AWAL PERTIKIAN - Sastra Education

Breaking

Minggu, 22 Mei 2016

AWAL PERTIKIAN



Pagi itu udara segar, langit cerah. Burung berkicau merdu, ayam jantan berkokok bersusulan. Pertanda hari baru mulai dibentangkan. Negara besar yang bernama HAstinapura mengawali hari itu dengan mengadakan pasowanan agung. Sang Prabu Destarastra duduk di dampar kencana, beralaskan beludru hitam beraroma bunga melati. Sang raja memakai mahkota Jamang Mas bersusun tiga, didampingi sang prameswari Dewi Gendari, dan dikelilingi para emban, cethi, keparak, manggung. Hadir dalam pasowawan agung tersebut, Patih Sengkuni, Resi Bisma, Yamawidura, para tumenggung, mantri, bupati, demang, lurah, sentana, nayaka dan para kawula.
Menurut silsilah, Prabu Destarastra adalah anak sulung raja HAstinapura yang bernama Abiyasa atau Prabu Kresnadwipayana dengan Dewi Ambika. Namun karena ia buta, maka yang diangkat sebagai raja, anak ke duanya yang bernama Pandudewanata. Pada masa pemerintahan Pandu, Negara HAstinapura mengalami kemajuan pesat, kesejahteraan meningkat, kejayaan negeri terangkat. Namun sayang, pada puncak pemerintahannya, Pandudewanata beserta Dewi Madrim wafat akibat menemuhi permintaan sang istri Dewi Madrim. Maka para sesepuh istana menyaran agar Destarasta yang memegang tahta HAstina. Menungu hingga putra Pandu dewasa. Hingga sekarang Destarastralah yang memegang tahta HAstinapura. Tahta itu telah memberinya segalanya, kesenangan kepuasan, kekuasaan, kekayaan, kebesaran, kewibawaan dan keagungan. Betapa nikmatnya tahta itu. Semakin lama duduk di atas tahta, akan semakin nikmat rasanya.
Ya itulah tahta, sesuatu yang terbaik di bumi HAstinapura. Berikanlah yang terbaik kepada anak-anak kita, kata Gendari terngiang ditelinga Destarastra. Tidak! Itu bukan yang terbaik, karena hal itu dapat menjerumuskan anak-anak kita ke dalam perang saudara. Namun dikarenakan bujukan Gendari tak pernah henti, Destarastra terombang-ambing, antara mempertahankan atau menyerahkan tahta. Jika menuruti pikirannya, tahta akan dipertahankan untuk isteri dan anak-anaknya. Namun jika menuruti kesadarannya, tahta akan diserahkan kepada anak-anak Pandudewanata.
Untuk mengatasai konflik batinnya, Destarastra mengadakan Pasowanan agung, untuk menyampaikan niatnya kepada para tetua dan penasihat negri, bagaimana pendapat mereka jika anak-anak Pandudewanata diboyong di HAstinapura, agar diantara Kurawa dan Pandawa dapat hidup berdampingan dengan damai, bahu-membahu membangun negeri dan meneruskan kejayaan HAstinapura.
 “Sinuwun Prabu sesembahan hamba, hamba menyetujui rencana sinuwun Prabu memboyong anak-anak Pandudewanata, dan hamba akan mempersiapkan upacara besar-besaran menyambut kedatangan mereka.”
“Sengkuni, penyambutan itu tidak perlu dengan kemewahan. Semenjak Negara Astinaditinggalkan Pandudewanata, banyak kawula yang hidup dibawah garis kemiskinan. Melihat kenyataan itu, apakah engkau sampai hati menghamburkan kemewahan, di tengah-tengah kemiskinan, hanya demi sebuah upacara? Bukankah yang terpenting adalah keselamatan para Pandawa?”
 “Maafkan hamba dhuh Sang Maha Resi Bisma, sesungguhnya maksud hamba tidak lain kecuali demi menjaga kewibawaan Raja.”
“Ada cara lain untuk menjaga kewibawaan raja, tidak dengan kemewahan dan kekuatan. Di tengah-tengah keprihatinan, seorang raja akan semakin berwibawa jika dia rela menanggalkan kewibawaanya dan bersama-sama dengan kawula ikut merasakan dan menjalani keprihatinan.” Sahut Bisma.
“Ampun Kakanda Prabu.” Sela Yamawidura. “Benar apa yang dikatakan Paman Resi Bisma, bahwa kewibawaan tidak terletak pada kemewahan, kekuatan dan simbol-simbol raja yang ada di keraton, tetapi kewibawaan raja ada pada mereka, para kawula. Bukankah tahta dan mahkota tidak ada artinya jika tanpa kawula? Dan tepatlah kiranya jika Kakanda Prabu memboyong Pandawa di HAstinapura. Dengan kebijaksanaan tersebut, rakyat akan menilai bahwa Kakanda Prabu memperhatikan mereka, mendengarkan suara mereka, serta merasakan jeritan hati mereka yang dirundung rindu kepada anak-anak Pandudewanata.”
Yamawidura memang dikenal sebagai penasehat bijaksana dan waskitha. Para sesepuh dan Destarastra menyetujui saran Yamawidura. Maka segeralah diputuskan hari pelaksanaan memboyong Pandawa, Yamawidura diangkat menjadi duta, menemui Begawan Abiyasa di Saptarengga, untuk memboyong Kunthi dan ke lima anaknya.
Pada hari yang ditentukan, sejak pagi kawula berduyun-duyun memenuhi alun-alun dan ruas-ruas jalan yang akan di lewati anak-anak Pandu. Dengan kesadaran dan ketulusan hati, para kawula memasang umbul-umbul, rontek, bendera, penjor dan macam-macam hiasan untuk menyambut anak-anak Pandu. HAstinapura berubah wajah. Ibarat seorang gadis sedang bersolek, untuk menyambut kekasihnya yang telah lama berpisah. Waktu itu, ketika Pandudewanata, meninggalkan HAstinapura, rakyat mengiring dengan tetesan air mata. Nestapa Pandudewanata adalah duka kawula HAstinapura. Setelah lama berpisah, hari itu, kerinduan antara kawula dan raja tumpah kepada anak-anak Pandudewanata.
“Hore! Horeee! Calon Raja kita datang.”
 “Hidup calon Raja!” “Hidup anak Pandu!” “Hiduuup!”
Sepanjang jalan para kawula HAstinapura mengelu-elukan. Mereka saling berebut ingin melihat dari dekat putra-putra Pandudewanata. Pancaran kebijaksanaan Puntadewa, kekokohan Bimasena, ketampanan Harjuna, ketenangan Nakula dan kecerdasan Sadewa, mampu mengudang kekaguman rakyat HAstinapura. Ketika kereta yang ditumpangi Dewi Kunthi melintas di depan mereka, ada rasa iba tersembul dari ekspresi wajah rakyat HAstinapura, tatkala melihat kerut-kerut wajah wanita setengah baya itu menggoreskan penderitaan yang teramat dalam.
Sore hari, setelah upacara Pandawa Boyong usai. Jalan-jalan menuju kotaraja menjadi lengang, alun-alun kembali sepi. Prabu Destarastra termenung, merasakan peristiwa yang baru saja berlalu. “Gendari, Benar apa yang dikatakan Yamawidura bahwa kewibawaan tidak berada pada simbol raja. Tanpa simbol-simbol raja, anak-anak Pandudewanata disambut bak raja besar, melebihi raja yang berkuasa. Itu artinya bahwa simbol-simbol raja yang aku pakai selama ini kosong, dan isinya ada di tangan anap-anak Pandu. Untuk itu sudah sepantasnya tahta HAstinapura aku berikan kepada Pandawa”
“Jangan Kanda Prabu, Kakanda harus mempertahankan tahta Astinapura”
“Mempertahankan tahta tanpa kewibawaan?”
“Bukankah Kanda Prabu yang memegang kekuasaan dan menguasai negeri ini? Termasuk menguasai kewibawaan. Jika kewibawaan itu diyakini berada di tanggan Pandhawa kita akan merebutnya dan memberikan kepada para Kurawa. Ingat! Kakanda, kita belum memberikan yang terbaik untuk anak-anak kita.” Sore menjelang malam, langit menjadi semakin merah. Cahaya matahari mulai enggan menambah panasnya Bumi HAstinapura yang kian panas, sepanas hati Dewi Gendari.
Di dalem kasatrian Astinapura, Puntadewa berkumpul dengan kedua adiknya, Suasana sedikit hening. Beberapa pepohon  yang berada di halaman memantulkan cahaya matahari ke wajah mereka, melalui balik daun-daunnya yang berwarna ke coklat-coklatan. Siang itu, saat istirahat, matahari berada diatas kepala, Semar memanfatkan waktunya untuk mengunjungi momongannya.
“Dhuh doro kula, Puntadewa, Bimasena, Harjuna, ada goresan sendu di wajah kalian. Adakah sesuatu perkara besar yang melebihi kemampuan kalian untuk menanggungnya, sehingga menggelisahkan hati?”
“Kakang  Semar, engkau sungguh seorang panakawan pinunjul, mampu merasakan apa yang kami rasakan. Memang benar, ada perasaan yang menyesak hati. Keberadaan kami di HAstinapura rupa-rupanya tidak dikehendaki oleh para Kurawa. Mereka menunjukan sikap tidak bersahabat, bahkan mengarah pada permusuhan. Gerak-gerik kami dicurigai, kami dilarang keluar masuk benteng untuk bertatap muka dengan para kawula, sehingga kami jadi serba salah untuk melakukan sesuatu.”
“Dhuh doro kula, dengan keadaan yang kurang menguntungkan tersebut bukan berarti kalian tidak dapat berbuat sesuatu. Bagi orang bijak, waktu jangan disia-siakan. Setiap denyutnya harus membawa manfaat. Pekerjaan itu jangan ditunggu, tetapi dikerjakan. Dharma bakti jangan dinanti, tetapi dijalani.”
“Kakang Semar, kami menjadi bingung, apa yang musti kami kerjakan?”
“Dhuh adhuh, ndara, ndara, bendara kula. Sampeyan itu bagaimana ya ?
Di Saptarengga eyangmu Abiyasa telah mengajari banyak hal, baru beberapa bulan hidup di istana, rasa pangrasa kalian menjadi tumpul. Apakah kalian tidak melihat dan merasakan kehidupan di lingkungan beteng dalam  ini. Para abdi menjadi korban kebijakan raja, hidup dalam penderitaan dan tekanan. Mereka butuh dibela, dilindungi dan dibebaskan dari berbagai ancaman. Sebagai seorang satria masihkan kalian bertanya, apa yang musti dikerjakan?” “Kakang Semar, kami telah mencoba melakukan hal itu, namun kami malahan dituduh menentang kebijaksanaan raja dan membuat kerusuhan  di benteng dalam ini”
“Kalian memang harus cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati. Kalian dapat melakukan sesuatu untuk sebuah keadilan, tanpa harus menimbulkan kecurigaan dan membuat keonaran. Jangan berhenti karena dihalangi! Karena sesungguhnya pekerjaan mulia tidak akan pernah selesai hanya dengan berpangku tangan dan keragu-raguan.” Tanpa menunggu jawaban, Semar segera melangkah pergi. Kakinya yang besar dan kokoh menapaki hamparan pasir, melewati sela-sela pohon Sawo Beludru. Puntadewa, Bimasena dan Harjuna terpaku diam. Mereka menatap kepergian Semar hingga hilang ditelan pintu depan menuju arah keluar.
Siang itu matahari tak terhalang mega, wajah mereka yang merah karena teguran Semar, semakin memerah diterpa pasir di halaman Kasatrian yang beterbangan tertiup angin. Dari pandangan matanya dapat diketahui bahwa perasaan mereka sangat terpukul. Mereka menyadari ketidak mampuannya menghadapi sebuah suasana yang sengaja dibuat untuk semakin memojokkan mereka.
Tiba-tiba siang yang hening itu pecah oleh kegaduhan para Kurawa yang datang di Dalem Kasatrian. Disertai teguran sinis, mereka menghampiri Puntadewa dan adik-adiknya. Ketiga anak Pandu itu diam saja. Suara yang tidak mengenakan dan menyakitan itu, sudah terbiasa keluar dari mulut para Kurawa.
“Huaa ha ha…! Bingung! Linglung! Pantas saja anak gunung di kraton bingung. Ha ha ha. Bukankah hidup di keraton menyenangkan? Makan enak, tidur nyenyak, apakah masih kurang? Apakah menginginkan wanita sintal manis, cantik bahenol? Huaaaa …” “Hmm, jaga mulutmu Kakang Dursasana, jika tidak ingin aku robek.”
Para Kurawa terdiam, mereka tergetar oleh kata-kata Bimasena. Puntadewa mencoba meredakan ketegangan.
“Sebagai saudara tua yang kami hormati seharusnya kalian tidak mengeluarkan kata-kata pedas menusuk, karena sesungguhnya kami ingin hidup berdampingan dengan damai. Di HAstinapura ini bukankah tidak ada perbedaan diantara kita”
“Tidak berbeda dengan kami? Hua ha ha ha. Menggelikan! Kami adalah para putra raja yang hidup di keraton, sedangkan kalian adalah anak Pandhu yang hidup di hutan.”
“Tetapi Ramanda Pandhu adalah raja yang berhak atas tahta HAstinapura.”
“Orang mati tidak dapat naik tahta. Tetapi kalau memang kalian ingin diperlakukan sama seperti putra raja, silakan minta dikeloni arwah bapakmu, huaaaaa.” Ejek Dursasana. “Hmm, kurang ajar.”
Bimasena tak mampu menahan amarah ketika ayahnya yang sudah meninggal dihina. Duryudana dan Dursasana yang berada dipaling depan, dihampirinya dengan kakinya, Keduanya jatuh terlentang menyentuh pasir. Para kurawa maju mengerubut. Belum berlanjut keributan itu, tiba-tiba terdengarlah suara yang sudah tidak asing di telinganya. “Bima anakku.”
Ditolehnya arah datangnya suara. Ia melihat Dewi Kunthi ibundanya dan Yamawidura pamandanya telah berada diantara Puntadewa dan Harjuna. Bersamaan dengan itu Para Kurawa meninggalkan Kasatrian.
“Bima, jaga amarahmu, tidak ada gunanya membuat onar di negri yang kita cintai ini.” “Benar kata ibumu Kunthi, jika nafsu amarahmu kau biarkan liar, akibatnya akan merugikan negri, mencelakai sesama dan menghancurkan diri sendiri.”
Tanpa sepatah katapun Bimasena berjalan memasuki dalem kasatrian, dikuti oleh Kunthi, Yamawidura dan kedua adiknya.
Sesampainya di ruang tengah, mereka duduk bersama. Dalam kesempatan tersebut, Yamawidura menyampaikan perkembangan terbaru yang menyangkut keberadaan Anak-anak Pandu di Negara HAstinapura. Ada sekelompok petinggi Negri dan para bangsawan yang membuat laporan, bahwa semenjak Pandawa memasuki kota raja, kewibawaan raja berangsur-angsur surut. Jika hal ini dibiarkan, pada saatnya nanti wahyu raja akan berpindah kepada Pandhawa. Maka jalan satu-satunya yang harus dilakukan adalah mengusir Pandawa dari Bumi Astinapura.
“Aku sudah mengingatkan kepada Raja, agar meneliti terlebih dahulu kebenaran laporan itu sebelum mengambil keputusan. Namun omongan Sengkuni dan Gendari lebih berpengaruh. Kakanda Prabu memutuskan, kalian diusir dari HAstinapura. Namun ada secercah harapan, ketika Kakanda Prabu masih mendengarkan suaraku, untuk tidak mengusir kalian keluar dari bumi Astinapura. Ia memperbolehkan aku memboyong kalian di Panggombakan, yang masih terhitung wilayah HAstinapura.”
Malam itu malam purnama, Kunthi, kelima anaknya dan Yamawidura meninggalkan kotaraja Astinapura. Tidak seperti ketika mereka memasuki kotaraja, kali ini, disepanjang jalan yang dilaluinya, tidak ada rakyat yang mengelu-elukannya, kecuali suara binatang malam yang mengidungkan tembang kesedihan. Sementara itu, bulan bundar  menyembunyikan mukanya di balik awan hitam, ia tidak sampai hati melihat ketidak adilan yang disandang anak-anak manusia. Maka berangkatlah mereka ke kadipaten Panggombakkan kediaman Yamawidura.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar