BATU NARAN - Sastra Education

Breaking

Minggu, 16 Februari 2020

BATU NARAN


Batara Giri telah menyakinkan Awan agar tidak mencari Cermin Pasean lagi dan selama liburan. Jubah Gaib tetap terlipat di dasar koper Awan. Awan ingin sekali segera melupakan apa yang telah dilihatnya di Awan, tetapi tak bisa. Ia mulai mendapat mimpi buruk. Berkali-kali ia bermimpi tentang orangtuanya yang menghilang dalam kilatan cahaya hijau sementara terdengar tawa tinggi melengking.
“Lihat, kan, kakek Batara Giri benar. Cermin itu bisa membuatmu gila,” kata Man, ketika Awan bercerita tentang mimpi buruknya.
Kirana, yang kembali sehari sebelum semester baru dimulai, punya pandangan lain tentang kejadian itu. Dia setengahnya merasa ngeri membayangkan Awan meninggalkan kamar, berkeliaran di sekolah selama tiga malam berturut-turut (“Bagaimana kalau Tiwul menangkapmu!”)  dan setengahnya merasa  kecewa  karena dia tidak berhasil menemukan siapa Nambi Fora.
Mereka sudah nyaris kehilangan harapan menemukan Fora dalam buku perpustakaan, meskipun Awan masih yakin dia pernah membaca nama itu entah di mana. Begitu semester baru mulai, mereka kembali membuka-buka buku selama sepuluh menit dalam waktu istirahat mereka. Waktu Awan bahkan lebih sedikit dari kedua temannya, karena masa latihan Braja sudah mulai lagi.

Widi melatih timnya lebih keras dari sebelumnya. Bahkan hujan yang turun terus menggantikan salju tidak mematahkan semangatnya. Si kembar Yuda mengeluh Widi telah menjadi fanatik, tetapi Awan memihak Widi. Jika mereka memenangkan pertandingan berikutnya, melawan Pringgodani, mereka akan menyusul Madukara dalam Kejuaraan Antar Ksatrian untuk pertama kalinya dalam tujuh tahun. Lepas dari keinginan untuk menang, Awan menyadari bahwa mimpi buruknya berkurang jika ia kelelahan sehabis berlatih.
Kemudian, dalam satu sesi latihan di bawah hujan deras dan berlumpur, Widi menyampaikan kabar buruk kepada timnya. Dia baru saja marah besar kepada si kembar Yuda yang tak henti-hentinya saling serang dan berpura-pura terpeleset dari sapu mereka.
“Kalian bisa tidak sih berhenti main-main!” teriaknya. “Tindakan seperti itulah yang akan membuat kita kalah dalam pertandingan! Saka akan jadi wasit kali ini dan dia akan mencari-cari segala alasan untuk mengurangi angka Jodhipati!” Palasara Yuda benar-benar jatuh dari sapunya mendengar ini.
“Saka jadi wasit?” katanya dengan mulut penuh lumpur.
“Kapan dia pernah jadi wasit pertandingan Braja? Dia pasti tidak akan bersikap adil jika ada kemungkinan kita menyusul Madukara.” Anggota tim lain mendarat di sisi Palasara untuk ikut mengeluh.
“Bukan salahku,” kata Widi. “Yang jelas kita harus menjamin bahwa kita bermain bersih, sehingga Saka tak akan punya alasan untuk menyalahkan kita.”
Boleh saja begitu, pikir Awan, tetapi ia punya alasan lain tidak menginginkan Saka berada di dekatnya selagi ia bermain Braja....
Anggota tim yang lain masih tinggal mengobrol seperti biasanya seusai latihan, tetapi Awan langsung kembali ke ruang rekreasi Jodhipati. Man dan Kirana sedang bermain catur di situ. Catur adalah satu-satunya kegiatan yang Kirana bisa kalah, sesuatu yang menurut Awan dan Man sangat baik untuknya.
“Jangan dulu bicara padaku,” kata Man ketika Awan duduk di sebelahnya. “Aku perlu konsen...”  Terlihat olehnya wajah Awan. “Kenapa kau? Kau kelihatan sakit.”
Bicara pelan-pelan supaya tak ada yang mendengar, Awan memberitahu kedua temannya tentang keinginan mendadak Saka untuk menjadi wasit Braja.
“Jangan main,” kata Kirana segera.
“Bilang saja kau sakit,” kata Man.
“Pura-pura kakimu patah,” Kirana mengusulkan.
“Patahkan benar-benar saja,” kata Man.
“Tidak bisa,” kata Awan. “Tak ada Wulung cadangan. Kalau aku mundur, Jodhipati sama sekali tak bisa main.”
Saat itu Norman terguling masuk ke ruang rekreasi. Bagaimana dia bisa memanjat lubang lukisan tak bisa ditebak, karena kakinya saling menempel. Penyebabnya langsung mereka kenali, Kutukan Kaki Terkunci. Dia pastilah harus melompat-lompat naik ke Menara Jodhipati.
Semua tertawa, kecuali Kirana. Dia langsung melompat bangun dan mengucapkan mantra kontra kutukan. Kaki Norman terpisah dan dia berdiri, gemetar.
“Apa yang terjadi?” Kirana bertanya kepadanya, mengajaknya duduk di dekat Awan dan Man.
“Bronto,” kata Norman gemetar. “Aku bertemu dia di depan perpustakaan. Dia bilang dia sedang mencari-cari anak yang bisa dipakainya melatih kutukan itu.”
“Temui Dewi Fatimah!” Kirana mendorong Norman. “Laporkan dia!”
Norman menggeleng.
“Aku tak mau menambah keruwetan,” gumamnya.
“Kau harus berani menghadapinya, Norman!” kata Man. “Dia terbiasa berbuat semena-mena terhadap orang lain, tetapi itu bukan alasan bagi kita untuk menyerah dan tidak menyulitkannya.”
“Tak perlu memberitahu kalau aku tidak cukup berani untuk menjadi anggota Jodhipati. Bronto Sudah melakukannya,” kata Norman tersendat.
Awan merogoh kantong jubahnya dan mengeluarkan Cokelat Kodok, cokelat terakhir dari kotak hadiah Tahun Baru Kirana. Diberikannya kepada Norman, yang kelihatannya mau menangis.
“Kau berharga dua belas kali lipat Bronto,” kata Awan. “Binatang Seleksi memilihmu untuk Jodhipati, kan? Dan di mana Bronto? Di Madukara yang bau.”
Bibir Norman bergetar membentuk senyum lemah ketika dia membuka bungkus Cokelat Kodok.  “Terima kasih, Awan... kurasa aku akan tidur... Kau mau kartunya? Kau koleksi, kan?”
Setelah Norman pergi, Awan memandang kartu Ksatria Terkenalnya.
“Batara Giri Maulana lagi,” katanya. “Dia yang pertama...”
Awan tercekat kaget. Terbelalak memandang bagian belakang kartunya. Kemudian ia mendongak, memandang Man dan Kirana.
“Sudah kutemukan dia!” bisiknya. “Aku sudah menemukan Fora! Sudah kukatakan aku pernah membaca namanya entah di mana sebelumnya. Rupanya aku membacanya di kereta api yang membawaku ke sini dengar ini, Batara Giri khususnya terkenal karena berhasil mengalahkan penjahat aliran hitam Nakasura atau mantan muridnya pada tahun 1998, penemuannya untuk dua belas kegunaan tanaman Maja, dan karyanya di bidang alkimia yang dikerjakannya bersama mitranya, Nambi Fora!”
Kirana langsung melompat berdiri. Belum pernah dia kelihatan segembira ini sejak mereka mendapat nilai untuk PR pertama mereka dulu.
“Tunggu di sini!” katanya, dan dia berlari menaiki tangga ke kamar anak-anak perempuan. Awan dan Man baru sempat bertukar pandang heran ketika dia sudah kembali sambil memeluk buku yang sangat besar.
“Tak pernah terpikir olehku untuk mencari di sini!” bisiknya tegang. “Aku pinjam ini dari perpustakaan beberapa minggu lalu untuk bacaan ringan.”
“Ringan?” kata Man, tetapi Kirana menyuruhnya diam sampai dia menemukan sesuatu, lalu dia mulai membuka-buka buku itu dengan cepat, seraya bergumam sendiri. Akhirnya dia menemukan apa yang dicarinya.
“Sudah kuduga! Sudah kuduga!”
“Apa kami sudah boleh ngomong sekarang?” gerutu Man. Kirana tidak mengacuhkannya. “Nambi Fora,” bisiknya dramatis, “adalah satu-satunya yang dikenal sebagai pembuat Batu Naran!” Ucapannya ini tidak menghasilkan efek yang di harapkan Kirana.
“Batu apa?” tanya Awan dan Man. “Oh, astaga, apa kalian berdua tidak membaca? Lihat... baca ini.” Didorongnya buku itu ke arah mereka, dan Awan dan Man membaca:
Ilmu kuno alkimia berkenaan dengan pembuatan Batu Naran, benda legendaris dengan kekuatan gaib luar biasa. Batu ini memiliki Praba yang luar biasa, daya kekuatannya menghasilkan ajian Narantaka sebuah ilmu kuno yang dapat meleburkan sebuah gunung menjadi debu bertebangan. Batu ini juga menghasilkan Cairan Kehidupan, yang akan membuat peminumnya hidup selamanya.
Selama berabad-abad ini banyak laporan tentang Batu Naran, tetapi satu-satunya batu yang saat ini ada adalah milik Batara Nambi Fora, ahli alkimia terkenal dan pecinta wayang.
Batara Fora, yang tahun lalu merayakan ulang tahunnya yang keenam ratus enam puluh lima tahun, menikmati hidup tenang di India bersama istrinya, Parwati (enam ratus lima puluh delapan tahun).
“Tahu, kan, sekarang?” kata Kirana, ketika Awan dan Man selesai membaca. “Macan itu pastilah menjaga Batu Naran milik Fora! Aku berani taruhan dia pasti menitipkannya kepada kakek Batara Giri karena mereka bersahabat, dan dia tahu ada orang yang menginginkan batu itu. Itulah sebabnya dia ingin batu itu dipindahkan dari Ambarawa!”
“Batu yang memiliki Praba yang maha dhasyat dan membuatmu tak bisa mati!” kata Awan “Pantas saja Saka menginginkannya! Semua orang pasti menginginkannya.”
“Dan pantas saja kita tidak bisa menemukan Fora dalam buku Perkembangan Terakhir dalam Dunia Ajian,” kata Man.
“Dia belum masuk kategori itu jika umurnya baru enam ratus enam puluh lima, kan?”
Esok paginya, sehabis sholat dhuha, dalam pelajaran Pertahanan terhadap Ilmu Hitam, sementara mencatat berbagai cara merawat gigitan manusia serigala, Awan dan Man masih mendiskusikan apa yang akan mereka lakukan dengan Batu Naran jika mereka memilikinya. Ketika Man mengatakan bahwa dia akan membeli tim Braja sendiri, barulah Awan teringat akan Saka dan pertandingan Braja-nya yang akan datang.
“Aku akan main,” katanya kepada Man dan Kirana.
“Kalau tidak, semua anak Madukara akan mengira aku takut menghadapi Saka. Akan ku tunjukkan kepada mereka... senyum akan tersingkir dari wajah mereka kalau kita menang.”
“Asal bukan malah kau sendiri yang tersingkir dari lapangan,” kata Kirana.
Semakin dekat hari pertandingan, Awan semakin cemas, walaupun dia tidak mengatakan begitu kepada Man dan Kirana. Para anggota tim lainnya juga tidak begitu tenang. Ide menyusul Madukara dalam Kejuaraan Antar-Ksatrian sungguh menyenangkan, belum pernah ada yang berhasil selama tujuh tahun ini, tetapi bisakah mereka melakukannya dengan wasit yang begitu memihak?
Awan tak tahu apakah ini hanya sekadar khayalannya saja atau bukan, tetapi rasanya ia selalu bertemu Saka, ke mana pun ia pergi. Kadang-kadang ia jadi bertanya-tanya sendiri, apakah Saka membuntutinya, mencari-cari kesempatan untuk bisa menangkapnya kalau sedang sendirian. Pelajaran Ramuan sudah berubah menjadi siksaan mingguan, karena Saka bersikap sangat menyebalkan terhadap Awan. Mungkinkah Saka tahu bahwa Awan dan kedua sahabatnya tahu tentang Batu Naran?  Rasanya tidak mungkin tetapi kadang-kadang Awan merasa bahwa Saka bisa membaca pikiran orang.
Awan tahu, ketika mengucapkan selamat bertanding di luar kamar ganti, Man dan Kirana dalam hati bertanya-tanya apakah mereka masih akan melihatnya dalam keadaan hidup. Ini tak bisa dibilang menyenangkan. Awan nyaris tidak mendengar nasihat Widi ketika ia memakai jubah Braja dan mengambil Kutang Antrakusama-nya. Walaupun ia bisa terbang tanpa alat tetapi pertandingan Braja harus memakai alat berkendara, karena Awan tak bisa menerbangkan sapu maka ia memakai kutang. Ia memang anak dari Ksatria hebat tetapi bawa dalam dirinya tak begitu hebat tetapi Praba dalam diri begitu hebat dan luar biasa. Mungkin ia akan menjadi ksatria kuat dan tangguh dengan berbagai ajian maha dashyat.
Man dan Kirana, sementara itu, telah mendapatkan tempat duduk di tribun dekat Norman yang tidak bisa mengerti mengapa mereka berdua kelihatan begitu muram dan cemas, ataupun kenapa mereka berdua membawa tongkat ke pertandingan. Awan sama sekali tak tahu bahwa Man dan Kirana diam-diam telah berlatih Kutukan Kaki Terkunci.
Mereka mendapat ide ini dari Bronto yang menggunakannya pada Norman, dan mereka siap menggunakannya pada Saka jika dia menunjukkan tanda-tanda ingin mencelakakan Awan.
“Jangan lupa, mantranya Sikil beku,” Kirana bergumam ketika Man menyelipkan tongkatnya ke dalam lengan jubahnya.
“Sudah tahu,” tukas Man. “Jangan cerewet.” Di dalam kamar ganti, Widi mengajak Awan bicara berdua.
“Bukannya aku mau menekanmu, Negara, tetapi kalau sampai ada kebutuhan untuk menangkap Bulmas seawal mungkin, sekaranglah saatnya. Selesaikan pertandingan sebelum Saka bisa terlalu banyak memihak Pringgodani.”
“Seluruh sekolah ada di luar sana!” kata Sekutrem Yuda, mengintip dari pintu. “Bahkan... astaga... Kakek Batara Giri juga nonton!”
Jantung Awan jumpalitan.
“Batara Giri?” katanya seraya berlari ke pintu untuk melihat sendiri. Sekutrem benar. Jenggot perak itu tak mungkin keliru. Ingin rasanya Awan tertawa keras-keras saking leganya. Ia aman. Jelas Saka tak akan berani mencoba mencelakainya jika ada Batara Giri.
Mungkin itulah sebabnya Saka kelihatan marah sekali ketika kedua tim berjalan memasuki lapangan. Man juga melihatnya.
“Belum pernah kulihat Saka segalak ini,” katanya kepada Kirana. “Lihat... mereka mulai. Ouch!”
Ada yang menyodok belakang kepala Man. Bronto.
“Oh, pengaputen, Yuda aku tidak lihat kau di situ.”
Bronto nyengir lebar kepada Yama dan Cingkara.
“Berapa lama Negara bisa bertahan di atas angkasa kali ini, ya? Ada yang mau bertaruh? Bagaimana kalau kau, Yuda?”
Man tidak menjawab. Saka baru saja memberikan penalti kepada Pringgodani karena Palasara Yuda telah melempar Yaki kepadanya. Kirana yang menyilangkan semua jarinya di atas pangkuan untuk mendapatkan keberuntungan memandang lekat-lekat pada Awan yang berputar-putar mengitari tim yang bertanding, mencari-cari Bulmas.
“Kalian tahu bagaimana menurutku cara mereka memilih anggota tim Jodhipati?” kata Bronto keras-keras beberapa menit kemudian, ketika Saka kembali menghadiahkan lemparan penalti kepada Pringgodani tanpa alasan apa pun.
“Yang dipilih orang-orang yang memang patut dikasihani. Lihat saja ada si Negara, yang tidak punya orangtua dan tak bisa memakai sapu terbang, lalu si kembar Yuda, yang tidak punya uang. Kau mestinya masuk tim, Layana. Kau kan tidak punya otak.”
Wajah Norman merah padam, tetapi dia berbalik di tempat duduknya untuk menghadapi Bronto. “Aku berharga dua belas kali lipat dirimu, Bronto” katanya tergagap.
Bronto, Yama, dan Cingkara tertawa terbahak-bahak, tetapi Man yang masih tidak berani mengalihkan pandangannya dari pertandingan berkata, “Kau benar, Norman.”
“Layana, kalau otak terbuat dari emas, kau lebih miskin daripada si Yuda. Uh, parah banget deh.”
Saraf Man sudah tegang sekali saking cemasnya dia pada Awan.
“Kuperingatkan kau, Bronto, satu kata lagi...”
“Man!” seru Kirana tiba-tiba. “Awan...!”
“Apa? Di mana?”
Awan mendadak melakukan tukikan luar biasa, membuat para penonton terpekik kagum dan bersorak riuh. Kirana berdiri, jarinya tersilang di depan mulutnya ketika Awan melesat ke bawah seperti luncuran peluru.
“Kau beruntung, Yuda. Negara rupanya melihat kepingan uang di tanah!” kata Bronto.
Kesabaran Man habis sudah. Sebelum Bronto sadar apa yang terjadi, Man sudah berada di atas tubuhnya, memitingnya ke tanah. Norman ragu-ragu, kemudian memanjat punggung bangkunya untuk membantu.
“Ayo, Awan!” jerit Kirana, melompat naik ke atas bangkunya agar bisa melihat lebih jelas ketika Awan meluncur tepat ke arah Saka. Kirana bahkan tidak menyadari Bronto dan Man yang bergulingan di bawah tempat duduknya, ataupun baku hantam dan pekikan-pekikan yang bermunculan dari tengah hujan pukulan yang berasal dari Norman, Yama, dan Cingkara.
Tinggi di angkasa, Saka berputar di atas sapunya, tepat ketika kelebatan warna merah meluncur melewatinya, hanya beberapa senti darinya detik berikutnya, Awan sudah menghentikan tukikannya, kedua lengannya terangkat penuh kemenangan, Bulmas tergenggam di tangannya. Kecepatan Awan menerobos masuk ke gawang Pringgodani. Ia melesat kencang diantara para pemain Braja, Denta, dan Musti lawan. Gol cantik tercipta oleh Awan sebuah terobasan baru dalam olahraga Braja.Penonton meledak riuh-rendah. Sungguh ini rekor, tak seorang pun ingat Bulmas pernah berhasil ditangkap secepat ini.
“Man! Man! Di mana kau? Pertandingan sudah selesai! Awan menang! Kita menang! Jodhipati memimpin!” teriak Kirana, melonjak-lonjak kegirangan di tempat duduknya dan memeluk Parvati Pati yang duduk di depannya. Awan melompat turun dari angkasa, tiga puluh senti dari tanah. Ia tak mempercayainya. Ia telah berhasil permainan telah usai, padahal baru berlangsung tak lebih dari lima menit.
Ketika anak-anak Jodhipati membanjir masuk lapangan, Awan melihat Saka mendarat di dekatnya, wajahnya pucat, bibirnya tegang. Kemudian Awan merasakan sentuha tangan di bahunya, ia mendongak dan memandang wajah kakek Batara Giri yang tersenyum.
“Bagus sekali,” kata Batara Giri pelan, sehingga hanya Awan yang bisa mendengarnya. “Senang melihatmu tidak terus memikirkan cermin itu... kau menyibukkan diri... luar biasa....”
Saka meludah dengan getir ke tanah.
Awan meninggalkan kamar ganti sendirian beberapa waktu kemudian, untuk mengembalikan Kutang Antrakusama ke dalam ruang penyimpanan khusus. Belum pernah ia merasa seriang ini. Ia benar-benar telah melakukan sesuatu yang bisa dibanggakan sekarang tak seorang pun bisa mengatakan lagi ia cuma sekadar nama terkenal. Udara malam belum pernah seharum ini. Ia melangkah di atas rumput lembap, mengenang kembali kejadian satu jam terakhir ini. Kilasan yang membahagiakan: anak-anak Jodhipati berlarian mendekat untuk mengangkatnya ke atas bahu mereka; Man dan Kirana di kejauhan, melonjak-lonjak kegirangan. Man bersorak walaupun hidungnya berdarah.
Awan telah tiba di kamar ganti. Ia bersandar di pintu kayu dan mendongak menatap Saloka, dengan jendela-jendelanya yang berkilau merah tertimpa cahaya matahari terbenam. Jodhipati memimpin. Ia telah berhasil, ia telah membuktikan kepada Saka... Dan ngomong-ngomong tentang Saka...
Sesosok tubuh kerkerudung menuruni undakan depan kastil dengan cepat. Jelas tak ingin dilihat orang, dia berjalan secepat mungkin menuju ke Hutan Terlarang. Kemenangan memudar dari benak Awan saat ia mengawasi sosok itu. Ia mengenali gaya jalannya. Saka, sembunyi-sembunyi ke dalam Hutan ketika yang lain sedang makan malam apa yang sedang terjadi sebetulnya?
Awan kembali melompat dan terbang. Melayang diam-diam di atas kastil, ia melihat Saka berlari memasuki Hutan. Ia membuntuti. Pepohonan begitu lebat sehingga ia tidak bisa melihat ke mana Saka. Awan terbang berputar-putar, makin lama makin rendah, menyentuh ranting-ranting atas pepohonan, sampai ia mendengar suara-suara. Ia meluncur ke arah suara-suara itu dan mendarat tanpa bunyi di pohon beech besar di dekatnya. Hati-hati ia merambat di salah satu dahan, memegang sapunya erat-erat, mencoba mengintip melalui celah-celah dedaunan.
Di bawah, di tempat terbuka yang teduh, Saka berdiri, tetapi dia tidak sendirian. Somad juga ada di sana. Awan tidak bisa melihat ekspresi wajahnya dengan jelas, tetapi dia tergagap lebih parah daripada biasanya. Awan berusaha keras menangkap apa yang mereka bicarakan.
“... tid-tidak tahu kenapa kau m-m-mau b-bertemu di sini, Subala...”
“Oh, kupikir kita harus merahasiakan ini,” kata Saka, suaranya dingin. “Murid-murid kan tidak boleh tahu tentang Batu Naran.” Awan membungkuk ke depan. Somad menggumamkan sesuatu.  Saka menyelanya.  “Apa kau sudah menemukan cara bagaimana bisa melewati binatang piaraan Permadi itu?”
“T-t-tapi, Subala, aku...”
“Kau tak ingin aku jadi musuhmu, kan, Somad,” kata Saka, maju ke depan satu langkah.
“A-aku t-tak tahu apa...”
“Kau tahu persis apa maksudku.”  Seekor burung merpati menjerit keras dan Awan nyaris terjatuh dari pohon. Ia berhasil menenangkan diri dan sempat mendengar Saka berkata, “... haritala kecilmu, aku menunggu.”
“T-tapi aku t-t-tidak...”
“Baiklah,” Saka menukas. “Kita akan mengobrol lagi lain waktu, kalau kau sudah sempat memikirkan hal ini dan memutuskan mau setia kepada siapa.”
Saka menyampirkan jubahnya ke atas kepalanya dan melangkah meninggalkan tempat terbuka itu. Hari sudah hampir gelap sekarang, tetapi Awan bisa melihat Somad, berdiri diam, seakan membatu.
“Awan, dari mana saja kau?” seru Kirana nyaring.  “Kita menang! Kau menang!” teriak Man, seraya menepuk punggung Awan. “Dan kupukul mata Bronto sampai biru dan Norman mencoba menghadapi Yama dan Cingkara sendirian! Dia masih pingsan, tetapi Dewi Pertiwi bilang dia akan sembuh tahu rasa Madukara! Semua menunggumu di ruang rekreasi, kita akan pesta. Sekutrem dan Palasara mencuri kue dan makanan lain dari dapur.”
“Itu nanti saja,” kata Awan tersengal. “Ayo, kita cari ruang kosong, tunggu sampai kalian mendengar ini....”
Awan memastikan Bawor tidak ada di dalam sebelum menutup pintu di belakang mereka, baru ia menceritakan kepada kedua temannya apa yang telah dilihat dan didengarnya.
“Jadi kita benar, rupanya itu Batu Naran, dan Saka berusaha memaksa Somad membantunya mencurinya. Dia bertanya kalau-kalau Somad tahu cara melewati Jaladara dan dia juga bilang soal 'haritala' Somad kurasa ada yang lain yang melindungi batu, selain Jaladara. Mungkin berbagai jimat dan jampi-jampi, dan Somad pastilah telah memberikan mantra-mantra Anti-Ajian Hitam yang harus ditembus Saka...”
“Jadi, maksudmu batu itu aman hanya jika Somad masih bertahan menentang Saka?” tanya Kirana cemas.
“Tidak sampai Selasa juga sudah hilang, kalau begitu,” kata Man.
o)o0odwo0o(o

Tidak ada komentar:

Posting Komentar