Boom! Mereka mengedor
lagi. Sakuni terbangun kaget. Matanya melorok melihat sekeliling.
“Di
mana ada meriamnya?” tanyanya dengan bego.
Terdengar gubrakan di
belakang mereka dan Paman Raketi muncul dengan susah payah. Ia tergopoh-gopoh
masuk dalam ruangan. Tangannya memegang senapan, sekarang mereka tahu apa yang
ada dalam bungkusan kurus panjang yang tadi dibawanya.
“Siapa itu? Kau gila atau monster,” teriaknya. “Kuperingatkan
aku membawa senjata.”
Sunyi diam, tak ada
getar terdengar. Kemudian…
Gubraaak!
Pintu dihantam begitu
keras sampai terlepas dari engselnya, terhempas masuk ke dalam, dan dengan
bunyi memekakkan telinga pintu itu terempas ke lantai. Sesosok pria berpakain
surjan bergaris berdiri di depan pintu. Wajahnya nyaris tersembunyi di balik
rambut panjang lurus memakai bangklon dan berewok liar yang rapi. Tetapi kau
bisa melihat matanya, berkilauan bagai dua kumbang hitam di balik berewok liar
itu.
Si pria memaksakan diri
masuk, menunduk sehingga kepalanya cuma menyentuh langit-langit. Dia
membungkuk, memungut pintu, dan dengan mudah memasangnya kembali ke engselnya.
Deru badai di luar teredam sedikit. Dia menoleh memandang mereka semua.
“Asalamualaikum, kula
nuwun!” ucap pria itu. “Kau muslim bukan!”
Wajah seram lelaki
jangkung memandangnya. Mata mengeryit tajam dan menakutkan.
“Wa ‘alaikum salam,”
jawab Paman Raketi. “Ini jawa bung bukan eropa, lebih sopan sedikit bila
bertamu dong!”
“Maaf saya bukan maksud
menakuti, tetapi ini sudah kebiasaannya,” kata pria itu.
“Kau ini orang tahu
tata krama, masuk seenak, orang gila bukan tetapi kau ini membuat kami takut
seperti semut diinjak gajah,” kata Raketi.
“Seharusnya kau lebih
sopan juga menyambut tamu, dari kejauhan memang aku sudah mengintaimu, kulihat
kau telah siap menyerang siapa saja yang masuk ke dalam sini,” kata pria itu. “Bisa
bikinkan teh, kan? Tidak gampang datang
ke sini...”
Dia melangkah ke sofa.
Sakuni duduk membeku ketakutan.
“Minggir, karung besar,”
kata orang asing itu. Matanya begitu tajam memandang Sakuni.
Sakuni mencicit dan
bersembunyi di belakang punggung ibunya. Bibi Suketi Sendiri berjongkok
ketakutan di belakang Paman Raketi.
“Nah, ini dia Awan!”
kata si raksasa.
Awan mendongak
memandang wajah liar dan galak itu, dan melihat sudut mata kumbangnya berkerut
penuh senyum.
“Terakhir kali aku
melihatmu, kau masih bayi,” kata si raksasa. “Kau mirip sekali ayahmu, tapi
matamu mata ibumu.”
Paman Raketi
mengeluarkan suara serak yang aneh. “Saya meminta Anda segera pergi, Pak!”
katanya. “Anda menjebol pintu dan masuk tanpa izin.”
“Ah, maaf Raketi, diam
jangan bicara dan sok,” kata si raksasa.
Tangannya menjangkau ke
belakang sofa, menjambret senapan dari tangan Paman Raketi, membengkokkannya
seakan senapan itu terbuat dari karet saja, lalu melemparkannya ke sudut
ruangan.
Paman Raketi
mengeluarkan suara aneh lagi, seperti cicit tikus yang terinjak.
“Yang jelas, Awan,”
kata si raksasa, berbalik membelakangi keluarga Raketi, “selamat ulang tahun untukmu,
selamat panjang umur. Aku bawa sesuatu buatmu, mungkin tadi ku duduki, tapi
rasanya pasti masih enak.”
Dari saku dalam surjan
dia mengeluarkan kotak yang agak penyok. Awan membukanya dengan tangan gemetar.
Di dalam kotak itu ada
kue cokelat besar dengan tulisan Selamat Ulang Tahun, Awan dari gula hijau. Awan
menengadah menatap si raksasa. Dia bermaksud mengucapkan terima kasih, tetapi
kata-katanya menghilang dalam perjalanan ke mulutnya, dan yang dikatakannya
malah,
“Siapa kau?”
Si raksasa tertawa.
“Betul, aku belum
perkenalkan diri, Wijaya Permadi pemegang kunci, pengawas hewan liar di Saloka.”
Dia mengulurkan tangan
yang besar sekali dan mengguncang seluruh lengan Awan. Jabatan tangan sebagai
tanda persaudaraan.
“Sugeng rawuh, Permadi,
Raharjo sowanmu!”
“Oke siiip!”
“Bagaimana tehnya tadi,
eh?” katanya, seraya menggosok-gosokkan tangannya.
Pandangannya tertuju ke
perapian dengan bungkus keripik yang sudah mengerut dan dia mendengus. Dia
membungkuk ke perapian.
Mereka tidak bisa melihat apa yang
dilakukannya, tetapi ketika dia tegak lagi sedetik kemudian, api sudah
menyala-nyala. Api itu memenuhi pondok yang lembap dengan cahayanya yang
bergerak-gerak dan Awan merasa kehangatan menyelubunginya, seakan ia masuk ke
dalam bak berisi air panas.
Si raksasa duduk
kembali di sofa, yang langsung melesak keberatan dan mulai mengeluarkan
berbagai benda dari dalam sakunya: ceret tembaga, satu pak sosis lezat, tusukan
panjang, teko, beberapa cangkir yang sudah somplak, dan sebotol cairan kuning
kecokelatan yang diteguknya dulu sebelum dia menyiapkan makanan. Segera saja
pondok dipenuhi bunyi dan bau sosis panggang yang lezat. Tak seorang pun bicara
ketika si raksasa bekerja, tetapi ketika dia melepas enam sosis gemuk berminyak
yang sedikit gosong dari tusukannya, Sakuni mulai gelisah.
Paman Raketi berkata
tajam, “Jangan tuh apa pun yang diberikannya padamu, Sakuni.”
Si raksasa tertawa
seram. “Anakmu yang sudah sebulat bola tidak perlu digemukkan lagi, Raketi,
jangan khawatir.”
Dia menyerahkan
sosis-sosis itu kepada Awan. Awan, yang sudah lapar sekali, belum pernah makan
makanan selezat itu, tetapi ia tetap tak bisa melepas pandangannya dari si
raksasa.
Akhirnya, karena tak
seorang pun kelihatannya akan menjelaskan, ia berkata, “Maaf, tapi saya tetap
belum tahu siapa Anda.”
Si raksasa menghirup
tehnya dalam tegukan besar, dan melap mulut dengan punggung tangannya.
“Panggil aku Permadi,”
katanya. “Semua panggil aku begitu. Dan seperti sudah kubilang, aku pemegang
kunci di Saloka, kau tentunya sudah tahu tentang Saloka.”
“Eh... belum,” kata Awan.
Permadi kelihatannya
terperangah.
“Maaf,” kata Awan
cepat-cepat.
“Maaf?” balas Permadi,
menoleh menatap keluarga Raketi yang mengerut dalam bayangan kegelapan. “Merekalah
yang harus minta maaf! Aku tahu suratmu tidak kau terima, tapi tak pernah
kuduga kau tidak tahu tentang Saloka. Astaga! Tak pernahkah kau ingin tahu di
mana orangtuamu belajar semua itu?”
“Semua apa?” tanya Awan.
“Semua apa?” gelegar
Permadi. “Tunggu dulu!”
Dia melompat berdiri.
Dalam kemarahannya dia seolah memenuhi seluruh pondok. Keluarga Raketi merapat
ketakutan ke tembok.
“Apa ini berarti,” dia
menggeram kepada keluarga Raketi. “Bahwa anak ini... anak ini! ...tidak tahu
tentang... tidak tahu apa-apa?”
Awan merasa ini sudah
kelewatan. Ia kan sekolah, dan angka-angkanya juga tidak buruk. “Aku tahu beberapa hal,” katanya. “Aku bisa
Matematika dan pelajaran-pelajaran lain.”
Tetapi Permadi hanya
mengibaskan tangannya dan berkata, “Bagaimana apa kau bisa sholat, maksudku.
Suatu amalan atau ibadah yang tersusun
dari perkataan dan perbuatan, yang dimulai dengan ‘Takbiratul ikram’ dan
diakhiri dengan salam, dengan syarat dan rukun yang ditentukan.”
“Sholat?” kata Awan
mengulang. “Keluarga Raketi jarang sholat. Mereka hanya mendidikku untuk tahu
belajar tanpa beribadah.”
Awan terkejut, matanya
melongo, ia berfikir memang sholat adalah ibadah penting bagi seorang muslim
taat. Tetapi itu hanya pelajaran yang ia dapatkan di sekolah mengenai
pengerjaannya ia jarang mendapatkan bimbingan dari pamannya.
“Jadi kau belum bisa
sholat,” kata Permadi.
“Belum,” kata Awan
menunduk.
Permadi kelihatannya
sudah siap meledak.
“Raketi!” teriakannya
mengguntur. “Bagaimana mungkin kau melupakan kewajiban penting sebagai muslim?
Apa yang kau ajarkan padanya?”
“Sebenarnya…..” kata
Raketi agak ketakutan.
“Memang kalian bukan
orang taat!” kata Permadi. “Pantas kalian tak mempunyai karakter untuk
menyambut tamu.”
Permadi dalam
kemarahan, matanya merah memenuhi seluruh isi pondok. Ternyata hal penting dan
diwajibkan telah dilupakan dalam mendidik Awan. Mereka lebih mementingkan dunia
daripada kehidupan akhirat.
“Bagaimana dengan dunia
kita?” tanyanya. “Apa kalian tak
memberitahunya juga?”
Matanya mengeryitkan
tajam dan mengerikan.
“Dunia apa?” sahut
Awan.
Permadi kelihatannya
sudah siap meledak.
“Raketi!” teriakannya
mengguntur.
Paman Raketi, yang
sudah pucat pasi, menggumamkan sesuatu yang kedengarannya seperti “sinting…gila!”
Permadi menatap liar pada Awan. “Tapi kau pasti tahu tentang ayah dan ibumu,”
katanya. “Maksudku, mereka terkenal. Kau terkenal.”
“Apa? Ja-jadi, ayah dan
ibuku terkenal?”
“Kau tak tahu... kau
tak tahu...” Permadi merapikan bangklonnya, memandang Awan keheranan.
“Kau tak tahu, kau ini
apa?” katanya akhirnya.
Paman Raketi mendadak
menemukan suaranya.
“Stop!” perintahnya. “Stop
di sini, Pak. Saya larang Anda memberitahu anak ini apa pun!”
Orang yang lebih berani
dari Raketi pastilah sudah gemetar menerima pandangan marah Permadi. Ketika
Permadi bicara, setiap suku katanya gemetar saking marahnya dia.
“Kau tak pernah bilang
padanya? Tak pernah beritahu ia apa yang ada dalam surat yang diberikan ayahnya
untuknya? Aku ada di sana! Aku Sendiri tinggalkan surat itu, Raketi! Dan kau
sembunyikan itu darinya selama bertahun-tahun ini?”
“Menyembunyikan apa
dariku?” tanya Awan tak sabar.
“Stop! Kularang kau!”
teriak Paman Raketi panik. Bibi Suketi tersedak kaget.
“Ah, peduli amat kalian
berdua,” kata Permadi. “Awan, kau memiliki darah ksatria.” Sunyi senyap di
dalam pondok. Hanya debur ombak dan deru angin yang terdengar.
“Aku apa?” tanya Awan
kaget.
“Ksatria, tentu saja,”
kata Permadi yang kembali duduk di sofa, sehingga sofanya berderit dan melesak
lebih dalam lagi.
“Dan ksatria yang
hebat, kalau dilatih sedikit. Dengan ayah dan ibu sehebat itu, mana bisa lain
lagi? Dan kurasa sudah waktunya kaubaca suratmu.”
Awan mengulurkan
tangan, akhirnya, untuk mengambil amplop kekuningan dengan alamat ditulis
dengan tinta hijau ditujukan kepada saudara Awan Negara, Lantai,
Pondok-di-Atas-Karang, Laut. Awan menarik keluar suratnya dan membacanya.
SEKOLAH
KSATRIA SALOKA
Kepala
Sekolah: Batara Giri Maulana
Awan
Negara yang baik
Dengan
gembira kami menyedia tempat bagi anda untuk di Saloka.
Tahun
ajaran baru mulai 1 September. Kami menunggu kabar dari Anda paling lambat 31
Juli.
Hormat
saya.
Batara
Giri Maulana
Berbagai pertanyaan
meledak dalam kepala Awan seperti kembang api dan ia tidak dapat memutuskan
mana yang akan ditanyakan lebih dulu. Sesudah lewat beberapa menit, bertanya
dalam pikirannya. Ia tergagap dalam sikapnya. “Apa maksudnya mereka dengan
semua ini?”
“Aku jadi ingat,” kata
Permadi. Siul Permadi mengumandang. Seekor merpati mendarat ditangannya.
Secarik kertas keluar dari sakunya. Pena hitam bulu panjang, dia menulis pesan
yang bisa dibaca Awan dengan terbalik.
Batara
Giri Maulana yang terhormat
Surat
Awan telah kusampaikan. Akan aku bawa ia menuju ke Saloka. Cuaca buruk sekali.
Mudah-mudahan Anda baik.
Permadi
Permadi menggulung
pesannya, menyerahkannya kepada si burung merpati, yang mengikatnya di kakinya,
lalu melangkah ke pintu dan melontarkan si burung merpati ke dalam badai.
Kemudian dia kembali
dan duduk lagi seakan tindakannya tadi sewajar orang bicara di telepon.
Awan sadar mulutnya
ternganga. Cepat-cepat dikatupkannya. “Sampai mana aku tadi?” kata Permadi.
Tetapi saat itu Paman Raketi, wajahnya masih pucat pasi tapi tampangnya sangat
marah, maju ke depan perapian.
“Dia tidak boleh pergi,”
katanya.
Permadi menggerutu.
“Aku mau lihat Wusana
hebat sepertimu halangi kepergiannya,” katanya.
“Apa?” tanya Awan
tertarik.
“Wusana,” kata Permadi.
“Itu sebutan kami untuk manusia-manusia yang bukan ksatria. Dan sungguh buruk
nasibmu dibesarkan dalam keluarga Wusana paling sok yang pernah kulihat.”
“Waktu mengambilnya
kami sudah bersumpah kami akan menghentikan semua omong kosong ini,” kata Paman
Raketi.
“Bersumpah untuk
membelanya! ksatria? Mana ada!”
“Paman dan Bibi tahu?”
tanya Awan. “Paman dan Bibi tahu aku ksa-ksatria?”
“Tahu!” pekik Bibi
Suketi tiba-tiba. “Tahu! Tentu saja kami tahu! Bagaimana tidak, kalau adikku
yang brengsek juga begitu?
Oh, dia juga menerima
surat seperti itu dan menghilang ke... ke sekolah itu... dan pulang setiap liburan dengan kantong
penuh telur bebek dan membuat seisi rumah bergoyang. Aku satu-satunya yang tahu
dia seperti apa, dia aneh! Tetapi ibu dan ayahku... uh, apa-apa Mustika...
Mustika begini dan Mustika begitu. Mereka bangga punya anak ksatria!”
Dia berhenti untuk
menarik napas dalam-dalam, dan kemudian merepet lagi. Kelihatannya sudah
bertahun-tahun dia ingin mengeluarkan semua ini.
“Kemudian dia bertemu
si Bumi itu di sekolah, lalu mereka menikah dan punya anak kau, dan tentu saja
aku tahu kau pasti sama anehnya, sama... abnormalnya, dan kemudian si Mustika
itu terbunuh dan terpaksa kami kebebanan kau!”
Awan sudah menjadi pucat.
Segera setelah dapat bicara ia berkata, “Terbunuh? Kalian bilang mereka
meninggal dalam kecelakaan mobil!”
“Kecelakaan mobil!”
raung Permadi, melompat bangun dengan amat marah sehingga keluarga Raketi
cepat-cepat kembali ke sudut mereka. “Bagaimana mungkin kecelakaan mobil bisa
bunuh Mustika dan Bumi Negara? Sungguh
penghinaan besar. Skandal! Awan Negara
tidak tahu kisah hidupnya Sendiri, sementara semua anak di dunia kami tahu
namanya!”
“Tapi kenapa? Apa yang
terjadi?” desak Awan. Kemarahan memudar dari wajah Permadi. Tiba-tiba dia
kelihatan khawatir.
“Tak kusangka akan
begini,” katanya cemas dengan suara rendah. “Waktu Batara Giri bilang mungkin
akan ada kesulitan ambil kau, tak kukira kau serba tidak-tahu begini. Ah, Awan,
aku tak tahu apakah aku orang yang tepat untuk beritahu kau, tapi harus ada
yang kasih tahu, tak mungkin kau berangkat ke Saloka tanpa tahu ini.”
Permadi memandang sebal
pada keluarga Raketi.
“Yah, ada baiknya kau
tahu sejauh yang bisa kuceritakan padamu, aku tak bisa ceritakan semuanya,
soalnya sebagian di antaranya misteri besar...,”
Dia duduk, memandang
api selama beberapa detik, kemudian berkata, “Semua ini, menurutku, dimulai
oleh orang yang bernama, kelewatan sekali kau tidak tahu namanya, semua orang
di dunia kita tahu...”
“Siapa?”
“Yah, aku tak mau sebut
namanya, kalau bisa. Tak seorang pun berani sebut namanya.”
“Kenapa tidak?”
“Astaga naga, Awan,
orang kan masih takut. Wah, susah jadinya. Begini, ada ksatria yang... jadi
jahat. Jahat sekali. Bahkan lebih dari jahat. Jauh lebih jahat daripada sekadar
lebih jahat. Namanya...” Permadi menelan
ludah, tapi tak ada suara yang keluar.
“Bagaimana kalau
ditulis saja?” Awan mengusulkan.
“Tidak, aku tidak bisa
eja. Baiklah, Nagasura.” Permadi bergidik. “Jangan suruh aku sebut sekali lagi.
Pendeknya, ksatria ini kira-kira dua belas tahun yang lalu mulai cari pengikut.
Dan dapat, lagi sebagian karena takut, sebagian lagi karena inginkan cipratan
kekuasaannya, karena dia memang punya kekuasaan. Sungguh hari-hari suram, Awan.
Kita tak tahu siapa yang bisa dipercaya, tak berani bersikap ramah pada ksatria
asing....
Hal-hal mengerikan
terjadi. Dia mulai ambil alih kekuasaan. Tentu saja beberapa berusaha lawan
dia, dan mereka dibunuh. Dengan sangat mengerikan. Salah satu tempat yang masih
aman adalah Saloka. Kurasa Batara Giri adalah satu-satunya yang ditakuti
Nagasura. Tidak berani ambil alih sekolah, dulu paling tidak. Karena Batara
Giri bekas Gurunya. Dan waktu itu kesaktian tak tandingannya. Sekarang Batara Giri
telah tua. Sebenarnya yang dapat menanggani adalah ayahmu.
“Ibu dan ayahmu ksatria
hebat. Dua-duanya Ketua Murid semasa mereka sekolah dan teman seperguruan dari
Nagasura! Kurasa misterinya adalah kenapa Nagasura berkhianat adalah karena
ibumu. Kecantikan ibumu bah cantik bagai dewi. Ketiga adalah murid terbaik dari
Saloka. Ayahmu, Ibumu dan Nagasura adalah hasil didikan langsung dari Batara
Giri. Nagasura menginginkan ibumu. Tetapi ibumu menolaknya. Nagasura marah dia
menculik ibumu saat kau dalam kandungan. Ayahmu berusaha menyelamatkan ibumu
tetapi ayah dan ibumu mati bersama saat engkau terlahir.”
Permadi tiba-tiba
menarik keluar saputangan yang sarigat kotor dan membuang ingus dengan bunyi
seperti terompet.
“Maaf,” katanya. “Tetapi
aku sedih sekali, aku kenal ibu dan ayahmu, tak ada orang lain sebaik mereka,
pendeknya...
“Nagasura membunuh
mereka. Dan kemudian, ini misteri yang sesungguhnya, dia mencoba bunuh kau
juga. Mau habisi kalian sampai tuntas, kurasa, atau mungkin dia memang yang
membunuh. Tetapi dia tidak bisa bunuh kau. Pernahkah kau bertanya-tanya
bagaimana kau dapat bekas luka di dahimu? Itu bukan luka biasa. Itu yang kau
dapat jika kekuatan hitam jahat tuh kau, berhasil tewaskan ibu dan ayahmu,
bahkan hancurkan rumahmu, tetapi tidak mempan untukmu. Itulah sebabnya kau
terkenal, Awan. Tak seorang pun bisa hidup setelah dia putuskan untuk
membunuhnya. Tak seorang pun, kecuali kau, dan dia telah berhasil bunuh
ksatria-ksatria terbaik pada zaman ini keluarga Punta, keluarga Subala, keluarga
Arga, padahal kau masih bayi, dan kau hidup.”
Sesuatu yang
menyakitkan berpusar dalam benak Awan.
Ketika cerita Permadi
hampir tamat, dia melihat kembali cahaya hitam menyilaukan, lebih jelas
daripada yang selama ini diingatnya. Dan dia juga ingat sesuatu yang lain,
untuk pertama kali dalam hidupnya, tawa nyaring, dingin, dan bengis.
Permadi menatapnya
dengan sedih.
“Aku Sendiri yang ambil
kau dari rumahmu yang hancur, atas perintah Batara Giri. Kubawa kau ke keluarga
ini...”
“Omong kosong besar,”
kata Paman Raketi. Awan melompat. Ia nyaris lupa keluarga Raketi ada di situ.
Paman Raketi kelihatannya sudah mendapatkan kembali keberaniannya. Dia mendelik kepada Permadi dan tangannya
terkepal.
“Dengarkan aku, Awan”
geramnya. “Kuakui kau memang agak aneh, tapi mungkin bisa dibereskan dengan
dihajar.
Sedangkan tentang
orangtuamu, mereka memang aneh, tak bisa dibantah, dan menurutku dunia ini
lebih baik tanpa mereka, yang terjadi itu salah mereka Sendiri, bergaul dengan
tukang-tukang ilusi. Mau apa lagi, sudah kuduga mereka akan berakhir begitu...”
Tetapi saat itu Permadi
melompat bangun dari sofa dan menarik tongkat butut merah jambu dari dalam
sakunya. Sambil mengacungkan tongkat itu ke arah Paman Raketi seperti pedang, dia
berkata, “Kuperingatkan kau, Raketi, kuperingatkan kau, satu kata lagi saja...”
Menghadapi bahaya
ditombak dengan ujung tongkat, keberanian Paman Raketi melempem lagi. Dia
merapatkan diri ke dinding dan diam.
“Itu lebih baik,” kata
Permadi, bernapas berat dan duduk lagi di sofa, yang kali ini melesak sampai ke
lantai.
Awan, sementara itu,
masih penasaran, masih ingin mengajukan ratusan pertanyaan.
“Tetapi apa yang
terjadi pada Nag, maaf, maksudku, Sinten Menika?”
“Pertanyaan bagus, Awan.
Hilang. Lenyap. Malam yang sama dia coba bunuh kau. Membuat kau tambah terkenal. Itulah misteri
yang paling besar. Soalnya... belakangan makin lama dia makin kuat, jadi kenapa
dia harus pergi?
“Ada yang bilang dia
mati. Omong kosong, menurutku. Tak tahu apakah masih ada cukup manusia di
tubuhnya untuk bisa mati. Yang lain lagi bilang dia masih sembunyi, tunggu
waktu yang tepat, tapi aku tidak percaya. Orang-orang yang tadinya jadi
pengikutnya telah kembali ke kami. Beberapa di antaranya seperti kerasukan.
Mana mungkin mereka balik ke kami kalau dia akan datang lagi.
“Kebanyakan dari kami
duga dia masih ada entah di mana, tapi sudah kehilangan kekuatannya. Terlalu
lemah untuk terus merajalela. Karena sesuatu pada dirimu menghabisi dia, Awan.
Ada yang terjadi malam itu yang di luar perhitungannya, aku tak tahu apa itu,
tak ada yang tahu, tetapi sesuatu pada dirimu membuat dia takluk.”
Permadi memandang Awan
dengan hangat dan rasa hormat.
Tetapi Awan, alih-alih
merasa senang dan bangga, merasa yakin ada kekeliruan besar. Ksatria? Ia? Bagaimana mungkin ia ksatria? Ia
telah melewatkan hidupnya dijadikan bulan-bulanan oleh Sakuni dan ditindas oleh
Bibi Suketi dan Paman Raketi. Kalau memang ia ksatria, kenapa mereka tidak
dihajarnya setiap kali mereka mencoba menguncinya di dalam lemari? Jika ia
pernah mengalahkan ksatria dan ksatria paling hebat di dunia, bagaimana mungkin
Sakuni selalu bisa menendang-nendangnya ke sana kemari seperti bola?
“Permadi,” katanya
cemas. “Kurasa kau pasti keliru. Tidak mungkin aku ini ksatria.” Betapa herannya ia, Permadi tertawa.
“Tidak mungkin ksatria,
eh? Tidak pernahkah ada peristiwa-peristiwa yang terjadi setiap kali kau takut
atau marah?”
Awan memandang
perapian. Kalau dipikir-pikir... semua kejadian aneh yang membuat bibi dan
pamannya marah kepadanya terjadi ketika ia, Awan, sedang marah atau sedih.
Ketika dikejar-kejar
oleh geng Sakuni, entah bagaimana ia selalu bisa meloloskan diri... waktu cemas
karena harus ke sekolah dengan potongan rambut yang konyol, rambutnya tiba-tiba
tumbuh Sendiri... dan ketika Sakuni terakhir kali memukulnya, bukankah ia telah
berhasil membalasnya, tanpa sadar?
Bukankah ia keras seperti baja dan tangan Sakuni kesakitan?
Awan kembali memandang
Permadi, tersenyum, dan dilihatnya Permadi nyengir ang kepadanya.
“Lihat sendiri, kan?”
kata Permadi. “Awan Negara, tidak mungkin ksatria, tunggu saja, kau akan
terkenal di Saloka.”
Tetapi Paman Raketi tak
akan mau menyerah tanpa perlawanan.
“Kan sudah kubilang ia
tidak boleh pergi?” desisnya. “Ia akan
ke SMP N dan ia akan berterima kasih karenanya. Aku sudah membaca surat-surat
itu dan katanya ia memerlukan segala macam sampah, buku silat dan pusaka dan...”
“Kalau ia mau pergi,
Wusana hebat seperti kau tidak akan bisa larang ia,” geram Permadi. “Melarang
anak Mustika dan Bumi Negara masuk Saloka! Kau gila. Namanya sudah terdaftar di
sana sejak ia dilahirkan. Ia akan masuk sekolah ksatria paling terkenal di Indonesia.
Tujuh tahun di sana, ia akan kenal dirinya lagi. Ia akan bergaul dengan anak-anak
sejenisnya, kali ini, dan di bawah bimbingan kepala sekolah paling hebat yang
dimiliki Saloka, Batara Giri Maulana...”
“Aku tidak mau membayar
laki-laki tua sinting untuk mengajarinya ilmu ilusi gila,” teriak Paman Raketi.
“Dia sudah kelewatan.
Mulut bicara sombong dihadapan para sesepuh,” Permadi memutar kembali badan. “Jangan
berani-berani gelegarnya, menghina Batara Giri didepanku,”
Diayunkannya tangannya
turun untuk menunjuk Sakuni. Ada kilatan cahaya ungu, bunyi seperti petasan,
jeritan nyaring, dan detik berikutnya Sakuni menari-nari di tempat dengan
tangan memegangi pantatnya yang gemuk, menjerit-jerit kesakitan. Ketika dia
berbalik membelakangi mereka, Awan melihat ekor kerbau melingkar nongol dari
lubang di celananya.
Paman Raketi
menggerung. Seraya menarik Bibi Suketi dan Sakuni ke kamar satunya, dia
melempar pandangan ketakutan untuk terakhir kali kepada Permadi, lalu
membanting pintu menutup di belakang mereka.
Permadi menunduk
menatap tongkatnya dan membelai jenggotnya.
“Harusnya tak boleh marah,”
katanya menyesal, “tapi kan tidak berhasil. Maksudku mau ubah dia jadi kerbau,
tapi kurasa dia sudah mirip sekali kerbau, tak banyak lagi yang bisa dilakukan.”
Dia melirik Awan dari
bawah alisnya yang lebat.
“Aku akan berterima
kasih kalau kau tidak sebut-sebut kejadian ini pada siapa pun di Saloka,”
katanya. “Aku... ehm...sebetulnya tidak boleh menggunakan Ajian. Hanya boleh
sedikit saja untuk ikuti kau dan antar surat-surat kepadamu dan belanja, salah
satu alasan aku ingin sekali dapatkan tugas ini....”
“Kenapa kau tidak boleh
menyulap?” tanya Awan.
“Oh, yah... aku dulunya
sekolah di Saloka juga, tapi... ehm... aku dikeluarkan, jujur saja. Waktu kelas tiga. Aku suka buat onar dan
merusak peralatan kelas serta macam-macam lagi.
Tetapi Batara Giri izinkan aku tinggal sebagai pengawas hewan liar
disana. Orang hebat, Batara Giri.”
“Kenapa kau
dikeluarkan?”
“Sudah malam dan banyak
yang harus kita lakukan besok,” kata Permadi keras-keras “Harus ke kota, beli
buku-buku dan peralatanmu.”
Permadi melepas sebuah
selendang dari ikat pinggangnya yang tebal dan melemparkannya kepada Awan.
“Bisa kau jadikan
selimut,” katanya. “Malam ini mungkin bintang akan bersinar, sinar terang
seperti cahaya dibalik dirimu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar