Binatang Seleksi Karya Hermawan - Sastra Education

Breaking

Rabu, 15 Januari 2020

Binatang Seleksi Karya Hermawan

Pintu langsung membuka. Seorang perempuan jangkung berdiri disana
memakai jubah hijau kelabu. Wajahnya nampak galak, pikiran pertama Awan adalah,
jangan sampai membuat ksatria ini marah.
“Kelas satu, Dewi Fatimah,” kata Permadi.
“Terima kasih, Permadi. Biar aku ambil sekarang.”
Dibukanya pintu lebar-lebar. Aula di belakang pintu luas sekali, seluruh rumah
keluarga Raketi bisa dipindahkan ke situ. Dinding batunya diterangi obor-obor
menyala seperti di Ambarawa. Langit-langitnya tinggi sekali sehingga tak bisa dilihat,
dan ada tangga pualam megah di depan mereka, menuju ke lantai atas.
“Kalian sudah sholat,” kata Dewi Fatimah.
“Sudah,” kata semua anak kelas satu.
Anak-anak mengikuti Dewi Fatimah melintasi lantai batu kotak-kotak. Awan
bisa mendengar dengung ratusan suara dari pintu di sebelah kanan, murid-murid
lainnya pastilah sudah di sana, tetapi Dewi Fatimah membawa murid-murid kelas
satu ke kamar kecil kosong di luar aula. Mereka bergerombol, berdiri lebih
berdekatan daripada biasanya, memandang berkeliling dengan cemas.
“Selamat datang di Saloka,” kata Dewi Fatimah.
“Pesta awal tahun ajaran baru akan segera dimulai, tetapi sebelum kalian mengambil
tempat duduk di Aula Besar, kalian akan diseleksi masuk rumah Ksatrian mana.
Seleksi ini upacara yang sangat penting karena, selama kalian berada di sini, Ksatrian
kalian akan menjadi semacam keluarga bagi kalian di Saloka.
Kalian akan belajar dalam satu kelas dengan teman-teman seKsatrian kalian,
tidur di Ksatrian kalian, dan melewatkan waktu luang di ruang rekreasi Ksatrian kalian.
“Ada empat Ksatrian di sini, Plangkawati, Pringgodani, Jodhipati dan,
Madukara. Masing-masing Ksatrian punya sejarah luhur dan masing-masing telah
menghasilkan ksatria hebat. Selama kalian di Saloka, prestasi dan kemenangan kalian
akan menambah angka bagi Ksatrian kalian, sementara pelanggaran peraturan akan

membuat angka Ksatrian kalian dikurangi. Pada akhir tahun, Ksatrian yang berhasil
mengumpulkan angka paling banyak akan dianugerahi Piala Ksatrian, suatu
kehormatan besar. Kuharap kalian semua akan membawa kebanggaan bagi Ksatrian
mana pun yang akan kalian tempati.


“Upacara seleksi akan berlangsung beberapa menit lagi di hadapan seluruh
penghuni sekolah. Kusarankan kalian merapikan diri sebisa mungkin selama
menunggu.”
Dewi Fatimah seperkian detik diam.
“Ini hampir isya,” kata Dewi Fatimah. “Seberang sana ada mushala, kalian bisa
bergiliran untuk sholat.”
Matanya sejenak menatap pakaian Norman, yang dikancingkan di bawah
telinga kirinya, dan hidung Man yang ada kotoran hitamnya. Awan dengan gelisah
mencoba meratakan rambutnya.
“Aku akan kembali kalau kami sudah siap menerima kalian,” kata Dewi
Fatimah. “Tunggu di sini dan jangan ribut.”
Dia meninggalkan ruangan. Awan menelan ludah.
Adzan menggema. Entah dari mana suara itu berasal. Memang dalam bangunan
itu ada masjid, jika ada dimana?
“Jangan terlalu dipikirkan,” ucapkan Man. “Kita lebih baik sholat isya. Jangan
sampai kita menunda ibadah yang diwajibkan.”
“Oke,” kata Awan.
Mereka secara bergiliran mengambil air wudlu. Sholat isya berjama’ah giliran
dilaksanakan dengan khusyu. Awan tak tahu kalau Man sangat fasih membaca Al
Quran. Dia terlihat tidak gugup menjadi iman. Bacaannya memang merdu didengarkan.
Hati Awan begitu lulai mendengar syadhu lantunannya. Mereka telah selesai
menuaikan ibadah sholat isya’.
“Bagaimana cara mereka menyeleksi kita masuk Ksatrian?” tanyanya kepada
Man.
“Dengan semacam tes, kurasa. Kata Sekutrem prosesnya menyakitkan sekali,
tetapi kurasa dia cuma bergurau.”
Hati Awan mencelos. Tes? Di depan seluruh sekolah? Tetapi ia sama sekali tak
tahu apa-apa tentang ajian atau kanuragan apa yang harus dilakukannya? Ia tidak
menyangka akan ada tes begitu mereka sampai. Ia memandang berkeliling dengan
cemas dan melihat bahwa anak-anak lain juga sama takutnya.
Tak ada yang banyak bicara kecuali Kirana Bara, yang dalam bisikan
mengucapkan dengan cepat semua mantra yang telah dipelajarinya dan bertanyatanya sendiri mantra mana yang akan diperlukannya. Awan berusaha keras untuk tidak
mendengarkannya. Belum pernah ia secemas ini, belum pernah. Bahkan ketika ia harus
membawa laporan dari sekolah kepada keluarga Raketi bahwa entah bagaimana ia telah
menghancurkan tempat umum sekolah, ia tidak secemas ini.
Matanya diarahkannya ke pintu. Setiap saat Dewi Fatimah bisa kembali dan
membawanya menyongsong malapetaka.
Kemudian sesuatu terjadi yang membuatnya terlonjak sekitar tiga puluh senti
ke atas, beberapa anak di belakangnya menjerit.
“Ada a...?”
Awan ternganga. Begitu juga anak-anak di sekitarnya. Kira-kira dua puluh
hantu baru saja masuk menembus dinding belakang. Putih berkilau bagai mutiara dan
agak transparan, mereka melayang di ruangan, sibuk mengobrol dan nyaris tidak
mempedulikan murid-murid kelas satu. Kelihatannya mereka sedang bertengkar.
Hantu yang kelihatan seperti gaib kecil gemuk berkata, “Maafkan dan lupakan.
Menurutku kita harus, memberinya kesempatan kedua...”
“Gaibku sayang, bukankah kita sudah memberi Jaya semua kesempatan yang
layak diterimanya? Dia membuat kita semua mendapat nama buruk dan kau tahu, dia
bahkan bukan hantu betulan, eh, ngapain kalian semua di sini?” Hantu yang memakai
kerah rimpel dan celana ketat tiba-tiba menyadari ada murid-murid kelas satu.
Tak ada yang menjawab.

“Murid-murid baru!” kata si gaib gemuk, memandang berkeliling sambil tersenyum.
“Akan segera diseleksi, kan?” Beberapa anak mengangguk tanpa suara.
“Mudah-mudahan kita ketemu lagi di Plangkawati!” kata si gaib.
“Ksatrianku dulu di situ.”
“Minggir kalian,” terdengar suara tegas. “Upacara seleksi akan segera dimulai.”
Pukul delapan malam.
Dewi Fatimah telah kembali. Satu demi satu, hantu-hantu itu melayang keluar
menembus dinding yang berhadapan.
“Kalian sudah sholat,” tanyanya.
“Sudah,” jawab mereka semua.
“Sekarang berbaris satu-satu,” kata Dewi Fatimah, kepada anak-anak kelas
satu, “dan ikuti aku.”
Merasa berat seakan kakinya berubah jadi timah, Awan masuk barisan di
belakang anak berambut kecokelatan, dengan Man di belakangnya. Mereka berjalan
meninggalkan ruangan itu, kembali ke aula depan dan masuk lewat sepasang pintu
ganda ke Aula Besar.
Awan tak pernah membayangkan ada tempat seaneh dan sehebat itu. Aula ini
diterangi ribuan lilin yang melayang-layang di udara di atas empat meja panjang.
Murid-murid kelas yang lebih tinggi duduk mengelilingi keempat meja itu. Meja-meja
ini dipenuhi piring dan piala keemasan berkilau. Di ujung Aula, di tempat yang lebih
tinggi, ada meja panjang lain, tempat para guru duduk. Dewi Fatimah membawa muridmurid kelas satu ke sana, sehingga mereka berhenti dalam satu barisan panjang,
menghadap murid-murid yang lain, dengan para guru di belakang mereka. Ratusan
wajah yang memandang mereka kelihatan seperti lentera pucat di bawah kelap-kelip
cahaya lilin.
Bertebaran di sana-sini di antara para murid, hantu-hantu berkilau bagai kabut
keperakan. Untuk menghindari begitu banyak mata yang menatapnya, Awan
memandang ke atas dan melihat langit-langit hitam bagai beludru dengan

bintangbintang bertebaran. Didengarnya Kirana berbisik, “Dirubah supaya tampak
seperti langit di luar. Aku baca dalam buku Sejarah Saloka.”
Sulit membayangkan bahwa di atas situ ada langit-langit, dan bahwa Aula
Besar itu tidak langsung membuka ke langit.
Ada empat hewan didepan barisan murid kelas satu. Gajah perkasa mewakili
Jodhipati. Elang raja langit mewakili Pringgodani. Kancil yang cerdik mewakili
Plangkawati. Monyet yang pintar mewakili Madukara.
Mungkin mereka harus mencoba melawan para binatang Ksatrian, pikir Awan
panik. Kelihatannya begitu, karena semua orang di Aula sekarang mengarahkan
pandangan ke binatang itu. Awan juga memandangnya. Selama beberapa detik, hanya
ada kesunyian total. Kemudian para hewan itu memutari barisan murid kelas satu.
Hewan-hewan wakil Ksatrian itu terlihat agak kasar dan galak.
“Oh, mungkin menurutmu kami buas, Tapi jangan menilaiku dari
penampilanku, Berani taruhan takkan bisa kau temukan binatang yang lebih pandai
dariku. Pakaian boleh putih bersih, bangklonmu licin dan datar, Aku mengungguli
semua itu Karena di Saloka ini, aku Binatang Seleksi. Tak ada apa pun dalam
pikiranmu yang bisa kau sembunyikan dariku, Jadi majulah ke depan dan kami akan
kuberitahu Ksatrian mana yang cocok untukmu.
Mungkin kau sesuai untuk Jodhipati,
Tempat berkumpul mereka yang berhati berani dan jujur,
Keberanian, keuletan, dan kepahlawanan mereka,
Membuat nama Jodhipati masyhur;
Mungkin juga Plangkawati-lah tempatmu,
Bersama mereka yang adil dan setia,
Penghuni Plangkawati sabar dan loyal Kerja keras bukan beban bagi mereka;
Atau siapa tahu di Pringgodani,
Kalau kau cerdas dan mau belajar,
Ini tempat para bijak dan cendekia,
Ajang berkumpul mereka yang pintar;

Atau bisa juga di Madukara Kau menemukan teman sehati,
Orang-orang licik ini menggunakan segala cara Untuk mendapatkan kepuasan
pribadi.
Jadi, segeralah maju ke hadapanku! Janganlah takut dan jangan ragu! Dijamin
kau akan aman. Karena kami Binatang Seleksi-mu!”
Seluruh Aula meledak dalam tepuk tangan riuh rendah ketika binatang seleksi
itu mengakhiri nyanyiannya. Para binatang itu membungkuk ke arah barisan depan
siswa kelas satu.
“Jadi kita harus menghadap para binatang itu!” Man berbisik kepada Awan.
“Kubunuh Sekutrem. Dia bilang kita harus berkelahi dengan Detya.”
Awan tersenyum lemah. Ya, menghadap binatang memang jauh lebih baik
daripada bertarung, tetapi sebetulnya ia lebih suka kalau bisa melakukannya tanpa
ditonton semua orang. Binatang itu rasanya menuntut terlalu banyak. Awan tidak
merasa berani ataupun cerdas atau apa pun juga pada saat ini. Kalau saja binatang itu
menyebutkan Ksatrian bagi mereka yang merasa gelisah dan mau muntah, Ksatrian
itulah yang paling cocok untuknya. Dewi Fatimah maju memegangi gulungan
perkamen panjang.
“Yang disebut namanya harap maju dan diam berdiri sampai binatang Ksatrian
memilih kalian,” katanya. “Ganda, Hanna!”
Seorang anak perempuan berwajah merah dengan rambut hitam dibuntut kuda
keluar dari barisan, memakai hijab, yang langsung melorot menutupi matanya, dan
duduk.
Sejenak kemudian...binatang kancil mendatanginya
“PLANGKAWATI!” teriak si kancil.
Meja di sebelah kanan bersorak dan bertepuk tangan ketika Hanna mendekat
dan duduk di meja Plangkawati. Awan melihat hantu Gaib Gemuk melambailambaikan tangan dengan gembira ke arah Hanna.
“Ruda, Susan!”
Kancil mendekati sambil memutarinya.

“PLANGKAWATI!” teriak si Kancil, dan Susan berlari untuk duduk di sebelah
Hanna.
“Wiji, Tantri!”
Elang raja langit terbang mengelingi sementara hewan lain diam tanpa gerak.
“PRINGGODANI!”
Meja kedua dari kiri ganti bertepuk kali ini, beberapa anak Pringgodani berdiri
untuk berjabat tangan dengan Tantri ketika dia telah bergabung dengan mereka.
“Brata, Mulan” sang Elang langsung mendekati, juga ke Pringgodani, tetapi
“Baja, Lana” menjadi anggota baru Jodhipati yang pertama dan meja di ujung kiri
meledak bersorak-sorai. Awan melihat kedua kakak kembar Man berteriak-teriak.
Yang berikutnya, “Brema, Mega”,
Seekor monyet menghampiri langsung Mega.
“Madukara,” teriak si monyet.
Mungkin hanya sekadar bayangan Awan setelah segala sesuatu yang
didengarnya tentang Madukara, tetapi baginya anak-anak Madukara kelihatannya tidak
menyenangkan.
Awan benar-benar mau muntah sekarang. Ia ingat acara pemilihan regu
olahraga di sekolahnya yang dulu. Ia selalu dipilih paling belakangan, bukan karena ia
tak bisa berolahraga, tetapi karena tak seorang pun mau Sakuni mengira mereka
menyukai Awan.
“Flame, Juna!”
Kancil sergap menghampiri tanpa basa-basi.
“PLANGKAWATI!”
Kadang-kadang, Awan memperhatikan, Binatang langsung meneriakkan nama
Ksatrian, tetapi bisa juga lama baru memutuskan. “Fly, Sumpena”, anak laki-laki
berambut cokelat di depan Awan duduk di bangku hampir semenit penuh sebelum si
binatang memutuskan Jodhipati untuknya.
“Bara, Kirana!”
Gajah dan Monyet mengitari sang dyah, melihat-lihat dengan seksama

“JODHIPATI!” teriak si gajah.
Man mengeluh. Pikiran mengerikan melintas di benak Awan. Seperti biasa
pikiran mengerikan selalu muncul bila kau sedang sangat cemas. Bagaimana jika ia
tidak dipilih? Bagaimana kalau para binatang tidak memilihnya dan menyatakan
bahwa jelas ada kekeliruan, lalu menyuruhnya kembali ke kereta?
Ketika Norman Layana, anak yang selalu kehilangan kataknya, dipanggil
namanya, dia terjatuh waktu berjalan ke bangku. Si binatang perlu waktu lama untuk
mengambil keputusan bagi Norman. Ketika akhirnya binatang itu meneriakkan.
“JODHIPATI”,
Bronto berjalan dengan sok ketika namanya dipanggil dan keinginannya
langsung terkabul. Begitu dihadapan para binatang, para binatang langsung berteriak,
“MADUKARA!”
Bronto bergabung dengan teman-temannya Cingkara dan Yama, wajahnya
kelihatan puas.
Tidak banyak lagi yang tinggal sekarang.
“Mansyur”... “Nani”... “Pariangan”... kemudian sepasang gadis kembar, “Pati”
dan “Pati”... kemudian “Parsi, Salli-Anni”... dan kemudian, akhirnya... “Negara,
Awan!” Saat Awan melangkah ke depan, bisik-bisik tiba-tiba menjalar seperti api yang
mendesis di seluruh aula.
“Negara, dia menyebut begitu?”
“Si Awan Negara yang itu?”
Awan merasa dalam hukuman karena para binatang Ksatrian terlihat tajam
memandangnya.
“Hmmm,” terdengar suara kecil di telinganya. “Sulit. Sangat sulit. Bawa Ajian
sangat lemah tetapi Praba sangat kuat, sakti mandraguna. Keberanian besar, rupanya.
Otak juga encer. Ada bakat, oh, astaga, ya, dan kehausan untuk membuktikan diri, ah,
itu menarik... Jadi, sebaiknya di mana kau kutempatkan?”
“Madukara,” teriak si monyet.
“Jodhipati,” teriak si gajah.

“Plangkawati,” teriak si kancil.
“Pringgodani,” teriak si elang.
Para murid ternganga melihat kejadian aneh. Para binatang Ksatrian memilih
semua, “bagaimana ini dewi?” teriak semua murid.
Awan merasa bingung. Pikiran tak karuan bila nanti ia akan dipulang pasti ia
akan kembali ke tempat yang tidak menyenangkan.
Awan mencengkeram tangan dan bajunya dan membatin, Jangan Madukara,
“jangan Madukara.”
“Jangan Madukara, eh?” kata suara kecil itu. “Kau yakin? Kau bisa jadi ksatria
hebat lho, semuanya ada di kepalamu, dan Madukara bisa membantumu mencapai
kemasyhuran, tak diragukan lagi, tidak?”
“Bagaimana ini Batara Giri?” tanya Dewi Fatimah.
“Kita melihat kejadian aneh dalam seleksi ini,” kata Batara Giri. “Kejadian
langka yang mungkin terjadi. Anak baru Saloka mendapatkan sambutan luar biasa dari
para binatang Ksatrian. Bagaimana Negara pilihanmu?”
“Aku belum mendengar tentang keempat Ksatrian itu,” kata Awan, tetapi kata
sahabatku banyak yang bilang bahwa Jodhipati merupakan tempat yang
menyenangkan. Maka aku pilih Jodhipati.”
Awan memilih tempat dimana sahabat dan keberanian selalu bersama untuk
melakukan hal-hal luar biasa. Awan mengucap kata terakhir itu ke aula. Ia berjalan
dengan gemetar menuju meja Jodhipati. Ia lega sekali sudah dipilih dan tidak
ditempatkan di Madukara, sehingga ia nyaris tidak memperhatikan bahwa ia mendapat
sambutan yang paling meriah. Sakri si Pramugari bangkit dan menjabat tangannya
dengan penuh semangat, sementara si kembar Yuda memekik, “Kami dapat Negara!
Kami dapat Negara!” Awan duduk berhadapan dengan hantu berkerah rimpel yang
sebelumnya sudah dilihatnya. Si hantu mengelus lengannya, membuat Awan merasa ia
mendadak dicemplungkan ke dalam seember air es. Awan mendapatkan jubah
Jodhipati berlambang gajah perkasa di dada kirinya dan lambang Saloka di didada
kanannya.

Awan bisa melihat Meja Tinggi dengan jelas sekarang. Di ujung yang paling
dekat duduk Permadi, yang bertatap mata dengannya dan mengacungkan kedua ibu
jarinya. Awan balas tersenyum. Dan di tengah Meja Tinggi itu, dalam kursi besar emas,
duduklah Batara Giri, Awan langsung mengenalinya dari kartu yang didapatnya dari
Cokelat Kodok di kereta api tadi. Rambut keperakan Batara Giri adalah satu-satunya
di dalam Aula yang berkilau sama terangnya dengan para hantu. Awan melihat Somad
juga, si laki-laki muda gugup yang ditemuinya di Semarang. Somad kelihatan aneh
sekali dengan memakai turban besar ungu.
Sekarang tinggal tiga anak lagi untuk diseleksi. “Tiger, Dian” seorang anak
laki-laki berkulit hitam dan lebih tinggi dari Man, bergabung dengan Awan di meja
Jodhipati. “Turbin, Lisa” menjadi anggota Pringgodani, dan kemudian tibalah giliran
Man. Man sudah pucat pasi sekarang. Awan menyilangkan jari di bawah meja,
mengharap keberuntungan dan sedetik kemudian si binatang berteriak, “JODHIPATI!”
Awan bertepuk keras bersama yang lain sementara Man terenyak duduk di kursi
di sebelahnya.
“Bagus sekali, Man, hebat,” kata Sakri Yuda bangga, sementara “Zamini,
Betari” dinyatakan masuk Madukara.
Dewi Fatimah menggulung perkamennya dan mengembalikan para binatang
Seleksi ke tempat Ksatrian berada. Awan menatap piring emasnya yang kosong. Ia baru
sadar betapa laparnya ia. Pastel labu tadi serasa sudah seabad lamanya.
Batara Giri berdiri sudah berdiri. Dia tersenyum kepada anak-anak, lengannya
terbuka lebar-lebar, seakan tak ada yang lebih membuatnya senang daripada melihat
mereka semua ada di sana.
“Selamat datang!” katanya. “Selamat datang untuk mengikuti tahun ajaran baru
di Saloka. Sebelum kita mulai acara makan kita, aku ingin menyampaikan beberapa
patah kata. Inilah dia:
Dungu! Gendut! Aneh! Jewer!
“Terima kasih!”

Dia duduk kembali. Semua anak bertepuk tangan dan bersorak. Awan tak tahu
apakah dia harus tertawa atau tidak.
“Apa dia, agak sinting?” tanyanya ragu-ragu kepada Sakri.
“Sinting?” kata Sakri dibuat-buat. “Dia jenius! Ksatria paling hebat di dunia!
Tapi dia memang agak sinting, ya. Kentang, Awan?”
Mulut Awan ternganga. Piring-piring di depannya sekarang penuh berisi
makanan. Belum pernah ia melihat begitu banyak makanan yang ingin dimakannya
terhidang di satu meja.
Gudeg ayam kampung, rendang kambing, mie ayam, mie bakso, opor ayam,
kentang goreng, kentang rebus, puding, kacang, wortel, kaldu, saus tomat, bahkan mie
syetan.
Keluarga Raketi memang tidak membuat Awan kelaparan, tetapi ia tidak
pernah diizinkan makan sebanyak yang ia inginkan. Sakuni selalu mengambil apa saja
yang diinginkan Awan, meskipun itu membuatnya sakit perut kekenyangan. Awan
mengisi piringnya dengan semua makanan sedikit-sedikit, kecuali mie syetan, lalu
mulai makan. Semuanya enak
“Kelihatannya enak,” kata hantu berkerah rimpel dengan sedih, memandang
Awan memakan gudegnya.
“Tak bisakah kau...?”
“Aku sudah tidak makan selama hampir empat ratus tahun,” kata si hantu.
“Tidak perlu sih, memang, tapi kadang-kadang kepingin juga. Kurasa aku belum”
“Aku tahu siapa kau!” kata Man tiba-tiba. “Kakak-kakakku sudah bercerita
tentang kau, kau Nabata si Kepala Nyaris Putus!”
“Aku lebih suka kalian memanggilku Bang Freng...,” kata si hantu kaku, tetapi
Sumpena Fly si rambut cokelat menyela.
“Kepala Nyaris Putus? Bagaimana kau bisa disebut Kepala Nyaris Putus?”
Bang freng tampak jengkel sekali, seakan obrolan kecil mereka tidak berlangsung
seperti yang diharapkannya.

“Begini,” katanya sebal. Dia memegang telinga kirinya, lalu menariknya.
Seluruh kepalanya terlepas dari lehernya dan jatuh ke bahunya, seakan tergantung pada
engsel. Jelas ada orang yang mencoba memenggal kepalanya, tetapi tidak
melakukannya dengan sempurna. Puas melihat kekagetan mereka, Nabata si KepalaNyaris-Putus mengembalikan kepala ke lehernya, berdeham, dan berkata, “Jadi
anggota baru Jodhipati! Kuharap kalian akan membantu kami memenangkan
Kejuaraan Antar-Ksatrian tahun ini. Belum pernah Jodhipati tidak menang sampai
selama ini. Madukara mendapatkan piala selama enam tahun berturut-turut! Si Bagong
Berdarah itu sudah jadi sok dan menyebalkan sekali, dia hantu Madukara.”
Awan memandang ke meja Madukara dan melihat hantu mengerikan duduk di
sana, dengan mata menatap kosong, wajah pucat, dan jubah penuh bercak darah
keperakan. Dia duduk di sebelah Bronto dan Awan girang melihat Bronto kelihatannya
tidak senang dengan pengaturan tempat duduk ini.
“Bagaimana dia bisa berlumuran darah begitu?” tanya Sumpena penuh ingin
tahu. “Aku tak pernah tanya,” jawab Nabata si Kepala Nyaris Putus.
Ketika semua sudah makan sekenyang mungkin, sisa makanan lenyap begitu
saja dari piring-piring, dan piring-piring langsung bersih berkilauan seperti semula.
Sesaat kemudian makanan penutup bermunculan. Aneka puding, es krim segala rasa,
pai apel, kue tar karamel, sus cokelat, donat cokelat, selai, Kacang, madu, jeli....
Ketika Awan mengambil tar karamel, pembicaraan beralih ke keluarga.
“Aku setengah-setengah,” kata Sumpena. “Ayahku Wusana. Ibuku baru
memberitahu dia sesudah menikah. Bayangkan, betapa kagetnya Ayah.”
Mereka semua tertawa.
“Kalau kau bagaimana, Norman?”
“Aku dibesarkan Nenek dan dia ksatria,” kata Norman.
“Tetapi selama bertahun-tahun seluruh keluarga mengira aku Wusana. Adik
nenekku, Kakek Alga, berkali-kali menjebakku untuk memancing keluarnya bawa atau
praba dariku, bahkan dia pernah mendorongku sampai jatuh dari dermaga, aku nyaris
tenggelam, tapi tak ada yang terjadi sampai aku berumur delapan tahun. Kakek Alga

datang untuk minum teh bersama kami dan dia memegangiku terbalik pada
pergelangan kakiku dari jendela loteng, ketika adiknya, Nenek Eni, menawarinya kue
manis, dan tak sengaja dia melepas pegangannya. Tetapi aku selamat melambung
begitu saja di kebun lalu ke jalan.
Mereka senang sekali. Nenek sampai menangis saking senangnya. Dan kalian
seharusnya melihat wajah mereka waktu aku masuksoalnya mereka tidak mengira aku
punya kekuatan Ajian untuk bisa masuk lagi. Kakek Alga puas sekali, sehingga dia
membelikan aku katakku itu.”
Di sisi lain Awan, Sakri Yuda dan Kirana membicarakan pelajaran (“Kuharap
mereka langsung memulai pelajaran, banyak sekali yang harus dipelajari. Aku terutama
tertarik pada Transfigurasi, tahu kan, mengubah sesuatu menjadi sesuatu yang lain.
Tentu saja ini sulit sekali...”,
“Mulainya kecil-kecil dulu, korek api jadi jarum dan semacamnya...”).
Awan yang mulai merasa hangat dan mengantuk, menatap Meja Tinggi lagi.
Permadi sedang asyik minum dari cangkirnya.
Dewi Fatimah sedang bicara dengan Batara Giri. Somad, dengan turbannya
yang ajaib, sedang bicara pada guru berambut hitam berminyak, dengan hidung
bengkok dan kulit pucat. Kejadiannya tiba-tiba sekali. Si guru berhidung bengkok
memandang melewati turban Somad langsung ke mata Awan, dan rasa sakit yang perih
dan panas menerpa bekas luka di dahi Awan.
“Ouch!” Awan menempelkan tangan di dahinya.
“Ada apa?” tanya Sakri.
“Ti-tidak ada apa-apa.”
Rasa sakit itu lenyap sama cepatnya dengan datangnya. Yang lebih sulit
dihilangkan adalah perasaan yang didapat Awan dari pandangan guru tadi, perasaan
bahwa dia sama sekali tidak menyukai Awan.
“Siapakah guru yang sedang bicara dengan Batara Somad?” Awan bertanya
kepada Sakri.

“Oh, kau sudah kenal Batara Somad, ya? Tidak heran dia kelihatan begitu
gelisah, itu Batara Saka. Dia mengajar Ramuan, tetapi sebetulnya tidak mau, semua
orang dia menginginkan jabatan Batara Somad. Si Saka itu tahu banyak tentang Ksatria
Hitam.”
Selama beberapa waktu Awan mengawasi Batara Saka, tetapi Batara Saka tidak
memandangnya lagi. Akhirnya makanan penutup juga lenyap dan Batara Giri berdiri
lagi. Aula langsung senyap.
“Ehem, cuma beberapa patah kata lagi setelah kita kenyang makan dan minum.
Ada beberapa pengumuman awal tahun ajaran yang akan kusampaikan.”
“Murid-murid kelas satu harus tahu bahwa hutan di sekeliling halaman itu
terlarang untuk dimasuki bagi siapa saja. Dan beberapa murid kelas lebih tinggi
sebaiknya juga ingat ini.”
Mata Batara Giri yang bersinar terarah kepada si kembar Yuda.
“Aku juga diminta oleh Pak Tiwul, penjaga sekolah, untuk mengingatkan
kalian semua, bahwa bawa atau praba tak boleh digunakan pada saat pergantian kelas
di koridor-koridor.
“Pemilihan pemain Braja akan diadakan pada minggu kedua semester ini. Siapa
saja yang berminat bermain untuk tim Ksatriannya, silakan menghubungi Bu Hera.
“Dan yang terakhir, aku harus menyampaikan kepada kalian bahwa tahun ini,
koridor lantai tiga sebelah kanan sebaiknya dihindari oleh mereka yang tak ingin mati
penuh penderitaan.”
Awan tertawa, tetapi ia hanya salah satu dari sedikit yang tertawa. “Dia tidak
serius, kan?” dia bergumam kepada Sakri.
“Serius,” kata Sakri, seraya mengerutkan kening memandang Batara Giri.
“Aneh, karena biasanya dia memberi kita alasan kenapa kita tidak boleh masuk ke
tempat tertentu, hutan itu penuh binatang berbahaya, semua tahu itu. Menurut aku
paling tidak seharusnya dia memberi tahu para Pramugari.”
“Dan sekarang, sebelum kita tidur, marilah membaca Surat Al Ikhlas!” seru
Batara Giri. Awan memperhatikan bahwa guru-guru lainnya semua tersenyum.

“Dan kita mulai!”
Dan alunan ayat-ayat Al Quran membahana:
Bismillahirrohmaanirrohiim
Qul Huwalloohu Ahad
Alloohush Shomad
Lam Yalid Wa Lam Yuulad
Wa Lam Yakul Lahuu Kufuwan Ahad kemudian dilanjutkan surat An-nas.
Masing-masing mengakhiri alunan Qs An-nas pada saat yang sama. Batara Giri
bertindak sebagai kaum, memimpin baris-baris terakhir alunan mereka dengan suara
emasnya, dan ketika mereka selesai, Batara Giri lenyap seketika.
“Ah, alunan,” katanya seraya menyeka matanya. “Lebih magis dari segala yang
kita pelajari di sini! Dan sekarang, waktunya tidur! Berangkat!”
Murid-murid kelas satu Jodhipati mengikuti Sakri menembus kerumunan
yang ramai mengobrol, meninggalkan Aula Besar dan menaiki tangga pualam. Kaki
Awan terasa berat seperti timah lagi, tapi kali ini karena ia lelah sekali dan
kekenyangan. Ia sudah sangat mengantuk sehingga tidak memperhatikan orangorang dalam lukisan yang tergantung di sepanjang koridor berbisik-bisik dan
menunjuk-nunjuk saat mereka lewat, atau bahwa Sakri membawa mereka melewati
pintu yang tersembunyi di balik panel somang dan permadani hiasan dinding.
Mereka menaiki lebih banyak tangga lagi, menguap dan menyeret kaki-kaki
mereka, dan Awan baru bertanya-tanya dalam hati berapa jauh lagi yang harus
mereka tempuh, ketika mendadak mereka berhenti.
Seikat tongkat melayang-layang di depan mereka dan ketika Sakri melangkah
maju, tongkat-tongkat itu melayang membenturnya.
“Bawor,” Sakri berbisik kepada anak-anak kelas satu. “Hantu jail.” Dia
mengeraskan suaranya, “Bawor, perlihatkan dirimu.”
Terdengar bunyi keras tidak sopan, seperti udara yang dikeluarkan dari balon.
“Kau ingin kupanggilkan Bagong Berdarah?”

Terdengar bunyi pop dan sesosok laki-laki kecil, dengan mata nakal berwarna
kelam dan mulut lebar, muncul, melayang bersila di udara, memegangi tongkat-tongkat
tadi.
“Oooooooh!” katanya sambil tertawa nakal. “Kelas satu! Asyik!” Mendadak
dia menyambar ke arah mereka. Anak-anak menunduk. “Enyah kau, Bawor. Kalau
tidak si Bagong akan dengar tentang semua ini. Betul!” bentak Sakri.
Bawor menjulurkan lidah dan menghilang, menjatuhkan tongkat-tongkat itu ke
kepala Norman. Mereka mendengarnya meluncur pergi, menyenggol baju-baju zirah
sampai berkelontangan.
“Kalian harus berhati-hati terhadap Bawor,” kata Sakri, ketika mereka
melanjutkan perjalanan lagi. “Si Bagong Berdarahlah satu-satunya yang bisa
mengontrolnya. Dia bahkan tak mau mendengarkan kami, para Pramugari. Nah, kita
sampai.”
Di ujung koridor tergantung lukisan dewi amat cantik memakai gaun merah
jambu.
“Kata kunci?” katanya.
“Bonggol,” jawab Sakri dan lukisan itu mengayun ke depan. Ternyata di
dinding di belakangnya ada lubang. Mereka semua masuk melewati lubang itu Norman
perlu didorong, dan tiba-tiba sudah berada di ruang rekreasi Jodhipati, ruangan bundar
nyaman penuh sofa empuk.
Sakri menyuruh anak-anak perempuan melewati satu pintu menuju ke kamar
tidur mereka, dan anak laki-laki lewat pintu yang lain. Di puncak tangga melingkar,
jelas mereka berada di salah satu menara, akhirnya mereka menemukan tempat tidur
mereka: lima tempat tidur besar dengan kelambu beludru merah tua. Koper-koper
mereka sudah dibawa naik. Sudah terlalu lelah untuk mengobrol mereka memakai
piama dan langsung rebah di tempat tidur.
“Makanannya enak sekali, ya?” gumam Man kepada Awan dari balik kelambu.
“Minggir, Sana. Dia menarik-narik sepraiku.”

Awan mau bertanya kepada Man kalau-kalau dia tadi makan kue tar karamel,
tetapi keburu tertidur.
Mungkin Awan makan agak terlalu banyak, karena ia bermimpi aneh sekali. Ia
memakai turban Batara Somad, yang terus berbicara kepadanya, menyuruhnya segera
pindah ke Madukara, karena sudah takdirnya begitu. Awan berkata kepada si turban ia
tidak mau pindah ke Madukara. Turban itu makin lama menjadi makin berat.
Dicobanya menariknya, tetapi si turban melilitnya semakin ketat sampai kepalanya
sakit, dan ada Bronto, menertawakannya sementara ia berkutat dengan si turban,
kemudian Bronto berubah menjadi si guru berhidung bengkok, Batara Saka, yang
tawanya melengking dan dingin, ada buncahan cahaya hijau dan Awan terbangun,
berkeringat dan gemetar.
Ia membalikkan tubuh dan langsung tertidur lagi, dan ketika terbangun
keesokan paginya, ia sama sekali tak ingat lagi mimpinya. Ia mengambil air wudlu dan
menuaikan ibadah sholat shubuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar