Beberapa detik
kemudian, mereka sudah berada di luar koridor lantai tiga, dan pintunya sudah
menganga sedikit.
“Wah,” kata Awan muram.
“Rupanya Saka sudah berhasil melewati Jaladara.”
Melihat pintu yang
terbuka itu, ketiganya menyadari apa yang akan mereka hadapi. Di bawah selubung
jubah, Awan menoleh kepada kedua temannya.
“Jika kalian ingin
kembali, aku tidak akan menyalahkan kalian,” katanya. “Kalian boleh memakai
jubah ini, aku sudah tidak memerlukannya lagi sekarang.”
“Jangan bodoh,” kata
Man.
“Kami ikut,” kata
Kirana.
Awan mendorong pintu
hingga terbuka. Ketika pintu itu berderit, telinga mereka menangkap bunyi
geraman rendah. Ketiga pasang cuping hidung macan itu mengendus-endus liar ke
arah mereka, meskipun tidak bisa melihat mereka.
“Apa itu di kakinya?”
bisik Kirana.
“Kelihatannya harpa,”
jawab Man. “Tentu Saka yang meninggalkannya di situ.”
“Macan itu pastilah
langsung terbangun begitu Saka berhenti bermain,” kata Awan “Nah, sekarang
giliran kita....”
Awan meletakkan
seruling Permadi ke bibirnya dan meniupnya. Tak bisa disebut lagu, tetapi
begitu mendengar nada pertama, mata binatang itu mulai meredup. Awan nyaris tak
berani menarik napas. Perlahan-lahan, geraman macan itu mereda, ia terhuyung
dan mendekam pada lututnya, lalu ambruk ke lantai, tertidur nyenyak.
“Mainkan terus,” Man
memperingatkan Awan ketika mereka keluar dari bawah jubah dan berjingkat menuju
ke pintu jebakan. Mereka bisa merasakan napas si macan yang panas dan berbau
ketika mereka mendekati kepala-kepala raksasa itu.
“Kurasa kita akan bisa
membuka pintunya,” kata Man, melongok melewati punggung si macan. “Mau masuk
duluan, Kirana?”
“Tidak.”
“Baiklah.” Man
mengertakkan gigi dan hati-hati melangkahi kaki si macan. Dia membungkuk dan
menarik gelang-gelang pada pintu jebakan, yang langsung menjeblak ke atas dan
membuka.
“Apa yang bisa
kaulihat?” tanya Kirana cemas.
“Tidak ada cuma gelap
tak ada tangga turun, kita harus lompat.”
Awan yang masih meniup
seruling, melambai kepada Man dan menunjuk-nunjuk dirinya.
“Kau mau turun duluan?
Yakin?” tanya Man.
“Aku tak tahu seberapa
dalamnya. Berikan serulingnya kepada Kirana supaya dia bisa membuat macan itu
terus tidur.”
Awan menyerahkan
serulingnya. Dalam beberapa detik tanpa tiupan seruling, macan itu menggeram
dan bergerak, tetapi begitu Kirana mulai meniupnya, dia kembali tidur nyenyak.
Awan melompati si macan
dan memandang ke bawah lewat lubang pintu jebakan. Dasarnya sama sekali tak
kelihatan. Ia turun ke dalam lubang sampai cuma bergantung pada ujung
jari-jarinya. Kemudian ia mendongak kepada Man dan berkata, “Kalau terjadi
sesuatu padaku, jangan susul aku. Langsung pergi ke kandang burung garudaku dan
kirim Ruda ke Batara Giri. Oke?”
“Oke,” kata Man.
“Sampai ketemu sebentar
lagi, mudah-mudahan....”
Dan Awan melepas
pegangannya. Udara dingin dan lembap menerpanya sementara ia terjatuh, makin
lama makin dalam dan... BLUK. Dengan
bunyi gedebuk yang seakan teredam, ia mendarat pada sesuatu yang lunak. Awan
duduk dan meraba-raba, matanya belum terbiasa pada keremangan di situ. Ia
serasa duduk di atas sejenis tanaman.
“Aman!” teriaknya ke
arah cahaya sebesar prangko yang merupakan pintu jebakan. “Tempat mendaratnya
lunak, kau bisa lompat!”
Man langsung menyusul.
Dia mendarat telentang di sebelah Awan.
“Apa ini?” adalah
kata-katanya yang pertama. “Entahlah, semacam tanaman. Kurasa ada di sini untuk
menahan pendaratan. Ayo, Kirana!”
Suara musik di kejauhan
berhenti. Terdengar gema keras macan, tetapi Kirana sudah melompat. Dia
mendarat di sisi lain Awan.
“Pastilah kita
beribu-ribu meter di bawah sekolah,” katanya.
“Untung ada tanaman ini
di sini,” kata Man.
“Untung?!” jerit
Kirana. “Lihat kalian berdua!”
Kirana melompat dan
berusaha menuju dinding yang lembap. Dia harus berkutat karena begitu dia
mendarat, tanaman itu langsung melilitkan sulur-sulur seperti ular di sekeliling
pergelangan kakinya. Sedangkan Awan dan Man, tanpa mereka sadari, kaki mereka
sudah dililit kencang oleh sulur-sulur panjang tanaman merambat itu.
Awan meronta
menggunakan seluruh tenaga. Bawa yang dimiliki tak cukup untuk menangkap Ajian
akar tumbuhan apalagi gadanya tak bisa ia gerakkan. Man mencoba meraih
tongkatnya untuk melepaskan ikatan Ajian alam.
Kirana berhasil
membebaskan diri sebelum tanaman itu membelitnya dengan ketat. Sekarang dia
memandang ngeri pada kedua temannya yang berkutat melepaskan tanaman itu dari
tubuh mereka, tetapi semakin mereka berusaha, semakin kuat tanaman itu
membelit. Gada Awan yang dapat menangkal bawa atau praba tetapi tak bisa
digerakkan dalam genggaman.
“Berhenti bergerak!”
perintah Kirana. “Aku tahu apa ini, ini Jerat Setan!”
“Oh, aku senang sekali
kita tahu nama tanaman ini, sungguh sangat membantu,” cemooh Man sambil
memiringkan tubuhnya ke belakang, berusaha mencegah tanaman itu membelit
lehernya.
“Diam, aku sedang
berusaha mengingat bagaimana membunuhnya!” kata Kirana.
“Cepat kalau begitu,
aku tak bisa bernapas!” kata Awan tersengal, berkutat dengan sulur yang
membelit dadanya.
“Jerat Setan, Jerat
Setan... Apa yang dikatakan Batara Sapta? Tanaman ini suka kegelapan dan
kelembapan...”
“Kalau begitu nyalakan
api!” Awan tersedak.
“Ya, tentu saja, tapi
tak ada kayu!” seru Kirana,
meremas-remas tangannya.
“Kau ini gila?” Man menggeram. “Kau ksatria apa bukan?
Apalagi bawamu sangat kuat dibanding kami berdua kau yang terbaik, Kirana!”
“Oh, betul!” kata
Kirana, dan dia mencabut tongkatnya. Menggoyangnya, menggumamkan sesuatu geni
berhasil memancarkan api biru, sama seperti yang digunakannya pada Saka di
stadion, ke arah tanaman itu. Dalam beberapa detik saja, kedua anak laki-laki
itu merasa belitan sulur-sulur itu mengendur ketika tanaman itu menjauh ketakutan
dari nyala terang dan kehangatan. Menggeliat-geliut dan melambai-lambai,
tanaman itu melepaskan belitannya dan mereka berhasil membebaskan diri.
“Untung kau menyimak
pelajaran Herbologi, Kirana,” kata Awan ketika ia bergabung dengannya di dekat dinding
seraya menyeka keringat dari wajahnya.
“Yeah,” kata Man, “dan
untung Awan tidak jadi panik dalam krisis, 'tak ada kayu', astaga.”
“Jalan sini,” kata Awan,
menunjuk ke lorong berlantai batu yang merupakan satu-satunya jalan di situ.
Satu-satunya bunyi yang
bisa mereka dengar, selain langkahlangkah mereka sendiri, adalah tetes-tetes
air lembut yang jatuh dari dinding. Lorong itu menurun, mengingatkan Awan pada
Ambarawa. Hatinya tersentak ketika ia teringat naga-naga yang kabarnya menjaga
ruangan-ruangan besi di bank para Ksatria itu. Bagaimana seandainya mereka
bertemu naga, naga yang benar-benar sudah dewasa, Nabha saja sudah sangat
merepotkan....
“Kau dengar sesuatu?”
Man berbisik.
Awan mendengarkan.
Bunyi berkeresak dan denting lembut terdengar dari arah depan. “Menurutmu itu
hantu?”
“Entahlah...
kedengarannya seperti sayap bagiku.”
“Di depan terang, bisa
kulihat ada yang bergerak.” Mereka mencapai ujung lorong dan melihat didepan
mereka kamar yang terang benderang, langit-langitnya melengkung tinggi di atas
mereka. Kamar itu penuh burung-burung kecil yang berkilauan bagai permata,
beterbangan mengitari ruangan. Di sisi lain kamar itu terdapat pintu kayu
berat.
“Apa mereka akan
menyerang bila kita menyeberangi kamar ini?” kata Man.
“Mungkin,” kata Awan. “Kayaknya
sih mereka tidak galak, tapi kalau menyerang bersamaan... yah, tak ada jalan
lain... aku mau lari.”
Awan menarik napas
dalam-dalam, menutupi wajah dengan lengannya dan berlari menyeberangi ruangan.
Ia mengira paruh dan cakar tajam akan merobek-robeknya setiap saat, tetapi
ternyata tidak. Ia tiba di pintu dengan selamat. Ditariknya pegangan pintu.
Pintu itu terkunci.
Kedua temannya
mengikutinya. Mereka menarik dan mendorong pintu itu, tetapi pintunya tak
bergerak, bahkan tidak juga ketika Kirana mencoba Mantra Nuwun Sewunya.
“Sekarang bagaimana?”
kata Man. “Burung-burung ini... mereka tak mungkin ada di sini hanya untuk
dekorasi saja,” kata Kirana. Mereka mengawasi burung-burung yang beterbangan di
atas, berkilauan-berkilauan?
“Mereka bukan burung!”
celetuk Awan tiba-tiba. “Itu kunci! Kunci bersayap, lihat yang teliti. Itu
berarti...” Awan melihat berkeliling ruangan sementara kedua temannya
menyipitkan mata, memandang kawanan kunci itu.
“Ya, lihat! Sapu! Kita harus menangkap kunci pintu itu!”
“Tapi ada ratusan
kunci!”
Man mengamati lubang
kunci di pintu.
“Yang kita cari kunci
kuno besar, mungkin perak, seperti pegangan pintunya.”
Awan mulai mengumpulkan
Prabanya dalam satu titik hingga ia dapat melayang diantara gerombolan kunci.
Sementara Man dan Kirana masing-masing menyambar sapu dan menyentak ke atas,
melayang ke tengah gerombolan kunci itu. Mereka menyambar dan menjambret, namun
kunci-kunci yang telah di beri Ajian itu meluncur dan menukik begitu cepat,
sampai nyaris tak mungkin ditangkap.
Tapi tak percuma Awan
menjadi Wulung paling muda abad ini. Ia punya bakat melihat sesuatu yang tak
dilihat orang lain. Setelah beberapa menit menyelip-nyelip di antara pusaran
bulu-bulu pelangi itu, Ia melihat kunci perak besar yang sayapnya bengkok,
seakan kunci itu sudah pernah ditangkap dan dijejalkan dengan kasar ke dalam
lubang kunci.
“Yang itu!” teriaknya. “Yang
besar itu, di sana bukan, itu yang sayapnya biru terang, bulu-bulunya kusut di
satu sisinya.”
Man meluncur ke arah
yang ditunjuk Awan, menabrak langit-langit dan nyaris terjatuh dari sapunya.
“Kita harus
mengepungnya!” teriak Awan, tanpa melepas pandangannya dari kunci dengan sayap
rusak itu. “Man, kau mendatanginya dari atas, Kirana, tetap di bawah dan cegah
kunci itu turun, dan aku akan mencoba menangkapnya. Baik. SEKARANG!”
Man menukik, Kirana
melintas, kunci itu berhasil menghindari mereka berdua dan Awan meluncur
mengejarnya. Kunci itu terbang menuju dinding, Awan mempertajam tubuhnya ke
depan dan diiringi bunyi derak yang menyakitkan telinga, memepetnya ke dinding
dengan satu tangan. Sorak Man dan Kirana bergaung di kamar berlangit-langit
tinggi itu.
Mereka cepat-cepat
mendarat dan Awan berlari ke pintu, kunci di tangannya menggelepar berusaha
melepaskan diri. Awan memasukkannya ke lubang dan memutarnya, berhasil. Begitu
terdengar bunyi klik membuka, kuncinya langsung melesat terbang lagi, bentuknya
makin berantakan sekarang, setelah ditangkap dua kali.
“Siap?” Awan menanyai
kedua temannya, tangannya mencekal pegangan pintu. Mereka mengangguk. Dibukanya
pintu.
Kamar berikutnya begitu
gelap sehingga mereka sama sekali tak bisa melihat apa-apa. Tetapi begitu
mereka melangkah masuk, mendadak cahaya memenuhi ruangan, menunjukkan
pemandangan yang mencengangkan.
Mereka berdiri di tepi
papan catur raksasa, di belakang bidak-bidak hitam, yang semuanya lebih tinggi
dari mereka dan dipahat dari tampaknya batu hitam. Berhadapan dengan mereka,
jauh di seberang ruangan, adalah bidak-bidak putih. Awan, Man, dan Kirana
sedikit gemetar bidak-bidak catur putih itu tak berwajah.
“Sekarang, apa yang
harus kita lakukan?” bisik Awan.
“Jelas, kan?” timpal
Man. “Kita harus bermain untuk bisa sampai ke seberang ruangan.” Di belakang
bidak-bidak putih itu mereka melihat pintu lain.
“Bagaimana?” tanya
Kirana cemas.
“Kurasa,” kata Man, “kita
harus menjadi bidak catur.”
Man berjalan ke arah
perwira hitam dan menjulurkan tangan untuk menyentuh kudanya. Langsung saja
batu itu hidup. Kudanya mengais-ngais tanah dan si perwira menolehkan kepalanya
yang memakai helm untuk menunduk, memandang Man.
“Apa kami, er, harus
bergabung dengan kalian untuk bisa menyeberang?” Perwira hitam itu mengangguk.
Man menoleh kepada kedua temannya. “Ini perlu pemikiran...,” katanya.
“Kurasa kita harus
mengambil tempat tiga bidak hitam...”
Awan dan Kirana tetap
diam, mengawasi Man berpikir. Akhirnya Man berkata, “Jangan tersinggung, ya,
tapi kalian berdua tak begitu ahli main catur...”
“Kami tidak
tersinggung,” kata Awan cepat-cepat. “Katakan
saja apa yang harus kami lakukan.”
“Nah, Awan kau
mengambil tempat menteri itu, dan Kirana, kau di sebelahnya, di tempat benteng
itu.”
“Kau sendiri bagaimana?”
“Aku akan jadi perwira,”
kata Man.
Bidak-bidak catur itu
rupanya mendengarkan, karena begitu Man berkata demikian, perwira, menteri, dan
benteng berbalik memunggungi bidak-bidak putih dan berjalan turun dari papan
catur, meninggalkan tiga petak kosong
yang segera ditempati Man, Awan, dan Kirana.
“Putih selalu melangkah
duluan dalam permainan catur,” kata Man, menyipitkan mata memandang ke
seberang. “Ya... lihat...”
Satu pion putih
melangkah maju dua petak. Man mulai mengarahkan bidak-bidak hitam. Mereka
bergerak diam mengikuti perintahnya. Lutut Awan gemetar. Bagaimana kalau mereka
kalah?
“Awan, bergerak
diagonal empat petak ke kanan.”
Pukulan pertama mereka
terjadi ketika perwira hitam satunya ditawan.
Si ratu putih membantingnya ke lantai dan menyeretnya ke luar papan. Si
perwira menggeletak tak bergerak, tengkurap.
“Apa boleh buat,” kata
Man, yang tampak terguncang. “Kau jadi bebas menawan si menteri itu, Kirana,
ayo.”
Setiap kali salah satu
anggota mereka kalah, bidak-bidak putih itu tak menunjukkan belas kasihan.
Segera saja sekumpulan bidak hitam lemas terpuruk di sepanjang dinding. Dua
kali, Man menyadari tepat waktu bahwa Awan dan Kirana dalam bahaya. Dia sendiri
melesat ke sana kemari di papan, menawan bidak putih hampir sebanyak bidak
hitam yang kalah.
“Kita hampir sampai,”
mendadak Man bergumam. “Biar aku berpikir, biar aku berpikir...” Si ratu putih menolehkan wajahnya yang kosong
ke arahnya. “Ya...,” kata Man pelan, “ini satu-satunya cara... aku harus
ditawan.”
“TIDAK!” Awan dan
Kirana memekik.
“Begitulah catur!”
tukas Man. “Harus ada yang dikorbankan!
Aku akan melangkah maju
satu petak dan ratu putih akan menawanku, jadi kau bebas menskak rajanya, Awan!”
“Tapi...”
“Kau mau menghalangi
Saka atau tidak?”
“Man...”
“Kalau kau tidak
buru-buru, Saka sudah akan berhasil mendapatkan batu itu!”
Tak ada pilihan lain. “Siap?”
seru Man, wajahnya pucat, tetapi mantap. “Aku menyerahkan diri, jangan
berlama-lama begitu kalian sudah menang.”
Man melangkah maju dan
ratu putih langsung menerkam. Dipukulnya keras-keras kepala Man dengan tangan
batunya dan Man langsung ambruk ke lantai, Kirana menjerit tetapi tetap
bertahan di petaknya, si ratu putih menyeret Man ke tepi. Kelihatannya dia
pingsan.
Gemetaran, Awan
bergerak tiga petak ke kiri.
Si raja putih melepas
mahkotanya dan melemparnya ke kaki Awan.
Mereka sudah menang. Bidak-bidak catur menepi dan membungkuk, jalan
menuju pintu kini tanpa hambatan. Dengan pandangan putus asa terakhir ke arah
Man, Awan dan Kirana berlari melewati pintu dan tiba di lorong berikutnya.
“Bagaimana kalau
dia...?”
“Dia akan baik-baik
saja,” kata Awan berusaha meyakinkan diri sendiri. “Menurutmu, apa berikutnya?”
“Kita sudah melewati
kreasi Batara Sapta, Jerat Setan tadi,
Batara Flamboyan
pastilah yang menyulap kunci-kunci, Dewi Fatimah mentransfigurasi bidak-bidak
catur membuatnya hidup, tinggal mantra Somad, dan Saka....”
Mereka sudah tiba di
pintu berikutnya.
“Buka sekarang?” Awan
berbisik.
“Buka saja.”
Awan mendorongnya
terbuka.
Bau menjijikkan menusuk
hidung, membuat keduanya menarik jubah untuk menutupi hidung. Dengan mata berair
mereka melihat, tergeletak di lantai di depan mereka, detya yang bahkan lebih
besar daripada detya gunung yang sudah mereka kalahkan, pingsan dengan benjolan
berdarah pada kepalanya.
“Aku lega kita tidak
perlu berkelahi dengan dia,” bisik Awan, ketika mereka dengan hati-hati
melangkahi salah satu kakinya yang amat besar. “Ayo cepat, aku tak bisa
bernapas.”
Awan membuka pintu ke
ruang berikutnya, keduanya nyaris tak berani melihat apa yang menantikan
mereka, tetapi tak ada sesuatu yang mengerikan di sini, hanya meja dengan tujuh
botol berbeda bentuk berdiri berderet.
“Hasil karya Saka,”
kata Awan. “Apa yang harus kita lakukan?”
Mereka melangkahi
ambang pintu dan mendadak api berkobar di belakang mereka. Bukan api biasa,
karena warnanya ungu. Pada saat bersamaan, lidah api hitam menyala di pintu
menuju ruang berikutnya. Mereka terperangkap.
“Lihat!” Kirana
menyambar segulung kertas yang tergeletak di sebelah botol-botol. Awan melongok
dari balik bahu Kirana untuk ikut membacanya:
Bahaya ada di depanmu,
sementara rasa aman ada di belakang, Kami berdua akan membantumu, entah mana
yang akan kau temukan, Satu di antara kami bertujuh akan membawamu maju ke
kamar berikutnya, Satu lagi membuat
peminumnya kembali ke tempat semula, Dua di antara kami hanyalah berisi anggur
lezat, Tiga di antara kami pembunuh, sembunyi menunggu saat yang tepat. Pilihlah,
kalau tak mau berada di sini selamanya merajuk, Untuk membantu menentukan
pilihanmu, kami berikan empat petunjuk:
Pertama, betapapun
liciknya racun berusaha bersembunyi, Kau akan selalu menemukannya di sebelah
anggur di sisi kiri;
Kedua, yang berdiri di
masing-masing ujung isinya lain, Tetapi kalau kau mau ke depan, dua-duanya
pantang untuk main-main;
Ketiga, seperti
kaulihat jelas, semua botol berbeda ukurannya, Baik yang cebol maupun yang
raksasa berisi maut di dalamnya;
Keempat, yang kedua
dari kiri dan dari kanan, Sama saja isinya, meskipun awalnya tampak berlainan.
Kirana mengembuskan
napas lega, dan Awan heran sekali melihatnya tersenyum, soalnya ia sendiri sama
sekali tak ingin tersenyum.
“Brilian,” puji Kirana.
“Ini bukan Ajian, ini logika, tekateki. Banyak penyihir besar yang tak punya
logika sama sekali, akan terkurung di sini selamanya.”
“Kita juga begitu, kan?”
“Tentu saja tidak,”
kata Kirana. “Semua yang kita butuhkan ada di atas kertas ini. Tujuh
botol: tiga di antaranya racun; dua
anggur, satu akan membawa kita dengan selamat melewati api hitam itu, dan satu
lagi akan membawa kita kembali melewati api ungu.”
“Tapi, bagaimana kita
tahu mana yang harus di minum?”
“Beri aku waktu
sebentar.” Kirana membaca kertas itu beberapa kali. Kemudian dia berjalan
mondar-mandir di depan deretan botol, bergumam sendiri dan menunjuk-nunjuk
botol-botol itu. Akhirnya dia bertepuk tangan.
“Aku tahu,” katanya. “Botol
paling kecil akan membawa kita melewati api hitam, menuju ke Batu Naran.”
Awan memandang botol
kecil mungil itu.
“Isinya hanya cukup
untuk satu orang,” katanya. “Satu teguk saja pun tak ada.” Mereka saling
pandang. “Mana yang bisa membawamu
melewati api ungu?” Kirana menunjuk botol bulat di ujung deretan. “Kau minum
yang itu,” kata Awan.
“Tidak, dengar,
kembalilah dan ajak Man, ambil sapu dari kamar kunci terbang, sapu itu bisa
membawa kalian keluar dari pintu jebakan dan juga melewati Jaladara, langsung
pergi ke kandang burung dan kirim Ruda ke Batara Giri, kita memerlukan dia. Aku
mungkin sanggup menahan Saka untuk sementara waktu, tetapi aku sama sekali
bukan tandingannya.”
“Tapi, Awan, bagaimana
kalau Sinten Menika ada bersamanya?”
“Yah, aku pernah
beruntung sekali, kan?” kata Awan, menunjuk bekas lukanya. “Siapa tahu aku
beruntung lagi.”
Bibir Kirana bergetar
dan mendadak dia berlari mendekati Awan dan memeluknya.
“Kirana!”
“Awan, kau ksatria
hebat.”
“Aku tidak sepandai
kau, bahkan aku tak memiliki bawa Ajian,” kata Awan, malu sekali, ketika Kirana
melepasnya.
“Aku!” kata Kirana. “Buku-buku!
Dan kepintaran! Ada banyak hal penting lainnya, persahabatan dan keberanian
dan, oh, Awan, hati-hati, ya!”
“Kau minum dulu,” kata Awan.
“Kau yakin mana botol yang benar, kan?”
“Pasti,” kata Kirana.
Diminumnya isi botol bulat itu, dan dia bergidik.
“Bukan racun?” tanya Awan
cemas.
“Bukan, tapi seperti
es.”
“Cepat, sebelum
khasiatnya luntur.”
“Semoga berhasil, jaga
dirimu...”
“PERGILAH!”
Kirana berbalik dan
melangkahi api ungu. Awan berguman Kirana dan Man kau sahabat terbaiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar