AWAL KISAH DARAH KURU - Sastra Education

Breaking

Sabtu, 21 Mei 2016

AWAL KISAH DARAH KURU




Inilah aku begawan Palasara, pandhita pendiri Astinapura. Bukan Sentanu. Aku kecil dan sederhana. Wujudku tidak melebihi batara Kamajaya. Baju putih dan dengan bendana (Topi seperti kain sorban yang diikat dengan melingkarkan di kepala). Tidak tampan seperti cicitku Arjuna. Tidak gagah seperti cicitku Werkudara. Rona wajahku seperti melati bunga. Kulit sawo matang seperti kebanyakan orang Jawa. Aku hidup sebagai pandhita muda di pertapaan Wukir Rahtawu. Aku serupa dengan Jet Li muda.  Hidup sederhana bukan layaknya raja. Dengan empat orang abdi yang setia yaitu Semar, Gareng,  Petruk dan Bagong.
. Semar yang bentuk bulat seperti gentong, kuncung dikepalanya mata yang sedikit merem. Menandakan bahwa ia bukan pemalas melainkan sesuatu lambang menandakan bahwa dia seorang yang sangup melawan hawa nafsu dunia. Anak yang pertama Gareng bentuk badan seperti kapal dengan tangan cengkot dan kaki pincang. Ia merupakan pertanda kawula yang hati – hati dalam bertindak. Dan tidak suka mengambil hak milik oarng lain. Anak yang kedua Petruk. Memiliki hidung panjang dan berkulit hitam dengan badan tinggi. Anak yang ketiga Bagong. Badan seperti gentong bibir tebal dan suka menghibur.

Aku ingin mengungkapkan bahwa aku bukan Sentanu sebagaimana kitab-kitab besar menulisnya, pemilik sah Astinapura. Aku mungkin bukan siapa-siapa, manusia yang tak berapa-apa. Manusia miskin yang hidup didesa. Manusia yang rela melepaskan dunia karena bisikan dewa. Kisahku berawal dari sungai Yamuna. Pertemuanku dengan putri raja. Dewi Dasabala namanya.

Putri, berbaliklah.”Kubalurkan minyak dari telapak, kuusapkan menyusuri permukaan perutnya, inilah awal kisahku.
Namun Sakri, ayahku, dan Sakutrem, kakekku, pernah mencoreng wajah para dewa, setidaknya menurut nalar, ketika keduanya, pada masa yang berbeda, berhasil membasmi para penyerang Suralaya, yang tak mampu dihadapi bahkan oleh dewanya para dewa. Sakutrem membunuh raja Nuswantara, sedangkan Sakri membinasakan entah raja siapa, karena tak tercatat dalam hikayat. Logika yang kacau pula, bukan? Bedanya, kemudian, Sakutrem mendapat anugerah seorang dewi jelita, sedangkan keinginan Sakri untuk beristrikan bidadari yang serupa ditolak mentah-mentah para dewa. Padahal, kurasa, keinginan Sakri itu wajar saja.
Disamping mengalahkan penyerbu Suralaya, ia juga  masih berdarah dewa. Bukankah Sakutrem itu putra Resi Manumayasa, cucu Resi Parikenan, dan cicit Resi Bremani? Bukankah  Bremani itu putra Batara Brama? Dan bukankah Batara Brama itu putra Sang Manikmaya dan Dewi Uma? Bukan berarti aku sedang mengaku-aku sebagai keturunan dewa. Aku juga  tidak bangga karenanya. Aku hanya mencoba menguraikan bukti bahwa ada bibit-bibit ketidakadilan yang dilakukan para dewa. Aku sendiri tak punya banyak ambisi. Sejak muda aku malah lebih suka bertapa di rimba raya. Aku ingin mengikuti laku kakek Resi Manumayasa, yang mencapai taraf mumpuni dalam olah batin dan kanuragan sekaligus.
Jangankan hanya sepasang burung pipit, sedangkan terhadap yang berwujud segala rupa yang menakutkan aku tak beringsut setapak pun dari titik pusat semadiku. Apalagi hanya selusin bidadari yang gemulai menari, cuma berbusana kelopak bunga di sekeliling pinggangnya. Juga ketika kedua burung kecil itu membangun sarang, melalui jalinan tangkai demi tangkai ranting dan helai demi helai ilalang dan daun kering, lalu bercinta dan membuahkan telur di atas kepalaku.
Sebuah awal kehidupan, yang ditandai dengan akhir riwayat kehidupan yang lain. Hanya cicit-cicit makhluk mungil, pilu mengorek telinga, ketika pasangan induknya justru terbang entah ke mana. Dewata, jangan kau uji aku dengan penderitaan bibit-bibit kehidupan yang murni. Biarlah aku gagal menjalani tapa, tapi jangan sampai terputus harapan-harapan baru.
Tak tahan aku mendengar cicit-cicit tak berdaya itu. Gelombang suaranya yang tak seberapa ternyata mampu meremukkan jantung melebihi auman  raja rimba. Kubatalkan tapaku, kuturunkan sarang di atas kepalaku, dan kukejar induk yang telah meninggalkan anak-anaknya. Kukejar dari kedalaman rimba, hingga semakin masuk kedalam.  Di tepi Bengawan Gangga. Aku hanya menemukan kesunyian. Hanya desir angin dan riak air sungai.
“Apa yang kaucari, anak muda?”Aku membalik badan. Dua sosok bercahaya putih berdiri dengan sikap jumawa.“Aku mencari sepasang burung pipit.”“Kamilah burung yang kaucari,” kata yang seorang, dengan sepasang tangan berlipat di dada dan sepasang tangan lain mencengkeram tongkat bertatah permata. Mataku luruh. Aku berlutut dan menyembah.
“Bagaimana dengan nasib anak-anak burung itu?”
“Tak perlu kau pikirkan. Engkau punya kewajiban yang lebih besar, mengobati penderitaan Putri Wirata.”“Bagaimana caranya?” “Engkau akan tahu.” Salah satu tangan kanannya mengasongkan sebuah botol warna jingga.
“Di mana bisa kutemui dia?” “Arah matahari terbenam.”
Aku menoleh. Matahari yang hampir jatuh di seberang sungai membuat pandanganku silau, dan tak kulihat apa-apa. Ketika kutolehkan lagi kepala, dua sosok bercahaya itu telah sirna. Kutatap gelombang Gangga. Terlalu besar, terlampau lebar, dan pasti sangat dalam untukkuarungi. Bahkan daratan di seberang pun hanya tampak seperti garis samar.
Ada kecipak air beriak. Sebuah perahu pelahan melaju. Ah, mungkin ada orang yang bersedia menyeberangkanku. Dan benar, justru perahu itulah yang mendekat. Perahu nelayankah? Bau amisnya begitu menyengat hidungku. “Tuan hendak menyeberang?” Seseorang bertanya lebih dulu. Suara perempuan. Lembut dan sedikit serak. Bau amis makin menyesaki hidungku. “Apakah aku berhadapan dengan Putri Wirata?”
“Bagaimana Tuan tahu?”
“Tuan Putri bersedia menyeberangkanku?” Aku balik bertanya
“Asal Tuan bersedia mengobatiku hingga sembuh.” Aku meloncat ke perahu. Mendekati putri cantik itu.
Perempuan yang cantik, berlilit kain sederhana hingga sebatas dada. Rambutnya air terjun yang berkilau oleh segaris sisa matahari. Benarkah bau amis itu meruab dari sekujur tubuhnya yang sesungguhnya indah tiada tara? “Benar, Tuan, dan saya sangat menderita karenanya.” Ia seakan sudah tahu apa isi hatiku. “Aku akan memohon.”
Kulipat kedua kakiku di lantai perahu. Kutangkupkan kedua telapak tanganku, dan kupejamkan mataku. Hanya bidang hitam. Dan kemudian titik cahaya putih, gemilang, makin lama makin besar, dan akhirnya mewujud sosok bertangan empat itu. Oleskan minyak Jayengkaton yang kuberikan padamu, bisiknya, jelas menyelusup dalam isi kepala.
“Ampuni Tuan Putri, saya akan mengoleskan minyak ini ke sekujur tubuhmu.” Oh, jagat, ampuni aku, hanya inilah jalan yang bisa kutempuh.“Tuan Putri, bukalah pakaianmu. Saya akan menutup mataku.”
Kulepas ikatan bandana di kepala, lalu kupasang menutupi mata, dan kuikat kencang di bagian belakang. Gelap segera menyungkup. Hanya napas yang kutahan-tahan, agar bau amis tak menyelusup hingga dada. Kuusapkan Jayengkaton ke sekujur tubuhnya. Oh, tubuh yang begitu mulus. Seandainya tak meruabkan bau amis yang menyengat. Dewa pengatur jagat, beri aku kekuatan.
Kubalurkan cairan minyak dari telapak, kuusapkan dari bawah tengkuk pelan-pelan menyusuri kulitmu yang, duhai, kenyal dan lembut seperti karet, menuruni lekukan di tengah punggungnya yang melandai bagai alur sungai lurus ke dataran rendah, dan berakhir di lembah, di antara tonjolan bokongnya yang membukit. Kurasakan, bukit itu menggerinjal seperti entakan sebuah gempa.
“Ampun Tuan yang lembut, hmmmmm seperti boneka, melesak sedikit melalui lekuk pusarnya dan yang sedikit menonjol di tengahnya, mendaki hingga celah dua bulatan payudaranya yang melembung dan kurasakan seperti kubah kembar, dan berakhir menjelang pundak kirinya.
Oh, disertai lenguhan di bibir, tubuhnya bergetar. Tubuhku menggetar. Tak ada lagi bau amis. Yang ada adalah keharuman yang memabukkan. “Lepaskan bandanamu,” bisiknya. Napasnya mengusappipiku.
Mentari telah hilang. Langit menyungkup dengan bidangnya yang remang. Ombak Gangga hanya riak. Namun ombak di dada bergemuruh menggelegak. Dan berahi pun tak terkendali.
Duhai Sang Pencipta, jangan salahkan hamba, berahi adalah karunia purba yang turun-temurun diwariskan para dewa, semenjak Sang Manikmaya dan Dewi Uma bahkan bercinta di angkasa di atas punggung Sang Andini.) Tentu tak bisa kunihilkan peran dewata, yang membantuku menolong Putri Wirata, dan lantas memboyongnya menjadi belahan jiwa, dan kemudian membangun sebuah negara yang kelak akan menjadi adidaya. 
“Kunamakan negeri ini Astina, dan engkau menjadi permaisuri yang akan memancarkan keharuman ke negeri-negeri manca,” kataku. “Aku sangat bahagia,” katanya. Wajahnya memancarkan cahaya, apalagi setelah rahimnya menjadi pelindung setia sang putra, Abiyasa. Namun (begitulah selalu  bagian dari cerita: namun –) di jagat fana ini kebahagiaan tak pernah abadi. Hidup hanya untuk sementara. Pepatah jawa bilang seperti “urip iku kaya mampir ngombe”.
Abdi setia menemani sang petapa. Semar, Gareng, Petruk dan Bagong muncul dalam arena hiburan. Empat sekawan pertanda hidup bagai kiasan. Rupa aneh bukan takut tapi pertanda hiburan akan berkumabang. Datang berdahuluan sang punakawan hidung panjang. Petruk nama punakawan yang bergumang.
Petruk bukan pinokio dalam sebuah dogeng. Yang mempunyai hidung panjang karena kebohongan. Semakin bohong hidung memanjang bagai galang tak berujung. Ini bukan kisah dogeng yang didengarkan. Hikayat yang menuju sejarah panjang. Petruk lambing sebuah abdi setia untuk negara. Wujud aneh bukan halangan dalam mengabdi negara.
Suara gamelan jawa berkumandang. Tembang – tembang penuh makna di dendangkan. Sang Punakawan Petruk datang penuh senyuman. Menghibur dan menyenangkan hati orang. Kahyangan dan bumi bergoyang. Goyang gempa bumi yang mengharukan. Berjalan dengan laku sang penata tarian. Hidung panjang bergoyang – goyang. Ketawa keluar tak ketahan.
Wah, keluar duluan ….! Kata Petruk.
Kang…….! Kang ……! Kang Gareng……..!
Teman tak ada  sendirian. Orang mengira syetan dalam ruangan. Panggilan suara didendangkan memanggil saudara sekawan Gareng. Laku pincang suara langkah sang punakawan. Gareng datang karena panggilan.
“Oh kamu Truk….. !” sapa Gareng.
“Iya kang……..!” tangkas Petruk.
“Ada apa Truk ?” Tanya Gareng.
“Begini kang, daripada kita tiduran lebih baik kita guyonan”, kata Petruk.
“Guyonan Truk” sahut Gareng
Iya kang, daripada kita bengong menunggu Raden Palasara….! Kata Petruk.
“Iya Truk “
Sebelum kita masuk dunia komedi, lebih baik kita 



Gemah ripah loh jinawi, permata indah bumi kstarian Talkanda, tempat satria rupawan dan menawan. Gagah perkasa seperti Bima. Duduk di mimbar satria. Watak keras kepala mewujudkan keserahkan dunia. Satria Talkanda Sentanu namanya. Wujud tampan dan rupawan menarik perhatian wanita. Garis wajah tak serupa batara Kamajaya. Duduk ditemani sang putra tercinta.  Dewabrata namanya, anak yang masih jabang bayi dalam pelukan sang sang rama. Menangis meronta, meminta asi sang bunda. Dewi Gangga nama ibunya, meningglkan anaknya ketika lahir, karena sumpah pada dewa.
Oek………..Oek………suara Dewabrata.
Menangis di pelukan sang rama. Menanti datangnya asi bunda. Sentanu merasa berdosa membiarkan putranya tanpa bunda. Ketika itu Santanu mendengar desas-desus bahwa di sekitar sungai Yamuna tersebar bau yang sangat harum semerbak.  Suatu hari, seperti angin yang membadai tiba-tiba, datang ksatria gagah tampan menggendong bayi dalam pelukan. Wajahnya muram, tapi matanya seakan menggeram.
“Tolong susui bayiku Dewabrata, dengan susu Sang Ratu,” katanya. Aku tak mampu berkata-kata mendengar permintaannya yang tak biasa. “Aku tak bisa mengizinkan kecuali dengan izinnya, ”jawabku. “Aku hanya ingin agar anakku, yang tak lagi beribu, dapat mencicip zat-zat kehidupan yang paling bermutu.”
Kupanggil istriku. Matanya tersenyum.Kuanggukkan kepala. Namun mata ksatria itu benar-benar menggeram ketika mulut mungil Dewabrata dengan rakus mengisap puting Putri Wirata, permaisuriku. “Aku Sentanu dari Talkanda. Permaisuri terlalu rupawan bagimu. Bagaimana kalau aku meminta agar ia menjadi istriku?”Aku membelalak.
“Oh, ksatria yang baru kukenal, benarkah kata-kata yang kudengar?”“Bila perlu, kita tentukan di palagan. ”Tak tahan lagi mendengar penghinaan yang paling menghinakan, kuterjang tubuhnya yang tak berkuda-kuda.Ia menggelepak dalam sekali gebrak.
Dengan cepat ia melenting dan menjulurkan tinjunya. Namun aku sudah menduga gerakannya. Kumentahkan pukulannya dengan tangan yang terbuka. Tubuhnya kembali terjengkang. Dan aku akan melayangkan hantaman pemungkas tatkala melayang cahaya terang dari langit siang. “Cucuku, tahan pukulanmu!”Sesosok tubuh tambun yang bercahaya berdiri di antarakami.
Mmh, kebayan para dewa rupanya.“Sudahlah, berikan negara dan istrimu,” katanya.
“Mengapa?”“Kau akan tahu kelak sebabnya.”“Tapi mengapa?”
“Sudahlah, aku dewa, dan aku lebih tahu segalanya.
”Namun hingga sekarang aku tak pernah tahu mengapa negeri dan istriku tercinta harus menjadi milik orang lain. Aku juga terus-menerus sangsi benarkah dewa lebih tahu segalanya. Akhirnya Palasara menuruti bisikan dewa. Ia menyerahkan istri dan negeranya. Ia hidup sebagai pandita di pertapan Rahtawu. Hidup sederhana layak rakyat biasa. Istana diberikan karena dewa berbicara. Akhirnya Palasara meninggal dunia. Negara telah diberikan kepada bukan putranya. Sentanu yang menerima tanah HAstina. Putra Abiyasa hidup dalam pertapa bersama sang bunda.
Sentanu pulang ke HAstina. Kerajaan yang diberikan Palasara. Bimbang dan ragu dalam pikirannya. Rasa terpesona akan janda Palasara.
Oh ini gelmabang nadi yang aku rasa…
Santanu jatuh cinta dan hendak melamar istri Palasara. Ketika Sang Raja melamar istri palasara, Gandawati namanya. Cantik menawan bagai bunga. Gandawati  mengajukan syarat bahwa jika ia harus  menjadi permaisuri Prabu Santanu, ia harus diperlakukan sesuai dengan Dharma dan keturunan Gandhawatilah yang harus menjadi penerus tahta. Mendengar syarat tersebut, Sang Raja pulang dengan kecewa dan menahan sakit hati. Ia menjadi jatuh sakit karena terus memikirkan gadis pujaannya yang tak kunjung ia dapatkan. Rasa terpesona begitu dalam hatinya.
Melihat ayahnya jatuh sakit, Dewabrata menyelidikinya. Ia bertanya kepada kusir yang mengantarkan ayahnya jalan-jalan. Dari sana ia memperoleh informasi bahwa ayahnya jatuh cinta kepada seorang gadis. Akhirnya, ia berangkat ke sungai Yamuna. Ia mewakili ayahnya untuk melamar puteri Dasabala, Gandhawati, yang sangat diinginkan ayahnya. Ia menuruti segala persyaratan yang diajukan Dasabala. Sumpah setia yang tak akan dilanggar oleh satria. Ia rela menyerah tahta Astina.
Ia juga bersumpah tidak akan menikah seumur hidup dan tidak akan meneruskan tahta keturunan Raja Kuru agar kelak tidak terjadi perebutan kekuasan antara keturunannya dengan keturunan Gandhawati. Sumpahnya disaksikan oleh para Dewa dan semenjak saat itu, namanya berubah menjadi Bisma. Akhirnya Prabu Santanu dan Dewi Gandhawati menikah lalu memiliki dua orang putra bernama Citrānggada dan Wicitrawirya. Prabu Santanu wafat dan Bisma menunjuk Citrānggada sebagai penerus tahta HAstinapura. Belum lama berkuasa Citranggada meninggal dan belum mempunyai permasuri. Maka untuk selanjutnya di serahkan kepada Wicitrawirya.
Maka naik tahta sang Wicitrawirya. Kelak Wicitrawirya akan menurunkan keluarga besar Pandawa dan Kurawa. Maka agar tak seperti kakaknya yang tak memiliki keturunan sebelum turun tahta. Sang Ibu Setyawati segera mencarikan permasuri. Bahwa terdengar kabar di kerajaan Kasi ada sebuah sayembara tanding untuk merebutkan seorang putri cantik dari Kerajaan Kasi. Ia menyuruhnya Anaknya Dewabrata untuk mengikuti sayembara tersebut. Karena demi janji yang telah diucapkan sang Dewabrata menuruti perintah sang Ibu.
Bisma segera berangkat ke Kerajaan Kasi. Dan mohon doa restu dari sang ibu agar berhasil. Bisma segera  datang ke tempat sayembara. Ia mengalahkan semua peserta yang ada di sana, termasuk Raja Salwa yang konon amat tangguh. Bisma memboyong Amba tepat pada saat Amba memilih Salwa sebagai suaminya, namun hal itu tidak diketahui oleh Bisma dan Amba terlalu takut untuk mengatakannya.
Bersama dengan tiga adiknya yang lain, yaitu Ambika dan Ambalika, Amba diboyong ke HAstinapura oleh Bisma untuk dinikahkan kepada Wicitrawirya. Kedua adik Amba menikah dengan Wicitrawirya, namun hati Amba tertambat kepada Salwa. Setelah Amba menjelaskan bahwa ia telah memilih Salwa sebagai suaminya, Wicitrawirya merasa bahwa tidak baik untuk menikahi wanita yang sudah terlanjur mencintai orang lain. Akhirnya ia mengizinkan Amba pergi menghadap Salwa.
Ketika Amba tiba di istana Salwa, ia ditolak sebab Salwa enggan menikahi wanita yang telah direbut darinya. Karena Salwa telah dikalahkan oleh Bisma, maka Salwa merasa bahwa yang pantas menikahi Amba adalah Bisma. Maka Amba kembali ke HAstinapura untuk menikah dengan Bisma. Namun Bisma yang bersumpah untuk tidak kawin seumur hidup menolak untuk menikah dengan Amba. Akhirnya hidup Amba terkatung-katung di hutan. Ia tidak diterima oleh Salwa, tidak pula oleh Bisma.
 Karena Amba terus mendesak dan memaksanya, akhirnya tanpa sengaja ia tewas oleh panah Dewabrata yang semula hanya bermaksud untuk menakut-nakutinya. Sebelum meninggal Amba mengeluarkan kutukan, akan menuntut balas kematiannya dengan perantara seorang prajurit wanita, yaitu Srikandi. Kutukan Dewi Amba terhadap Dewabrata menjadi kenyataan. Dalam perang Bharatayuddha, arwahnya menjelma dalam tubuh Srikandi dan berhasil menewaskan Bisma (Dewabrata).
Dalam kurun waktu yang tak terlalu lama Citrawirya tak kunjung memberikan cucu malah kematian datang menjemput. Ia mati dalam keadaan belum punya keturunan.
Setelah kematian Citranggada dan Citrawirya anak-anak Dewi Setyawati dengan Prabu Sentanu.” Dewi Gandawati merasakan kebimbangan terus siapa yang akan melanjutkan pemerintahan Astina...?”. Ia mulai teringat akan anak yang pertama di Rahtawu. Maka ia mengirim utusan untuk memberitahukan maksudnya. Surat sudah di tangan Abiyasa. Dewi Gandawati meminta Begawan Abiyasa untuk memberikan keturunan. Atas permintaan ibunya, Begawan Abiyasa menikah dengan janda adik tirinya. Maka lahirlah kestatria yang buta dari Dewi Ambika karena saat bertemu Abiyasa ia menutup mata yang diberinama Destarata.  Dan Pandu yang tengleng dan bule dari Dewi Ambalika karena pada saat bertemu ia memaling muka. Karena anaknya cacat, Dewi Satyawati memintanya untuk berketurunan lagi sehingga lahir Yamawidura dari dayang bernama Datri. Namun, Yamawidura pun cacat, yaitu kakinya timpang. Karena ketika Datri bertemu Abiyasa ia lari sambil terpincang – pincang.
Karena pemerintahan Astina yang komplang tanpa ada pemimipin. Abiyasa disuruh sang Ibu untuk naik tahta menggantikan adiknya. Abiyasa menurut. Tahta Astinadipegang sang putra Palasara. Kerajaan kembali padanya. Bergelar Prabu Kresnadwipayana. Naik tahta sang Abiyasa menjadi raja HAstina.  Ketentraman dan kedamaian bagi kerajaan HAstina. Negara gung binantara Prabu Kresnadwipayana naik mimbar raja. Bertahtakan emas dan permata. Permadi kapuk babut sutra. Indah dan mempesona. Bukan tempatnya begawan yang suka bertapa.
Melihat anaknya sudah mencapai dewasa. Di Negara Astina, Prabu Kresnadwipayana sedang memikirkan suksesi kerajaan untuk menggantikan dirinya. Ia merasa sudah tua dan saatnya untuk diganti yang lebih muda. Hal itu untuk melancarkan jalannya tata pemerintahan dan menghindari adanya konflik baik dari dalam maupun dari luar.
“Oh sang pencipta apa yang harus perbuat...”,keluh sang Prabu.
Prabu Kresna Dwipayana merasa gundah karena sesuai adat hukum kerajaan bahwa yang berhak menggantikannya adalah putra tertua yakni Raden Drestarasta tetapi ia mempunyai kekurangan yakni cacat netra. Hal ini akan menimbulkan ketidaklancaran jalannya pemerintahan, sehingga bisa menimbulkan ringkihnya kerajaan. Tapi bila ia memilih anaknya yang kedua, inipun akan dianggap menyalahi adat hukum kerajaan, yang nantinya akan menimbulkan ketidakpuasaan disisi lain.
Apalagi memilih anaknya yang ketiga, jelas tidak mungkin. Untuk itu ia tidak ingin memaksakan kehendak, justru ia menyerahkan kepada ketiga anaknya untuk berfikir siapa yang lebih mampu dan berhak untuk menggantikan dirinya Raden Drestarasta mengusulkan Raden Pandu untuk menggantikan raja Astina. Ia merasa, walau sebagai putra tertua, namun ia menyadari akan kekurangannya. Sebagai seorang raja harus sempurna lahir dan batin hal ini untuk menjaga kewibawaan raja dan lancarnya pemerintahan. Namun Raden Pandu tidak bersedia, ia berpedoman sesuai adat hukum kerajaan bahwa yang berhak menduduki raja adalah putra tertua, bila dipaksakan dikawatirkan dikemudian hari akan menimbulkan masalah. Raden Yamawidura juga menolak karena merasa paling muda dan belum cukup umur untuk memikul tanggung jawab sebagai raja.
Prabu Kresnadwipayana pertama merasa senang ternyata anak-anaknya dapat berfikir dengan hati nuraninya, menyadari akan kekurangan yang ada dalam dirinya dan bisa mendudukkan posisinya masing-masing, sehingga tidak saling berebut kekuasaan yang bisa menimbulkan perpecahan dan persaudaraan. Tapi Prabu Kresnadwipayana juga semakin gundah, bila suksesi tidak segera dilakukan akan menimbulkan ringkihnya kerajaan dan kurang lancarnya tata pemerintahan, hal ini akan menimbulkan ancaman baik dari luar maupun dari dalam kerajaan.
Disaat suasana semakin sedih dan gundah, tiba-tiba dikejutkan datangnya laporan bahwa Astina kedatangan musuh dari negara Lengkapura yang dipimpin Prabu Wisamuka. Raksasa gagah perkasa. Raja bengis dan kejam dari mancanegara. Datang untuk menaklukkan Astina. Ganda besar ditangan siap menyiupkan sang Prabu Kresnadwipayana.
Prabu Kresnadwipayana semakin gundah tapi satu sisi ia merasa dapat jalan, dalam dirinya berfikir. Kini, inilah jalan untuk menguji ketiga putranya, siapa diantara ketiga putranya yang berhasil mengusir musuh sehingga disitu dapat dijadikan alasan untuk menetapkan jadi raja, sehingga rakyat nanti betul-betul menilai pemimpinnya sudah teruji dam mampu menyelamatkan rakyat, bangsa dan negaranya. Akhirnya ketiga putranya berangkat ke medan perang menghadapi Prabu Wisamuka
Di medan pertempuran ketiga putra Astina berhadapan dengan Prabu Wisamuka. Namun karena kesaktian Prabu Wisamuka, ketiga putra Astina dapat dikalahkan, sehingga mengundurkan diri dan kembali ke Istana, tetapi Raden Pandu, tidak kembali ke istana tapi masuk ke hutan mencari sarana untuk dapat mengalahkan musuh. 
Dalam perjalanan di hutan, Raden Pandu betemu dengan Batara bayu dan Kamajaya yang sebelumnya menyamar menjadi raksasa dan menyerang Pandu setelah dikalahkan kembali ke ujudnya. Oleh Bayu Pandu mendapat Aji Bargawastra dan di aku anak oleh Bayu dan diberi nama Gandawrakta dan oleh Kamajaya diberi keris Kyai Sipat Kelor. Setelah mendapatkan kesaktian Raden Pandu kembali ke istana.
Di Negara Amarta, Prabu Kresnadwipayana merasa sedih karena kepergian Raden Pandu yang tidak berpamitan sebelumnya, apalagi negara dalam keadaan bahaya. Tiba-tiba Raden Pandu datang dan menceritakan maksud kepergiannya. Selanjutnya Raden Pandu bermaksud ingin mengusir musuh dari Negara Astina. Maka dengan dibantu sahabat-sahabat kerajaan Astina, antara lain Prabu Kuntiboja dari Mandura, Prabu Mandradipa dari Kerajaan Mandraka, Pandu berangkat ke medan pertempuran.
Dengan kesaktian Raden Pandu, Prabu Wisamuka dapat dibunuh dan bala tentaranya melarikan diri. Negara Astina kembali dalam keadaan aman, Pandu kembali ke Istana. Dengan keberhasilan Raden Pandu mengusir musuh dan menyelamatkan negara ini, mendorong hati saudara tua maupun mudanya yakni Raden Drestarasta dan Raden Yamawidura untuk mendukung sepenuhnya Raden Pandu untuk menggantikan Raja Astina. Prabu Kresna Dwipayana juga sependapat dengan anak-anaknya bahwa Pandu dianggap yang paling mampu memimpin negara Astina. Resi Bisma yang hadir di negara Astina saat itu juga mendukung pengangkatan Raden Pandu untuk menjadi raja Astina. Maka dengan dukungan penuh baik dari kakek, ayah, saudara dan rakyat Astina, Pandu dinobatkan menjadi raja Astina menggantikan Prabu Kresna Dwipayana dengan gelar Prabu Pandu Dewanata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar