Batara Giri telah
menyakinkan Awan agar tidak mencari Cermin Pasean lagi dan selama liburan.
Jubah Gaib tetap terlipat di dasar koper Awan. Awan ingin sekali segera
melupakan apa yang telah dilihatnya di Awan, tetapi tak bisa. Ia mulai mendapat
mimpi buruk. Berkali-kali ia bermimpi tentang orangtuanya yang menghilang dalam
kilatan cahaya hijau sementara terdengar tawa tinggi melengking.
“Lihat, kan, kakek
Batara Giri benar. Cermin itu bisa membuatmu gila,” kata Man, ketika Awan
bercerita tentang mimpi buruknya.
Kirana, yang kembali
sehari sebelum semester baru dimulai, punya pandangan lain tentang kejadian
itu. Dia setengahnya merasa ngeri membayangkan Awan meninggalkan kamar,
berkeliaran di sekolah selama tiga malam berturut-turut (“Bagaimana kalau Tiwul
menangkapmu!”) dan setengahnya
merasa kecewa karena dia tidak berhasil menemukan siapa
Nambi Fora.
Mereka sudah nyaris
kehilangan harapan menemukan Fora dalam buku perpustakaan, meskipun Awan masih
yakin dia pernah membaca nama itu entah di mana. Begitu semester baru mulai,
mereka kembali membuka-buka buku selama sepuluh menit dalam waktu istirahat
mereka. Waktu Awan bahkan lebih sedikit dari kedua temannya, karena masa
latihan Braja sudah mulai lagi.
Widi melatih timnya
lebih keras dari sebelumnya. Bahkan hujan yang turun terus menggantikan salju
tidak mematahkan semangatnya. Si kembar Yuda mengeluh Widi telah menjadi
fanatik, tetapi Awan memihak Widi. Jika mereka memenangkan pertandingan
berikutnya, melawan Pringgodani, mereka akan menyusul Madukara dalam Kejuaraan
Antar Ksatrian untuk pertama kalinya dalam tujuh tahun. Lepas dari keinginan
untuk menang, Awan menyadari bahwa mimpi buruknya berkurang jika ia kelelahan
sehabis berlatih.
Kemudian, dalam satu
sesi latihan di bawah hujan deras dan berlumpur, Widi menyampaikan kabar buruk
kepada timnya. Dia baru saja marah besar kepada si kembar Yuda yang tak
henti-hentinya saling serang dan berpura-pura terpeleset dari sapu mereka.
“Kalian bisa tidak sih
berhenti main-main!” teriaknya. “Tindakan seperti itulah yang akan membuat kita
kalah dalam pertandingan! Saka akan jadi wasit kali ini dan dia akan
mencari-cari segala alasan untuk mengurangi angka Jodhipati!” Palasara Yuda
benar-benar jatuh dari sapunya mendengar ini.
“Saka jadi wasit?”
katanya dengan mulut penuh lumpur.
“Kapan dia pernah jadi
wasit pertandingan Braja? Dia pasti tidak akan bersikap adil jika ada
kemungkinan kita menyusul Madukara.” Anggota tim lain mendarat di sisi Palasara
untuk ikut mengeluh.
“Bukan salahku,” kata
Widi. “Yang jelas kita harus menjamin bahwa kita bermain bersih, sehingga Saka
tak akan punya alasan untuk menyalahkan kita.”
Boleh saja begitu,
pikir Awan, tetapi ia punya alasan lain tidak menginginkan Saka berada di
dekatnya selagi ia bermain Braja....
Anggota tim yang lain
masih tinggal mengobrol seperti biasanya seusai latihan, tetapi Awan langsung
kembali ke ruang rekreasi Jodhipati. Man dan Kirana sedang bermain catur di
situ. Catur adalah satu-satunya kegiatan yang Kirana bisa kalah, sesuatu yang
menurut Awan dan Man sangat baik untuknya.
“Jangan dulu bicara
padaku,” kata Man ketika Awan duduk di sebelahnya. “Aku perlu konsen...” Terlihat olehnya wajah Awan. “Kenapa kau? Kau
kelihatan sakit.”
Bicara pelan-pelan
supaya tak ada yang mendengar, Awan memberitahu kedua temannya tentang
keinginan mendadak Saka untuk menjadi wasit Braja.
“Jangan main,” kata
Kirana segera.
“Bilang saja kau sakit,”
kata Man.
“Pura-pura kakimu
patah,” Kirana mengusulkan.
“Patahkan benar-benar
saja,” kata Man.
“Tidak bisa,” kata Awan.
“Tak ada Wulung cadangan. Kalau aku mundur, Jodhipati sama sekali tak bisa
main.”
Saat itu Norman
terguling masuk ke ruang rekreasi. Bagaimana dia bisa memanjat lubang lukisan
tak bisa ditebak, karena kakinya saling menempel. Penyebabnya langsung mereka
kenali, Kutukan Kaki Terkunci. Dia pastilah harus melompat-lompat naik ke
Menara Jodhipati.
Semua tertawa, kecuali
Kirana. Dia langsung melompat bangun dan mengucapkan mantra kontra kutukan.
Kaki Norman terpisah dan dia berdiri, gemetar.
“Apa yang terjadi?”
Kirana bertanya kepadanya, mengajaknya duduk di dekat Awan dan Man.
“Bronto,” kata Norman
gemetar. “Aku bertemu dia di depan perpustakaan. Dia bilang dia sedang
mencari-cari anak yang bisa dipakainya melatih kutukan itu.”
“Temui Dewi Fatimah!”
Kirana mendorong Norman. “Laporkan dia!”
Norman menggeleng.
“Aku tak mau menambah
keruwetan,” gumamnya.
“Kau harus berani
menghadapinya, Norman!” kata Man. “Dia terbiasa berbuat semena-mena terhadap
orang lain, tetapi itu bukan alasan bagi kita untuk menyerah dan tidak
menyulitkannya.”
“Tak perlu memberitahu
kalau aku tidak cukup berani untuk menjadi anggota Jodhipati. Bronto Sudah
melakukannya,” kata Norman tersendat.
Awan merogoh kantong
jubahnya dan mengeluarkan Cokelat Kodok, cokelat terakhir dari kotak hadiah
Tahun Baru Kirana. Diberikannya kepada Norman, yang kelihatannya mau menangis.
“Kau berharga dua belas
kali lipat Bronto,” kata Awan. “Binatang Seleksi memilihmu untuk Jodhipati,
kan? Dan di mana Bronto? Di Madukara yang bau.”
Bibir Norman bergetar
membentuk senyum lemah ketika dia membuka bungkus Cokelat Kodok. “Terima kasih, Awan... kurasa aku akan
tidur... Kau mau kartunya? Kau koleksi, kan?”
Setelah Norman pergi, Awan
memandang kartu Ksatria Terkenalnya.
“Batara Giri Maulana
lagi,” katanya. “Dia yang pertama...”
Awan tercekat kaget.
Terbelalak memandang bagian belakang kartunya. Kemudian ia mendongak, memandang
Man dan Kirana.
“Sudah kutemukan dia!”
bisiknya. “Aku sudah menemukan Fora! Sudah kukatakan aku pernah membaca namanya
entah di mana sebelumnya. Rupanya aku membacanya di kereta api yang membawaku
ke sini dengar ini, Batara Giri khususnya terkenal karena berhasil mengalahkan penjahat
aliran hitam Nakasura atau mantan muridnya pada tahun 1998, penemuannya untuk
dua belas kegunaan tanaman Maja, dan karyanya di bidang alkimia yang
dikerjakannya bersama mitranya, Nambi Fora!”
Kirana langsung
melompat berdiri. Belum pernah dia kelihatan segembira ini sejak mereka
mendapat nilai untuk PR pertama mereka dulu.
“Tunggu di sini!”
katanya, dan dia berlari menaiki tangga ke kamar anak-anak perempuan. Awan dan
Man baru sempat bertukar pandang heran ketika dia sudah kembali sambil memeluk
buku yang sangat besar.
“Tak pernah terpikir
olehku untuk mencari di sini!” bisiknya tegang. “Aku pinjam ini dari
perpustakaan beberapa minggu lalu untuk bacaan ringan.”
“Ringan?” kata Man,
tetapi Kirana menyuruhnya diam sampai dia menemukan sesuatu, lalu dia mulai
membuka-buka buku itu dengan cepat, seraya bergumam sendiri. Akhirnya dia
menemukan apa yang dicarinya.
“Sudah kuduga! Sudah
kuduga!”
“Apa kami sudah boleh
ngomong sekarang?” gerutu Man. Kirana tidak mengacuhkannya. “Nambi Fora,”
bisiknya dramatis, “adalah satu-satunya yang dikenal sebagai pembuat Batu
Naran!” Ucapannya ini tidak menghasilkan efek yang di harapkan Kirana.
“Batu apa?” tanya Awan
dan Man. “Oh, astaga, apa kalian berdua tidak membaca? Lihat... baca ini.”
Didorongnya buku itu ke arah mereka, dan Awan dan Man membaca:
Ilmu kuno alkimia
berkenaan dengan pembuatan Batu Naran, benda legendaris dengan kekuatan gaib
luar biasa. Batu ini memiliki Praba yang luar biasa, daya kekuatannya
menghasilkan ajian Narantaka sebuah ilmu kuno yang dapat meleburkan sebuah
gunung menjadi debu bertebangan. Batu ini juga menghasilkan Cairan Kehidupan,
yang akan membuat peminumnya hidup selamanya.
Selama berabad-abad ini
banyak laporan tentang Batu Naran, tetapi satu-satunya batu yang saat ini ada
adalah milik Batara Nambi Fora, ahli alkimia terkenal dan pecinta wayang.
Batara Fora, yang tahun
lalu merayakan ulang tahunnya yang keenam ratus enam puluh lima tahun,
menikmati hidup tenang di India bersama istrinya, Parwati (enam ratus lima
puluh delapan tahun).
“Tahu, kan, sekarang?”
kata Kirana, ketika Awan dan Man selesai membaca. “Macan itu pastilah menjaga
Batu Naran milik Fora! Aku berani taruhan dia pasti menitipkannya kepada kakek
Batara Giri karena mereka bersahabat, dan dia tahu ada orang yang menginginkan
batu itu. Itulah sebabnya dia ingin batu itu dipindahkan dari Ambarawa!”
“Batu yang memiliki
Praba yang maha dhasyat dan membuatmu tak bisa mati!” kata Awan “Pantas saja
Saka menginginkannya! Semua orang pasti menginginkannya.”
“Dan pantas saja kita
tidak bisa menemukan Fora dalam buku Perkembangan Terakhir dalam Dunia Ajian,”
kata Man.
“Dia belum masuk
kategori itu jika umurnya baru enam ratus enam puluh lima, kan?”
Esok paginya, sehabis
sholat dhuha, dalam pelajaran Pertahanan terhadap Ilmu Hitam, sementara
mencatat berbagai cara merawat gigitan manusia serigala, Awan dan Man masih
mendiskusikan apa yang akan mereka lakukan dengan Batu Naran jika mereka
memilikinya. Ketika Man mengatakan bahwa dia akan membeli tim Braja sendiri,
barulah Awan teringat akan Saka dan pertandingan Braja-nya yang akan datang.
“Aku akan main,”
katanya kepada Man dan Kirana.
“Kalau tidak, semua
anak Madukara akan mengira aku takut menghadapi Saka. Akan ku tunjukkan kepada
mereka... senyum akan tersingkir dari wajah mereka kalau kita menang.”
“Asal bukan malah kau
sendiri yang tersingkir dari lapangan,” kata Kirana.
Semakin dekat hari
pertandingan, Awan semakin cemas, walaupun dia tidak mengatakan begitu kepada
Man dan Kirana. Para anggota tim lainnya juga tidak begitu tenang. Ide menyusul
Madukara dalam Kejuaraan Antar-Ksatrian sungguh menyenangkan, belum pernah ada
yang berhasil selama tujuh tahun ini, tetapi bisakah mereka melakukannya dengan
wasit yang begitu memihak?
Awan tak tahu apakah
ini hanya sekadar khayalannya saja atau bukan, tetapi rasanya ia selalu bertemu
Saka, ke mana pun ia pergi. Kadang-kadang ia jadi bertanya-tanya sendiri,
apakah Saka membuntutinya, mencari-cari kesempatan untuk bisa menangkapnya
kalau sedang sendirian. Pelajaran Ramuan sudah berubah menjadi siksaan
mingguan, karena Saka bersikap sangat menyebalkan terhadap Awan. Mungkinkah
Saka tahu bahwa Awan dan kedua sahabatnya tahu tentang Batu Naran? Rasanya tidak mungkin tetapi kadang-kadang Awan
merasa bahwa Saka bisa membaca pikiran orang.
Awan tahu, ketika
mengucapkan selamat bertanding di luar kamar ganti, Man dan Kirana dalam hati
bertanya-tanya apakah mereka masih akan melihatnya dalam keadaan hidup. Ini tak
bisa dibilang menyenangkan. Awan nyaris tidak mendengar nasihat Widi ketika ia
memakai jubah Braja dan mengambil Kutang Antrakusama-nya. Walaupun ia bisa
terbang tanpa alat tetapi pertandingan Braja harus memakai alat berkendara,
karena Awan tak bisa menerbangkan sapu maka ia memakai kutang. Ia memang anak
dari Ksatria hebat tetapi bawa dalam dirinya tak begitu hebat tetapi Praba
dalam diri begitu hebat dan luar biasa. Mungkin ia akan menjadi ksatria kuat
dan tangguh dengan berbagai ajian maha dashyat.
Man dan Kirana,
sementara itu, telah mendapatkan tempat duduk di tribun dekat Norman yang tidak
bisa mengerti mengapa mereka berdua kelihatan begitu muram dan cemas, ataupun
kenapa mereka berdua membawa tongkat ke pertandingan. Awan sama sekali tak tahu
bahwa Man dan Kirana diam-diam telah berlatih Kutukan Kaki Terkunci.
Mereka mendapat ide ini
dari Bronto yang menggunakannya pada Norman, dan mereka siap menggunakannya
pada Saka jika dia menunjukkan tanda-tanda ingin mencelakakan Awan.
“Jangan lupa, mantranya
Sikil beku,” Kirana bergumam ketika Man menyelipkan tongkatnya ke dalam lengan
jubahnya.
“Sudah tahu,” tukas
Man. “Jangan cerewet.” Di dalam kamar ganti, Widi mengajak Awan bicara berdua.
“Bukannya aku mau
menekanmu, Negara, tetapi kalau sampai ada kebutuhan untuk menangkap Bulmas
seawal mungkin, sekaranglah saatnya. Selesaikan pertandingan sebelum Saka bisa
terlalu banyak memihak Pringgodani.”
“Seluruh sekolah ada di
luar sana!” kata Sekutrem Yuda, mengintip dari pintu. “Bahkan... astaga...
Kakek Batara Giri juga nonton!”
Jantung Awan
jumpalitan.
“Batara Giri?” katanya
seraya berlari ke pintu untuk melihat sendiri. Sekutrem benar. Jenggot perak
itu tak mungkin keliru. Ingin rasanya Awan tertawa keras-keras saking leganya.
Ia aman. Jelas Saka tak akan berani mencoba mencelakainya jika ada Batara Giri.
Mungkin itulah sebabnya
Saka kelihatan marah sekali ketika kedua tim berjalan memasuki lapangan. Man
juga melihatnya.
“Belum pernah kulihat
Saka segalak ini,” katanya kepada Kirana. “Lihat... mereka mulai. Ouch!”
Ada yang menyodok
belakang kepala Man. Bronto.
“Oh, pengaputen, Yuda
aku tidak lihat kau di situ.”
Bronto nyengir lebar
kepada Yama dan Cingkara.
“Berapa lama Negara
bisa bertahan di atas angkasa kali ini, ya? Ada yang mau bertaruh? Bagaimana
kalau kau, Yuda?”
Man tidak menjawab.
Saka baru saja memberikan penalti kepada Pringgodani karena Palasara Yuda telah
melempar Yaki kepadanya. Kirana yang menyilangkan semua jarinya di atas
pangkuan untuk mendapatkan keberuntungan memandang lekat-lekat pada Awan yang
berputar-putar mengitari tim yang bertanding, mencari-cari Bulmas.
“Kalian tahu bagaimana
menurutku cara mereka memilih anggota tim Jodhipati?” kata Bronto keras-keras
beberapa menit kemudian, ketika Saka kembali menghadiahkan lemparan penalti
kepada Pringgodani tanpa alasan apa pun.
“Yang dipilih
orang-orang yang memang patut dikasihani. Lihat saja ada si Negara, yang tidak
punya orangtua dan tak bisa memakai sapu terbang, lalu si kembar Yuda, yang
tidak punya uang. Kau mestinya masuk tim, Layana. Kau kan tidak punya otak.”
Wajah Norman merah
padam, tetapi dia berbalik di tempat duduknya untuk menghadapi Bronto. “Aku
berharga dua belas kali lipat dirimu, Bronto” katanya tergagap.
Bronto, Yama, dan
Cingkara tertawa terbahak-bahak, tetapi Man yang masih tidak berani mengalihkan
pandangannya dari pertandingan berkata, “Kau benar, Norman.”
“Layana, kalau otak
terbuat dari emas, kau lebih miskin daripada si Yuda. Uh, parah banget deh.”
Saraf Man sudah tegang
sekali saking cemasnya dia pada Awan.
“Kuperingatkan kau,
Bronto, satu kata lagi...”
“Man!” seru Kirana
tiba-tiba. “Awan...!”
“Apa? Di mana?”
Awan mendadak melakukan
tukikan luar biasa, membuat para penonton terpekik kagum dan bersorak riuh.
Kirana berdiri, jarinya tersilang di depan mulutnya ketika Awan melesat ke
bawah seperti luncuran peluru.
“Kau beruntung, Yuda.
Negara rupanya melihat kepingan uang di tanah!” kata Bronto.
Kesabaran Man habis
sudah. Sebelum Bronto sadar apa yang terjadi, Man sudah berada di atas
tubuhnya, memitingnya ke tanah. Norman ragu-ragu, kemudian memanjat punggung
bangkunya untuk membantu.
“Ayo, Awan!” jerit
Kirana, melompat naik ke atas bangkunya agar bisa melihat lebih jelas ketika Awan
meluncur tepat ke arah Saka. Kirana bahkan tidak menyadari Bronto dan Man yang
bergulingan di bawah tempat duduknya, ataupun baku hantam dan pekikan-pekikan
yang bermunculan dari tengah hujan pukulan yang berasal dari Norman, Yama, dan
Cingkara.
Tinggi di angkasa, Saka
berputar di atas sapunya, tepat ketika kelebatan warna merah meluncur
melewatinya, hanya beberapa senti darinya detik berikutnya, Awan sudah
menghentikan tukikannya, kedua lengannya terangkat penuh kemenangan, Bulmas
tergenggam di tangannya. Kecepatan Awan menerobos masuk ke gawang Pringgodani.
Ia melesat kencang diantara para pemain Braja, Denta, dan Musti lawan. Gol
cantik tercipta oleh Awan sebuah terobasan baru dalam olahraga Braja.Penonton
meledak riuh-rendah. Sungguh ini rekor, tak seorang pun ingat Bulmas pernah
berhasil ditangkap secepat ini.
“Man! Man! Di mana kau?
Pertandingan sudah selesai! Awan menang! Kita menang! Jodhipati memimpin!”
teriak Kirana, melonjak-lonjak kegirangan di tempat duduknya dan memeluk
Parvati Pati yang duduk di depannya. Awan melompat turun dari angkasa, tiga
puluh senti dari tanah. Ia tak mempercayainya. Ia telah berhasil permainan
telah usai, padahal baru berlangsung tak lebih dari lima menit.
Ketika anak-anak
Jodhipati membanjir masuk lapangan, Awan melihat Saka mendarat di dekatnya,
wajahnya pucat, bibirnya tegang. Kemudian Awan merasakan sentuha tangan di
bahunya, ia mendongak dan memandang wajah kakek Batara Giri yang tersenyum.
“Bagus sekali,” kata
Batara Giri pelan, sehingga hanya Awan yang bisa mendengarnya. “Senang
melihatmu tidak terus memikirkan cermin itu... kau menyibukkan diri... luar
biasa....”
Saka meludah dengan
getir ke tanah.
Awan meninggalkan kamar
ganti sendirian beberapa waktu kemudian, untuk mengembalikan Kutang Antrakusama
ke dalam ruang penyimpanan khusus. Belum pernah ia merasa seriang ini. Ia
benar-benar telah melakukan sesuatu yang bisa dibanggakan sekarang tak seorang
pun bisa mengatakan lagi ia cuma sekadar nama terkenal. Udara malam belum
pernah seharum ini. Ia melangkah di atas rumput lembap, mengenang kembali
kejadian satu jam terakhir ini. Kilasan yang membahagiakan: anak-anak Jodhipati
berlarian mendekat untuk mengangkatnya ke atas bahu mereka; Man dan Kirana di
kejauhan, melonjak-lonjak kegirangan. Man bersorak walaupun hidungnya berdarah.
Awan telah tiba di
kamar ganti. Ia bersandar di pintu kayu dan mendongak menatap Saloka, dengan
jendela-jendelanya yang berkilau merah tertimpa cahaya matahari terbenam.
Jodhipati memimpin. Ia telah berhasil, ia telah membuktikan kepada Saka... Dan
ngomong-ngomong tentang Saka...
Sesosok tubuh
kerkerudung menuruni undakan depan kastil dengan cepat. Jelas tak ingin dilihat
orang, dia berjalan secepat mungkin menuju ke Hutan Terlarang. Kemenangan
memudar dari benak Awan saat ia mengawasi sosok itu. Ia mengenali gaya
jalannya. Saka, sembunyi-sembunyi ke dalam Hutan ketika yang lain sedang makan
malam apa yang sedang terjadi sebetulnya?
Awan kembali melompat
dan terbang. Melayang diam-diam di atas kastil, ia melihat Saka berlari
memasuki Hutan. Ia membuntuti. Pepohonan begitu lebat sehingga ia tidak bisa
melihat ke mana Saka. Awan terbang berputar-putar, makin lama makin rendah,
menyentuh ranting-ranting atas pepohonan, sampai ia mendengar suara-suara. Ia
meluncur ke arah suara-suara itu dan mendarat tanpa bunyi di pohon beech besar
di dekatnya. Hati-hati ia merambat di salah satu dahan, memegang sapunya
erat-erat, mencoba mengintip melalui celah-celah dedaunan.
Di bawah, di tempat
terbuka yang teduh, Saka berdiri, tetapi dia tidak sendirian. Somad juga ada di
sana. Awan tidak bisa melihat ekspresi wajahnya dengan jelas, tetapi dia
tergagap lebih parah daripada biasanya. Awan berusaha keras menangkap apa yang
mereka bicarakan.
“... tid-tidak tahu
kenapa kau m-m-mau b-bertemu di sini, Subala...”
“Oh, kupikir kita harus
merahasiakan ini,” kata Saka, suaranya dingin. “Murid-murid kan tidak boleh
tahu tentang Batu Naran.” Awan membungkuk ke depan. Somad menggumamkan
sesuatu. Saka menyelanya. “Apa kau sudah menemukan cara bagaimana bisa
melewati binatang piaraan Permadi itu?”
“T-t-tapi, Subala,
aku...”
“Kau tak ingin aku jadi
musuhmu, kan, Somad,” kata Saka, maju ke depan satu langkah.
“A-aku t-tak tahu
apa...”
“Kau tahu persis apa
maksudku.” Seekor burung merpati
menjerit keras dan Awan nyaris terjatuh dari pohon. Ia berhasil menenangkan
diri dan sempat mendengar Saka berkata, “... haritala kecilmu, aku menunggu.”
“T-tapi aku t-t-tidak...”
“Baiklah,” Saka
menukas. “Kita akan mengobrol lagi lain waktu, kalau kau sudah sempat
memikirkan hal ini dan memutuskan mau setia kepada siapa.”
Saka menyampirkan
jubahnya ke atas kepalanya dan melangkah meninggalkan tempat terbuka itu. Hari
sudah hampir gelap sekarang, tetapi Awan bisa melihat Somad, berdiri diam,
seakan membatu.
“Awan, dari mana saja
kau?” seru Kirana nyaring. “Kita menang!
Kau menang!” teriak Man, seraya menepuk punggung Awan. “Dan kupukul mata Bronto
sampai biru dan Norman mencoba menghadapi Yama dan Cingkara sendirian! Dia
masih pingsan, tetapi Dewi Pertiwi bilang dia akan sembuh tahu rasa Madukara!
Semua menunggumu di ruang rekreasi, kita akan pesta. Sekutrem dan Palasara
mencuri kue dan makanan lain dari dapur.”
“Itu nanti saja,” kata Awan
tersengal. “Ayo, kita cari ruang kosong, tunggu sampai kalian mendengar ini....”
Awan memastikan Bawor
tidak ada di dalam sebelum menutup pintu di belakang mereka, baru ia
menceritakan kepada kedua temannya apa yang telah dilihat dan didengarnya.
“Jadi kita benar,
rupanya itu Batu Naran, dan Saka berusaha memaksa Somad membantunya mencurinya.
Dia bertanya kalau-kalau Somad tahu cara melewati Jaladara dan dia juga bilang
soal 'haritala' Somad kurasa ada yang lain yang melindungi batu, selain
Jaladara. Mungkin berbagai jimat dan jampi-jampi, dan Somad pastilah telah
memberikan mantra-mantra Anti-Ajian Hitam yang harus ditembus Saka...”
“Jadi, maksudmu batu
itu aman hanya jika Somad masih bertahan menentang Saka?” tanya Kirana cemas.
“Tidak sampai Selasa
juga sudah hilang, kalau begitu,” kata Man.
o)o0odwo0o(o
Tidak ada komentar:
Posting Komentar