Awan menarik napas
dalam-dalam dan mengambil botol terkecil. Ia berbalik menghadapi api hitam. “Aku
datang,” katanya dan dihabiskannya isi botol kecil itu dalam sekali teguk.
Memang seolah es mengaliri tubuhnya. Ditaruhnya kembali botol itu dan ia
melangkah maju. Diberanikannya dirinya.
Dilihatnya lidah api
hitam menjilat-jilat tubuhnya, tetapi tak ada yang dirasakannya. Untuk sesaat ia
tak bisa melihat apa pun kecuali api hitam, tahu-tahu ia sudah berada di sisi
lain, di kamar terakhir.
Sudah ada orang lain di situ, tetapi bukan
Saka. Bahkan bukan pula Nagasura. Batara Somad memandang wajah Awan. Awan
melonggo melihat bukan main. Anda,” Awan kaget. Batara Somad tersenyum.
Wajahnya sama sekali tak berkerut.
Ya, aku,” jawab tenang.
“Aku mungkin sudah bertanya-tanya akan bertemu denganmu disini, Awan.”
“Tetapi saya kira,
Saka...”
“Subala?” Somad tertawa
dan tawanya bukan tawa gemetar seperti biasanya, tetapi dingin dan melengking. “Ya,
Subala memang kelihatannya tipe yang cocok, ya? Dirinya sangat berguna,
menyambar-nyambar seperti kelelawar liar. Dibanding ia, siapa yang akan
mencurigai B-Batara S-Somad d-yang ggagap dan m-menimbulkan b-belas kasihan?”
Awan tidak mengerti.
Ini tak mungkin benar, tak mungkin.
“Tetapi Saka mencoba membunuh
saya.”
“Bukan, bukan,
bukan. Aku yang mencoba membunuhmu.
Temanmu, Kirana Bara, tanpa sengaja menabrakku sampai jatuh ketika dia
buru-buru mau membakar jubah Saka dalam pertandingan Braja itu. Dia memutuskan
kontak mataku denganmu. Beberapa detik saja lagi aku pasti sudah berhasil
menjatuhkanmu ke tanah. Aku pastilah sudah berhasil sebelumnya, seandainya Saka
tidak menggumamkan mantra penangkal, berusaha menyelamatkanmu.”
“Saka berusaha
menyelamatkan saya?”
“Tentu saja,” kata
Somad dingin. “Menurutmu kenapa dia ingin menjadi wasit dalam pertandinganmu
berikutnya? Dia berusaha memastikan aku tidak melakukannya lagi. Lucu juga...
dia tak perlu khawatir. Aku tak bisa
berbuat apa-apa karena Batara Giri nonton. Semua guru lain mengira Saka
berusaha menghalangi Jodhipati menang, dia memang membuat dirinya tidak
disukai... dan benar-benar membuang waktu sia-sia, toh setelah semua usaha itu,
aku akan membunuhmu malam ini.”
Somad menjentikkan
jari-jarinya. Tiba-tiba seutas tali membelit Awan erat-erat.
“Kau terlalu ingin tahu
dan terlalu suka ikut campur kalau dibiarkan hidup, Negara. Berkeliaran di
malam pesta seperti itu, tahu-tahu kau sudah melihatku datang untuk melihat apa
yang menjaga batu itu.”
“Anda yang memasukkan
Detya itu?”
“Tentu. Aku punya bakat
khusus menangani detya, kau pasti sudah melihat apa yang kulakukan terhadap
detya di kamar depan itu? Sayangnya,
sementara orang-orang lain berlarian mencari detya, Saka, yang sudah mencurigaiku,
langsung naik ke lantai tiga untuk menghadangku, dan bukan saja detyaku gagal
memukuli kalian sampai mati, si macan kepala tiga bahkan tidak berhasil
menggigit kaki Saka sampai putus.
“Sekarang, tunggu
dengan tenang, Negara. Aku perlu memeriksa cermin menarik ini.” Baru saat
itulah Awan menyadari apa yang berdiri di belakang Somad. Cermin Paesan.
“Cermin inilah kunci
untuk menemukan Batu Naran,” Somad bergumam, seraya mengelilingi bingkainya.
“Batara Giri memang
cerdik memakai cermin ini.. tapi dia di Jakarta... aku sudah jauh dari sini saat
dia pulang nanti....”
Yang bisa dipikirkan Awan
hanyalah bagaimana membuat Somad terus bicara dan mencegahnya berkonsentrasi
pada cermin.
“Saya melihat Anda dan
Saka di Hutan...,” celetuknya.
“Ya,” kata Somad sambil
lalu, berjalan ke balik cermin untuk memeriksa bagian belakangnya. “Dia sudah
tahu niatku saat itu, mencoba mengorek sejauh mana pengetahuanku. Dia sudah lama mencurigaiku. Mencoba
menakut-nakutiku, mana bisa, kan Batara Nagasura mendampingiku....”
Somad muncul dari balik
cermin dan menatapnya dengan bergairah. “Aku
melihat batunya... kupersembahkan kepada tuanku... tetapi di mana letak batu
itu?”
Awan berkutat
melepaskan diri dari tali yang mengikatnya, tetapi percuma. Ia ingat saat
didirinya dikurungi Sakuni dalam toilet ia merusak pintunya. Ia ingat semua. Ia
mencoba mengalirkan prabanya. Tubuhnya seakan mengeras bagai besi bajatetapi
lebih keras. Hitam legam seluruh tubuhnya. Matanya bersinar, tangannya yang
kecil tanpa otot tiba-tiba berotot. Tubuh Awan menjadi perkasa. Keras bagai baja
bahkan seluruh tulang-tulang. Tali yang mengikat lepas tak berbekas menjadi
debu.
“Apa yang terjadi
padamu,” Somad merasa agak sedikit takut melihat perubahan pada Awan. Somad
mulai menggumankan mantra ikat slira lebih kencang. Seutas baja siap memililit
tubu Awan. Tangan kanan Awan segera memegang gadanya. Ia menyambar tali itu
dengan gadanya. Tali yang mengikatnya lenyap begitu saja.
“Hebat kau negara,
bahkan Ajianku pun tak mempan padamu,” Somad sedikit dingin. Dia mulai
menggumankan mantra ‘Dahana cakra’. Sebuah bola api besar melesat menerjang Awan.
Bola api berdiameter sepuluh meter menelan Awan.
Awan yang memiliki
praba luar biasa, tubuhnya yang keras bagai baja tak mempan terhadap api biasa.
Dihajarkan bola api itu, hingga lenyap seketika.
“Tak kusangka anak
Negara, musuh Batara Nagasura sungguh merepotkan,” kata Somad masih jengkel.
“Kau sadarlah Batara
Somad, itu jalan hitam,” kata Awan tatapan mata tajam kepada Somad. “Kembalilah
ke jalan putihmu, kembalilah!”
“Itu bukan urusanmu,
aku setia pada tuanku,” kata Somad marah. “Dia memberiku pilihan dan kekuasaan.”
“Kau gila, Batara
Somad, kekuasaan hanya akan menenggelamkanmu makin dalam kegelapan,” Awan
menatap Somad masih tajam. “Makin dalam hingga tubuh dan pikiranmu termakan
kematian.”
“Kau tidak mengerti
tentangku, bagaimana diriku diremehkan dan diasingkan karena aku lemah,” kata
Somad menatap Awan dengan amarah. “Dirimu putra dari Ksatria hebat, kau kuat
dan tangguh, jadi kau tidak akan mengerti saat ditindas dan diremehkan.”
“Kau salah Batara
Somad, aku memang putra Ksatria hebat, tetapi bawa Ajian tak ada pada diriku,”
kata Awan tersenyum. “Lihat diriku dalam pelajaran Ajian aku selalu berada di
urutan bawah bukan hanya itu mereka mengganggapku agak gila tetapi aku percaya
dengan keyakinan dan kepercayaan akan membuktikan sebuah pencapaian.”
“Pencapaian!
pembuktian!” kata Somad sedikit mengangkat alis mata. “Dengar Awan, aku berbeda
denganmu, kau sudah diakui setelah lahir, kau memiliki praba kuat dan hebat.”
“Praba!” kata Awan
mengulang. “Apa perbedaan keduanya?”
“Bagi Ksatria bawa dan
praba adalah kekuatan utama,” kata Somad agak sedikit jengkel. “Bawa yang kuat
maka Ajian akan melampuai batasannya. Praba adalah kekuatan bertarung atau bisa
dibilang silat. Kau memang lemah dalam Ajian tetapi saat kau bertarung kau akan
perkasa bagai gajah. Seperti kau sekarang ini, mungkin kau tak tahu yang
terjadi pada dirimu, tetapi aku pernah mendengar sebuah ajian sama persis
seperti yang kamu pakai mereka memberikan nama Ismu gunting.”
“Ismu gunting,” kata Awan
mengulang.
“Ya, kau belum pernah
mendengar,” kata Somad. “Aku akan sedikit memberitahukanmu Ismu gunting
merupakan ajian pengawak braja. Kekuatan dalam One Piece disebut haki. Dalam
Dragon Ball disebut ki. Memang itulah Ismu gunting. Ajian Ismu gunting
merupakan kekuatan tangguh bagi pengguna untuk merapalnya. Dalam pewayangan
yang memiliki itu adalah sang pramugari Amarta Gatotkaca, yang memiliki ajian
Ismu gunting dan Narantaka.”
“Kau tahu banyak
mengenai bawa dan praba,” kata Awan.
Dengan mantra baru,
Somad memanggil detya, tinggi mencapai dua kali tinggi detya gunung. Kali ini
sedikit berbeda saat terjadi pesta, badan gagah dan perkasa tetapi kepala
mengalir banyak darah dengan bau tak sedap. Tangan yang begitu besar dihadapan Awan,
detya itu menggerakkan tangan untuk menangkap Awan. Awan yang dapat melayang
tanpa bantuan benda atau sapu terbang segera meluncur menghindari tangan detya.
“Bagaimana rasanya
dihajar detya, Negara,” Somad agak sedikit mengangkat dahi.
Awan menghindari amukan
detya. Ini pertandingan bigmatch antara bangsa raksasa dan manusia. Dua
kekuatan beradu dalam pertarungan gila. Lesatan Awan bagai kilat yang cepat.
Gerakan tangan detya agak sedikit lambat. Sehingga memudahkan untuk membaca
gerakannya.
Gada dalam gengaman, Awan
menghantam kepala detya. Kepala lebur jadi debu. Daging-daging berserakan
dilantai. Tubuh detya tumbang. Tak lama kepalanya tumbuh jadi dua. Pecahan
daging detya menumbuhkan banyak detya. Sehingga pasukan detya menghajar Awan.
Detya berkepala dua
memimpin pasukan detya yang seukuran manusia. Melesat cepat Awan melibaskan
para pasukan detya. Habis seketika pasukan detya. Tak lama pasukan detya hidup
kembali, jumlah semakin banyak dan melebih ruangan bawah tanah.
Awan sedikit kewalahan.
Para detya mengeronyok Awan. Awan merasa kelelahan melawan pasukan detya Somad.
Ia tertangkap dan terkunci oleh daging detya yang menggeras menjadi besi. Awan
terkunci.
“Bagaimana Negara kau
tak akan bisa lolos sekarang,” kata Somad sambil tertawa.
Kegagalan Awan
menangani detya Somad membuat Somad lupa akan tujuan. Dan ia harus mencegah
Somad mencurahkan seluruh perhatiannya kepada cermin.
“Tetapi Saka
kelihatannya sangat membenci saya.”
“Oh, memang dia
membencimu,” kata Somad sambil lalu.
“Sangat membencimu. Dia
sekolah di Saloka bersama ayahmu, kau tidak tahu? Mereka saling membenci.
Tetapi dia tidak pernah menginginkan ayahmu mati.”
“Tetapi saya mendengar
Anda beberapa hari yang lalu, terisak-isak, saya kira Saka sedang mengancam
Anda...”
Untuk pertama kalinya
ketakutan melintas di wajah Somad.
“Kadang-kadang,”
katanya, “sulit sekali bagiku untuk menjalankan perintah tuanku, dia Ksatria
hebat dan aku lemah...”
“Maksud Anda dia ada
dalam kelas itu bersama Anda?”
Awan terperanjat.
“Dia bersamaku kemana
pun aku pergi,” kata Somad pelan.
“Aku bertemu dengannya
ketika berkelana keliling dunia. Waktu itu aku cuma pemuda yang masih bodoh,
masih idealis tentang hal baik dan buruk. Batara Nagasura menunjukkan kepadaku
betapa kelirunya aku. Tak ada baik dan buruk, yang ada hanya kekuasaan, dan
mereka yang terlalu lemah untuk mencarinya... Sejak saat itu, aku melayaninya
dengan setia, meskipun aku sering kali mengecewakannya. Dia harus keras
terhadapku.” Somad mendadak bergidik. “Dia tidak mudah melupakan kesalahan. Ketika aku gagal mencuri Batu Naran dari
Ambarawa, dia sangat marah. Dia
menghukumku... memutuskan dia harus mengawasiku lebih ketat lagi....”
Suara Somad semakin
pelan. Awan teringat perjalanannya ke Semarang, bagaimana ia bisa sebodoh itu?
Ia bertemu Somad hari itu, berjabat tangan dengannya di Braja Asta.
Somad mengutuk pelan.
“Aku tak mengerti...
apakah batu itu ada di dalam cermin? Haruskah aku memecahkannya?” Pikiran Awan
berlomba. Yang sangat kuinginkan lebih dari apa pun didunia saat ini, pikirnya,
adalah menemukan Batu Naran itu sebelum Somad. Maka jika aku menatap ke dalam
cermin, aku akan melihat diriku menemukannya, yang berarti aku bisa melihat di
mana batu itu disembunyikan! Tetapi bagaimana aku bisa menatap ke dalam cermin
tanpa Somad menyadari tujuanku?
Ia mencoba beringsut ke
kiri, berusaha ke depan cermin, tetapi baja yang membelit pergelangan kakinya
terlalu ketat, ia tersandung dan jatuh. Somad mengabaikannya. Dia masih bicara
sendiri.
“Apa kegunaan cermin
ini? Bagaimana cara kerjanya? Tolonglah
aku, Tuan!”
Dan betapa ngerinya Awan
ketika terdengar suara menjawab, dan suara itu kedengarannya datang dari Somad
sendiri.
“Gunakan anak itu...
Gunakan anak itu....”
Somad menoleh kepada Awan.
“Dia memiliki praba
yang luar biasa tuan Batara Nagasura,” kata Somad agak pelan. “Bagaimana aku
mengatasi amukannya, nanti.”
“Tenang saja, tatap
matanya agar prabanya tertekan dan tak berdaya.”
“Ya, Negara sini.”
Dia menepukkan
tangannya sekali dan baja yang mengikat Awan lepas sendiri. Pelan-pelan Awan
bangkit. Tatapan mata Somad membuat daya kekuatannya menurun dratis, ajian Ismu
guntingnya hilang seketika dihapadan mata Somad yang sekarang.
Apa yang terjadi
padaku,” guman Awan, tubuh serasa lemas, aku mencoba membangkitkan ajian tadi.
Tapi seakan sirna terkunci.
“Sini,” Somad
mengulang. “Lihat ke dalam cermin dan beritahu aku apa yang kaulihat.”
Awan berjalan ke
arahnya.
“Aku harus berbohong,”
pikirnya putus asa. “Aku harus melihat dan berbohong tentang apa yang kulihat,
begitu saja.”
Somad bergerak ke
belakangnya. Awan mencium bau aneh yang agaknya berasal dari turban Somad. Ia
memejamkan mata, melangkah ke depan cermin dan membuka matanya lagi.
Awan melihat
bayangannya, mulanya pucat dan ketakutan. Tetapi sesaat kemudian, bayangan itu
tersenyum kepadanya. Ia memasukkan tangan ke dalam sakunya dan mengeluarkan
batu merah darah. Ia mengedipkan mata dan mengembalikan batu itu ke dalam
sakunya, dan pada saat ia melakukannya, Awan merasa sesuatu yang berat masuk ke
dalam sakunya yang sebenarnya. Dengan cara yang sangat ajaib, ia mendapatkan
batu itu.
“Nah?” kata Somad tak
sabar. “Apa yang kaulihat?”
Awan mengumpulkan
keberaniannya.
“Saya melihat saya
berjabat tangan dengan Batara Giri,” dia mengarang. “Saya, saya memenangkan Piala Ksatrian untuk
Jodhipati.”
Somad mengutuk lagi.
“Minggir,” katanya.
Ketika bergerak, Awan merasakan Batu Naran itu menggesek kakinya. Beranikah dia
melarikan diri?
Tapi belum lagi dia
berjalan lima langkah, terdengar suara melengking berkata, meskipun Somad tidak
menggerakkan bibirnya.
“Dia bohong... Dia
bohong....”
“Negara, kembali ke
sini!” teriak Somad. “Katakan yang sebenarnya! Apa yang tadi kaulihat?”
Suara melengking itu
bicara lagi.
“Biarkan aku bicara
dengannya... berhadapan....”
“Tuan, Anda belum cukup
kuat!”
“Aku cukup punya
kekuatan... untuk ini....”
Awan merasa seakan
Jerat Setan memancangnya di tempat.
Ia tak dapat
menggerakkan satu otot pun. Ketakutan, dilihatnya Somad mengangkat tangan dan
mulai mengurai turbannya. Apa yang terjadi? Turban jatuh. Kepala Somad tampak
aneh dan kecil tanpa turban. Kemudian pelan-pelan dia berbalik.
Awan ingin menjerit,
tetapi suaranya tidak keluar. Yang seharusnya bagian belakang kepala Somad,
ternyata sepotong wajah, wajah paling mengerikan yang pernah dilihat Awan.
Wajah itu sepucat
tembok dengan mata merah mendelik, dan lubang hidung yang hanya berupa celah,
seperti ular.
“Awan Negara...,” bisik
wajah itu. Awan mencoba mundur selangkah, tetapi kakinya tak mau bergerak.
“Kau lihat, aku jadi
apa?” kata wajah itu. “Cuma bayangan dan asap... aku punya bentuk hanya kalau
aku bisa berbagi dengan tubuh orang lain...
tetapi selalu ada yang mengizinkan aku memasuki hati dan pikiran
mereka... Darah unicorn telah membuatku semakin kuat, beberapa minggu terakhir
ini... kau melihat Somad yang setia meminumnya untukku di Hutan... dan begitu
aku minum Cairan Kehidupan, aku akan bisa menciptakan tubuhku sendiri.... Nah,
sekarang... berikan batu di sakumu itu!”
Jadi, dia tahu.
Tiba-tiba kaki Awan tidak lagi mati rasa. Ia terhuyung ke belakang.
“Jangan bodoh,” gertak
si wajah. “Lebih baik selamatkan nyawamu dan bergabung denganku... kalau tidak
kau akan berakhir sama dengan orangtuamu... Mereka memohon-mohon belas kasihan
dariku sebelum meninggal...”
“BOHONG!” mendadak Awan
berteriak.
Somad berjalan mundur
ke arahnya, sehingga Nagasura masih bisa menatapnya. Wajah mengerikan itu kini
tersenyum.
“Sungguh
mengharukan...,” desisnya. “Aku selalu menghargai keberanian... Ya, Nak,
orangtuamu pemberani... Aku membunuh ayahmu lebih dulu dan dia melawan dengan
gagah berani... tetapi ibumu sebetulnya tak perlu mati... dia berusaha
melindungimu... Sekarang berikan batu itu kepadaku, kalau tidak kau akan mati
sia-sia.”
“TIDAK!”
Awan melompat ke arah
pintu nyala api, tetapi Nagagsura menjerit, “TANGKAP DIA!”
Somad melentikkan
tongkatnya, dia mengumankan mantra ‘detya’. Detya tinggi mencapai dua kali
tinggi detya gunung. Kali ini sedikit berbeda saat terjadi pesta, badan gagah
dan perkasa tetapi kepala mengalir banyak darah dengan bau tak sedap.
“Ada apa tuan memanggilku?” kata Detya.
“Tangkap anakku itu!”
teriak Somad agak marah.
“Anak yang mana tuanku?”
tanya Detya sambil melihat sekitarnya.
“Kau lihat anak berlari
itu, cepat tangkap dia!” teriak Somad marah.
“Siap tuan!” kata
detya.
Detya menjulurkan
tangannya kearah Awan. Ia menghindari terjangan tangan detya. Awan melayang,
meluncur tajam ke arah wajah detya. Hantaman keras menghujam ke wajah detya.
Tubuh detya terjatuh, guncangan keras menggetarkan ruangan bawah tanah.
Detya kembali bangkit.
Tangan besar menerjang ke arah Awan. Awan menghindari melesat kencang. Batu
Naran yang didalam saku mengalirkan energi praba. Tubuh Awan menjadi perkasa.
Tubuhnya menjadi berotot dan perkasa. Ismu gunting diwateknya. Hitam legam
seluruh tubuhnya.
Awan melesat bagai
badai putting beliung. Ia menerjang detya hingga lebur seketika. Daging detya
berserekan kemana-mana.
Daging detya tumbuh
kembali ke wujud barunya. Semakin banyak dan besar-besar melebih tubuh Awan.
Semua detya mencapai tinggi tiga meter. Awan merasa dirinya terpojok. Batu
Naran bersinar dibalik saku celana. Prabanya mengalir kedalam tubuh Awan. Ismu
gunting menyatu dengan praba batu Naran, seakan energi alam menyatu dalam
dirinya. Hitam legam tubuhnya menampakkan kilatan hitam.
Pasukan detya yang
menyerang Awan. Merasakan praba luar biasa. Saat Awan berjalan menghadang
pasukan detya lenyap seketika dihadapan prabanya. Hantaman keras diluncurkan
kearah pasukan detya. Ludes dan habis seketika pasukan detya. Bahkan tak bisa
hidup kembali.
Somad terlihat panik
pada kekuatan Awan. Dia melentikkan tongkatnya. Muncul pasukan detya lebih dari
seratus mengepung Awan. Awan menyambar seluruhnya pasukan detya mati seketika
tanpa kepala dan tak bisa hidup lagi.
“Sial kau Negara,”
teriak Somad.
“Tangkap dia!” teriak
Nagasura.
Dan detik berikutnya Awan
merasakan tangan Somad mencengkeram pergelangan tangannya. Langsung saja rasa
sakit yang tajam menyengat bekas luka Awan kepalanya serasa hendak terbelah
dua. Awan menjerit, meronta-ronta sekuat tenaga, dan kaget sendiri ketika Somad
membebaskannya. Rasa sakit di dahinya berkurang, ia memandang berkeliling,
mencari Somad, dan melihatnya tengah meringkuk kesakitan, memandang
jari-jarinya, jari-jari itu melepuh.
“Tangkap dia! TANGKAP
DIA!” teriak Nagasura lagi.
Somad menerjang Awan
sampai jatuh dan mendarat di atas tubuhnya, kedua tangannya melingkari leher Awan,
bekas luka Awan sakit luar biasa, sampai ia merasa nyaris buta, tetapi ia masih
bisa melihat Somad melolong kesakitan.
“Tuan, aku tak bisa
memegangnya, tanganku, tanganku!”
Dan Somad, meski masih
memiting Awan ke tanah dengan lututnya, melepas cekikannya dan terbelalak
menatap telapak tangannya sendiri, Awan bisa melihatnya, tangan itu terbakar,
kelihatan merah dan berkilat.
“Kalau begitu bunuh
dia, goblok. Bereskan saja anak itu!” lengking Nagasura.
Somad mengangkat tangan
untuk melakukan kutukan yang mematikan tetapi, tanpa pikir panjang, Awan
mencengkeram wajah Somad....
“AAAARGH!”
Somad berguling dari
atas tubuh Awan, wajahnya juga melepuh, dan Awan pun tahu: Somad tak tahan
menyentuh kulitnya. Jika tersentuh, dia menderita kesakitan yang amat sangat.
Satu-satunya kesempatan Awan adalah memegangi Somad, membuatnya cukup kesakitan
sehingga tak bisa melakukan kutukan.
Awan melompat bangun,
menangkap lengan Somad dan mencengkeramnya sekuat mungkin. Somad menjerit dan
mencoba mengibaskan Awan, rasa sakit di kepala Awan semakin hebat, ia tak bisa
melihat, ia cuma mendengar jerit mengerikan Somad dan teriakan-teriakan
Nagasura,
“BUNUH DIA! BUNUH DIA!”
dan suara-suara lain, mungkin ia dalam kepalanya sendiri, berseru-seru, “Awan! Awan!”
Dirasakannya lengan
Somad ditarik lepas dari cengkeramannya, ia tahu dirinya telah kalah, dan jatuh
dalam kegelapan, jatuh... makin lama makin dalam....
Kepala Awan yang
semakin sakit makin hilang tetapi tubuh Awan lemas seketika. Sebuah cahaya
datang dari angkasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar