PENALTY - Sastra Education

Breaking

Kamis, 06 Februari 2020

PENALTY


Keadaan akan lebih buruk lagi dengan apa yang terjadi.
Tiwul membawa mereka ke ruang Dewi Fatimah di lantai pertama. Di situ mereka duduk dan menunggu tanpa saling bicara. Kirana gemetar. Alasan, alibi, dan cerita bohong berkejaran di benak Awan, masing-masing lebih lemah dari yang sebelumnya. Ia tak tahu bagaimana mereka bisa menghindari hukuman kali ini. Mereka sudah tersudut.
Bagaimana mungkin mereka bisa begitu bodoh meninggalkan Jubah Gaib?  Tak ada alasan di dunia ini yang bisa membuat Dewi Fatimah menerima kenapa mereka tidak tidur dan malah berkeliaran di sekolah pada tengah malam, apalagi berada di menara Astronomi yang paling tinggi, yang dilarang didatangi kecuali untuk pelajaran. Tambahkan kisah tentang Nabha dan Jubah Gaib, maka mereka sama saja dengan sudah mengepak koper, siap cabut dari Ksatrian.
Apakah Awan berpikir bahwa keadaan tak bisa lebih buruk dari ini? Ia keliru. Ketika Dewi Fatimah muncul, dia membawa Norman.
“Awan!” Norman memekik begitu melihat Awan dan Kirana. “Aku tadi mencari-carimu untuk memperingatkan. Kudengar Bronto akan menangkap basah kau, dia bilang kau punya nag...”
Awan menggelengkan kepala kuat-kuat menyuruh Norman diam, tetapi Dewi Fatimah sudah melihat. Dia kelihatan lebih siap menyemburkan napas api daripada Nabha ketika dia berdiri menjulang di depan mereka bertiga.
“Aku tadinya tak percaya kalian berbuat begini. Tiwul mengatakan kalian berada di menara Astronomi. Ini pukul satu pagi. Jelaskan!”

Ini pertama kalinya Kirana tidak bisa menjawab pertanyaan guru. Dia menunduk menatap sandalnya, diam bagai patung.
“Kurasa aku bisa menduga yang terjadi,” kata Dewi Fatimah. “Tidak perlu seorang jenius untuk memecahkan ini.  Kalian membualkan cerita bohong tentang naga kepada Alas Bronto supaya dia meninggalkan tempat tidur dan dihukum. Aku sudah menangkapnya. Kurasa kalian menganggap lucu bahwa Layana telah mendengar cerita itu dan mempercayainya?”
Awan memberi isyarat kepada Norman dengan matanya, mencoba memberitahunya tanpa kata bahwa ini tidak benar, karena Norman kelihatan kaget dan tersinggung.  Kasihan Norman, Awan tahu betul betapa beratnya bagi Norman mencaricarinya dalam gelap untuk memperingatkannya.
“Aku marah sekali,” kata Dewi Fatimah. “Empat anak meninggalkan tempat tidur dalam satu malam! Belum pernah ada kejadian semacam ini! Kau, Bara, kukira kau lebih cerdik. Sedangkan kau, Negara, kukira Jodhipati jauh lebih berarti bagimu daripada semua ini. Kalian bertiga akan menerima penalty, ya, kau juga, Norman, tak ada yang membuatmu punya hak berkeliaran di sekolah di malam hari, terutama hari-hari ini, berbahaya sekali. Lima puluh angka akan dipotong dari Jodhipati.”
“Lima puluh?” Awan kaget mereka tak lagi akan memimpin sia-sialah hasil kemenangannya dalam pertandingan Braja yang terakhir.
“Masing-masing lima puluh,” kata Dewi Fatimah, bernapas berat lewat hidungnya yang panjang runcing.
“Dewi, tolong...” “Anda tak bisa...”
“Jangan mengajari aku apa yang aku bisa atau tak bisa lakukan, Awan.  Sekarang semua kembali ke tempat tidur. Belum pernah aku dipermalukan seperti ini oleh anak-anak Jodhipati.”
Seratus lima puluh angka hilang begitu saja. Membuat Jodhipati berada di posisi paling bawah. Dalam semalam mereka telah menghancurkan semua kesempatan yang dimiliki Jodhipati untuk memenangkan Piala Ksatrian. Awan merasa terpukul sekali. Bagaimana mereka bisa menebus semua ini?
Sepanjang malam Awan tidak tidur. Selama berjam-jam ia bisa mendengar Norman yang terisak-isak di bantalnya. Awan tak bisa memikirkan sesuatu untuk menghiburnya. Ia tahu Norman, seperti halnya dirinya, takut akan datangnya pagi. Apa yang akan terjadi kalau anak-anak Jodhipati lainnya tahu apa yang telah mereka lakukan?
Mulanya anak-anak Jodhipati, yang melewati jam kaca raksasa yang menampilkan angka masing-masing Ksatrian keesokan harinya, mengira ada kekeliruan. Bagaimana mungkin angka mereka mendadak susut seratus lima puluh dari hari sebelumnya? Kemudian cerita mulai menyebar: Awan Negara,
Awan Negara yang terkenal, pahlawan Braja mereka, dialah yang membuat mereka kehilangan seratus lima puluh angka, Awan Negara dan dua anak bego kelas satu lainnya. Dari anak yang paling populer dan paling dikagumi di sekolah, Awan mendadak menjadi anak yang paling dibenci.
Bahkan anak-anak Plangkawati dan Pringgodani ikut-ikutan menyerangnya, karena semua anak telah menunggu-nunggu Madukara kehilangan Piala Ksatrian. Ke mana pun Awan pergi, anak-anak menunjuk-nunjuk dan tidak bersusah-susah memelankan suara kalau memakinya. Anak-anak Madukara, sebaliknya, menyorakinya kalau Awan melewati mereka, bersuit-suit dan berteriak-teriak, “Terima kasih, Negara. Kami utang budi!”
Hanya Man yang menghiburnya.
“Mereka akan melupakan semua ini beberapa minggu lagi. Sekutrem dan Palasara telah kehilangan banyak angka selama mereka di sini, dan anak-anak masih menyukai mereka.”
“Tapi mereka belum pernah kehilangan seratus lima puluh angka sekaligus, kan?” kata Awan merana.
“Yah belum,” Man mengakui.
Sudah agak terlambat untuk memperbaiki kerusakan yang telah terjadi, tetapi Awan berjanji kepada dirinya sendiri mulai sekarang tidak akan lagi mencampuri hal-hal yang bukan urusannya. Ia sudah muak dengan mengendap-endap dan memata-matai. Ia merasa malu sekali dengan dirinya sendiri sehingga dia menemui Widi dan minta mengundurkan diri dari tim Braja.
“Mengundurkan diri?” gelegar Widi. “Apa faedahnya?
Bagaimana kita akan merebut kembali angka-angka itu kalau kita tidak memenangkan pertandingan Braja?” Bahkan Braja sudah tak lagi menyenangkan. Anggota tim lainnya tak mau bicara dengan Awan selama latihan, dan kalau mereka harus bicara tentang Awan, mereka menyebutnya si “Wulung”.
Kirana dan Norman juga menderita. Yang mereka alami tidak seburuk Awan karena mereka tidak sepopuler ia, tetapi tak seorang pun mau bicara dengan mereka juga. Kirana sudah berhenti menonjolkan dirinya di kelas, dia terus menundukkan kepala dan bekerja dalam diam.
Awan nyaris senang ujian tak lama lagi. Kesibukan belajar membuatnya sejenak melupakan kesedihannya. Ia, Man, dan Kirana belajar terpisah dari teman-teman lainnya, belajar sampai larut malam, mencoba mengingat-ingat bahan-bahan untuk ramuan yang rumit, menghafalkan mantra-mantra, menghafal tanggal-tanggal penemuan Ajian dan pemberontakan Detya....
Kemudian, kira-kira seminggu sebelum ujian dimulai, keputusan baru Awan untuk tidak mencampuri hal-hal yang bukan urusannya, di luar dugaan mendapat ujian. Ketika pulang dari perpustakaan sendirian pada suatu sore, ia mendengar ada yang merintih di ruang kelas di atasnya. Ketika mendekat,
Awan mendengar suara Somad.
“Jangan! Jangan! Tolong jangan lagi...” Kedengarannya ada yang sedang mengancamnya. Awan bergerak semakin dekat.
“Baiklah baiklah...,” didengarnya Somad mengisak.
Detik berikutnya, Somad bergegas meninggalkan kelas seraya meluruskan turbannya. Wajahnya pucat dan tampaknya dia hampir menangis. Somad bahkan tidak melihat Awan. Awan menunggu sampai bunyi langkah-langkah Somad menghilang, kemudian mengintip ke dalam kelas. Kosong, tapi ada pintu yang terbuka sedikit di ujung satunya. Awan sudah separo jalan menuju pintu itu ketika ia ingat janjinya kepada diri sendiri untuk tidak ikut campur urusan orang lain.
Meskipun demikian, ia bersedia mempertaruhkan dua belas Batu Naran bahwa Saka baru saja meninggalkan ruangan, dan dari apa yang baru didengarnya, Saka pastilah berjalan dengan langkah ringan agaknya Somad akhirnya menyerah.
Awan kembali ke perpustakaan. Kirana sedang membantu Man belajar Astronomi dengan mengajukan berbagai pertanyaan. Awan memberitahu mereka apa yang baru saja didengarnya.
“Saka berhasil, kalau begitu!” kata Man. “Kalau Somad sudah memberitahu bagaimana memunahkan Mantra Anti-Ajian Hitamnya...”
“Tapi masih ada Jaladara,” kata Kirana.
“Mungkin Saka sudah tahu bagaimana cara melewati Jaladara tanpa bertanya pada Permadi,” kata Man, memandang ribuan buku yang mengelilingi mereka. “Berani taruhan, di salah satu buku di sini pasti tertulis bagaimana cara melewati macan berkepala tiga. Jadi, apa yang kita lakukan, Awan?”
Kilat petualangan bersinar lagi di mata Man. Tetapi Kirana menjawab sebelum Awan sempat buka mulut.
“Pergi ke Kakek Batara Giri. Itu seharusnya sudah kita lakukan sejak dulu. Kalau kita mencoba bertindak sendiri, jelas kita akan dikeluarkan.”
“Tapi kita tak punya bukti!” kata Awan.
“Somad terlalu takut untuk mendukung kita. Saka tinggal bilang dia tak tahu bagaimana denawa bisa masuk pada malam pesta dan bahwa dia tak berada dekat-dekat lantai tiga. Menurut kalian, siapa yang akan dipercaya, dia atau kita? Kan bukan rahasia kita membencinya. Batara Giri akan mengira kita mengarang-ngarang supaya Saka dipecat. Tiwul jelas tidak akan mau membantu kita. Dia sahabat dekat Saka, dan menurut pendapatnya semakin banyak murid yang dikeluarkan, semakin baik. Dan jangan lupa, kita sebetulnya tidak boleh tahu tentang batu itu ataupun Jaladara. Itu bakal perlu penjelasan panjang.”
Kirana kelihatannya bisa diyakinkan, tetapi Man tidak.
“Kalau kita menyelidiki sedikit...”
“Tidak,” kata Awan datar, “kita sudah terlalu banyak menyelidiki dan ikut campur.”
Awan menarik peta Jupiter ke arahnya dan mulai menghafal nama bulan-bulannya. \
Keesokan paginya, sepucuk surat dijatuhkan di meja sarapan untuk Awan, Kirana, dan Norman. Isinya semua sama:
Penaltimu akan berlangsung pukul sebelas malam ini. Temui Tiwul di Aula Depan.
Dewi Fatimah
Dalam kehebohan gara-gara begitu banyak angka yang dipotong dari Jodhipati, Awan sudah lupa mereka masih harus menjalani penalti. Ia mengira Kirana akan mengeluh karena mereka akan kehilangan waktu belajar semalam, tetapi Kirana diam saja. Seperti Awan dia merasa mereka pantas mendapat hukuman itu.
Pukul sebelas malam itu mereka mengucapkan selamat tinggal kepada Man di ruang rekreasi dan pergi ke Aula Depan bersama Norman. Tiwul sudah ada begitu pula Bronto. Awan juga sudah lupa bahwa Bronto pun mendapat penalti.
“Ikut aku,” kata Tiwul seraya menyalakan lampu dan mengajak mereka keluar. “Taruhan, setelah ini kalian pasti berpikir dua kali dulu sebelum melanggar peraturan sekolah, eh?” Dia menyeringai kepada mereka.
 “Oh ya... kerja keras dan penderitaan adalah guru yang paling baik, kalau kalian tanya padaku... sayangnya mereka tidak memakai lagi cara hukuman yang dulu... menggantung kalian pada pergelangan tangan dari atap selama beberapa hari, rantainya masih ada di kamarku, kuminyaki terus, siapa tahu suatu kali diperlukan lagi...  Baik, ayo kita berangkat, dan jangan coba-coba kabur, makin parah lagi nanti bagi kalian.”
Mereka menyeberangi lapangan gelap. Norman terus terisak. Awan bertanya-tanya hukuman apa yang akan dijatuhkan kepada mereka. Pasti sesuatu yang mengerikan, kalau tidak Tiwul tidak akan sesenang ini.
Bulan bersinar terang, tetapi awan-awan yang melintasinya berkali-kali membuat mereka berjalan dalam kegelapan. Di depan, Awan bisa melihat jendela-jendela pondok Permadi yang menyala. Kemudian dari kejauhan mereka mendengar suara.
“Kaukah itu, Tiwul? Cepat, aku mau mulai.”
Semangat Awan bangkit. Jika ada Permadi, keadaan tidak terlalu buruk. Kelegaannya pastilah tampak di wajahnya, karena Tiwul berkata, “Rupanya kau mengira kau akan bersenang-senang bersama orang kasar itu, ya?  Pikir lagi, Nak kalian akan dibawa ke Hutan dan aku keliru sekali kalau mengira kalian semua berhasil keluar utuh nanti.”
Mendengar ini, Norman merintih dan Bronto berhenti berjalan.
“Hutan?” dia mengulang, dan suaranya tidak sesombong biasanya.
“Kita tidak boleh ke sana di malam hari ada macam-macam di sana manusia serigala, kudengar.”
Norman mencengkeram lengan jubah Awan dan mengeluarkan suara tersedak.
“Salah kalian sendiri, kan?” kata Tiwul, suaranya serak saking senangnya. “Mestinya ingat soal manusia serigala itu sebelum melanggar peraturan, ya, kan?”
Permadi berjalan ke arah mereka dari kegelapan, Rudra membuntutinya. Dia membawa busur besarnya, dan sekantong anak panah tergantung di bahunya.
“Sudah waktunya,” katanya. “Aku sudah tunggu setengah jam. Baik-baik saja, Awan, Kirana?”
“Jangan terlalu ramah pada mereka, Permadi,” kata Tiwul dingin, “mereka kan akan dihukum.”
“Itu sebabnya kau telat, kan?” kata Permadi kepada Tiwul, dahinya berkerut.  “Tadi kaumarahi mereka, ya?  Bukan kewajibanmu. Tugasmu sudah selesai. Biar kuambil alih sekarang.”
“Aku akan kembali besok pagi,” kata Tiwul, “untuk mengambil entah apa yang tersisa dari mereka,” dia menambahkan dengan menyebalkan, sebelum akhirnya berbalik dan berjalan kembali ke kastil, lampunya terayun-ayun dalam gelap.
Bronto sekarang menoleh kepada Permadi. “Aku tak mau masuk Hutan itu,” katanya, dan Awan senang mendengar nada panik dalam suaranya.
“Harus, kalau kau mau tetap di Saloka,” kata Permadi galak. “Kau sudah lakukan kesalahan dan sekarang harus bayar.”
“Tapi ini untuk kelas pelayan, bukan untuk pelajar. Kukira kami akan disuruh menulis atau yang semacamnya.  Kalau ayahku tahu aku dihukum begini, dia akan...”
“...  bilang padamu memang begitulah di Saloka,” geram Permadi. “Menulis! Apa gunanya? Kau akan lakukan sesuatu yang berguna, kalau tidak mau, keluar saja. Kalau kaupikir ayahmu lebih suka kau dikeluarkan, ya balik saja ke kastil dan pak kopermu. Ayo!”
Bronto tidak bergerak. Dia memandang Permadi dengan marah, tetapi kemudian menunduk.
“Baiklah,” kata Permadi. “Sekarang dengar baik-baik, karena apa yang akan kita lakukan malam ini berbahaya dan aku tak mau ada yang ambil risiko. Ikut aku ke sini dulu.”
Dia membawa mereka sampai ke tepi Hutan. Seraya mengangkat lampunya tinggi-tinggi, dia menunjuk jalan tanah setapak yang sempit dan berkelok-kelok yang menghilang di antara pepohonan besar-besar dan gelap. Angin sepoi menerbangkan rambut mereka ketika mereka memandang ke dalam Hutan.
“Lihat di sana,” kata Permadi, “lihat yang berkilau di tanah itu? Yang keperakan? Itu darah unicorn. Di dalam ada unicorn yang luka parah digigit entah apa. Ini kedua kalinya dalam seminggu. Aku temukan satu unicorn mati Rabu lalu. Kita akan cari makhluk malang itu. Mungkin kita harus bebaskan dia dari penderitaannya.”
“Dan bagaimana kalau entah apa yang menggigit unicorn itu lebih dulu menemukan kita?” kata Bronto, tak sanggup menyembunyikan ketakutan dari suaranya.
“Tak ada satu pun di Hutan yang akan melukaimu kalau kau bersamaku atau Rudra,” kata Permadi. ''Dan ikuti jalan ini. Baik, sekarang kita bagi menjadi dua rombongan dan kita ikuti jejak ke dua arah yang berlainan. Ada bercak darah di mana-mana, paling tidak si unicorn sudah berkeliaran kesakitan sejak semalam.”
“Aku mau bersama Rudra,” kata Bronto cepat-cepat, seraya memandang gigi Rudra yang panjang-panjang.
“Baiklah, tapi kuingatkan kau, dia pengecut,” kata Permadi.
“Jadi aku, Awan dan Kirana akan ke satu arah, sedangkan Alas, Norman, dan Rudra ke arah lain. Nah, kalau salah satu dari kita temukan unicorn itu, kita kirim bunga api hijau, oke? Keluarkan tongkat kalian dan berlatihlah sekarang bagus dan kalau ada yang dapat kesulitan, kirim bunga api merah, dan kami semua akan datang cari kalian jadi, hati-hatilah! ayo berangkat.”
Hutan gelap dan sunyi. Tak lama kemudian jalan tanah itu bercabang. Awan, Kirana, dan Permadi menuju ke kiri, sedang Bronto, Norman, dan Rudra ke kanan. Mereka berjalan dalam diam, mengarahkan pandangan ke tanah. Sekali-sekali seberkas sinar bulan menembus dahan-dahan pepohonan di atas, menyinari bercak darah biru keperakan di atas dedaunan yang rontok.
Awan melihat Permadi tampak sangat cemas.  “Mungkinkah manusia serigala membunuh unicorn-unicorn ini?” tanya Awan.
“Tidak cukup cepat,” kata Permadi.  “Tak mudah tangkap unicorn, mereka makhluk magis yang kekuatannya luar biasa. Tak pernah kulihat ada unicorn luka sebelumnya.”
Mereka melewati tunggul pohon berlumut. Awan bisa mendengar aliran air. Pasti di dekat-dekat situ ada sungai. Masih tampak bercak-bercak darah unicorn di sana-sini di sepanjang jalan berkelok itu.
“Kau tak apa-apa, Kirana?” Permadi berbisik. “Jangan khawatir, dia tak bisa pergi jauh-jauh kalau lukanya separah ini dan nanti kita bisa KE BALIK POHON ITU!”
Permadi menyambar Awan dan Kirana dan menarik mereka ke belakang pohon ek besar. Ditariknya sebatang anak panah dan dipasangnya pada busurnya, siap diluncurkan. Ketiganya mendengarkan.  Sesuatu menggeleser di atas daun-daun yang gugur di dekat situ. Kedengarannya seperti jubah yang terseret di tanah. Permadi menyipitkan mata memandang jalan gelap itu, tetapi setelah beberapa detik, bunyi itu semakin menjauh.
“Aku tahu,” Permadi bergumam. “Ada sesuatu di sini yang seharusnya tidak ada.”
“Manusia serigala?” Awan mengusulkan.
“Itu bukan manusia serigala dan bukan unicorn juga,” kata Permadi muram. “Baik, ikuti aku, tapi hati-hati sekarang.”
Mereka berjalan lebih lambat, memasang telinga untuk menangkap bunyi paling pelan sekalipun.  Mendadak, di lapangan terbuka di depan mereka, jelas-jelas sesuatu bergerak.
“Siapa itu?” teriak permadi. “Perlihatkan dirimu. Aku bersenjata!”
Dan ke tempat terbuka itu muncullah apakah itu manusia atau kerbau? Sampai pinggang dia manusia, dengan rambut dan jenggot merah, tetapi di bawah itu tubuh kerbau cokelat berkilau, dengan ekor panjang kemerahan. Awan dan Kirana ternganga.
“Oh, kau rupanya, Manan,” kata Permadi lega. “Apa kabar?”
Permadi maju dan menjabat tangan Andanu itu.
“Selamat malam, sugeng rawuh, Permadi,” kata Manan. Suaranya dalam dan sedih. “Apa kau tadi mau memanahku?”
“Tak ada salahnya hati-hati, Manan,” kata Permadi, membelai busurnya. “Ada sesuatu yang jahat keliaran di Hutan ini. Ini Awan Negara dan Kirana Bara. Murid Saloka. Dan ini Manan, anak-anak. Dia Andanu.”
“Kami sudah melihat,” kata Kirana lemah.
“Selamat malam,” kata Manan. “Kalian pelajar, ya? Banyak yang kalian pelajari di sekolah?”
“Erm...”
“Sedikit,” kata Kirana malu-malu.
“Sedikit. Yah, lumayan,” Manan menghela napas.
Dia menengadah, memandang langit.  “Bulan terang malam ini.”
“Yeah,” kata Permadi, ikut memandang ke atas. “Dengar, aku senang kami bertemu kau, Manan, karena ada unicorn yang luka, kau lihat sesuatu?”
Manan tidak langsung menjawab. Dia menatap ke atas tanpa berkedip, kemudian menghela napas lagi.
“Selalu saja yang tak bersalah jadi korban lebih dulu,” katanya. “Begitulah sejak berabad-abad lalu, begitulah juga sekarang.”
“Yeah,” kata Permadi, “tapi apa kau lihat sesuatu, Manan? Sesuatu yang luar biasa?”
“Bulan terang malam ini,” Manan mengulangi sementara Permadi memandangnya dengan tak sabar. “Luar biasa terang.”
“Yeah, tapi yang kumaksud sesuatu yang lebih dekat ke tanah,” kata Permadi. “Jadi kau tidak lihat sesuatu yang luar biasa?”
Sekali lagi, perlu beberapa saat bagi Manan untuk menjawab.
Akhirnya dia berkata, “Hutan ini menyembunyikan banyak rahasia.”
Gerakan di pepohonan di belakang Manan membuat Permadi mengangkat busurnya lagi, tetapi ternyata hanya andanu kedua, bertubuh dan berambut hitam, dan kelihatan lebih liar daripada Manan.
“Halo, Banu,” kata Permadi. “Kau tak apa-apa?”
“Selamat malam, Permadi. Kuharap kau baik-baik saja.”
“Cukup baik.  Begini, aku baru saja menanyai Manan, kau lihat sesuatu yang aneh di sini belakangan ini?” Banu maju berdiri di sebelah Manan. Dia menatap ke langit.
“Mars terang malam ini,” cuma itu katanya.
“Kami sudah dengar,” kata Permadi sebal. “Kalau kalian lihat sesuatu, beritahu aku, ya? Kami akan jalan lagi sekarang.”
Awan dan Kirana mengikuti Permadi meninggalkan tempat terbuka itu, berkali-kali menoleh memandang Manan dan Banu, sampai pohon-pohon menutup pandangan mereka.
“Jangan pernah,” kata Permadi jengkel, “coba mendapat jawaban langsung dari andanu. Pengamat bintang yang fanatik. Tak tertarik pada apa pun yang lebih dekat daripada bulan.”
“Apa ada banyak andanu di sini?” tanya Kirana.
“Oh, cukup banyak... Berkelompok dengan kaumnya sendiri, kebanyakan, tetapi mereka bersedia muncul kalau aku perlu bicara. Mereka pemikir, andanu itu... mereka banyak tahu... cuma tidak banyak bicara.”
“Apakah menurutmu yang kita dengar tadi, sebelum ketemu Manan, adalah andanu?” tanya Awan.
“Apa kedengarannya seperti langkah kaki kuda bagimu? Bukan, menurutku, tadi itu yang bunuh unicorn belum pernah dengar yang seperti itu.”
Mereka berjalan terus menembus pepohonan yang rapat dan gelap. Awan berkali-kali menoleh ke belakang dengan cemas. Ia punya perasaan tak enak bahwa mereka sedang diawasi.
Ia senang Permadi dan busurnya bersama mereka. Mereka baru saja membelok ketika Kirana mencengkeram lengan Permadi.
“Permadi! Lihat! Bunga api merah, yang lain dalam bahaya!”
“Kalian berdua tunggu sini!” teriak Permadi. “Tetap di jalan ini, nanti aku kembali!”
Mereka mendengar bunyi berkeresak ketika Permadi menerobos belukar. Keduanya saling pandang, sangat ketakutan, sampai mereka tak bisa mendengar apa-apa lagi kecuali gesekan daun-daun di sekitar mereka.
“Menurutmu apakah mereka terluka?” bisik Kirana.
“Aku tak peduli kalau Bronto luka, tetapi kalau terjadi sesuatu pada Norman... salah kitalah dia ada di sini.”
Menit demi menit berlalu lambat. Telinga mereka rasanya lebih tajam daripada biasanya. Awan merasa bisa mendengar setiap desah angin, setiap derik ranting.  Apa yang terjadi? Di mana yang lain?
Akhirnya, bunyi berkeresak keras menandakan kembalinya Permadi. Bronto, Norman, dan Rudra bersamanya. Permadi berang sekali. Bronto rupanya diam-diam menyergap Norman dari belakang, maksudnya hanya untuk bergurau. Norman panik dan mengirim bunga api.
“Kita beruntung kalau masih bisa tangkap sesuatu sekarang, setelah suara-suara yang kalian buat. Baik, kita ganti rombongan Norman, kau bersamaku dan Kirana. Awan, kau pergi bersama Rudra dan idiot ini. Pangapunten,” Permadi menambahkan dengan berbisik kepada Awan, “tapi dia akan lebih sulit menakut-nakutimu, dan kita harus selesaikan ini.”
Maka Awan menuju ke tengah Hutan bersama Bronto dan Rudra. Mereka berjalan selama hampir setengah jam, makin jauh masuk ke Hutan, sampai jalan tanah itu nyaris tak bisa diikuti lagi karena pepohonan begitu rapat. Menurut Awan darahnya kelihatan semakin pekat. Ada cipratan di akar sebatang pohon, seakan makhluk malang itu berputar-putar kesakitan di dekat situ. Lewat celah di antara cabang-cabang pohon ek tua, Awan bisa melihat tanah terbuka di depan mereka.
“Lihat...,” gumamnya, merentangkan tangan untuk menghentikan Bronto.
Sesuatu yang putih terang berkilauan di tanah. Mereka beringsut mendekat. Ternyata memang unicorn, dan dia sudah mati. Belum pernah Awan melihat sesuatu seindah dan sesedih itu. Kakinya yang ramping panjang mencuat janggal di tempat dia terjatuh dan surainya yang putih berkilau menjurai bagai mutiara di atas daun-daun yang gelap.
Awan sudah maju selangkah mendekatinya ketika bunyi menggeleser membuatnya terpaku di tempat. Semak di tepi tempat terbuka itu bergetar... Kemudian, dari bayang kegelapan, muncul sosok berkerudung, merangkak di tanah seperti binatang yang sedang mendekati mangsanya. Awan, Bronto dan Rudra berdiri terpaku. Sosok berkerudung itu sudah tiba di samping unicorn, menundukkan kepalanya ke arah luka di sisi tubuh unicorn, dan mulai menyeruput darahnya.
“AAAAAAAAAARGH!”
Bronto menjerit ngeri dan melesat kabur, begitu juga Rudra. Sosok berkerudung itu mengangkat kepalanya dan memandang lurus pada Awan, darah unicorn menetes-netes ke bagian depan tubuhnya. Dia berdiri dan berjalan cepat mendekati Awan, Awan sendiri tak bisa bergerak saking takutnya.
Kemudian rasa sakit menusuk kepalanya. Belum pernah Awan merasakan sakit sepedih ini, seakan bekas lukanya terbakar, setengah buta, ia terhuyung ke belakang. Didengarnya bunyi tapak kuda di belakangnya, lari berderap, dan sesuatu melompatinya, menerjang sosok itu. Sakit di kepala Awan tak tertahankan lagi, ia jatuh berlutut.
Satu-dua menit kemudian barulah rasa sakit itu lenyap. Ketika Awan mendongak, sosok itu telah lenyap. Andanu berdiri di depannya. Bukan Manan ataupun Banu. Yang ini kelihatan lebih muda, rambutnya pirang dan tubuh kerbaunya berbulu putih.
“Kau tak apa-apa?” tanya si andanu seraya membantu Awan berdiri.
“Ya! terima kasih, tadi itu apa?”
Si andanu tidak menjawab. Mata birunya luar biasa, seperti batu safir pucat. Dia memandang Awan dengan teliti, matanya lama terpancang pada bekas luka hitam-kelabu yang tampak nyata di dahi Awan.
“Kau Awan Negara,” katanya. “Sebaiknya kau kembali pada Permadi. Hutan tidak aman pada saat ini, terutama untukmu. Kau bisa naik kerbau? Supaya lebih cepat.”
“Namaku Eman,” katanya menambahkan seraya menekuk kaki depannya, berlutut, agar Awan bisa naik ke punggungnya.
Mendadak terdengar lebih banyak derap kaki kuda dari sisi lain tanah terbuka. Manan dan Banu muncul dari balik pepohonan, terengah-engah dan berkeringat.
“Eman!” gelegar Banu. “Apa yang kaulakukan?  Ada manusia di punggungmu! Sungguh kau tak tahu malu.
Memangnya kau bagal angkut biasa?”
“Sadarkah kalian siapa ini?” kata Eman. “Ini Awan Negara. Lebih cepat dia meninggalkan hutan ini lebih baik.”
 “Kau cerita apa saja kepadanya?” Banu menggeram. “Ingat, Eman, kita sudah disumpah untuk tidak mencampuri urusan langit. Bukankah kita sudah membaca apa yang akan terjadi di pergerakan planet-planet?”
Manan mengais-ngais tanah dengan gelisah. “Aku yakin Eman melakukan yang menurutnya terbaik,” kata Manan dengan suaranya yang sedih. Banu menyentakkan kaki belakangnya dengan berang.
“Terbaik! Apa kaitannya dengan kita? Andanu berurusan dengan apa yang telah diramalkan! Bukan tugas kita untuk berkeliaran seperti keledai, menyelamatkan manusia yang tersesat di Hutan kita!”
Eman mendadak berdiri di atas kaki belakangnya dengan gusar, sehingga Awan harus berpegangan pada bahunya supaya tidak jatuh.
“Apa kau tidak melihat unicorn itu?” Eman berteriak kepada Banu. “Apa kau tidak mengerti kenapa dia dibunuh? Atau apakah planet-planet tidak memberitahukan rahasia itu kepadamu? Aku akan melawan apa yang bersembunyi di hutan ini, Banu, ya, bersama manusia kalau perlu.”
Dan Eman berputar; dengan Awan mencengkeram bahunya sebisa mungkin, mereka masuk ke antara pepohonan, meninggalkan Manan dan Banu di belakang mereka. Awan sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi. “Kenapa Banu begitu marah?” ia bertanya. “Kau menyelamatkanku dari makhluk apa?”
Eman melambatkan larinya hingga akhirnya dia berjalan, memperingatkan Awan agar menunduk supaya tidak menabrak dahan-dahan rendah, tetapi tidak menjawab pertanyaannya. Mereka menembus pepohonan dalam diam selama begitu lama sampai Awan mengira Eman tidak mau lagi bicara padanya.
Mereka sedang melewati pepohonan yang sangat rapat, ketika Eman tiba-tiba berhenti.
“Awan Negara, tahukah kalau darah unicorn digunakan untuk apa?”
“Tidak,” jawab Awan, kaget mendengar pertanyaan aneh itu.
“Kami cuma memakai tanduk dan rambut ekornya dalam pelajaran Ramuan.”
“Itu karena membunuh unicorn adalah perbuatan yang amat keji,” kata Eman. “Hanya orang yang tak akan rugi, malah sangat diuntungkan, yang mau melakukan kejahatan semacam itu. Darah unicorn akan membuatmu tetap hidup, bahkan kalau kau sudah tinggal sejengkal dari kematian, tetapi harga yang harus dibayar mengerikan sekali. Kau telah membunuh sesuatu yang murni dan tak berdaya untuk menyelamatkan dirimu dan kau hanya akan setengah hidup, hidup yang terkutuk, begitu darah unicorn menyentuh bibirmu.”
Awan menatap bagian belakang kepala Eman, yang berkilau keperakan tertimpa cahaya bulan.
“Tetapi siapa yang begitu putus asa?” tanyanya. “Kalau kau akan dikutuk selamanya, lebih baik mati, kan?”
“Memang,” kata Eman, “kecuali yang kauperlukan hanyalah bertahan hidup cukup lama untuk meminum sesuatu yang lain sesuatu yang bisa mengembalikan kekuatan dan kekuasaanmu sepenuhnyam sesuatu yang berarti kau tak akan bisa mati. Negara, tahukah kau apa yang disembunyikan di sekolah saat ini?”
“Batu Naran! Tentu saja, Cairan Kehidupan! Tapi aku tak mengerti siapa...”
“Tak terpikirkah olehmu seseorang yang telah menunggu bertahun-tahun untuk kembali berkuasa, yang bertahan hidup, menunggu datangnya kesempatan?”
Seakan ada tangan besi yang mendadak mencengkeram jantung Awan. Di antara bunyi keresakdedaunan, seakan ia mendengar lagi apa yang dikatakan Permadi pada malam mereka bertemu untuk pertama kalinya: “Ada yang bilang dia mati. Omong kosong, menurutku. Tak tahu apakah masih ada cukup manusia di tubuhnya untuk bisa mati.”
“Maksudmu,” kata Awan serak, “tadi itu Nag...”
“Awan! Awan, kau tak apa-apa?”
Kirana berlari ke arah mereka, Permadi terengah-engah di belakangnya.
“Aku baik-baik saja,” kata Awan, hampir tak memahami apa yang diucapkannya. “Unicorn-nya mati, Permadi, di tanah kosong di belakang sana.”
“Sekaranglah saatnya aku meninggalkanmu,” Eman bergumam sementara Permadi bergegas memeriksa unicorn. “Kau sudah aman sekarang.”
Awan meluncur turun dari punggungnya.
“Semoga selamat, Awan Negara,” kata Eman. “Planet-planet pernah ditafsirkan secara keliru sebelum ini, bahkan oleh Andanu. Kuharap ini salah satu di antara kekeliruan itu.”
Eman berbalik dan melangkah kembali ke dalam Hutan, meninggalkan Awan gemetar di belakangnya.
Man tertidur di ruang rekreasi yang gelap, menunggu mereka pulang. Dia mengigau, meneriakkan sesuatu tentang pelanggaran dalam pertandingan Braja ketika Awan mengguncangnya keras-keras, membangunkannya. Dalam beberapa detik saja matanya sudah terbuka lebar ketika Awan mulai bercerita kepadanya dan Kirana, tentang apa yang terjadi di Hutan.
Awan tak bisa duduk. Ia mondar-mandir di depan perapian.
Ia masih gemetar.
“Saka menginginkan Batu Naran itu untuk Nagasura... dan Nagasura menunggu di Hutan... dan selama ini kita mengira Saka hanya sekadar ingin kaya...”
“Jangan ucapkan lagi nama itu!” bisik Man ketakutan, seakan dia mengira Nagasura bisa mendengar mereka. Awan tidak mendengarkan.
“Eman menyelamatkan aku, tetapi seharusnya tidak boleh... Banu marah sekali... katanya mereka tidak boleh ikut campur dengan apa yang telah diramalkan planet-planet... Planet-planet itu pastilah menunjukkan bahwa Nagasura akan kembali...
Banu berpendapat Eman seharusnya membiarkan Nagasura membunuhku... Kurasa itu juga sudah tertulis pada bintang-bintang.”
“Jangan sebut-sebut lagi nama itu!” desis Man.
“Jadi sekarang aku tinggal menunggu Saka mencuri batu itu,” kata Awan tegang. “Setelah itu Nagasura bisa datang dan menghabisiku... Yah, kurasa Banu akan senang.”
Kirana kelihatan sangat ketakutan, tetapi dia menghibur Awan.
“Awan, semua orang bilang Batara Giri-lah satu-satunya orang yang ditakuti Sinten Menika. Kalau ada Batara Giri, Sinten Menika tidak akan menyentuhmu. Lagi pula, siapa bilang centaurus benar? Bagiku kedengarannya seperti ramalan, dan Dewi Fatimah bilang itu cabang ilmu gaib yang paling tidak tepat.”
Langit sudah berubah terang sebelum mereka berhenti bicara. Mereka berangkat tidur dalam kelelahan, kerongkongan mereka sakit. Tetapi kejutan-kejutan malam itu belum berakhir. Ketika Awan menarik penutup tempat tidurnya, ia menemukan Jubah Gaib-nya di bawahnya. Ada kertas yang disematkan pada jubah itu, dengan pesan berikut:
Siapa tahu perlu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar