Sesuatu yang keemasan
berkilau di atasnya. Bulmas! Awan berusaha menangkapnya, tetapi lengannya
terlalu berat. Ia mengejap. Bukan Bulmas. Ternyata Awanmata. Aneh sekali. Ia
mengejap lagi. Wajah kakek Batara Giri Maulana yang tersenyum melayang masuk ke
dalam pandangannya.
“Selamat sore, Awan,”
kata Batara Giri.
Awan bingung
menatapnya. Kemudian ia ingat. “kek! Batunya! Somad! Dia mengambil batunya!
kek, cepat...”
“Tenangkan dirimu, Nak,
kau sedikit ketinggalan,” kata Batara Giri. “Somad tidak memiliki batu itu.”
“Kalau begitu, siapa?
kek, saya...”
“Awan, rileks. Kalau
tidak, Dewi Pertiwi akan mengusirku keluar.”
Awan menelan ludah dan
memandang berkeliling. Ia sadar dirinya berada di rumah sakit. Ia berbaring di
tempat tidur berseprai linen putih, di meja sebelahnya terdapat tumpukan tinggi
yang tampaknya seperti setengah isi toko permen.
“Kiriman teman-teman
dan pengagummu,” kata Batara Giri berseri-seri. “Apa yang terjadi di ruang
bawah tanah, antara dirimu dengan Somad adalah rahasia besar, maka tentu saja
seluruh sekolah tahu. Kurasa temanmu, Sekutrem dan Palasara Yuda bertanggung
jawab atas usaha mengirimimu tutup kloset. Pasti mereka mengira kau akan geli
dan senang menerimanya. Tetapi Dewi Pertiwi merasa hadiah itu tidak begitu
higienis, dan menyitanya.”
“Sudah berapa lama saya
di sini?”
“Tiga hari. Manyu Yuda
dan Kirana Bara akan lega sekali mengetahui kau sudah sadar, mereka sangat
cemas.”
“Tetapi, kakek Batara,
batunya...”
“Rupanya kau tak bisa
dialihkan. Baiklah, kalau begitu. Somad tidak berhasil mengambil batu itu
darimu. Aku tiba tepat pada waktunya untuk mencegahnya walaupun, harus kuakui,
kau sendiri telah bertahan dengan sangat baik.”
“Anda datang? Anda
menerima burung hantu Kirana?”
“Pastilah kami
berpapasan di udara. Begitu tiba di Jakarta, jelas bagiku bahwa aku harus
berada di tempat yang baru saja kutinggalkan. Aku tiba tepat pada waktunya
untuk menarik Somad darimu...”
“Jadi itu... Anda.”
“Aku sudah takut aku
terlambat.”
“Hampir, saya nyaris
tak bisa mempertahankan batu itu lebih lama lagi...”
“Bukan batunya, tetapi
kau, Nak, usaha untuk mempertahankan Batu Naran itu nyaris membunuhmu. Sesaat
aku ngeri sekali, mengira kau sudah tiada. Sedangkan batunya, sudah
dimusnahkan.”
“Dimusnahkan?” tanya Awan
tak mengerti. “Tetapi teman Anda, Batara Nambi Fora...”
“Oh, kau tahu tentang
kakak Batara Fora?” kata Batara Giri, kedengarannya senang. “Kau telah
menyelidiki semuanya, ya? Nah, kakak Batara Nambi dan aku sudah berunding dan
kami setuju itu yang paling baik.”
“Tetapi itu berarti dia
dan istrinya akan meninggal, kan?”
“Mereka punya cukup
banyak simpanan Cairan Kehidupan untuk membereskan urusan mereka, dan kemudian
ya, mereka akan mati.” Batara Giri tersenyum melihat keheranan di wajah Awan.
“Bagi orang semuda kau,
pastilah kedengarannya aneh, tetapi bagi kakak Batara Nambi dan dewi Parvati,
mati sebetulnya hanyalah seperti pergi tidur setelah hari yang amat sangat
panjang. Lagi pula, bagi pikiran yang terorganisir dengan baik, kematian
hanyalah petualangan besar berikutnya. Kau tahu, batu itu sebetulnya bukan
benda yang amat luar biasa, meski bisa memberikan uang dan kehidupan sebanyak
yang kauinginkan. Itu dua hal yang akan dipilih kebanyakan orang, melebihi
segalanya, sulitnya, orang biasanya justru memilih hal-hal yang paling buruk untuk
mereka.”
Awan terbaring diam,
kehabisan kata-kata.
“Dan lagi Awan, kau
mendapatkan sesuatu yang berharga dari apa petualangan di ruangan bawah. Selain
sahabat setia. Kau mendapatkan ajian yang maha dashyat luar biasa. Ajian
Narantaka menjadi milikmu, mungkin dia memilihmu, karena bawa yang kau miliki
terbatas tetapi praba yang kau miliki maha dashyat untuk meleburkan gunung.
Gunakan baik-baik kekuatanmu. Berikan yang terbaik untuk negaramu.”
Batara Giri
bersenandung kecil dan tersenyum ke arah langit-langit. Awan memperhatikan kata
terakhir yang diucapkan kakek Batara Giri.
“Kakek Batara?” kata Awan.
“Saya sudah berpikir... Kakek Batara, bahkan sekalipun batu itu sudah tak ada,
Nag... maksud saya, Sinten Menika...”
“Panggil dia Nagasura, Awan.
Selalu gunakan nama yang benar untuk apa saja. Ketakutan akan nama memperbesar
ketakutan akan benda itu sendiri.”
“Baik, kakek. Bukankah
Nagasura akan mencoba cara-cara lain untuk kembali? Maksud saya, dia tidak
pergi untuk selamanya, kan?”
“Tidak, Awan dia belum
lenyap. Dia masih ada di suatu tempat, mungkin mencari tubuh lain yang bisa
ditumpangi. Karena tidak sepenuhnya hidup, dia tak bisa dibunuh. Dia meninggalkan Somad mati begitu saja, dia
tak punya belas kasihan, baik kepada pengikut maupun musuh-musuhnya.
Awan saat ini kau
memang belum berhasil memenangkan pertarungan, kau cuma menunda kembalinya
Nagasura pada kekuasaan. Dalam
pertarungan berikutnya, yang tampaknya akan lebih sulit dimenangkan, dibutuhkan
seseorang yang telah siap. Dan jika Nagasura tertahan lagi, dan lagi, siapa
tahu dia tak akan pernah kembali berkuasa.”
Awan mengangguk, tetapi
segera berhenti, karena membuat kepalanya sakit. Kemudian ia berkata, “Kakek,
ada beberapa hal lain yang ingin saya ketahui, jika Anda bisa memberitahu saya...
hal-hal yang ingin saya ketahui kebenarannya...”
“Kebenaran,” Batara
Giri menghela napas. “Kebenaran itu indah dan mengerikan, dan karenanya harus
diperlakukan dengan amat hati-hati. Meskipun demikian, aku akan menjawab
pertanyaanmu, kecuali ada alasan kuat untuk tidak menjawabnya. Kalau itu sampai
terjadi, kumohon kau memaafkan aku. Aku tidak akan berbohong, tentu saja.”
“Kata Nagasura, dia
terpaksa membunuh ibu saya karena Ibu mencoba mencegahnya membunuh saya. Tetapi
kenapa dia ingin membunuh saya?”
Batara Giri menghela
napas dalam-dalam.
“Sayang sekali, hal
pertama yang kautanyakan, tak bisa kujawab. Tidak hari ini. Tidak sekarang. Kau
akan tahu, suatu hari nanti... singkirkan dari pikiranmu untuk sementara, Awan.
Kalau kau sudah lebih
besar... aku tahu kau tidak senang mendengarnya... kalau kau sudah siap, kau
akan tahu.”
Dan Awan tahu tak ada
gunanya membantah.
“Tetapi kenapa Somad
tidak bisa menyentuh saya?”
“Ibumu meninggal karena
berusaha menyelamatkanmu. Kalau ada satu hal yang tak bisa dimengerti Nagasura,
itu adalah cinta. Dia tidak menyadari bahwa cinta sekuat cinta ibumu kepadamu,
meninggalkan bekas. Bukan seperti bekas luka, bukan tanda yang kelihatan...
dicintai begitu dalam, meskipun orang yang mencintai kita sudah tiada, akan
memberi kita perlindungan untuk selamanya.
Perlindungan itu ada di kulitmu. Somad, yang penuh kebencian,
keserakahan, ambisi, dan membagi jiwanya dengan Nagasura, tidak bisa
menyentuhmu karena alasan ini. Sungguh
suatu penderitaan menyenruh orang yang dilindungi oleh sesuatu yang sangat
baik.”
Kini Batara Giri
menjadi sangat tertarik pada seekor burung yang hinggap di ambang jendela. Ini
memberi Awan kesempatan untuk mengeringkan matanya dengan seprai. Ketika sudah
bisa bicara lagi, Awan berkata, “Dan Jubah Gaib, tahukah Anda siapa yang
mengirimnya kepada saya?”
“Ah, ayahmu
menitipkannya kepadaku dan kupikir kau akan menyukainya.” Mata Batara Giri
bersinar-sinar. “Sangat berguna... ayahmu terutama menggunakannya untuk
menyelinap ke dapur untuk mencuri makanan waktu dia di sini dulu.”
“Dan ada satu hal
lagi...”
“Katakan.”
“Somad berkata, Saka...”
“Batara Saka, Awan.”
“Ya, dia, Somad bilang Batara
Saka membenci saya karena dia membenci ayah saya. Betulkah itu?”
“Yah, mereka memang
saling benci. Tidak berbeda dengan kau sendiri dan Bronto. Lalu ayahmu
melakukan sesuatu yang tak bisa dimaafkan Saka.”
“Apa?”
“Ayahmu menyelamatkan
hidupnya.”
“Apa?”
“Ya...,” kata Batara
Giri melamun. “Aneh, kan, cara kerja pikiran orang? Batara Saka tidak tahan berutang
budi pada ayahmu... aku yakin dia berusaha keras melindungimu sebagai balas
budi pada ayahmu. Dengan begitu, skor mereka jadi seri. Lalu dia bisa kembali
membenci almarhum ayahmu dengan tenang.”
Awan berusaha memahami,
tetapi kepalanya jadi berdenyut-denyut, maka ia berhenti.
“Dan, Aki Batara, ada
satu hal lagi...”
“Apa itu?”
“Bagaimana saya
mendapatkan batu itu dari dalam cermin?”
“Ah, aku senang kau
menanyakannya. Itu salah satu ide brilianku, dan antara kita berdua saja, ide
itu hebat sekali. Aku membuatnya sedemikian sehingga hanya orang yang ingin
menemukan batu itu, menemukan tetapi tidak menggunakannya, yang bisa
mendapatkannya. Bukan mereka yang ingin melihat diri mereka memiliki emas atau
minum Cairan Kehidupan. Otakku kadang-kadang mengejutkan diriku sendiri... Nah,
sudah cukup pertanyaan-pertanyaanmu.
“Kek satu pertanyaan
lagi, bagaimana energi praba dapat mengalir dalam diriku, sehingga diriku
mempunyai hantaman yang luar biasa?”
Aku tadi sudah bilang
bahwa kau mendapatkan energy praba dari batu Naran, mungkin karena kau
terpilih, melihat keberanian dan kegigihan energi praba batu Naran memilihmu,
dan kau akan memperkuat ajian Ismu gunting dengan ajian Narantaka.
“Narantaka!” Awan
mengulang.
“Kau sudah tahu
kedashyatan ajian itu, pernah kau tunjamkan ke tubuh detya hingga lenyap
seketika dan tak hidup kembali. Itu merupakan ajian langka. Bahkan para Ksatria
pun tak mungkin memilikinya. Mungkin karena itu dia memilihmu bawamu lemah
tetapi prabamu luar biasa kuat.”
“Kakek benar!” guman Awan.
“Cukup sudah
pertanyaan-pertanyaaamu. Kusarankan kau mulai makan permenmu. Ah! Kacang Segala
Rasa Sima! Aku cukup beruntung waktu
masih muda dapat yang rasa muntah, dan sejak saat itu aku jadi kehilangan
selera, tapi kurasa aman kalau aku ambil rasa karamel, ya?”
Batara Giri tersenyum
dan memasukkan Kacang berwarna cokelat keemasan itu ke mulutnya. Kemudian dia
tersedak dan berkata, “Ya ampun! Rasa kotoran telinga!”
Dewi Pertiwi suster
rumah sakit, wanita yang menyenangkan, tetapi sangat keras.
“Lima menit saja,” Awan
memohon.
“Jelas tidak boleh.”
“Anda mengizinkan kakek
Batara Giri masuk...”
“Ya, tentu saja, dia
kan kepala sekolah, lain dong. Kau butuh istirahat.”
“Saya istirahat, lihat,
saya berbaring terus. Oh, ayolah, Dewi Pertiwi...”
“Oh, baiklah,” katanya.
“Tapi hanya lima menit.”
Dan Dewi Pertiwi
mengizinkan Man dan Kirana masuk.
“Awan!”
Kirana tampaknya siap
memeluknya lagi, tetapi Awan senang Kirana menahan diri, karena kepalanya masih
sakit sekali. “Oh, Awan, kami sudah
yakin kau akan... Batara Giri sangat
cemas...”
“Seluruh sekolah
membicarakannya,” kata Man. “Apa
sebetulnya yang terjadi?”
Sungguh salah satu
kejadian langka ketika kenyataan yang sebenarnya justru lebih aneh dan mencekam
dibandingkan desas-desus liar. Awan menceritakan semuanya kepada mereka:
tentang Somad, Cermin Paesan, Batu Naran, Ajian Ismu gunting, Narantaka dan
Nagasura.
Man dan Kirana
pendengar yang sangat baik; mereka kaget pada saat-saat yang tepat dan ketika Awan
memberitahu mereka apa yang ada di balik turban Somad, Kirana menjerit keras.
“Jadi batu itu sudah
tak ada?” kata Man akhirnya. “Fora akan mati?”
“Itulah yang kukatakan,
tetapi menurut Batara Giri, apa, ya? bagi pikiran yang terorganisir dengan
baik, kematian hanyalah petualangan
besar berikutnya.”
“Dari dulu kubilang
Batara Giri itu sinting,” kata Man, kelihatannya terkesan sekali pada betapa
gilanya orang yang dikaguminya itu.
“Jadi, apa yang terjadi
pada kalian berdua?” tanya Awan.
“Yah, aku kembali
dengan selamat,” kata Kirana.
“Kusadarkan Man, perlu
sedikit waktu, dan kami sedang berlari ke kandang burung hantu untuk mengontak
Batara Giri, ketika kami bertemu dengannya di Aula Depan. Dia sudah tahu, dia
cuma berkata, 'Awan mengejarnya, kan?'
lalu bergegas ke lantai tiga.”
“Apakah menurutmu
Batara Giri sengaja mengaturnya agar kau bertindak begitu?” kata Man. “Mengirim
jubah ayahmu dan yang lainnya itu?”
“Wah,” Kirana meledak, “kalau
memang begitu, maksudku, sungguh mengerikan, kau bisa saja terbunuh.”
“Tidak, tidak,” kata Awan
berpikir-pikir. “Batara Giri orangnya lucu. Menurutku, dia tampaknya ingin
memberiku kesempatan. Kurasa dia tahu sedikit-banyak tentang segala sesuatu
yang terjadi di sini. Rupanya dia sudah
menduga kita akan mencoba, dan alih-alih mencegah, dia mengajari kita
secukupnya untuk membantu. Kurasa bukan kebetulan dia membiarkan aku mengetahui
cara kerja Cermin Paesan. Seakan menurutnya aku punya hak untuk menghadapi
Nagasura, kalau aku bisa...”
“Yeah, Batara Giri
memang menyebarluaskan hal itu,” kata Man bangga. “Dengar, kau sudah harus
sembuh untuk ikut pesta akhir tahun ajaran besok. Jumlah semua angka sudah
masuk dan Madukara menang, tentu saja. Kau tak bisa ikut pertandingan Braja
terakhir dan tanpa dirimu, kita digilas habis oleh Plangkawati. Tapi makanannya
besok enak-enak.”
Saat itu Dewi Pertiwi
masuk. “Kalian sudah ngobrol hampir lima belas menit, sekarang KELUAR,” katanya
tegas.
Setelah tidur nyenyak
semalaman, Awan merasa sudah hampir sehat kembali.
“Saya ingin ikut pesta,”
dia memberitahu Dewi Pertiwi ketika suster itu merapikan kotak-kotak permennya
yang banyak itu. “Boleh, kan?”
“Batara Giri bilang
supaya kau diizinkan pergi,” katanya tak senang, seakan menurut
pendapatnya Batara Giri tidak menyadari
berapa berbahayanya pesta. “Dan kau punya tamu lagi.”
“Oh, bagus,” kata Awan.
“Siapa?”
Permadi menyelinap
masuk ketika Awan bertanya. Seperti biasa, kalau dia berada dalam rumah,
Permadi tampak terlalu besar. Dia duduk di sebelah Awan memandangnya, lalu
langsung menangis.
“Ini, semua, salahku!”
isaknya, dengan wajah tertelungkup di tangannya. “Aku beritahu orang jahat itu “bagaimana
cara lewati Jaladara! Aku yang beritahu dia! Padahal itu satu-satunya yang tak
dia ketahui, tapi aku memberitahunya! Kau bisa mati!
Hanya karena sebutir
telur naga! Aku takkan minum lagi! Aku seharusnya dibuang dan disuruh hidup
sebagai Wusana!”
“Permadi!” kata Awan,
kaget melihat Permadi gemetar karena begitu sedih dan menyesal, air mata
besarbesar bergulir sampai ke jenggotnya. “Permadi, dia toh pasti akan tahu juga.
Yang kita bicarakan adalah Nagasura, dia akan tahu meskipun kau tidak
memberitahunya.”
“Kau bisa mati!” isak
Permadi. “Dan jangan sebut nama itu!”
“Nagasura!” Awan
berteriak, dan Permadi begitu kagetnya sampai berhenti menangis.
“Aku sudah bertemu
dengannya dan aku akan menyebut namanya. Bergembiralah, Permadi, kita telah
menyelamatkan batunya. Batu itu sudah tak ada, dia tak bisa menggunakannya.
Ayo, makan Cokelat
Kodok. Aku punya banyak....”
Permadi mengusap hidung
dengan punggung tangannya dan berkata, “Aku jadi ingat. Aku bawa hadiah buatmu.”
“Bukan sandwich kancil,
kan?” kata Awan cemas, dan akhirnya Permadi tersenyum lemah.
Sehabis sholat isya, Awan
berangkat kepesta akhir tahun ajaran sendirian malam itu. Ia agak terlambat
karena Dewi Pertiwi sibuk mengkhawatirkannya, berkeras untuk memeriksanya
terakhir kali, sehingga ketika ia tiba, Aula Besar sudah penuh. Aula didekorasi
dengan warna Madukara, biru dan perak, untuk merayakan keberhasilan Madukara
memenangkan Piala Ksatrian untuk ketujuh kalinya selama tujuh tahun
berturut-turut. Spanduk raksasa bergambar Ular, lambang Madukara, membentang
menutupi dinding di belakang Meja Tinggi.
Ketika Awan melangkah
masuk, mendadak ruangan menjadi sunyi dan kemudian semua anak mulai bicara
berbarengan. Awan duduk di kursi, di
antara Man dan Kirana di meja Jodhipati, dan berusaha tidak mengacuhkan
kenyataan bahwa anak-anak berdiri untuk melihatnya.
Untunglah Batara Giri
tiba tak lama kemudian. Celoteh anak-anak langsung reda.
“Satu tahun lagi telah
berlalu!” kata Batara Giri riang. “Dan aku harus menggerecoki kalian dengan
ocehan orang tua sebelum kita mulai menyerbu makanan enak-enak ini. Tahun ini
sungguh luar biasa! Mudah-mudahan kepala kalian sedikit lebih penuh daripada
setahun yang lalu... kalian masih punya sepanjang musim panas untuk
mengosongkan kepala sebelum tahun ajaran baru mulai....
“Nah, seperti yang
kupahami, Piala Ksatrian perlu dianugerahkan dan skornya sebagai berikut: di
tempat keempat Jodhipati, dengan empat ratus dua belas angka; tempat ketiga
Pringgodani, dengan empat ratus lima puluh dua; Plangkawati mengumpulkan lima
ratus dua puluh enam, dan Madukara lima ratus sembilan puluh dua.”
Gemuruh sorak dan
hentakan kaki terdengar dari meja Madukara. Awan bisa melihat Alas Bronto
mengetuk-ngetukkan piala minumnya di atas meja. Pemandangan yang memuakkan.
“Ya, ya, bagus sekali,
Madukara,” puji Batara Giri.
“Meskipun demikian,
kejadian belakangan ini harus ikut diperhitungkan.”
Ruangan langsung sunyi
senyap. Senyum anak-anak Madukara sedikit memudar.
“Ehem,” kata Batara
Giri. “Ada angka-angka terakhir yang
harus kubagikan. Coba kulihat. Ya... “Yang pertama, kepada Manyu Yuda...” Wajah
Man menjadi keunguan; dia tampak seperti lobak yang terbakar sinar
matahari. “... untuk permainan catur
paling indah yang pernah dilihat Saloka selama bertahun-tahun ini. Kuhadiahkan
kepada Jodhipati lima puluh angka.”
Sorak Jodhipati nyaris
mengangkat atap ajian Aula; bintang-bintang di atas sampai bergetar. Sakri
terdengar memberitahu Pramugari-Pramugari lainnya, “Kalian tahu, dia adikku!
Adik laki-lakiku yang paling kecil! Berhasil memecahkan set catur raksasa Dewi
Fatimah.”
Akhirnya sunyi lagi. “Kedua,
kepada Kirana Bara... untuk penggunaan logika dingin dalam menghadapi api. Kuhadiahkan
kepada Jodhipati lima puluh angka.”
Kirana membenamkan
wajah ke lengannya. Awan sangat curiga dia menangis. Anak-anak Jodhipati di
sekeliling meja bukan main senangnya. Angka mereka naik seratus poin.
“Ketiga, kepada Awan
Negara...,” kata Batara Giri.
Ruangan betul-betul
sunyi senyap. “... untuk ketabahan dan
keberanian yang luar biasa. Kuhadiahkan kepada Jodhipati delapan puluh angka.”
Teriakan dan
hiruk-pikuk yang terdengar sungguh memekakkan telinga. Mereka yang bisa
menghitung, sambil berteriak-teriak sampai serak, tahu bahwa angka Jodhipati
sekarang menjadi lima ratus sembilan puluh dua, persis sama dengan Madukara.
Skor mereka seri untuk Piala Ksatrian... seandainya saja Batara Giri memberi Awan
satu angka lebih banyak.
Batara Giri mengangkat
tangannya.
Ruangan
berangsur-angsur kembali sunyi.
“Ada berrnacam-macam
keberanian,” kata Batara Giri tersenyum. “Perlu banyak keberanian untuk
menghadapi lawan, tetapi diperlukan keberanian yang sama banyaknya untuk
menghadapi kawan-kawan kita. Karena itu aku menghadiahkan sepuluh angka kepada
Norman Layana.”
Orang yang berdiri di
luar Aula Besar mungkin akan mengira terjadi semacam ledakan di dalam, karena
begitu kerasnya bunyi yang meledak di meja Jodhipati. Awan, Man, dan Kirana
berdiri untuk berteriak sementara Norman, pucat saking terguncangnya,
menghilang di bawah tumpukan anak-anak yang rnemeluknya. Dia tak pernah
memenangkan bahkan satu angka pun untuk Jodhipati sebelum ini. Awan, masih
bersorak-sorak, menyodok rusuk Man dan menunjuk ke arah Bronto, yang seandainya
mendapat Kutukan Ikat Slira Sempurna pun tak mungkin kelihatan lebih kaget dan
ngeri daripada sekarang.
“Itu berarti,” seru
Batara Giri mengatasi gemuruh sorakan, karena baik Plangkawati maupun
Pringgodani ikut merayakan kejatuhan Madukara, “kita perlu sedikit perubahan
dekorasi.”
Batara Giri menepukkan
tangannya. Dalam sekejap hiasan-hiasan gantung biru berubah menjadi merah dan
peraknya menjadi emas. Monyet Madukara lenyap, digantikan gajah Jodhipati yang
gagah. Batara Saka menjabat tangan Dewi Fatimah dengan senyum pahit yang
dipaksakan. Matanya bertatapan dengan mata Awan, dan Awan langsung tahu bahwa
perasaan Saka kepadanya tidak berubah sedikit pun. Ini tidak membuat Awan
cemas. Tampaknya, hidup baginya akan kembali normal di tahun ajaran mendatang,
atau senormal yang mungkin terjadi di Saloka.
Malam itu malam paling
indah dalam hidup Awan, lebih menyenangkan daripada memenangkan Braja atau
merayakan Tahun Baru atau memukul pingsan detya gunung... ia tak akan pernah
melupakan malam ini.
Awan nyaris lupa bahwa
hasil ujian belum diumumkan, tetapi akhirnya hasil itu keluar juga. Betapa
herannya ia dan Man, karena mereka berdua lulus dengan nilai-nilai lumayan
bagus.
Kirana, tentu saja,
menjadi juara sekolah untuk kelas satu. Bahkan Norman lulus juga, nilai
Herbologi-nya yang tinggi mengimbangi nilai Ramuan-nya yang jeblok. Mereka
berharap bahwa Yama, yang kebodohannya nyaris sama besar dengan kekejamannya,
akan dikeluarkan, tetapi Yama lulus juga.
Sayang, tetapi seperti
kata Man, dalam hidup ini kita tidak bisa mendapatkan segalanya.
Dan mendadak saja
lemari pakaian mereka kosong, koper-koper mereka sudah dikemas, katak Norman
ditemukan bersembunyi di sudut toilet. Pesan dibagikan kepada semua murid,
memperingatkan mereka agar tidak menggunakan ajian selama liburan (“Aku selalu
berharap mereka lupa memberikan peringatan ini kepada kita,” kata Sekutrem Yuda
sedih.). Permadi siap membawa mereka turun ke armada perahu yang akan berlayar
menyeberangi danau. Mereka naik ke Saloka Express, mengobrol dan tertawa-tawa
sementara daerah pedesaan yang mereka lalui menjadi kian hijau dan rapi; makan Kacang
Segala Rasa Sima selagi kereta meluncur melewati kota-kota Wusana; melepas
jubah Ksatrian mereka dan ganti memakai jaket biasa; sampai akhirnya kereta
berhenti di Balapan sembilan tiga perempat di Stasiun Balapan Solo.
Perlu beberapa waktu
bagi mereka semua untuk turun di balapan. Seorang penjaga tua yang sudah
keriput, berjaga di palang rintangan boks penjualan tiket, mengatur mereka
keluar berdua dan bertiga, agar tidak menarik perhatian. Sebab kalau mereka
semua serentak bermunculan dari tembok kokoh, tentu para Wusana akan kaget dan
ketakutan.
“Kalian harus datang
menginap musim panas ini,” kata Ron,
“Kalian berdua, akan
kukirim burung hantu.”
“Terima kasih,” kata Awan.
“Aku perlu sesuatu yang menyenangkan untuk kunanti-nantikan kedatangannya.”
Orang-orang menyenggol
mereka ketika mereka bergerak maju, menuju gerbang yang membawa mereka kembali
ke dunia Wusana. Beberapa di antaranya berseru,
“Dah, Awan!”
“Sampai ketemu, Negara!”
“Tetap populer, ya,”
kata Man tersenyum.
“Tidak kalau di tempat
yang kutuju. Percaya deh,” kata Awan. Awan, Man, dan Kirana melewati gerbang
bersama-sama.
“Itu dia, Mak, itu dia,
lihat!”
Yang berteriak Ratih
Yuda, adik perempuan Man, tetapi dia tidak menunjuk Man. “Awan Negara!” lengkingnya. “Lihat, Mak, aku bisa melihat...”
“Diamlah, Ratih, dan
tidak sopan menunjuk-nunjuk.”
Pak Yuda tersenyum kepada
mereka.
“Tahun yang sibuk?”
sapanya.
“Sangat,” kata Awan. “Terima kasih untuk bonbon dan rompinya, Bu
Yuda.”
“Oh, sama-sama, Nak.”
“Sudah siap?”
Itu Paman Raketi,
wajahnya masih ungu, masih berkumis, masih kelihatan marah pada Awan yang nekat
menenteng burung garuda dalam sangkar di stasiun yang penuh orang biasa. Di
belakangnya berdiri Bibi Suketi dan Sakuni yang kelihatan ngeri melihat Awan.
“Kalian pastilah
keluarga Awan!” sapa Bu Yuda.
“Boleh dikatakan
begitu,” kata Paman Raketi “Ayo cepat, kita tak bisa seharian di sini.” Paman
Raketi langsung ngeloyor pergi. Awan
masih tinggal untuk mengucapkan salam perpisahan pada Man dan Kirana.
“Sampai ketemu setelah
musim panas, ya.”
“Mudah-mudahan
liburanmu, er, menyenangkan,” kata Kirana, menoleh, memandang Paman Raketi
dengan bimbang. Dia heran sekali ada orang yang begitu tidak menyenangkan.
“Oh, pasti
menyenangkan,” kata Awan, dan mereka heran melihat senyum yang merekah lebar di
wajahnya. “Mereka tak tahu kita dilarang menggunakan bawa dan praba di rumah.
Aku akan banyak bersenang-senang dengan Sakuni musim panas ini....”
END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar