Keadaan akan lebih
buruk lagi dengan apa yang terjadi.
Tiwul membawa mereka ke
ruang Dewi Fatimah di lantai pertama. Di situ mereka duduk dan menunggu tanpa
saling bicara. Kirana gemetar. Alasan, alibi, dan cerita bohong berkejaran di
benak Awan, masing-masing lebih lemah dari yang sebelumnya. Ia tak tahu
bagaimana mereka bisa menghindari hukuman kali ini. Mereka sudah tersudut.
Bagaimana mungkin
mereka bisa begitu bodoh meninggalkan Jubah Gaib? Tak ada alasan di dunia ini yang bisa membuat
Dewi Fatimah menerima kenapa mereka tidak tidur dan malah berkeliaran di
sekolah pada tengah malam, apalagi berada di menara Astronomi yang paling
tinggi, yang dilarang didatangi kecuali untuk pelajaran. Tambahkan kisah
tentang Nabha dan Jubah Gaib, maka mereka sama saja dengan sudah mengepak
koper, siap cabut dari Ksatrian.
Apakah Awan berpikir
bahwa keadaan tak bisa lebih buruk dari ini? Ia keliru. Ketika Dewi Fatimah
muncul, dia membawa Norman.
“Awan!” Norman memekik
begitu melihat Awan dan Kirana. “Aku tadi mencari-carimu untuk memperingatkan.
Kudengar Bronto akan menangkap basah kau, dia bilang kau punya nag...”
Awan menggelengkan
kepala kuat-kuat menyuruh Norman diam, tetapi Dewi Fatimah sudah melihat. Dia
kelihatan lebih siap menyemburkan napas api daripada Nabha ketika dia berdiri
menjulang di depan mereka bertiga.
“Aku tadinya tak
percaya kalian berbuat begini. Tiwul mengatakan kalian berada di menara
Astronomi. Ini pukul satu pagi. Jelaskan!”
Ini pertama kalinya
Kirana tidak bisa menjawab pertanyaan guru. Dia menunduk menatap sandalnya,
diam bagai patung.
“Kurasa aku bisa
menduga yang terjadi,” kata Dewi Fatimah. “Tidak perlu seorang jenius untuk
memecahkan ini. Kalian membualkan cerita
bohong tentang naga kepada Alas Bronto supaya dia meninggalkan tempat tidur dan
dihukum. Aku sudah menangkapnya. Kurasa kalian menganggap lucu bahwa Layana
telah mendengar cerita itu dan mempercayainya?”
Awan memberi isyarat
kepada Norman dengan matanya, mencoba memberitahunya tanpa kata bahwa ini tidak
benar, karena Norman kelihatan kaget dan tersinggung. Kasihan Norman, Awan tahu betul betapa
beratnya bagi Norman mencaricarinya dalam gelap untuk memperingatkannya.
“Aku marah sekali,”
kata Dewi Fatimah. “Empat anak meninggalkan tempat tidur dalam satu malam!
Belum pernah ada kejadian semacam ini! Kau, Bara, kukira kau lebih cerdik.
Sedangkan kau, Negara, kukira Jodhipati jauh lebih berarti bagimu daripada
semua ini. Kalian bertiga akan menerima penalty, ya, kau juga, Norman, tak ada
yang membuatmu punya hak berkeliaran di sekolah di malam hari, terutama hari-hari
ini, berbahaya sekali. Lima puluh angka akan dipotong dari Jodhipati.”
“Lima puluh?” Awan
kaget mereka tak lagi akan memimpin sia-sialah hasil kemenangannya dalam
pertandingan Braja yang terakhir.
“Masing-masing lima
puluh,” kata Dewi Fatimah, bernapas berat lewat hidungnya yang panjang runcing.
“Dewi, tolong...” “Anda
tak bisa...”
“Jangan mengajari aku
apa yang aku bisa atau tak bisa lakukan, Awan.
Sekarang semua kembali ke tempat tidur. Belum pernah aku dipermalukan
seperti ini oleh anak-anak Jodhipati.”
Seratus lima puluh
angka hilang begitu saja. Membuat Jodhipati berada di posisi paling bawah.
Dalam semalam mereka telah menghancurkan semua kesempatan yang dimiliki Jodhipati
untuk memenangkan Piala Ksatrian. Awan merasa terpukul sekali. Bagaimana mereka
bisa menebus semua ini?
Sepanjang malam Awan tidak
tidur. Selama berjam-jam ia bisa mendengar Norman yang terisak-isak di
bantalnya. Awan tak bisa memikirkan sesuatu untuk menghiburnya. Ia tahu Norman,
seperti halnya dirinya, takut akan datangnya pagi. Apa yang akan terjadi kalau
anak-anak Jodhipati lainnya tahu apa yang telah mereka lakukan?
Mulanya anak-anak Jodhipati,
yang melewati jam kaca raksasa yang menampilkan angka masing-masing Ksatrian
keesokan harinya, mengira ada kekeliruan. Bagaimana mungkin angka mereka
mendadak susut seratus lima puluh dari hari sebelumnya? Kemudian cerita mulai
menyebar: Awan Negara,
Awan Negara yang
terkenal, pahlawan Braja mereka, dialah yang membuat mereka kehilangan seratus
lima puluh angka, Awan Negara dan dua anak bego kelas satu lainnya. Dari anak
yang paling populer dan paling dikagumi di sekolah, Awan mendadak menjadi anak
yang paling dibenci.
Bahkan anak-anak
Plangkawati dan Pringgodani ikut-ikutan menyerangnya, karena semua anak telah
menunggu-nunggu Madukara kehilangan Piala Ksatrian. Ke mana pun Awan pergi,
anak-anak menunjuk-nunjuk dan tidak bersusah-susah memelankan suara kalau
memakinya. Anak-anak Madukara, sebaliknya, menyorakinya kalau Awan melewati
mereka, bersuit-suit dan berteriak-teriak, “Terima kasih, Negara. Kami utang
budi!”
Hanya Man yang
menghiburnya.
“Mereka akan melupakan
semua ini beberapa minggu lagi. Sekutrem dan Palasara telah kehilangan banyak
angka selama mereka di sini, dan anak-anak masih menyukai mereka.”
“Tapi mereka belum
pernah kehilangan seratus lima puluh angka sekaligus, kan?” kata Awan merana.
“Yah belum,” Man
mengakui.
Sudah agak terlambat
untuk memperbaiki kerusakan yang telah terjadi, tetapi Awan berjanji kepada
dirinya sendiri mulai sekarang tidak akan lagi mencampuri hal-hal yang bukan
urusannya. Ia sudah muak dengan mengendap-endap dan memata-matai. Ia merasa
malu sekali dengan dirinya sendiri sehingga dia menemui Widi dan minta
mengundurkan diri dari tim Braja.
“Mengundurkan diri?”
gelegar Widi. “Apa faedahnya?
Bagaimana kita akan
merebut kembali angka-angka itu kalau kita tidak memenangkan pertandingan
Braja?” Bahkan Braja sudah tak lagi menyenangkan. Anggota tim lainnya tak mau
bicara dengan Awan selama latihan, dan kalau mereka harus bicara tentang Awan,
mereka menyebutnya si “Wulung”.
Kirana dan Norman juga
menderita. Yang mereka alami tidak seburuk Awan karena mereka tidak sepopuler ia,
tetapi tak seorang pun mau bicara dengan mereka juga. Kirana sudah berhenti
menonjolkan dirinya di kelas, dia terus menundukkan kepala dan bekerja dalam
diam.
Awan nyaris senang
ujian tak lama lagi. Kesibukan belajar membuatnya sejenak melupakan
kesedihannya. Ia, Man, dan Kirana belajar terpisah dari teman-teman lainnya,
belajar sampai larut malam, mencoba mengingat-ingat bahan-bahan untuk ramuan
yang rumit, menghafalkan mantra-mantra, menghafal tanggal-tanggal penemuan Ajian
dan pemberontakan Detya....
Kemudian, kira-kira
seminggu sebelum ujian dimulai, keputusan baru Awan untuk tidak mencampuri
hal-hal yang bukan urusannya, di luar dugaan mendapat ujian. Ketika pulang dari
perpustakaan sendirian pada suatu sore, ia mendengar ada yang merintih di ruang
kelas di atasnya. Ketika mendekat,
Awan mendengar suara
Somad.
“Jangan! Jangan! Tolong
jangan lagi...” Kedengarannya ada yang sedang mengancamnya. Awan bergerak
semakin dekat.
“Baiklah baiklah...,”
didengarnya Somad mengisak.
Detik berikutnya, Somad
bergegas meninggalkan kelas seraya meluruskan turbannya. Wajahnya pucat dan
tampaknya dia hampir menangis. Somad bahkan tidak melihat Awan. Awan menunggu
sampai bunyi langkah-langkah Somad menghilang, kemudian mengintip ke dalam kelas.
Kosong, tapi ada pintu yang terbuka sedikit di ujung satunya. Awan sudah separo
jalan menuju pintu itu ketika ia ingat janjinya kepada diri sendiri untuk tidak
ikut campur urusan orang lain.
Meskipun demikian, ia
bersedia mempertaruhkan dua belas Batu Naran bahwa Saka baru saja meninggalkan
ruangan, dan dari apa yang baru didengarnya, Saka pastilah berjalan dengan
langkah ringan agaknya Somad akhirnya menyerah.
Awan kembali ke
perpustakaan. Kirana sedang membantu Man belajar Astronomi dengan mengajukan
berbagai pertanyaan. Awan memberitahu mereka apa yang baru saja didengarnya.
“Saka berhasil, kalau
begitu!” kata Man. “Kalau Somad sudah memberitahu bagaimana memunahkan Mantra
Anti-Ajian Hitamnya...”
“Tapi masih ada
Jaladara,” kata Kirana.
“Mungkin Saka sudah
tahu bagaimana cara melewati Jaladara tanpa bertanya pada Permadi,” kata Man,
memandang ribuan buku yang mengelilingi mereka. “Berani taruhan, di salah satu
buku di sini pasti tertulis bagaimana cara melewati macan berkepala tiga. Jadi,
apa yang kita lakukan, Awan?”
Kilat petualangan
bersinar lagi di mata Man. Tetapi Kirana menjawab sebelum Awan sempat buka
mulut.
“Pergi ke Kakek Batara
Giri. Itu seharusnya sudah kita lakukan sejak dulu. Kalau kita mencoba
bertindak sendiri, jelas kita akan dikeluarkan.”
“Tapi kita tak punya
bukti!” kata Awan.
“Somad terlalu takut
untuk mendukung kita. Saka tinggal bilang dia tak tahu bagaimana denawa bisa
masuk pada malam pesta dan bahwa dia tak berada dekat-dekat lantai tiga.
Menurut kalian, siapa yang akan dipercaya, dia atau kita? Kan bukan rahasia
kita membencinya. Batara Giri akan mengira kita mengarang-ngarang supaya Saka
dipecat. Tiwul jelas tidak akan mau membantu kita. Dia sahabat dekat Saka, dan
menurut pendapatnya semakin banyak murid yang dikeluarkan, semakin baik. Dan
jangan lupa, kita sebetulnya tidak boleh tahu tentang batu itu ataupun
Jaladara. Itu bakal perlu penjelasan panjang.”
Kirana kelihatannya
bisa diyakinkan, tetapi Man tidak.
“Kalau kita menyelidiki
sedikit...”
“Tidak,” kata Awan datar,
“kita sudah terlalu banyak menyelidiki dan ikut campur.”
Awan menarik peta
Jupiter ke arahnya dan mulai menghafal nama bulan-bulannya. \
Keesokan paginya,
sepucuk surat dijatuhkan di meja sarapan untuk Awan, Kirana, dan Norman. Isinya
semua sama:
Penaltimu akan
berlangsung pukul sebelas malam ini. Temui Tiwul di Aula Depan.
Dewi Fatimah
Dalam kehebohan
gara-gara begitu banyak angka yang dipotong dari Jodhipati, Awan sudah lupa
mereka masih harus menjalani penalti. Ia mengira Kirana akan mengeluh karena
mereka akan kehilangan waktu belajar semalam, tetapi Kirana diam saja. Seperti Awan
dia merasa mereka pantas mendapat hukuman itu.
Pukul sebelas malam itu
mereka mengucapkan selamat tinggal kepada Man di ruang rekreasi dan pergi ke
Aula Depan bersama Norman. Tiwul sudah ada begitu pula Bronto. Awan juga sudah
lupa bahwa Bronto pun mendapat penalti.
“Ikut aku,” kata Tiwul
seraya menyalakan lampu dan mengajak mereka keluar. “Taruhan, setelah ini
kalian pasti berpikir dua kali dulu sebelum melanggar peraturan sekolah, eh?”
Dia menyeringai kepada mereka.
“Oh ya... kerja keras dan penderitaan adalah
guru yang paling baik, kalau kalian tanya padaku... sayangnya mereka tidak
memakai lagi cara hukuman yang dulu... menggantung kalian pada pergelangan
tangan dari atap selama beberapa hari, rantainya masih ada di kamarku,
kuminyaki terus, siapa tahu suatu kali diperlukan lagi... Baik, ayo kita berangkat, dan jangan
coba-coba kabur, makin parah lagi nanti bagi kalian.”
Mereka menyeberangi
lapangan gelap. Norman terus terisak. Awan bertanya-tanya hukuman apa yang akan
dijatuhkan kepada mereka. Pasti sesuatu yang mengerikan, kalau tidak Tiwul
tidak akan sesenang ini.
Bulan bersinar terang,
tetapi awan-awan yang melintasinya berkali-kali membuat mereka berjalan dalam
kegelapan. Di depan, Awan bisa melihat jendela-jendela pondok Permadi yang
menyala. Kemudian dari kejauhan mereka mendengar suara.
“Kaukah itu, Tiwul?
Cepat, aku mau mulai.”
Semangat Awan bangkit.
Jika ada Permadi, keadaan tidak terlalu buruk. Kelegaannya pastilah tampak di
wajahnya, karena Tiwul berkata, “Rupanya kau mengira kau akan bersenang-senang
bersama orang kasar itu, ya? Pikir lagi,
Nak kalian akan dibawa ke Hutan dan aku keliru sekali kalau mengira kalian
semua berhasil keluar utuh nanti.”
Mendengar ini, Norman
merintih dan Bronto berhenti berjalan.
“Hutan?” dia mengulang,
dan suaranya tidak sesombong biasanya.
“Kita tidak boleh ke
sana di malam hari ada macam-macam di sana manusia serigala, kudengar.”
Norman mencengkeram
lengan jubah Awan dan mengeluarkan suara tersedak.
“Salah kalian sendiri,
kan?” kata Tiwul, suaranya serak saking senangnya. “Mestinya ingat soal manusia
serigala itu sebelum melanggar peraturan, ya, kan?”
Permadi berjalan ke arah
mereka dari kegelapan, Rudra membuntutinya. Dia membawa busur besarnya, dan
sekantong anak panah tergantung di bahunya.
“Sudah waktunya,”
katanya. “Aku sudah tunggu setengah jam. Baik-baik saja, Awan, Kirana?”
“Jangan terlalu ramah
pada mereka, Permadi,” kata Tiwul dingin, “mereka kan akan dihukum.”
“Itu sebabnya kau
telat, kan?” kata Permadi kepada Tiwul, dahinya berkerut. “Tadi kaumarahi mereka, ya? Bukan kewajibanmu. Tugasmu sudah selesai.
Biar kuambil alih sekarang.”
“Aku akan kembali besok
pagi,” kata Tiwul, “untuk mengambil entah apa yang tersisa dari mereka,” dia
menambahkan dengan menyebalkan, sebelum akhirnya berbalik dan berjalan kembali
ke kastil, lampunya terayun-ayun dalam gelap.
Bronto sekarang menoleh
kepada Permadi. “Aku tak mau masuk Hutan itu,” katanya, dan Awan senang
mendengar nada panik dalam suaranya.
“Harus, kalau kau mau
tetap di Saloka,” kata Permadi galak. “Kau sudah lakukan kesalahan dan sekarang
harus bayar.”
“Tapi ini untuk kelas
pelayan, bukan untuk pelajar. Kukira kami akan disuruh menulis atau yang
semacamnya. Kalau ayahku tahu aku
dihukum begini, dia akan...”
“... bilang padamu memang begitulah di Saloka,”
geram Permadi. “Menulis! Apa gunanya? Kau akan lakukan sesuatu yang berguna,
kalau tidak mau, keluar saja. Kalau kaupikir ayahmu lebih suka kau dikeluarkan,
ya balik saja ke kastil dan pak kopermu. Ayo!”
Bronto tidak bergerak.
Dia memandang Permadi dengan marah, tetapi kemudian menunduk.
“Baiklah,” kata
Permadi. “Sekarang dengar baik-baik, karena apa yang akan kita lakukan malam
ini berbahaya dan aku tak mau ada yang ambil risiko. Ikut aku ke sini dulu.”
Dia membawa mereka
sampai ke tepi Hutan. Seraya mengangkat lampunya tinggi-tinggi, dia menunjuk
jalan tanah setapak yang sempit dan berkelok-kelok yang menghilang di antara
pepohonan besar-besar dan gelap. Angin sepoi menerbangkan rambut mereka ketika
mereka memandang ke dalam Hutan.
“Lihat di sana,” kata
Permadi, “lihat yang berkilau di tanah itu? Yang keperakan? Itu darah unicorn.
Di dalam ada unicorn yang luka parah digigit entah apa. Ini kedua kalinya dalam
seminggu. Aku temukan satu unicorn mati Rabu lalu. Kita akan cari makhluk
malang itu. Mungkin kita harus bebaskan dia dari penderitaannya.”
“Dan bagaimana kalau
entah apa yang menggigit unicorn itu lebih dulu menemukan kita?” kata Bronto,
tak sanggup menyembunyikan ketakutan dari suaranya.
“Tak ada satu pun di
Hutan yang akan melukaimu kalau kau bersamaku atau Rudra,” kata Permadi. ''Dan
ikuti jalan ini. Baik, sekarang kita bagi menjadi dua rombongan dan kita ikuti
jejak ke dua arah yang berlainan. Ada bercak darah di mana-mana, paling tidak
si unicorn sudah berkeliaran kesakitan sejak semalam.”
“Aku mau bersama Rudra,”
kata Bronto cepat-cepat, seraya memandang gigi Rudra yang panjang-panjang.
“Baiklah, tapi
kuingatkan kau, dia pengecut,” kata Permadi.
“Jadi aku, Awan dan
Kirana akan ke satu arah, sedangkan Alas, Norman, dan Rudra ke arah lain. Nah,
kalau salah satu dari kita temukan unicorn itu, kita kirim bunga api hijau,
oke? Keluarkan tongkat kalian dan berlatihlah sekarang bagus dan kalau ada yang
dapat kesulitan, kirim bunga api merah, dan kami semua akan datang cari kalian
jadi, hati-hatilah! ayo berangkat.”
Hutan gelap dan sunyi.
Tak lama kemudian jalan tanah itu bercabang. Awan, Kirana, dan Permadi menuju
ke kiri, sedang Bronto, Norman, dan Rudra ke kanan. Mereka berjalan dalam diam,
mengarahkan pandangan ke tanah. Sekali-sekali seberkas sinar bulan menembus
dahan-dahan pepohonan di atas, menyinari bercak darah biru keperakan di atas dedaunan
yang rontok.
Awan melihat Permadi
tampak sangat cemas. “Mungkinkah manusia
serigala membunuh unicorn-unicorn ini?” tanya Awan.
“Tidak cukup cepat,”
kata Permadi. “Tak mudah tangkap
unicorn, mereka makhluk magis yang kekuatannya luar biasa. Tak pernah kulihat
ada unicorn luka sebelumnya.”
Mereka melewati tunggul
pohon berlumut. Awan bisa mendengar aliran air. Pasti di dekat-dekat situ ada
sungai. Masih tampak bercak-bercak darah unicorn di sana-sini di sepanjang
jalan berkelok itu.
“Kau tak apa-apa,
Kirana?” Permadi berbisik. “Jangan khawatir, dia tak bisa pergi jauh-jauh kalau
lukanya separah ini dan nanti kita bisa KE BALIK POHON ITU!”
Permadi menyambar Awan
dan Kirana dan menarik mereka ke belakang pohon ek besar. Ditariknya sebatang
anak panah dan dipasangnya pada busurnya, siap diluncurkan. Ketiganya
mendengarkan. Sesuatu menggeleser di
atas daun-daun yang gugur di dekat situ. Kedengarannya seperti jubah yang
terseret di tanah. Permadi menyipitkan mata memandang jalan gelap itu, tetapi
setelah beberapa detik, bunyi itu semakin menjauh.
“Aku tahu,” Permadi
bergumam. “Ada sesuatu di sini yang seharusnya tidak ada.”
“Manusia serigala?” Awan
mengusulkan.
“Itu bukan manusia
serigala dan bukan unicorn juga,” kata Permadi muram. “Baik, ikuti aku, tapi
hati-hati sekarang.”
Mereka berjalan lebih
lambat, memasang telinga untuk menangkap bunyi paling pelan sekalipun. Mendadak, di lapangan terbuka di depan
mereka, jelas-jelas sesuatu bergerak.
“Siapa itu?” teriak
permadi. “Perlihatkan dirimu. Aku bersenjata!”
Dan ke tempat terbuka
itu muncullah apakah itu manusia atau kerbau? Sampai pinggang dia manusia,
dengan rambut dan jenggot merah, tetapi di bawah itu tubuh kerbau cokelat
berkilau, dengan ekor panjang kemerahan. Awan dan Kirana ternganga.
“Oh, kau rupanya,
Manan,” kata Permadi lega. “Apa kabar?”
Permadi maju dan
menjabat tangan Andanu itu.
“Selamat malam, sugeng
rawuh, Permadi,” kata Manan. Suaranya dalam dan sedih. “Apa kau tadi mau
memanahku?”
“Tak ada salahnya
hati-hati, Manan,” kata Permadi, membelai busurnya. “Ada sesuatu yang jahat
keliaran di Hutan ini. Ini Awan Negara dan Kirana Bara. Murid Saloka. Dan ini
Manan, anak-anak. Dia Andanu.”
“Kami sudah melihat,”
kata Kirana lemah.
“Selamat malam,” kata
Manan. “Kalian pelajar, ya? Banyak yang kalian pelajari di sekolah?”
“Erm...”
“Sedikit,” kata Kirana
malu-malu.
“Sedikit. Yah, lumayan,”
Manan menghela napas.
Dia menengadah,
memandang langit. “Bulan terang malam
ini.”
“Yeah,” kata Permadi,
ikut memandang ke atas. “Dengar, aku senang kami bertemu kau, Manan, karena ada
unicorn yang luka, kau lihat sesuatu?”
Manan tidak langsung
menjawab. Dia menatap ke atas tanpa berkedip, kemudian menghela napas lagi.
“Selalu saja yang tak
bersalah jadi korban lebih dulu,” katanya. “Begitulah sejak berabad-abad lalu,
begitulah juga sekarang.”
“Yeah,” kata Permadi, “tapi
apa kau lihat sesuatu, Manan? Sesuatu yang luar biasa?”
“Bulan terang malam
ini,” Manan mengulangi sementara Permadi memandangnya dengan tak sabar. “Luar
biasa terang.”
“Yeah, tapi yang
kumaksud sesuatu yang lebih dekat ke tanah,” kata Permadi. “Jadi kau tidak
lihat sesuatu yang luar biasa?”
Sekali lagi, perlu
beberapa saat bagi Manan untuk menjawab.
Akhirnya dia berkata, “Hutan
ini menyembunyikan banyak rahasia.”
Gerakan di pepohonan di
belakang Manan membuat Permadi mengangkat busurnya lagi, tetapi ternyata hanya
andanu kedua, bertubuh dan berambut hitam, dan kelihatan lebih liar daripada
Manan.
“Halo, Banu,” kata
Permadi. “Kau tak apa-apa?”
“Selamat malam, Permadi.
Kuharap kau baik-baik saja.”
“Cukup baik. Begini, aku baru saja menanyai Manan, kau
lihat sesuatu yang aneh di sini belakangan ini?” Banu maju berdiri di sebelah
Manan. Dia menatap ke langit.
“Mars terang malam ini,”
cuma itu katanya.
“Kami sudah dengar,”
kata Permadi sebal. “Kalau kalian lihat sesuatu, beritahu aku, ya? Kami akan
jalan lagi sekarang.”
Awan dan Kirana
mengikuti Permadi meninggalkan tempat terbuka itu, berkali-kali menoleh
memandang Manan dan Banu, sampai pohon-pohon menutup pandangan mereka.
“Jangan pernah,” kata
Permadi jengkel, “coba mendapat jawaban langsung dari andanu. Pengamat bintang
yang fanatik. Tak tertarik pada apa pun yang lebih dekat daripada bulan.”
“Apa ada banyak andanu
di sini?” tanya Kirana.
“Oh, cukup banyak...
Berkelompok dengan kaumnya sendiri, kebanyakan, tetapi mereka bersedia muncul
kalau aku perlu bicara. Mereka pemikir, andanu itu... mereka banyak tahu...
cuma tidak banyak bicara.”
“Apakah menurutmu yang
kita dengar tadi, sebelum ketemu Manan, adalah andanu?” tanya Awan.
“Apa kedengarannya
seperti langkah kaki kuda bagimu? Bukan, menurutku, tadi itu yang bunuh unicorn
belum pernah dengar yang seperti itu.”
Mereka berjalan terus
menembus pepohonan yang rapat dan gelap. Awan berkali-kali menoleh ke belakang
dengan cemas. Ia punya perasaan tak enak bahwa mereka sedang diawasi.
Ia senang Permadi dan
busurnya bersama mereka. Mereka baru saja membelok ketika Kirana mencengkeram
lengan Permadi.
“Permadi! Lihat! Bunga
api merah, yang lain dalam bahaya!”
“Kalian berdua tunggu
sini!” teriak Permadi. “Tetap di jalan ini, nanti aku kembali!”
Mereka mendengar bunyi
berkeresak ketika Permadi menerobos belukar. Keduanya saling pandang, sangat
ketakutan, sampai mereka tak bisa mendengar apa-apa lagi kecuali gesekan
daun-daun di sekitar mereka.
“Menurutmu apakah
mereka terluka?” bisik Kirana.
“Aku tak peduli kalau
Bronto luka, tetapi kalau terjadi sesuatu pada Norman... salah kitalah dia ada
di sini.”
Menit demi menit
berlalu lambat. Telinga mereka rasanya lebih tajam daripada biasanya. Awan
merasa bisa mendengar setiap desah angin, setiap derik ranting. Apa yang terjadi? Di mana yang lain?
Akhirnya, bunyi
berkeresak keras menandakan kembalinya Permadi. Bronto, Norman, dan Rudra
bersamanya. Permadi berang sekali. Bronto rupanya diam-diam menyergap Norman
dari belakang, maksudnya hanya untuk bergurau. Norman panik dan mengirim bunga
api.
“Kita beruntung kalau
masih bisa tangkap sesuatu sekarang, setelah suara-suara yang kalian buat.
Baik, kita ganti rombongan Norman, kau bersamaku dan Kirana. Awan, kau pergi
bersama Rudra dan idiot ini. Pangapunten,” Permadi menambahkan dengan berbisik
kepada Awan, “tapi dia akan lebih sulit menakut-nakutimu, dan kita harus
selesaikan ini.”
Maka Awan menuju ke
tengah Hutan bersama Bronto dan Rudra. Mereka berjalan selama hampir setengah
jam, makin jauh masuk ke Hutan, sampai jalan tanah itu nyaris tak bisa diikuti
lagi karena pepohonan begitu rapat. Menurut Awan darahnya kelihatan semakin
pekat. Ada cipratan di akar sebatang pohon, seakan makhluk malang itu
berputar-putar kesakitan di dekat situ. Lewat celah di antara cabang-cabang
pohon ek tua, Awan bisa melihat tanah terbuka di depan mereka.
“Lihat...,” gumamnya,
merentangkan tangan untuk menghentikan Bronto.
Sesuatu yang putih
terang berkilauan di tanah. Mereka beringsut mendekat. Ternyata memang unicorn,
dan dia sudah mati. Belum pernah Awan melihat sesuatu seindah dan sesedih itu.
Kakinya yang ramping panjang mencuat janggal di tempat dia terjatuh dan
surainya yang putih berkilau menjurai bagai mutiara di atas daun-daun yang
gelap.
Awan sudah maju
selangkah mendekatinya ketika bunyi menggeleser membuatnya terpaku di tempat.
Semak di tepi tempat terbuka itu bergetar... Kemudian, dari bayang kegelapan,
muncul sosok berkerudung, merangkak di tanah seperti binatang yang sedang
mendekati mangsanya. Awan, Bronto dan Rudra berdiri terpaku. Sosok berkerudung
itu sudah tiba di samping unicorn, menundukkan kepalanya ke arah luka di sisi
tubuh unicorn, dan mulai menyeruput darahnya.
“AAAAAAAAAARGH!”
Bronto menjerit ngeri
dan melesat kabur, begitu juga Rudra. Sosok berkerudung itu mengangkat
kepalanya dan memandang lurus pada Awan, darah unicorn menetes-netes ke bagian
depan tubuhnya. Dia berdiri dan berjalan cepat mendekati Awan, Awan sendiri tak
bisa bergerak saking takutnya.
Kemudian rasa sakit
menusuk kepalanya. Belum pernah Awan merasakan sakit sepedih ini, seakan bekas
lukanya terbakar, setengah buta, ia terhuyung ke belakang. Didengarnya bunyi
tapak kuda di belakangnya, lari berderap, dan sesuatu melompatinya, menerjang
sosok itu. Sakit di kepala Awan tak tertahankan lagi, ia jatuh berlutut.
Satu-dua menit kemudian
barulah rasa sakit itu lenyap. Ketika Awan mendongak, sosok itu telah lenyap.
Andanu berdiri di depannya. Bukan Manan ataupun Banu. Yang ini kelihatan lebih
muda, rambutnya pirang dan tubuh kerbaunya berbulu putih.
“Kau tak apa-apa?”
tanya si andanu seraya membantu Awan berdiri.
“Ya! terima kasih, tadi
itu apa?”
Si andanu tidak
menjawab. Mata birunya luar biasa, seperti batu safir pucat. Dia memandang Awan
dengan teliti, matanya lama terpancang pada bekas luka hitam-kelabu yang tampak
nyata di dahi Awan.
“Kau Awan Negara,”
katanya. “Sebaiknya kau kembali pada Permadi. Hutan tidak aman pada saat ini,
terutama untukmu. Kau bisa naik kerbau? Supaya lebih cepat.”
“Namaku Eman,” katanya
menambahkan seraya menekuk kaki depannya, berlutut, agar Awan bisa naik ke
punggungnya.
Mendadak terdengar
lebih banyak derap kaki kuda dari sisi lain tanah terbuka. Manan dan Banu
muncul dari balik pepohonan, terengah-engah dan berkeringat.
“Eman!” gelegar Banu. “Apa
yang kaulakukan? Ada manusia di
punggungmu! Sungguh kau tak tahu malu.
Memangnya kau bagal
angkut biasa?”
“Sadarkah kalian siapa
ini?” kata Eman. “Ini Awan Negara. Lebih cepat dia meninggalkan hutan ini lebih
baik.”
“Kau cerita apa saja kepadanya?” Banu
menggeram. “Ingat, Eman, kita sudah disumpah untuk tidak mencampuri urusan
langit. Bukankah kita sudah membaca apa yang akan terjadi di pergerakan
planet-planet?”
Manan mengais-ngais
tanah dengan gelisah. “Aku yakin Eman melakukan yang menurutnya terbaik,” kata
Manan dengan suaranya yang sedih. Banu menyentakkan kaki belakangnya dengan
berang.
“Terbaik! Apa kaitannya
dengan kita? Andanu berurusan dengan apa yang telah diramalkan! Bukan tugas
kita untuk berkeliaran seperti keledai, menyelamatkan manusia yang tersesat di
Hutan kita!”
Eman mendadak berdiri
di atas kaki belakangnya dengan gusar, sehingga Awan harus berpegangan pada
bahunya supaya tidak jatuh.
“Apa kau tidak melihat
unicorn itu?” Eman berteriak kepada Banu. “Apa kau tidak mengerti kenapa dia
dibunuh? Atau apakah planet-planet tidak memberitahukan rahasia itu kepadamu?
Aku akan melawan apa yang bersembunyi di hutan ini, Banu, ya, bersama manusia
kalau perlu.”
Dan Eman berputar;
dengan Awan mencengkeram bahunya sebisa mungkin, mereka masuk ke antara
pepohonan, meninggalkan Manan dan Banu di belakang mereka. Awan sama sekali
tidak mengerti apa yang terjadi. “Kenapa Banu begitu marah?” ia bertanya. “Kau
menyelamatkanku dari makhluk apa?”
Eman melambatkan
larinya hingga akhirnya dia berjalan, memperingatkan Awan agar menunduk supaya
tidak menabrak dahan-dahan rendah, tetapi tidak menjawab pertanyaannya. Mereka
menembus pepohonan dalam diam selama begitu lama sampai Awan mengira Eman tidak
mau lagi bicara padanya.
Mereka sedang melewati
pepohonan yang sangat rapat, ketika Eman tiba-tiba berhenti.
“Awan Negara, tahukah
kalau darah unicorn digunakan untuk apa?”
“Tidak,” jawab Awan,
kaget mendengar pertanyaan aneh itu.
“Kami cuma memakai
tanduk dan rambut ekornya dalam pelajaran Ramuan.”
“Itu karena membunuh
unicorn adalah perbuatan yang amat keji,” kata Eman. “Hanya orang yang tak akan
rugi, malah sangat diuntungkan, yang mau melakukan kejahatan semacam itu. Darah
unicorn akan membuatmu tetap hidup, bahkan kalau kau sudah tinggal sejengkal
dari kematian, tetapi harga yang harus dibayar mengerikan sekali. Kau telah
membunuh sesuatu yang murni dan tak berdaya untuk menyelamatkan dirimu dan kau
hanya akan setengah hidup, hidup yang terkutuk, begitu darah unicorn menyentuh
bibirmu.”
Awan menatap bagian
belakang kepala Eman, yang berkilau keperakan tertimpa cahaya bulan.
“Tetapi siapa yang
begitu putus asa?” tanyanya. “Kalau kau akan dikutuk selamanya, lebih baik
mati, kan?”
“Memang,” kata Eman, “kecuali
yang kauperlukan hanyalah bertahan hidup cukup lama untuk meminum sesuatu yang
lain sesuatu yang bisa mengembalikan kekuatan dan kekuasaanmu sepenuhnyam
sesuatu yang berarti kau tak akan bisa mati. Negara, tahukah kau apa yang
disembunyikan di sekolah saat ini?”
“Batu Naran! Tentu
saja, Cairan Kehidupan! Tapi aku tak mengerti siapa...”
“Tak terpikirkah olehmu
seseorang yang telah menunggu bertahun-tahun untuk kembali berkuasa, yang
bertahan hidup, menunggu datangnya kesempatan?”
Seakan ada tangan besi
yang mendadak mencengkeram jantung Awan. Di antara bunyi keresakdedaunan,
seakan ia mendengar lagi apa yang dikatakan Permadi pada malam mereka bertemu
untuk pertama kalinya: “Ada yang bilang dia mati. Omong kosong, menurutku. Tak
tahu apakah masih ada cukup manusia di tubuhnya untuk bisa mati.”
“Maksudmu,” kata Awan
serak, “tadi itu Nag...”
“Awan! Awan, kau tak
apa-apa?”
Kirana berlari ke arah
mereka, Permadi terengah-engah di belakangnya.
“Aku baik-baik saja,”
kata Awan, hampir tak memahami apa yang diucapkannya. “Unicorn-nya mati,
Permadi, di tanah kosong di belakang sana.”
“Sekaranglah saatnya
aku meninggalkanmu,” Eman bergumam sementara Permadi bergegas memeriksa
unicorn. “Kau sudah aman sekarang.”
Awan meluncur turun
dari punggungnya.
“Semoga selamat, Awan
Negara,” kata Eman. “Planet-planet pernah ditafsirkan secara keliru sebelum
ini, bahkan oleh Andanu. Kuharap ini salah satu di antara kekeliruan itu.”
Eman berbalik dan
melangkah kembali ke dalam Hutan, meninggalkan Awan gemetar di belakangnya.
Man tertidur di ruang
rekreasi yang gelap, menunggu mereka pulang. Dia mengigau, meneriakkan sesuatu
tentang pelanggaran dalam pertandingan Braja ketika Awan mengguncangnya
keras-keras, membangunkannya. Dalam beberapa detik saja matanya sudah terbuka
lebar ketika Awan mulai bercerita kepadanya dan Kirana, tentang apa yang
terjadi di Hutan.
Awan tak bisa duduk. Ia
mondar-mandir di depan perapian.
Ia masih gemetar.
“Saka menginginkan Batu
Naran itu untuk Nagasura... dan Nagasura menunggu di Hutan... dan selama ini
kita mengira Saka hanya sekadar ingin kaya...”
“Jangan ucapkan lagi
nama itu!” bisik Man ketakutan, seakan dia mengira Nagasura bisa mendengar
mereka. Awan tidak mendengarkan.
“Eman menyelamatkan
aku, tetapi seharusnya tidak boleh... Banu marah sekali... katanya mereka tidak
boleh ikut campur dengan apa yang telah diramalkan planet-planet...
Planet-planet itu pastilah menunjukkan bahwa Nagasura akan kembali...
Banu berpendapat Eman
seharusnya membiarkan Nagasura membunuhku... Kurasa itu juga sudah tertulis
pada bintang-bintang.”
“Jangan sebut-sebut
lagi nama itu!” desis Man.
“Jadi sekarang aku
tinggal menunggu Saka mencuri batu itu,” kata Awan tegang. “Setelah itu
Nagasura bisa datang dan menghabisiku... Yah, kurasa Banu akan senang.”
Kirana kelihatan sangat
ketakutan, tetapi dia menghibur Awan.
“Awan, semua orang
bilang Batara Giri-lah satu-satunya orang yang ditakuti Sinten Menika. Kalau
ada Batara Giri, Sinten Menika tidak akan menyentuhmu. Lagi pula, siapa bilang
centaurus benar? Bagiku kedengarannya seperti ramalan, dan Dewi Fatimah bilang
itu cabang ilmu gaib yang paling tidak tepat.”
Langit sudah berubah
terang sebelum mereka berhenti bicara. Mereka berangkat tidur dalam kelelahan,
kerongkongan mereka sakit. Tetapi kejutan-kejutan malam itu belum berakhir.
Ketika Awan menarik penutup tempat tidurnya, ia menemukan Jubah Gaib-nya di
bawahnya. Ada kertas yang disematkan pada jubah itu, dengan pesan berikut:
Siapa tahu perlu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar