SAHABAT TERBAIK - Sastra Education

Breaking

Sabtu, 01 Februari 2020

SAHABAT TERBAIK


Beberapa detik kemudian, mereka sudah berada di luar koridor lantai tiga, dan pintunya sudah menganga sedikit.
“Wah,” kata Awan muram. “Rupanya Saka sudah berhasil melewati Jaladara.”
Melihat pintu yang terbuka itu, ketiganya menyadari apa yang akan mereka hadapi. Di bawah selubung jubah, Awan menoleh kepada kedua temannya.
“Jika kalian ingin kembali, aku tidak akan menyalahkan kalian,” katanya. “Kalian boleh memakai jubah ini, aku sudah tidak memerlukannya lagi sekarang.”
“Jangan bodoh,” kata Man.
“Kami ikut,” kata Kirana.
Awan mendorong pintu hingga terbuka. Ketika pintu itu berderit, telinga mereka menangkap bunyi geraman rendah. Ketiga pasang cuping hidung macan itu mengendus-endus liar ke arah mereka, meskipun tidak bisa melihat mereka.
“Apa itu di kakinya?” bisik Kirana.
“Kelihatannya harpa,” jawab Man. “Tentu Saka yang meninggalkannya di situ.”
“Macan itu pastilah langsung terbangun begitu Saka berhenti bermain,” kata Awan “Nah, sekarang giliran kita....”

Awan meletakkan seruling Permadi ke bibirnya dan meniupnya. Tak bisa disebut lagu, tetapi begitu mendengar nada pertama, mata binatang itu mulai meredup. Awan nyaris tak berani menarik napas. Perlahan-lahan, geraman macan itu mereda, ia terhuyung dan mendekam pada lututnya, lalu ambruk ke lantai, tertidur nyenyak.
“Mainkan terus,” Man memperingatkan Awan ketika mereka keluar dari bawah jubah dan berjingkat menuju ke pintu jebakan. Mereka bisa merasakan napas si macan yang panas dan berbau ketika mereka mendekati kepala-kepala raksasa itu.
“Kurasa kita akan bisa membuka pintunya,” kata Man, melongok melewati punggung si macan. “Mau masuk duluan, Kirana?”
“Tidak.”
“Baiklah.” Man mengertakkan gigi dan hati-hati melangkahi kaki si macan. Dia membungkuk dan menarik gelang-gelang pada pintu jebakan, yang langsung menjeblak ke atas dan membuka.
“Apa yang bisa kaulihat?” tanya Kirana cemas.
“Tidak ada cuma gelap tak ada tangga turun, kita harus lompat.”
Awan yang masih meniup seruling, melambai kepada Man dan menunjuk-nunjuk dirinya.
“Kau mau turun duluan? Yakin?” tanya Man.
“Aku tak tahu seberapa dalamnya. Berikan serulingnya kepada Kirana supaya dia bisa membuat macan itu terus tidur.”
Awan menyerahkan serulingnya. Dalam beberapa detik tanpa tiupan seruling, macan itu menggeram dan bergerak, tetapi begitu Kirana mulai meniupnya, dia kembali tidur nyenyak.
Awan melompati si macan dan memandang ke bawah lewat lubang pintu jebakan. Dasarnya sama sekali tak kelihatan. Ia turun ke dalam lubang sampai cuma bergantung pada ujung jari-jarinya. Kemudian ia mendongak kepada Man dan berkata, “Kalau terjadi sesuatu padaku, jangan susul aku. Langsung pergi ke kandang burung garudaku dan kirim Ruda ke Batara Giri. Oke?”
“Oke,” kata Man.
“Sampai ketemu sebentar lagi, mudah-mudahan....”
Dan Awan melepas pegangannya. Udara dingin dan lembap menerpanya sementara ia terjatuh, makin lama makin dalam dan... BLUK.  Dengan bunyi gedebuk yang seakan teredam, ia mendarat pada sesuatu yang lunak. Awan duduk dan meraba-raba, matanya belum terbiasa pada keremangan di situ. Ia serasa duduk di atas sejenis tanaman.
“Aman!” teriaknya ke arah cahaya sebesar prangko yang merupakan pintu jebakan. “Tempat mendaratnya lunak, kau bisa lompat!”
Man langsung menyusul. Dia mendarat telentang di sebelah Awan.
“Apa ini?” adalah kata-katanya yang pertama. “Entahlah, semacam tanaman. Kurasa ada di sini untuk menahan pendaratan. Ayo, Kirana!”
Suara musik di kejauhan berhenti. Terdengar gema keras macan, tetapi Kirana sudah melompat. Dia mendarat di sisi lain Awan.
“Pastilah kita beribu-ribu meter di bawah sekolah,” katanya.
“Untung ada tanaman ini di sini,” kata Man.
“Untung?!” jerit Kirana. “Lihat kalian berdua!”
Kirana melompat dan berusaha menuju dinding yang lembap. Dia harus berkutat karena begitu dia mendarat, tanaman itu langsung melilitkan sulur-sulur seperti ular di sekeliling pergelangan kakinya. Sedangkan Awan dan Man, tanpa mereka sadari, kaki mereka sudah dililit kencang oleh sulur-sulur panjang tanaman merambat itu.
Awan meronta menggunakan seluruh tenaga. Bawa yang dimiliki tak cukup untuk menangkap Ajian akar tumbuhan apalagi gadanya tak bisa ia gerakkan. Man mencoba meraih tongkatnya untuk melepaskan ikatan Ajian alam.
Kirana berhasil membebaskan diri sebelum tanaman itu membelitnya dengan ketat. Sekarang dia memandang ngeri pada kedua temannya yang berkutat melepaskan tanaman itu dari tubuh mereka, tetapi semakin mereka berusaha, semakin kuat tanaman itu membelit. Gada Awan yang dapat menangkal bawa atau praba tetapi tak bisa digerakkan dalam genggaman.
“Berhenti bergerak!” perintah Kirana. “Aku tahu apa ini, ini Jerat Setan!”
“Oh, aku senang sekali kita tahu nama tanaman ini, sungguh sangat membantu,” cemooh Man sambil memiringkan tubuhnya ke belakang, berusaha mencegah tanaman itu membelit lehernya.
“Diam, aku sedang berusaha mengingat bagaimana membunuhnya!” kata Kirana.
“Cepat kalau begitu, aku tak bisa bernapas!” kata Awan tersengal, berkutat dengan sulur yang membelit dadanya.
“Jerat Setan, Jerat Setan... Apa yang dikatakan Batara Sapta? Tanaman ini suka kegelapan dan kelembapan...”
“Kalau begitu nyalakan api!” Awan tersedak.
“Ya, tentu saja, tapi tak ada kayu!”  seru Kirana, meremas-remas tangannya.
“Kau ini gila?”  Man menggeram. “Kau ksatria apa bukan? Apalagi bawamu sangat kuat dibanding kami berdua kau yang terbaik, Kirana!”
“Oh, betul!” kata Kirana, dan dia mencabut tongkatnya. Menggoyangnya, menggumamkan sesuatu geni berhasil memancarkan api biru, sama seperti yang digunakannya pada Saka di stadion, ke arah tanaman itu. Dalam beberapa detik saja, kedua anak laki-laki itu merasa belitan sulur-sulur itu mengendur ketika tanaman itu menjauh ketakutan dari nyala terang dan kehangatan. Menggeliat-geliut dan melambai-lambai, tanaman itu melepaskan belitannya dan mereka berhasil membebaskan diri.
“Untung kau menyimak pelajaran Herbologi, Kirana,” kata Awan ketika ia bergabung dengannya di dekat dinding seraya menyeka keringat dari wajahnya.
“Yeah,” kata Man, “dan untung Awan tidak jadi panik dalam krisis, 'tak ada kayu', astaga.”
“Jalan sini,” kata Awan, menunjuk ke lorong berlantai batu yang merupakan satu-satunya jalan di situ.
Satu-satunya bunyi yang bisa mereka dengar, selain langkahlangkah mereka sendiri, adalah tetes-tetes air lembut yang jatuh dari dinding. Lorong itu menurun, mengingatkan Awan pada Ambarawa. Hatinya tersentak ketika ia teringat naga-naga yang kabarnya menjaga ruangan-ruangan besi di bank para Ksatria itu. Bagaimana seandainya mereka bertemu naga, naga yang benar-benar sudah dewasa, Nabha saja sudah sangat merepotkan....
“Kau dengar sesuatu?” Man berbisik.
Awan mendengarkan. Bunyi berkeresak dan denting lembut terdengar dari arah depan. “Menurutmu itu hantu?”
“Entahlah... kedengarannya seperti sayap bagiku.”
“Di depan terang, bisa kulihat ada yang bergerak.” Mereka mencapai ujung lorong dan melihat didepan mereka kamar yang terang benderang, langit-langitnya melengkung tinggi di atas mereka. Kamar itu penuh burung-burung kecil yang berkilauan bagai permata, beterbangan mengitari ruangan. Di sisi lain kamar itu terdapat pintu kayu berat.
“Apa mereka akan menyerang bila kita menyeberangi kamar ini?” kata Man.
“Mungkin,” kata Awan. “Kayaknya sih mereka tidak galak, tapi kalau menyerang bersamaan... yah, tak ada jalan lain... aku mau lari.”
Awan menarik napas dalam-dalam, menutupi wajah dengan lengannya dan berlari menyeberangi ruangan. Ia mengira paruh dan cakar tajam akan merobek-robeknya setiap saat, tetapi ternyata tidak. Ia tiba di pintu dengan selamat. Ditariknya pegangan pintu. Pintu itu terkunci.
Kedua temannya mengikutinya. Mereka menarik dan mendorong pintu itu, tetapi pintunya tak bergerak, bahkan tidak juga ketika Kirana mencoba Mantra Nuwun Sewunya.
“Sekarang bagaimana?” kata Man. “Burung-burung ini... mereka tak mungkin ada di sini hanya untuk dekorasi saja,” kata Kirana. Mereka mengawasi burung-burung yang beterbangan di atas, berkilauan-berkilauan?
“Mereka bukan burung!” celetuk Awan tiba-tiba. “Itu kunci! Kunci bersayap, lihat yang teliti. Itu berarti...” Awan melihat berkeliling ruangan sementara kedua temannya menyipitkan mata, memandang kawanan kunci itu.  “Ya, lihat!  Sapu!  Kita harus menangkap kunci pintu itu!”
“Tapi ada ratusan kunci!”
Man mengamati lubang kunci di pintu.
“Yang kita cari kunci kuno besar, mungkin perak, seperti pegangan pintunya.”
Awan mulai mengumpulkan Prabanya dalam satu titik hingga ia dapat melayang diantara gerombolan kunci. Sementara Man dan Kirana masing-masing menyambar sapu dan menyentak ke atas, melayang ke tengah gerombolan kunci itu. Mereka menyambar dan menjambret, namun kunci-kunci yang telah di beri Ajian itu meluncur dan menukik begitu cepat, sampai nyaris tak mungkin ditangkap.
Tapi tak percuma Awan menjadi Wulung paling muda abad ini. Ia punya bakat melihat sesuatu yang tak dilihat orang lain. Setelah beberapa menit menyelip-nyelip di antara pusaran bulu-bulu pelangi itu, Ia melihat kunci perak besar yang sayapnya bengkok, seakan kunci itu sudah pernah ditangkap dan dijejalkan dengan kasar ke dalam lubang kunci.
“Yang itu!” teriaknya. “Yang besar itu, di sana bukan, itu yang sayapnya biru terang, bulu-bulunya kusut di satu sisinya.”
Man meluncur ke arah yang ditunjuk Awan, menabrak langit-langit dan nyaris terjatuh dari sapunya.
“Kita harus mengepungnya!” teriak Awan, tanpa melepas pandangannya dari kunci dengan sayap rusak itu. “Man, kau mendatanginya dari atas, Kirana, tetap di bawah dan cegah kunci itu turun, dan aku akan mencoba menangkapnya. Baik. SEKARANG!”
Man menukik, Kirana melintas, kunci itu berhasil menghindari mereka berdua dan Awan meluncur mengejarnya. Kunci itu terbang menuju dinding, Awan mempertajam tubuhnya ke depan dan diiringi bunyi derak yang menyakitkan telinga, memepetnya ke dinding dengan satu tangan. Sorak Man dan Kirana bergaung di kamar berlangit-langit tinggi itu.
Mereka cepat-cepat mendarat dan Awan berlari ke pintu, kunci di tangannya menggelepar berusaha melepaskan diri. Awan memasukkannya ke lubang dan memutarnya, berhasil. Begitu terdengar bunyi klik membuka, kuncinya langsung melesat terbang lagi, bentuknya makin berantakan sekarang, setelah ditangkap dua kali.
“Siap?” Awan menanyai kedua temannya, tangannya mencekal pegangan pintu. Mereka mengangguk. Dibukanya pintu.
Kamar berikutnya begitu gelap sehingga mereka sama sekali tak bisa melihat apa-apa. Tetapi begitu mereka melangkah masuk, mendadak cahaya memenuhi ruangan, menunjukkan pemandangan yang mencengangkan.
Mereka berdiri di tepi papan catur raksasa, di belakang bidak-bidak hitam, yang semuanya lebih tinggi dari mereka dan dipahat dari tampaknya batu hitam. Berhadapan dengan mereka, jauh di seberang ruangan, adalah bidak-bidak putih. Awan, Man, dan Kirana sedikit gemetar bidak-bidak catur putih itu tak berwajah.
“Sekarang, apa yang harus kita lakukan?” bisik Awan.
“Jelas, kan?” timpal Man. “Kita harus bermain untuk bisa sampai ke seberang ruangan.” Di belakang bidak-bidak putih itu mereka melihat pintu lain.
“Bagaimana?” tanya Kirana cemas.
“Kurasa,” kata Man, “kita harus menjadi bidak catur.”
Man berjalan ke arah perwira hitam dan menjulurkan tangan untuk menyentuh kudanya. Langsung saja batu itu hidup. Kudanya mengais-ngais tanah dan si perwira menolehkan kepalanya yang memakai helm untuk menunduk, memandang Man.
“Apa kami, er, harus bergabung dengan kalian untuk bisa menyeberang?” Perwira hitam itu mengangguk. Man menoleh kepada kedua temannya. “Ini perlu pemikiran...,” katanya.
“Kurasa kita harus mengambil tempat tiga bidak hitam...”
Awan dan Kirana tetap diam, mengawasi Man berpikir. Akhirnya Man berkata, “Jangan tersinggung, ya, tapi kalian berdua tak begitu ahli main catur...”
“Kami tidak tersinggung,” kata Awan cepat-cepat.  “Katakan saja apa yang harus kami lakukan.”
“Nah, Awan kau mengambil tempat menteri itu, dan Kirana, kau di sebelahnya, di tempat benteng itu.”
“Kau sendiri bagaimana?”
“Aku akan jadi perwira,” kata Man.
Bidak-bidak catur itu rupanya mendengarkan, karena begitu Man berkata demikian, perwira, menteri, dan benteng berbalik memunggungi bidak-bidak putih dan berjalan turun dari papan catur,  meninggalkan tiga petak kosong yang segera ditempati Man, Awan, dan Kirana.
“Putih selalu melangkah duluan dalam permainan catur,” kata Man, menyipitkan mata memandang ke seberang.  “Ya... lihat...”
Satu pion putih melangkah maju dua petak. Man mulai mengarahkan bidak-bidak hitam. Mereka bergerak diam mengikuti perintahnya. Lutut Awan gemetar. Bagaimana kalau mereka kalah?
“Awan, bergerak diagonal empat petak ke kanan.”
Pukulan pertama mereka terjadi ketika perwira hitam satunya ditawan.  Si ratu putih membantingnya ke lantai dan menyeretnya ke luar papan. Si perwira menggeletak tak bergerak, tengkurap.
“Apa boleh buat,” kata Man, yang tampak terguncang. “Kau jadi bebas menawan si menteri itu, Kirana, ayo.”
Setiap kali salah satu anggota mereka kalah, bidak-bidak putih itu tak menunjukkan belas kasihan. Segera saja sekumpulan bidak hitam lemas terpuruk di sepanjang dinding. Dua kali, Man menyadari tepat waktu bahwa Awan dan Kirana dalam bahaya. Dia sendiri melesat ke sana kemari di papan, menawan bidak putih hampir sebanyak bidak hitam yang kalah.
“Kita hampir sampai,” mendadak Man bergumam. “Biar aku berpikir, biar aku berpikir...”  Si ratu putih menolehkan wajahnya yang kosong ke arahnya. “Ya...,” kata Man pelan, “ini satu-satunya cara... aku harus ditawan.”
“TIDAK!” Awan dan Kirana memekik.
“Begitulah catur!” tukas Man. “Harus ada yang dikorbankan!
Aku akan melangkah maju satu petak dan ratu putih akan menawanku, jadi kau bebas menskak rajanya, Awan!”
“Tapi...”
“Kau mau menghalangi Saka atau tidak?”
“Man...”
“Kalau kau tidak buru-buru, Saka sudah akan berhasil mendapatkan batu itu!”
Tak ada pilihan lain. “Siap?” seru Man, wajahnya pucat, tetapi mantap. “Aku menyerahkan diri, jangan berlama-lama begitu kalian sudah menang.”
Man melangkah maju dan ratu putih langsung menerkam. Dipukulnya keras-keras kepala Man dengan tangan batunya dan Man langsung ambruk ke lantai, Kirana menjerit tetapi tetap bertahan di petaknya, si ratu putih menyeret Man ke tepi. Kelihatannya dia pingsan.
Gemetaran, Awan bergerak tiga petak ke kiri.
Si raja putih melepas mahkotanya dan melemparnya ke kaki Awan.  Mereka sudah menang. Bidak-bidak catur menepi dan membungkuk, jalan menuju pintu kini tanpa hambatan. Dengan pandangan putus asa terakhir ke arah Man, Awan dan Kirana berlari melewati pintu dan tiba di lorong berikutnya.
“Bagaimana kalau dia...?”
“Dia akan baik-baik saja,” kata Awan berusaha meyakinkan diri sendiri. “Menurutmu, apa berikutnya?”
“Kita sudah melewati kreasi Batara Sapta, Jerat Setan tadi,
Batara Flamboyan pastilah yang menyulap kunci-kunci, Dewi Fatimah mentransfigurasi bidak-bidak catur membuatnya hidup, tinggal mantra Somad, dan Saka....”
Mereka sudah tiba di pintu berikutnya.
“Buka sekarang?” Awan berbisik.
“Buka saja.”
Awan mendorongnya terbuka.
Bau menjijikkan menusuk hidung, membuat keduanya menarik jubah untuk menutupi hidung. Dengan mata berair mereka melihat, tergeletak di lantai di depan mereka, detya yang bahkan lebih besar daripada detya gunung yang sudah mereka kalahkan, pingsan dengan benjolan berdarah pada kepalanya.
“Aku lega kita tidak perlu berkelahi dengan dia,” bisik Awan, ketika mereka dengan hati-hati melangkahi salah satu kakinya yang amat besar. “Ayo cepat, aku tak bisa bernapas.”
Awan membuka pintu ke ruang berikutnya, keduanya nyaris tak berani melihat apa yang menantikan mereka, tetapi tak ada sesuatu yang mengerikan di sini, hanya meja dengan tujuh botol berbeda bentuk berdiri berderet.
“Hasil karya Saka,” kata Awan. “Apa yang harus kita lakukan?”
Mereka melangkahi ambang pintu dan mendadak api berkobar di belakang mereka. Bukan api biasa, karena warnanya ungu. Pada saat bersamaan, lidah api hitam menyala di pintu menuju ruang berikutnya. Mereka terperangkap.
“Lihat!” Kirana menyambar segulung kertas yang tergeletak di sebelah botol-botol. Awan melongok dari balik bahu Kirana untuk ikut membacanya:
Bahaya ada di depanmu, sementara rasa aman ada di belakang, Kami berdua akan membantumu, entah mana yang akan kau temukan, Satu di antara kami bertujuh akan membawamu maju ke kamar berikutnya, Satu lagi  membuat peminumnya kembali ke tempat semula, Dua di antara kami hanyalah berisi anggur lezat, Tiga di antara kami pembunuh, sembunyi menunggu saat yang tepat. Pilihlah, kalau tak mau berada di sini selamanya merajuk, Untuk membantu menentukan pilihanmu, kami berikan empat petunjuk:
Pertama, betapapun liciknya racun berusaha bersembunyi, Kau akan selalu menemukannya di sebelah anggur di sisi kiri;
Kedua, yang berdiri di masing-masing ujung isinya lain, Tetapi kalau kau mau ke depan, dua-duanya pantang untuk main-main;
Ketiga, seperti kaulihat jelas, semua botol berbeda ukurannya, Baik yang cebol maupun yang raksasa berisi maut di dalamnya;
Keempat, yang kedua dari kiri dan dari kanan, Sama saja isinya, meskipun awalnya tampak berlainan.
Kirana mengembuskan napas lega, dan Awan heran sekali melihatnya tersenyum, soalnya ia sendiri sama sekali tak ingin tersenyum.
“Brilian,” puji Kirana. “Ini bukan Ajian, ini logika, tekateki. Banyak penyihir besar yang tak punya logika sama sekali, akan terkurung di sini selamanya.”
“Kita juga begitu, kan?”
“Tentu saja tidak,” kata Kirana. “Semua yang kita butuhkan ada di atas kertas ini. Tujuh botol:  tiga di antaranya racun; dua anggur, satu akan membawa kita dengan selamat melewati api hitam itu, dan satu lagi akan membawa kita kembali melewati api ungu.”
“Tapi, bagaimana kita tahu mana yang harus di minum?”
“Beri aku waktu sebentar.” Kirana membaca kertas itu beberapa kali. Kemudian dia berjalan mondar-mandir di depan deretan botol, bergumam sendiri dan menunjuk-nunjuk botol-botol itu. Akhirnya dia bertepuk tangan.
“Aku tahu,” katanya. “Botol paling kecil akan membawa kita melewati api hitam, menuju ke Batu Naran.”
Awan memandang botol kecil mungil itu.
“Isinya hanya cukup untuk satu orang,” katanya. “Satu teguk saja pun tak ada.” Mereka saling pandang.  “Mana yang bisa membawamu melewati api ungu?” Kirana menunjuk botol bulat di ujung deretan. “Kau minum yang itu,” kata Awan.
“Tidak, dengar, kembalilah dan ajak Man, ambil sapu dari kamar kunci terbang, sapu itu bisa membawa kalian keluar dari pintu jebakan dan juga melewati Jaladara, langsung pergi ke kandang burung dan kirim Ruda ke Batara Giri, kita memerlukan dia. Aku mungkin sanggup menahan Saka untuk sementara waktu, tetapi aku sama sekali bukan tandingannya.”
“Tapi, Awan, bagaimana kalau Sinten Menika ada bersamanya?”
“Yah, aku pernah beruntung sekali, kan?” kata Awan, menunjuk bekas lukanya. “Siapa tahu aku beruntung lagi.”
Bibir Kirana bergetar dan mendadak dia berlari mendekati Awan dan memeluknya.
“Kirana!”
“Awan, kau ksatria hebat.”
“Aku tidak sepandai kau, bahkan aku tak memiliki bawa Ajian,” kata Awan, malu sekali, ketika Kirana melepasnya.
“Aku!” kata Kirana. “Buku-buku! Dan kepintaran! Ada banyak hal penting lainnya, persahabatan dan keberanian dan, oh, Awan, hati-hati, ya!”
“Kau minum dulu,” kata Awan. “Kau yakin mana botol yang benar, kan?”
“Pasti,” kata Kirana. Diminumnya isi botol bulat itu, dan dia bergidik.
“Bukan racun?” tanya Awan cemas.
“Bukan, tapi seperti es.”
“Cepat, sebelum khasiatnya luntur.”
“Semoga berhasil, jaga dirimu...”
“PERGILAH!”
Kirana berbalik dan melangkahi api ungu. Awan berguman Kirana dan Man kau sahabat terbaiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar