Malam itu Sakuni
berparade memakai seragam barunya di ruang keluarga. Murid-murid SMP Swasta
memakai jas biru tua, celana biru selutut, dan bangklon biru rata. Mereka juga
membawa tongkat, yang digunakan untuk saling pukuli kalau guru mereka sedang
tidak melihat. Ini diandaikan sebagai latihan bagus untuk masa depan mereka.
Ketika memandang Sakuni
dalam seragam barunya, Paman Raketi berkata parau bahwa ini saat paling
membanggakan dalam hidupnya. Bibi Suketi menangis dan berkata dia tak percaya
pemuda gagah dan tampan ini si Gempal Sakuni.
Awan tak bisa bicara. Ia
pikir mungkin dua tulang iganya sudah retak gara-gara menahan tawa.
Dapur berbau busuk
ketika Awan esok paginya turun untuk sarapan. Bau itu datangnya dari ember
metal besar di tempat cuci piring. Awan melongoknya. Ember itu penuh gombal
kotor yang mengapung di air berwarna putih.
“Apa ini?” tanyanya
kepada Bibi Suketi. Bibir Bibi Suketi langsung cemberut, seperti biasanya jika Awan
berani mengajukan pertanyaan.
“Seragam sekolahmu yang
baru,” jawabnya. Awan memandang ke dalam ember lagi.
“Oh,” komentarnya. “Tak
kusangka harus basah begitu.”
“Jangan bego,” tukas
Bibi Suketi. “Aku sedang mencelup pakaian lama Sakuni dengan wenter putih
untukmu. Kalau sudah selesai nanti, akan sama seperti punya yang lain.”
Awan jelas meragukan
ini, tetapi ia pikir lebih baik tidak membantah. Ia duduk di depan meja makan
dan mencoba tidak memikirkan bagaimana penampilannya pada hari pertamanya di
SMP Negeri nanti, seperti memakai potongan-potongan kulit gajah tua, mungkin.
Sakuni dan Paman Raketi muncul, keduanya mengernyitkan hidung gara-gara bau
seragam Awan yang baru.
Paman Raketi seperti
biasa membuka korannya dan Sakuni memukul-mukulkan tongkat kuningnya, yang
selalu dibawanya ke mana-mana, di atas meja.
Mereka mendengar bunyi
klik kotak surat dan jatuhnya surat-surat di keset.
“Ambil surat, Sakuni,”
kata Paman Raketi dari blik korannya.
“Suruh saja Awan.”
“Ambil surat, Awan.”
“Suruh saja Sakuni.”
“Sodok dia dengan
tongkat kuningmu, Sakuni.”
Awan menghindari
sodokan tongkat kuning dan keluar untuk mengambil surat. Ada tiga benda
tergeletak di keset: kartu pos dari adik perempuan Paman Raketi, Waketi, yang
sedang berlibur di Pulau Bali, sebuah amplop cokelat yang kelihatannya berisi
rekening tagihan, dan surat untuk Awan.
Awan mengambil dan
menatapnya, jantungnya berdentang-dentang seperti elastik besar yang
dikelintingkan Tak seorangpun sepanjang hidupnya menulis surat untuknya. Ia tak
punya teman. Tak punya keluarga lain selain paman dan bibinya. Ia juga bukan
anggota organisasi manapun atau anggota perpustakaan manapun. Jadi ia bahkan
belum mendapat surat teguran kasar untuk mengembalikan buku pinjamannya. Tetapi
ternyata jelas surat itu ditunjukkan padanya.
Awan Negara
Lemari di rumah
Raketi
Perumahan Puri
Indah no 4
Amplopnya tebal dan
berat, terbuat dari perkamen kulit yang digunakan sebagai pengganti kertas.
Warnanya kekuningan dan nama serta alamatnya ditulis dengan tinta hijau zamrud.
Tak ada prangkonya. Membalik amplop itu dengan tangan gemetar, Awan melihat
segel ungu bergambar lambang huruf “S” besar yang dikelilingi gajah, elang,
kancil, dan monyet.
“Cepat sedikit, Awan!”
teriak Paman Raketi dari dapur.
“Buat apa kau memeriksa
kalau-kalau ada bom-surat?” Dia menertawakan leluconnya sendiri.
Awan kembali ke dapur,
masih menatap suratnya.
Diserahkannya tagihan
dan kartu pos pada Paman Raketi, lalu ia duduk dan pelan-pelan mulai membuka
amplop kuningnya.
Paman Raketi merobek
surat tagihan, mendengus jijik, dan membalik kartu pos.
“Waketi sakit,” dia
memberitahu Bibi Suketi. “Makan kerang aneh...”
“Pak!” mendadak Sakuni
berkata. “Pak, Awan dapat apa tuh!”
Awan sedang akan
membuka lipatan suratnya, yang ditulis di atas kertas perkamen tebal yang sama
dengan amplopnya, ketika tiba-tiba surat itu di ambil dari tangannya oleh Paman
Raketi.
“Itu suratku!” kata Awan,
berusaha merebutnya kembali.
“Siapa yang menulis
padamu?” seringai Paman Raketi, sambil mengibaskan surat itu dengan satu tangan
agar membuka. Dan melirik isinya. Wajahnya berubah warna dari merah ke hijau
lebih cepat daripada lampu lalu lintas. Dan tidak berhenti di situ. Dalam
sekejap saja wajahnya sudah putih abu-abu seperti bubur busuk.
“S-S-Suketi!” gagapnya.
Sakuni berusaha merebut
surat itu untuk membacanya tetapi Paman Raketi mengangkatnya tinggi-tinggi
sehingga jauh dari jangkauannya. Bibi Suketi mengambilnya dengan ingin tahu dan
membaca kalimat pertamanya. Sesaat kelihatannya dia akan pingsan. Dia memegangi
lehernya dan mengeluarkan suara seperti tercekik.
“Raketi! Oh, astaga...
Raketi!”
Mereka berpandangan,
tampaknya lupa bahwa Awan dan Sakuni masih berada di ruangan yang sama. Sakuni
tidak biasa diabaikan. Diketuknya kepala ayahnya keras-keras dengan tongkat
kuningnya.
“Aku mau membaca surat
itu,” teriaknya.
“Aku mau membacanya,”
kata Awan marah, “karena itu suratku.”
“Keluar, kalian berdua,”
kata Paman Raketi parau, seraya memasukkan kembali surat itu ke dalam
amplopnya.
Awan bergeming.
“Aku mau suratku!”
teriaknya.
“Sini aku lihat!”
Sakuni memaksa.
“Keluar!” gerung Paman
Raketi. Dicengkeramnya kerah baju Awan dan Sakuni dan dicampakkannya mereka ke
lorong, lalu dibantingnya pintu dapur menutup. Awan dan Sakuni segera berkelahi
seru, tanpa suara, memperebutkan siapa yang boleh mendengarkan lewat lubang
kunci. Sakuni menang, maka Awan berbaring tengkurap untuk mendengarkan dari
celah antara pintu dan lantai.
“Raketi,” Bibi Suketi
berkata dengan suara gemetar, “lihat alamatnya. Bagaimana mungkin mereka tahu
di mana dia tidur?
Apa menurutmu mereka
mengawasi rumah kita?”
“Mengawasi,
memata-matai, mungkin juga membuntuti kita,” gumam Paman Raketi cemas.
“Tapi apa yang harus
kita lakukan, Raketi? Apakah sebaiknya kita balas? Kita katakan bahwa kita tak
ingin...”
Awan bisa melihat
sepatu Paman Raketi yang hitam mengilap mondar-mandir di dapur.
“Tidak,” katanya
akhirnya. “Tidak, kita abaikan saja Jika mereka tidak mendapat balasan... ya,
itu yang paling baik... kita tak akan melakukan apa-apa...”
“Tetapi...”
“Aku tak mau dengar,
Suketi! Bukankah kita sudah bersumpah waktu mengambilnya, bahwa kita akan
membasmi omong kosong yang berbahaya itu?”
Sore itu sepulang
kerja, Paman Raketi melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukannya. Dia
mengunjungi Awan di dalam lemarinya.
“Mana suratku” tanya Awan
begitu Paman Raketi berhasil menjejalkan diri melewati pintu. “Siapa yang
menulis padaku?”
“Tidak ada. Surat itu
keliru dialamatkan padamu,” kata Paman Raketi pendek. “Sudah kubakar.”
“Tidak keliru” kata Awan
berang. “Di alamatnya tertulis lemariku.”
“Diam!” raung Paman
Raketi dan dua ekor labah-labah terjatuh dari langit-langit lemari. Dia menarik napas dalam beberapa kali dan
kemudian memaksakan wajahnya tersenyum, kelihatannya memelas sekali.
'“Er... ya, Awan...
tentang lemari ini. Bibimu dan aku sudah berpikir-pikir... kau sebetulnya sudah
terlalu besar untuk tinggal di sini... kami rasa lebih baik jika kau pindah ke
kamar Sakuni yang satunya.”
“Kenapa?” tanya Awan.
“Jangan tanya-tanya!”
tukas pamannya. “Bawa barang-barangmu ke
atas, sekarang.”
Rumah keluarga Raketi
punya empat kamar: satu untuk Paman Raketi dan Bibi Suketi, satu untuk tamu
(biasanya adik Paman Raketi, Waketi), satu adalah kamar tidur Sakuni, dan satunya lagi tempat Sakuni
menyimpan mainan dan barang-barangnya yang
tidak muat ditaruh
di kamar tidurnya.
Awan hanya perlu sekali
angkut untuk memindahkan barang-barangnya dari lemari ke kamar ini. Ia duduk di
tempat tidur dan memandang berkeliling. Hampir semua barang di kamar ini rusak.
Kamera yang baru sebulan tergeletak di atas tank kecil yang ketika dikendarai
Sakuni pernah melindas macan tetangga.
Di sudut ada televisi
pertama Sakuni, yang ditendangnya sampai bolong ketika acara favoritnya batal
ditayangkan. Ada sangkar burung besar, dulunya sangkar seekor burung nuri yang
kemudian ditukar Sakuni di sekolah dengan senapan angin betulan. Apa itu
sekarang ada di rak, larasnya bengkok kedudukan Sakuni. Rak-rak lain penuh
buku. Hanya buku-buku itulah yang tampaknya tak pernah disentuh.
Dari bawah terdengar
Sakuni berteriak-teriak kepada ibunya,
“Aku tak mau dia di
sana... aku butuh kamar itu... suruh dia keluar....”
Awan menghela napas dan
membaringkan diri di tempat tidur. Kemarin ia akan bersedia memberikan apa saja
untuk bisa berada di kamar ini. Hari ini
ia lebih memilih berada kembali di lemarinya dengan surat itu daripada di sini
tanpa surat.
Paginya saat sarapan,
semua agak diam. Sakuni uring-uringan. Dia sudah menjerit-jerit, memukuli
ayahnya dengan tongkat kuningnya, pura-pura sakit, menendang ibunya, dan melempar
kura-kuranya ke jendela rumahnya sampai jendela itu berlubang, tapi tetap saja
dia tidak memperoleh kembali kamarnya. Awan merenungkan saat jam begini kemarin
dan menyesal sekali kenapa ia tidak membuka suratnya sewaktu masih di lorong.
Paman Raketi dan Bibi! Suketi saling pandang dengan wajah keruh.
Ketika tukang pos tiba,
Paman Raketi, yang kelihatannya mencoba berbaik-baik kepada Awan, menyuruh
Sakuni mengambil surat. Mereka mendengar Sakuni memukul-mukulkan tongkat
kuningnya sambil turun ke lorong.
Kemudian dia berteriak,
“Ada surat lagi! Awan Negara, Kamar Paling Kecil, lemari rumah
Raketi...perumahan Puri Indah rumah no 4”
Dengan pekik tertahan
Paman Raketi melompat dari kursinya dan berlari turun. Awan dibelakangnya.
Paman Raketi harus memiting Sakuni ke lantai untuk merebut surat itu, dan itu
makin sulit dilakukannya karena Awan mengalungkan tangan ke leher Paman Raketi dari
belakang. Setelah semenit pergulatan kalang kabut, dan semuanya kena pukul
tongkat kuning, Paman Raketi bangkit berdiri, tersenggal-sengal dengan surat Awan
terpegang erat di tangannya.
“Kembali ke lemarimu,
maksudku, kamarmu,” katanya kepada Awan. “Sakuni... pergi... pergi.”
Awan berjiran
bolak-balik mengitari kamar barunya. Ada yang tahu ia sudah pindah dari lemarinya
dan mereka rupanya tahu ia belum menerima surat pertamanya. Jelas itu berarti
mereka akan mencoba lagi. Dan kali ini ia akan memastikan mereka tidak akan
gagal. Ia punya rencana.
Jam weker yang sudah
dibetulkan berdering pukul enam keesokan paginya. Awan cepat-cepat mematikannya
dan berganti pakaian tanpa menimbulkan suara. Jangan sampai keluarga Raketi
terbangun. Diam-diam ia turun tanpa menyalakan lampu satupun.
Ia akan menunggu tukang
pos di sudut rumahnya dan mengambil surat-surat untuk rumah nomor empat lebih
dulu. Jantungnya berdegup kencang saat ia merayap di lorong gelap menuju pintu
depan...
“Aaaaarrrgh!”
Awan kaget dan terlonjak,
ia menginjak sesuatu yang besar dan empuk di keset, sesuatu yang hidup. Lampu
menyala di loteng dan betapa kagetnya Awan, benda empuk yang diinjaknya tadi
ternyata wajah pamannya. Paman Raketi sengaja tidur di depan pintu dalam
kantong tidur. Jelas dia bermaksud
menghalangi Awan melakukan apa yang akan dilakukannya. Selama kira-kira
setengah jam dia memarahi Awan, kemudian menyuruhnya membuat secangkir teh. Awan
terseok sedih ke dapur, dan pada saat ia kembali, surat sudah datang, jatuh
persis di pangkuan Paman Raketi. Awan bisa melihat tiga surat yang alamatnya
ditulis dengan tinta hijau.
“Berikan...,” ia baru
mau bicara, Paman Raketi sudah merobek-robek surat-surat itu di depan matanya.
Paman Raketi tidak ke kantor hari itu.
Dia tinggal di rumah dan memaku kotak suratnya.
“Kalau mereka tidak
bisa mengirim surat, mereka akan menyerah,” dia menjelaskan kepada Bibi Suketi
dengan mulut penuh paku.
“Aku tak yakin, Raketi.”
“Oh, cara berpikir
orang-orang ini aneh, Suketi! tidak seperti kita,” kata Paman Raketi sambil memukul paku dengan sepotong kue buah
yang baru saja dibawakan Bibi Suketi.
Hari sabtu surat datang
bagai badai tak terhentikan, kotak surat penuh dengan surat untuk Awan, kotak
kecil yang suratnya berserakan di bawah kotak surat. Bahkan surat itu
dilemparkan ke kamar Awan dan diselipkan dibawah pintu.
Paman Raketi ada
dirumah lagi. Setelah dia membakar seluruh surat, di mengeluarkan palu dan
menutup semua celah depan dan belakang dengan papan. Sehingga tak seorangpun
dapat keluar.
Hari berikutnya,
terjadi diluar kendali, surat untuk Awan berterbangan dalam rumah dan luar
rumah. Lebih dari seratus surat berhasil masuk kedalam rumah, digulung dan
disembunyikan dalam dua lusin telur yang dijulurkan tukang susu, mereka yang
sangat kebingungan kepada Bibi Suketi lewat jendela ruang keluarga. Sementara
Paman Raketi marah-marah menelepon kantor pos dan perusahaan susu mencari orang
yang bisa disalahkan, Bibi Suketi menghancurkan surat-surat itu dalam mixer makanannya.
“Siapa sih yang begitu ingin
bicara denganmu?” Sakuni bertanya kepada Awan dengan keheranan.
Pada hari Minggu pagi,
Paman Raketi duduk di meja untuk sarapan, kelihatan lelah tetapi senang.
“Tukang pos tidak
datang pada hari Minggu,” dia mengingatkan mereka dengan riang seraya mengoleskan
selai pada korannya, “jadi tak ada surat sialan hari ini...”
Ada yang berdesis
meluncur turun dalam cerobong asap ketika Paman Raketi bicara, dan mengemplang
belakang kepalanya. Detik berikutnya tiga puluh atau empat puluh surat
meluncur-luncur dari perapian seperti peluru. Keluarga Raketi menunduk
menghindar, tetapi Awan melompat mencoba menangkap satu di antaranya....
“Keluar! Keluar!”
Paman Raketi menangkap
pinggang Awan dan melemparkannya ke lorong di luar. Setelah Bibi Suketi dan
Sakuni keluar dengan lengan menutupi muka, Paman Raketi membanting pintu
menutup. Mereka bisa mendengar surat-surat masih mengalir ke dalam ruangan,
melenting-lenting mengenai dinding dan lantai.
“Sudah kelewatan,” kata
Paman Raketi, berusaha berbicara dengan tenang, tapi pada saat bersamaan
mencabuti kumisnya dengan panik. “Aku mau kalian semua kembali ke sini lima
menit lagi, siap berangkat. Kita akan pergi. Bawa saja pakaian secukupnya.
Jangan membantah!”
Paman Raketi kelihatan
berbahaya sekali dengar separo kumisnya lenyap, sehingga tak seorang pun berani
membantah. Sepuluh menit kemudian mereka berhasil keluar dari pintu yang sudah
dipaku rapat dan berada dalam mobil, yang ngebut menuju jalan tol. Sakuni
terisak-isak di jok belakang. Ayahnya tadi memukul kepalanya gara-gara mereka
harus menunggunya mencoba menjejalkan televisi, video, dan komputernya ke dalam
tas olahraganya.
Mobil terus meluncur.
Terus meluncur. Bahkan Bibi Suketi pun tak berani bertanya ke mana mereka
pergi. Sekali-sekali Paman Raketi tiba-tiba menikung tajam dan meluncurkan
mobilnya ke arah berlawanan.
“Sesatkan mereka...
sesatkan mereka,” gumam Paman Raketi setiap kali dia melakukan ini.
Mereka bahkan tidak
berhenti untuk makan sepanjang hari.
Saat malam tiba, Sakuni
sudah menangis meraung-raung. Belum pernah dia mengalami hari seburuk ini. Dia
lapar, dia tidak bisa menonton lima acara televisi yang ingin ditontonnya, dan
belum pernah dia melewatkan waktu selama tanpa meledakkan Alien di layar
komputernya.
Paman Raketi akhirnya
berhenti di depan hotel dalam kota besar. Sakuni dan Awan berbagi kamar dengan
dua tempat tidur dan seprai lembap yang berbau lumut. Sakuni mendengkur, tetapi
Awan tak bisa tidur. Ia duduk di ambang jendela, memandang lampu-lampu mobil
yang lewat dan bertanya-tanya dalam hati....
Mereka makan cornflake
melempem dan tengik serta tomat kalengan di atas roti panggang sebagai sarapan
keesokan harinya. Baru saja selesai, pemilik hotel mendatangi mereka.
“Maaf, apakah satu
diantara kalian ada yang bernama Awan Negara? Ada kira-kira dua ratus surat
masuk ke resepsionis.”
Wanita itu mengangkat surat
sehingga mereka bisa membaca alamat yang ditulis dengan tinta hitam:
Awan Negara
Kamar 17
Hotel Mercury
Jogjakarta
Awan ingin meraih surat
itu. Tetapi paman Raketi menampar tangannya. Wanita itu terbelalak.
“Akan saya ambil,” kata
paman Raketi. Cepat-cepat berdiri dan mengikutinya meninggalkan ruang makan.
“Apakah tidak sebaiknya
kita pulang saja, Sayang?” Bibi Suketi menyarankan dengan takut-takut beberapa
jam kemudian, tetapi Paman Raketi kelihatannya tidak mendengarnya. Entah apa
yang dicarinya, tak seorang pun tahu.
Dia membawa mereka ke
tengah hutan keluar dari mobilnya, memandang berkeliling, menggelengkan kepala,
masuk lagi ke dalam mobil dan mobil pun meluncur lagi. Dia seperti bingung mau
kemana tujuannya. Awan memandang alam sekitar, penuh pesona dan membahana.
Mungkin ini yang disebut Kalibiru Kulonprogo. Kalibiru menjadi destinasi wisata yang banyak
menarik perhatian wisatawan karena pesona dan keindahannya. Dari atas gardu
pandang pengunjung bisa berfoto serta menikmati suasana alam di perbukitan
dengan view Waduk Sermo dan Perbukitan Menoreh nan eksotis.
“Bapak sudah gila, ya?” Sakuni bertanya kepada
Bibi Suketi sore itu. Paman Raketi telah memarkir mobilnya di tepi pantai,
mengunci mereka bertiga di dalamnya, lalu menghilang.
Hujan mulai turun.
Tetesnya yang besar-besar mengetuk-ngetuk atap mobil. Sakuni tersedu-sedu.
“Ini hari senin,”
katanya kepada ibunya. “Ada acara si Hebat Dragon Ball di televisi malam ini.
Aku mau nonton.”
Senin. Awan jadi ingat sesuatu. Kalau hari ini senin,
dan Sakuni bisa diandalkan dalam hal ini, sehubungan dengan kegemarannya nonton
televisi, maka besok, Selasa, adalah hari ulang tahun Awan yang kedua belas.
Tentu saja hari-hari ulang tahunnya yang telah lewat bukanlah hari yang
menyenangkan. Tahun lalu, misalnya, keluarga Raketi menghadiahinya satu
gantungan mantel dan sepasang kaus kaki bekas Paman Raketi. Tapi, kita kan
tidak berumur dua belas tiap hari.
Paman Raketi kembali
sambil tersenyum. Dia juga membawa bungkusan kecil panjang dan tidak menjawab ketika
ditanya Bibi Suketi apa yang dibawanya itu
“Sudah kutemukan tempat
yang sempurna!” katanya. “Ayo, semua keluar!”
Di luar mobil udara
dingin sekali. Paman Raketi menunjuk sesuatu yang kelihatan seperti batu karang
besar yang menjorok ke laut. Bertengger di atas karang itu ada gubuk kecil yang
sangat kumuh dan bobrok. Kelihatan menyedihkan sekali. Satu hal sudah jelas,
tak ada televisi di gubuk itu.
“Malam ini diramalkan
akan ada badai!” kata Paman Raketi senang, sambil menepukkan tangan. “Dan Bapak
ini sudah berbaik hati mau meminjamkan perahunya!”
Seorang laki-laki tua
ompong berjalan santai mendekati mereka. Sambil menyeringai agak jahat, dia
menunjuk perahu dayung tua yang terapung-apung di air abu-abu gelap di bawah
mereka.
“Aku sudah beli bekal
untuk kita,” kata Paman Raketi, “jadi, semua naik!”
Dingin sekali di
perahu, sampai mereka serasa membeku. Cipratan air laut dan tetes hujan
sedingin es merayap menuruni tengkuk dan angin dingin menerpa wajah mereka.
Setelah rasanya berjam-jam kemudian, tibalah mereka di batu karang.
Paman Raketi,
terpeleset-peleset, memimpin menuju ke gubuk reyot itu.
Bagian dalam gubuk
sungguh menjijikkan. Bau ganggang laut menyengat, angin bersuit-suit menembus
lewat celah-celah di dinding papan. Perapiannya lembap dan kosong. Hanya ada
satu kamar. Bekal Paman Raketi ternyata sebungkus keripik dan empat pisang
untuk setiap orang. Dia mencoba menyalakan api, tetapi keempat bungkus keripik
yang kini sudah kosong itu cuma mengerut dan berasap.
“Surat-surat itu
sekarang bisa digunakan, eh?” katanya riang.
Paman Raketi sedang senang
sekali. Jelas dia mengira tak akan ada orang yang bisa mengejar mereka dalam
badai untuk mengantar surat. Awan dalam hati mengakui, dan ini membuatnya
sedih. Ketika malam tiba, badai yang dijanjikan menerjang di sekitar mereka.
Cipratan air dari ombak-ombak yang bergulung tinggi menyembur ke dinding pondok
dan angin kencang mengguncangkan jendela-jendela yang kotor. Bibi Suketi
menemukan beberapa selimut apak bulukan dari kamar dan menyiapkan tempat tidur
untuk Sakuni di sofa yang sudah berlubang- lubang dimakan rayap. Dia dan Paman
Raketi tidur di tempat tidur
reyot di kamar
dan Awan dibiarkan mencari Sendiri tempat yang paling
empuk di lantai dan meringkuk di bawah selimut
paling tipis dan paling compang-camping.
Semakin malam badai
mengamuk semakin hebat. Awan tak bisa tidur. Ia gemetar kedinginan dan
membalikkan tubuh, mencoba mencari posisi yang lebih nyaman. Perutnya yang
lapar berkeroncongan. Dengkur Sakuni teredam oleh gemuruh guruh yang mulai
menggelegar menjelang tengah malam. Jarum arloji Sakuni yang menyala, tangan gemuknya
yang memakai arloji berjuntai ke bawah sofa, menunjukkan bahwa sepuluh menit
lagi Awan akan berusia dua belas tahun. Ia berbaring memandangi saat ulang
tahunnya yang berdetik-detik semakin dekat, bertanya-tanya apakah keluarga
Raketi akan ingat soal ulang tahunnya bertanya-tanya di manakah gerangan orang
yang menulis surat padanya sekarang.
Lima menit lagi. Awan
mendengar sesuatu yang berkeriut di luar. Ia
berharap atap gubuk tidak
akan runtuh, walaupun kalau iya, ia mungkin
akan lebih hangat.
Empat menit lagi.
Mungkin rumah di Puri
Indah akan penuh surat kalau mereka pulang nanti, sehingga ia bisa mencuri
satu. Tiga menit lagi. Ombakkah itu, yang menghantam karang begitu keras? Dan
(dua menit lagi) bunyi derak aneh apa itu?
Apa karangnya remuk dan
berjatuhan ke laut?
Semenit lagi ia akan
berusia dua belas tahun. Tiga puluh detik...
dua puluh... sepuluh... sembilan, mungkin ia akan membangunkan
Sakuni, sekadar supaya Sakuni marah saja... tiga... dua... satu...
BOOM!.
Seluruh gubuk bergetar
dan Awan langsung duduk tegak, memandang pintu. Ada orang diluar pintu
menggedor-gedor mau masuk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar