Senopati INDONESA Capter 1 - Sastra Education

Breaking

Rabu, 28 Oktober 2020

Senopati INDONESA Capter 1

 


Pinggiran jalan kota mulai membara. Panas matahari mengudara mendera. Seolah-olah neraka duplikat menjelma. Memang itu tak sepandai bila terus diungkapkan dengan kata-kata. Mungkin hanya sebuah konsep ilusi semata. Tetapi memang seperti itu kejadiannya.

Matahari membelenggu jalan kota. Aspal terasa bergetar tajam dan menerka udara lava. Seolah-olah emosi panas memberangas ketika siang telah menjelma.

Berdiri disudut kanan.

Aku seorang anak remaja, tinggi dan jangkung. Seragam SMK masih melekat menemaniku. Kedua lengan bajuku dilipat memang terlihat sangar ataupun garang. Tetapi memang itu tujuanku. Tubuhku tinggi dan kokoh memandang tajam didepanku. Aku seperti manusia panas dengan emosi luapan lava.

Sementara dibelakangku ada beberapa anak remaja teman sekelompokku. Mungkin lima hingga tujuh orang. Namaku Sutasoma. Pemimpin SMK terburuk di Jakarta. Sekolahku memang terbilang kelas kakap untuk konsumsi berandal dan preman. Walaupun sebenarnya banyak orang-orang pintar juga sih. Tetapi sangat jarang. Paling hanya segelintir dari jumlah siswa semuanya. Walaupun SMKku terburuk tetapi rata-rata prestasi sekolahku merupakan unggulan. Karena guru sekolahku sangat lihai mengolah pembelajaran.

 Jadi banyak sekolah yang iri dan tak suka pada prestasi sekolahku. Salah satunya SMA terbaik dari Jakarta. Mereka kalah bersaing dalam merebut juara 1 dalam kompentensi sekolah berprestasi. Sekolahku masuk nominasi pada tahun ini. Mereka tak terima hingga terjadi tawuran di jalan kota dekat terminal bus Jakarta menjadi pilihan untuk menyelesaikannya.

Aku berdiri menerkam tajam. Mataku memberikan tekanan dan intimidasi terhadap remaja didepanku.

Di sudut kiri.

Dia bertubuh tinggi, jangkung dan gempal. Rambutnya gimbal dan menerkam tajam membalikkan tatapan. Dia memandang menantang. Seragam SMA masih disandangnya. Dia adalah Bargawa pemimpin SMA terbaik dari Jakarta. Wajahnya seperti termakan cuaca tetapi memang sedikit tampan.

Dibelakangnya ada lima hingga sepuluh orang berjajar memberikan tekanan untuk membantunya dalam pertempuran. Mereka terlihat lebih garang dan kejam dari pemimpinya. Memang pemimpin tidaklah begitu garang tetapi sepertinya dia mempunyai pengaruh dalam kekuatan atau ketangguhan.

Keheningan tak sementara mengudara. Kedua belah pihak tampak tersulut emosi dan amarahnya.

Benturan hebat terjadi diantara keduanya. Kami saling beradu pukul untuk melampiaskan emosi dan kemarahan.

Aku menghadang Bargawa dalam pertempuran. Sementara kelompok kami saling bentrok dalam kekerasan. Walaupun kekurangan jumlah kelompokku masih sanggup menghadang laju serangan membabi buta dari kelompok Bargawa. Mereka cukup efektif mengantisipasi serangan bertubi-tubi dari kelompok Bargawa.

Aku menghadang seragan Bargawa dengan baku hantam. Kami cukup seimbang dalam membangun serangan. Aku melepaskan pukulan dari sisi kanan. Bargawa tampak agresif menghadang dari sisi kiri yang tajam dan efektif hingga benturan terjadi cukup keras dan mengancam.  

Kedua belah pihak sama-sama memiliki taji ketangguhan. Kelompokku dan kelompok Bargawa saling mendesak dan menekan. Kami cukup intens melampiaskan kemarahan tawuran.

Aku kembali melepaskan pukulan tajam ke arah abdomen kiri Bargawa. Dia cukup gesit menghindar. Nyatanya dia melemparkan tubuhnya begitu cepat dan lihai agar dapat menghindari seranganku. Memang Bargawa cukup terampil dalam bertahan atau menyerang. Tubuh gempalnya tak mengganggu dalam kelincahan pergerakkanya. Dia bisa dibilang memiliki ketajaman dan keefektifan dalam pengalaman. Dia seperti orang yang sudah terbiasa dalam pertarungan.

Aku mundur beberapa langkah untuk kembali membangun kuda-kuda bertahan. Emosiku masih cukup tenang dan sabar menciptakan peluang kemenangan. Aku seperti melawan musuh yang telah termakan pertempuran luar biasa. Memang hal ini cukup merepotkanku dalam membangun setiap serangan yang aku lancarkan.

Bargawa sangat solid dalam bertempur. Pengalaman bertempurnya memang diluar nalar kemampuanku. Aku makin lama semakin terdesak oleh keadaan. Pukulan tajam dan keras berhasil mendesakku hingga aku sedikit kewalahan menciptakan pertahanan. Dimana mataku hampir tak berkedip dibuat oleh kelincahan bertarung.

Ketika aku sedikit mundur untuk mengambil posisi aman, mataku sambil memperhatikan arah pertarungan kelompokku. Mereka seperti tak terbantah dalam pertempuran. Mereka terlihat masih sanggup memberikan perlawanan kelompok Bargawa. Pertarungan memang terlihat biasa dan rata-rata karena aku merasakan bahwa tekanan dan kekuatan mereka tak begitu tajam menekan tubuhku.

Tetapi ketika aku menghadang laju Bargawa. Aku sedikit menggigil sekujur tubuhku. Rasanya takut dan ancaman begitu kuat hingga mengguncang seluruh sel tubuhku. Dimana titik terberat dalam hidupku bahwa Bargawa terlihat lebih mengancam dari anggota kelompoknya.

Kami kembali dalam pertempuran. Aku memasang kuda-kuda bertahan dan menyerang. Bargawa masih cukup tenang menantang. Dia terlihat marah tetapi rasanya memang dia merasa lebih unggul dan diuntungkan. Ketangguhan Bargawa dalam penyerangan mulai terlihat lebih tajam dan unggul ketika dia makin kuat mengancam dalam pertempuran. Tubuhnya terasa lebih besar dan kokoh dari pertama aku melihatnya. Aku merasa orang lain dalam dirinya.

Bargawa mulai menyilangkan tangan didada. Matanya merah padam tetapi wajahnya begitu solid dan tenang. Tubuhnya makin kokoh menantang. Tatapannya seolah-olah iblis menjelma dalam dirinya. Melihat tatapannya bikin aku merinding ketakutan. Tetapi memang sudah telanjur dalam pertempuran aku tak mungkin menghindar. Apalagi melihat kelompokku begitu intens menyerang kelompok Bargawa tak mudah bagiku untuk memutuskan mundur sekarang.

Bargawa mulai bergerak. Dia mulai melepaskan pukulan tajam. Deru kuat dan tajam menembus udara. Angin menghempaskan bulu kudukku seolah-olah ketajaman serangannya sangat terasa sebelum sampai menghujam tubuhku. Dia terlihat lebih fokus dan menekan. Tekanan pukulan begitu dashyat menerpa angina sebelum menyentuh tubuhku. Tetapi aku lebih beruntung untuk menghindari serangannya. Aku melemparkan tubuhku ke samping arah pukulannya hingga pukulan udara hanya menerpa bagian abdomenku.

Walaupun Bargawa cukup lihai untuk mengantisipasi serangannya, belum sempat aku membaca pukulan keduanya, pukulannya telah bersarang di abdomen kanan milikku. Terasa sesak dan menyakitkan sekujur tubuhku. Dia menghantamku bertubi-tubi hingga kesakitanku terasa menjalar ke seluruh sel tubuhku. Begitu dia terpuaskan pukulan tajam dan kuat merobohanku dalam pertempuran.

Aku terpental jauh dan jatuh terpelanting. Darah segar menyembur dari mulutku, dadaku berdenyut sakit. Rasanya aku mendapat rasa kematian dalam pandangan tetapi aku merasa rasa sakit memang cukup mendera tubuhku.

Aku kembali bangkit. Darah dari sisi mulut kuusap dengan ibu jariku. Merah segar terasa masih dari tungku yang dipanaskan. Walaupun sebenarnya aku agak ketakutan merasakan dera sakit yang menyakitkan. Tetapi aku kembali menyaksikan kelompokku terlihat masih bersemangat mengorbarkan pertarungan. Mereka saling serang satu sama lain. Aku sungguh tak tega bila harus menyerah seolah-olah aku pecundang tak bisa menang melawan musuh yang jarang berkelahi dalam tawuran.

Gimana ya. Sekolah kami memang cukup kurang ajar masa kami kalah dengan sekolah budi pekerti. Sangat konyol dan memang tak masuk akal.

Kebangkitanku seakan memberikan angin segar bagi kelompokku. Kelompokku kembali bersemangat dalam pertempuran. Mereka kembali sigap menghadang laju serangan kelompok Bargawa.

Pukulan Bargawa masih begitu mendera sekujur tubuhku. Rasanya pukulan Bargawa menjelma ke sendi-sendi tulangku. Aku merasa pukulan itu bukan hanya dari energi sendiri tetapi ada sosok lain yang cukup kuat membantunya. Tetapi siapa? Aku sempat berfikir sambil berdiri semponyongan.

Kali ini Bargawa memberikan tatapan kejam. Tubuhnya merah segar seperti lava merapi meluap ancaman. Aku merasa gemetaran memandangnya. Bahkan energinya terasa menguncang area jalan hingga kelompokku dan kelompoknya berhenti menggigil menyaksikan. Mereka termangu syok. Mata mereka membelalak ketakutan. Secara nyata mereka seperti ingin meninggalkan pertempuran. Tetapi sepertinya terasa kaku dan membeku dalam kenyataan pahit mendera mereka. Seolah-olah energi menghentikan dimensi ruang waktu.

Aku memang tak bisa mencerna kejadian ini. Terasa efek dari sebuah dimensi ruang waktu menembus dalam suasana pertempuran ini. Dimana kekuatan hitam merajai area yang cukup membangkitkan energi gelap hingga terus mengudara begitu hebat.

Aku hanya terdiam. Tubuhku terasa kaku memandang syok. Tetapi makin lama Tubuhku bergetar cukup hebat. Sehingga rasanya kematian akan mendekat padaku.

Bargawa memperlihatkan ekspektasi kemarahan. Taring tumbuh dikedua sisi bibirnya. Taring itu sangat tajam dan mengerikan. Aku cukup menggigil ketakutan memperhatikan. Sementara kelompokku dan kelompoknya semula hanya diam syok tetapi mereka akhirnya lagi tunggang langgang meninggalkan palagan. Hanya aku dan dia diatas medan pertempuran.

Kegelapan menggantung diarea jalan. Keberadaan yang sangat mengerikan dalam kebiasaan tawuran antar pelajar. Dimana aku yang terbiasa makan garam perkelahian jalanan sangat mengerti akan keadaan sekarang. Aku merasa seperti kambing dalam kandang macan.

Bargawa memperlihatkan sosok menakutkan. Dia mulai bergerak. Wajahnya merah pekat hitam menampilkan ancaman yang sangat menakutkan. Matanya menatap tajam menerkam bagai berburu mangsa sangat mengerikan untuk dipandang.

Kami kembali bentrok. Rasanya aku tak bisa mengimbangi tenaga dan kecepatannya. Bargawa bergerak sangat cepat dan mematikan. Posisiku yang kurang beruntung membuatku terdesak dalam kegelapan yang luar biasa mengancam. Aku seperti mainan kucing yang tak bisa melawan.

Ketika kami beradu pukulan, tanganku merasakan nyeri kesakitan. Dia sangat berbeda dari sebelumnya. Rasanya aku merasakan kekuatan hebat dalam dirinya sangat berbahaya dan mengancam.

Ketika pukulan menghantam keras ke tubuhku. Aku merasakan sesak dalam pernafasanku. Aku sungguh merasakan kematian. Pukulan Bargawa terasa panas dan mematikan menghantam tubuhku. Sekujur tubuh rasanya membeku tapi panas yang tak terelakan. Aku terpental jauh dan terjatuh terpelanting. Darah segar menyembur dari mulutku, dadaku berdenyut sakit. Sesak nafas dan kesakitan mendera sangat menyedihkan.

Mataku berkunang-kunang menatap dia yang berdiri kokoh menantang. Tanganya menyilang didada penuh kekuatan mengerikan. Secara samar-samar aku mendengarkan silene berkumandang. Beberapa mobil kepolisian tampak berbaris menghadang Bargawa yang kokoh memandangku penuh kekuatan dan keperkasaan.

Beberapa petugas tampak mengacung beberapa pistol mengarah padanya. Tetapi dia tak bergeming. Dia masih belum melirik ke arah mereka. Dia hanya memandangku begitu acuh penuh kesombongan.

“Berhenti,” teriak pemimpin petugas. “Angkat tangan kalian!”

Sebuah perintah yang menggemparkan area palagan. Bargawa melirik dan menoleh sekejap. Dia menunjuk malas-malasan ke arah sepasang petugas kepolisian yang berteriak padanya. Aku begitu terkejut melihatnya. Dalam sekejap Bargawa berada tepat di depan petugas itu. Tangannya mulai menghempaskan petugas itu hingga terpental jatuh menabrak mobilnya.

Ketika itu beberapa tembak membantai habis dirinya. Tetapi kenyataan dia tak mempan oleh tembak itu. Tubuhnya keras seperti baja. Nyatanya bunyi nyaring kecil seperti geesekan besi samar-samar terdengar ditelingaku. Dalam sekejap semua polisi habis dalam pembantaian masalnya. Bahkan mobil-mobil mereka penyok dan rusak dibuatnya.

Bargawa sangat sempurna dalam kekuatan yang luar biasa. Dia tak mempan senjata. Sungguh hal itu yang membuatku membeku dalam diam memandangnya. Aku telah salah memilih musuh. Sepertinya aku akan mati kali ini. Aku berharap ada orang yang bisa menyelamatkanku. Tetapi bila polisi saja dibantai habis olehnya. Mana mungkin aku bisa selamat kali ini.

Bargawa mendekat padaku. Dia berjalan tampak tak bersalah setelah membantai habis para petugas polisi didepanya. Senyum nyengir bodoh mengudara memandangku dengan sombongnya.

Bargawa mendekat menghampiriku, dia melancarkan pukulan bertubi-tubi kearahku. Dengan posisiku yang masih tersungkur diatas aspal dia membantaiku dengan pukulan tajam dan mematikan. Rasanya aku sudah merasakan kematian. Tubuhku kaku dan beku dalam kesakitan tak berdaya. Dera kesakitan amat menyakitkan tak bisa aku tahan, mataku terpejam. Aku tersungkur pingsan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar