Dibalik Dirimu (Awan Negera(Jodhipati)) karya Hermawan - Sastra Education

Breaking

Rabu, 22 Januari 2020

Dibalik Dirimu (Awan Negera(Jodhipati)) karya Hermawan


Boom! Mereka mengedor lagi. Sakuni terbangun kaget. Matanya melorok melihat sekeliling.
“Di mana ada meriamnya?” tanyanya dengan bego.
Terdengar gubrakan di belakang mereka dan Paman Raketi muncul dengan susah payah. Ia tergopoh-gopoh masuk dalam ruangan. Tangannya memegang senapan, sekarang mereka tahu apa yang ada dalam bungkusan kurus panjang yang tadi dibawanya.
“Siapa itu?  Kau gila atau monster,” teriaknya. “Kuperingatkan aku membawa senjata.”
Sunyi diam, tak ada getar terdengar. Kemudian…
Gubraaak!
Pintu dihantam begitu keras sampai terlepas dari engselnya, terhempas masuk ke dalam, dan dengan bunyi memekakkan telinga pintu itu terempas ke lantai. Sesosok pria berpakain surjan bergaris berdiri di depan pintu. Wajahnya nyaris tersembunyi di balik rambut panjang lurus memakai bangklon dan berewok liar yang rapi. Tetapi kau bisa melihat matanya, berkilauan bagai dua kumbang hitam di balik berewok liar itu.
Si pria memaksakan diri masuk, menunduk sehingga kepalanya cuma menyentuh langit-langit. Dia membungkuk, memungut pintu, dan dengan mudah memasangnya kembali ke engselnya. Deru badai di luar teredam sedikit. Dia menoleh memandang mereka semua.

“Asalamualaikum, kula nuwun!” ucap pria itu. “Kau muslim bukan!”
Wajah seram lelaki jangkung memandangnya. Mata mengeryit tajam dan menakutkan.
“Wa ‘alaikum salam,” jawab Paman Raketi. “Ini jawa bung bukan eropa, lebih sopan sedikit bila bertamu dong!”
“Maaf saya bukan maksud menakuti, tetapi ini sudah kebiasaannya,” kata pria itu.
“Kau ini orang tahu tata krama, masuk seenak, orang gila bukan tetapi kau ini membuat kami takut seperti semut diinjak gajah,” kata Raketi.
“Seharusnya kau lebih sopan juga menyambut tamu, dari kejauhan memang aku sudah mengintaimu, kulihat kau telah siap menyerang siapa saja yang masuk ke dalam sini,” kata pria itu. “Bisa bikinkan teh, kan?  Tidak gampang datang ke sini...”
Dia melangkah ke sofa. Sakuni duduk membeku ketakutan.
“Minggir, karung besar,” kata orang asing itu. Matanya begitu tajam memandang Sakuni.
Sakuni mencicit dan bersembunyi di belakang punggung ibunya. Bibi Suketi Sendiri berjongkok ketakutan di belakang Paman Raketi.
“Nah, ini dia Awan!” kata si raksasa.
Awan mendongak memandang wajah liar dan galak itu, dan melihat sudut mata kumbangnya berkerut penuh senyum.
“Terakhir kali aku melihatmu, kau masih bayi,” kata si raksasa. “Kau mirip sekali ayahmu, tapi matamu mata ibumu.”
Paman Raketi mengeluarkan suara serak yang aneh. “Saya meminta Anda segera pergi, Pak!” katanya. “Anda menjebol pintu dan masuk tanpa izin.”
“Ah, maaf Raketi, diam jangan bicara dan sok,” kata si raksasa.
Tangannya menjangkau ke belakang sofa, menjambret senapan dari tangan Paman Raketi, membengkokkannya seakan senapan itu terbuat dari karet saja, lalu melemparkannya ke sudut ruangan.
Paman Raketi mengeluarkan suara aneh lagi, seperti cicit tikus yang terinjak.
“Yang jelas, Awan,” kata si raksasa, berbalik membelakangi keluarga Raketi, “selamat ulang tahun untukmu, selamat panjang umur. Aku bawa sesuatu buatmu, mungkin tadi ku duduki, tapi rasanya pasti masih enak.”
Dari saku dalam surjan dia mengeluarkan kotak yang agak penyok. Awan membukanya dengan tangan gemetar.
Di dalam kotak itu ada kue cokelat besar dengan tulisan Selamat Ulang Tahun, Awan dari gula hijau. Awan menengadah menatap si raksasa. Dia bermaksud mengucapkan terima kasih, tetapi kata-katanya menghilang dalam perjalanan ke mulutnya, dan yang dikatakannya malah,
“Siapa kau?”
Si raksasa tertawa.
“Betul, aku belum perkenalkan diri, Wijaya Permadi pemegang kunci, pengawas hewan liar di Saloka.”
Dia mengulurkan tangan yang besar sekali dan mengguncang seluruh lengan Awan. Jabatan tangan sebagai tanda persaudaraan.
“Sugeng rawuh, Permadi, Raharjo sowanmu!”
“Oke siiip!”
“Bagaimana tehnya tadi, eh?” katanya, seraya menggosok-gosokkan tangannya.
Pandangannya tertuju ke perapian dengan bungkus keripik yang sudah mengerut dan dia mendengus. Dia membungkuk ke perapian.
 Mereka tidak bisa melihat apa yang dilakukannya, tetapi ketika dia tegak lagi sedetik kemudian, api sudah menyala-nyala. Api itu memenuhi pondok yang lembap dengan cahayanya yang bergerak-gerak dan Awan merasa kehangatan menyelubunginya, seakan ia masuk ke dalam bak berisi air panas.
Si raksasa duduk kembali di sofa, yang langsung melesak keberatan dan mulai mengeluarkan berbagai benda dari dalam sakunya: ceret tembaga, satu pak sosis lezat, tusukan panjang, teko, beberapa cangkir yang sudah somplak, dan sebotol cairan kuning kecokelatan yang diteguknya dulu sebelum dia menyiapkan makanan. Segera saja pondok dipenuhi bunyi dan bau sosis panggang yang lezat. Tak seorang pun bicara ketika si raksasa bekerja, tetapi ketika dia melepas enam sosis gemuk berminyak yang sedikit gosong dari tusukannya, Sakuni mulai gelisah.
Paman Raketi berkata tajam, “Jangan tuh apa pun yang diberikannya padamu, Sakuni.”
Si raksasa tertawa seram. “Anakmu yang sudah sebulat bola tidak perlu digemukkan lagi, Raketi, jangan khawatir.”
Dia menyerahkan sosis-sosis itu kepada Awan. Awan, yang sudah lapar sekali, belum pernah makan makanan selezat itu, tetapi ia tetap tak bisa melepas pandangannya dari si raksasa.
Akhirnya, karena tak seorang pun kelihatannya akan menjelaskan, ia berkata, “Maaf, tapi saya tetap belum tahu siapa Anda.”
Si raksasa menghirup tehnya dalam tegukan besar, dan melap mulut dengan punggung tangannya.
“Panggil aku Permadi,” katanya. “Semua panggil aku begitu. Dan seperti sudah kubilang, aku pemegang kunci di Saloka, kau tentunya sudah tahu tentang Saloka.”
“Eh... belum,” kata Awan.
Permadi kelihatannya terperangah.
“Maaf,” kata Awan cepat-cepat.
“Maaf?” balas Permadi, menoleh menatap keluarga Raketi yang mengerut dalam bayangan kegelapan. “Merekalah yang harus minta maaf! Aku tahu suratmu tidak kau terima, tapi tak pernah kuduga kau tidak tahu tentang Saloka. Astaga! Tak pernahkah kau ingin tahu di mana orangtuamu belajar semua itu?”
“Semua apa?” tanya Awan.
“Semua apa?” gelegar Permadi. “Tunggu dulu!”
Dia melompat berdiri. Dalam kemarahannya dia seolah memenuhi seluruh pondok. Keluarga Raketi merapat ketakutan ke tembok.
“Apa ini berarti,” dia menggeram kepada keluarga Raketi. “Bahwa anak ini... anak ini! ...tidak tahu tentang... tidak tahu apa-apa?”
Awan merasa ini sudah kelewatan. Ia kan sekolah, dan angka-angkanya juga tidak buruk.  “Aku tahu beberapa hal,” katanya. “Aku bisa Matematika dan pelajaran-pelajaran lain.”
Tetapi Permadi hanya mengibaskan tangannya dan berkata, “Bagaimana apa kau bisa sholat, maksudku. Suatu amalan  atau ibadah yang tersusun dari perkataan dan perbuatan, yang dimulai dengan ‘Takbiratul ikram’ dan diakhiri dengan salam, dengan syarat dan rukun yang ditentukan.”
“Sholat?” kata Awan mengulang. “Keluarga Raketi jarang sholat. Mereka hanya mendidikku untuk tahu belajar tanpa beribadah.”
Awan terkejut, matanya melongo, ia berfikir memang sholat adalah ibadah penting bagi seorang muslim taat. Tetapi itu hanya pelajaran yang ia dapatkan di sekolah mengenai pengerjaannya ia jarang mendapatkan bimbingan dari pamannya.
“Jadi kau belum bisa sholat,” kata Permadi.
“Belum,” kata Awan menunduk. 
Permadi kelihatannya sudah siap meledak.
“Raketi!” teriakannya mengguntur. “Bagaimana mungkin kau melupakan kewajiban penting sebagai muslim? Apa yang kau ajarkan padanya?”
“Sebenarnya…..” kata Raketi agak ketakutan.
“Memang kalian bukan orang taat!” kata Permadi. “Pantas kalian tak mempunyai karakter untuk menyambut tamu.”
Permadi dalam kemarahan, matanya merah memenuhi seluruh isi pondok. Ternyata hal penting dan diwajibkan telah dilupakan dalam mendidik Awan. Mereka lebih mementingkan dunia daripada kehidupan akhirat.
“Bagaimana dengan dunia kita?” tanyanya.  “Apa kalian tak memberitahunya juga?”
Matanya mengeryitkan tajam dan mengerikan.
“Dunia apa?” sahut Awan.  
Permadi kelihatannya sudah siap meledak.
“Raketi!” teriakannya mengguntur.
Paman Raketi, yang sudah pucat pasi, menggumamkan sesuatu yang kedengarannya seperti “sinting…gila!” Permadi menatap liar pada Awan. “Tapi kau pasti tahu tentang ayah dan ibumu,” katanya. “Maksudku, mereka terkenal. Kau terkenal.”
“Apa? Ja-jadi, ayah dan ibuku terkenal?”
“Kau tak tahu... kau tak tahu...” Permadi merapikan bangklonnya, memandang Awan keheranan.
“Kau tak tahu, kau ini apa?” katanya akhirnya.
Paman Raketi mendadak menemukan suaranya.
“Stop!” perintahnya. “Stop di sini, Pak. Saya larang Anda memberitahu anak ini apa pun!”
Orang yang lebih berani dari Raketi pastilah sudah gemetar menerima pandangan marah Permadi. Ketika Permadi bicara, setiap suku katanya gemetar saking marahnya dia.
“Kau tak pernah bilang padanya? Tak pernah beritahu ia apa yang ada dalam surat yang diberikan ayahnya untuknya? Aku ada di sana! Aku Sendiri tinggalkan surat itu, Raketi! Dan kau sembunyikan itu darinya selama bertahun-tahun ini?”
“Menyembunyikan apa dariku?” tanya Awan tak sabar.
“Stop! Kularang kau!” teriak Paman Raketi panik. Bibi Suketi tersedak kaget.
“Ah, peduli amat kalian berdua,” kata Permadi. “Awan, kau memiliki darah ksatria.” Sunyi senyap di dalam pondok. Hanya debur ombak dan deru angin yang terdengar.
“Aku apa?” tanya Awan kaget.
“Ksatria, tentu saja,” kata Permadi yang kembali duduk di sofa, sehingga sofanya berderit dan melesak lebih dalam lagi.
“Dan ksatria yang hebat, kalau dilatih sedikit. Dengan ayah dan ibu sehebat itu, mana bisa lain lagi? Dan kurasa sudah waktunya kaubaca suratmu.”
Awan mengulurkan tangan, akhirnya, untuk mengambil amplop kekuningan dengan alamat ditulis dengan tinta hijau ditujukan kepada saudara Awan Negara, Lantai, Pondok-di-Atas-Karang, Laut. Awan menarik keluar suratnya dan membacanya.
SEKOLAH KSATRIA SALOKA
Kepala Sekolah: Batara Giri Maulana
Awan Negara yang baik
Dengan gembira kami menyedia tempat bagi anda untuk di Saloka.
Tahun ajaran baru mulai 1 September. Kami menunggu kabar dari Anda paling lambat 31 Juli.
Hormat saya.
Batara Giri Maulana
Berbagai pertanyaan meledak dalam kepala Awan seperti kembang api dan ia tidak dapat memutuskan mana yang akan ditanyakan lebih dulu. Sesudah lewat beberapa menit, bertanya dalam pikirannya. Ia tergagap dalam sikapnya. “Apa maksudnya mereka dengan semua ini?”
“Aku jadi ingat,” kata Permadi. Siul Permadi mengumandang. Seekor merpati mendarat ditangannya. Secarik kertas keluar dari sakunya. Pena hitam bulu panjang, dia menulis pesan yang bisa dibaca Awan dengan terbalik.
Batara Giri Maulana yang terhormat
Surat Awan telah kusampaikan. Akan aku bawa ia menuju ke Saloka. Cuaca buruk sekali. Mudah-mudahan Anda baik.
Permadi
Permadi menggulung pesannya, menyerahkannya kepada si burung merpati, yang mengikatnya di kakinya, lalu melangkah ke pintu dan melontarkan si burung merpati ke dalam badai.
Kemudian dia kembali dan duduk lagi seakan tindakannya tadi sewajar orang bicara di telepon.
Awan sadar mulutnya ternganga. Cepat-cepat dikatupkannya. “Sampai mana aku tadi?” kata Permadi. Tetapi saat itu Paman Raketi, wajahnya masih pucat pasi tapi tampangnya sangat marah, maju ke depan perapian.
“Dia tidak boleh pergi,” katanya.
Permadi menggerutu.
“Aku mau lihat Wusana hebat sepertimu halangi kepergiannya,” katanya.
“Apa?” tanya Awan tertarik.
“Wusana,” kata Permadi. “Itu sebutan kami untuk manusia-manusia yang bukan ksatria. Dan sungguh buruk nasibmu dibesarkan dalam keluarga Wusana paling sok yang pernah kulihat.”
“Waktu mengambilnya kami sudah bersumpah kami akan menghentikan semua omong kosong ini,” kata Paman Raketi.
“Bersumpah untuk membelanya! ksatria? Mana ada!”
“Paman dan Bibi tahu?” tanya Awan. “Paman dan Bibi tahu aku ksa-ksatria?”
“Tahu!” pekik Bibi Suketi tiba-tiba. “Tahu! Tentu saja kami tahu! Bagaimana tidak, kalau adikku yang brengsek juga begitu?
Oh, dia juga menerima surat seperti itu dan menghilang ke... ke sekolah itu...  dan pulang setiap liburan dengan kantong penuh telur bebek dan membuat seisi rumah bergoyang. Aku satu-satunya yang tahu dia seperti apa, dia aneh! Tetapi ibu dan ayahku... uh, apa-apa Mustika... Mustika begini dan Mustika begitu. Mereka bangga punya anak ksatria!”
Dia berhenti untuk menarik napas dalam-dalam, dan kemudian merepet lagi. Kelihatannya sudah bertahun-tahun dia ingin mengeluarkan semua ini.
“Kemudian dia bertemu si Bumi itu di sekolah, lalu mereka menikah dan punya anak kau, dan tentu saja aku tahu kau pasti sama anehnya, sama... abnormalnya, dan kemudian si Mustika itu terbunuh dan terpaksa kami kebebanan kau!”
Awan sudah menjadi pucat. Segera setelah dapat bicara ia berkata, “Terbunuh? Kalian bilang mereka meninggal dalam kecelakaan mobil!”
“Kecelakaan mobil!” raung Permadi, melompat bangun dengan amat marah sehingga keluarga Raketi cepat-cepat kembali ke sudut mereka. “Bagaimana mungkin kecelakaan mobil bisa bunuh Mustika dan Bumi Negara?  Sungguh penghinaan besar. Skandal!  Awan Negara tidak tahu kisah hidupnya Sendiri, sementara semua anak di dunia kami tahu namanya!”
“Tapi kenapa? Apa yang terjadi?” desak Awan. Kemarahan memudar dari wajah Permadi. Tiba-tiba dia kelihatan khawatir.
“Tak kusangka akan begini,” katanya cemas dengan suara rendah. “Waktu Batara Giri bilang mungkin akan ada kesulitan ambil kau, tak kukira kau serba tidak-tahu begini. Ah, Awan, aku tak tahu apakah aku orang yang tepat untuk beritahu kau, tapi harus ada yang kasih tahu, tak mungkin kau berangkat ke Saloka tanpa tahu ini.”
Permadi memandang sebal pada keluarga Raketi.
“Yah, ada baiknya kau tahu sejauh yang bisa kuceritakan padamu, aku tak bisa ceritakan semuanya, soalnya sebagian di antaranya misteri besar...,”
Dia duduk, memandang api selama beberapa detik, kemudian berkata, “Semua ini, menurutku, dimulai oleh orang yang bernama, kelewatan sekali kau tidak tahu namanya, semua orang di dunia kita tahu...”
“Siapa?”
“Yah, aku tak mau sebut namanya, kalau bisa. Tak seorang pun berani sebut namanya.”
“Kenapa tidak?”
“Astaga naga, Awan, orang kan masih takut. Wah, susah jadinya. Begini, ada ksatria yang... jadi jahat. Jahat sekali. Bahkan lebih dari jahat. Jauh lebih jahat daripada sekadar lebih jahat.  Namanya...” Permadi menelan ludah, tapi tak ada suara yang keluar.
“Bagaimana kalau ditulis saja?” Awan mengusulkan.
“Tidak, aku tidak bisa eja. Baiklah, Nagasura.” Permadi bergidik. “Jangan suruh aku sebut sekali lagi. Pendeknya, ksatria ini kira-kira dua belas tahun yang lalu mulai cari pengikut. Dan dapat, lagi sebagian karena takut, sebagian lagi karena inginkan cipratan kekuasaannya, karena dia memang punya kekuasaan. Sungguh hari-hari suram, Awan. Kita tak tahu siapa yang bisa dipercaya, tak berani bersikap ramah pada ksatria asing....
Hal-hal mengerikan terjadi. Dia mulai ambil alih kekuasaan. Tentu saja beberapa berusaha lawan dia, dan mereka dibunuh. Dengan sangat mengerikan. Salah satu tempat yang masih aman adalah Saloka. Kurasa Batara Giri adalah satu-satunya yang ditakuti Nagasura. Tidak berani ambil alih sekolah, dulu paling tidak. Karena Batara Giri bekas Gurunya. Dan waktu itu kesaktian tak tandingannya. Sekarang Batara Giri telah tua. Sebenarnya yang dapat menanggani adalah ayahmu.
“Ibu dan ayahmu ksatria hebat. Dua-duanya Ketua Murid semasa mereka sekolah dan teman seperguruan dari Nagasura! Kurasa misterinya adalah kenapa Nagasura berkhianat adalah karena ibumu. Kecantikan ibumu bah cantik bagai dewi. Ketiga adalah murid terbaik dari Saloka. Ayahmu, Ibumu dan Nagasura adalah hasil didikan langsung dari Batara Giri. Nagasura menginginkan ibumu. Tetapi ibumu menolaknya. Nagasura marah dia menculik ibumu saat kau dalam kandungan. Ayahmu berusaha menyelamatkan ibumu tetapi ayah dan ibumu mati bersama saat engkau terlahir.”
Permadi tiba-tiba menarik keluar saputangan yang sarigat kotor dan membuang ingus dengan bunyi seperti terompet.
“Maaf,” katanya. “Tetapi aku sedih sekali, aku kenal ibu dan ayahmu, tak ada orang lain sebaik mereka, pendeknya...
“Nagasura membunuh mereka. Dan kemudian, ini misteri yang sesungguhnya, dia mencoba bunuh kau juga. Mau habisi kalian sampai tuntas, kurasa, atau mungkin dia memang yang membunuh. Tetapi dia tidak bisa bunuh kau. Pernahkah kau bertanya-tanya bagaimana kau dapat bekas luka di dahimu? Itu bukan luka biasa. Itu yang kau dapat jika kekuatan hitam jahat tuh kau, berhasil tewaskan ibu dan ayahmu, bahkan hancurkan rumahmu, tetapi tidak mempan untukmu. Itulah sebabnya kau terkenal, Awan. Tak seorang pun bisa hidup setelah dia putuskan untuk membunuhnya. Tak seorang pun, kecuali kau, dan dia telah berhasil bunuh ksatria-ksatria terbaik pada zaman ini keluarga Punta, keluarga Subala, keluarga Arga, padahal kau masih bayi, dan kau hidup.”
Sesuatu yang menyakitkan berpusar dalam benak Awan.
Ketika cerita Permadi hampir tamat, dia melihat kembali cahaya hitam menyilaukan, lebih jelas daripada yang selama ini diingatnya. Dan dia juga ingat sesuatu yang lain, untuk pertama kali dalam hidupnya, tawa nyaring, dingin, dan bengis.
Permadi menatapnya dengan sedih.
“Aku Sendiri yang ambil kau dari rumahmu yang hancur, atas perintah Batara Giri. Kubawa kau ke keluarga ini...”
“Omong kosong besar,” kata Paman Raketi. Awan melompat. Ia nyaris lupa keluarga Raketi ada di situ. Paman Raketi kelihatannya sudah mendapatkan kembali keberaniannya.  Dia mendelik kepada Permadi dan tangannya terkepal.
“Dengarkan aku, Awan” geramnya. “Kuakui kau memang agak aneh, tapi mungkin bisa dibereskan dengan dihajar.
Sedangkan tentang orangtuamu, mereka memang aneh, tak bisa dibantah, dan menurutku dunia ini lebih baik tanpa mereka, yang terjadi itu salah mereka Sendiri, bergaul dengan tukang-tukang ilusi. Mau apa lagi, sudah kuduga mereka akan berakhir begitu...”
Tetapi saat itu Permadi melompat bangun dari sofa dan menarik tongkat butut merah jambu dari dalam sakunya. Sambil mengacungkan tongkat itu ke arah Paman Raketi seperti pedang, dia berkata, “Kuperingatkan kau, Raketi, kuperingatkan kau, satu kata lagi saja...”
Menghadapi bahaya ditombak dengan ujung tongkat, keberanian Paman Raketi melempem lagi. Dia merapatkan diri ke dinding dan diam.
“Itu lebih baik,” kata Permadi, bernapas berat dan duduk lagi di sofa, yang kali ini melesak sampai ke lantai.
Awan, sementara itu, masih penasaran, masih ingin mengajukan ratusan pertanyaan.
“Tetapi apa yang terjadi pada Nag, maaf, maksudku, Sinten Menika?”
“Pertanyaan bagus, Awan. Hilang. Lenyap. Malam yang sama dia coba bunuh kau.  Membuat kau tambah terkenal. Itulah misteri yang paling besar. Soalnya... belakangan makin lama dia makin kuat, jadi kenapa dia harus pergi?
“Ada yang bilang dia mati. Omong kosong, menurutku. Tak tahu apakah masih ada cukup manusia di tubuhnya untuk bisa mati. Yang lain lagi bilang dia masih sembunyi, tunggu waktu yang tepat, tapi aku tidak percaya. Orang-orang yang tadinya jadi pengikutnya telah kembali ke kami. Beberapa di antaranya seperti kerasukan. Mana mungkin mereka balik ke kami kalau dia akan datang lagi.
“Kebanyakan dari kami duga dia masih ada entah di mana, tapi sudah kehilangan kekuatannya. Terlalu lemah untuk terus merajalela. Karena sesuatu pada dirimu menghabisi dia, Awan. Ada yang terjadi malam itu yang di luar perhitungannya, aku tak tahu apa itu, tak ada yang tahu, tetapi sesuatu pada dirimu membuat dia takluk.”
Permadi memandang Awan dengan hangat dan rasa hormat.
Tetapi Awan, alih-alih merasa senang dan bangga, merasa yakin ada kekeliruan besar.  Ksatria? Ia? Bagaimana mungkin ia ksatria? Ia telah melewatkan hidupnya dijadikan bulan-bulanan oleh Sakuni dan ditindas oleh Bibi Suketi dan Paman Raketi. Kalau memang ia ksatria, kenapa mereka tidak dihajarnya setiap kali mereka mencoba menguncinya di dalam lemari? Jika ia pernah mengalahkan ksatria dan ksatria paling hebat di dunia, bagaimana mungkin Sakuni selalu bisa menendang-nendangnya ke sana kemari seperti bola?
“Permadi,” katanya cemas. “Kurasa kau pasti keliru. Tidak mungkin aku ini ksatria.”  Betapa herannya ia, Permadi tertawa.
“Tidak mungkin ksatria, eh? Tidak pernahkah ada peristiwa-peristiwa yang terjadi setiap kali kau takut atau marah?”
Awan memandang perapian. Kalau dipikir-pikir... semua kejadian aneh yang membuat bibi dan pamannya marah kepadanya terjadi ketika ia, Awan, sedang marah atau sedih.
Ketika dikejar-kejar oleh geng Sakuni, entah bagaimana ia selalu bisa meloloskan diri... waktu cemas karena harus ke sekolah dengan potongan rambut yang konyol, rambutnya tiba-tiba tumbuh Sendiri... dan ketika Sakuni terakhir kali memukulnya, bukankah ia telah berhasil membalasnya, tanpa sadar?  Bukankah ia keras seperti baja dan tangan Sakuni kesakitan?
Awan kembali memandang Permadi, tersenyum, dan dilihatnya Permadi nyengir ang kepadanya.
“Lihat sendiri, kan?” kata Permadi. “Awan Negara, tidak mungkin ksatria, tunggu saja, kau akan terkenal di Saloka.”
Tetapi Paman Raketi tak akan mau menyerah tanpa perlawanan.
“Kan sudah kubilang ia tidak boleh pergi?” desisnya.  “Ia akan ke SMP N dan ia akan berterima kasih karenanya. Aku sudah membaca surat-surat itu dan katanya ia memerlukan segala macam sampah, buku silat dan pusaka dan...”
“Kalau ia mau pergi, Wusana hebat seperti kau tidak akan bisa larang ia,” geram Permadi. “Melarang anak Mustika dan Bumi Negara masuk Saloka! Kau gila. Namanya sudah terdaftar di sana sejak ia dilahirkan. Ia akan masuk sekolah ksatria paling terkenal di Indonesia. Tujuh tahun di sana, ia akan kenal dirinya lagi. Ia akan bergaul dengan anak-anak sejenisnya, kali ini, dan di bawah bimbingan kepala sekolah paling hebat yang dimiliki Saloka, Batara Giri Maulana...”
“Aku tidak mau membayar laki-laki tua sinting untuk mengajarinya ilmu ilusi gila,” teriak Paman Raketi.
“Dia sudah kelewatan. Mulut bicara sombong dihadapan para sesepuh,” Permadi memutar kembali badan. “Jangan berani-berani gelegarnya, menghina Batara Giri didepanku,”
Diayunkannya tangannya turun untuk menunjuk Sakuni. Ada kilatan cahaya ungu, bunyi seperti petasan, jeritan nyaring, dan detik berikutnya Sakuni menari-nari di tempat dengan tangan memegangi pantatnya yang gemuk, menjerit-jerit kesakitan. Ketika dia berbalik membelakangi mereka, Awan melihat ekor kerbau melingkar nongol dari lubang di celananya.
Paman Raketi menggerung. Seraya menarik Bibi Suketi dan Sakuni ke kamar satunya, dia melempar pandangan ketakutan untuk terakhir kali kepada Permadi, lalu membanting pintu menutup di belakang mereka.
Permadi menunduk menatap tongkatnya dan membelai jenggotnya.
“Harusnya tak boleh marah,” katanya menyesal, “tapi kan tidak berhasil. Maksudku mau ubah dia jadi kerbau, tapi kurasa dia sudah mirip sekali kerbau, tak banyak lagi yang bisa dilakukan.”
Dia melirik Awan dari bawah alisnya yang lebat.
“Aku akan berterima kasih kalau kau tidak sebut-sebut kejadian ini pada siapa pun di Saloka,” katanya. “Aku... ehm...sebetulnya tidak boleh menggunakan Ajian. Hanya boleh sedikit saja untuk ikuti kau dan antar surat-surat kepadamu dan belanja, salah satu alasan aku ingin sekali dapatkan tugas ini....”
“Kenapa kau tidak boleh menyulap?” tanya Awan.
“Oh, yah... aku dulunya sekolah di Saloka juga, tapi... ehm... aku dikeluarkan, jujur saja.  Waktu kelas tiga. Aku suka buat onar dan merusak peralatan kelas serta macam-macam lagi.  Tetapi Batara Giri izinkan aku tinggal sebagai pengawas hewan liar disana. Orang hebat, Batara Giri.”
“Kenapa kau dikeluarkan?”
“Sudah malam dan banyak yang harus kita lakukan besok,” kata Permadi keras-keras “Harus ke kota, beli buku-buku dan peralatanmu.”
Permadi melepas sebuah selendang dari ikat pinggangnya yang tebal dan melemparkannya kepada Awan.
“Bisa kau jadikan selimut,” katanya. “Malam ini mungkin bintang akan bersinar, sinar terang seperti cahaya dibalik dirimu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar