Sepulang sekolah.
Sore itu.
Aku dan Bronto pergi ke
taman bermain di seberang rumahku. Memang tak jauh. Kurang lebih hanya lima
ratus meter saja. Cukup dekat bukan! Kami bersepeda santai ke sana. Akhir kami sampai disana. Kami memparkirkan
sepeda di tempat yang sudah disediakan.
Kami meluncur ke tempat
duduk di sudut taman. Sementara Bronto mencari minuman. Tanpa sadar tanganku
merogoh saku. Aku terkejut ketika tanganku memegang sesuatu dari saku celanaku.
Bentuknya hampir seperti cincin. Aku mengangkat bahu dan mengambil cincin itu.
Aku amati secara hati-hati. Terlihat bentuknya begitu aneh. Cincin itu seperti
cincin akik hanya saja ditengahnya ada gambar kepala burung.
Tak lama Bronto datang
membawa dua botol minuman. Dia menyerahkan satu botol padaku. Lalu dia duduk.
Botol air itu dibuka dengan tangan kiri, sementara tangan kanan memegang botol.
Bahu kanannya terangkat dan dia meminum air kemasan itu. Satu.. ..dua… tiga
tegukan. Botol kembali ditutup lagi. Dia memperhatikanku.
“Apa itu kawan?” tanyanya.
Mungkin dia penasaran tetapi dari raut wajahnya dia santai mengalihkan
pandangan.
“Seperti cincin,” kataku.
“Tetapi aku tak pernah membelinya. Apalagi aku membawanya. Dan darimana cincin
ini bisa ada disaku? Rasanya tak pernah aku melihat cincin ini dirumahku.
Apalagi ibuku belum pernah memakainya. Jadi aku bingung ini milik siapa?”
“Cincin,” kata Bronto. “Memang
seperti apa bentuknya?”
Aku memperlihatkan cincin
itu depan wajah Bronto. Dia mengangkat bahu dan mengambil cincin itu. Dia
mengamati dengan serius. Matanya begitu focus memperhatikannya.
“Mungkin ini cincin asisten
pembantumu,” katanya. “Biasa saja ini terjatuh waktu dia mencuci pakaian.”
Dia memilang-milang cincin
itu begitu hati-hati.
“Argumentmu bisa saja,”
kataku santai. “Atau mungkin milik Ara waktu dia menabrakku.”
“Ara!” gumannya. Sontak dia
terkejut. “Maksudmu gadis sombong tadi pagi.”
“Ya siapa lagi?” kataku.
“Cuma dia yang menabrakku pagi tadi.”
“Aku tak yakin ini
miliknya,” kata Bronto. “Kemungkinan seratus persen ini milik asisten
pembantumu. Aku yakin itu!”
Dia nampak serius
menyakinku. Wajahnya begitu yakin mengenai argumentnya.
Tetapi tanpa sadar sepotong
kertas terjatuh dari sakuku. Aku mengambil sepotong kertas itu. Kertas itu
bertuliskan:
Jagalah
baik-baik cincin Madukara ini, jangan sampai jatuh ke tangan para Sekipu.
Tertanda
Prof.
Kakrasana.
“Seperti ini memang bukan
milik Ara,” gumanku.
“Aku yakin pasti tembakanku
benar,” kata Bronto. “Tak mungkin gadis sombong memiliki cincin unik ini.”
Tetapi aku tahu siapa
pemiliknya,” kataku. Aku menyerahkan sepotong kertas itu pada Bronto.
“Apa ini?” tanyanya.
“Baca saja,” kataku.
Dia mengambil sepotong
kertas itu dan membaca. Wajahnya nampak santai. Tapi dia bingung.
“Prof Kakrasana,” katanya.
“Siapa prof Kakrasana? Belum pernah dengar namanya. Memang kau tahu siapa Prof
Kakrasana?”
Dia memandangku. Kepalanya
begitu tegak dan bingung.
“Aku yakin dialah pemilik
cincin ini,” kataku. “Kertas itu tepat berada bersama dengan cincin itu. maka
dapat dipastikan cincin pasti miliknya.”
Kami saling pandang. Wajah
kami terlihat bingung. Nampak tangan Bronto mulai gemetaran.
“Jangan-jangan!” katanya.
Dia terlihat menggigil ketakutan. Wajahnya nampak suram. Matanya begitu sedih
dan kurang bergairah.
“Jangan-jangan apa?” tanyaku
mengulang.
“Kau ingat kejadian pagi
kemarin,” katanya. “Kau pernah menabrak lelaki tua setelan putih panjang.
Mungkin saja itu prof Kakrasana.”
“Tentu,” kataku. “Aku ingat
kejadian itu. Kau mungkin benar. Celana ini belum dicuci dari kemarin.”
“Dasar,” katanya. “Mungkin
cincin memang sakti. Disini tertulis jagalah baik-baik cincin madukara ini.
Jangan sampai jatuh ke tangan sekipu.”
Wajahnya nampak berbinar. Kebingungan
berubah dratis rasa ceria diwajahnya.
“Bisa saja,” kataku. “Memang
itu ada benarnya. Pemiliknya saja menyuruh untuk menjaga baik-baik. Pasti ada
hal luar biasa pada cincin Madukara ini.”
“Madukara,” kata Bronto.
“Seperti pernah dengar nama itu? Tetapi dimana aku belum ingat?”
Dia memegang jidatnya. Jari
telunjuk seperti menekan keras jidatnya.
“Madukara,” kata Bronto.
“Itu seperti nama ksatrian di pewayangan mahabarata. Aku pernah diajak ayahku
nonton wayang di acara peringatan tempat kerja. Saat itu kisahnya kalau tak
salah Pandawa Gugat. Disitu satria bernama Arjuna, dari ksatrian Madukara.”
“Jadi maksudmu ini cincin
dari kisah pewayangan,” kataku. “Kau berfikir bahwa kesaktian sama sakti
seperti Arjuna.”
“Mungkin saja,” kata Bronto.
“Tak salah dicoba.”
Wajahnya terlihat penasaran.
Dia mencoba memakai cincin itu di jari manis tangan kanan. Ketika baru
menyentuh ujung jari manisnya cincin terpental jatuh ke tanah. Bronto mendadak
syok. Wajahnya nampak pucat dan tegang. Tangan terlihat gemetar.
“Apa yang terjadi?” kataku
panik. “Kenapa kau malah menjatuh cincin itu? Apa aku kau tak suka cincin itu?
Jika tak suka kenapa kau buang?”
Aku terlihat kesal. Aku mengerutkan
dahi. Mataku mengeryit.
“Bukan!” kata Bronto.
“Sepertinya cincin ini menolak untuk kupakai. Gaya tolaknya begitu kuat, makin
aku tekan makin kuat gaya tolaknya.”
“Oh, begitu!” kataku santai.
Aku mengambil cincin itu.
Kubersihkan dan kuusap cincin dari debu.
“Coba kau pakai,” guman
Bronto. “Siapa tahu itu cocok padamu? Kelihatannya cincin itu berbeda ketika
kau pegang. Ada cahaya terang samar-samar memancar dari cincin itu.”
“Maksudmu,” kataku kesal.
“Apa kau ingin aku menjadi bahan percobaan cincin itu?”
“Bukan!” kata Bronto. “Aku
hanya ingin tahu, apakah cincin ini memiliki kekuatan. Dan juga mungkin kau
cocok untuk memakainya. Kelihatannya cincin itu diberikan untukmu.”
“Aku belum yakin,” kataku.”
Rasanya memang cincin menarik jari tanganku. Tetapi aku takut bila terjadi
suatu hal berbahaya.”
Kami saling pandang. Wajah
kami terlihat tegang. Mata kami begitu tajam memandang.
“Apa aku harus memakainya?”
gumanku ragu. “Kelihatannya cincin ini menarikku untuk memakai.”
“Aku yakin kau tak apa-apa!”
kata Bronto. “Soalnya kau tahu kau kuat dan tangguh.”
Dia menyakinkanku. Matanya
menatap tajam padaku. Seakan dia memberikan dorongan kuat agar aku memakai
cincin Madukara.
Perlahan-lahan cincin
Madukara itu mulai kudekatkan di ujung jari manis kanan. Belum sempat mengenai
ujung jari. Tiba-tiba secara cepat dan akurat. Cincin Madukara terpakai di jari
manisku. Tubuhku tidak bergetar. Tidak ada reaksi apa-apa. Tubuhku masih terasa
seperti biasanya.
“Bagaimana?” tanya Bronto.
“Apa tubuhku merasakan sesuatu hal yang berbeda. Misalnya energy ki seperti
dalam komik. Atau ajian dalam pewayangan.”
Dia memperhatikanku serius.
Tatapan begitu tajam. Mulutnya terkatup dan dia mendongak.
“Sepertinya tidak sesuai
yang kau harapkan,” kataku. “Cincin ini seperti cincin pada umumnya. Hanya
sebagai perhiasan.”
“Masa!” kata Bronto. “Aku
yakin pasti cincin itu bukan cincin biasa? Seperti dalam komik atau pewayangan
bahwa benda unik macam ini memiliki kekuatan luar biasa. Tetapi mungkin itu
hanya cerita komik dan wayang saja.”
“Kau banyak menghayal,”
kataku. “Imajinasimu terlalu liar, mas bro!”
“Benar juga,” kata Bronto.
“Aku terlalu tinggi berharap. Kejadian dalam komik tak mungkin masuk dalam
kejadian nyata.”
“Pemikiranmu memang mudah ditebak,” kataku.
“Kebanyakan baca komik membuat imajinasi terliar.”
Kami terdiam seperkian
detik. Kami saling pandang memandang. Mata dia begitu tajam menatapku. Wajahnya
tersirat kuat memberikan tekanan. Badannya begitu kokoh menahan berat tubuhnya
yang seimbang.
Apa yang terjadi memang
diluar dugaan. Aku merasakan tekanan kuat dari arah jalan taman. Firasatku tak
pernah tegang dan cemas seperti ketika aku lupa mengerjakan pekerjaan rumah.
Aku menoleh ke arah jalan
taman. Mataku tak bisa menahan rasa takut dan cemas yang mengkhawatirkan.
Rasanya daging dan tulangku berhenti sektika. Aku hanya menatap diam.
“Ada apa kawan?” tanya
Bronto. “Kulihat kau begitu tegang. Memang apa yang barusan kau lihat.”
Aku hanya terdiam. Aku
mengangkat bahu. Jari tanganku menunjuk ke arah jalan taman. Bronto mengikuti
arah jari petunjukku. Dia agak tercenggang memandang. Dia tak geming selama
seperkian detik.
“Bukankah dia orang di gang
itu,” kata Bronto terkejut. “Apa yang dia lakukan disini? Apa dia mengetahui
mengenai kita?”
Pertanyaan demi pertanyaan
mulai dia pikirkan. Wajahnya begitu tegang dan cemas. Aku melihat tubuhnya
lemas memandang.
“Aku belum tahu,” kataku.
“Tetapi jika kita perhatikan dia menuju ke arah sini. Kemungkinan memang dia
sini.”
“Aku makin takut nii!” kata
Bronto. Wajahnya hampir meringis takut.
Kami saling memperhatikan.
Mata kami tak lepas mengawasinya. Walau sesaat mata kami melihat dia begitu
menakutkan. Goresan di wajahnya menunjukkan begitu keras dan kejam matanya
memandang.
Kami memang tak pernah
mengalihkan pandangan. Tetapi dalam beberapa saat kami kehilangan dia. Kami
begitu panik dan tegang. Tubuh kami mulai menggigil ketakutan. Rasanya tangan
kami mulai gemetar.
Tiba-tiba saja bahu kami
ditepuk tangan.
“Serahkan cincin Madukara!”
katanya. Tangannya memegang bahu kami berdua. Tangan itu begitu kuat
mencengkeram.
Kami begitu tegang untuk
menoleh ke belakang. Rasanya kaki kami begitu gemetaran. Tubuh kami hampir tak
mendapatkan respon dari otak kami.
“Siapa dibelakang kita, mas
broo?” tanyaku gemetar. “Tangannya begitu kuat memegang bahuku. Rasanya tangan
ini memberikan semacam ancaman kuat.”
Bronto terlihat menggigil
ketakutan. Dia tak berani memandang. Bibirnya bergematar lemah menatap ke
depan.
“Mana aku tahu,” kata Bronto
takut. “Kau tak melihat diriku hampir tak bisa menahan rasa gemetaran.”
Aku hanya melirik sepintas.
Memang dia seperti apa yang dia katakan. Tubuhnya menggigil ketakutan. Rasanya
aku melihat dia dibalik kepribadian sebenarnya.
“Kalian paham!” bentak
dibelakang kami. “Serahkan cincin Madukara!”
Suaranya hampir memenuhi
seluruh area taman. Aku merasakan ancaman kuat dan menekan. Rasanya tubuhku
hanya sebagian kecil untuk dilumatkan. Mungkin kalau bisa aku ingin berlari
secepatnya, tetapi cengkeraman dibahuku hampir tak bisa dilepaskan.
Ketika aku mau melepaskan
cincin Madukara. Tendangan cepat dan akurat itu melintir orang dibelakang kami.
Cengkeraman kuat dibahuku sedikit terbuka. Kami melompat menghindar.
Perlahan-lahan kami menoleh padanya.
Wajahnya didepan kami
memperlihatkan ancaman kuat. Siluet kokoh hampir mirip pemain bisbol. Dia
mengamati kami penuh tekanan. Aku merasakan intimidasi kuat begitu memaksa
tubuhku.
Jantungku berdebar, tetapi
aku tak menunjukkannya. Dari samping aku melihat sosok berjubah putih. Dia
terlihat menawan dan bijaksana. Matanya sayup penuh kesejukkan. Aku seperti
pernah melihatnya tetapi dimana? Mungkin aku sedikit lupa.
“Bro,” kataku. “Apa kau
kenal kakek itu? Rasanya kita pernah bertemu dengannya, tetapi dimana?”
Aku memandang tajam pada
Bronto. Dia terlihat masih gemetar. Tubuhnya menunjukkan ketegangan yang tak
bisa disembunyikan.
“Mana mungkin aku lupa,”
katanya menggigil ketakutan. “Bukankah kakek itu yang menarik kita ke gang dan
menghilang seketika. Hingga bikin bulu kudukku hampir berdiri semua.”
“Kau benar,” kataku.
“Mungkin karena rasa cemas dan takutku membuat otakku tak bekerja.”
Orang jangkung didepan kami
memandang tajam. Matanya penuh ancaman dan kejam. Dia mengangkat bahu dan
menunjukkan jari telunjuk kepada kami.
“Bocah!” bentaknya
marah. “Serahkan cincin Madukara!”
Mungkin dia memberikan intimidasi
kuat untuk menekan, hingga membuat kami tak bisa bergerak secara leluasa. Tubuh
kami hampir dipaksa untuk tak bisa bergerak. Mata kami hanya berkedip-kedip
untuk menunjukkan ekspresi.
Tetapi entah kenapa? Ketika
kakek tua berjubah putih menghampiri kami rasanya memang berbeda. Ancaman dan
tekanan hilang ditelan masa. Kami merasakan aura kenyamanan dan kebijaksanaan
memuntir rasa kecemasan dan ketakutan. Rasanya kami begitu tersenyum bangga.
“Jangan ikut perintahnya!”
kata kakek tua berjubah itu. Tangannya memegang tasbih hitam dengan butiran
sebesar biji jangung. Dia menarik satu persatu. Mungkin aku tak tahu apa yang
dia gumankan tetapi rasanya suara itu begitu nyaman. Secara samar-samar
kudengar dia berucap ‘Allahu Akbar.’
Kami tak bisa berkata dengan
tenang. Kami hanya mengangguk memandang. Kami masih merasa cemas dan tegang. Tubuh
kami hanya terdiam lemas dan tertekan.
“Pak tua!” guman lelaki
jangkung. “Ini bukanmu urusan kenapa kau ikut campur? Memang kau ingin
melindungi dua bocah ingusan itu.”
Tatapan seakan penuh amarah
kekesalan. Wajahnya menampak rona merah menakutkan. Mungkin bila aku terus
memandang akan lari tunggang langgang.
“Kalian berlindung
dibelakang,” kata kakek tua itu. “Biar ini jadi urusanku.”
Kami menuruti perkataannya.
Kami meluncur ke arah belakang kakek tua itu. Tekanan dan rasa cemas mungkin
sedikit hilang. Rasanya kami jauh terlindungi dari ancaman.
Kami memperhatikan keduanya
ternganga. Mata kami begitu tajam mengamati. Mungkin dalam pemikiran kami akan
terjadi pertarungan. Kakek itu menoleh ke arah kami.
“Kau kenal dia,”
katanya. “Sebaiknya kalian jauhi dia.
Dia bukan orang yang pantas kalian jadikan teman.”
“Memang di—a sia—pa?”
tanyaku terbata-bata. “Bisa---kah ka-kek memberitahu kami.”
Sayup mata sungguh
menyejukkan. Kakek itu tersenyum kecil dan membahana.
“Dia dikenal Sekipu,” kata
kakek tua itu. “Dia adalah pasukan Asura.”
Kami bingung mecerna. Nama orang
yang aneh, tetapi seperti berbahaya. Mungkin kami hanya diam ternganga.
Kakek itu kembali menoleh
padanya. Beliau memandang tajam padanya.
“Jangan ganggu mereka,” kata
kakek itu. “Mereka tak ada urusan dengan ini. Sebaiknya kau tak menyakiti
mereka.”
Kekek itu memberikan
ultimatum. Namun begitu lembut dan penuh kenyamanan. Rasanya suara hampir
menyerupai suara burung camar.
“Oh pak tua!” balas orang
Jangkung itu. “Aku adalah perintah untuk mengambil cincin Madukara. Bila cincin
itu perlu pertumpahan darah, memang itu harus terjadi. Bila cincin itu kau
berikan secara baik-baik, aku akan melepaskan mereka.”
Dia tersenyum nyengir
psikopat girang.
Kakek tua itu mengeluarkan suara marah yang
menyerupai suara burung murai merdu. “Sudah cukup, Sekipu. Kau bakalan takluk.”
“Menurutmu kau bisa melindungi mereka, Pria
Tua?” tawa Sekipu. “Semoga beruntung.”
Sekipu mengangkat bahu. Dia
melancarkan pukulan. Pukulannya terlihat kokoh dan kuat. Kilatan cahaya dari
ujung kepalannya menyala sekilas ketika senja. Pukulannya merangsang masuk ke
wilayah bagian kepala kakek tua itu.
Aku memang tak percaya
mengenai apa yang terjadi. Tetapi siapa sangka kakek tua itu cukup gesit
menghindari pukulannya. Beliau seperti mengetahui arah pukulan Sekipu. Bahkan
dari wajah Sekipu, dia begitu kesal. Pukulan bertubi-tubi yang dilancarkannya
dianggap tak ada artinya dihadapan kakek tua itu.
Aku menarik-narik nafas
dalam-dalam menyaksikan pertarungan mereka. Bahkan Bronto disamping cukup
ternganga melihatnya. Dia seakan tak percaya bahwa kakek tua itu masih lincah
dan gesit seperti anak muda.
Kakek tua itu cukup
berpengalaman menangani masalah pertarungan. Beliau memiliki insting hebat dalam
menghindari serangan Sekipu. Tetapi entah kenapa kakek tua itu tak pernah
membalas pukulan Sekipu? Itu yang membuatku heran. Beliau menghindar sambil
menarik tasbil ditangan. Guman beliau cukup samar-samar kudengar. ‘Allahu
Akbaru.’
Pada akhirnya. Sekipu
berhenti. Dia mengangkat bahu. Aku tak tahu dari mana datangnya tetapi ada
pistol ditangannya. Pelatuk pistol itu memulai dia tekan. Peluru hitam meluncur
kencang. Kilatan cahaya terang melesat deras ke arah kakek tua itu. Anehnya
beliau tidak menghindar. Peluru itu dihadangnya dengan kedua jarinya. Jari
telunjuk dan jari manis terlihat cepat dan akurat menangkapnya. Memang itu
membuat terkagum padanya. Peluru itu tak bersarang ditubuh beliau.
Sekipu masih kesal dan
marah. Dia kembali menarik pelatuk pistolnya. Bertubi-tubi peluru meluncur
deras ke arah kakek tua itu. Tetapi ketika sampai di depannya. Peluru itu
terjatuh ke tanah. Aku terkejut memandangnya. Kulihat peluru itu tanpa daya
terjatuh begitu saja. Memang itu sudah diluar nalar manusia.
Akhirnya kakek tua itu
mengibaskan tasbihnya. Cahaya putih keluar dan meluncur deras ke arah Sekipu,
dia terpanting ketika cahaya putih mengenai tubuhnya yang kokoh. Beton keras
menjadi pendaratannya. Tubuhnya begitu keras terpental. Bila aku yang terpental
mungkin aku akan terluka berat, tetapi memang dia bukan sembarang manusia.
Sekipu masih kuat bangkit.
Dia menatap tajam dan marah. Wajahnya mulai murka. Apa yang dikeluarkannya
memang diluar nalar manusia. Tangan kanannya mengeluarkan semacam bola hitam.
Bola hitam itu ditembakkan ke arah kakek tua.
Aku memang bukan penghayal
tingkat tinggi, melainkan aku tahu mengenai serial komik semacamnya. Tetapi
memang apa yang dilakukan kakek tua itu sungguh aku tak percaya. Bola hitam itu
dipentalkan dengan kibasan tasbihnya. Bola hitam itu malah berbalik arah
meluncur ke arah Sekipu. Bersamaan dengan bola hitam itu menghantam tubuh
Sekipu. Dia menghilang.
Aku secara samar-samar
memang terus memperhatikan. Tetapi hal itu jelas sudah diluar nalarku. Memang
apa yang bisa aku lakukan. Mungkin aku hanya ternganga memandang.
Langkah ringan dan penuh
ekspresi keramah tamah, kakek itu menghampiri kami. Senyumannya tidak menarik
seperti perempuan, tetapi beliau tersenyum membawa kedamaian.
“Kalian baik-baik saja!”
tanyanya. “Apa tubuh kalian ada yang terluka?”
“Kami baik-baik saja,”
kataku. “Bila kami boleh tahu siapa kakek ini? Dan kenapa para Sekipu
menginginkan cincin Madakara ini? Mengapa mereka seperti alien atau makhluk
yang berkekuatan super?”
Beliau tersenyum. Wajahnya
terlihat semringah memandang.
“Jika kalian ingin tahu maka
datanglah!” katanya. “Kalian datanglah ke Masjid Al Mutaqim!”
Kakek itu tiba-tiba
menghilang begitu saja. Kami hanya ternganga memandang. Sayup-sayup
berkumandang masjid Al Mutaqim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar