyumku.
“Senyum-senyum,” katanya kesal.
“Maaf!” kataku lirih.
“Dasar pencudang!” umpatnya. Dia memalingkan wajah, dan meninggalkan kantin. Nampak kesal diwajah malah nampak jelas kalau dia begitu cantik. Apalagi aku memperhatikan ketika dia meninggalkanku dia sangat anggun—bahkan yang bertubuh ramping dan tinggi seperti perawakan model.
Mungkin aku sedikit kecawa padanya. Dia malah mengumpatku. Dan lagi dia tak menolehku ketika aku perhatikan.
“Memang dia gadis sombong,” pikirku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar