Diujung negara,
yang makmur penuh damai, rakyat berkucupan. Yaitu kerajaan Amarta, ada sebuah
kesatrian yang didiami seorang satria berwajah oval, kulit muka tanpa noda,
mata indah bagai rembulan, kumis tipis berbentuk mahkota. Hidung mancung
pemikat hati wanita. Nada bicara halus dan lembut bagai alunan suara gitar
spanyol. Satria itu bernama raden Arjuna, ya Janaka , ya Permadi. Putra Prabu
Pandudewanata dari Hastina. Satria keturunan Barata. Ia memiliki bentuk tubuh
agak kurus, dengan dada rata dan tinggi standart pria. Dengan ibu Dewi Kunti
tali brata. Putri dari Mandura. Dari Dewi Kunti lahir saudara tertua Arjuna.
Yaitu Puntadewa, Bima dan dari Ibu Dewi
Madrim lahir Nakula dan Sadewa. Arjuna berkediam di Madukara. Madukara
merupakan dari kadipaten atau kalau sekarang lebih dikenal dengan daerah
provinsi. Kastrian yang mempunyai bau
khas bunga – bunga. Berbagai macam bau bunga tercium di kasatrian Madukara.
Bentuk bangunan yang menyerupai pura kencana. Dengan tiang 4 pilar raksasa.
Dengan bangunan gaya yogyakarta dan solo. Model ukiran jepara sebagai hiasan
pernak – pernik bangunan.
Bunga – bunga
merupakan lambang satria darah perwira yang dicintai wanita. Tapi ini bukan
kisah yang akan saya kisahkan melainkan sikap pahlawan seorang putra bangsa dan
negara. Putra dari satria Madukara. Bernama Wisanggeni. Lahir dari kahyangan,
keturunan Batara Brahma. Dewa penguasa api.
Udara bertiup
sepoi – sepoi, rerumputan bergoyang seperti alunan dawai gitar. Terjadi sebuah
kisah yang indah untuk di ceritakan. Hempusan angin pertanda udara segar dan
penuh keindahan. Kicauan – kicauan burung kutilang di pepohonan menambah syahdu
suasana pagi. Matahari yang terbit dari sebelah timur menambah sosok kecantikan
kehidupan. Di Madukara, Arjuna merasa
resah, keresahan akan terjadi suatu perang dhasyat. Yaitu perang darah Kuru.
Perang antara Pandawa dan Kurawa. Melihat apa yang ia rasakan pada ilmu dan
senjata belum cukup kuat sebagai senopati perang. Ia berkeinginan, agar menang Baratayuda. Dengan kemengan perang, menambah nama akan
dikenal sebagai pahlawan.
Hati semakin
resah dan gelisah. Suasana hati berbeda dengan suasana cuaca. Hati yang
bimbang, bingung, menyelimutnya. Kembimbangan dan keresahan yang mengakibatkan
ia tinggal tidak mau berlama – lama di kediaman Madukara. Arjuna berkeinginan
meninggalkan Madukara untuk meminta petunjuk para Batara. Batara merupakan dewa
yang menguasai 3 dunia Melihat suasana Madukara memang sepi bahkan sunyi. Hal
ini disebabkan kepergian para istrinya yang menemui para ayahnya ditempat kediamannya.
Keinginan untuk
bertapa di sebauh batu bekas bertapa eyangnya Palasara. Ia merupakan pendiri
Hastina. Tapi ia lebih memilih menjadi
pertapa dan hidup di Sapta Arga bersama anaknya Abiyasa. Abiyasa merupakan
sesepuh Arjuna yang sangat bijaksana. Bukan hanya Arjuna dan Pandawa melainkan
para Kurawa juga cucunya. Dengan bersama para Punakawan Semar, Gareng, Bagong
dan Petruk. Semar merupakan abdi para Pandawa yang berbentuk bulat seperti
gentong dengan mata sedikit merem. Ini pertanda sebagai watak bijaksana yang
dimiliki. Semar masih keturun Batara. Waktu masih muda ia berparas seperti
aktor – aktor Hollywood, hidung mancung, tubuh perkasa seperti superman. karena
kelakuan terhadap saudaranya Sang Manikmaya maka kutukan menimpanya. Gareng
anak pertama Semar. Gareng dengan tangan cekot dan badan kerdil seperti kapal.
Berjalan dengan gaya pelawak. Terlihat aneh, saat ia berjalan, sang Gareng
dengan gaya menghibur. Petruk sering disebut ki Pethel, karena membawa pethel
kemana saja ia pergi. Badang tinggi, hidung panjang perut buncit. Anak kedua
dari Semar. Gareng dan Petruk saudara kandung. Sebelumnya mereka berdua
mempunyai wajah manis seperti aktor korea. Karena kesalahannya, hukum batara
menimpanya. Wajah sesuai karakter manusia diterimanya. Bagong anak terakhir dari Semar badan seperti
gentong dengan bibir tebal. Ia lahir dari bayangan Semar. Maka wajah dan
perilakunya menyerupainya. Tapi berbeda watak yang dimiliki sebagai menghibur
orang.
Duduk dihadapan
sang Arjuna. Lampu templok minyak, dengan nyala redup didalam dalem ksatrian.
“Doro Arjuna,
apa yang doro pikirkan.........?”
“Oh kakang
Semar, kakang aku ini bingung dan resah apa yang terjadi akan segera terjadi
perang besar antara darah kuru akan segera terjadi. Perang yang akan
mengakibatkan dunia mengalami banjir darah. Dan setelah aku timbang dan
pikirkan, ilmu kanuragan dan pusaka yang aku miliki belum cukup mampu mengalah
para senopati Kurawa.........”
“Oh doroku,
doro Arjuna, doro itu putra satria, putra sang Prabu Pandhu. Ratu sakti madraguna,
cucu resi Abiyasa. Resi sakti kawurah sastra. Cicit resi Palasara. Resi pendiri
Hastina. Dan resi yang ditakuti dijagad 3 dunia. Keturunan Batara Indra. Raja
para dewa. Jangan bimbang dan resah. Semua eyang – eyangmu suka bertapa. Tapa
melatih jiwa dan pikiran. Kesempurnaan akan melahirkan jiwa karakter
kepribadian. Allah SWT akan selalu mendengar apa yang orang keluh kesahkan....”
“Oh kakang
Semar. Engkau sungguh wasis dan waskitha. Aku memang yakin akan petuah dan
nasehat yang engkau berikan. Rasa gelisah dan resah akan hilang jika aku pergi
bertapa........”
“Iya Doro
Arjuna.....”, kata Semar
“Betul.....doro....!”,
kata Gareng.
“Petruk.....!”
“Ada apa doro
Arjuna, memanggil abdi dalem Petruk kantong bolong.......?”
“Siapkan
persiapkan untuk kita pergi bertapa di Hutan Purwacarita, Petruk......!”
“Oke doro....!”
Sejuta pesona,
sejuta keindahan inilah kehidupan sang pekik Arjuna. petualangan adalah
hidupnya. Kepergian yang meninggalkan bekas bunga dalam kehidupan. Bunga –
bunga mawar berguguran. Bunga – bunag taman layu sebelum berkembang. Kehidupan
sang pekik Arjuna penuh dengan keindahan.
Arjuna bersama
Punakawan akan pergi untuk menelusuri alas hutan Purwacarita. Berjalan laksana
satria ke medan perang baju batik hitam berlukiskan kemangi dengan bangklon di
kepala sebagai mahkota satria. keris terselip di belakang. Gandewa dan
busur disembunyikan dengan aji pameling.
Dipanggil jika diperlukan. Perlengkapan senjata dan keperluan selama 40 hari di
hutan telah dipersiapkan. Sebelum menuju
ke hutan Purwacarita. Arjuna bersama Punakwan sowan ke Amarta. Berangkat mereka
ke Amarta.
Negara yang
sangat kaya dan damai yang mengusai seluruh tanah jawa. Hamparan tanah yang
menghijau pertanda kemakmuran suatu negara. Dengan raja yang arif dan
bijaksana. Yaitu Kerajaan Amarta. Kerajaan para Pandawa. Darah batara yang
berhasil membabat alas wanamarta. Tanah angker, tanah siluman Prabu Yudistira
dan empat saudaranya. Raja yang bertahta adalah anak pertama Prabu Pandhu yaitu
Prabu Puntadewa. Raja gagah dan perkasa. Wajah sayup dengan bentuk oval bersih
tanpa noda kotoran. Kumis tipis berbentuk mahkota. Mata penuh dengan pancaran
kebijaksanaan gambaran keadilan dan kebenaran.
Duduk
disingasana kerajaan. Bantalan terbuat dari kelembutan sebuah sutra kapok
babut. Puntadewa merupakan keturunan Batara Darma. Dewa keadilan. Maka tidak
heran watak dan kepribadian serupa dengan Batara Darma. Amarta sebuah kerajaan
besar. Hampir seluruh tanah jawa menjadi wilayahnya. Luasnya kekuasaan adalah
karunia Tuhan, yang harus disyukurinya.
Dalem agung
Amarta. Pernak – pernak ukiran jepara sebagai hiasan. Keindahan dan keelokan
kerajaan Amarta dipuji dan disanjung banyak kerajaan. Di Amarta, Prabu Pantadewa sedang berbincang
– bincang dihadapan Bima, Nakula, dan Sadewa.
Bima merupakan panenggak Pandawa. Ia adik kandung Prabu Puntadewa. Tubuh
besar, gagah dan perkasa. Wajah oval tanpa noda. Kumis tebal bagai mahkota dan
jenggot tumbuh lebat dibawah dagunya. Suara mengelegar bagai suara menguncang
alam raya. Memakai kuku pancanaka. Dengan sabuk mustika jarot asem. Sebuah
sabuk dengan kemampuan dapat menghilang dan menambahkn daya kuat terhadap
dirinya. Nakula merupakan adiknya, anak dari Ibu Dewi Madrim. Wajah oval, manis
dan bersih tanpa noda. Perawakan tidak tinggi, tidak pendek, standart pria.
Nakula yang memilki sifat ketangkasan dalam mengelola pedang. Ahli pengobatan.
Sadewa merupakan ragil Pandawa dari Ibu Dewi Madrim. Ia merupakan saudara
kembar Nakula. Wajah dan perawakan hampir serupa. Sadewa yang memilki watak
cerdas dan terampil dalam pemerintahan.
Duduk dalam
sebuah lamunan besar. Mendera bagai sebuah penyakit raga. Prabu Puntadewa
termenung dan gelisah. Jiwa yang tenggelam dalam lautan penderitaan. Keadaan
Amarta yang mengkhawatirkannya. Berbagai penyakit menyerang dan melanda. Biusan
yang merusak tatanan negara. Sebuah lintah penghancur kedamaian bangsa.
Terlihat muka sang Prabu, layu bagai mawar bunga tak disiram. Terlihat rasa dan
raga terasa menyakitkan untuk sebuah bangsa. kegentingan juga dirasakan
dikediaman adiknya tercinta. Sang pekik Arjuna. Madukara diguncang prahara.
Istri – istri pergi meninggalkan Madukara. Pergi mencari solusi rumah tangga.
Kehidupan satria adalah hak dalam dunia dan manusia. Hidup lebih bermakna untuk
membantu sesama. Madukara dirundung derita. Keadaan kacau balau akibat Amarta
merana. Terasa bunga mawar jatuh diatas dalam samudra sengsara. Gambaran ini
seperti rasa pahitnya gula.
Suara gema
terdengar syadhu, tembang – tembang kehidupan bersuara untuk nama Ketuhanan.
Islam agama kebenaran. Syariat dan ajaran Nabi Besar Muhammad SAW. Gema adzan
sebuah pangilan. Merasakan akan keindahan syair Tuhan. Suara gelegar sang
satria Pandawa. Bumi berguncang mendengar namanya. Satria utama titisan Batara.
Dewa angin dan senopati perang. Gelagar bagai gema berkumandang. Sopan dan
penuh irama kebenaran. Werkudara dihadapan kakaknya Prabu Puntadewa.
“Bektiku mbarep
kakangku........!”
“Ya dimas Seno
aku terima bekti siro, restuku terimalah, dimas....!”
“Ya mbarep
kakangku.......”
Suara halus
terdengar merdu. Hidup dalam kebenaran. Hal yang berarti untuk jiwa kehidupan.
laksana pedang, menebas, memotong apa yang akan menjadi tujuan. Kecerdasan dan
kepandaian hal yang selalu untuk dicoba. Bahkan kecerdikan adalah hak mutlak
kehidupan. Nakula adalah sosok santun dalam kehidupan. Badan standart adalah
laksana jiwa untuk kehidupan. Pandai dalam pengobatan merupakan jalan untuk
menjadi tabit kerajaan. Jiwa muda dalam naungan Pancasila. Seperti gema yang
terlukis dalam cahaya. Tuhan Yang Maha Esa. Surat Al Ikhlas bukti Tuhan Maha
Esa. Allah Pencipta alam Semesta. Tak ada satupun makhluk yang dapat
menyamai-Nya. Pengobatan juga dari- Nya. Nakula hanya lantaran untuk kesembuhan
manusia. Jalan terang bagai cahaya bintang kejora. Kesopanan, tutur kata halus
menggungah sukma. Berjalan laksana satria utama. Dihadapan kanda Prabu
Yudistira.
“Bekti saya
kanda Prabu Yudistira, yang saya hormati......!”
“Ya Dimas
Nakula, aku terima bektimu, restuku segera terimalah......”
“Saya pundhi
daatng Mustaka suapaya jadi jimat keselamatan........”
Kecil cabe
rawit, kecerdasan dan kepintaran Sadewa merupakan tanda jenius manusia.
Terlihat lantip berbicara. Mempunyai rasa terhadap sesama. Tak membedakan
miskin dan kaya. Sifat selalu merasa seperjuangan bagai laksana darah muda
Pancasila. Timbul dari hati yang terdalam. Manusia merupakan makhluk sosial.
Saling membantu untuk kehidupan. Rasa Sadewa untuk kehidupan. Sengsara,
menderita tetap bahagia. Itulah tanda syukur manusia. Gema suara gemercik
seperti air. Akan menimbulkan arah kebaikan dan keburukan. Sadewa lantip
berbicara. Biar muda tapi tahu segala hal yang ada didunia.
“Bekti saya
kanda Prabu Yudistira, yang saya hormati......!”
“Ya Dimas
Sadewa, aku terima bektimu, restuku segera terimalah......”
“Saya pundhi
daatng Mustaka suapaya jadi jimat keselamatan........”
Sang Prabu
bercerita pada saudara – saudaranya. Dilema yang kian mendera. Tak enak tanpa
ada musyarawarah dalam istana. Sang adik yang ditunggu belum kunjung tiba. Hati
merasa berdosa. Apa aku punya dosa terhadap Arjuna. Pertanyaan yang ditanyakan
dalam hatinya. Suara bercampuran sebuah rasa penasaran dan khawatir. Apa yang
terjadi pada saudara tercinta.
“Dimana dimas
Arjuna, Seno ?”, tanya Yudistira.
“Aku nggak tahu
mbarep kakangku...”.
Alihkan sebuah
pusat rasa penasaran. Sang adik kembar merupakan satria kecerdasaan. Pertanyaan
sama ia berikan.
“Dimas kembar
bagaimana...?”.
“Oh kanda Prabu, hamba belum ada warta
mengenai kang mas Janaka, melihat Madukara yang terjadi derita. Hamba pastikan
bahwa kang mas Arjuna dalam keadaan bimbang, hingga pisowan ini belum datang”.
“Iya
dimas.......kembar.....”
Otak tenggelam
dalam lautan perdebatan. Saling tukar pendapat untuk persatuan. Tak lama saling
bertukar pikiran. Datang dari kejauhan langkah kaki halus dan laku utama.
Gemuruh canda tawa terjadi dalam suasan jalan sang pekik Arjuna. Bersama para Punakawan, Arjuna menghadap
Prabu Puntadewa. Sang Prabu menyambut kedatangan adik terkasihnya. Suasana
tegang menjadi bahagia. Kedatangan sang adik Janaka bagai tanda bahagia Amarta.
“Oh itu dimas
Arjuna, aku telah lama menunggu kedatanganmu, Dimas Arjuna...!”.
“Iya Kanda
Prabu Yudistrira.......!”
“Raharjo dimas Arjuna sowan ke Amarta ....!”
“Restu paduka,
raharjo kanda prabu...... pangabekti saya kanda prabu.....”
“Tak terima dimas Arjuna”.
Werkudara yang
mulai mendidih pikiran dan jiwanya. Mereda kedatangan sang adik bagai siraman
air surga.
“Raharjo
Jlamprong adiku...!”
“ Restu kang
mas Werkudara, raharjo kang mas...”.
“Bektiku kang mas....”.
“Ya Jlamprong
adiku ...”.
Nakula dan
Sadewa merasa ada suatu pertanda yang baik dengan kedatangan sang kakak di
Amarta.
“Raharjo kang
mas Arjuna...!”. “ Ya dimas Kembar”.
“Bektiku kang
mas...”.
“Ya dimas
Kembar tak tanpa....”
Bimbang dan
ragu adalah penyakit negatif. Pelepasan secara sempurna akan membuang gelisah
dan derita. Pertanyaan yang Prabu Puntadewa lontarkan adalah pertanda rasa
kakak terhadap adiknya.
“Kok baru
datang dimas, ada masalah apa dimas......?”.
“Kanda prabu
Yudistira, istri – istri saya meninggalkan Madukara sudah lebih dari dua bulan,
mereka pergi untuk menghadap pada boponya”.
“Oh begitu......! “.
Prabu Puntadewa
merasa bahagia terkumpulnya semua Pandawa. Derita dan bahagia harus hidup
bersama. Besarnya rasa cinta terhadap saudara akan membentuk jiwa untuk kuat
menjalani dunia. Itulah janj hidup
Pandawa.
Dengan segala
hormat Arjuna mengutarakan isi hatinya. Hati yang resah dan bimbang. Keinginan
untuk bertapa, mencari pusaka dari Batara.
“Kanda Prabu
yang saya hormati, sebenarnya dalam pisowan ini adik dari Madukara ini merasa
kegelisahan mengenai apa yang akan terjadi dalam perang besar Baratayuda.
Kebimbangan akan kekuatan yang dimiliki para Pandawa. Saya merasa sebagai
satria masih kurang senjata untuk melawan kebathilan di dunia ini........” kata
Arjuna.
“Oh adik
terkasih, apa yang kau ingin lakukan, sehingga rasa gelisahmu akan perang besar
baratayuda menjadi siap dan siaga........?” tanya Prabu Puntadewa.
“Oh Kanda Prabu
yang saya hormati, para sesupuh kita terdahulu, mulai dari eyang Sekutrem, Eyang
Sakri, Eyang Palasara dan Eyang Abiyasa merupakan seorang pertapa yang sangat
rajin bertapa, untuk adikmu yang sekarang ini, ingin seperti para sesepuh,
melakukan tapa brata untuk meminta pusaka dari Batara..........”
Sang Prabu
merasa binggung, baru saja kumpul , lalu pergi lagi. Itulah kelakuan seorang
satria yang dipuja wanita. Sang pekik Arjuna. rasa akan haus ilmu kanuragan dan
pusaka telah menenggelamkn sebauh jiwa dalam kebersamaan. Sikap satria yang
penuh liku kehidupan. Rasa derita sebagai tanda untuk menjalani nilai – nilai
murni hidup yang penuh dusta.
Prabu Puntadewa
mengetahui watak adiknya yang memiliki sikap yakin dan percaya. Maka demi
kemenangan yuda pembasmi angkara murka. Prabu Puntadewa memberi izin untuk
melakukan tapa brata. Arjuna memohon restu kepada empat saudaranya.
“Wah jlamprong
edan, baru saja tiba sudah pergi lagi.......!” kata Seno.
“Iya kang mas
Bima, aku melakukan ini agar dapat menandingi senopati kurawa.......” jawab
Arjuna.
“Ya.....” kata
Seno.
“Hati – hati
kang mas........!” kata Kembar.
“Ya adikku
kembar yang sangat saya sayangi......” jawab Arjuna.
Arjuna telah
pergi meninggalkan pisowan. Pisowan Agung segera dibubarkan. Prabu Puntadewa
masuk ke tempat peribadatan. Duduk bersimpuh dengan dengan tangan mengada ke
atas memohon agar kesejahteraan dan kedamaian menyelimuti Amarta dan seluruh
isi dana wilayahnya. Begitu juga agar diberikan keselamatan kepada seluruh
keluarga Pandawa.
.
Bersama para
Punakawan Arjuna segera masuk hutan. Ia pergi ke arah Pertapan Saptarengga.
Gunung ia daki, laut sudah ia seberang.
Dalam perjalanan yang sangat panjang suasana diselingi dengan gending –
gending jawi, membuat suasana kalut dalam hati Arjuna mulai dalam kebahagian.
Dengan semangat yang pantang mundur .
Daerah subur,
makmur lon jinawi. Hamparan permadani kehidupan. tak ada satupun pohon tubang.
Hutan, tumbuhan dan satwa dilestarikan.
Keindahan bagai surga keabadian. Perguruan para pelajar tentang ilmu jiwa dan
sastrwan. Berdiri dengan tongkat tua. jubah putih, sorban putih membilit
disekitar bahu. Pancaran wajah penuh cahaya dan keagungan. Sang pertapa yang
setia bertapa sang akhir kehidupan. Tua renta bahkan tak menikmati akan
keindahan kehidupan. ia keturunan Palasara. Sang resi Abiyasa. Wajah keriput
dan buruk rupa. Adalah sebuah bentuk rupa yang telah diteriamnya selama
bertapa. Negara diserahkan pada putranya. Hidup bertapa di Sapta Arga. Bekas
kediaman sang ayah Palasara.
Kerindangan pertapan
Sapta Arga adalah sebuah anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Ini merupakan tanah
peninggalan para pertapa sesupuhnya. Terawat bahkan penuh pesona sehingga
banyak siswa menjadi murid padanya. Sapta Arga adalah sebuah bangunan tua,
berdiri lebih dari 100 tahun. Bangunan tua penuh pesona. Tak ada yang dapat
menandingi keindahannya. Bahkan kerajaan Hastina bukan tandingannya. Kehijuaan
dan kerindangan pepohonan menambah indah Sapta Arga. Dengan 4 pilar tiang
penyangga. Ukiran pernak – pernik Jepara bagai sebuah hiasan penuh warna.
Di Saptarengga,
begawan Abiyasa dihadapan para cantrik yang sedang asyik bercanda. Cahaya
terang beberapa buah lampu minyak. Suasana keheningan, dibalut rasa bahagia
canda tawa. Duduk bersila dengan menghadap Yang Maha Kuasa. Adalah keseharian
hidup sang pertapa. Suara merdu alunan nyanyian burung bagai pertanda akan
kedatangan tamu agung yang sudah mempunyai nama agung dalam sisilah Barata.
Hentak kaki yang terdengar syahdu bagai sebuah petikan dawai gitar. Terlihat
dari kejauhan sang pekik Arjuna bersama para Punakawan. Kedatangan sang cucu
ada suatu pertanda ada marabahaya di kerajaan Amarta. Langkah kaki penuh dengan
perilaku tata krama. Dengan sikap duduk berjalan bagai rasa hormat terhadap
tetua. Bersama para Punakawan, Arjuna menghadap sang Eyang begawan. Duduk
bersila, memberi penghormatan kepada sang eyang.
“Raharjo ger,
Arjuna......!”
“ Raharjo
eyang, bekti saya eyang”, sapa Arjuna.
“Bektimu aku terima cucuku, restuku enggal
terimalah ger cucuku bocah bagus Arjuna.....!”
“Saya cancang
datang mustaka, supaya jadi jimat keselamatan ......”
“Bektiku sang
begawan.......”
“Bekti tidak
saya terima kakang........Semar......!”
“Kenapa tidak
diterima sang resi............?”
“Oh kakang
Semar, biar wujudmu yang ada sekarang ini adalah seorang pengasuh, namun secara
hati kamu adalah seorang yang mempunyai kekuasaan di kahyangan. Oleh karena
itu, kakang bektimu tidak aku terima.........”
“Sudah – sudah
doro, nanti anak – anak saya malah jadi sombong.........”
Merasa sang
begawan telah tahu. Mengenai sejatinya, Semar merasa terhormat. Bahkan merasa
bahwa diri ada yang mencintainya.
“Hormat saya
begawan “.
” Hormatmu saya
terima Kakang Semar”.
“Bekti kami
doro begawan.......!”
“Ya gareng,
Petruk lan Bagong.......”
Suara sayup
terdengar pilu, melihat wajah sang cucu terlihat lesu dan tak ada semangat.
Rasanya sang begawan ingin segera tahu.
” Oh, Permadi
cucuku bocah bagus. Bagaimana keadaan saudara – saudaramu, Permadi ?”.
” Eyang
begawan, berkat doa restu sang resi, semua senanatiasa dalam keselamatan”.
“Bocah bagus,
Permadi..., ada masalah apa hingga sebuah kerutan wajah lesu dalam
pikiranmu.......?”
“Eyang begawan,
sebenarnya cucu dika ini, mengalami suatu pergulatan dalam jiwa. Keinginan
untuk memenang Baratayuda. Sebagai jalan untuk menegakkan nilai – nilai
kebenaran, dengan membasmi keburukan.”
“Ya ger
Arjuna......!”
” Eyang ada
yang cucu eyang katakan”.
“Silakan saja cucuku, jika eyangmu dapat
memberikan suatu solusi yang terbaik untukmu.....”
“Oh terima
kasih eyang, begini eyang. Sebenarnya cucuku dika ini, mengalami kesusahan
karena para istri dika meninggalkan Madukara, pergi para istri menurut salah
satu prajurit Madukara ingin menemui ayahnya. Dan eyang begawan bukan cuma itu
saja. Dalam hati yang terdalam cucu dika ini, merasa ilmu kasktian dan pusaka
belum mampu untuk mengalahkan para senopati Kurawa dalam perang
baratayuda........ apa yang harus cucumu ini lakukan ?”
“Apa harus
bertapa eyang Panembahan. Atau puasa eyang begawan......”
”Oh cucuku ger
bocah bagus Arjuna, jadi itukah yang menjadi masalahmu...... Bertapalah kamu
wahai cucuku Arjuna, di gunung
Jamurdwipa”.
“Oh eyang
Panembahan, tapa apa yang sebaiknya cucumu ini lakukan ?”
“Tapalah kamu
untuk menjadi seorang pertapa, duduk bersila menghadap sang Maha Kuasa. ............”
“Baik
eyang....akan saya lakukan........!”
Kebimbangan
telah lenyap, dari petuah sang pertapa. Begwan Abiyasa merupah tetua yang penuh
ilmu jiwa. Arjuna mohon pamit untuk
melakukan tapa brata atas saran saran eyang”.
“Ya cucuku
restuku menyertaimu wahai putra Pandu....!”
Langkah ringan
bagai keringan udara. Jalan melebar selebar jalan untuk sang satria. Arjuna
segera meninggalkan Saptarengga, bersama para punakawan mereka menuju ke
Jamurdwipa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar