Al MUTAQIM - Sastra Education

Breaking

Sabtu, 22 Februari 2020

Al MUTAQIM


Sepulang sekolah.
Sore itu.
Aku dan Bronto pergi ke taman bermain di seberang rumahku. Memang tak jauh. Kurang lebih hanya lima ratus meter saja. Cukup dekat bukan! Kami bersepeda santai ke sana.  Akhir kami sampai disana. Kami memparkirkan sepeda di tempat yang sudah disediakan.
Kami meluncur ke tempat duduk di sudut taman. Sementara Bronto mencari minuman. Tanpa sadar tanganku merogoh saku. Aku terkejut ketika tanganku memegang sesuatu dari saku celanaku. Bentuknya hampir seperti cincin. Aku mengangkat bahu dan mengambil cincin itu. Aku amati secara hati-hati. Terlihat bentuknya begitu aneh. Cincin itu seperti cincin akik hanya saja ditengahnya ada gambar kepala burung.
Tak lama Bronto datang membawa dua botol minuman. Dia menyerahkan satu botol padaku. Lalu dia duduk. Botol air itu dibuka dengan tangan kiri, sementara tangan kanan memegang botol. Bahu kanannya terangkat dan dia meminum air kemasan itu. Satu.. ..dua… tiga tegukan. Botol kembali ditutup lagi. Dia memperhatikanku.
“Apa itu kawan?” tanyanya. Mungkin dia penasaran tetapi dari raut wajahnya dia santai mengalihkan pandangan.
“Seperti cincin,” kataku. “Tetapi aku tak pernah membelinya. Apalagi aku membawanya. Dan darimana cincin ini bisa ada disaku? Rasanya tak pernah aku melihat cincin ini dirumahku. Apalagi ibuku belum pernah memakainya. Jadi aku bingung ini milik siapa?”
“Cincin,” kata Bronto. “Memang seperti apa bentuknya?”
Aku memperlihatkan cincin itu depan wajah Bronto. Dia mengangkat bahu dan mengambil cincin itu. Dia mengamati dengan serius. Matanya begitu focus memperhatikannya.
“Mungkin ini cincin asisten pembantumu,” katanya. “Biasa saja ini terjatuh waktu dia mencuci pakaian.”
Dia memilang-milang cincin itu begitu hati-hati.
“Argumentmu bisa saja,” kataku santai. “Atau mungkin milik Ara waktu dia menabrakku.”
“Ara!” gumannya. Sontak dia terkejut. “Maksudmu gadis sombong tadi pagi.”
“Ya siapa lagi?” kataku. “Cuma dia yang menabrakku pagi tadi.”
“Aku tak yakin ini miliknya,” kata Bronto. “Kemungkinan seratus persen ini milik asisten pembantumu. Aku yakin itu!”
Dia nampak serius menyakinku. Wajahnya begitu yakin mengenai argumentnya.
Tetapi tanpa sadar sepotong kertas terjatuh dari sakuku. Aku mengambil sepotong kertas itu. Kertas itu bertuliskan:
Jagalah baik-baik cincin Madukara ini, jangan sampai jatuh ke tangan para Sekipu.
Tertanda
Prof. Kakrasana.
“Seperti ini memang bukan milik Ara,” gumanku.

“Aku yakin pasti tembakanku benar,” kata Bronto. “Tak mungkin gadis sombong memiliki cincin unik ini.”
Tetapi aku tahu siapa pemiliknya,” kataku. Aku menyerahkan sepotong kertas itu pada Bronto.
“Apa ini?” tanyanya.
“Baca saja,” kataku.
Dia mengambil sepotong kertas itu dan membaca. Wajahnya nampak santai. Tapi dia bingung.
“Prof Kakrasana,” katanya. “Siapa prof Kakrasana? Belum pernah dengar namanya. Memang kau tahu siapa Prof Kakrasana?”
Dia memandangku. Kepalanya begitu tegak dan bingung.  
“Aku yakin dialah pemilik cincin ini,” kataku. “Kertas itu tepat berada bersama dengan cincin itu. maka dapat dipastikan cincin pasti miliknya.”
Kami saling pandang. Wajah kami terlihat bingung. Nampak tangan Bronto mulai gemetaran.
“Jangan-jangan!” katanya. Dia terlihat menggigil ketakutan. Wajahnya nampak suram. Matanya begitu sedih dan kurang bergairah.
“Jangan-jangan apa?” tanyaku mengulang.
“Kau ingat kejadian pagi kemarin,” katanya. “Kau pernah menabrak lelaki tua setelan putih panjang. Mungkin saja itu prof Kakrasana.”
“Tentu,” kataku. “Aku ingat kejadian itu. Kau mungkin benar. Celana ini belum dicuci dari kemarin.”
“Dasar,” katanya. “Mungkin cincin memang sakti. Disini tertulis jagalah baik-baik cincin madukara ini. Jangan sampai jatuh ke tangan sekipu.”
Wajahnya nampak berbinar. Kebingungan berubah dratis rasa ceria diwajahnya.
“Bisa saja,” kataku. “Memang itu ada benarnya. Pemiliknya saja menyuruh untuk menjaga baik-baik. Pasti ada hal luar biasa pada cincin Madukara ini.”
“Madukara,” kata Bronto. “Seperti pernah dengar nama itu? Tetapi dimana aku belum ingat?”
Dia memegang jidatnya. Jari telunjuk seperti menekan keras jidatnya.
“Madukara,” kata Bronto. “Itu seperti nama ksatrian di pewayangan mahabarata. Aku pernah diajak ayahku nonton wayang di acara peringatan tempat kerja. Saat itu kisahnya kalau tak salah Pandawa Gugat. Disitu satria bernama Arjuna, dari ksatrian Madukara.”
“Jadi maksudmu ini cincin dari kisah pewayangan,” kataku. “Kau berfikir bahwa kesaktian sama sakti seperti Arjuna.”
“Mungkin saja,” kata Bronto. “Tak salah dicoba.”
Wajahnya terlihat penasaran. Dia mencoba memakai cincin itu di jari manis tangan kanan. Ketika baru menyentuh ujung jari manisnya cincin terpental jatuh ke tanah. Bronto mendadak syok. Wajahnya nampak pucat dan tegang. Tangan terlihat gemetar.
“Apa yang terjadi?” kataku panik. “Kenapa kau malah menjatuh cincin itu? Apa aku kau tak suka cincin itu? Jika tak suka kenapa kau buang?”
Aku terlihat kesal. Aku mengerutkan dahi. Mataku mengeryit.
“Bukan!” kata Bronto. “Sepertinya cincin ini menolak untuk kupakai. Gaya tolaknya begitu kuat, makin aku tekan makin kuat gaya tolaknya.”
“Oh, begitu!” kataku santai.
Aku mengambil cincin itu. Kubersihkan dan kuusap cincin dari debu.
“Coba kau pakai,” guman Bronto. “Siapa tahu itu cocok padamu? Kelihatannya cincin itu berbeda ketika kau pegang. Ada cahaya terang samar-samar memancar dari cincin itu.”
“Maksudmu,” kataku kesal. “Apa kau ingin aku menjadi bahan percobaan cincin itu?”
“Bukan!” kata Bronto. “Aku hanya ingin tahu, apakah cincin ini memiliki kekuatan. Dan juga mungkin kau cocok untuk memakainya. Kelihatannya cincin itu diberikan untukmu.”
“Aku belum yakin,” kataku.” Rasanya memang cincin menarik jari tanganku. Tetapi aku takut bila terjadi suatu hal berbahaya.”
Kami saling pandang. Wajah kami terlihat tegang. Mata kami begitu tajam memandang.
“Apa aku harus memakainya?” gumanku ragu. “Kelihatannya cincin ini menarikku untuk memakai.”
“Aku yakin kau tak apa-apa!” kata Bronto. “Soalnya kau tahu kau kuat dan tangguh.”
Dia menyakinkanku. Matanya menatap tajam padaku. Seakan dia memberikan dorongan kuat agar aku memakai cincin Madukara.
Perlahan-lahan cincin Madukara itu mulai kudekatkan di ujung jari manis kanan. Belum sempat mengenai ujung jari. Tiba-tiba secara cepat dan akurat. Cincin Madukara terpakai di jari manisku. Tubuhku tidak bergetar. Tidak ada reaksi apa-apa. Tubuhku masih terasa seperti biasanya.
“Bagaimana?” tanya Bronto. “Apa tubuhku merasakan sesuatu hal yang berbeda. Misalnya energy ki seperti dalam komik. Atau ajian dalam pewayangan.”
Dia memperhatikanku serius. Tatapan begitu tajam. Mulutnya terkatup dan dia mendongak.
“Sepertinya tidak sesuai yang kau harapkan,” kataku. “Cincin ini seperti cincin pada umumnya. Hanya sebagai perhiasan.”
“Masa!” kata Bronto. “Aku yakin pasti cincin itu bukan cincin biasa? Seperti dalam komik atau pewayangan bahwa benda unik macam ini memiliki kekuatan luar biasa. Tetapi mungkin itu hanya cerita komik dan wayang saja.”
“Kau banyak menghayal,” kataku. “Imajinasimu terlalu liar, mas bro!”
“Benar juga,” kata Bronto. “Aku terlalu tinggi berharap. Kejadian dalam komik tak mungkin masuk dalam kejadian nyata.”
 “Pemikiranmu memang mudah ditebak,” kataku. “Kebanyakan baca komik membuat imajinasi terliar.”
Kami terdiam seperkian detik. Kami saling pandang memandang. Mata dia begitu tajam menatapku. Wajahnya tersirat kuat memberikan tekanan. Badannya begitu kokoh menahan berat tubuhnya yang seimbang.
Apa yang terjadi memang diluar dugaan. Aku merasakan tekanan kuat dari arah jalan taman. Firasatku tak pernah tegang dan cemas seperti ketika aku lupa mengerjakan pekerjaan rumah.
Aku menoleh ke arah jalan taman. Mataku tak bisa menahan rasa takut dan cemas yang mengkhawatirkan. Rasanya daging dan tulangku berhenti sektika. Aku hanya menatap diam.
“Ada apa kawan?” tanya Bronto. “Kulihat kau begitu tegang. Memang apa yang barusan kau lihat.”
Aku hanya terdiam. Aku mengangkat bahu. Jari tanganku menunjuk ke arah jalan taman. Bronto mengikuti arah jari petunjukku. Dia agak tercenggang memandang. Dia tak geming selama seperkian detik.
“Bukankah dia orang di gang itu,” kata Bronto terkejut. “Apa yang dia lakukan disini? Apa dia mengetahui mengenai kita?”
Pertanyaan demi pertanyaan mulai dia pikirkan. Wajahnya begitu tegang dan cemas. Aku melihat tubuhnya lemas memandang.
“Aku belum tahu,” kataku. “Tetapi jika kita perhatikan dia menuju ke arah sini. Kemungkinan memang dia sini.”
“Aku makin takut nii!” kata Bronto. Wajahnya hampir meringis takut.
Kami saling memperhatikan. Mata kami tak lepas mengawasinya. Walau sesaat mata kami melihat dia begitu menakutkan. Goresan di wajahnya menunjukkan begitu keras dan kejam matanya memandang.   
Kami memang tak pernah mengalihkan pandangan. Tetapi dalam beberapa saat kami kehilangan dia. Kami begitu panik dan tegang. Tubuh kami mulai menggigil ketakutan. Rasanya tangan kami mulai gemetar.
Tiba-tiba saja bahu kami ditepuk tangan.
“Serahkan cincin Madukara!” katanya. Tangannya memegang bahu kami berdua. Tangan itu begitu kuat mencengkeram.  
Kami begitu tegang untuk menoleh ke belakang. Rasanya kaki kami begitu gemetaran. Tubuh kami hampir tak mendapatkan respon dari otak kami.
“Siapa dibelakang kita, mas broo?” tanyaku gemetar. “Tangannya begitu kuat memegang bahuku. Rasanya tangan ini memberikan semacam ancaman kuat.”
Bronto terlihat menggigil ketakutan. Dia tak berani memandang. Bibirnya bergematar lemah menatap ke depan.
“Mana aku tahu,” kata Bronto takut. “Kau tak melihat diriku hampir tak bisa menahan rasa gemetaran.”
Aku hanya melirik sepintas. Memang dia seperti apa yang dia katakan. Tubuhnya menggigil ketakutan. Rasanya aku melihat dia dibalik kepribadian sebenarnya.
“Kalian paham!” bentak dibelakang kami. “Serahkan cincin Madukara!”
Suaranya hampir memenuhi seluruh area taman. Aku merasakan ancaman kuat dan menekan. Rasanya tubuhku hanya sebagian kecil untuk dilumatkan. Mungkin kalau bisa aku ingin berlari secepatnya, tetapi cengkeraman dibahuku hampir tak bisa dilepaskan.
Ketika aku mau melepaskan cincin Madukara. Tendangan cepat dan akurat itu melintir orang dibelakang kami. Cengkeraman kuat dibahuku sedikit terbuka. Kami melompat menghindar. Perlahan-lahan kami menoleh padanya.
Wajahnya didepan kami memperlihatkan ancaman kuat. Siluet kokoh hampir mirip pemain bisbol. Dia mengamati kami penuh tekanan. Aku merasakan intimidasi kuat begitu memaksa tubuhku.
Jantungku berdebar, tetapi aku tak menunjukkannya. Dari samping aku melihat sosok berjubah putih. Dia terlihat menawan dan bijaksana. Matanya sayup penuh kesejukkan. Aku seperti pernah melihatnya tetapi dimana? Mungkin aku sedikit lupa.
“Bro,” kataku. “Apa kau kenal kakek itu? Rasanya kita pernah bertemu dengannya, tetapi dimana?”
Aku memandang tajam pada Bronto. Dia terlihat masih gemetar. Tubuhnya menunjukkan ketegangan yang tak bisa disembunyikan.
“Mana mungkin aku lupa,” katanya menggigil ketakutan. “Bukankah kakek itu yang menarik kita ke gang dan menghilang seketika. Hingga bikin bulu kudukku hampir berdiri semua.”
“Kau benar,” kataku. “Mungkin karena rasa cemas dan takutku membuat otakku tak bekerja.”
Orang jangkung didepan kami memandang tajam. Matanya penuh ancaman dan kejam. Dia mengangkat bahu dan menunjukkan jari telunjuk kepada kami.
“Bocah!” bentaknya marah.  “Serahkan cincin Madukara!”
Mungkin dia memberikan intimidasi kuat untuk menekan, hingga membuat kami tak bisa bergerak secara leluasa. Tubuh kami hampir dipaksa untuk tak bisa bergerak. Mata kami hanya berkedip-kedip untuk menunjukkan ekspresi.
Tetapi entah kenapa? Ketika kakek tua berjubah putih menghampiri kami rasanya memang berbeda. Ancaman dan tekanan hilang ditelan masa. Kami merasakan aura kenyamanan dan kebijaksanaan memuntir rasa kecemasan dan ketakutan. Rasanya kami begitu tersenyum bangga.
“Jangan ikut perintahnya!” kata kakek tua berjubah itu. Tangannya memegang tasbih hitam dengan butiran sebesar biji jangung. Dia menarik satu persatu. Mungkin aku tak tahu apa yang dia gumankan tetapi rasanya suara itu begitu nyaman. Secara samar-samar kudengar dia berucap ‘Allahu Akbar.’
Kami tak bisa berkata dengan tenang. Kami hanya mengangguk memandang. Kami masih merasa cemas dan tegang. Tubuh kami hanya terdiam lemas dan tertekan.
“Pak tua!” guman lelaki jangkung. “Ini bukanmu urusan kenapa kau ikut campur? Memang kau ingin melindungi dua bocah ingusan itu.”
Tatapan seakan penuh amarah kekesalan. Wajahnya menampak rona merah menakutkan. Mungkin bila aku terus memandang akan lari tunggang langgang.  
“Kalian berlindung dibelakang,” kata kakek tua itu. “Biar ini jadi urusanku.”
Kami menuruti perkataannya. Kami meluncur ke arah belakang kakek tua itu. Tekanan dan rasa cemas mungkin sedikit hilang. Rasanya kami jauh terlindungi dari ancaman.
Kami memperhatikan keduanya ternganga. Mata kami begitu tajam mengamati. Mungkin dalam pemikiran kami akan terjadi pertarungan. Kakek itu menoleh ke arah kami.
“Kau kenal dia,” katanya.  “Sebaiknya kalian jauhi dia. Dia bukan orang yang pantas kalian jadikan teman.”
“Memang di—a sia—pa?” tanyaku terbata-bata. “Bisa---kah ka-kek memberitahu kami.”
Sayup mata sungguh menyejukkan. Kakek itu tersenyum kecil dan membahana.
“Dia dikenal Sekipu,” kata kakek tua itu. “Dia adalah pasukan Asura.”
Kami bingung mecerna. Nama orang yang aneh, tetapi seperti berbahaya. Mungkin kami hanya diam ternganga.
Kakek itu kembali menoleh padanya. Beliau memandang tajam padanya.
“Jangan ganggu mereka,” kata kakek itu. “Mereka tak ada urusan dengan ini. Sebaiknya kau tak menyakiti mereka.”
Kekek itu memberikan ultimatum. Namun begitu lembut dan penuh kenyamanan. Rasanya suara hampir menyerupai suara burung camar.
“Oh pak tua!” balas orang Jangkung itu. “Aku adalah perintah untuk mengambil cincin Madukara. Bila cincin itu perlu pertumpahan darah, memang itu harus terjadi. Bila cincin itu kau berikan secara baik-baik, aku akan melepaskan mereka.”
Dia tersenyum nyengir psikopat girang.
 Kakek tua itu mengeluarkan suara marah yang menyerupai suara burung murai merdu. “Sudah cukup, Sekipu. Kau bakalan takluk.”
 “Menurutmu kau bisa melindungi mereka, Pria Tua?” tawa Sekipu. “Semoga beruntung.”
Sekipu mengangkat bahu. Dia melancarkan pukulan. Pukulannya terlihat kokoh dan kuat. Kilatan cahaya dari ujung kepalannya menyala sekilas ketika senja. Pukulannya merangsang masuk ke wilayah bagian kepala kakek tua itu.
Aku memang tak percaya mengenai apa yang terjadi. Tetapi siapa sangka kakek tua itu cukup gesit menghindari pukulannya. Beliau seperti mengetahui arah pukulan Sekipu. Bahkan dari wajah Sekipu, dia begitu kesal. Pukulan bertubi-tubi yang dilancarkannya dianggap tak ada artinya dihadapan kakek tua itu.
Aku menarik-narik nafas dalam-dalam menyaksikan pertarungan mereka. Bahkan Bronto disamping cukup ternganga melihatnya. Dia seakan tak percaya bahwa kakek tua itu masih lincah dan gesit seperti anak muda.
Kakek tua itu cukup berpengalaman menangani masalah pertarungan. Beliau memiliki insting hebat dalam menghindari serangan Sekipu. Tetapi entah kenapa kakek tua itu tak pernah membalas pukulan Sekipu? Itu yang membuatku heran. Beliau menghindar sambil menarik tasbil ditangan. Guman beliau cukup samar-samar kudengar. ‘Allahu Akbaru.’
Pada akhirnya. Sekipu berhenti. Dia mengangkat bahu. Aku tak tahu dari mana datangnya tetapi ada pistol ditangannya. Pelatuk pistol itu memulai dia tekan. Peluru hitam meluncur kencang. Kilatan cahaya terang melesat deras ke arah kakek tua itu. Anehnya beliau tidak menghindar. Peluru itu dihadangnya dengan kedua jarinya. Jari telunjuk dan jari manis terlihat cepat dan akurat menangkapnya. Memang itu membuat terkagum padanya. Peluru itu tak bersarang ditubuh beliau.
Sekipu masih kesal dan marah. Dia kembali menarik pelatuk pistolnya. Bertubi-tubi peluru meluncur deras ke arah kakek tua itu. Tetapi ketika sampai di depannya. Peluru itu terjatuh ke tanah. Aku terkejut memandangnya. Kulihat peluru itu tanpa daya terjatuh begitu saja. Memang itu sudah diluar nalar manusia.
Akhirnya kakek tua itu mengibaskan tasbihnya. Cahaya putih keluar dan meluncur deras ke arah Sekipu, dia terpanting ketika cahaya putih mengenai tubuhnya yang kokoh. Beton keras menjadi pendaratannya. Tubuhnya begitu keras terpental. Bila aku yang terpental mungkin aku akan terluka berat, tetapi memang dia bukan sembarang manusia.
Sekipu masih kuat bangkit. Dia menatap tajam dan marah. Wajahnya mulai murka. Apa yang dikeluarkannya memang diluar nalar manusia. Tangan kanannya mengeluarkan semacam bola hitam. Bola hitam itu ditembakkan ke arah kakek tua.
Aku memang bukan penghayal tingkat tinggi, melainkan aku tahu mengenai serial komik semacamnya. Tetapi memang apa yang dilakukan kakek tua itu sungguh aku tak percaya. Bola hitam itu dipentalkan dengan kibasan tasbihnya. Bola hitam itu malah berbalik arah meluncur ke arah Sekipu. Bersamaan dengan bola hitam itu menghantam tubuh Sekipu. Dia menghilang.
Aku secara samar-samar memang terus memperhatikan. Tetapi hal itu jelas sudah diluar nalarku. Memang apa yang bisa aku lakukan. Mungkin aku hanya ternganga memandang.
Langkah ringan dan penuh ekspresi keramah tamah, kakek itu menghampiri kami. Senyumannya tidak menarik seperti perempuan, tetapi beliau tersenyum membawa kedamaian.
“Kalian baik-baik saja!” tanyanya. “Apa tubuh kalian ada yang terluka?”
“Kami baik-baik saja,” kataku. “Bila kami boleh tahu siapa kakek ini? Dan kenapa para Sekipu menginginkan cincin Madakara ini? Mengapa mereka seperti alien atau makhluk yang berkekuatan super?”
Beliau tersenyum. Wajahnya terlihat semringah memandang.
“Jika kalian ingin tahu maka datanglah!” katanya. “Kalian datanglah ke Masjid Al Mutaqim!”
Kakek itu tiba-tiba menghilang begitu saja. Kami hanya ternganga memandang. Sayup-sayup berkumandang masjid Al Mutaqim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar