NABHA - Sastra Education

Breaking

Rabu, 12 Februari 2020

NABHA


Setiap kali melewati koridor lantai tiga, Awan, Man, dan Kirana menempelkan telinga mereka ke pintu untuk mengecek apakah Jaladara masih menggeram di dalam. Saka berkeliaran ke sana kemari, marah-marah seperti biasa, yang berarti Batu Naran itu masih aman. Setiap kali berpapasan dengan Somad, Awan tersenyum untuk menyemangatinya, dan Man mulai menegur anak-anak yang menertawakan Somad yang gagap.
Tetapi Kirana banyak memikirkan hal lain selain Batu Naran. Dia telah mulai merevisi jadwal belajarnya dan memberi kode-kode warna pada catatan-catatannya. Awan dan Man sebenarnya tidak keberatan, tetapi Kirana tak henti-hentinya mendesak mereka untuk melakukan hal yang sama.
“Kirana, ujiannya masih lama sekali.” “Dua setengah bulan lagi,” tukas Kirana. “Itu tidak lama, buat Nambi Fora itu cuma sekejap.”
“Tapi kita kan belum enam ratus tahun,” Man mengingatkan. “Lagi pula, untuk apa kau belajar lagi, kau kan sudah hafal semuanya.”
“Untuk apa aku belajar lagi? Kalian gila? Kalian sadar kan kita harus lulus supaya bisa naik ke kelas dua? Belajar penting sekali, aku seharusnya sudah mulai sebulan yang lalu. Aku tak tahu apa yang terjadi padaku....”

Celakanya, para guru berpikiran sama dengan Kirana. Mereka membebani anak-anak dengan begitu banyak PR, sehingga liburan Imlek tidak seasyik liburan. Sulit bersantai bila Kirana ada di sebelah mereka, sibuk mengulang-ulang dua belas kegunaan darah naga atau berlatih gerakan-gerakan tongkat Ajian.  Mengeluh dan menguap, Awan dan Man melewatkan sebagian besar waktu luang mereka di perpustakaan bersama Kirana, berusaha menyelesaikan tugas-tugas tambahan mereka.
“Aku tak akan pernah ingat ini,” celetuk Man suatu sore, seraya melempar pena bulunya dan memandang keluar penuh kerinduan lewat jendela perpustakaan. Hari itu hari pertama yang benar-benar cerah setelah berbulan-bulan diliputi hujan deras. Langit biru terang, dan suasana menyiratkan musim panas akan segera datang.
Awan, yang sedang membaca “Digya” di buku Seribu Satu Tanaman dan Jamur Gaib, tidak mendongak sampai Man berseru, “Permadi, ngapain kau di sini?”
Permadi muncul, menyembunyikan sesuatu di belakang punggungnya. Dia kelihatan janggal berada di perpustakaan memakai jubah kulit sapi mondoknya.
“Cuma cari sesuatu,” katanya dengan suara mencurigakan sehingga mereka langsung tertarik. “Dan kalian sendiri sedang ngapain?” Mendadak dia kelihatan curiga. “Kalian tidak sedang cari Nambi Fora, kan?”
Oh, kami sudah lama tahu siapa dia,” kata Man mengesankan. “Dan kami tahu apa yang dijaga macan itu, Batu Nar...”
“Sshhh!” Permadi cepat-cepat memandang berkeliling, untuk melihat apakah ada yang mendengar. “Jangan teriak-teriak soal itu. Kau ini kenapa sih?”
“Ada yang ingin kami tanyakan kepadamu sebetulnya,” kata Awan. “Yaitu, apa saja yang menjaga batu itu selain Jaladara...”
“SSHHH!” kata Permadi lagi. “Dengar datang temui aku nanti, aku tidak janji mau kasih tahu apa-apa, tapi jangan buka rahasia di sini. Murid tidak boleh tahu. Mereka akan kira aku beritahu kalian.”
“Sampai ketemu nanti, kalau begitu,” kata Awan.
Permadi keluar perpustakaan.
“Apa yang disembunyikannya di belakang punggung?” tanya Kirana berpikir-pikir.
“Apa mungkin ada hubungannya dengan batu itu?”
“Aku mau tahu dia tadi ada di seksi buku apa,” kata Man, yang sudah bosan belajar. Semenit kemudian dia muncul lagi membawa setumpuk buku yang diempaskannya ke atas meja.
“Naga!” bisiknya, “Permadi mencari informasi tentang naga! Lihat ini: Spesies Naga di Indonesia dan Maldewa; Dari Telur ke Neraka, Penuntun Pemelihara Naga.”
“Sudah lama Permadi kepingin punya naga. Dia bilang begitu kepadaku waktu pertama kali aku bertemu dia,” kata Awan.
“Tapi itu melanggar undang-undang,” kata Man.
“Penangkaran naga sudah dilarang oleh Konvensi Ajian tahun 1889, semua orang tahu itu. Susah menjaga agar Digya tidak mengetahui keberadaan kita jika kita memelihara naga di halaman belakang lagi pula, kau tidak bisa menjinakkan naga, bahaya. Coba kalau kalian bisa melihat luka bakar Barata gara-gara naga liar di India.”
“Jadi, tidak ada naga liar di Indonesia?” tanya Awan.
“Tentu saja ada,” kata Man. “Naga Hijau Wiga yang biasa dan naga Hitam Haliwar. Kementerian Ajian cukup repot menyembunyikan mereka. Orang-orang kita harus terus-menerus menyulap Wusana yang pernah melihatnya, untuk membuat mereka melupakannya.”
“Kalau begitu, apa yang sedang dilakukan Permadi?”
Ketika mereka mengetuk pintu pondok si pengawas binatang liar satu jam kemudian, mereka heran melihat semua gorden tertutup. Permadi berseru, “Siapa itu?” sebelum mempersilakan mereka masuk dan cepat-cepat menutup pintu kembali.
Di dalam panas sekali. Meskipun udara hangat, di perapian api menyala-nyala. Permadi membuatkan teh dan menawari mereka sandwich kancil, yang mereka tolak.
“Nah... kalian mau tanya sesuatu?”
“Ya,” jawab Awan. Tak ada gunanya berbelit-belit. “Kami ingin tahu apakah kau bisa memberitahu kami apa saja yang menjaga Batu Naran selain Jaladara.”
Permadi mengerutkan kening ke arah Awan.
“Tentu saja tidak bisa,” katanya. “Pertama, aku sendiri tidak tahu. Kedua, kalian sudah tahu terlalu banyak, jadi aku tak akan beritahu kalian kalaupun aku bisa. Batu itu di sini untuk alasan baik. Batu itu nyaris dicuri dari Ambarawa kurasa kalian sudah simpulkan ini? Aku tak mengerti bagaimana kalian bisa tahu tentang Jaladara.”
“Oh, ayolah, Permadi, kau mungkin tak ingin memberitahu kami, tetapi kau sebetulnya tahu segalanya yang terjadi di sini,” kata Kirana dengan suara hangat memuji. Jenggot Permadi bergerak-gerak dan mereka bisa menebak dia sedang tersenyum.
“Kami cuma ingin tahu siapa yang menjaga, itu saja.” Kirana melanjutkan, “Kami penasaran siapa yang cukup dipercaya Kakek Batara Giri untuk membantunya, selain kau.”
Dada Permadi membusung mendengar kalimat terakhir Kirana. Awan dan Man tersenyum kepada Kirana.
“Yah, kurasa tidak ada bahayanya kuberitahu kalian bahwa... begini... dia pinjam Jaladara dariku...  kemudian beberapa guru lakukan penyulapan... Batara Sapta, Batara Flamboyan, Dewi Fatimah...,” ditekuknya jarinya satu demi satu, “Batara Somad dan Batara Giri sendiri lakukan sesuatu, tentu saja.  Sebentar, aku lupa satu orang. Oh yeah, Batara Saka.”
“Saka?”
“Yeah kalian sudah tidak curigai dia lagi, kan? Saka bantu jaga, dia tidak akan curi batu itu.”
Awan tahu Man dan Kirana berpikiran sama seperti ia. Jika Saka termasuk yang menjaga batu, pastilah mudah baginya untuk mencari tahu bagaimana guru-guru yang lain menjaganya. Dia mungkin tahu segalanya kecuali, tampaknya, mantra Somad dan bagaimana caranya melewati Jaladara.
“Kau satu-satunya yang tahu bagaimana caranya melewati Jaladara, kan, Permadi?” tanya Awan cemas. “Dan kau tidak akan bilang siapa-siapa, kan? Bahkan kepada salah satu guru pun?”
“Tak ada yang tahu kecuali aku dan Batara Giri,” kata Permadi bangga.
“Untunglah,” gumam Awan kepada yang lain. “Permadi, boleh tidak jendelanya dibuka satu? Aku kepanasan.”
“Tidak bisa, Awan, ora,” kata Permadi.
Awan memperhatikan Permadi mengerling ke perapian. Awan juga memandang ke sana.
“Permadi apa itu?” Tetapi ia sudah tahu apa itu.  Persis di tengah api, di bawah ketel, ada telur hitam besar sekali.
“Ah,” kata Permadi, dengan gelisah memilin-milin jenggotnya.
“Itu... er...”
“Dari mana kau dapat itu, Permadi?” kata Man, berjongkok di depan perapian untuk melihat telur itu dari dekat. “Pasti mahal sekali harganya.”
“Hadiah,” kata Permadi. “Semalam. Aku ke desa minum kopi, lalu aku bertemu dengan orang asing. Kurasa dia senang bisa lepas dari telur itu, benar lho.”
“Tapi apa yang akan kau lakukan kalau telurnya menetas?” tanya Kirana.
“Yah, aku sudah baca-baca,” kata Permadi, seraya menarik buku panjang dari bawah bantalnya. “Pinjam ini dari perpustakaan Pemeliharaan dan Pengembangbiakan Naga untuk Kesenangan dan Keuntungan memang sudah sedikit ketinggalan zaman, tapi semuanya ada di situ. Taruh telurnya di api, karena induk mereka semburkan api ke telur-telurnya, lihat, dan kalau sudah menetas, beri makan seember Tuak dicampur darah ayam setengah jam sekali. Dan lihat ini bagaimana mengenali jenis telur-telur telur milikku ini jenis Punggung Bersirip Suriah. Jenis yang langka.”
Permadi kelihatan puas sekali, tetapi Kirana tidak.
“Permadi, kau tinggal di pondok papan,” katanya.
Tetapi Permadi tidak mendengarkan. Dia bersenandung riang ketika mengaduk perapiannya agar menyala lebih besar.
Maka sekarang ada hal lain yang perlu mereka cemaskan: apa yang akan terjadi pada Permadi jika ketahuan dia menyembunyikan naga ilegal di dalam pondoknya.
“Bagaimana ya rasanya menjalani hidup yang tenang,” keluh Man, ketika malam demi malam mereka berjuang mengerjakan PR-PR ekstra yang dibebankan kepada mereka. Kirana sekarang sudah mulai mengatur ulang jadwal belajar Awan dan Man. Membuat mereka berdua jengkel.
Kemudian, suatu pagi saat sarapan, Ruda membawa surat lagi untuk Awan dari Permadi. Permadi hanya menulis dua kata: Sedang menetas.
Man ingin membolos dari kelas Herbologi dan langsung ke pondok. Kirana menentang habis-habisan. “Kirana, berapa kali dalam hidup kita, kita bisa melihat naga yang sedang menetas?”
“Ada pelajaran. Nanti kita kena marah, dan itu belum apa-apa dibanding dengan apa yang akan terjadi pada Permadi kalau ada orang yang tahu apa yang sedang dilakukannya...”
“Diam!” desis Awan.
Bronto hanya satu meter dari mereka dan dia langsung berhenti untuk mendengarkan. Seberapa banyak yang berhasil didengarnya? Awan sama sekali tidak menyukai ekspresi wajah Bronto.
Man dan Kirana bertengkar sepanjang perjalanan ke kelas Herbologi, dan pada akhirnya, Kirana setuju kabur ke pondok Permadi dengan kedua temannya pada saat istirahat pagi. Ketika bel di kastil berbunyi pada akhir pelajaran mereka, ketiganya langsung menjatuhkan sekop dan bergegas menyeberangi lapangan menuju ke tepi Hutan. Permadi menyalami mereka, wajahnya riang kemerahan.
“Sudah hampir keluar.” Diajaknya mereka masuk.
Telur itu tergeletak di atas meja. Ada retakan-retakan dalam pada kulitnya. Sesuatu bergerak-gerak di dalamnya, menimbulkan bunyi klak-klik yang aneh terdengar. Mereka semua menarik kursi ke dekat meja dan mengawasi dengan napas tertahan. Mendadak terdengar bunyi gesekan dan telur itu terbelah.
Bayi naga tergeletak di meja. Bayi itu tidak indah.  Menurut Awan malah kelihatan seperti payung hitam yang kusut. Sayapnya tampak sangat besar dibanding tubuhnya yang masih kurus, dan moncongnya panjang, dengan dua lubang hidung besar, dua tanduk kecil, dan mata jingga yang menonjol. Dia bersin. Beberapa bunga api muncrat dari moncongnya.
“Cantik, ya?” Permadi bergumam. Dia menjulurkan tangannya untuk membelai kepala si naga. Naga itu mencaplok jari-jari Permadi, taringnya yang tajam kelihatan.
“Bukan main, dia tahu yang mana induknya!” kata Permadi.
“Permadi,” kata Kirana, “seberapa cepat persisnya naga Punggung Bersirip Suriah tumbuh besar?”
Permadi sudah mau menjawab ketika wajahnya tiba-tiba memucat dia melompat berdiri dan berlari ke jendela.
“Ada apa?” “Ada yang ngintip lewat celah gorden anak laki-laki dia lari balik ke sekolah.” Awan melesat ke pintu dan memandang ke luar. Bahkan dari kejauhan ia tak mungkin keliru. Bronto telah melihat naga itu.
Senyum yang tersungging di bibir Bronto selama seminggu berikutnya membuat Awan, Man, dan Kirana sangat cemas. Mereka melewatkan sebagian besar waktu luang mereka di pondok Permadi yang digelapkan, mencoba membujuknya.
“Lepaskan saja dia,” desak Awan.”Biar dia hidup di alam bebas.”
“Tidak bisa,” kata Permadi. “Dia masih terlalu kecil. Dia akan mati.”
Mereka memandang si naga. Bayi itu sudah tiga kali lipat lebih panjang, dalam waktu seminggu. Asap tak henti-hentinya berembus melingkar dari lubang hidungnya. Permadi belakangan ini sudah tidak melakukan tugas-tugasnya sebagai pengawas binatang liar di sekolah karena si naga kecil membuatnya sangat sibuk. Botol-botol tuak kosong dan bulu-bulu ayam bertebaran di lantai.
“Aku sudah memutuskan untuk menamainya Nabha,” kata Permadi, seraya menatap si naga dengan mata basah. “Dia sudah kenal aku sekarang. Lihat. Nabha! Nabha! Mana Mama?”
“Dia sinting,” Man bergumam di telinga Awan.
“Permadi,” kata Awan keras-keras, “dua minggu lagi Nabha sudah akan sepanjang rumahmu. Bronto bisa melapor kepada Batara Giri kapan saja.”
Permadi menggigit bibir.
“Aku aku tahu. Aku tak bisa memeliharanya selamanya, tetapi aku tak bisa menyuruhnya pergi begitu saja. Aku tak bisa.”
Mendadak Awan menoleh kepada Man.
“Barata,” kata Awan.
“Kau juga ikutan sinting,” kata Man. “Namaku Man. Ingat?”
“Bukan Barata, kakakmu Barata. Di India. Sedang belajar tentang naga. Kita bisa mengirim Nabha kepadanya. Barata bisa memeliharanya dan kemudian melepasnya ke alam bebas!”
“Brilian!” kata Man. “Bagaimana, Permadi?” Pada akhirnya Permadi setuju mereka mengirim burung garuda kepada Barata untuk menanyainya.
Minggu berikutnya berlalu lambat. Rabu malam Kirana dan Awan masih duduk berdua di ruang rekreasi, lama sesudah yang lain pergi tidur. Jam di dinding baru saja berdentang menandakan tengah malam ketika lubang lukisan tiba-tiba membuka. Man mendadak muncul ketika dia melepas Jubah Gaib Awan. Dia baru kembali dari pondok Permadi, membantunya memberi makan Nabha, yang sekarang sudah makan berkrat-krat bangkai tikus.
“Dia menggigitku!” katanya, menunjukkan tangannya yang dibalut saputangan berdarah. “Aku tak akan bisa memegang pena selama seminggu ini. Percaya deh, naga itu binatang paling mengerikan yang pernah kutemui, tetapi kalau melihat cara Permadi memujanya, kau akan mengira dia anak kelinci berbulu lembut yang lucu. Ketika dia menggigitku, Permadi malah menyuruhku menyingkir karena membuat Nabha takut.  Dan waktu aku pergi tadi, Permadi sedang meninabobokannya.”
Ada ketukan di jendela gelap.
“Itu Ruda!” kata Awan, bergegas membuka jendela agar Ruda bisa masuk. “Dia membawa surat balasan Barata!”
Ketiganya merapatkan kepala untuk membaca surat Barata.
Assalamuaalaikum, Man
Apa kabar? Terima kasih suratnya. Aku senang-senang saja menerima Punggung bersirih Suriah itu, tetapi tidak mudah membawa ke sini. Kurasa yang paling baik adalah menitipkan pada kawan yang akan berkunjung minggu depan. Masalahnya adalah mereka tak boleh ketahuan membawa naga illegal.
Bisakah kau membawa Punggung Bersirih ke menara paling tinggi tengah malam hari sabtu? Mereka bisa menemui disana dan membawanya selagi masih gelap.
Kirimi aku jawaban secepat mungkin.
Wa’alaikum salam
Barata

Mereka saling pandang.
“Kita punya Jubah Gaib,” kata Awan. “Mestinya tidak terlalu sulit kurasa jubah itu cukup besar untuk menutupi dua di antara kita dan Nabha.”
Bahwa kedua temannya langsung sepakat, menunjukkan bahwa seminggu terakhir ini keadaan sudah parah sekali. Mereka bersedia melakukan apa saja untuk menyingkirkan Nabha dan Bronto.
Ada rintangan. Esok paginya tangan Man yang digigit Nabha sudah membengkak dua kali ukuran normalnya. Dia tak tahu aman atau tidak pergi ke Dewi Pertiwi apakah dia akan mengenali gigitan naga? Meskipun demikian, sorenya, Man sudah tak punya pilihan lain. Lukanya sudah berwarna hijau mengerikan. Rupanya taring Nabha beracun. Awan dan Kirana bergegas ke rumah sakit pada akhir hari itu dan menemukan Man terbaring parah di tempat tidur.
“Bukan cuma tanganku,” bisik Man, “meskipun rasanya tanganku hampir copot. Bronto bilang pada Dewi Pertiwi dia mau pinjam salah satu bukuku sehingga dia bisa datang dan menertawakanku. Dia terus-menerus mengancamku akan memberitahu Dewi Pertiwi apa sebetulnya yang menggigitku tetapi aku bilang pada Dewi Pertiwi aku digigit macan, kurasa dia tidak percaya, aku seharusnya tidak memukul Bronto waktu pertandingan Braja itu, sekarang dia mau membalasku.”
Awan dan Kirana berusaha menenangkan Man. Tapi sebaliknya, Man malah langsung terlonjak duduk dan berkeringat.
“Sabtu tengah malam!” katanya dengan suara serak.  “Oh tidak oh tidak aku baru ingat surat Barata ada dalam buku yang diambil Bronto. Dia akan tahu kapan kita menyingkirkan Nabha.”
Awan dan Kirana tak punya kesempatan untuk menjawab. Dewi Pertiwi muncul saat itu dan menyuruh mereka pergi, karena Man butuh tidur, katanya.
“Sudah terlambat untuk mengubah rencana sekarang,” Awan berkata kepada Kirana. “Kita tak punya waktu lagi untuk mengirim burung hantu kepada Barata, dan mungkin ini satu-satunya kesempatan kita untuk menyingkirkan Nabha. Kita harus ambil risiko. Dan kita kan punya Jubah Gaib. Bronto tidak tahu ini.”
Mereka menemukan Rudra, macan Permadi, duduk di depan pondok dengan ekor terbalut ketika mereka datang untuk memberitahu Permadi, yang membuka jendela untuk bicara kepada mereka.
“Kalian tak boleh masuk,” katanya tersengal. “Nabha sedang rewel bisa kutangani.”
Ketika mereka memberitahunya tentang surat Barata, mata Permadi langsung berkaca-kaca. Entah karena dia sedih, atau karena Nabha baru saja menggigit kakinya.
“Aargh!  Tidak apa-apa, dia cuma menggigit botku cuma main-main masih bayi sih.”
Si bayi menyabetkan ekornya ke dinding, membuat semua jendela pondok bergetar. Awan dan Kirana kembali ke kastil, berharap Sabtu segera datang.
Mereka pasti merasa kasihan pada Permadi ketika tiba saatnya bagi si pengawas binatang liar itu untuk mengucapkan selamat tinggal kepada Nabha, kalau saja mereka tidak terlalu mencemaskan apa yang harus mereka lakukan. Malam itu sangat gelap dan berawan, dan mereka agak terlambat tiba di pondok Permadi karena harus menunggu Bawor menyingkir dulu dari Aula Depan. Bawor sedang main tenis di situ, melawan tembok.
Permadi sudah menyiapkan Nabha dalam kotak besar.
“Sudah kusiapkan banyak tikus dan kopi untuk makan di jalan,” kata Permadi dengan suara tersendat.  “Dan boneka beruangnya juga sudah kumasukkan, siapa tahu dia kesepian.”
Dari dalam kotak terdengar robekan yang bagi Awan kedengarannya si boneka beruang sedang dicabut kepalanya.
“Da-dah, Nabha!” Permadi terisak, ketika Awan dan Kirana menyelubungi kotak itu dengan Jubah Gaib lalu mereka sendiri melangkah ke baliknya. “Mama tidak akan melupakanmu!”
Bagaimana mereka berhasil membawa kotak itu ke kastil, mereka tak pernah tahu. Sudah menjelang tengah malam ketika mereka bersusah payah membawa kotak Nabha menaiki tangga pualam di Aula Depan dan melewati koridor-koridor gelap. Naik tangga lain lagi, kemudian tangga lain, bahkan lewat salah satu jalan pintas yang diketahui Awan pun, tidak membuat tugas mereka bertambah ringan.
“Hampir sampai!” seru Awan terengah ketika mereka tiba di koridor di bawah menara tertinggi.
Gerakan mendadak di depan mereka nyaris membuat mereka menjatuhkan kotak. Lupa bahwa mereka sebetulnya tidak kelihatan, mereka merapat ke tempat yang terlindung baying-bayang, memandang dua sosok gelap yang sedang bergulat sekitar lima meter dari tempat mereka. Mendadak lampu menyala.
Dewi Fatimah, memakai baju tidur kotak-kotak dan hijab, menjewer telinga Bronto.
“Bronto!” teriak Dewi Fatimah, “dan potong dua puluh angka dari Madukara! Berkeliaran di tengah malam, beraninya kau...”
“Anda tidak mengerti, Dewi, Awan Negara akan datang, dia membawa naga!”
“Sungguh omong kosong! Berani-beraninya kau bohong besar begitu! Ayo aku akan bicara pada Batara Saka tentang kau, Bronto!”
Setelah kejadian itu, tangga spiral curam ke atas menara serasa jadi mudah didaki. Baru setelah melangkah ke udara malam yang dingin, mereka berani melepas jubah, lega bisa bernapas bebas lagi. Kirana menari-nari.
“Bronto dihukum kurung! Mau nyanyi aku rasanya!”
“Jangan,” Awan menasihatinya.
Sambil menertawakan Bronto, mereka menunggu. Nabha mengibas-ngibas di dalam kotaknya. Kira-kira sepuluh menit kemudian, empat sapu meluncur turun dari kegelapan.
Teman-teman Barata anak-anak periang. Mereka menunjukkan kepada Awan dan Kirana jaring yang telah mereka buat, supaya mereka bisa bekerja sama mengangkat Nabha. Mereka semua membantu menaikkan Nabha ke atas jaring. Kemudian Awan dan Kirana berjabat tangan dengan keempatnya dan mengucapkan banyak terima kasih kepada mereka.
Akhirnya. Nabha berangkat... pergi... lenyap.
Mereka menyelinap menuruni tangga spiral, hati mereka seringan tangan mereka, setelah Nabha tak lagi membebani. Tak ada naga lagi, Bronto kena penalty, apa yang bisa merusak kegembiraan mereka?
Jawabannya telah menunggu di kaki tangga. Ketika mereka melangkah ke koridor, mendadak wajah Tiwul muncul dari kegelapan.
“Wah, wah, wah,” bisiknya, “kita dalam kesulitan.” Jubah Gaib ketinggalan di atas menara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar