Inilah aku begawan Palasara,
pandhita pendiri Astinapura. Bukan Sentanu. Aku kecil dan sederhana. Wujudku
tidak melebihi batara Kamajaya. Baju putih dan dengan bendana (Topi seperti
kain sorban yang diikat dengan melingkarkan di kepala). Tidak tampan seperti
cicitku Arjuna. Tidak gagah seperti cicitku Werkudara. Rona wajahku seperti
melati bunga. Kulit sawo matang seperti kebanyakan orang Jawa. Aku hidup
sebagai pandhita muda di pertapaan Wukir Rahtawu. Aku serupa dengan Jet Li
muda. Hidup sederhana bukan layaknya
raja. Dengan empat orang abdi yang setia yaitu Semar, Gareng, Petruk dan Bagong.
.
Semar yang bentuk bulat seperti gentong, kuncung dikepalanya mata yang sedikit
merem. Menandakan bahwa ia bukan pemalas melainkan sesuatu lambang menandakan
bahwa dia seorang yang sangup melawan hawa nafsu dunia. Anak yang pertama
Gareng bentuk badan seperti kapal dengan tangan cengkot dan kaki pincang. Ia
merupakan pertanda kawula yang hati – hati dalam bertindak. Dan tidak suka
mengambil hak milik oarng lain. Anak yang kedua Petruk. Memiliki hidung panjang
dan berkulit hitam dengan badan tinggi. Anak yang ketiga Bagong. Badan seperti
gentong bibir tebal dan suka menghibur.
Aku ingin mengungkapkan bahwa
aku bukan Sentanu sebagaimana kitab-kitab besar menulisnya, pemilik sah
Astinapura. Aku mungkin bukan siapa-siapa, manusia yang tak berapa-apa. Manusia
miskin yang hidup didesa. Manusia yang rela melepaskan dunia karena bisikan
dewa. Kisahku berawal dari sungai Yamuna. Pertemuanku dengan putri raja. Dewi
Dasabala namanya.
Putri, berbaliklah.”Kubalurkan minyak dari telapak, kuusapkan menyusuri permukaan perutnya, inilah awal kisahku.
Namun Sakri, ayahku, dan
Sakutrem, kakekku, pernah mencoreng wajah para dewa, setidaknya menurut nalar,
ketika keduanya, pada masa yang berbeda, berhasil membasmi para penyerang
Suralaya, yang tak mampu dihadapi bahkan oleh dewanya para dewa. Sakutrem
membunuh raja Nuswantara, sedangkan Sakri membinasakan entah raja siapa, karena
tak tercatat dalam hikayat. Logika yang kacau pula, bukan? Bedanya, kemudian, Sakutrem
mendapat anugerah seorang dewi jelita, sedangkan keinginan Sakri untuk
beristrikan bidadari yang serupa ditolak mentah-mentah para dewa. Padahal,
kurasa, keinginan Sakri itu wajar saja.
Disamping mengalahkan
penyerbu Suralaya, ia juga masih
berdarah dewa. Bukankah Sakutrem itu putra Resi Manumayasa, cucu Resi
Parikenan, dan cicit Resi Bremani? Bukankah
Bremani itu putra Batara Brama? Dan bukankah Batara Brama itu putra Sang
Manikmaya dan Dewi Uma? Bukan berarti aku sedang mengaku-aku sebagai keturunan
dewa. Aku juga tidak bangga karenanya.
Aku hanya mencoba menguraikan bukti bahwa ada bibit-bibit ketidakadilan yang
dilakukan para dewa. Aku sendiri tak punya banyak ambisi. Sejak muda aku malah
lebih suka bertapa di rimba raya. Aku ingin mengikuti laku kakek Resi
Manumayasa, yang mencapai taraf mumpuni dalam olah batin dan kanuragan
sekaligus.
Jangankan hanya sepasang
burung pipit, sedangkan terhadap yang berwujud segala rupa yang menakutkan aku
tak beringsut setapak pun dari titik pusat semadiku. Apalagi hanya selusin
bidadari yang gemulai menari, cuma berbusana kelopak bunga di sekeliling
pinggangnya. Juga ketika kedua burung kecil itu membangun sarang, melalui
jalinan tangkai demi tangkai ranting dan helai demi helai ilalang dan daun
kering, lalu bercinta dan membuahkan telur di atas kepalaku.
Sebuah awal kehidupan, yang
ditandai dengan akhir riwayat kehidupan yang lain. Hanya cicit-cicit makhluk
mungil, pilu mengorek telinga, ketika pasangan induknya justru terbang entah ke
mana. Dewata, jangan kau uji aku dengan penderitaan bibit-bibit kehidupan yang
murni. Biarlah aku gagal menjalani tapa, tapi jangan sampai terputus
harapan-harapan baru.
Tak tahan aku mendengar
cicit-cicit tak berdaya itu. Gelombang suaranya yang tak seberapa ternyata
mampu meremukkan jantung melebihi auman
raja rimba. Kubatalkan tapaku, kuturunkan sarang di atas kepalaku, dan
kukejar induk yang telah meninggalkan anak-anaknya. Kukejar dari kedalaman rimba,
hingga semakin masuk kedalam. Di tepi
Bengawan Gangga. Aku hanya menemukan kesunyian. Hanya desir angin dan riak air
sungai.
“Apa yang kaucari, anak
muda?”Aku membalik badan. Dua sosok bercahaya putih berdiri dengan sikap
jumawa.“Aku mencari sepasang burung pipit.”“Kamilah burung yang kaucari,” kata
yang seorang, dengan sepasang tangan berlipat di dada dan sepasang tangan lain
mencengkeram tongkat bertatah permata. Mataku luruh. Aku berlutut dan
menyembah.
“Bagaimana dengan nasib
anak-anak burung itu?”
“Tak perlu kau pikirkan.
Engkau punya kewajiban yang lebih besar, mengobati penderitaan Putri
Wirata.”“Bagaimana caranya?” “Engkau akan tahu.” Salah satu tangan kanannya
mengasongkan sebuah botol warna jingga.
“Di mana bisa kutemui dia?”
“Arah matahari terbenam.”
Aku menoleh. Matahari yang
hampir jatuh di seberang sungai membuat pandanganku silau, dan tak kulihat
apa-apa. Ketika kutolehkan lagi kepala, dua sosok bercahaya itu telah sirna.
Kutatap gelombang Gangga. Terlalu besar, terlampau lebar, dan pasti sangat
dalam untukkuarungi. Bahkan daratan di seberang pun hanya tampak seperti garis
samar.
Ada kecipak air beriak.
Sebuah perahu pelahan melaju. Ah, mungkin ada orang yang bersedia
menyeberangkanku. Dan benar, justru perahu itulah yang mendekat. Perahu
nelayankah? Bau amisnya begitu menyengat hidungku. “Tuan hendak menyeberang?”
Seseorang bertanya lebih dulu. Suara perempuan. Lembut dan sedikit serak. Bau
amis makin menyesaki hidungku. “Apakah aku berhadapan dengan Putri Wirata?”
“Bagaimana Tuan tahu?”
“Tuan Putri bersedia
menyeberangkanku?” Aku balik bertanya
“Asal Tuan bersedia
mengobatiku hingga sembuh.” Aku meloncat ke perahu. Mendekati putri cantik itu.
Perempuan yang cantik,
berlilit kain sederhana hingga sebatas dada. Rambutnya air terjun yang berkilau
oleh segaris sisa matahari. Benarkah bau amis itu meruab dari sekujur tubuhnya
yang sesungguhnya indah tiada tara? “Benar, Tuan, dan saya sangat menderita
karenanya.” Ia seakan sudah tahu apa isi hatiku. “Aku akan memohon.”
Kulipat kedua kakiku di
lantai perahu. Kutangkupkan kedua telapak tanganku, dan kupejamkan mataku.
Hanya bidang hitam. Dan kemudian titik cahaya putih, gemilang, makin lama makin
besar, dan akhirnya mewujud sosok bertangan empat itu. Oleskan minyak
Jayengkaton yang kuberikan padamu, bisiknya, jelas menyelusup dalam isi kepala.
“Ampuni Tuan Putri, saya akan
mengoleskan minyak ini ke sekujur tubuhmu.” Oh, jagat, ampuni aku, hanya inilah
jalan yang bisa kutempuh.“Tuan Putri, bukalah pakaianmu. Saya akan menutup
mataku.”
Kulepas ikatan bandana di
kepala, lalu kupasang menutupi mata, dan kuikat kencang di bagian belakang.
Gelap segera menyungkup. Hanya napas yang kutahan-tahan, agar bau amis tak
menyelusup hingga dada. Kuusapkan Jayengkaton ke sekujur tubuhnya. Oh, tubuh
yang begitu mulus. Seandainya tak meruabkan bau amis yang menyengat. Dewa
pengatur jagat, beri aku kekuatan.
Kubalurkan cairan minyak dari
telapak, kuusapkan dari bawah tengkuk pelan-pelan menyusuri kulitmu yang,
duhai, kenyal dan lembut seperti karet, menuruni lekukan di tengah punggungnya
yang melandai bagai alur sungai lurus ke dataran rendah, dan berakhir di
lembah, di antara tonjolan bokongnya yang membukit. Kurasakan, bukit itu
menggerinjal seperti entakan sebuah gempa.
“Ampun Tuan yang lembut,
hmmmmm seperti boneka, melesak sedikit melalui lekuk pusarnya dan yang sedikit
menonjol di tengahnya, mendaki hingga celah dua bulatan payudaranya yang
melembung dan kurasakan seperti kubah kembar, dan berakhir menjelang pundak
kirinya.
Oh, disertai lenguhan di bibir,
tubuhnya bergetar. Tubuhku menggetar. Tak ada lagi bau amis. Yang ada adalah
keharuman yang memabukkan. “Lepaskan bandanamu,” bisiknya. Napasnya
mengusappipiku.
Mentari telah hilang. Langit
menyungkup dengan bidangnya yang remang. Ombak Gangga hanya riak. Namun ombak
di dada bergemuruh menggelegak. Dan berahi pun tak terkendali.
Duhai Sang Pencipta, jangan
salahkan hamba, berahi adalah karunia purba yang turun-temurun diwariskan para
dewa, semenjak Sang Manikmaya dan Dewi Uma bahkan bercinta di angkasa di atas
punggung Sang Andini.) Tentu tak bisa kunihilkan peran dewata, yang membantuku
menolong Putri Wirata, dan lantas memboyongnya menjadi belahan jiwa, dan
kemudian membangun sebuah negara yang kelak akan menjadi adidaya.
“Kunamakan negeri ini Astina,
dan engkau menjadi permaisuri yang akan memancarkan keharuman ke negeri-negeri
manca,” kataku. “Aku sangat bahagia,” katanya. Wajahnya memancarkan cahaya,
apalagi setelah rahimnya menjadi pelindung setia sang putra, Abiyasa. Namun
(begitulah selalu bagian dari cerita:
namun –) di jagat fana ini kebahagiaan tak pernah abadi. Hidup hanya untuk
sementara. Pepatah jawa bilang seperti “urip iku kaya mampir ngombe”.
Abdi setia menemani sang
petapa. Semar, Gareng, Petruk dan Bagong muncul dalam arena hiburan. Empat
sekawan pertanda hidup bagai kiasan. Rupa aneh bukan takut tapi pertanda
hiburan akan berkumabang. Datang berdahuluan sang punakawan hidung panjang.
Petruk nama punakawan yang bergumang.
Petruk bukan pinokio dalam
sebuah dogeng. Yang mempunyai hidung panjang karena kebohongan. Semakin bohong
hidung memanjang bagai galang tak berujung. Ini bukan kisah dogeng yang
didengarkan. Hikayat yang menuju sejarah panjang. Petruk lambing sebuah abdi
setia untuk negara. Wujud aneh bukan halangan dalam mengabdi negara.
Suara gamelan jawa
berkumandang. Tembang – tembang penuh makna di dendangkan. Sang Punakawan
Petruk datang penuh senyuman. Menghibur dan menyenangkan hati orang. Kahyangan
dan bumi bergoyang. Goyang gempa bumi yang mengharukan. Berjalan dengan laku sang
penata tarian. Hidung panjang bergoyang – goyang. Ketawa keluar tak ketahan.
Wah, keluar duluan ….! Kata
Petruk.
Kang…….! Kang ……! Kang
Gareng……..!
Teman tak ada sendirian. Orang mengira syetan dalam
ruangan. Panggilan suara didendangkan memanggil saudara sekawan Gareng. Laku
pincang suara langkah sang punakawan. Gareng datang karena panggilan.
“Oh kamu Truk….. !” sapa
Gareng.
“Iya kang……..!” tangkas
Petruk.
“Ada apa Truk ?” Tanya
Gareng.
“Begini kang, daripada kita
tiduran lebih baik kita guyonan”, kata Petruk.
“Guyonan Truk” sahut Gareng
Iya kang, daripada kita
bengong menunggu Raden Palasara….! Kata Petruk.
“Iya Truk “
Sebelum kita masuk dunia
komedi, lebih baik kita
Gemah ripah loh jinawi,
permata indah bumi kstarian Talkanda, tempat satria rupawan dan menawan. Gagah
perkasa seperti Bima. Duduk di mimbar satria. Watak keras kepala mewujudkan
keserahkan dunia. Satria Talkanda Sentanu namanya. Wujud tampan dan rupawan
menarik perhatian wanita. Garis wajah tak serupa batara Kamajaya. Duduk ditemani
sang putra tercinta. Dewabrata namanya,
anak yang masih jabang bayi dalam pelukan sang sang rama. Menangis meronta,
meminta asi sang bunda. Dewi Gangga nama ibunya, meningglkan anaknya ketika
lahir, karena sumpah pada dewa.
Oek………..Oek………suara Dewabrata.
Menangis di pelukan sang
rama. Menanti datangnya asi bunda. Sentanu merasa berdosa membiarkan putranya
tanpa bunda. Ketika itu Santanu mendengar desas-desus bahwa di sekitar sungai
Yamuna tersebar bau yang sangat harum semerbak.
Suatu hari, seperti angin yang membadai tiba-tiba, datang ksatria gagah
tampan menggendong bayi dalam pelukan. Wajahnya muram, tapi matanya seakan
menggeram.
“Tolong susui bayiku
Dewabrata, dengan susu Sang Ratu,” katanya. Aku tak mampu berkata-kata
mendengar permintaannya yang tak biasa. “Aku tak bisa mengizinkan kecuali
dengan izinnya, ”jawabku. “Aku hanya ingin agar anakku, yang tak lagi beribu,
dapat mencicip zat-zat kehidupan yang paling bermutu.”
Kupanggil istriku. Matanya
tersenyum.Kuanggukkan kepala. Namun mata ksatria itu benar-benar menggeram
ketika mulut mungil Dewabrata dengan rakus mengisap puting Putri Wirata,
permaisuriku. “Aku Sentanu dari Talkanda. Permaisuri terlalu rupawan bagimu.
Bagaimana kalau aku meminta agar ia menjadi istriku?”Aku membelalak.
“Oh, ksatria yang baru
kukenal, benarkah kata-kata yang kudengar?”“Bila perlu, kita tentukan di
palagan. ”Tak tahan lagi mendengar penghinaan yang paling menghinakan,
kuterjang tubuhnya yang tak berkuda-kuda.Ia menggelepak dalam sekali gebrak.
Dengan cepat ia melenting dan
menjulurkan tinjunya. Namun aku sudah menduga gerakannya. Kumentahkan
pukulannya dengan tangan yang terbuka. Tubuhnya kembali terjengkang. Dan aku
akan melayangkan hantaman pemungkas tatkala melayang cahaya terang dari langit
siang. “Cucuku, tahan pukulanmu!”Sesosok tubuh tambun yang bercahaya berdiri di
antarakami.
Mmh, kebayan para dewa
rupanya.“Sudahlah, berikan negara dan istrimu,” katanya.
“Mengapa?”“Kau akan tahu
kelak sebabnya.”“Tapi mengapa?”
“Sudahlah, aku dewa, dan aku
lebih tahu segalanya.
”Namun hingga sekarang aku
tak pernah tahu mengapa negeri dan istriku tercinta harus menjadi milik orang
lain. Aku juga terus-menerus sangsi benarkah dewa lebih tahu segalanya.
Akhirnya Palasara menuruti bisikan dewa. Ia menyerahkan istri dan negeranya. Ia
hidup sebagai pandita di pertapan Rahtawu. Hidup sederhana layak rakyat biasa.
Istana diberikan karena dewa berbicara. Akhirnya Palasara meninggal dunia.
Negara telah diberikan kepada bukan putranya. Sentanu yang menerima tanah
HAstina. Putra Abiyasa hidup dalam pertapa bersama sang bunda.
Sentanu pulang ke HAstina.
Kerajaan yang diberikan Palasara. Bimbang dan ragu dalam pikirannya. Rasa
terpesona akan janda Palasara.
Oh ini gelmabang nadi yang
aku rasa…
Santanu jatuh cinta dan
hendak melamar istri Palasara. Ketika Sang Raja melamar istri palasara,
Gandawati namanya. Cantik menawan bagai bunga. Gandawati mengajukan syarat bahwa jika ia harus menjadi permaisuri Prabu Santanu, ia harus
diperlakukan sesuai dengan Dharma dan keturunan Gandhawatilah yang harus
menjadi penerus tahta. Mendengar syarat tersebut, Sang Raja pulang dengan
kecewa dan menahan sakit hati. Ia menjadi jatuh sakit karena terus memikirkan
gadis pujaannya yang tak kunjung ia dapatkan. Rasa terpesona begitu dalam
hatinya.
Melihat ayahnya jatuh sakit,
Dewabrata menyelidikinya. Ia bertanya kepada kusir yang mengantarkan ayahnya
jalan-jalan. Dari sana ia memperoleh informasi bahwa ayahnya jatuh cinta kepada
seorang gadis. Akhirnya, ia berangkat ke sungai Yamuna. Ia mewakili ayahnya
untuk melamar puteri Dasabala, Gandhawati, yang sangat diinginkan ayahnya. Ia
menuruti segala persyaratan yang diajukan Dasabala. Sumpah setia yang tak akan
dilanggar oleh satria. Ia rela menyerah tahta Astina.
Ia juga bersumpah tidak akan
menikah seumur hidup dan tidak akan meneruskan tahta keturunan Raja Kuru agar
kelak tidak terjadi perebutan kekuasan antara keturunannya dengan keturunan
Gandhawati. Sumpahnya disaksikan oleh para Dewa dan semenjak saat itu, namanya
berubah menjadi Bisma. Akhirnya Prabu Santanu dan Dewi Gandhawati menikah lalu
memiliki dua orang putra bernama Citrānggada dan Wicitrawirya. Prabu Santanu
wafat dan Bisma menunjuk Citrānggada sebagai penerus tahta HAstinapura. Belum
lama berkuasa Citranggada meninggal dan belum mempunyai permasuri. Maka untuk
selanjutnya di serahkan kepada Wicitrawirya.
Maka naik tahta sang
Wicitrawirya. Kelak Wicitrawirya akan menurunkan keluarga besar Pandawa dan
Kurawa. Maka agar tak seperti kakaknya yang tak memiliki keturunan sebelum
turun tahta. Sang Ibu Setyawati segera mencarikan permasuri. Bahwa terdengar
kabar di kerajaan Kasi ada sebuah sayembara tanding untuk merebutkan seorang
putri cantik dari Kerajaan Kasi. Ia menyuruhnya Anaknya Dewabrata untuk
mengikuti sayembara tersebut. Karena demi janji yang telah diucapkan sang
Dewabrata menuruti perintah sang Ibu.
Bisma segera berangkat ke
Kerajaan Kasi. Dan mohon doa restu dari sang ibu agar berhasil. Bisma
segera datang ke tempat sayembara. Ia
mengalahkan semua peserta yang ada di sana, termasuk Raja Salwa yang konon amat
tangguh. Bisma memboyong Amba tepat pada saat Amba memilih Salwa sebagai
suaminya, namun hal itu tidak diketahui oleh Bisma dan Amba terlalu takut untuk
mengatakannya.
Bersama dengan tiga adiknya
yang lain, yaitu Ambika dan Ambalika, Amba diboyong ke HAstinapura oleh Bisma
untuk dinikahkan kepada Wicitrawirya. Kedua adik Amba menikah dengan
Wicitrawirya, namun hati Amba tertambat kepada Salwa. Setelah Amba menjelaskan
bahwa ia telah memilih Salwa sebagai suaminya, Wicitrawirya merasa bahwa tidak
baik untuk menikahi wanita yang sudah terlanjur mencintai orang lain. Akhirnya
ia mengizinkan Amba pergi menghadap Salwa.
Ketika Amba tiba di istana
Salwa, ia ditolak sebab Salwa enggan menikahi wanita yang telah direbut
darinya. Karena Salwa telah dikalahkan oleh Bisma, maka Salwa merasa bahwa yang
pantas menikahi Amba adalah Bisma. Maka Amba kembali ke HAstinapura untuk
menikah dengan Bisma. Namun Bisma yang bersumpah untuk tidak kawin seumur hidup
menolak untuk menikah dengan Amba. Akhirnya hidup Amba terkatung-katung di
hutan. Ia tidak diterima oleh Salwa, tidak pula oleh Bisma.
Karena Amba terus mendesak dan memaksanya,
akhirnya tanpa sengaja ia tewas oleh panah Dewabrata yang semula hanya
bermaksud untuk menakut-nakutinya. Sebelum meninggal Amba mengeluarkan kutukan,
akan menuntut balas kematiannya dengan perantara seorang prajurit wanita, yaitu
Srikandi. Kutukan Dewi Amba terhadap Dewabrata menjadi kenyataan. Dalam perang
Bharatayuddha, arwahnya menjelma dalam tubuh Srikandi dan berhasil menewaskan
Bisma (Dewabrata).
Dalam kurun waktu yang tak
terlalu lama Citrawirya tak kunjung memberikan cucu malah kematian datang
menjemput. Ia mati dalam keadaan belum punya keturunan.
Setelah kematian Citranggada
dan Citrawirya anak-anak Dewi Setyawati dengan Prabu Sentanu.” Dewi Gandawati
merasakan kebimbangan terus siapa yang akan melanjutkan pemerintahan
Astina...?”. Ia mulai teringat akan anak yang pertama di Rahtawu. Maka ia
mengirim utusan untuk memberitahukan maksudnya. Surat sudah di tangan Abiyasa.
Dewi Gandawati meminta Begawan Abiyasa untuk memberikan keturunan. Atas
permintaan ibunya, Begawan Abiyasa menikah dengan janda adik tirinya. Maka
lahirlah kestatria yang buta dari Dewi Ambika karena saat bertemu Abiyasa ia
menutup mata yang diberinama Destarata.
Dan Pandu yang tengleng dan bule dari Dewi Ambalika karena pada saat
bertemu ia memaling muka. Karena anaknya cacat, Dewi Satyawati memintanya untuk
berketurunan lagi sehingga lahir Yamawidura dari dayang bernama Datri. Namun,
Yamawidura pun cacat, yaitu kakinya timpang. Karena ketika Datri bertemu
Abiyasa ia lari sambil terpincang – pincang.
Karena pemerintahan Astina yang
komplang tanpa ada pemimipin. Abiyasa disuruh sang Ibu untuk naik tahta
menggantikan adiknya. Abiyasa menurut. Tahta Astinadipegang sang putra
Palasara. Kerajaan kembali padanya. Bergelar Prabu Kresnadwipayana. Naik tahta
sang Abiyasa menjadi raja HAstina.
Ketentraman dan kedamaian bagi kerajaan HAstina. Negara gung binantara
Prabu Kresnadwipayana naik mimbar raja. Bertahtakan emas dan permata. Permadi
kapuk babut sutra. Indah dan mempesona. Bukan tempatnya begawan yang suka
bertapa.
Melihat
anaknya sudah mencapai dewasa. Di Negara Astina, Prabu Kresnadwipayana sedang
memikirkan suksesi kerajaan untuk menggantikan dirinya. Ia merasa sudah tua dan
saatnya untuk diganti yang lebih muda. Hal itu untuk melancarkan jalannya tata
pemerintahan dan menghindari adanya konflik baik dari dalam maupun dari luar.
“Oh
sang pencipta apa yang harus perbuat...”,keluh sang Prabu.
Prabu
Kresna Dwipayana merasa gundah karena sesuai adat hukum kerajaan bahwa yang
berhak menggantikannya adalah putra tertua yakni Raden Drestarasta tetapi ia
mempunyai kekurangan yakni cacat netra. Hal ini akan menimbulkan
ketidaklancaran jalannya pemerintahan, sehingga bisa menimbulkan ringkihnya
kerajaan. Tapi bila ia memilih anaknya yang kedua, inipun akan dianggap
menyalahi adat hukum kerajaan, yang nantinya akan menimbulkan ketidakpuasaan
disisi lain.
Apalagi
memilih anaknya yang ketiga, jelas tidak mungkin. Untuk itu ia tidak ingin
memaksakan kehendak, justru ia menyerahkan kepada ketiga anaknya untuk berfikir
siapa yang lebih mampu dan berhak untuk menggantikan dirinya Raden Drestarasta
mengusulkan Raden Pandu untuk menggantikan raja Astina. Ia merasa, walau sebagai
putra tertua, namun ia menyadari akan kekurangannya. Sebagai seorang raja harus
sempurna lahir dan batin hal ini untuk menjaga kewibawaan raja dan lancarnya
pemerintahan. Namun Raden Pandu tidak bersedia, ia berpedoman sesuai adat hukum
kerajaan bahwa yang berhak menduduki raja adalah putra tertua, bila dipaksakan
dikawatirkan dikemudian hari akan menimbulkan masalah. Raden Yamawidura juga
menolak karena merasa paling muda dan belum cukup umur untuk memikul tanggung
jawab sebagai raja.
Prabu
Kresnadwipayana pertama merasa senang ternyata anak-anaknya dapat berfikir
dengan hati nuraninya, menyadari akan kekurangan yang ada dalam dirinya dan
bisa mendudukkan posisinya masing-masing, sehingga tidak saling berebut
kekuasaan yang bisa menimbulkan perpecahan dan persaudaraan. Tapi Prabu
Kresnadwipayana juga semakin gundah, bila suksesi tidak segera dilakukan akan
menimbulkan ringkihnya kerajaan dan kurang lancarnya tata pemerintahan, hal ini
akan menimbulkan ancaman baik dari luar maupun dari dalam kerajaan.
Disaat
suasana semakin sedih dan gundah, tiba-tiba dikejutkan datangnya laporan bahwa
Astina kedatangan musuh dari negara Lengkapura yang dipimpin Prabu Wisamuka.
Raksasa gagah perkasa. Raja bengis dan kejam dari mancanegara. Datang untuk
menaklukkan Astina. Ganda besar ditangan siap menyiupkan sang Prabu
Kresnadwipayana.
Prabu
Kresnadwipayana semakin gundah tapi satu sisi ia merasa dapat jalan, dalam
dirinya berfikir. Kini, inilah jalan untuk menguji ketiga putranya, siapa
diantara ketiga putranya yang berhasil mengusir musuh sehingga disitu dapat
dijadikan alasan untuk menetapkan jadi raja, sehingga rakyat nanti betul-betul
menilai pemimpinnya sudah teruji dam mampu menyelamatkan rakyat, bangsa dan
negaranya. Akhirnya ketiga putranya berangkat ke medan perang menghadapi Prabu
Wisamuka
Di
medan pertempuran ketiga putra Astina berhadapan dengan Prabu Wisamuka. Namun
karena kesaktian Prabu Wisamuka, ketiga putra Astina dapat dikalahkan, sehingga
mengundurkan diri dan kembali ke Istana, tetapi Raden Pandu, tidak kembali ke
istana tapi masuk ke hutan mencari sarana untuk dapat mengalahkan musuh.
Dalam
perjalanan di hutan, Raden Pandu betemu dengan Batara bayu dan Kamajaya yang
sebelumnya menyamar menjadi raksasa dan menyerang Pandu setelah dikalahkan
kembali ke ujudnya. Oleh Bayu Pandu mendapat Aji Bargawastra dan di aku anak
oleh Bayu dan diberi nama Gandawrakta dan oleh Kamajaya diberi keris Kyai Sipat
Kelor. Setelah mendapatkan kesaktian Raden Pandu kembali ke istana.
Di
Negara Amarta, Prabu Kresnadwipayana merasa sedih karena kepergian Raden Pandu
yang tidak berpamitan sebelumnya, apalagi negara dalam keadaan bahaya.
Tiba-tiba Raden Pandu datang dan menceritakan maksud kepergiannya. Selanjutnya
Raden Pandu bermaksud ingin mengusir musuh dari Negara Astina. Maka dengan
dibantu sahabat-sahabat kerajaan Astina, antara lain Prabu Kuntiboja dari
Mandura, Prabu Mandradipa dari Kerajaan Mandraka, Pandu berangkat ke medan
pertempuran.
Dengan
kesaktian Raden Pandu, Prabu Wisamuka dapat dibunuh dan bala tentaranya
melarikan diri. Negara Astina kembali dalam keadaan aman, Pandu kembali ke
Istana. Dengan keberhasilan Raden Pandu mengusir musuh dan menyelamatkan negara
ini, mendorong hati saudara tua maupun mudanya yakni Raden Drestarasta dan
Raden Yamawidura untuk mendukung sepenuhnya Raden Pandu untuk menggantikan Raja
Astina. Prabu Kresna Dwipayana juga sependapat dengan anak-anaknya bahwa Pandu
dianggap yang paling mampu memimpin negara Astina. Resi Bisma yang hadir di
negara Astina saat itu juga mendukung pengangkatan Raden Pandu untuk menjadi
raja Astina. Maka dengan dukungan penuh baik dari kakek, ayah, saudara dan
rakyat Astina, Pandu dinobatkan menjadi raja Astina menggantikan Prabu Kresna
Dwipayana dengan gelar Prabu Pandu Dewanata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar