Setelah itu, kepanasan,
basah kuyup, dan terengah kehabisan napas, mereka kembali ke depan perapian di
ruang rekreasi Jodhipati. Di tempat itu Awan pertama kali memainkan set catur
barunya dengan hasil kalah telak dari Man. Ia merasa tidak akan kalah separah
itu jika Sakri tidak mencoba membantunya terus-menerus.
Setelah acara minum teh
sore dengan sajian sandwich kalkun, kue-kue manis, dan kue tar Tahun Baru semua
merasa terlalu kenyang dan mengantuk untuk melakukan sesuatu sebelum tidur.
Jadi mereka duduk saja, menonton Sakri mengejar Sekutrem dan Palasara mengitari
Menara Jodhipati karena mereka telah mencuri lencana Pramugarinya.
Hari itu merupakan
Tahun Baru paling indah bagi Awan. Meskipun demikian, ada yang mengganggu pikirannya
sepanjang hari. Sebelum ia naik ke tempat tidurnya, ia tak bebas memikirkannya:
Jubah Gaib dan pengirimnya yang entah siapa.
Man, kekenyangan kalkun
dan kue tar dan tanpa ada hal misterius yang mengganggunya, langsung tertidur
begitu ia menarik kelambu tempat tidurnya. Awan membungkuk ke sisi tempat
tidurnya dan menarik keluar Jubah Gaib dari bawahnya.
Milik ayahnya... ini
dulu milik ayahnya. Dibiarkannya kain itu meluncur di tangannya, lebih halus
dari sutra, seringan udara. Gunakan baik-baik, begitu kata suratnya.
Ia haras mencoba jubah
ini sekarang. Ia turun dari tempat tidurnya dan menyampirkan jubah itu ke
tubuhnya. Memandang ke bawah ke kakinya, ia hanya melihat cahaya bulan dan
bayang-bayang.
Gunakan baik-baik.
Mendadak, kantuk Awan
lenyap. Seluruh Saloka terbuka untuknya
kalau ia memakai jubah ini. Ketegangan menyenangkan mengaliri tubuhnya saat ia
berdiri dalam kegelapan dan kesunyian. Ia bisa pergi ke mana pun dengan jubah
ini, ke mana pun, dan Tiwul tidak akan tahu.
Man mengigau dalam
tidurnya. Haruskah Awan membangunkannya? Ada yang menahannya jubah ayahnya ia
merasa bahwa kali ini... untuk pertama kalinya... ia ingin menggunakannya
sendiri.
Ia berjingkat
meninggalkan kamarnya, menuruni tangga, menyeberangi ruang rekreasi, dan
memanjat keluar dari lubang lukisan.
“Siapa itu?” lengking
si Dewi cantik. Awan tidak menjawab. Ia berjalan cepat-cepat sepanjang koridor.
Ke mana sebaiknya? Awan berhenti, jantungnya berdegup kencang, dan ia berpikir.
Dan ia mendapat ide. Seksi Terlarang di perpustakaan. Ia akan bisa membaca
selama ia mau, selama yang dibutuhkan untuk menemukan siapa Fora.
Ia ke perpustakaan,
menarik Jubah Gaibnya semakin rapat sementara ia melangkah. Perpustakaan gelap
gulita dan suasananya mengerikan. Awan menyalakan lampu agar bisa berjalan
sepanjang deretan rak-rak buku. Lampunya seperti melayang di udara, dan
meskipun Awan bisa merasakan tangannya memegangi lampu itu, pemandangan aneh
ini membuatnya ngeri. Seksi Terlarang terletak di bagian paling belakang.
Melangkah hati-hati melewati tali yang memisahkan buku-buku ini dari buku-buku
lainnya di perpustakaan, Awan mengangkat lampunya agar bisa membaca
judul-judulnya.
Judul-judul itu tidak
banyak membantunya. Huruf-huruf emasnya yang sudah mengelupas membentuk
kata-kata dalam bahasa yang tidak bisa dipahami Awan. Beberapa buku bahkan
tidak ada judulnya sama sekali. Satu buku bernoda gelap yang kelihatan mirip
sekali darah. Bulu kuduk Awan berdiri. Mungkin itu cuma perasaannya, mungkin
juga tidak, tetapi Awan merasa bisikan samar terdengar dari buku-buku itu,
seakan mereka tahu ada orang yang seharusnya tidak berada di situ.
Ia toh harus mulai.
Setelah meletakkan lampunya dengan hati-hati di lantai, ia mencari buku yang
tampilannya menarik di rak paling bawah. Sebuah buku besar hitam-perak menarik
perhatiannya. Ditariknya keluar dengan susah payah, karena buku itu sangat
berat. Awan meletakkannya di atas lututnya dan membukanya.
Jeritan melengking
membekukan darah memecah kesunyian buku itu menjerit! Awan cepat-cepat
menutupnya kembali, tetapi jeritan itu terus terdengar, jerit melengking
panjang yang memekakkan telinga.
Awan terhuyung ke
belakang dan menabrak lampunya, yang langsung padam. Panik mendengar
langkah-langkah kaki mendekat di koridor di luar dijejalkannya kembali buku
menjerit itu ke raknya, lalu ia lari. Ia berpapasan dengan Tiwul di dekat
pintu. Mata Tiwul yang pucat dan lebar memandang menembusnya dan Awan
menyelusup di bawah lengan Tiwul yang terentang dan berlari sepanjang koridor,
jeritan si buku masih melengking di telinganya.
Ia berhenti mendadak di
depan seperangkat baju zirah tinggi. Ia terlalu sibuk kabur dari perpustakaan,
sampai tidak memperhatikan arah larinya. Mungkin karena gelap, ia sama sekali
tidak mengenali keadaan sekelilingnya. Ada baju zirah di dekat dapur, ia tahu,
tetapi ia pasti berada lima lantai di atas dapur.
“Kau memintaku untuk
langsung menemuimu, Batara, jika ada yang berkeliaran di malam hari, dan baru
saja ada orang di perpustakaan Seksi Terlarang.”
Awan merasa wajahnya
memucat. Di mana pun ia saat itu, Tiwul pastilah tahu jalan pintas, karena
suaranya yang lembut dan lancar terdengar dekat, dan betapa kagetnya Awan,
karena ternyata Sakalah yang menjawab.
“Seksi Terlarang? Yah, mereka pasti belum jauh, kita akan
menangkap mereka.”
Awan terpaku di
tempatnya ketika Tiwul dan Saka muncul di sudut di depan. Mereka tak bisa
melihatnya, tentu, tetapi koridor itu sempit dan jika mereka lebih mendekat
lagi mereka akan menabraknya jubah itu tidak membuatnya menjadi tidak padat.
Ia mundur sepelan
mungkin. Ada pintu terbuka sedikit di sebelah kiri. Itu satu-satunya harapan. Ia
menyelinap masuk, menahan napas, berusaha tidak menyenggol pintu, dan betapa
leganya ketika ia berhasil masuk tanpa Saka dan Tiwul menyadarinya. Mereka
berjalan terus dan Awan bersandar ke dinding, menarik napas dalam-dalam,
mendengarkan langkah-langkah mereka yang semakin jauh. Nyaris saja, sangat
nyaris.
Baru beberapa detik kemudian
ia memperhatikan ruang tempatnya bersembunyi.
Kelihatannya itu ruang
kelas yang sudah tidak terpakai. Meja dan kursi bertumpuk di salah satu dinding,
juga tempat sampah terbuka, tetapi... bersandar pada dinding, menghadap ke
arahnya, ada sesuatu yang tampaknya tidak layak berada di situ, sesuatu yang
kelihatannya sengaja disembunyikan di situ.
Benda itu cermin luar
biasa, setinggi langit-langit, dengan bingkai emas terukir, berdiri di atas dua
cakar. Ada tulisan terukir di bagian atasnya: Batara Kresna Dwarawati.
Kepanikannya mulai
luntur setelah tak terdengar lagi suara Tiwul dan Saka. Awan bergerak mendekati
cermin itu, ingin memandang dirinya, tetapi tak melihat bayangan apa pun. Dia
melangkah sampai ke depan cermin.
Ia harus menutup
mulutnya dengan tangan untuk mencegahnya menjerit. Buru-buru ia membalik. Jantungnya berdegup jauh lebih kencang
daripada ketika buku tadi menjerit karena ia tak hanya melihat dirinya di
cermin... serombongan orang lain berdiri di belakangnya.
Tetapi ruangan itu
kosong. Dengan napas memburu, perlahan ia menoleh kembali ke cermin. Itu dia,
terpantul di cermin, pucat dan ketakutan, dan di sana, di belakangnya, ada paling
sedikit sepuluh orang lain. Awan menoleh lewat bahunya tetap saja tak ada
orang. Apakah mereka semua juga tidak tampak? Apakah sebetulnya ia berada di
ruangan penuh dengan orang-orang yang tidak tampak, dan keajaiban cermin itu
justru memperlihatkan semua orang itu, yang tampak maupun yang tidak? Kembali Awan
memandang cermin. Seorang wanita yang berdiri tepat di belakang bayangannya
tersenyum kepadanya dan melambaikan tangan. Awan mengulurkan tangan dan
merasakan udara kosong di belakangnya. Jika wanita itu benarbenar ada di sana, ia
akan bisa menyentuhnya, bayangan mereka sangat berdekatan, tetapi ia hanya
merasakan udara wanita itu dan yang lain hanya ada di dalam cermin.
Wanita itu sangat
cantik. Rambutnya hitam gelap dan matanya-matanya persis mataku, pikir Awan,
beringsut mendekat ke cermin. Hijau terang bentuknya persis sama, tetapi
kemudian Awan melihat wanita itu menangis; tersenyum tetapi pada saat
bersamaan, menangis. Laki-laki jangkung kurus berambut hitam di sebelahnya,
memeluknya. Laki-laki itu memakai Awanmata, dan rambutnya berantakan sekali.
Rambutnya mencuat di bagian belakang, persis seperti rambut Awan. Awan berada
dekat sekali dengan cermin sekarang sehingga hidungnya nyaris menyentuh hidung
bayangannya.
“Diajeng?” bisiknya. “Kanda?”
Mereka hanya
memandangnya, tersenyum. Dan perlahan-lahan Awan memandang wajah orang-orang
lain di dalam cermin, dan melihat mata-mata hijau lain seperti matanya, hidung
lain seperti hidungnya, bahkan seorang laki-laki tua kecil yang lututnya
menonjol seperti Awan. Awan sedang memandang keluarganya, untuk pertama kali
dalam hidupnya.
Keluarga Negara
tersenyum dan melambai dan Awan balik menatap mereka dengan tak puas-puasnya,
kedua tangannya menekan Awan, seakan ia berharap terjatuh ke dalamnya dan bergabung
dengan mereka. Hatinya terasa sakit, setengah bahagia, setengah berduka.
Berapa lama ia berdiri
di sana, ia tidak tahu. Bayangan orang-orang itu tidak menghilang dan Awan
memandang terus sampai suara di kejauhan membuatnya tersadar. Ia tak bisa terus
berada di sini, ia harus kembali ke Ksatriannya. Dengan amat enggan ia
berpaling dari wajah ibunya, berbisik, “Aku akan kembali,” dan bergegas
meninggalkan ruangan itu.
“Kau seharusnya
membangunkan aku,” kata Man marah.
“Kau boleh ikut malam
ini, aku akan ke sana lagi, aku ingin menunjukkan cermin itu kepadamu.”
“Aku ingin lihat ibu
dan ayahmu,” kata Man bersemangat.
“Dan aku ingin melihat
semua keluargamu, kau akan bisa menunjukkan dua kakakmu yang paling besar dan
keluargamu yang lain.”
“Kau bisa melihat
mereka kapan saja,” kata Man. “Ikutlah ke rumahku musim panas ini. Lagi pula,
mungkin cermin itu cuma menunjukkan orang-orang yang sudah meninggal. Sayang
sekali kau tidak menemukan Fora. Makan gudeg ayam ini, atau apalah Kenapa kau
tidak makan apa-apa?”
Awan tak bisa makan. Ia
sudah melihat orangtuanya dan akan melihat mereka lagi malam ini. Ia sudah
hampir melupakan Fora. Fora kelihatannya tak begitu penting lagi, Siapa yang
peduli apa yang dijaga macan berkepala tiga itu? Sebetulnya, peduli apa kalau
Saka mencurinya?
“Kau tak apa-apa?”
tanya Man. “Kau tampak aneh.”
Yang paling ditakuti Awan
adalah ia tak bisa lagi menemukan ruang cermin itu. Berselubung jubah, bersama
Man, mereka harus berjalan jauh lebih pelan pada malam berikutnya. Mereka
mencoba napak tilas rute Awan dari perpustakaan, berputar-putar di
lorong-lorong gelap selama hampir satu jam.
“Aku kedinginan,” kata
Man. “Ayo, kita lupakan saja dan balik
ke kamar.”
“Tidak!” desis Awan. “Aku
tahu ruang itu ada di sekitar sini.”
Mereka berpapasan
dengan hantu punakawan jangkung yang melayang ke arah berlawanan, tetapi tidak
bertemu siapa-siapa lagi. Tepat ketika Man mulai mengeluh kakinya beku
kedinginan, Awan melihat baju zirah itu.
“Itu ruangannya di sini
ya!” Mereka mendorong pintunya.
Awan menjatuhkan jubah
dari bahunya dan berlari ke cermin. Itu dia mereka. Ayah dan ibunya tersenyum
melihatnya.
“Lihat?” Awan berbisik.
“Aku tidak melihat
apa-apa.”
“Lihat! Lihat mereka
semua... kan banyak itu....”
“Aku cuma bisa
melihatmu.”
“Lihat baik-baik, sini,
berdiri di tempatku.” Awan minggir, tetapi dengan Man di depan cermin, ia tak
bisa lagi melihat keluarganya, hanya melihat Man yang memakai piama. Man, sebaliknya, terpaku menatap bayangannya.
“Lihat aku!” katanya. “Apakah kau bisa melihat semua keluargamu mengelilingimu?”
“Tidak... aku
sendirian... tetapi aku berbeda... aku kelihatan lebih tua... dan aku Ketua
Murid!”
“Apa?”
“Aku... aku memakai
lencana seperti yang dulu dipakai Mandra... dan aku memegang Piala Ksatrian
dan. Piala Braja... aku juga kapten Braja!” Man memalingkan wajah dari
pemandangan luar biasa ini untuk menatap Awan dengan bergairah.
“Apakah menurutmu
cermin ini memperlihatkan masa depan?”
“Mana bisa? Semua
keluargaku sudah meninggal coba aku lihat lagi....”
“Kau kan sudah puas
melihat semalam, beri aku kesempatan sedikit lagi.”
“Kau cuma memegang
Piala Braja, apa menariknya? Aku ingin melihat orangtuaku.”
“Jangan mendorongku...”
Mendadak terdengar suara di koridor, mengakhiri perdebatan mereka. Mereka tidak
sadar telah bicara keras-keras.
“Cepat!” Man
menyampirkan jubah ke tubuh mereka ketika mata berkilau Nona muncul dari balik
pintu. Man dan Awan berdiri diam-diam,
keduanya memikirkan hal yang sama apakah jubah ini berlaku untuk kucing
juga? Setelah rasanya lama sekali,
kucing iru berbalik dan pergi.
“Sudah tidak aman siapa
tahu dia menemui Tiwul. Pasti tadi dia mendengar kita. Ayo.” Dan Man menarik Awan
meninggalkan ruangan itu.
Hujan masih deras
keesokan harinya. “Mau main catur, Awan?”
tanya Man.
“Tidak.”
“Bagaimana kalau kita
mengunjungi Permadi?”
“Tidak... kau saja....”
“Aku tahu apa yang kau
pikirkan, Awan cermin itu. Jangan kembali ke sana malam ini.”
“Kenapa tidak?”
“Aku tak tahu, cuma
perasaanku tidak enak lagi pula, kau sudah nyaris ketahuan beberapa kali. Tiwul,
Saka, dan Nona berkeliaran. Memang mereka tidak bisa melihatmu. Tapi bagaimana
kalau mereka menabrakmu? Bagaimana kalau kau menabrak sesuatu?”
“Kau jadi seperti
Kirana.”
“Aku serius, Awan,
jangan pergi.”
Tapi Awan cuma
memikirkan satu hal saja, yaitu kembali ke depan cermin, dan Man tak bisa
menghalanginya. Malam ketiga ia menemukan kamar itu lebih cepat daripada
sebelumnya. Ia berjalan sangat cepat, ia
tahu itu tidak bijaksana, sebab ia membuat suara, tetapi ia tidak bertemu
siapa-siapa. Dan ayah dan ibunya tersenyum lagi kepadanya, dan salah satu
kakeknya mengangguk-angguk senang. Awan merosot duduk di depan cermin. Tak ada
yang bisa mencegahnya tinggal di sini semalam suntuk bersama keluarganya. Tak
ada. Kecuali...
“Wah... kembali lagi, Awan?”
Awan merasa seakan
organ-organ tubuhnya telah berubah jadi es. Ia menoleh ke belakang. Duduk di
salah satu meja dekat dinding, tak lain dan tak bukan adalah Giri Maulana. Awan
pastilah tadi melewatinya, begitu bersemangat ingin segera ke cermin sampai ia
tidak melihatnya.
“Saya... saya tidak
melihat Anda, kakek Batara.”
“Aneh, bagaimana 'tidak
kelihatan' membuatmu rabun,” kata Batara Giri, dan Awan lega melihatnya
tersenyum.
“Jadi,” kata Batara
Giri, turun dari meja untuk duduk di lantai bersama Awan,”kau, seperti beratus-ratus
orang lainnya sebelum kau, telah menemukan kesenangan yang bisa didapat dari
Cermin Pasean.”
“Saya tak tahu namanya
begitu, kakek batara.”
“Tapi kurasa sekarang
kau sudah menyadari apa yang dilakukan cermin itu?”
“Cermin itu... cermin
itu memperlihatkan keluarga saya...” “Dan memperlihatkan kepada Man dirinya
sebagai Ketua Murid.”
“Bagaimana Anda
tahu...?”
“Aku tak memerlukan
jubah agar bisa tidak kelihatan,” kata Batara Giri lembut. “Nah, sekarang,
bisakah kau pikirkan apa yang ditunjukkan Cermin Pasean kepada kita semua?”
Awan menggeleng.
“Biar kujelaskan. Orang
yang paling bahagia di dunia bisa menggunakan Cermin Pasean seperti cermin
biasa, yaitu, kalau dia memandang cermin itu dia hanya melihat dirinya seperti
apa adanya. Apakah ini membantu?”
Awan berpikir. Kemudian dia berkata perlahan, “Cermin itu
memperlihatkan kepada kita apa yang kita inginkan... apa saja yang kita
inginkan...”
“Ya dan tidak,” kata
Batara Giri pelan. “Cermin itu hanya menunjukkan hasrat hati kita yang paling
mendalam. Kau, yang tidak pernah kenal keluargamu, melihat mereka berdiri mengelilingimu.
Manyu Yuda yang selalu merasa minder dengan kesuksesan kakak-kakaknya, melihat
dirinya berdiri sendiri, menjadi yang terbaik di antara mereka. Bagaimanapun
juga, cermin ini tidak memberi kita baik pengetahuan maupun kebenaran. Banyak orang sudah tersia-sia di depan cermin
ini, terpesona oleh apa yang mereka lihat, atau jadi gila karenanya, karena tak
tahu apakah yang diperlihatkan cermin itu riil atau bahkan mungkin.
“Besok cermin ini akan
dipindahkan ke tempat baru, Awan dan aku memintamu agar tidak mencarinya lagi.
Jika suatu kali nanti kau kebetulan melihatnya lagi, kau sudah siap. Tak ada
gunanya memikirkan impian berlama-lama sampai lupa hidup, ingat itu. Nah,
sekarang bagaimana kalau kau pakai lagi jubah istimewa itu dan pergi tidur?”
Awan bangkit. “Kakek
Batara Giri? Boleh saya bertanya
sesuatu?”
“Jelas, kau baru saja
bertanya,” Batara Giri tersenyum.
“Tapi kau boleh tanya
satu hal lagi.”
“Apa yang Anda lihat
kalau Anda memandang cermin itu?”
“Aku? Aku melihat
diriku memakan gudeg ayam sepanjang hari.”
Awan melongo.
“Semua orang selalu
membutuhkan kaus kaki baru,” kata Batara Giri. “Semester sudah berlalu lagi dan
aku tak dapat kaus kaki sepasang pun. Orang-orang bersikeras memberiku buku.”
Baru ketika dia sudah
kembali di tempat tidurnya, terlintas di benak Awan bahwa kakek Batara mungkin
tidak sepenuhnya jujur. Tetapi, pikir Awan seraya mendorong Sana dari
bantalnya, pertanyaannya tadi cukup pribadi.
O00oo-dw-oo00O
Tidak ada komentar:
Posting Komentar