GAJAH PERKASA JODHIPATI - Sastra Education

Breaking

Sabtu, 25 Januari 2020

GAJAH PERKASA JODHIPATI


Sesuatu yang keemasan berkilau di atasnya. Bulmas! Awan berusaha menangkapnya, tetapi lengannya terlalu berat. Ia mengejap. Bukan Bulmas. Ternyata Awanmata. Aneh sekali. Ia mengejap lagi. Wajah kakek Batara Giri Maulana yang tersenyum melayang masuk ke dalam pandangannya.
“Selamat sore, Awan,” kata Batara Giri.
Awan bingung menatapnya. Kemudian ia ingat. “kek! Batunya! Somad! Dia mengambil batunya! kek, cepat...”
“Tenangkan dirimu, Nak, kau sedikit ketinggalan,” kata Batara Giri. “Somad tidak memiliki batu itu.”
“Kalau begitu, siapa? kek, saya...”
“Awan, rileks. Kalau tidak, Dewi Pertiwi akan mengusirku keluar.”
Awan menelan ludah dan memandang berkeliling. Ia sadar dirinya berada di rumah sakit. Ia berbaring di tempat tidur berseprai linen putih, di meja sebelahnya terdapat tumpukan tinggi yang tampaknya seperti setengah isi toko permen.
“Kiriman teman-teman dan pengagummu,” kata Batara Giri berseri-seri. “Apa yang terjadi di ruang bawah tanah, antara dirimu dengan Somad adalah rahasia besar, maka tentu saja seluruh sekolah tahu. Kurasa temanmu, Sekutrem dan Palasara Yuda bertanggung jawab atas usaha mengirimimu tutup kloset. Pasti mereka mengira kau akan geli dan senang menerimanya. Tetapi Dewi Pertiwi merasa hadiah itu tidak begitu higienis, dan menyitanya.”
“Sudah berapa lama saya di sini?”

“Tiga hari. Manyu Yuda dan Kirana Bara akan lega sekali mengetahui kau sudah sadar, mereka sangat cemas.”
“Tetapi, kakek Batara, batunya...”
“Rupanya kau tak bisa dialihkan. Baiklah, kalau begitu. Somad tidak berhasil mengambil batu itu darimu. Aku tiba tepat pada waktunya untuk mencegahnya walaupun, harus kuakui, kau sendiri telah bertahan dengan sangat baik.”
“Anda datang? Anda menerima burung hantu Kirana?”
“Pastilah kami berpapasan di udara. Begitu tiba di Jakarta, jelas bagiku bahwa aku harus berada di tempat yang baru saja kutinggalkan. Aku tiba tepat pada waktunya untuk menarik Somad darimu...”
“Jadi itu... Anda.”
“Aku sudah takut aku terlambat.”
“Hampir, saya nyaris tak bisa mempertahankan batu itu lebih lama lagi...”
“Bukan batunya, tetapi kau, Nak, usaha untuk mempertahankan Batu Naran itu nyaris membunuhmu. Sesaat aku ngeri sekali, mengira kau sudah tiada. Sedangkan batunya, sudah dimusnahkan.”
“Dimusnahkan?” tanya Awan tak mengerti. “Tetapi teman Anda, Batara Nambi Fora...”
“Oh, kau tahu tentang kakak Batara Fora?” kata Batara Giri, kedengarannya senang. “Kau telah menyelidiki semuanya, ya? Nah, kakak Batara Nambi dan aku sudah berunding dan kami setuju itu yang paling baik.”
“Tetapi itu berarti dia dan istrinya akan meninggal, kan?”
“Mereka punya cukup banyak simpanan Cairan Kehidupan untuk membereskan urusan mereka, dan kemudian ya, mereka akan mati.” Batara Giri tersenyum melihat keheranan di wajah Awan.
“Bagi orang semuda kau, pastilah kedengarannya aneh, tetapi bagi kakak Batara Nambi dan dewi Parvati, mati sebetulnya hanyalah seperti pergi tidur setelah hari yang amat sangat panjang. Lagi pula, bagi pikiran yang terorganisir dengan baik, kematian hanyalah petualangan besar berikutnya. Kau tahu, batu itu sebetulnya bukan benda yang amat luar biasa, meski bisa memberikan uang dan kehidupan sebanyak yang kauinginkan. Itu dua hal yang akan dipilih kebanyakan orang, melebihi segalanya, sulitnya, orang biasanya justru memilih hal-hal yang paling buruk untuk mereka.”
Awan terbaring diam, kehabisan kata-kata. 
“Dan lagi Awan, kau mendapatkan sesuatu yang berharga dari apa petualangan di ruangan bawah. Selain sahabat setia. Kau mendapatkan ajian yang maha dashyat luar biasa. Ajian Narantaka menjadi milikmu, mungkin dia memilihmu, karena bawa yang kau miliki terbatas tetapi praba yang kau miliki maha dashyat untuk meleburkan gunung. Gunakan baik-baik kekuatanmu. Berikan yang terbaik untuk negaramu.”
Batara Giri bersenandung kecil dan tersenyum ke arah langit-langit. Awan memperhatikan kata terakhir yang diucapkan kakek Batara Giri.
“Kakek Batara?” kata Awan. “Saya sudah berpikir... Kakek Batara, bahkan sekalipun batu itu sudah tak ada, Nag... maksud saya, Sinten Menika...”
“Panggil dia Nagasura, Awan. Selalu gunakan nama yang benar untuk apa saja. Ketakutan akan nama memperbesar ketakutan akan benda itu sendiri.”
“Baik, kakek. Bukankah Nagasura akan mencoba cara-cara lain untuk kembali? Maksud saya, dia tidak pergi untuk selamanya, kan?”
“Tidak, Awan dia belum lenyap. Dia masih ada di suatu tempat, mungkin mencari tubuh lain yang bisa ditumpangi. Karena tidak sepenuhnya hidup, dia tak bisa dibunuh.  Dia meninggalkan Somad mati begitu saja, dia tak punya belas kasihan, baik kepada pengikut maupun musuh-musuhnya.
Awan saat ini kau memang belum berhasil memenangkan pertarungan, kau cuma menunda kembalinya Nagasura pada kekuasaan.  Dalam pertarungan berikutnya, yang tampaknya akan lebih sulit dimenangkan, dibutuhkan seseorang yang telah siap. Dan jika Nagasura tertahan lagi, dan lagi, siapa tahu dia tak akan pernah kembali berkuasa.”
Awan mengangguk, tetapi segera berhenti, karena membuat kepalanya sakit. Kemudian ia berkata, “Kakek, ada beberapa hal lain yang ingin saya ketahui, jika Anda bisa memberitahu saya... hal-hal yang ingin saya ketahui kebenarannya...”
“Kebenaran,” Batara Giri menghela napas. “Kebenaran itu indah dan mengerikan, dan karenanya harus diperlakukan dengan amat hati-hati. Meskipun demikian, aku akan menjawab pertanyaanmu, kecuali ada alasan kuat untuk tidak menjawabnya. Kalau itu sampai terjadi, kumohon kau memaafkan aku. Aku tidak akan berbohong, tentu saja.”
“Kata Nagasura, dia terpaksa membunuh ibu saya karena Ibu mencoba mencegahnya membunuh saya. Tetapi kenapa dia ingin membunuh saya?”
Batara Giri menghela napas dalam-dalam.
“Sayang sekali, hal pertama yang kautanyakan, tak bisa kujawab. Tidak hari ini. Tidak sekarang. Kau akan tahu, suatu hari nanti... singkirkan dari pikiranmu untuk sementara, Awan.
Kalau kau sudah lebih besar... aku tahu kau tidak senang mendengarnya... kalau kau sudah siap, kau akan tahu.”
Dan Awan tahu tak ada gunanya membantah.
“Tetapi kenapa Somad tidak bisa menyentuh saya?”
“Ibumu meninggal karena berusaha menyelamatkanmu. Kalau ada satu hal yang tak bisa dimengerti Nagasura, itu adalah cinta. Dia tidak menyadari bahwa cinta sekuat cinta ibumu kepadamu, meninggalkan bekas. Bukan seperti bekas luka, bukan tanda yang kelihatan... dicintai begitu dalam, meskipun orang yang mencintai kita sudah tiada, akan memberi kita perlindungan untuk selamanya.  Perlindungan itu ada di kulitmu. Somad, yang penuh kebencian, keserakahan, ambisi, dan membagi jiwanya dengan Nagasura, tidak bisa menyentuhmu karena alasan ini.  Sungguh suatu penderitaan menyenruh orang yang dilindungi oleh sesuatu yang sangat baik.”
Kini Batara Giri menjadi sangat tertarik pada seekor burung yang hinggap di ambang jendela. Ini memberi Awan kesempatan untuk mengeringkan matanya dengan seprai. Ketika sudah bisa bicara lagi, Awan berkata, “Dan Jubah Gaib, tahukah Anda siapa yang mengirimnya kepada saya?”
“Ah, ayahmu menitipkannya kepadaku dan kupikir kau akan menyukainya.” Mata Batara Giri bersinar-sinar. “Sangat berguna... ayahmu terutama menggunakannya untuk menyelinap ke dapur untuk mencuri makanan waktu dia di sini dulu.”
“Dan ada satu hal lagi...”
“Katakan.”
“Somad berkata, Saka...”
“Batara Saka, Awan.”
“Ya, dia, Somad bilang Batara Saka membenci saya karena dia membenci ayah saya. Betulkah itu?”
“Yah, mereka memang saling benci. Tidak berbeda dengan kau sendiri dan Bronto. Lalu ayahmu melakukan sesuatu yang tak bisa dimaafkan Saka.”
“Apa?”
“Ayahmu menyelamatkan hidupnya.”
“Apa?”
“Ya...,” kata Batara Giri melamun. “Aneh, kan, cara kerja pikiran orang? Batara Saka tidak tahan berutang budi pada ayahmu... aku yakin dia berusaha keras melindungimu sebagai balas budi pada ayahmu. Dengan begitu, skor mereka jadi seri. Lalu dia bisa kembali membenci almarhum ayahmu dengan tenang.”
Awan berusaha memahami, tetapi kepalanya jadi berdenyut-denyut, maka ia berhenti.
“Dan, Aki Batara, ada satu hal lagi...”
“Apa itu?”
“Bagaimana saya mendapatkan batu itu dari dalam cermin?”
“Ah, aku senang kau menanyakannya. Itu salah satu ide brilianku, dan antara kita berdua saja, ide itu hebat sekali. Aku membuatnya sedemikian sehingga hanya orang yang ingin menemukan batu itu, menemukan tetapi tidak menggunakannya, yang bisa mendapatkannya. Bukan mereka yang ingin melihat diri mereka memiliki emas atau minum Cairan Kehidupan. Otakku kadang-kadang mengejutkan diriku sendiri... Nah, sudah cukup pertanyaan-pertanyaanmu.
“Kek satu pertanyaan lagi, bagaimana energi praba dapat mengalir dalam diriku, sehingga diriku mempunyai hantaman yang luar biasa?”
Aku tadi sudah bilang bahwa kau mendapatkan energy praba dari batu Naran, mungkin karena kau terpilih, melihat keberanian dan kegigihan energi praba batu Naran memilihmu, dan kau akan memperkuat ajian Ismu gunting dengan ajian Narantaka.
“Narantaka!” Awan mengulang.
“Kau sudah tahu kedashyatan ajian itu, pernah kau tunjamkan ke tubuh detya hingga lenyap seketika dan tak hidup kembali. Itu merupakan ajian langka. Bahkan para Ksatria pun tak mungkin memilikinya. Mungkin karena itu dia memilihmu bawamu lemah tetapi prabamu luar biasa kuat.”
“Kakek benar!” guman Awan.
“Cukup sudah pertanyaan-pertanyaaamu. Kusarankan kau mulai makan permenmu. Ah! Kacang Segala Rasa Sima!  Aku cukup beruntung waktu masih muda dapat yang rasa muntah, dan sejak saat itu aku jadi kehilangan selera, tapi kurasa aman kalau aku ambil rasa karamel, ya?”
Batara Giri tersenyum dan memasukkan Kacang berwarna cokelat keemasan itu ke mulutnya. Kemudian dia tersedak dan berkata, “Ya ampun! Rasa kotoran telinga!”
Dewi Pertiwi suster rumah sakit, wanita yang menyenangkan, tetapi sangat keras.
“Lima menit saja,” Awan memohon.
“Jelas tidak boleh.”
“Anda mengizinkan kakek Batara Giri masuk...”
“Ya, tentu saja, dia kan kepala sekolah, lain dong. Kau butuh istirahat.”
“Saya istirahat, lihat, saya berbaring terus. Oh, ayolah, Dewi Pertiwi...”
“Oh, baiklah,” katanya. “Tapi hanya lima menit.”
Dan Dewi Pertiwi mengizinkan Man dan Kirana masuk.
“Awan!”
Kirana tampaknya siap memeluknya lagi, tetapi Awan senang Kirana menahan diri, karena kepalanya masih sakit sekali.  “Oh, Awan, kami sudah yakin kau akan...  Batara Giri sangat cemas...”
“Seluruh sekolah membicarakannya,” kata Man.  “Apa sebetulnya yang terjadi?”
Sungguh salah satu kejadian langka ketika kenyataan yang sebenarnya justru lebih aneh dan mencekam dibandingkan desas-desus liar. Awan menceritakan semuanya kepada mereka: tentang Somad, Cermin Paesan, Batu Naran, Ajian Ismu gunting, Narantaka dan Nagasura.
Man dan Kirana pendengar yang sangat baik; mereka kaget pada saat-saat yang tepat dan ketika Awan memberitahu mereka apa yang ada di balik turban Somad, Kirana menjerit keras.
“Jadi batu itu sudah tak ada?” kata Man akhirnya. “Fora akan mati?”
“Itulah yang kukatakan, tetapi menurut Batara Giri, apa, ya? bagi pikiran yang terorganisir dengan baik,  kematian hanyalah petualangan besar berikutnya.”
“Dari dulu kubilang Batara Giri itu sinting,” kata Man, kelihatannya terkesan sekali pada betapa gilanya orang yang dikaguminya itu.
“Jadi, apa yang terjadi pada kalian berdua?” tanya Awan.
“Yah, aku kembali dengan selamat,” kata Kirana.
“Kusadarkan Man, perlu sedikit waktu, dan kami sedang berlari ke kandang burung hantu untuk mengontak Batara Giri, ketika kami bertemu dengannya di Aula Depan. Dia sudah tahu, dia cuma berkata, 'Awan mengejarnya, kan?'  lalu bergegas ke lantai tiga.”
“Apakah menurutmu Batara Giri sengaja mengaturnya agar kau bertindak begitu?” kata Man. “Mengirim jubah ayahmu dan yang lainnya itu?”
“Wah,” Kirana meledak, “kalau memang begitu, maksudku, sungguh mengerikan, kau bisa saja terbunuh.”
“Tidak, tidak,” kata Awan berpikir-pikir. “Batara Giri orangnya lucu. Menurutku, dia tampaknya ingin memberiku kesempatan. Kurasa dia tahu sedikit-banyak tentang segala sesuatu yang terjadi di sini.  Rupanya dia sudah menduga kita akan mencoba, dan alih-alih mencegah, dia mengajari kita secukupnya untuk membantu. Kurasa bukan kebetulan dia membiarkan aku mengetahui cara kerja Cermin Paesan. Seakan menurutnya aku punya hak untuk menghadapi Nagasura, kalau aku bisa...”
“Yeah, Batara Giri memang menyebarluaskan hal itu,” kata Man bangga. “Dengar, kau sudah harus sembuh untuk ikut pesta akhir tahun ajaran besok. Jumlah semua angka sudah masuk dan Madukara menang, tentu saja. Kau tak bisa ikut pertandingan Braja terakhir dan tanpa dirimu, kita digilas habis oleh Plangkawati. Tapi makanannya besok enak-enak.”
Saat itu Dewi Pertiwi masuk. “Kalian sudah ngobrol hampir lima belas menit, sekarang KELUAR,” katanya tegas.
Setelah tidur nyenyak semalaman, Awan merasa sudah hampir sehat kembali.
“Saya ingin ikut pesta,” dia memberitahu Dewi Pertiwi ketika suster itu merapikan kotak-kotak permennya yang banyak itu. “Boleh, kan?”
“Batara Giri bilang supaya kau diizinkan pergi,” katanya tak senang, seakan menurut pendapatnya   Batara Giri tidak menyadari berapa berbahayanya pesta. “Dan kau punya tamu lagi.”
“Oh, bagus,” kata Awan. “Siapa?”
Permadi menyelinap masuk ketika Awan bertanya. Seperti biasa, kalau dia berada dalam rumah, Permadi tampak terlalu besar. Dia duduk di sebelah Awan memandangnya, lalu langsung menangis.
“Ini, semua, salahku!” isaknya, dengan wajah tertelungkup di tangannya. “Aku beritahu orang jahat itu “bagaimana cara lewati Jaladara! Aku yang beritahu dia! Padahal itu satu-satunya yang tak dia ketahui, tapi aku memberitahunya! Kau bisa mati!
Hanya karena sebutir telur naga! Aku takkan minum lagi! Aku seharusnya dibuang dan disuruh hidup sebagai Wusana!”
“Permadi!” kata Awan, kaget melihat Permadi gemetar karena begitu sedih dan menyesal, air mata besarbesar bergulir sampai ke jenggotnya. “Permadi, dia toh pasti akan tahu juga. Yang kita bicarakan adalah Nagasura, dia akan tahu meskipun kau tidak memberitahunya.”
“Kau bisa mati!” isak Permadi. “Dan jangan sebut nama itu!”
“Nagasura!” Awan berteriak, dan Permadi begitu kagetnya sampai berhenti menangis.
“Aku sudah bertemu dengannya dan aku akan menyebut namanya. Bergembiralah, Permadi, kita telah menyelamatkan batunya. Batu itu sudah tak ada, dia tak bisa menggunakannya.
Ayo, makan Cokelat Kodok. Aku punya banyak....”
Permadi mengusap hidung dengan punggung tangannya dan berkata, “Aku jadi ingat. Aku bawa hadiah buatmu.”
“Bukan sandwich kancil, kan?” kata Awan cemas, dan akhirnya Permadi tersenyum lemah.
Sehabis sholat isya, Awan berangkat kepesta akhir tahun ajaran sendirian malam itu. Ia agak terlambat karena Dewi Pertiwi sibuk mengkhawatirkannya, berkeras untuk memeriksanya terakhir kali, sehingga ketika ia tiba, Aula Besar sudah penuh. Aula didekorasi dengan warna Madukara, biru dan perak, untuk merayakan keberhasilan Madukara memenangkan Piala Ksatrian untuk ketujuh kalinya selama tujuh tahun berturut-turut. Spanduk raksasa bergambar Ular, lambang Madukara, membentang menutupi dinding di belakang Meja Tinggi.
Ketika Awan melangkah masuk, mendadak ruangan menjadi sunyi dan kemudian semua anak mulai bicara berbarengan.  Awan duduk di kursi, di antara Man dan Kirana di meja Jodhipati, dan berusaha tidak mengacuhkan kenyataan bahwa anak-anak berdiri untuk melihatnya.
Untunglah Batara Giri tiba tak lama kemudian. Celoteh anak-anak langsung reda.
“Satu tahun lagi telah berlalu!” kata Batara Giri riang. “Dan aku harus menggerecoki kalian dengan ocehan orang tua sebelum kita mulai menyerbu makanan enak-enak ini. Tahun ini sungguh luar biasa! Mudah-mudahan kepala kalian sedikit lebih penuh daripada setahun yang lalu... kalian masih punya sepanjang musim panas untuk mengosongkan kepala sebelum tahun ajaran baru mulai....
“Nah, seperti yang kupahami, Piala Ksatrian perlu dianugerahkan dan skornya sebagai berikut: di tempat keempat Jodhipati, dengan empat ratus dua belas angka; tempat ketiga Pringgodani, dengan empat ratus lima puluh dua; Plangkawati mengumpulkan lima ratus dua puluh enam, dan Madukara lima ratus sembilan puluh dua.”
Gemuruh sorak dan hentakan kaki terdengar dari meja Madukara. Awan bisa melihat Alas Bronto mengetuk-ngetukkan piala minumnya di atas meja. Pemandangan yang memuakkan.
“Ya, ya, bagus sekali, Madukara,” puji Batara Giri.
“Meskipun demikian, kejadian belakangan ini harus ikut diperhitungkan.”
Ruangan langsung sunyi senyap. Senyum anak-anak Madukara sedikit memudar.
“Ehem,” kata Batara Giri.  “Ada angka-angka terakhir yang harus kubagikan. Coba kulihat. Ya... “Yang pertama, kepada Manyu Yuda...” Wajah Man menjadi keunguan; dia tampak seperti lobak yang terbakar sinar matahari.  “... untuk permainan catur paling indah yang pernah dilihat Saloka selama bertahun-tahun ini. Kuhadiahkan kepada Jodhipati lima puluh angka.”
Sorak Jodhipati nyaris mengangkat atap ajian Aula; bintang-bintang di atas sampai bergetar. Sakri terdengar memberitahu Pramugari-Pramugari lainnya, “Kalian tahu, dia adikku! Adik laki-lakiku yang paling kecil! Berhasil memecahkan set catur raksasa Dewi Fatimah.”
Akhirnya sunyi lagi. “Kedua, kepada Kirana Bara... untuk penggunaan logika dingin dalam menghadapi api. Kuhadiahkan kepada Jodhipati lima puluh angka.”
Kirana membenamkan wajah ke lengannya. Awan sangat curiga dia menangis. Anak-anak Jodhipati di sekeliling meja bukan main senangnya. Angka mereka naik seratus poin.
“Ketiga, kepada Awan Negara...,” kata Batara Giri.
Ruangan betul-betul sunyi senyap.  “... untuk ketabahan dan keberanian yang luar biasa. Kuhadiahkan kepada Jodhipati delapan puluh angka.”
Teriakan dan hiruk-pikuk yang terdengar sungguh memekakkan telinga. Mereka yang bisa menghitung, sambil berteriak-teriak sampai serak, tahu bahwa angka Jodhipati sekarang menjadi lima ratus sembilan puluh dua, persis sama dengan Madukara. Skor mereka seri untuk Piala Ksatrian... seandainya saja Batara Giri memberi Awan satu angka lebih banyak.
Batara Giri mengangkat tangannya.
Ruangan berangsur-angsur kembali sunyi.
“Ada berrnacam-macam keberanian,” kata Batara Giri tersenyum. “Perlu banyak keberanian untuk menghadapi lawan, tetapi diperlukan keberanian yang sama banyaknya untuk menghadapi kawan-kawan kita. Karena itu aku menghadiahkan sepuluh angka kepada Norman Layana.”
Orang yang berdiri di luar Aula Besar mungkin akan mengira terjadi semacam ledakan di dalam, karena begitu kerasnya bunyi yang meledak di meja Jodhipati. Awan, Man, dan Kirana berdiri untuk berteriak sementara Norman, pucat saking terguncangnya, menghilang di bawah tumpukan anak-anak yang rnemeluknya. Dia tak pernah memenangkan bahkan satu angka pun untuk Jodhipati sebelum ini. Awan, masih bersorak-sorak, menyodok rusuk Man dan menunjuk ke arah Bronto, yang seandainya mendapat Kutukan Ikat Slira Sempurna pun tak mungkin kelihatan lebih kaget dan ngeri daripada sekarang.
“Itu berarti,” seru Batara Giri mengatasi gemuruh sorakan, karena baik Plangkawati maupun Pringgodani ikut merayakan kejatuhan Madukara, “kita perlu sedikit perubahan dekorasi.”
Batara Giri menepukkan tangannya. Dalam sekejap hiasan-hiasan gantung biru berubah menjadi merah dan peraknya menjadi emas. Monyet Madukara lenyap, digantikan gajah Jodhipati yang gagah. Batara Saka menjabat tangan Dewi Fatimah dengan senyum pahit yang dipaksakan. Matanya bertatapan dengan mata Awan, dan Awan langsung tahu bahwa perasaan Saka kepadanya tidak berubah sedikit pun. Ini tidak membuat Awan cemas. Tampaknya, hidup baginya akan kembali normal di tahun ajaran mendatang, atau senormal yang mungkin terjadi di Saloka.
Malam itu malam paling indah dalam hidup Awan, lebih menyenangkan daripada memenangkan Braja atau merayakan Tahun Baru atau memukul pingsan detya gunung... ia tak akan pernah melupakan malam ini.
Awan nyaris lupa bahwa hasil ujian belum diumumkan, tetapi akhirnya hasil itu keluar juga. Betapa herannya ia dan Man, karena mereka berdua lulus dengan nilai-nilai lumayan bagus.
Kirana, tentu saja, menjadi juara sekolah untuk kelas satu. Bahkan Norman lulus juga, nilai Herbologi-nya yang tinggi mengimbangi nilai Ramuan-nya yang jeblok. Mereka berharap bahwa Yama, yang kebodohannya nyaris sama besar dengan kekejamannya, akan dikeluarkan, tetapi Yama lulus juga.
Sayang, tetapi seperti kata Man, dalam hidup ini kita tidak bisa mendapatkan segalanya.
Dan mendadak saja lemari pakaian mereka kosong, koper-koper mereka sudah dikemas, katak Norman ditemukan bersembunyi di sudut toilet. Pesan dibagikan kepada semua murid, memperingatkan mereka agar tidak menggunakan ajian selama liburan (“Aku selalu berharap mereka lupa memberikan peringatan ini kepada kita,” kata Sekutrem Yuda sedih.). Permadi siap membawa mereka turun ke armada perahu yang akan berlayar menyeberangi danau. Mereka naik ke Saloka Express, mengobrol dan tertawa-tawa sementara daerah pedesaan yang mereka lalui menjadi kian hijau dan rapi; makan Kacang Segala Rasa Sima selagi kereta meluncur melewati kota-kota Wusana; melepas jubah Ksatrian mereka dan ganti memakai jaket biasa; sampai akhirnya kereta berhenti di Balapan sembilan tiga perempat di Stasiun Balapan Solo.
Perlu beberapa waktu bagi mereka semua untuk turun di balapan. Seorang penjaga tua yang sudah keriput, berjaga di palang rintangan boks penjualan tiket, mengatur mereka keluar berdua dan bertiga, agar tidak menarik perhatian. Sebab kalau mereka semua serentak bermunculan dari tembok kokoh, tentu para Wusana akan kaget dan ketakutan.
“Kalian harus datang menginap musim panas ini,” kata Ron,
“Kalian berdua, akan kukirim burung hantu.”
“Terima kasih,” kata Awan. “Aku perlu sesuatu yang menyenangkan untuk kunanti-nantikan kedatangannya.”
Orang-orang menyenggol mereka ketika mereka bergerak maju, menuju gerbang yang membawa mereka kembali ke dunia Wusana. Beberapa di antaranya berseru,
“Dah, Awan!”
“Sampai ketemu, Negara!”
“Tetap populer, ya,” kata Man tersenyum.
“Tidak kalau di tempat yang kutuju. Percaya deh,” kata Awan. Awan, Man, dan Kirana melewati gerbang bersama-sama.
“Itu dia, Mak, itu dia, lihat!”
Yang berteriak Ratih Yuda, adik perempuan Man, tetapi dia tidak menunjuk Man.  “Awan Negara!” lengkingnya.  “Lihat, Mak, aku bisa melihat...”
“Diamlah, Ratih, dan tidak sopan menunjuk-nunjuk.”
Pak Yuda tersenyum kepada mereka.
“Tahun yang sibuk?” sapanya.
“Sangat,” kata Awan.  “Terima kasih untuk bonbon dan rompinya, Bu Yuda.”
“Oh, sama-sama, Nak.”
“Sudah siap?”
Itu Paman Raketi, wajahnya masih ungu, masih berkumis, masih kelihatan marah pada Awan yang nekat menenteng burung garuda dalam sangkar di stasiun yang penuh orang biasa. Di belakangnya berdiri Bibi Suketi dan Sakuni yang kelihatan ngeri melihat Awan.
“Kalian pastilah keluarga Awan!” sapa Bu Yuda.
“Boleh dikatakan begitu,” kata Paman Raketi “Ayo cepat, kita tak bisa seharian di sini.” Paman Raketi langsung ngeloyor pergi.  Awan masih tinggal untuk mengucapkan salam perpisahan pada Man dan Kirana.
“Sampai ketemu setelah musim panas, ya.”
“Mudah-mudahan liburanmu, er, menyenangkan,” kata Kirana, menoleh, memandang Paman Raketi dengan bimbang. Dia heran sekali ada orang yang begitu tidak menyenangkan.
“Oh, pasti menyenangkan,” kata Awan, dan mereka heran melihat senyum yang merekah lebar di wajahnya. “Mereka tak tahu kita dilarang menggunakan bawa dan praba di rumah. Aku akan banyak bersenang-senang dengan Sakuni musim panas ini....”
END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar