CERMIN PASEAN - Sastra Education

Breaking

Rabu, 19 Februari 2020

CERMIN PASEAN


Setelah itu, kepanasan, basah kuyup, dan terengah kehabisan napas, mereka kembali ke depan perapian di ruang rekreasi Jodhipati. Di tempat itu Awan pertama kali memainkan set catur barunya dengan hasil kalah telak dari Man. Ia merasa tidak akan kalah separah itu jika Sakri tidak mencoba membantunya terus-menerus.
Setelah acara minum teh sore dengan sajian sandwich kalkun, kue-kue manis, dan kue tar Tahun Baru semua merasa terlalu kenyang dan mengantuk untuk melakukan sesuatu sebelum tidur. Jadi mereka duduk saja, menonton Sakri mengejar Sekutrem dan Palasara mengitari Menara Jodhipati karena mereka telah mencuri lencana Pramugarinya.
Hari itu merupakan Tahun Baru paling indah bagi Awan. Meskipun demikian, ada yang mengganggu pikirannya sepanjang hari. Sebelum ia naik ke tempat tidurnya, ia tak bebas memikirkannya: Jubah Gaib dan pengirimnya yang entah siapa.
Man, kekenyangan kalkun dan kue tar dan tanpa ada hal misterius yang mengganggunya, langsung tertidur begitu ia menarik kelambu tempat tidurnya. Awan membungkuk ke sisi tempat tidurnya dan menarik keluar Jubah Gaib dari bawahnya.
Milik ayahnya... ini dulu milik ayahnya. Dibiarkannya kain itu meluncur di tangannya, lebih halus dari sutra, seringan udara. Gunakan baik-baik, begitu kata suratnya.
Ia haras mencoba jubah ini sekarang. Ia turun dari tempat tidurnya dan menyampirkan jubah itu ke tubuhnya. Memandang ke bawah ke kakinya, ia hanya melihat cahaya bulan dan bayang-bayang.

Gunakan baik-baik.
Mendadak, kantuk Awan lenyap.  Seluruh Saloka terbuka untuknya kalau ia memakai jubah ini. Ketegangan menyenangkan mengaliri tubuhnya saat ia berdiri dalam kegelapan dan kesunyian. Ia bisa pergi ke mana pun dengan jubah ini, ke mana pun, dan Tiwul tidak akan tahu.
Man mengigau dalam tidurnya. Haruskah Awan membangunkannya? Ada yang menahannya jubah ayahnya ia merasa bahwa kali ini... untuk pertama kalinya... ia ingin menggunakannya sendiri.
Ia berjingkat meninggalkan kamarnya, menuruni tangga, menyeberangi ruang rekreasi, dan memanjat keluar dari lubang lukisan.
“Siapa itu?” lengking si Dewi cantik. Awan tidak menjawab. Ia berjalan cepat-cepat sepanjang koridor. Ke mana sebaiknya? Awan berhenti, jantungnya berdegup kencang, dan ia berpikir. Dan ia mendapat ide. Seksi Terlarang di perpustakaan. Ia akan bisa membaca selama ia mau, selama yang dibutuhkan untuk menemukan siapa Fora.
Ia ke perpustakaan, menarik Jubah Gaibnya semakin rapat sementara ia melangkah. Perpustakaan gelap gulita dan suasananya mengerikan. Awan menyalakan lampu agar bisa berjalan sepanjang deretan rak-rak buku. Lampunya seperti melayang di udara, dan meskipun Awan bisa merasakan tangannya memegangi lampu itu, pemandangan aneh ini membuatnya ngeri. Seksi Terlarang terletak di bagian paling belakang. Melangkah hati-hati melewati tali yang memisahkan buku-buku ini dari buku-buku lainnya di perpustakaan, Awan mengangkat lampunya agar bisa membaca judul-judulnya.
Judul-judul itu tidak banyak membantunya. Huruf-huruf emasnya yang sudah mengelupas membentuk kata-kata dalam bahasa yang tidak bisa dipahami Awan. Beberapa buku bahkan tidak ada judulnya sama sekali. Satu buku bernoda gelap yang kelihatan mirip sekali darah. Bulu kuduk Awan berdiri. Mungkin itu cuma perasaannya, mungkin juga tidak, tetapi Awan merasa bisikan samar terdengar dari buku-buku itu, seakan mereka tahu ada orang yang seharusnya tidak berada di situ.
Ia toh harus mulai. Setelah meletakkan lampunya dengan hati-hati di lantai, ia mencari buku yang tampilannya menarik di rak paling bawah. Sebuah buku besar hitam-perak menarik perhatiannya. Ditariknya keluar dengan susah payah, karena buku itu sangat berat. Awan meletakkannya di atas lututnya dan membukanya.
Jeritan melengking membekukan darah memecah kesunyian buku itu menjerit! Awan cepat-cepat menutupnya kembali, tetapi jeritan itu terus terdengar, jerit melengking panjang yang memekakkan telinga.
Awan terhuyung ke belakang dan menabrak lampunya, yang langsung padam. Panik mendengar langkah-langkah kaki mendekat di koridor di luar dijejalkannya kembali buku menjerit itu ke raknya, lalu ia lari. Ia berpapasan dengan Tiwul di dekat pintu. Mata Tiwul yang pucat dan lebar memandang menembusnya dan Awan menyelusup di bawah lengan Tiwul yang terentang dan berlari sepanjang koridor, jeritan si buku masih melengking di telinganya.
Ia berhenti mendadak di depan seperangkat baju zirah tinggi. Ia terlalu sibuk kabur dari perpustakaan, sampai tidak memperhatikan arah larinya. Mungkin karena gelap, ia sama sekali tidak mengenali keadaan sekelilingnya. Ada baju zirah di dekat dapur, ia tahu, tetapi ia pasti berada lima lantai di atas dapur.
“Kau memintaku untuk langsung menemuimu, Batara, jika ada yang berkeliaran di malam hari, dan baru saja ada orang di perpustakaan Seksi Terlarang.”
Awan merasa wajahnya memucat. Di mana pun ia saat itu, Tiwul pastilah tahu jalan pintas, karena suaranya yang lembut dan lancar terdengar dekat, dan betapa kagetnya Awan, karena ternyata Sakalah yang menjawab.
“Seksi Terlarang?  Yah, mereka pasti belum jauh, kita akan menangkap mereka.”
Awan terpaku di tempatnya ketika Tiwul dan Saka muncul di sudut di depan. Mereka tak bisa melihatnya, tentu, tetapi koridor itu sempit dan jika mereka lebih mendekat lagi mereka akan menabraknya jubah itu tidak membuatnya menjadi tidak padat.
Ia mundur sepelan mungkin. Ada pintu terbuka sedikit di sebelah kiri. Itu satu-satunya harapan. Ia menyelinap masuk, menahan napas, berusaha tidak menyenggol pintu, dan betapa leganya ketika ia berhasil masuk tanpa Saka dan Tiwul menyadarinya. Mereka berjalan terus dan Awan bersandar ke dinding, menarik napas dalam-dalam, mendengarkan langkah-langkah mereka yang semakin jauh. Nyaris saja, sangat nyaris.
Baru beberapa detik kemudian ia memperhatikan ruang tempatnya bersembunyi.
Kelihatannya itu ruang kelas yang sudah tidak terpakai. Meja dan kursi bertumpuk di salah satu dinding, juga tempat sampah terbuka, tetapi... bersandar pada dinding, menghadap ke arahnya, ada sesuatu yang tampaknya tidak layak berada di situ, sesuatu yang kelihatannya sengaja disembunyikan di situ.
Benda itu cermin luar biasa, setinggi langit-langit, dengan bingkai emas terukir, berdiri di atas dua cakar. Ada tulisan terukir di bagian atasnya: Batara Kresna Dwarawati.
Kepanikannya mulai luntur setelah tak terdengar lagi suara Tiwul dan Saka. Awan bergerak mendekati cermin itu, ingin memandang dirinya, tetapi tak melihat bayangan apa pun. Dia melangkah sampai ke depan cermin.
Ia harus menutup mulutnya dengan tangan untuk mencegahnya menjerit. Buru-buru ia membalik.  Jantungnya berdegup jauh lebih kencang daripada ketika buku tadi menjerit karena ia tak hanya melihat dirinya di cermin... serombongan orang lain berdiri di belakangnya.
Tetapi ruangan itu kosong. Dengan napas memburu, perlahan ia menoleh kembali ke cermin. Itu dia, terpantul di cermin, pucat dan ketakutan, dan di sana, di belakangnya, ada paling sedikit sepuluh orang lain. Awan menoleh lewat bahunya tetap saja tak ada orang. Apakah mereka semua juga tidak tampak? Apakah sebetulnya ia berada di ruangan penuh dengan orang-orang yang tidak tampak, dan keajaiban cermin itu justru memperlihatkan semua orang itu, yang tampak maupun yang tidak? Kembali Awan memandang cermin. Seorang wanita yang berdiri tepat di belakang bayangannya tersenyum kepadanya dan melambaikan tangan. Awan mengulurkan tangan dan merasakan udara kosong di belakangnya. Jika wanita itu benarbenar ada di sana, ia akan bisa menyentuhnya, bayangan mereka sangat berdekatan, tetapi ia hanya merasakan udara wanita itu dan yang lain hanya ada di dalam cermin.
Wanita itu sangat cantik. Rambutnya hitam gelap dan matanya-matanya persis mataku, pikir Awan, beringsut mendekat ke cermin. Hijau terang bentuknya persis sama, tetapi kemudian Awan melihat wanita itu menangis; tersenyum tetapi pada saat bersamaan, menangis. Laki-laki jangkung kurus berambut hitam di sebelahnya, memeluknya. Laki-laki itu memakai Awanmata, dan rambutnya berantakan sekali. Rambutnya mencuat di bagian belakang, persis seperti rambut Awan. Awan berada dekat sekali dengan cermin sekarang sehingga hidungnya nyaris menyentuh hidung bayangannya.
“Diajeng?” bisiknya. “Kanda?”
Mereka hanya memandangnya, tersenyum. Dan perlahan-lahan Awan memandang wajah orang-orang lain di dalam cermin, dan melihat mata-mata hijau lain seperti matanya, hidung lain seperti hidungnya, bahkan seorang laki-laki tua kecil yang lututnya menonjol seperti Awan. Awan sedang memandang keluarganya, untuk pertama kali dalam hidupnya.
Keluarga Negara tersenyum dan melambai dan Awan balik menatap mereka dengan tak puas-puasnya, kedua tangannya menekan Awan, seakan ia berharap terjatuh ke dalamnya dan bergabung dengan mereka. Hatinya terasa sakit, setengah bahagia, setengah berduka.
Berapa lama ia berdiri di sana, ia tidak tahu. Bayangan orang-orang itu tidak menghilang dan Awan memandang terus sampai suara di kejauhan membuatnya tersadar. Ia tak bisa terus berada di sini, ia harus kembali ke Ksatriannya. Dengan amat enggan ia berpaling dari wajah ibunya, berbisik, “Aku akan kembali,” dan bergegas meninggalkan ruangan itu.
“Kau seharusnya membangunkan aku,” kata Man marah.
“Kau boleh ikut malam ini, aku akan ke sana lagi, aku ingin menunjukkan cermin itu kepadamu.”
“Aku ingin lihat ibu dan ayahmu,” kata Man bersemangat.
“Dan aku ingin melihat semua keluargamu, kau akan bisa menunjukkan dua kakakmu yang paling besar dan keluargamu yang lain.”
“Kau bisa melihat mereka kapan saja,” kata Man. “Ikutlah ke rumahku musim panas ini. Lagi pula, mungkin cermin itu cuma menunjukkan orang-orang yang sudah meninggal. Sayang sekali kau tidak menemukan Fora. Makan gudeg ayam ini, atau apalah Kenapa kau tidak makan apa-apa?”
Awan tak bisa makan. Ia sudah melihat orangtuanya dan akan melihat mereka lagi malam ini. Ia sudah hampir melupakan Fora. Fora kelihatannya tak begitu penting lagi, Siapa yang peduli apa yang dijaga macan berkepala tiga itu? Sebetulnya, peduli apa kalau Saka mencurinya?
“Kau tak apa-apa?” tanya Man. “Kau tampak aneh.”
Yang paling ditakuti Awan adalah ia tak bisa lagi menemukan ruang cermin itu. Berselubung jubah, bersama Man, mereka harus berjalan jauh lebih pelan pada malam berikutnya. Mereka mencoba napak tilas rute Awan dari perpustakaan, berputar-putar di lorong-lorong gelap selama hampir satu jam.
“Aku kedinginan,” kata Man.  “Ayo, kita lupakan saja dan balik ke kamar.”
“Tidak!” desis Awan. “Aku tahu ruang itu ada di sekitar sini.”
Mereka berpapasan dengan hantu punakawan jangkung yang melayang ke arah berlawanan, tetapi tidak bertemu siapa-siapa lagi. Tepat ketika Man mulai mengeluh kakinya beku kedinginan, Awan melihat baju zirah itu.
“Itu ruangannya di sini ya!” Mereka mendorong pintunya.
Awan menjatuhkan jubah dari bahunya dan berlari ke cermin. Itu dia mereka. Ayah dan ibunya tersenyum melihatnya.
“Lihat?” Awan berbisik.
“Aku tidak melihat apa-apa.”
“Lihat! Lihat mereka semua... kan banyak itu....”
“Aku cuma bisa melihatmu.”
“Lihat baik-baik, sini, berdiri di tempatku.” Awan minggir, tetapi dengan Man di depan cermin, ia tak bisa lagi melihat keluarganya, hanya melihat Man yang memakai piama.  Man, sebaliknya, terpaku menatap bayangannya. “Lihat aku!” katanya. “Apakah kau bisa melihat semua keluargamu mengelilingimu?”
“Tidak... aku sendirian... tetapi aku berbeda... aku kelihatan lebih tua... dan aku Ketua Murid!”
“Apa?”
“Aku... aku memakai lencana seperti yang dulu dipakai Mandra... dan aku memegang Piala Ksatrian dan. Piala Braja... aku juga kapten Braja!” Man memalingkan wajah dari pemandangan luar biasa ini untuk menatap Awan dengan bergairah.
“Apakah menurutmu cermin ini memperlihatkan masa depan?”
“Mana bisa? Semua keluargaku sudah meninggal coba aku lihat lagi....”
“Kau kan sudah puas melihat semalam, beri aku kesempatan sedikit lagi.”
“Kau cuma memegang Piala Braja, apa menariknya? Aku ingin melihat orangtuaku.”
“Jangan mendorongku...” Mendadak terdengar suara di koridor, mengakhiri perdebatan mereka. Mereka tidak sadar telah bicara keras-keras.
“Cepat!” Man menyampirkan jubah ke tubuh mereka ketika mata berkilau Nona muncul dari balik pintu.  Man dan Awan berdiri diam-diam, keduanya memikirkan hal yang sama apakah jubah ini berlaku untuk kucing juga?  Setelah rasanya lama sekali, kucing iru berbalik dan pergi.
“Sudah tidak aman siapa tahu dia menemui Tiwul. Pasti tadi dia mendengar kita. Ayo.” Dan Man menarik Awan meninggalkan ruangan itu.
Hujan masih deras keesokan harinya.  “Mau main catur, Awan?” tanya Man.
“Tidak.”
“Bagaimana kalau kita mengunjungi Permadi?”
“Tidak... kau saja....”
“Aku tahu apa yang kau pikirkan, Awan cermin itu. Jangan kembali ke sana malam ini.”
“Kenapa tidak?”
“Aku tak tahu, cuma perasaanku tidak enak lagi pula, kau sudah nyaris ketahuan beberapa kali. Tiwul, Saka, dan Nona berkeliaran. Memang mereka tidak bisa melihatmu. Tapi bagaimana kalau mereka menabrakmu? Bagaimana kalau kau menabrak sesuatu?”
“Kau jadi seperti Kirana.”
“Aku serius, Awan, jangan pergi.”
Tapi Awan cuma memikirkan satu hal saja, yaitu kembali ke depan cermin, dan Man tak bisa menghalanginya. Malam ketiga ia menemukan kamar itu lebih cepat daripada sebelumnya.  Ia berjalan sangat cepat, ia tahu itu tidak bijaksana, sebab ia membuat suara, tetapi ia tidak bertemu siapa-siapa. Dan ayah dan ibunya tersenyum lagi kepadanya, dan salah satu kakeknya mengangguk-angguk senang. Awan merosot duduk di depan cermin. Tak ada yang bisa mencegahnya tinggal di sini semalam suntuk bersama keluarganya. Tak ada. Kecuali...
“Wah... kembali lagi, Awan?”
Awan merasa seakan organ-organ tubuhnya telah berubah jadi es. Ia menoleh ke belakang. Duduk di salah satu meja dekat dinding, tak lain dan tak bukan adalah Giri Maulana. Awan pastilah tadi melewatinya, begitu bersemangat ingin segera ke cermin sampai ia tidak melihatnya.
“Saya... saya tidak melihat Anda, kakek Batara.”
“Aneh, bagaimana 'tidak kelihatan' membuatmu rabun,” kata Batara Giri, dan Awan lega melihatnya tersenyum.
“Jadi,” kata Batara Giri, turun dari meja untuk duduk di lantai bersama Awan,”kau, seperti beratus-ratus orang lainnya sebelum kau, telah menemukan kesenangan yang bisa didapat dari Cermin Pasean.”
“Saya tak tahu namanya begitu, kakek batara.”
“Tapi kurasa sekarang kau sudah menyadari apa yang dilakukan cermin itu?”
“Cermin itu... cermin itu memperlihatkan keluarga saya...” “Dan memperlihatkan kepada Man dirinya sebagai Ketua Murid.”
“Bagaimana Anda tahu...?”
“Aku tak memerlukan jubah agar bisa tidak kelihatan,” kata Batara Giri lembut. “Nah, sekarang, bisakah kau pikirkan apa yang ditunjukkan Cermin Pasean kepada kita semua?”
Awan menggeleng.
“Biar kujelaskan. Orang yang paling bahagia di dunia bisa menggunakan Cermin Pasean seperti cermin biasa, yaitu, kalau dia memandang cermin itu dia hanya melihat dirinya seperti apa adanya. Apakah ini membantu?”
Awan berpikir.  Kemudian dia berkata perlahan, “Cermin itu memperlihatkan kepada kita apa yang kita inginkan... apa saja yang kita inginkan...”
“Ya dan tidak,” kata Batara Giri pelan. “Cermin itu hanya menunjukkan hasrat hati kita yang paling mendalam. Kau, yang tidak pernah kenal keluargamu, melihat mereka berdiri mengelilingimu. Manyu Yuda yang selalu merasa minder dengan kesuksesan kakak-kakaknya, melihat dirinya berdiri sendiri, menjadi yang terbaik di antara mereka. Bagaimanapun juga, cermin ini tidak memberi kita baik pengetahuan maupun kebenaran.  Banyak orang sudah tersia-sia di depan cermin ini, terpesona oleh apa yang mereka lihat, atau jadi gila karenanya, karena tak tahu apakah yang diperlihatkan cermin itu riil atau bahkan mungkin.
“Besok cermin ini akan dipindahkan ke tempat baru, Awan dan aku memintamu agar tidak mencarinya lagi. Jika suatu kali nanti kau kebetulan melihatnya lagi, kau sudah siap. Tak ada gunanya memikirkan impian berlama-lama sampai lupa hidup, ingat itu. Nah, sekarang bagaimana kalau kau pakai lagi jubah istimewa itu dan pergi tidur?”
Awan bangkit. “Kakek Batara Giri?  Boleh saya bertanya sesuatu?”
“Jelas, kau baru saja bertanya,” Batara Giri tersenyum.
“Tapi kau boleh tanya satu hal lagi.”
“Apa yang Anda lihat kalau Anda memandang cermin itu?”
“Aku? Aku melihat diriku memakan gudeg ayam sepanjang hari.”
Awan melongo.
“Semua orang selalu membutuhkan kaus kaki baru,” kata Batara Giri. “Semester sudah berlalu lagi dan aku tak dapat kaus kaki sepasang pun. Orang-orang bersikeras memberiku buku.”
Baru ketika dia sudah kembali di tempat tidurnya, terlintas di benak Awan bahwa kakek Batara mungkin tidak sepenuhnya jujur. Tetapi, pikir Awan seraya mendorong Sana dari bantalnya, pertanyaannya tadi cukup pribadi.
O00oo-dw-oo00O

Tidak ada komentar:

Posting Komentar