MELAWAN BATARA SOMAD - Sastra Education

Breaking

Minggu, 26 Januari 2020

MELAWAN BATARA SOMAD


Awan menarik napas dalam-dalam dan mengambil botol terkecil. Ia berbalik menghadapi api hitam. “Aku datang,” katanya dan dihabiskannya isi botol kecil itu dalam sekali teguk. Memang seolah es mengaliri tubuhnya. Ditaruhnya kembali botol itu dan ia melangkah maju. Diberanikannya dirinya.
Dilihatnya lidah api hitam menjilat-jilat tubuhnya, tetapi tak ada yang dirasakannya. Untuk sesaat ia tak bisa melihat apa pun kecuali api hitam, tahu-tahu ia sudah berada di sisi lain, di kamar terakhir.
  Sudah ada orang lain di situ, tetapi bukan Saka. Bahkan bukan pula Nagasura. Batara Somad memandang wajah Awan. Awan melonggo melihat bukan main. Anda,” Awan kaget. Batara Somad tersenyum. Wajahnya sama sekali tak berkerut.
Ya, aku,” jawab tenang. “Aku mungkin sudah bertanya-tanya akan bertemu denganmu disini, Awan.”
“Tetapi saya kira, Saka...”
“Subala?” Somad tertawa dan tawanya bukan tawa gemetar seperti biasanya, tetapi dingin dan melengking. “Ya, Subala memang kelihatannya tipe yang cocok, ya? Dirinya sangat berguna, menyambar-nyambar seperti kelelawar liar. Dibanding ia, siapa yang akan mencurigai B-Batara S-Somad d-yang ggagap dan m-menimbulkan b-belas kasihan?”
Awan tidak mengerti. Ini tak mungkin benar, tak mungkin.

“Tetapi Saka mencoba membunuh saya.”
“Bukan, bukan, bukan.  Aku yang mencoba membunuhmu. Temanmu, Kirana Bara, tanpa sengaja menabrakku sampai jatuh ketika dia buru-buru mau membakar jubah Saka dalam pertandingan Braja itu. Dia memutuskan kontak mataku denganmu. Beberapa detik saja lagi aku pasti sudah berhasil menjatuhkanmu ke tanah. Aku pastilah sudah berhasil sebelumnya, seandainya Saka tidak menggumamkan mantra penangkal, berusaha menyelamatkanmu.”
“Saka berusaha menyelamatkan saya?”
“Tentu saja,” kata Somad dingin. “Menurutmu kenapa dia ingin menjadi wasit dalam pertandinganmu berikutnya? Dia berusaha memastikan aku tidak melakukannya lagi. Lucu juga... dia tak perlu khawatir.  Aku tak bisa berbuat apa-apa karena Batara Giri nonton. Semua guru lain mengira Saka berusaha menghalangi Jodhipati menang, dia memang membuat dirinya tidak disukai... dan benar-benar membuang waktu sia-sia, toh setelah semua usaha itu, aku akan membunuhmu malam ini.”
Somad menjentikkan jari-jarinya. Tiba-tiba seutas tali membelit Awan erat-erat.
“Kau terlalu ingin tahu dan terlalu suka ikut campur kalau dibiarkan hidup, Negara. Berkeliaran di malam pesta seperti itu, tahu-tahu kau sudah melihatku datang untuk melihat apa yang menjaga batu itu.”
“Anda yang memasukkan Detya itu?”
“Tentu. Aku punya bakat khusus menangani detya, kau pasti sudah melihat apa yang kulakukan terhadap detya di kamar depan itu?  Sayangnya, sementara orang-orang lain berlarian mencari detya, Saka, yang sudah mencurigaiku, langsung naik ke lantai tiga untuk menghadangku, dan bukan saja detyaku gagal memukuli kalian sampai mati, si macan kepala tiga bahkan tidak berhasil menggigit kaki Saka sampai putus.
“Sekarang, tunggu dengan tenang, Negara. Aku perlu memeriksa cermin menarik ini.” Baru saat itulah Awan menyadari apa yang berdiri di belakang Somad. Cermin Paesan.
“Cermin inilah kunci untuk menemukan Batu Naran,” Somad bergumam, seraya mengelilingi bingkainya.
“Batara Giri memang cerdik memakai cermin ini.. tapi dia di Jakarta... aku sudah jauh dari sini saat dia pulang nanti....”
Yang bisa dipikirkan Awan hanyalah bagaimana membuat Somad terus bicara dan mencegahnya berkonsentrasi pada cermin.
“Saya melihat Anda dan Saka di Hutan...,” celetuknya.
“Ya,” kata Somad sambil lalu, berjalan ke balik cermin untuk memeriksa bagian belakangnya. “Dia sudah tahu niatku saat itu, mencoba mengorek sejauh mana pengetahuanku.  Dia sudah lama mencurigaiku. Mencoba menakut-nakutiku, mana bisa, kan Batara Nagasura mendampingiku....”
Somad muncul dari balik cermin dan menatapnya dengan bergairah.  “Aku melihat batunya... kupersembahkan kepada tuanku... tetapi di mana letak batu itu?”
Awan berkutat melepaskan diri dari tali yang mengikatnya, tetapi percuma. Ia ingat saat didirinya dikurungi Sakuni dalam toilet ia merusak pintunya. Ia ingat semua. Ia mencoba mengalirkan prabanya. Tubuhnya seakan mengeras bagai besi bajatetapi lebih keras. Hitam legam seluruh tubuhnya. Matanya bersinar, tangannya yang kecil tanpa otot tiba-tiba berotot. Tubuh Awan menjadi perkasa. Keras bagai baja bahkan seluruh tulang-tulang. Tali yang mengikat lepas tak berbekas menjadi debu.
“Apa yang terjadi padamu,” Somad merasa agak sedikit takut melihat perubahan pada Awan. Somad mulai menggumankan mantra ikat slira lebih kencang. Seutas baja siap memililit tubu Awan. Tangan kanan Awan segera memegang gadanya. Ia menyambar tali itu dengan gadanya. Tali yang mengikatnya lenyap begitu saja.
“Hebat kau negara, bahkan Ajianku pun tak mempan padamu,” Somad sedikit dingin. Dia mulai menggumankan mantra ‘Dahana cakra’. Sebuah bola api besar melesat menerjang Awan. Bola api berdiameter sepuluh meter menelan Awan.
Awan yang memiliki praba luar biasa, tubuhnya yang keras bagai baja tak mempan terhadap api biasa. Dihajarkan bola api itu, hingga lenyap seketika.
“Tak kusangka anak Negara, musuh Batara Nagasura sungguh merepotkan,” kata Somad masih jengkel.
“Kau sadarlah Batara Somad, itu jalan hitam,” kata Awan tatapan mata tajam kepada Somad. “Kembalilah ke jalan putihmu, kembalilah!”
“Itu bukan urusanmu, aku setia pada tuanku,” kata Somad marah. “Dia memberiku pilihan dan kekuasaan.”
“Kau gila, Batara Somad, kekuasaan hanya akan menenggelamkanmu makin dalam kegelapan,” Awan menatap Somad masih tajam. “Makin dalam hingga tubuh dan pikiranmu termakan kematian.”
“Kau tidak mengerti tentangku, bagaimana diriku diremehkan dan diasingkan karena aku lemah,” kata Somad menatap Awan dengan amarah. “Dirimu putra dari Ksatria hebat, kau kuat dan tangguh, jadi kau tidak akan mengerti saat ditindas dan diremehkan.”
“Kau salah Batara Somad, aku memang putra Ksatria hebat, tetapi bawa Ajian tak ada pada diriku,” kata Awan tersenyum. “Lihat diriku dalam pelajaran Ajian aku selalu berada di urutan bawah bukan hanya itu mereka mengganggapku agak gila tetapi aku percaya dengan keyakinan dan kepercayaan akan membuktikan sebuah pencapaian.”
“Pencapaian! pembuktian!” kata Somad sedikit mengangkat alis mata. “Dengar Awan, aku berbeda denganmu, kau sudah diakui setelah lahir, kau memiliki praba kuat dan hebat.”
“Praba!” kata Awan mengulang. “Apa perbedaan keduanya?”
“Bagi Ksatria bawa dan praba adalah kekuatan utama,” kata Somad agak sedikit jengkel. “Bawa yang kuat maka Ajian akan melampuai batasannya. Praba adalah kekuatan bertarung atau bisa dibilang silat. Kau memang lemah dalam Ajian tetapi saat kau bertarung kau akan perkasa bagai gajah. Seperti kau sekarang ini, mungkin kau tak tahu yang terjadi pada dirimu, tetapi aku pernah mendengar sebuah ajian sama persis seperti yang kamu pakai mereka memberikan nama Ismu gunting.”
“Ismu gunting,” kata Awan mengulang.
“Ya, kau belum pernah mendengar,” kata Somad. “Aku akan sedikit memberitahukanmu Ismu gunting merupakan ajian pengawak braja. Kekuatan dalam One Piece disebut haki. Dalam Dragon Ball disebut ki. Memang itulah Ismu gunting. Ajian Ismu gunting merupakan kekuatan tangguh bagi pengguna untuk merapalnya. Dalam pewayangan yang memiliki itu adalah sang pramugari Amarta Gatotkaca, yang memiliki ajian Ismu gunting dan Narantaka.”
“Kau tahu banyak mengenai bawa dan praba,” kata Awan.
Dengan mantra baru, Somad memanggil detya, tinggi mencapai dua kali tinggi detya gunung. Kali ini sedikit berbeda saat terjadi pesta, badan gagah dan perkasa tetapi kepala mengalir banyak darah dengan bau tak sedap. Tangan yang begitu besar dihadapan Awan, detya itu menggerakkan tangan untuk menangkap Awan. Awan yang dapat melayang tanpa bantuan benda atau sapu terbang segera meluncur menghindari tangan detya.
“Bagaimana rasanya dihajar detya, Negara,” Somad agak sedikit mengangkat dahi.
Awan menghindari amukan detya. Ini pertandingan bigmatch antara bangsa raksasa dan manusia. Dua kekuatan beradu dalam pertarungan gila. Lesatan Awan bagai kilat yang cepat. Gerakan tangan detya agak sedikit lambat. Sehingga memudahkan untuk membaca gerakannya.
Gada dalam gengaman, Awan menghantam kepala detya. Kepala lebur jadi debu. Daging-daging berserakan dilantai. Tubuh detya tumbang. Tak lama kepalanya tumbuh jadi dua. Pecahan daging detya menumbuhkan banyak detya. Sehingga pasukan detya menghajar Awan.
Detya berkepala dua memimpin pasukan detya yang seukuran manusia. Melesat cepat Awan melibaskan para pasukan detya. Habis seketika pasukan detya. Tak lama pasukan detya hidup kembali, jumlah semakin banyak dan melebih ruangan bawah tanah.
Awan sedikit kewalahan. Para detya mengeronyok Awan. Awan merasa kelelahan melawan pasukan detya Somad. Ia tertangkap dan terkunci oleh daging detya yang menggeras menjadi besi. Awan terkunci.  
“Bagaimana Negara kau tak akan bisa lolos sekarang,” kata Somad sambil tertawa.
Kegagalan Awan menangani detya Somad membuat Somad lupa akan tujuan. Dan ia harus mencegah Somad mencurahkan seluruh perhatiannya kepada cermin.
“Tetapi Saka kelihatannya sangat membenci saya.”
“Oh, memang dia membencimu,” kata Somad sambil lalu.
“Sangat membencimu. Dia sekolah di Saloka bersama ayahmu, kau tidak tahu? Mereka saling membenci. Tetapi dia tidak pernah menginginkan ayahmu mati.”
“Tetapi saya mendengar Anda beberapa hari yang lalu, terisak-isak, saya kira Saka sedang mengancam Anda...”
Untuk pertama kalinya ketakutan melintas di wajah Somad.
“Kadang-kadang,” katanya, “sulit sekali bagiku untuk menjalankan perintah tuanku, dia Ksatria hebat dan aku lemah...”
“Maksud Anda dia ada dalam kelas itu bersama Anda?”
Awan terperanjat.
“Dia bersamaku kemana pun aku pergi,” kata Somad pelan.
“Aku bertemu dengannya ketika berkelana keliling dunia. Waktu itu aku cuma pemuda yang masih bodoh, masih idealis tentang hal baik dan buruk. Batara Nagasura menunjukkan kepadaku betapa kelirunya aku. Tak ada baik dan buruk, yang ada hanya kekuasaan, dan mereka yang terlalu lemah untuk mencarinya... Sejak saat itu, aku melayaninya dengan setia, meskipun aku sering kali mengecewakannya. Dia harus keras terhadapku.” Somad mendadak bergidik. “Dia tidak mudah melupakan kesalahan.  Ketika aku gagal mencuri Batu Naran dari Ambarawa, dia sangat marah.  Dia menghukumku... memutuskan dia harus mengawasiku lebih ketat lagi....”
Suara Somad semakin pelan. Awan teringat perjalanannya ke Semarang, bagaimana ia bisa sebodoh itu? Ia bertemu Somad hari itu, berjabat tangan dengannya di Braja Asta.
Somad mengutuk pelan.
“Aku tak mengerti... apakah batu itu ada di dalam cermin? Haruskah aku memecahkannya?” Pikiran Awan berlomba. Yang sangat kuinginkan lebih dari apa pun didunia saat ini, pikirnya, adalah menemukan Batu Naran itu sebelum Somad. Maka jika aku menatap ke dalam cermin, aku akan melihat diriku menemukannya, yang berarti aku bisa melihat di mana batu itu disembunyikan! Tetapi bagaimana aku bisa menatap ke dalam cermin tanpa Somad menyadari tujuanku?
Ia mencoba beringsut ke kiri, berusaha ke depan cermin, tetapi baja yang membelit pergelangan kakinya terlalu ketat, ia tersandung dan jatuh. Somad mengabaikannya. Dia masih bicara sendiri.
“Apa kegunaan cermin ini?  Bagaimana cara kerjanya? Tolonglah aku, Tuan!”
Dan betapa ngerinya Awan ketika terdengar suara menjawab, dan suara itu kedengarannya datang dari Somad sendiri.
“Gunakan anak itu... Gunakan anak itu....”
Somad menoleh kepada Awan.
“Dia memiliki praba yang luar biasa tuan Batara Nagasura,” kata Somad agak pelan. “Bagaimana aku mengatasi amukannya, nanti.”
“Tenang saja, tatap matanya agar prabanya tertekan dan tak berdaya.”
“Ya, Negara sini.” 
Dia menepukkan tangannya sekali dan baja yang mengikat Awan lepas sendiri. Pelan-pelan Awan bangkit. Tatapan mata Somad membuat daya kekuatannya menurun dratis, ajian Ismu guntingnya hilang seketika dihapadan mata Somad yang sekarang.
Apa yang terjadi padaku,” guman Awan, tubuh serasa lemas, aku mencoba membangkitkan ajian tadi. Tapi seakan sirna terkunci.  
“Sini,” Somad mengulang. “Lihat ke dalam cermin dan beritahu aku apa yang kaulihat.”
Awan berjalan ke arahnya.
“Aku harus berbohong,” pikirnya putus asa. “Aku harus melihat dan berbohong tentang apa yang kulihat, begitu saja.”
Somad bergerak ke belakangnya. Awan mencium bau aneh yang agaknya berasal dari turban Somad. Ia memejamkan mata, melangkah ke depan cermin dan membuka matanya lagi.
Awan melihat bayangannya, mulanya pucat dan ketakutan. Tetapi sesaat kemudian, bayangan itu tersenyum kepadanya. Ia memasukkan tangan ke dalam sakunya dan mengeluarkan batu merah darah. Ia mengedipkan mata dan mengembalikan batu itu ke dalam sakunya, dan pada saat ia melakukannya, Awan merasa sesuatu yang berat masuk ke dalam sakunya yang sebenarnya. Dengan cara yang sangat ajaib, ia mendapatkan batu itu.
“Nah?” kata Somad tak sabar. “Apa yang kaulihat?”
Awan mengumpulkan keberaniannya.
“Saya melihat saya berjabat tangan dengan Batara Giri,” dia mengarang.  “Saya, saya memenangkan Piala Ksatrian untuk Jodhipati.”
Somad mengutuk lagi.
“Minggir,” katanya. Ketika bergerak, Awan merasakan Batu Naran itu menggesek kakinya. Beranikah dia melarikan diri?
Tapi belum lagi dia berjalan lima langkah, terdengar suara melengking berkata, meskipun Somad tidak menggerakkan bibirnya.
“Dia bohong... Dia bohong....”
“Negara, kembali ke sini!” teriak Somad. “Katakan yang sebenarnya! Apa yang tadi kaulihat?”
Suara melengking itu bicara lagi.
“Biarkan aku bicara dengannya... berhadapan....”
“Tuan, Anda belum cukup kuat!”
“Aku cukup punya kekuatan... untuk ini....”
Awan merasa seakan Jerat Setan memancangnya di tempat.
Ia tak dapat menggerakkan satu otot pun. Ketakutan, dilihatnya Somad mengangkat tangan dan mulai mengurai turbannya. Apa yang terjadi? Turban jatuh. Kepala Somad tampak aneh dan kecil tanpa turban. Kemudian pelan-pelan dia berbalik.
Awan ingin menjerit, tetapi suaranya tidak keluar. Yang seharusnya bagian belakang kepala Somad, ternyata sepotong wajah, wajah paling mengerikan yang pernah dilihat Awan.
Wajah itu sepucat tembok dengan mata merah mendelik, dan lubang hidung yang hanya berupa celah, seperti ular.
“Awan Negara...,” bisik wajah itu. Awan mencoba mundur selangkah, tetapi kakinya tak mau bergerak.
“Kau lihat, aku jadi apa?” kata wajah itu. “Cuma bayangan dan asap... aku punya bentuk hanya kalau aku bisa berbagi dengan tubuh orang lain...  tetapi selalu ada yang mengizinkan aku memasuki hati dan pikiran mereka... Darah unicorn telah membuatku semakin kuat, beberapa minggu terakhir ini... kau melihat Somad yang setia meminumnya untukku di Hutan... dan begitu aku minum Cairan Kehidupan, aku akan bisa menciptakan tubuhku sendiri.... Nah, sekarang... berikan batu di sakumu itu!”
Jadi, dia tahu. Tiba-tiba kaki Awan tidak lagi mati rasa. Ia terhuyung ke belakang.
“Jangan bodoh,” gertak si wajah. “Lebih baik selamatkan nyawamu dan bergabung denganku... kalau tidak kau akan berakhir sama dengan orangtuamu... Mereka memohon-mohon belas kasihan dariku sebelum meninggal...”
“BOHONG!” mendadak Awan berteriak.
Somad berjalan mundur ke arahnya, sehingga Nagasura masih bisa menatapnya. Wajah mengerikan itu kini tersenyum.
“Sungguh mengharukan...,” desisnya. “Aku selalu menghargai keberanian... Ya, Nak, orangtuamu pemberani... Aku membunuh ayahmu lebih dulu dan dia melawan dengan gagah berani... tetapi ibumu sebetulnya tak perlu mati... dia berusaha melindungimu... Sekarang berikan batu itu kepadaku, kalau tidak kau akan mati sia-sia.”
“TIDAK!”
Awan melompat ke arah pintu nyala api, tetapi Nagagsura menjerit, “TANGKAP DIA!”
Somad melentikkan tongkatnya, dia mengumankan mantra ‘detya’. Detya tinggi mencapai dua kali tinggi detya gunung. Kali ini sedikit berbeda saat terjadi pesta, badan gagah dan perkasa tetapi kepala mengalir banyak darah dengan bau tak sedap.
 “Ada apa tuan memanggilku?” kata Detya. 
“Tangkap anakku itu!” teriak Somad agak marah.
“Anak yang mana tuanku?” tanya Detya sambil melihat sekitarnya.
“Kau lihat anak berlari itu, cepat tangkap dia!” teriak Somad marah.
“Siap tuan!” kata detya.
Detya menjulurkan tangannya kearah Awan. Ia menghindari terjangan tangan detya. Awan melayang, meluncur tajam ke arah wajah detya. Hantaman keras menghujam ke wajah detya. Tubuh detya terjatuh, guncangan keras menggetarkan ruangan bawah tanah.
Detya kembali bangkit. Tangan besar menerjang ke arah Awan. Awan menghindari melesat kencang. Batu Naran yang didalam saku mengalirkan energi praba. Tubuh Awan menjadi perkasa. Tubuhnya menjadi berotot dan perkasa. Ismu gunting diwateknya. Hitam legam seluruh tubuhnya.
Awan melesat bagai badai putting beliung. Ia menerjang detya hingga lebur seketika. Daging detya berserekan kemana-mana.
Daging detya tumbuh kembali ke wujud barunya. Semakin banyak dan besar-besar melebih tubuh Awan. Semua detya mencapai tinggi tiga meter. Awan merasa dirinya terpojok. Batu Naran bersinar dibalik saku celana. Prabanya mengalir kedalam tubuh Awan. Ismu gunting menyatu dengan praba batu Naran, seakan energi alam menyatu dalam dirinya. Hitam legam tubuhnya menampakkan kilatan hitam.
Pasukan detya yang menyerang Awan. Merasakan praba luar biasa. Saat Awan berjalan menghadang pasukan detya lenyap seketika dihadapan prabanya. Hantaman keras diluncurkan kearah pasukan detya. Ludes dan habis seketika pasukan detya. Bahkan tak bisa hidup kembali.
Somad terlihat panik pada kekuatan Awan. Dia melentikkan tongkatnya. Muncul pasukan detya lebih dari seratus mengepung Awan. Awan menyambar seluruhnya pasukan detya mati seketika tanpa kepala dan tak bisa hidup lagi.
“Sial kau Negara,” teriak Somad.
“Tangkap dia!” teriak Nagasura.
Dan detik berikutnya Awan merasakan tangan Somad mencengkeram pergelangan tangannya. Langsung saja rasa sakit yang tajam menyengat bekas luka Awan kepalanya serasa hendak terbelah dua. Awan menjerit, meronta-ronta sekuat tenaga, dan kaget sendiri ketika Somad membebaskannya. Rasa sakit di dahinya berkurang, ia memandang berkeliling, mencari Somad, dan melihatnya tengah meringkuk kesakitan, memandang jari-jarinya, jari-jari itu melepuh.
“Tangkap dia! TANGKAP DIA!” teriak Nagasura lagi.
Somad menerjang Awan sampai jatuh dan mendarat di atas tubuhnya, kedua tangannya melingkari leher Awan, bekas luka Awan sakit luar biasa, sampai ia merasa nyaris buta, tetapi ia masih bisa melihat Somad melolong kesakitan.
“Tuan, aku tak bisa memegangnya, tanganku, tanganku!”
Dan Somad, meski masih memiting Awan ke tanah dengan lututnya, melepas cekikannya dan terbelalak menatap telapak tangannya sendiri, Awan bisa melihatnya, tangan itu terbakar, kelihatan merah dan berkilat.
“Kalau begitu bunuh dia, goblok. Bereskan saja anak itu!” lengking Nagasura.
Somad mengangkat tangan untuk melakukan kutukan yang mematikan tetapi, tanpa pikir panjang, Awan mencengkeram wajah Somad....
“AAAARGH!”
Somad berguling dari atas tubuh Awan, wajahnya juga melepuh, dan Awan pun tahu: Somad tak tahan menyentuh kulitnya. Jika tersentuh, dia menderita kesakitan yang amat sangat. Satu-satunya kesempatan Awan adalah memegangi Somad, membuatnya cukup kesakitan sehingga tak bisa melakukan kutukan.
Awan melompat bangun, menangkap lengan Somad dan mencengkeramnya sekuat mungkin. Somad menjerit dan mencoba mengibaskan Awan, rasa sakit di kepala Awan semakin hebat, ia tak bisa melihat, ia cuma mendengar jerit mengerikan Somad dan teriakan-teriakan Nagasura,
“BUNUH DIA! BUNUH DIA!” dan suara-suara lain, mungkin ia dalam kepalanya sendiri, berseru-seru, “Awan! Awan!”
Dirasakannya lengan Somad ditarik lepas dari cengkeramannya, ia tahu dirinya telah kalah, dan jatuh dalam kegelapan, jatuh... makin lama makin dalam....
Kepala Awan yang semakin sakit makin hilang tetapi tubuh Awan lemas seketika. Sebuah cahaya datang dari angkasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar