Dua Belas (Awan Negara (Jodhipati)) karya Hermawan - Sastra Education

Breaking

Rabu, 22 Januari 2020

Dua Belas (Awan Negara (Jodhipati)) karya Hermawan


Malam itu Sakuni berparade memakai seragam barunya di ruang keluarga. Murid-murid SMP Swasta memakai jas biru tua, celana biru selutut, dan bangklon biru rata. Mereka juga membawa tongkat, yang digunakan untuk saling pukuli kalau guru mereka sedang tidak melihat. Ini diandaikan sebagai latihan bagus untuk masa depan mereka.
Ketika memandang Sakuni dalam seragam barunya, Paman Raketi berkata parau bahwa ini saat paling membanggakan dalam hidupnya. Bibi Suketi menangis dan berkata dia tak percaya pemuda gagah dan tampan ini si Gempal Sakuni.
Awan tak bisa bicara. Ia pikir mungkin dua tulang iganya sudah retak gara-gara menahan tawa.
Dapur berbau busuk ketika Awan esok paginya turun untuk sarapan. Bau itu datangnya dari ember metal besar di tempat cuci piring. Awan melongoknya. Ember itu penuh gombal kotor yang mengapung di air berwarna putih.
“Apa ini?” tanyanya kepada Bibi Suketi. Bibir Bibi Suketi langsung cemberut, seperti biasanya jika Awan berani mengajukan pertanyaan.
“Seragam sekolahmu yang baru,” jawabnya. Awan memandang ke dalam ember lagi.
“Oh,” komentarnya. “Tak kusangka harus basah begitu.”

“Jangan bego,” tukas Bibi Suketi. “Aku sedang mencelup pakaian lama Sakuni dengan wenter putih untukmu. Kalau sudah selesai nanti, akan sama seperti punya yang lain.”
Awan jelas meragukan ini, tetapi ia pikir lebih baik tidak membantah. Ia duduk di depan meja makan dan mencoba tidak memikirkan bagaimana penampilannya pada hari pertamanya di SMP Negeri nanti, seperti memakai potongan-potongan kulit gajah tua, mungkin. Sakuni dan Paman Raketi muncul, keduanya mengernyitkan hidung gara-gara bau seragam Awan yang baru.
Paman Raketi seperti biasa membuka korannya dan Sakuni memukul-mukulkan tongkat kuningnya, yang selalu dibawanya ke mana-mana, di atas meja.
Mereka mendengar bunyi klik kotak surat dan jatuhnya surat-surat di keset.
“Ambil surat, Sakuni,” kata Paman Raketi dari blik korannya.
“Suruh saja Awan.”
“Ambil surat, Awan.”
“Suruh saja Sakuni.”
“Sodok dia dengan tongkat kuningmu, Sakuni.”
Awan menghindari sodokan tongkat kuning dan keluar untuk mengambil surat. Ada tiga benda tergeletak di keset: kartu pos dari adik perempuan Paman Raketi, Waketi, yang sedang berlibur di Pulau Bali, sebuah amplop cokelat yang kelihatannya berisi rekening tagihan, dan surat untuk Awan.
Awan mengambil dan menatapnya, jantungnya berdentang-dentang seperti elastik besar yang dikelintingkan Tak seorangpun sepanjang hidupnya menulis surat untuknya. Ia tak punya teman. Tak punya keluarga lain selain paman dan bibinya. Ia juga bukan anggota organisasi manapun atau anggota perpustakaan manapun. Jadi ia bahkan belum mendapat surat teguran kasar untuk mengembalikan buku pinjamannya. Tetapi ternyata jelas surat itu ditunjukkan padanya.
Awan Negara
Lemari di rumah Raketi
Perumahan Puri Indah no 4
Amplopnya tebal dan berat, terbuat dari perkamen kulit yang digunakan sebagai pengganti kertas. Warnanya kekuningan dan nama serta alamatnya ditulis dengan tinta hijau zamrud. Tak ada prangkonya. Membalik amplop itu dengan tangan gemetar, Awan melihat segel ungu bergambar lambang huruf “S” besar yang dikelilingi gajah, elang, kancil, dan monyet.
“Cepat sedikit, Awan!” teriak Paman Raketi dari dapur.
“Buat apa kau memeriksa kalau-kalau ada bom-surat?” Dia menertawakan leluconnya sendiri.
Awan kembali ke dapur, masih menatap suratnya.
Diserahkannya tagihan dan kartu pos pada Paman Raketi, lalu ia duduk dan pelan-pelan mulai membuka amplop kuningnya.
Paman Raketi merobek surat tagihan, mendengus jijik, dan membalik kartu pos.
“Waketi sakit,” dia memberitahu Bibi Suketi. “Makan kerang aneh...”
“Pak!” mendadak Sakuni berkata. “Pak, Awan dapat apa tuh!”
Awan sedang akan membuka lipatan suratnya, yang ditulis di atas kertas perkamen tebal yang sama dengan amplopnya, ketika tiba-tiba surat itu di ambil dari tangannya oleh Paman Raketi.
“Itu suratku!” kata Awan, berusaha merebutnya kembali.
“Siapa yang menulis padamu?” seringai Paman Raketi, sambil mengibaskan surat itu dengan satu tangan agar membuka. Dan melirik isinya. Wajahnya berubah warna dari merah ke hijau lebih cepat daripada lampu lalu lintas. Dan tidak berhenti di situ. Dalam sekejap saja wajahnya sudah putih abu-abu seperti bubur busuk.
“S-S-Suketi!” gagapnya.
Sakuni berusaha merebut surat itu untuk membacanya tetapi Paman Raketi mengangkatnya tinggi-tinggi sehingga jauh dari jangkauannya. Bibi Suketi mengambilnya dengan ingin tahu dan membaca kalimat pertamanya. Sesaat kelihatannya dia akan pingsan. Dia memegangi lehernya dan mengeluarkan suara seperti tercekik.
“Raketi! Oh, astaga... Raketi!”
Mereka berpandangan, tampaknya lupa bahwa Awan dan Sakuni masih berada di ruangan yang sama. Sakuni tidak biasa diabaikan. Diketuknya kepala ayahnya keras-keras dengan tongkat kuningnya.
“Aku mau membaca surat itu,” teriaknya.
“Aku mau membacanya,” kata Awan marah, “karena itu suratku.”
“Keluar, kalian berdua,” kata Paman Raketi parau, seraya memasukkan kembali surat itu ke dalam amplopnya.
Awan bergeming.
“Aku mau suratku!” teriaknya.
“Sini aku lihat!” Sakuni memaksa.
“Keluar!” gerung Paman Raketi. Dicengkeramnya kerah baju Awan dan Sakuni dan dicampakkannya mereka ke lorong, lalu dibantingnya pintu dapur menutup. Awan dan Sakuni segera berkelahi seru, tanpa suara, memperebutkan siapa yang boleh mendengarkan lewat lubang kunci. Sakuni menang, maka Awan berbaring tengkurap untuk mendengarkan dari celah antara pintu dan lantai.
“Raketi,” Bibi Suketi berkata dengan suara gemetar, “lihat alamatnya. Bagaimana mungkin mereka tahu di mana dia tidur?
Apa menurutmu mereka mengawasi rumah kita?”
“Mengawasi, memata-matai, mungkin juga membuntuti kita,” gumam Paman Raketi cemas.
“Tapi apa yang harus kita lakukan, Raketi? Apakah sebaiknya kita balas? Kita katakan bahwa kita tak ingin...”
Awan bisa melihat sepatu Paman Raketi yang hitam mengilap mondar-mandir di dapur.
“Tidak,” katanya akhirnya. “Tidak, kita abaikan saja Jika mereka tidak mendapat balasan... ya, itu yang paling baik... kita tak akan melakukan apa-apa...”
“Tetapi...”
“Aku tak mau dengar, Suketi! Bukankah kita sudah bersumpah waktu mengambilnya, bahwa kita akan membasmi omong kosong yang berbahaya itu?”
Sore itu sepulang kerja, Paman Raketi melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukannya. Dia mengunjungi Awan di dalam lemarinya.
“Mana suratku” tanya Awan begitu Paman Raketi berhasil menjejalkan diri melewati pintu. “Siapa yang menulis padaku?”
“Tidak ada. Surat itu keliru dialamatkan padamu,” kata Paman Raketi pendek. “Sudah kubakar.”
“Tidak keliru” kata Awan berang. “Di alamatnya tertulis lemariku.”
“Diam!” raung Paman Raketi dan dua ekor labah-labah terjatuh dari langit-langit lemari.  Dia menarik napas dalam beberapa kali dan kemudian memaksakan wajahnya tersenyum, kelihatannya memelas sekali.
'“Er... ya, Awan... tentang lemari ini. Bibimu dan aku sudah berpikir-pikir... kau sebetulnya sudah terlalu besar untuk tinggal di sini... kami rasa lebih baik jika kau pindah ke kamar Sakuni yang satunya.”
“Kenapa?” tanya Awan.
“Jangan tanya-tanya!” tukas pamannya.  “Bawa barang-barangmu ke atas, sekarang.”
Rumah keluarga Raketi punya empat kamar: satu untuk Paman Raketi dan Bibi Suketi, satu untuk tamu (biasanya adik Paman Raketi, Waketi), satu adalah kamar tidur Sakuni, dan  satunya lagi tempat  Sakuni  menyimpan  mainan  dan barang-barangnya  yang  tidak  muat  ditaruh  di kamar tidurnya.
Awan hanya perlu sekali angkut untuk memindahkan barang-barangnya dari lemari ke kamar ini. Ia duduk di tempat tidur dan memandang berkeliling. Hampir semua barang di kamar ini rusak. Kamera yang baru sebulan tergeletak di atas tank kecil yang ketika dikendarai Sakuni pernah melindas macan tetangga.
Di sudut ada televisi pertama Sakuni, yang ditendangnya sampai bolong ketika acara favoritnya batal ditayangkan. Ada sangkar burung besar, dulunya sangkar seekor burung nuri yang kemudian ditukar Sakuni di sekolah dengan senapan angin betulan. Apa itu sekarang ada di rak, larasnya bengkok kedudukan Sakuni. Rak-rak lain penuh buku. Hanya buku-buku itulah yang tampaknya tak pernah disentuh.
Dari bawah terdengar Sakuni berteriak-teriak kepada ibunya,
“Aku tak mau dia di sana... aku butuh kamar itu... suruh dia keluar....”
Awan menghela napas dan membaringkan diri di tempat tidur. Kemarin ia akan bersedia memberikan apa saja untuk bisa berada di kamar ini.  Hari ini ia lebih memilih berada kembali di lemarinya dengan surat itu daripada di sini tanpa surat.
Paginya saat sarapan, semua agak diam. Sakuni uring-uringan. Dia sudah menjerit-jerit, memukuli ayahnya dengan tongkat kuningnya, pura-pura sakit, menendang ibunya, dan melempar kura-kuranya ke jendela rumahnya sampai jendela itu berlubang, tapi tetap saja dia tidak memperoleh kembali kamarnya. Awan merenungkan saat jam begini kemarin dan menyesal sekali kenapa ia tidak membuka suratnya sewaktu masih di lorong. Paman Raketi dan Bibi! Suketi saling pandang dengan wajah keruh.
Ketika tukang pos tiba, Paman Raketi, yang kelihatannya mencoba berbaik-baik kepada Awan, menyuruh Sakuni mengambil surat. Mereka mendengar Sakuni memukul-mukulkan tongkat kuningnya sambil turun ke lorong.
Kemudian dia berteriak, “Ada surat lagi! Awan Negara, Kamar Paling Kecil, lemari rumah Raketi...perumahan Puri Indah rumah no 4”
Dengan pekik tertahan Paman Raketi melompat dari kursinya dan berlari turun. Awan dibelakangnya. Paman Raketi harus memiting Sakuni ke lantai untuk merebut surat itu, dan itu makin sulit dilakukannya karena Awan mengalungkan tangan ke leher Paman Raketi dari belakang. Setelah semenit pergulatan kalang kabut, dan semuanya kena pukul tongkat kuning, Paman Raketi bangkit berdiri, tersenggal-sengal dengan surat Awan terpegang erat di tangannya.
“Kembali ke lemarimu, maksudku, kamarmu,” katanya kepada Awan. “Sakuni... pergi... pergi.”
Awan berjiran bolak-balik mengitari kamar barunya. Ada yang tahu ia sudah pindah dari lemarinya dan mereka rupanya tahu ia belum menerima surat pertamanya. Jelas itu berarti mereka akan mencoba lagi. Dan kali ini ia akan memastikan mereka tidak akan gagal. Ia punya rencana.
Jam weker yang sudah dibetulkan berdering pukul enam keesokan paginya. Awan cepat-cepat mematikannya dan berganti pakaian tanpa menimbulkan suara. Jangan sampai keluarga Raketi terbangun. Diam-diam ia turun tanpa menyalakan lampu satupun.
Ia akan menunggu tukang pos di sudut rumahnya dan mengambil surat-surat untuk rumah nomor empat lebih dulu. Jantungnya berdegup kencang saat ia merayap di lorong gelap menuju pintu depan...
“Aaaaarrrgh!”
Awan kaget dan terlonjak, ia menginjak sesuatu yang besar dan empuk di keset, sesuatu yang hidup. Lampu menyala di loteng dan betapa kagetnya Awan, benda empuk yang diinjaknya tadi ternyata wajah pamannya. Paman Raketi sengaja tidur di depan pintu dalam kantong tidur.  Jelas dia bermaksud menghalangi Awan melakukan apa yang akan dilakukannya. Selama kira-kira setengah jam dia memarahi Awan, kemudian menyuruhnya membuat secangkir teh. Awan terseok sedih ke dapur, dan pada saat ia kembali, surat sudah datang, jatuh persis di pangkuan Paman Raketi. Awan bisa melihat tiga surat yang alamatnya ditulis dengan tinta hijau.
“Berikan...,” ia baru mau bicara, Paman Raketi sudah merobek-robek surat-surat itu di depan matanya. Paman Raketi tidak ke kantor hari itu.  Dia tinggal di rumah dan memaku kotak suratnya.
“Kalau mereka tidak bisa mengirim surat, mereka akan menyerah,” dia menjelaskan kepada Bibi Suketi dengan mulut penuh paku.
“Aku tak yakin, Raketi.”
“Oh, cara berpikir orang-orang ini aneh, Suketi! tidak seperti kita,” kata Paman Raketi  sambil memukul paku dengan sepotong kue buah yang baru saja dibawakan Bibi Suketi.
Hari sabtu surat datang bagai badai tak terhentikan, kotak surat penuh dengan surat untuk Awan, kotak kecil yang suratnya berserakan di bawah kotak surat. Bahkan surat itu dilemparkan ke kamar Awan dan diselipkan dibawah pintu.
Paman Raketi ada dirumah lagi. Setelah dia membakar seluruh surat, di mengeluarkan palu dan menutup semua celah depan dan belakang dengan papan. Sehingga tak seorangpun dapat keluar.
Hari berikutnya, terjadi diluar kendali, surat untuk Awan berterbangan dalam rumah dan luar rumah. Lebih dari seratus surat berhasil masuk kedalam rumah, digulung dan disembunyikan dalam dua lusin telur yang dijulurkan tukang susu, mereka yang sangat kebingungan kepada Bibi Suketi lewat jendela ruang keluarga. Sementara Paman Raketi marah-marah menelepon kantor pos dan perusahaan susu mencari orang yang bisa disalahkan, Bibi Suketi menghancurkan surat-surat itu dalam mixer makanannya.
“Siapa sih yang begitu ingin bicara denganmu?” Sakuni bertanya kepada Awan dengan keheranan.
Pada hari Minggu pagi, Paman Raketi duduk di meja untuk sarapan, kelihatan lelah tetapi senang.
“Tukang pos tidak datang pada hari Minggu,” dia mengingatkan mereka dengan riang seraya mengoleskan selai pada korannya, “jadi tak ada surat sialan hari ini...”
Ada yang berdesis meluncur turun dalam cerobong asap ketika Paman Raketi bicara, dan mengemplang belakang kepalanya. Detik berikutnya tiga puluh atau empat puluh surat meluncur-luncur dari perapian seperti peluru. Keluarga Raketi menunduk menghindar, tetapi Awan melompat mencoba menangkap satu di antaranya....
“Keluar! Keluar!”
Paman Raketi menangkap pinggang Awan dan melemparkannya ke lorong di luar. Setelah Bibi Suketi dan Sakuni keluar dengan lengan menutupi muka, Paman Raketi membanting pintu menutup. Mereka bisa mendengar surat-surat masih mengalir ke dalam ruangan, melenting-lenting mengenai dinding dan lantai.
“Sudah kelewatan,” kata Paman Raketi, berusaha berbicara dengan tenang, tapi pada saat bersamaan mencabuti kumisnya dengan panik. “Aku mau kalian semua kembali ke sini lima menit lagi, siap berangkat. Kita akan pergi. Bawa saja pakaian secukupnya. Jangan membantah!”
Paman Raketi kelihatan berbahaya sekali dengar separo kumisnya lenyap, sehingga tak seorang pun berani membantah. Sepuluh menit kemudian mereka berhasil keluar dari pintu yang sudah dipaku rapat dan berada dalam mobil, yang ngebut menuju jalan tol. Sakuni terisak-isak di jok belakang. Ayahnya tadi memukul kepalanya gara-gara mereka harus menunggunya mencoba menjejalkan televisi, video, dan komputernya ke dalam tas olahraganya.
Mobil terus meluncur. Terus meluncur. Bahkan Bibi Suketi pun tak berani bertanya ke mana mereka pergi. Sekali-sekali Paman Raketi tiba-tiba menikung tajam dan meluncurkan mobilnya ke arah berlawanan.
“Sesatkan mereka... sesatkan mereka,” gumam Paman Raketi setiap kali dia melakukan ini.
Mereka bahkan tidak berhenti untuk makan sepanjang hari.
Saat malam tiba, Sakuni sudah menangis meraung-raung. Belum pernah dia mengalami hari seburuk ini. Dia lapar, dia tidak bisa menonton lima acara televisi yang ingin ditontonnya, dan belum pernah dia melewatkan waktu selama tanpa meledakkan Alien di layar komputernya.
Paman Raketi akhirnya berhenti di depan hotel dalam kota besar. Sakuni dan Awan berbagi kamar dengan dua tempat tidur dan seprai lembap yang berbau lumut. Sakuni mendengkur, tetapi Awan tak bisa tidur. Ia duduk di ambang jendela, memandang lampu-lampu mobil yang lewat dan bertanya-tanya dalam hati....
Mereka makan cornflake melempem dan tengik serta tomat kalengan di atas roti panggang sebagai sarapan keesokan harinya. Baru saja selesai, pemilik hotel mendatangi mereka.
“Maaf, apakah satu diantara kalian ada yang bernama Awan Negara? Ada kira-kira dua ratus surat masuk ke resepsionis.”
Wanita itu mengangkat surat sehingga mereka bisa membaca alamat yang ditulis dengan tinta hitam:
Awan Negara
Kamar 17
Hotel Mercury
Jogjakarta
Awan ingin meraih surat itu. Tetapi paman Raketi menampar tangannya. Wanita itu terbelalak.
“Akan saya ambil,” kata paman Raketi. Cepat-cepat berdiri dan mengikutinya meninggalkan ruang makan.
“Apakah tidak sebaiknya kita pulang saja, Sayang?” Bibi Suketi menyarankan dengan takut-takut beberapa jam kemudian, tetapi Paman Raketi kelihatannya tidak mendengarnya. Entah apa yang dicarinya, tak seorang pun tahu.
Dia membawa mereka ke tengah hutan keluar dari mobilnya, memandang berkeliling, menggelengkan kepala, masuk lagi ke dalam mobil dan mobil pun meluncur lagi. Dia seperti bingung mau kemana tujuannya. Awan memandang alam sekitar, penuh pesona dan membahana. Mungkin ini yang disebut Kalibiru Kulonprogo. Kalibiru menjadi destinasi wisata yang banyak menarik perhatian wisatawan karena pesona dan keindahannya. Dari atas gardu pandang pengunjung bisa berfoto serta menikmati suasana alam di perbukitan dengan view Waduk Sermo dan Perbukitan Menoreh nan eksotis.
 “Bapak sudah gila, ya?” Sakuni bertanya kepada Bibi Suketi sore itu. Paman Raketi telah memarkir mobilnya di tepi pantai, mengunci mereka bertiga di dalamnya, lalu menghilang.
Hujan mulai turun. Tetesnya yang besar-besar mengetuk-ngetuk atap mobil. Sakuni tersedu-sedu.
“Ini hari senin,” katanya kepada ibunya. “Ada acara si Hebat Dragon Ball di televisi malam ini. Aku mau nonton.”
Senin.  Awan jadi ingat sesuatu. Kalau hari ini senin, dan Sakuni bisa diandalkan dalam hal ini, sehubungan dengan kegemarannya nonton televisi, maka besok, Selasa, adalah hari ulang tahun Awan yang kedua belas. Tentu saja hari-hari ulang tahunnya yang telah lewat bukanlah hari yang menyenangkan. Tahun lalu, misalnya, keluarga Raketi menghadiahinya satu gantungan mantel dan sepasang kaus kaki bekas Paman Raketi. Tapi, kita kan tidak berumur dua belas tiap hari.
Paman Raketi kembali sambil tersenyum. Dia juga membawa bungkusan kecil panjang dan tidak menjawab ketika ditanya Bibi Suketi apa yang dibawanya itu
“Sudah kutemukan tempat yang sempurna!” katanya. “Ayo, semua keluar!”
Di luar mobil udara dingin sekali. Paman Raketi menunjuk sesuatu yang kelihatan seperti batu karang besar yang menjorok ke laut. Bertengger di atas karang itu ada gubuk kecil yang sangat kumuh dan bobrok. Kelihatan menyedihkan sekali. Satu hal sudah jelas, tak ada televisi di gubuk itu.
“Malam ini diramalkan akan ada badai!” kata Paman Raketi senang, sambil menepukkan tangan. “Dan Bapak ini sudah berbaik hati mau meminjamkan perahunya!”
Seorang laki-laki tua ompong berjalan santai mendekati mereka. Sambil menyeringai agak jahat, dia menunjuk perahu dayung tua yang terapung-apung di air abu-abu gelap di bawah mereka.
“Aku sudah beli bekal untuk kita,” kata Paman Raketi, “jadi, semua naik!”
Dingin sekali di perahu, sampai mereka serasa membeku. Cipratan air laut dan tetes hujan sedingin es merayap menuruni tengkuk dan angin dingin menerpa wajah mereka. Setelah rasanya berjam-jam kemudian, tibalah mereka di batu karang.
Paman Raketi, terpeleset-peleset, memimpin menuju ke gubuk reyot itu.
Bagian dalam gubuk sungguh menjijikkan. Bau ganggang laut menyengat, angin bersuit-suit menembus lewat celah-celah di dinding papan. Perapiannya lembap dan kosong. Hanya ada satu kamar. Bekal Paman Raketi ternyata sebungkus keripik dan empat pisang untuk setiap orang. Dia mencoba menyalakan api, tetapi keempat bungkus keripik yang kini sudah kosong itu cuma mengerut dan berasap.
“Surat-surat itu sekarang bisa digunakan, eh?” katanya riang.
Paman Raketi sedang senang sekali. Jelas dia mengira tak akan ada orang yang bisa mengejar mereka dalam badai untuk mengantar surat. Awan dalam hati mengakui, dan ini membuatnya sedih. Ketika malam tiba, badai yang dijanjikan menerjang di sekitar mereka. Cipratan air dari ombak-ombak yang bergulung tinggi menyembur ke dinding pondok dan angin kencang mengguncangkan jendela-jendela yang kotor. Bibi Suketi menemukan beberapa selimut apak bulukan dari kamar dan menyiapkan tempat tidur untuk Sakuni di sofa yang sudah berlubang- lubang dimakan rayap. Dia dan Paman Raketi tidur di  tempat  tidur  reyot  di  kamar  dan  Awan  dibiarkan mencari Sendiri tempat yang paling empuk di lantai dan meringkuk di bawah selimut  paling tipis dan paling compang-camping.
Semakin malam badai mengamuk semakin hebat. Awan tak bisa tidur. Ia gemetar kedinginan dan membalikkan tubuh, mencoba mencari posisi yang lebih nyaman. Perutnya yang lapar berkeroncongan. Dengkur Sakuni teredam oleh gemuruh guruh yang mulai menggelegar menjelang tengah malam. Jarum arloji Sakuni yang menyala, tangan gemuknya yang memakai arloji berjuntai ke bawah sofa, menunjukkan bahwa sepuluh menit lagi Awan akan berusia dua belas tahun. Ia berbaring memandangi saat ulang tahunnya yang berdetik-detik semakin dekat, bertanya-tanya apakah keluarga Raketi akan ingat soal ulang tahunnya bertanya-tanya di manakah gerangan orang yang menulis surat padanya sekarang.
Lima menit lagi. Awan mendengar sesuatu yang berkeriut di luar. Ia  berharap atap  gubuk  tidak  akan  runtuh,  walaupun kalau  iya,  ia  mungkin  akan  lebih  hangat.  Empat menit lagi.
Mungkin rumah di Puri Indah akan penuh surat kalau mereka pulang nanti, sehingga ia bisa mencuri satu. Tiga menit lagi. Ombakkah itu, yang menghantam karang begitu keras? Dan (dua menit lagi) bunyi derak aneh apa itu?
Apa karangnya remuk dan berjatuhan ke laut?
Semenit lagi ia akan berusia dua belas tahun. Tiga puluh detik...  dua puluh...  sepuluh...  sembilan, mungkin ia akan membangunkan Sakuni, sekadar supaya Sakuni marah saja... tiga... dua... satu...
BOOM!.
Seluruh gubuk bergetar dan Awan langsung duduk tegak, memandang pintu. Ada orang diluar pintu menggedor-gedor mau masuk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar