Setiap kali melewati
koridor lantai tiga, Awan, Man, dan Kirana menempelkan telinga mereka ke pintu
untuk mengecek apakah Jaladara masih menggeram di dalam. Saka berkeliaran ke
sana kemari, marah-marah seperti biasa, yang berarti Batu Naran itu masih aman.
Setiap kali berpapasan dengan Somad, Awan tersenyum untuk menyemangatinya, dan
Man mulai menegur anak-anak yang menertawakan Somad yang gagap.
Tetapi Kirana banyak
memikirkan hal lain selain Batu Naran. Dia telah mulai merevisi jadwal
belajarnya dan memberi kode-kode warna pada catatan-catatannya. Awan dan Man
sebenarnya tidak keberatan, tetapi Kirana tak henti-hentinya mendesak mereka
untuk melakukan hal yang sama.
“Kirana, ujiannya masih
lama sekali.” “Dua setengah bulan lagi,” tukas Kirana. “Itu tidak lama, buat
Nambi Fora itu cuma sekejap.”
“Tapi kita kan belum
enam ratus tahun,” Man mengingatkan. “Lagi pula, untuk apa kau belajar lagi,
kau kan sudah hafal semuanya.”
“Untuk apa aku belajar
lagi? Kalian gila? Kalian sadar kan kita harus lulus supaya bisa naik ke kelas
dua? Belajar penting sekali, aku seharusnya sudah mulai sebulan yang lalu. Aku
tak tahu apa yang terjadi padaku....”
Celakanya, para guru
berpikiran sama dengan Kirana. Mereka membebani anak-anak dengan begitu banyak
PR, sehingga liburan Imlek tidak seasyik liburan. Sulit bersantai bila Kirana
ada di sebelah mereka, sibuk mengulang-ulang dua belas kegunaan darah naga atau
berlatih gerakan-gerakan tongkat Ajian.
Mengeluh dan menguap, Awan dan Man melewatkan sebagian besar waktu luang
mereka di perpustakaan bersama Kirana, berusaha menyelesaikan tugas-tugas
tambahan mereka.
“Aku tak akan pernah
ingat ini,” celetuk Man suatu sore, seraya melempar pena bulunya dan memandang
keluar penuh kerinduan lewat jendela perpustakaan. Hari itu hari pertama yang
benar-benar cerah setelah berbulan-bulan diliputi hujan deras. Langit biru
terang, dan suasana menyiratkan musim panas akan segera datang.
Awan, yang sedang
membaca “Digya” di buku Seribu Satu Tanaman dan Jamur Gaib, tidak mendongak
sampai Man berseru, “Permadi, ngapain kau di sini?”
Permadi muncul,
menyembunyikan sesuatu di belakang punggungnya. Dia kelihatan janggal berada di
perpustakaan memakai jubah kulit sapi mondoknya.
“Cuma cari sesuatu,”
katanya dengan suara mencurigakan sehingga mereka langsung tertarik. “Dan
kalian sendiri sedang ngapain?” Mendadak dia kelihatan curiga. “Kalian tidak
sedang cari Nambi Fora, kan?”
Oh, kami sudah lama
tahu siapa dia,” kata Man mengesankan. “Dan kami tahu apa yang dijaga macan
itu, Batu Nar...”
“Sshhh!” Permadi
cepat-cepat memandang berkeliling, untuk melihat apakah ada yang mendengar. “Jangan
teriak-teriak soal itu. Kau ini kenapa sih?”
“Ada yang ingin kami
tanyakan kepadamu sebetulnya,” kata Awan. “Yaitu, apa saja yang menjaga batu
itu selain Jaladara...”
“SSHHH!” kata Permadi
lagi. “Dengar datang temui aku nanti, aku tidak janji mau kasih tahu apa-apa,
tapi jangan buka rahasia di sini. Murid tidak boleh tahu. Mereka akan kira aku
beritahu kalian.”
“Sampai ketemu nanti,
kalau begitu,” kata Awan.
Permadi keluar
perpustakaan.
“Apa yang
disembunyikannya di belakang punggung?” tanya Kirana berpikir-pikir.
“Apa mungkin ada
hubungannya dengan batu itu?”
“Aku mau tahu dia tadi
ada di seksi buku apa,” kata Man, yang sudah bosan belajar. Semenit kemudian dia
muncul lagi membawa setumpuk buku yang diempaskannya ke atas meja.
“Naga!” bisiknya, “Permadi
mencari informasi tentang naga! Lihat ini: Spesies Naga di Indonesia dan
Maldewa; Dari Telur ke Neraka, Penuntun Pemelihara Naga.”
“Sudah lama Permadi
kepingin punya naga. Dia bilang begitu kepadaku waktu pertama kali aku bertemu
dia,” kata Awan.
“Tapi itu melanggar
undang-undang,” kata Man.
“Penangkaran naga sudah
dilarang oleh Konvensi Ajian tahun 1889, semua orang tahu itu. Susah menjaga
agar Digya tidak mengetahui keberadaan kita jika kita memelihara naga di
halaman belakang lagi pula, kau tidak bisa menjinakkan naga, bahaya. Coba kalau
kalian bisa melihat luka bakar Barata gara-gara naga liar di India.”
“Jadi, tidak ada naga
liar di Indonesia?” tanya Awan.
“Tentu saja ada,” kata
Man. “Naga Hijau Wiga yang biasa dan naga Hitam Haliwar. Kementerian Ajian
cukup repot menyembunyikan mereka. Orang-orang kita harus terus-menerus
menyulap Wusana yang pernah melihatnya, untuk membuat mereka melupakannya.”
“Kalau begitu, apa yang
sedang dilakukan Permadi?”
Ketika mereka mengetuk
pintu pondok si pengawas binatang liar satu jam kemudian, mereka heran melihat
semua gorden tertutup. Permadi berseru, “Siapa itu?” sebelum mempersilakan
mereka masuk dan cepat-cepat menutup pintu kembali.
Di dalam panas sekali.
Meskipun udara hangat, di perapian api menyala-nyala. Permadi membuatkan teh
dan menawari mereka sandwich kancil, yang mereka tolak.
“Nah... kalian mau
tanya sesuatu?”
“Ya,” jawab Awan. Tak
ada gunanya berbelit-belit. “Kami ingin tahu apakah kau bisa memberitahu kami
apa saja yang menjaga Batu Naran selain Jaladara.”
Permadi mengerutkan
kening ke arah Awan.
“Tentu saja tidak bisa,”
katanya. “Pertama, aku sendiri tidak tahu. Kedua, kalian sudah tahu terlalu
banyak, jadi aku tak akan beritahu kalian kalaupun aku bisa. Batu itu di sini
untuk alasan baik. Batu itu nyaris dicuri dari Ambarawa kurasa kalian sudah
simpulkan ini? Aku tak mengerti bagaimana kalian bisa tahu tentang Jaladara.”
“Oh, ayolah, Permadi, kau
mungkin tak ingin memberitahu kami, tetapi kau sebetulnya tahu segalanya yang
terjadi di sini,” kata Kirana dengan suara hangat memuji. Jenggot Permadi
bergerak-gerak dan mereka bisa menebak dia sedang tersenyum.
“Kami cuma ingin tahu
siapa yang menjaga, itu saja.” Kirana melanjutkan, “Kami penasaran siapa yang
cukup dipercaya Kakek Batara Giri untuk membantunya, selain kau.”
Dada Permadi membusung
mendengar kalimat terakhir Kirana. Awan dan Man tersenyum kepada Kirana.
“Yah, kurasa tidak ada
bahayanya kuberitahu kalian bahwa... begini... dia pinjam Jaladara
dariku... kemudian beberapa guru lakukan
penyulapan... Batara Sapta, Batara Flamboyan, Dewi Fatimah...,” ditekuknya
jarinya satu demi satu, “Batara Somad dan Batara Giri sendiri lakukan sesuatu,
tentu saja. Sebentar, aku lupa satu
orang. Oh yeah, Batara Saka.”
“Saka?”
“Yeah kalian sudah
tidak curigai dia lagi, kan? Saka bantu jaga, dia tidak akan curi batu itu.”
Awan tahu Man dan Kirana
berpikiran sama seperti ia. Jika Saka termasuk yang menjaga batu, pastilah
mudah baginya untuk mencari tahu bagaimana guru-guru yang lain menjaganya. Dia
mungkin tahu segalanya kecuali, tampaknya, mantra Somad dan bagaimana caranya
melewati Jaladara.
“Kau satu-satunya yang
tahu bagaimana caranya melewati Jaladara, kan, Permadi?” tanya Awan cemas. “Dan
kau tidak akan bilang siapa-siapa, kan? Bahkan kepada salah satu guru pun?”
“Tak ada yang tahu
kecuali aku dan Batara Giri,” kata Permadi bangga.
“Untunglah,” gumam Awan
kepada yang lain. “Permadi, boleh tidak jendelanya dibuka satu? Aku kepanasan.”
“Tidak bisa, Awan, ora,”
kata Permadi.
Awan memperhatikan
Permadi mengerling ke perapian. Awan juga memandang ke sana.
“Permadi apa itu?”
Tetapi ia sudah tahu apa itu. Persis di
tengah api, di bawah ketel, ada telur hitam besar sekali.
“Ah,” kata Permadi,
dengan gelisah memilin-milin jenggotnya.
“Itu... er...”
“Dari mana kau dapat
itu, Permadi?” kata Man, berjongkok di depan perapian untuk melihat telur itu
dari dekat. “Pasti mahal sekali harganya.”
“Hadiah,” kata Permadi.
“Semalam. Aku ke desa minum kopi, lalu aku bertemu dengan orang asing. Kurasa
dia senang bisa lepas dari telur itu, benar lho.”
“Tapi apa yang akan kau
lakukan kalau telurnya menetas?” tanya Kirana.
“Yah, aku sudah
baca-baca,” kata Permadi, seraya menarik buku panjang dari bawah bantalnya. “Pinjam
ini dari perpustakaan Pemeliharaan dan Pengembangbiakan Naga untuk Kesenangan
dan Keuntungan memang sudah sedikit ketinggalan zaman, tapi semuanya ada di
situ. Taruh telurnya di api, karena induk mereka semburkan api ke
telur-telurnya, lihat, dan kalau sudah menetas, beri makan seember Tuak
dicampur darah ayam setengah jam sekali. Dan lihat ini bagaimana mengenali
jenis telur-telur telur milikku ini jenis Punggung Bersirip Suriah. Jenis yang
langka.”
Permadi kelihatan puas
sekali, tetapi Kirana tidak.
“Permadi, kau tinggal
di pondok papan,” katanya.
Tetapi Permadi tidak
mendengarkan. Dia bersenandung riang ketika mengaduk perapiannya agar menyala
lebih besar.
Maka sekarang ada hal
lain yang perlu mereka cemaskan: apa yang akan terjadi pada Permadi jika
ketahuan dia menyembunyikan naga ilegal di dalam pondoknya.
“Bagaimana ya rasanya
menjalani hidup yang tenang,” keluh Man, ketika malam demi malam mereka
berjuang mengerjakan PR-PR ekstra yang dibebankan kepada mereka. Kirana
sekarang sudah mulai mengatur ulang jadwal belajar Awan dan Man. Membuat mereka
berdua jengkel.
Kemudian, suatu pagi
saat sarapan, Ruda membawa surat lagi untuk Awan dari Permadi. Permadi hanya
menulis dua kata: Sedang menetas.
Man ingin membolos dari
kelas Herbologi dan langsung ke pondok. Kirana menentang habis-habisan. “Kirana,
berapa kali dalam hidup kita, kita bisa melihat naga yang sedang menetas?”
“Ada pelajaran. Nanti
kita kena marah, dan itu belum apa-apa dibanding dengan apa yang akan terjadi
pada Permadi kalau ada orang yang tahu apa yang sedang dilakukannya...”
“Diam!” desis Awan.
Bronto hanya satu meter
dari mereka dan dia langsung berhenti untuk mendengarkan. Seberapa banyak yang
berhasil didengarnya? Awan sama sekali tidak menyukai ekspresi wajah Bronto.
Man dan Kirana
bertengkar sepanjang perjalanan ke kelas Herbologi, dan pada akhirnya, Kirana
setuju kabur ke pondok Permadi dengan kedua temannya pada saat istirahat pagi.
Ketika bel di kastil berbunyi pada akhir pelajaran mereka, ketiganya langsung
menjatuhkan sekop dan bergegas menyeberangi lapangan menuju ke tepi Hutan.
Permadi menyalami mereka, wajahnya riang kemerahan.
“Sudah hampir keluar.”
Diajaknya mereka masuk.
Telur itu tergeletak di
atas meja. Ada retakan-retakan dalam pada kulitnya. Sesuatu bergerak-gerak di
dalamnya, menimbulkan bunyi klak-klik yang aneh terdengar. Mereka semua menarik
kursi ke dekat meja dan mengawasi dengan napas tertahan. Mendadak terdengar
bunyi gesekan dan telur itu terbelah.
Bayi naga tergeletak di
meja. Bayi itu tidak indah. Menurut Awan
malah kelihatan seperti payung hitam yang kusut. Sayapnya tampak sangat besar
dibanding tubuhnya yang masih kurus, dan moncongnya panjang, dengan dua lubang
hidung besar, dua tanduk kecil, dan mata jingga yang menonjol. Dia bersin.
Beberapa bunga api muncrat dari moncongnya.
“Cantik, ya?” Permadi
bergumam. Dia menjulurkan tangannya untuk membelai kepala si naga. Naga itu
mencaplok jari-jari Permadi, taringnya yang tajam kelihatan.
“Bukan main, dia tahu
yang mana induknya!” kata Permadi.
“Permadi,” kata Kirana,
“seberapa cepat persisnya naga Punggung Bersirip Suriah tumbuh besar?”
Permadi sudah mau
menjawab ketika wajahnya tiba-tiba memucat dia melompat berdiri dan berlari ke
jendela.
“Ada apa?” “Ada yang
ngintip lewat celah gorden anak laki-laki dia lari balik ke sekolah.” Awan
melesat ke pintu dan memandang ke luar. Bahkan dari kejauhan ia tak mungkin
keliru. Bronto telah melihat naga itu.
Senyum yang tersungging
di bibir Bronto selama seminggu berikutnya membuat Awan, Man, dan Kirana sangat
cemas. Mereka melewatkan sebagian besar waktu luang mereka di pondok Permadi
yang digelapkan, mencoba membujuknya.
“Lepaskan saja dia,”
desak Awan.”Biar dia hidup di alam bebas.”
“Tidak bisa,” kata
Permadi. “Dia masih terlalu kecil. Dia akan mati.”
Mereka memandang si
naga. Bayi itu sudah tiga kali lipat lebih panjang, dalam waktu seminggu. Asap
tak henti-hentinya berembus melingkar dari lubang hidungnya. Permadi belakangan
ini sudah tidak melakukan tugas-tugasnya sebagai pengawas binatang liar di
sekolah karena si naga kecil membuatnya sangat sibuk. Botol-botol tuak kosong
dan bulu-bulu ayam bertebaran di lantai.
“Aku sudah memutuskan
untuk menamainya Nabha,” kata Permadi, seraya menatap si naga dengan mata
basah. “Dia sudah kenal aku sekarang. Lihat. Nabha! Nabha! Mana Mama?”
“Dia sinting,” Man
bergumam di telinga Awan.
“Permadi,” kata Awan
keras-keras, “dua minggu lagi Nabha sudah akan sepanjang rumahmu. Bronto bisa
melapor kepada Batara Giri kapan saja.”
Permadi menggigit
bibir.
“Aku aku tahu. Aku tak
bisa memeliharanya selamanya, tetapi aku tak bisa menyuruhnya pergi begitu
saja. Aku tak bisa.”
Mendadak Awan menoleh
kepada Man.
“Barata,” kata Awan.
“Kau juga ikutan
sinting,” kata Man. “Namaku Man. Ingat?”
“Bukan Barata, kakakmu
Barata. Di India. Sedang belajar tentang naga. Kita bisa mengirim Nabha
kepadanya. Barata bisa memeliharanya dan kemudian melepasnya ke alam bebas!”
“Brilian!” kata Man. “Bagaimana,
Permadi?” Pada akhirnya Permadi setuju mereka mengirim burung garuda kepada
Barata untuk menanyainya.
Minggu berikutnya
berlalu lambat. Rabu malam Kirana dan Awan masih duduk berdua di ruang
rekreasi, lama sesudah yang lain pergi tidur. Jam di dinding baru saja
berdentang menandakan tengah malam ketika lubang lukisan tiba-tiba membuka. Man
mendadak muncul ketika dia melepas Jubah Gaib Awan. Dia baru kembali dari
pondok Permadi, membantunya memberi makan Nabha, yang sekarang sudah makan
berkrat-krat bangkai tikus.
“Dia menggigitku!”
katanya, menunjukkan tangannya yang dibalut saputangan berdarah. “Aku tak akan
bisa memegang pena selama seminggu ini. Percaya deh, naga itu binatang paling
mengerikan yang pernah kutemui, tetapi kalau melihat cara Permadi memujanya,
kau akan mengira dia anak kelinci berbulu lembut yang lucu. Ketika dia
menggigitku, Permadi malah menyuruhku menyingkir karena membuat Nabha
takut. Dan waktu aku pergi tadi, Permadi
sedang meninabobokannya.”
Ada ketukan di jendela
gelap.
“Itu Ruda!” kata Awan, bergegas
membuka jendela agar Ruda bisa masuk. “Dia membawa surat balasan Barata!”
Ketiganya merapatkan
kepala untuk membaca surat Barata.
Assalamuaalaikum, Man
Apa kabar? Terima kasih
suratnya. Aku senang-senang saja menerima Punggung bersirih Suriah itu, tetapi
tidak mudah membawa ke sini. Kurasa yang paling baik adalah menitipkan pada
kawan yang akan berkunjung minggu depan. Masalahnya adalah mereka tak boleh
ketahuan membawa naga illegal.
Bisakah kau membawa
Punggung Bersirih ke menara paling tinggi tengah malam hari sabtu? Mereka bisa
menemui disana dan membawanya selagi masih gelap.
Kirimi aku jawaban
secepat mungkin.
Wa’alaikum salam
Barata
Mereka saling pandang.
“Kita punya Jubah Gaib,”
kata Awan. “Mestinya tidak terlalu sulit kurasa jubah itu cukup besar untuk
menutupi dua di antara kita dan Nabha.”
Bahwa kedua temannya
langsung sepakat, menunjukkan bahwa seminggu terakhir ini keadaan sudah parah
sekali. Mereka bersedia melakukan apa saja untuk menyingkirkan Nabha dan
Bronto.
Ada rintangan. Esok
paginya tangan Man yang digigit Nabha sudah membengkak dua kali ukuran
normalnya. Dia tak tahu aman atau tidak pergi ke Dewi Pertiwi apakah dia akan
mengenali gigitan naga? Meskipun demikian, sorenya, Man sudah tak punya pilihan
lain. Lukanya sudah berwarna hijau mengerikan. Rupanya taring Nabha beracun. Awan
dan Kirana bergegas ke rumah sakit pada akhir hari itu dan menemukan Man
terbaring parah di tempat tidur.
“Bukan cuma tanganku,”
bisik Man, “meskipun rasanya tanganku hampir copot. Bronto bilang pada Dewi
Pertiwi dia mau pinjam salah satu bukuku sehingga dia bisa datang dan
menertawakanku. Dia terus-menerus mengancamku akan memberitahu Dewi Pertiwi apa
sebetulnya yang menggigitku tetapi aku bilang pada Dewi Pertiwi aku digigit macan,
kurasa dia tidak percaya, aku seharusnya tidak memukul Bronto waktu
pertandingan Braja itu, sekarang dia mau membalasku.”
Awan dan Kirana
berusaha menenangkan Man. Tapi sebaliknya, Man malah langsung terlonjak duduk
dan berkeringat.
“Sabtu tengah malam!”
katanya dengan suara serak. “Oh tidak oh
tidak aku baru ingat surat Barata ada dalam buku yang diambil Bronto. Dia akan
tahu kapan kita menyingkirkan Nabha.”
Awan dan Kirana tak
punya kesempatan untuk menjawab. Dewi Pertiwi muncul saat itu dan menyuruh mereka
pergi, karena Man butuh tidur, katanya.
“Sudah terlambat untuk
mengubah rencana sekarang,” Awan berkata kepada Kirana. “Kita tak punya waktu
lagi untuk mengirim burung hantu kepada Barata, dan mungkin ini satu-satunya
kesempatan kita untuk menyingkirkan Nabha. Kita harus ambil risiko. Dan kita
kan punya Jubah Gaib. Bronto tidak tahu ini.”
Mereka menemukan Rudra,
macan Permadi, duduk di depan pondok dengan ekor terbalut ketika mereka datang
untuk memberitahu Permadi, yang membuka jendela untuk bicara kepada mereka.
“Kalian tak boleh
masuk,” katanya tersengal. “Nabha sedang rewel bisa kutangani.”
Ketika mereka
memberitahunya tentang surat Barata, mata Permadi langsung berkaca-kaca. Entah
karena dia sedih, atau karena Nabha baru saja menggigit kakinya.
“Aargh! Tidak apa-apa, dia cuma menggigit botku cuma
main-main masih bayi sih.”
Si bayi menyabetkan
ekornya ke dinding, membuat semua jendela pondok bergetar. Awan dan Kirana
kembali ke kastil, berharap Sabtu segera datang.
Mereka pasti merasa
kasihan pada Permadi ketika tiba saatnya bagi si pengawas binatang liar itu
untuk mengucapkan selamat tinggal kepada Nabha, kalau saja mereka tidak terlalu
mencemaskan apa yang harus mereka lakukan. Malam itu sangat gelap dan berawan,
dan mereka agak terlambat tiba di pondok Permadi karena harus menunggu Bawor
menyingkir dulu dari Aula Depan. Bawor sedang main tenis di situ, melawan
tembok.
Permadi sudah
menyiapkan Nabha dalam kotak besar.
“Sudah kusiapkan banyak
tikus dan kopi untuk makan di jalan,” kata Permadi dengan suara tersendat. “Dan boneka beruangnya juga sudah kumasukkan,
siapa tahu dia kesepian.”
Dari dalam kotak
terdengar robekan yang bagi Awan kedengarannya si boneka beruang sedang dicabut
kepalanya.
“Da-dah, Nabha!”
Permadi terisak, ketika Awan dan Kirana menyelubungi kotak itu dengan Jubah
Gaib lalu mereka sendiri melangkah ke baliknya. “Mama tidak akan melupakanmu!”
Bagaimana mereka
berhasil membawa kotak itu ke kastil, mereka tak pernah tahu. Sudah menjelang
tengah malam ketika mereka bersusah payah membawa kotak Nabha menaiki tangga
pualam di Aula Depan dan melewati koridor-koridor gelap. Naik tangga lain lagi,
kemudian tangga lain, bahkan lewat salah satu jalan pintas yang diketahui Awan
pun, tidak membuat tugas mereka bertambah ringan.
“Hampir sampai!” seru Awan
terengah ketika mereka tiba di koridor di bawah menara tertinggi.
Gerakan mendadak di
depan mereka nyaris membuat mereka menjatuhkan kotak. Lupa bahwa mereka
sebetulnya tidak kelihatan, mereka merapat ke tempat yang terlindung
baying-bayang, memandang dua sosok gelap yang sedang bergulat sekitar lima
meter dari tempat mereka. Mendadak lampu menyala.
Dewi Fatimah, memakai
baju tidur kotak-kotak dan hijab, menjewer telinga Bronto.
“Bronto!” teriak Dewi
Fatimah, “dan potong dua puluh angka dari Madukara! Berkeliaran di tengah
malam, beraninya kau...”
“Anda tidak mengerti,
Dewi, Awan Negara akan datang, dia membawa naga!”
“Sungguh omong kosong!
Berani-beraninya kau bohong besar begitu! Ayo aku akan bicara pada Batara Saka
tentang kau, Bronto!”
Setelah kejadian itu,
tangga spiral curam ke atas menara serasa jadi mudah didaki. Baru setelah
melangkah ke udara malam yang dingin, mereka berani melepas jubah, lega bisa
bernapas bebas lagi. Kirana menari-nari.
“Bronto dihukum kurung!
Mau nyanyi aku rasanya!”
“Jangan,” Awan
menasihatinya.
Sambil menertawakan
Bronto, mereka menunggu. Nabha mengibas-ngibas di dalam kotaknya. Kira-kira
sepuluh menit kemudian, empat sapu meluncur turun dari kegelapan.
Teman-teman Barata
anak-anak periang. Mereka menunjukkan kepada Awan dan Kirana jaring yang telah
mereka buat, supaya mereka bisa bekerja sama mengangkat Nabha. Mereka semua
membantu menaikkan Nabha ke atas jaring. Kemudian Awan dan Kirana berjabat
tangan dengan keempatnya dan mengucapkan banyak terima kasih kepada mereka.
Akhirnya. Nabha
berangkat... pergi... lenyap.
Mereka menyelinap
menuruni tangga spiral, hati mereka seringan tangan mereka, setelah Nabha tak
lagi membebani. Tak ada naga lagi, Bronto kena penalty, apa yang bisa merusak
kegembiraan mereka?
Jawabannya telah
menunggu di kaki tangga. Ketika mereka melangkah ke koridor, mendadak wajah Tiwul
muncul dari kegelapan.
“Wah, wah, wah,”
bisiknya, “kita dalam kesulitan.” Jubah Gaib ketinggalan di atas menara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar