Kawruh Sang Abiyasa - Sastra Education

Breaking

Kamis, 26 Mei 2016

Kawruh Sang Abiyasa


Diujung negara, yang makmur penuh damai, rakyat berkucupan. Yaitu kerajaan Amarta, ada sebuah kesatrian yang didiami seorang satria berwajah oval, kulit muka tanpa noda, mata indah bagai rembulan, kumis tipis berbentuk mahkota. Hidung mancung pemikat hati wanita. Nada bicara halus dan lembut bagai alunan suara gitar spanyol. Satria itu bernama raden Arjuna, ya Janaka , ya Permadi. Putra Prabu Pandudewanata dari Hastina. Satria keturunan Barata. Ia memiliki bentuk tubuh agak kurus, dengan dada rata dan tinggi standart pria. Dengan ibu Dewi Kunti tali brata. Putri dari Mandura. Dari Dewi Kunti lahir saudara tertua Arjuna. Yaitu  Puntadewa, Bima dan dari Ibu Dewi Madrim lahir Nakula dan Sadewa. Arjuna berkediam di Madukara. Madukara merupakan dari kadipaten atau kalau sekarang lebih dikenal dengan daerah provinsi.  Kastrian yang mempunyai bau khas bunga – bunga. Berbagai macam bau bunga tercium di kasatrian Madukara. Bentuk bangunan yang menyerupai pura kencana. Dengan tiang 4 pilar raksasa. Dengan bangunan gaya yogyakarta dan solo. Model ukiran jepara sebagai hiasan pernak – pernik bangunan.
Bunga – bunga merupakan lambang satria darah perwira yang dicintai wanita. Tapi ini bukan kisah yang akan saya kisahkan melainkan sikap pahlawan seorang putra bangsa dan negara. Putra dari satria Madukara. Bernama Wisanggeni. Lahir dari kahyangan, keturunan Batara Brahma. Dewa penguasa api.
Udara bertiup sepoi – sepoi, rerumputan bergoyang seperti alunan dawai gitar. Terjadi sebuah kisah yang indah untuk di ceritakan. Hempusan angin pertanda udara segar dan penuh keindahan. Kicauan – kicauan burung kutilang di pepohonan menambah syahdu suasana pagi. Matahari yang terbit dari sebelah timur menambah sosok kecantikan kehidupan. Di Madukara,  Arjuna merasa resah, keresahan akan terjadi suatu perang dhasyat. Yaitu perang darah Kuru. Perang antara Pandawa dan Kurawa. Melihat apa yang ia rasakan pada ilmu dan senjata belum cukup kuat sebagai senopati perang. Ia  berkeinginan, agar menang Baratayuda.  Dengan kemengan perang, menambah nama akan dikenal sebagai pahlawan.
Hati semakin resah dan gelisah. Suasana hati berbeda dengan suasana cuaca. Hati yang bimbang, bingung, menyelimutnya. Kembimbangan dan keresahan yang mengakibatkan ia tinggal tidak mau berlama – lama di kediaman Madukara. Arjuna berkeinginan meninggalkan Madukara untuk meminta petunjuk para Batara. Batara merupakan dewa yang menguasai 3 dunia Melihat suasana Madukara memang sepi bahkan sunyi. Hal ini disebabkan kepergian para istrinya yang menemui para ayahnya ditempat kediamannya.
Keinginan untuk bertapa di sebauh batu bekas bertapa eyangnya Palasara. Ia merupakan pendiri Hastina. Tapi ia  lebih memilih menjadi pertapa dan hidup di Sapta Arga bersama anaknya Abiyasa. Abiyasa merupakan sesepuh Arjuna yang sangat bijaksana. Bukan hanya Arjuna dan Pandawa melainkan para Kurawa juga cucunya. Dengan bersama para Punakawan Semar, Gareng, Bagong dan Petruk. Semar merupakan abdi para Pandawa yang berbentuk bulat seperti gentong dengan mata sedikit merem. Ini pertanda sebagai watak bijaksana yang dimiliki. Semar masih keturun Batara. Waktu masih muda ia berparas seperti aktor – aktor Hollywood, hidung mancung, tubuh perkasa seperti superman. karena kelakuan terhadap saudaranya Sang Manikmaya maka kutukan menimpanya. Gareng anak pertama Semar. Gareng dengan tangan cekot dan badan kerdil seperti kapal. Berjalan dengan gaya pelawak. Terlihat aneh, saat ia berjalan, sang Gareng dengan gaya menghibur. Petruk sering disebut ki Pethel, karena membawa pethel kemana saja ia pergi. Badang tinggi, hidung panjang perut buncit. Anak kedua dari Semar. Gareng dan Petruk saudara kandung. Sebelumnya mereka berdua mempunyai wajah manis seperti aktor korea. Karena kesalahannya, hukum batara menimpanya. Wajah sesuai karakter manusia diterimanya.  Bagong anak terakhir dari Semar badan seperti gentong dengan bibir tebal. Ia lahir dari bayangan Semar. Maka wajah dan perilakunya menyerupainya. Tapi berbeda watak yang dimiliki sebagai menghibur orang.
Duduk dihadapan sang Arjuna. Lampu templok minyak, dengan nyala redup didalam dalem ksatrian.
“Doro Arjuna, apa yang doro pikirkan.........?”
“Oh kakang Semar, kakang aku ini bingung dan resah apa yang terjadi akan segera terjadi perang besar antara darah kuru akan segera terjadi. Perang yang akan mengakibatkan dunia mengalami banjir darah. Dan setelah aku timbang dan pikirkan, ilmu kanuragan dan pusaka yang aku miliki belum cukup mampu mengalah para senopati Kurawa.........”
“Oh doroku, doro Arjuna, doro itu putra satria, putra sang Prabu Pandhu. Ratu sakti madraguna, cucu resi Abiyasa. Resi sakti kawurah sastra. Cicit resi Palasara. Resi pendiri Hastina. Dan resi yang ditakuti dijagad 3 dunia. Keturunan Batara Indra. Raja para dewa. Jangan bimbang dan resah. Semua eyang – eyangmu suka bertapa. Tapa melatih jiwa dan pikiran. Kesempurnaan akan melahirkan jiwa karakter kepribadian. Allah SWT akan selalu mendengar apa yang orang keluh kesahkan....”
“Oh kakang Semar. Engkau sungguh wasis dan waskitha. Aku memang yakin akan petuah dan nasehat yang engkau berikan. Rasa gelisah dan resah akan hilang jika aku pergi bertapa........”
“Iya Doro Arjuna.....”, kata Semar
“Betul.....doro....!”, kata Gareng.
“Petruk.....!”
“Ada apa doro Arjuna, memanggil abdi dalem Petruk kantong bolong.......?”
“Siapkan persiapkan untuk kita pergi bertapa di Hutan Purwacarita, Petruk......!”
“Oke doro....!”
Sejuta pesona, sejuta keindahan inilah kehidupan sang pekik Arjuna. petualangan adalah hidupnya. Kepergian yang meninggalkan bekas bunga dalam kehidupan. Bunga – bunga mawar berguguran. Bunga – bunag taman layu sebelum berkembang. Kehidupan sang pekik Arjuna penuh dengan keindahan.
Arjuna bersama Punakawan akan pergi untuk menelusuri alas hutan Purwacarita. Berjalan laksana satria ke medan perang baju batik hitam berlukiskan kemangi dengan bangklon di kepala sebagai mahkota satria. keris terselip di belakang. Gandewa dan busur  disembunyikan dengan aji pameling. Dipanggil jika diperlukan. Perlengkapan senjata dan keperluan selama 40 hari di hutan telah dipersiapkan.  Sebelum menuju ke hutan Purwacarita. Arjuna bersama Punakwan sowan ke Amarta. Berangkat mereka ke Amarta.


Negara yang sangat kaya dan damai yang mengusai seluruh tanah jawa. Hamparan tanah yang menghijau pertanda kemakmuran suatu negara. Dengan raja yang arif dan bijaksana. Yaitu Kerajaan Amarta. Kerajaan para Pandawa. Darah batara yang berhasil membabat alas wanamarta. Tanah angker, tanah siluman Prabu Yudistira dan empat saudaranya. Raja yang bertahta adalah anak pertama Prabu Pandhu yaitu Prabu Puntadewa. Raja gagah dan perkasa. Wajah sayup dengan bentuk oval bersih tanpa noda kotoran. Kumis tipis berbentuk mahkota. Mata penuh dengan pancaran kebijaksanaan gambaran keadilan dan kebenaran.
Duduk disingasana kerajaan. Bantalan terbuat dari kelembutan sebuah sutra kapok babut. Puntadewa merupakan keturunan Batara Darma. Dewa keadilan. Maka tidak heran watak dan kepribadian serupa dengan Batara Darma. Amarta sebuah kerajaan besar. Hampir seluruh tanah jawa menjadi wilayahnya. Luasnya kekuasaan adalah karunia Tuhan, yang harus disyukurinya.
Dalem agung Amarta. Pernak – pernak ukiran jepara sebagai hiasan. Keindahan dan keelokan kerajaan Amarta dipuji dan disanjung banyak kerajaan.  Di Amarta, Prabu Pantadewa sedang berbincang – bincang dihadapan Bima, Nakula, dan Sadewa.  Bima merupakan panenggak Pandawa. Ia adik kandung Prabu Puntadewa. Tubuh besar, gagah dan perkasa. Wajah oval tanpa noda. Kumis tebal bagai mahkota dan jenggot tumbuh lebat dibawah dagunya. Suara mengelegar bagai suara menguncang alam raya. Memakai kuku pancanaka. Dengan sabuk mustika jarot asem. Sebuah sabuk dengan kemampuan dapat menghilang dan menambahkn daya kuat terhadap dirinya. Nakula merupakan adiknya, anak dari Ibu Dewi Madrim. Wajah oval, manis dan bersih tanpa noda. Perawakan tidak tinggi, tidak pendek, standart pria. Nakula yang memilki sifat ketangkasan dalam mengelola pedang. Ahli pengobatan. Sadewa merupakan ragil Pandawa dari Ibu Dewi Madrim. Ia merupakan saudara kembar Nakula. Wajah dan perawakan hampir serupa. Sadewa yang memilki watak cerdas dan terampil dalam pemerintahan.
Duduk dalam sebuah lamunan besar. Mendera bagai sebuah penyakit raga. Prabu Puntadewa termenung dan gelisah. Jiwa yang tenggelam dalam lautan penderitaan. Keadaan Amarta yang mengkhawatirkannya. Berbagai penyakit menyerang dan melanda. Biusan yang merusak tatanan negara. Sebuah lintah penghancur kedamaian bangsa. Terlihat muka sang Prabu, layu bagai mawar bunga tak disiram. Terlihat rasa dan raga terasa menyakitkan untuk sebuah bangsa. kegentingan juga dirasakan dikediaman adiknya tercinta. Sang pekik Arjuna. Madukara diguncang prahara. Istri – istri pergi meninggalkan Madukara. Pergi mencari solusi rumah tangga. Kehidupan satria adalah hak dalam dunia dan manusia. Hidup lebih bermakna untuk membantu sesama. Madukara dirundung derita. Keadaan kacau balau akibat Amarta merana. Terasa bunga mawar jatuh diatas dalam samudra sengsara. Gambaran ini seperti rasa pahitnya gula.
Suara gema terdengar syadhu, tembang – tembang kehidupan bersuara untuk nama Ketuhanan. Islam agama kebenaran. Syariat dan ajaran Nabi Besar Muhammad SAW. Gema adzan sebuah pangilan. Merasakan akan keindahan syair Tuhan. Suara gelegar sang satria Pandawa. Bumi berguncang mendengar namanya. Satria utama titisan Batara. Dewa angin dan senopati perang. Gelagar bagai gema berkumandang. Sopan dan penuh irama kebenaran. Werkudara dihadapan kakaknya Prabu Puntadewa.
“Bektiku mbarep kakangku........!”
“Ya dimas Seno aku terima bekti siro, restuku terimalah, dimas....!”
“Ya mbarep kakangku.......”
Suara halus terdengar merdu. Hidup dalam kebenaran. Hal yang berarti untuk jiwa kehidupan. laksana pedang, menebas, memotong apa yang akan menjadi tujuan. Kecerdasan dan kepandaian hal yang selalu untuk dicoba. Bahkan kecerdikan adalah hak mutlak kehidupan. Nakula adalah sosok santun dalam kehidupan. Badan standart adalah laksana jiwa untuk kehidupan. Pandai dalam pengobatan merupakan jalan untuk menjadi tabit kerajaan. Jiwa muda dalam naungan Pancasila. Seperti gema yang terlukis dalam cahaya. Tuhan Yang Maha Esa. Surat Al Ikhlas bukti Tuhan Maha Esa. Allah Pencipta alam Semesta. Tak ada satupun makhluk yang dapat menyamai-Nya. Pengobatan juga dari- Nya. Nakula hanya lantaran untuk kesembuhan manusia. Jalan terang bagai cahaya bintang kejora. Kesopanan, tutur kata halus menggungah sukma. Berjalan laksana satria utama. Dihadapan kanda Prabu Yudistira.
“Bekti saya kanda Prabu Yudistira, yang saya hormati......!”
“Ya Dimas Nakula, aku terima bektimu, restuku segera terimalah......”
“Saya pundhi daatng Mustaka suapaya jadi jimat keselamatan........”
Kecil cabe rawit, kecerdasan dan kepintaran Sadewa merupakan tanda jenius manusia. Terlihat lantip berbicara. Mempunyai rasa terhadap sesama. Tak membedakan miskin dan kaya. Sifat selalu merasa seperjuangan bagai laksana darah muda Pancasila. Timbul dari hati yang terdalam. Manusia merupakan makhluk sosial. Saling membantu untuk kehidupan. Rasa Sadewa untuk kehidupan. Sengsara, menderita tetap bahagia. Itulah tanda syukur manusia. Gema suara gemercik seperti air. Akan menimbulkan arah kebaikan dan keburukan. Sadewa lantip berbicara. Biar muda tapi tahu segala hal yang ada didunia.
“Bekti saya kanda Prabu Yudistira, yang saya hormati......!”
“Ya Dimas Sadewa, aku terima bektimu, restuku segera terimalah......”
“Saya pundhi daatng Mustaka suapaya jadi jimat keselamatan........”
Sang Prabu bercerita pada saudara – saudaranya. Dilema yang kian mendera. Tak enak tanpa ada musyarawarah dalam istana. Sang adik yang ditunggu belum kunjung tiba. Hati merasa berdosa. Apa aku punya dosa terhadap Arjuna. Pertanyaan yang ditanyakan dalam hatinya. Suara bercampuran sebuah rasa penasaran dan khawatir. Apa yang terjadi pada saudara tercinta.
“Dimana dimas Arjuna,  Seno ?”, tanya Yudistira.
“Aku nggak tahu mbarep kakangku...”.
Alihkan sebuah pusat rasa penasaran. Sang adik kembar merupakan satria kecerdasaan. Pertanyaan sama ia berikan.
“Dimas kembar bagaimana...?”.
 “Oh kanda Prabu, hamba belum ada warta mengenai kang mas Janaka, melihat Madukara yang terjadi derita. Hamba pastikan bahwa kang mas Arjuna dalam keadaan bimbang, hingga pisowan ini  belum datang”.
“Iya dimas.......kembar.....”
Otak tenggelam dalam lautan perdebatan. Saling tukar pendapat untuk persatuan. Tak lama saling bertukar pikiran. Datang dari kejauhan langkah kaki halus dan laku utama. Gemuruh canda tawa terjadi dalam suasan jalan sang pekik Arjuna.  Bersama para Punakawan, Arjuna menghadap Prabu Puntadewa. Sang Prabu menyambut kedatangan adik terkasihnya. Suasana tegang menjadi bahagia. Kedatangan sang adik Janaka bagai tanda bahagia Amarta.
“Oh itu dimas Arjuna, aku telah lama menunggu kedatanganmu, Dimas     Arjuna...!”.
“Iya Kanda Prabu  Yudistrira.......!”
 “Raharjo dimas Arjuna sowan ke Amarta ....!”
“Restu paduka, raharjo kanda prabu...... pangabekti saya kanda prabu.....”
 “Tak terima dimas Arjuna”.
Werkudara yang mulai mendidih pikiran dan jiwanya. Mereda kedatangan sang adik bagai siraman air surga.
“Raharjo Jlamprong adiku...!”
“ Restu kang mas Werkudara, raharjo kang mas...”.
 “Bektiku kang mas....”.
“Ya Jlamprong adiku ...”.
Nakula dan Sadewa merasa ada suatu pertanda yang baik dengan kedatangan sang kakak di Amarta.
“Raharjo kang mas Arjuna...!”. “ Ya dimas Kembar”.
“Bektiku kang mas...”.
“Ya dimas Kembar tak tanpa....”
Bimbang dan ragu adalah penyakit negatif. Pelepasan secara sempurna akan membuang gelisah dan derita. Pertanyaan yang Prabu Puntadewa lontarkan adalah pertanda rasa kakak terhadap adiknya.
“Kok baru datang dimas, ada masalah apa dimas......?”.
“Kanda prabu Yudistira, istri – istri saya meninggalkan Madukara sudah lebih dari dua bulan, mereka pergi untuk menghadap pada boponya”.
 “Oh begitu......! “.
Prabu Puntadewa merasa bahagia terkumpulnya semua Pandawa. Derita dan bahagia harus hidup bersama. Besarnya rasa cinta terhadap saudara akan membentuk jiwa untuk kuat menjalani dunia.  Itulah janj hidup Pandawa.
Dengan segala hormat Arjuna mengutarakan isi hatinya. Hati yang resah dan bimbang. Keinginan untuk bertapa, mencari pusaka dari Batara.
“Kanda Prabu yang saya hormati, sebenarnya dalam pisowan ini adik dari Madukara ini merasa kegelisahan mengenai apa yang akan terjadi dalam perang besar Baratayuda. Kebimbangan akan kekuatan yang dimiliki para Pandawa. Saya merasa sebagai satria masih kurang senjata untuk melawan kebathilan di dunia ini........” kata Arjuna.
“Oh adik terkasih, apa yang kau ingin lakukan, sehingga rasa gelisahmu akan perang besar baratayuda menjadi siap dan siaga........?” tanya Prabu Puntadewa.
“Oh Kanda Prabu yang saya hormati, para sesupuh kita terdahulu, mulai dari eyang Sekutrem, Eyang Sakri, Eyang Palasara dan Eyang Abiyasa merupakan seorang pertapa yang sangat rajin bertapa, untuk adikmu yang sekarang ini, ingin seperti para sesepuh, melakukan tapa brata untuk meminta pusaka dari Batara..........”
Sang Prabu merasa binggung, baru saja kumpul , lalu pergi lagi. Itulah kelakuan seorang satria yang dipuja wanita. Sang pekik Arjuna. rasa akan haus ilmu kanuragan dan pusaka telah menenggelamkn sebauh jiwa dalam kebersamaan. Sikap satria yang penuh liku kehidupan. Rasa derita sebagai tanda untuk menjalani nilai – nilai murni hidup yang penuh dusta.
Prabu Puntadewa mengetahui watak adiknya yang memiliki sikap yakin dan percaya. Maka demi kemenangan yuda pembasmi angkara murka. Prabu Puntadewa memberi izin untuk melakukan tapa brata. Arjuna memohon restu kepada empat saudaranya.
“Wah jlamprong edan, baru saja tiba sudah pergi lagi.......!” kata Seno.
“Iya kang mas Bima, aku melakukan ini agar dapat menandingi senopati kurawa.......” jawab Arjuna.
“Ya.....” kata Seno.
“Hati – hati kang mas........!” kata Kembar.
“Ya adikku kembar yang sangat saya sayangi......” jawab Arjuna.
Arjuna telah pergi meninggalkan pisowan. Pisowan Agung segera dibubarkan. Prabu Puntadewa masuk ke tempat peribadatan. Duduk bersimpuh dengan dengan tangan mengada ke atas memohon agar kesejahteraan dan kedamaian menyelimuti Amarta dan seluruh isi dana wilayahnya. Begitu juga agar diberikan keselamatan kepada seluruh keluarga Pandawa.
.

Bersama para Punakawan Arjuna segera masuk hutan. Ia pergi ke arah Pertapan Saptarengga. Gunung ia daki, laut sudah ia seberang.  Dalam perjalanan yang sangat panjang suasana diselingi dengan gending – gending jawi, membuat suasana kalut dalam hati Arjuna mulai dalam kebahagian. Dengan semangat yang pantang mundur .
Daerah subur, makmur lon jinawi. Hamparan permadani kehidupan. tak ada satupun pohon tubang. Hutan, tumbuhan  dan satwa dilestarikan. Keindahan bagai surga keabadian. Perguruan para pelajar tentang ilmu jiwa dan sastrwan. Berdiri dengan tongkat tua. jubah putih, sorban putih membilit disekitar bahu. Pancaran wajah penuh cahaya dan keagungan. Sang pertapa yang setia bertapa sang akhir kehidupan. Tua renta bahkan tak menikmati akan keindahan kehidupan. ia keturunan Palasara. Sang resi Abiyasa. Wajah keriput dan buruk rupa. Adalah sebuah bentuk rupa yang telah diteriamnya selama bertapa. Negara diserahkan pada putranya. Hidup bertapa di Sapta Arga. Bekas kediaman sang ayah Palasara.
Kerindangan pertapan Sapta Arga adalah sebuah anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Ini merupakan tanah peninggalan para pertapa sesupuhnya. Terawat bahkan penuh pesona sehingga banyak siswa menjadi murid padanya. Sapta Arga adalah sebuah bangunan tua, berdiri lebih dari 100 tahun. Bangunan tua penuh pesona. Tak ada yang dapat menandingi keindahannya. Bahkan kerajaan Hastina bukan tandingannya. Kehijuaan dan kerindangan pepohonan menambah indah Sapta Arga. Dengan 4 pilar tiang penyangga. Ukiran pernak – pernik Jepara bagai sebuah hiasan penuh warna.
Di Saptarengga, begawan Abiyasa dihadapan para cantrik yang sedang asyik bercanda. Cahaya terang beberapa buah lampu minyak. Suasana keheningan, dibalut rasa bahagia canda tawa. Duduk bersila dengan menghadap Yang Maha Kuasa. Adalah keseharian hidup sang pertapa. Suara merdu alunan nyanyian burung bagai pertanda akan kedatangan tamu agung yang sudah mempunyai nama agung dalam sisilah Barata. Hentak kaki yang terdengar syahdu bagai sebuah petikan dawai gitar. Terlihat dari kejauhan sang pekik Arjuna bersama para Punakawan. Kedatangan sang cucu ada suatu pertanda ada marabahaya di kerajaan Amarta. Langkah kaki penuh dengan perilaku tata krama. Dengan sikap duduk berjalan bagai rasa hormat terhadap tetua. Bersama para Punakawan, Arjuna menghadap sang Eyang begawan. Duduk bersila, memberi penghormatan kepada sang eyang.
“Raharjo ger, Arjuna......!”
“ Raharjo eyang, bekti saya eyang”, sapa Arjuna.
 “Bektimu aku terima cucuku, restuku enggal terimalah ger cucuku bocah bagus Arjuna.....!”
“Saya cancang datang mustaka, supaya jadi jimat keselamatan ......”
“Bektiku sang begawan.......”
“Bekti tidak saya terima kakang........Semar......!”
“Kenapa tidak diterima sang resi............?”
“Oh kakang Semar, biar wujudmu yang ada sekarang ini adalah seorang pengasuh, namun secara hati kamu adalah seorang yang mempunyai kekuasaan di kahyangan. Oleh karena itu, kakang bektimu tidak aku terima.........”
“Sudah – sudah doro, nanti anak – anak saya malah jadi sombong.........”
Merasa sang begawan telah tahu. Mengenai sejatinya, Semar merasa terhormat. Bahkan merasa bahwa diri ada yang mencintainya.
“Hormat saya begawan “.
” Hormatmu saya terima Kakang Semar”.
“Bekti kami doro begawan.......!”
“Ya gareng, Petruk lan Bagong.......”
Suara sayup terdengar pilu, melihat wajah sang cucu terlihat lesu dan tak ada semangat. Rasanya sang begawan ingin segera tahu.
” Oh, Permadi cucuku bocah bagus. Bagaimana keadaan saudara – saudaramu, Permadi ?”.
” Eyang begawan, berkat doa restu sang resi, semua senanatiasa dalam keselamatan”.
“Bocah bagus, Permadi..., ada masalah apa hingga sebuah kerutan wajah lesu dalam pikiranmu.......?”
“Eyang begawan, sebenarnya cucu dika ini, mengalami suatu pergulatan dalam jiwa. Keinginan untuk memenang Baratayuda. Sebagai jalan untuk menegakkan nilai – nilai kebenaran, dengan membasmi keburukan.”
“Ya ger Arjuna......!”
” Eyang ada yang cucu eyang katakan”.
 “Silakan saja cucuku, jika eyangmu dapat memberikan suatu solusi yang terbaik untukmu.....”
“Oh terima kasih eyang, begini eyang. Sebenarnya cucuku dika ini, mengalami kesusahan karena para istri dika meninggalkan Madukara, pergi para istri menurut salah satu prajurit Madukara ingin menemui ayahnya. Dan eyang begawan bukan cuma itu saja. Dalam hati yang terdalam cucu dika ini, merasa ilmu kasktian dan pusaka belum mampu untuk mengalahkan para senopati Kurawa dalam perang baratayuda........ apa yang harus cucumu ini lakukan ?”
“Apa harus bertapa eyang Panembahan. Atau puasa eyang begawan......”
”Oh cucuku ger bocah bagus Arjuna, jadi itukah yang menjadi masalahmu...... Bertapalah kamu wahai cucuku Arjuna, di gunung  Jamurdwipa”.
“Oh eyang Panembahan, tapa apa yang sebaiknya cucumu ini lakukan ?”
“Tapalah kamu untuk menjadi seorang pertapa, duduk bersila menghadap sang Maha Kuasa. ............”
“Baik eyang....akan saya lakukan........!”
Kebimbangan telah lenyap, dari petuah sang pertapa. Begwan Abiyasa merupah tetua yang penuh ilmu jiwa.  Arjuna mohon pamit untuk melakukan tapa brata atas saran saran eyang”.
“Ya cucuku restuku menyertaimu wahai putra Pandu....!”
Langkah ringan bagai keringan udara. Jalan melebar selebar jalan untuk sang satria. Arjuna segera meninggalkan Saptarengga, bersama para punakawan mereka menuju ke Jamurdwipa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar