Pagi itu udara segar, langit cerah. Burung berkicau merdu, ayam jantan berkokok bersusulan. Pertanda hari baru mulai dibentangkan. Negara besar yang bernama HAstinapura mengawali hari itu dengan mengadakan pasowanan agung. Sang Prabu Destarastra duduk di dampar kencana, beralaskan beludru hitam beraroma bunga melati. Sang raja memakai mahkota Jamang Mas bersusun tiga, didampingi sang prameswari Dewi Gendari, dan dikelilingi para emban, cethi, keparak, manggung. Hadir dalam pasowawan agung tersebut, Patih Sengkuni, Resi Bisma, Yamawidura, para tumenggung, mantri, bupati, demang, lurah, sentana, nayaka dan para kawula.
Menurut silsilah, Prabu Destarastra adalah
anak sulung raja HAstinapura yang bernama Abiyasa atau Prabu Kresnadwipayana
dengan Dewi Ambika. Namun karena ia buta, maka yang diangkat sebagai raja, anak
ke duanya yang bernama Pandudewanata. Pada masa pemerintahan Pandu, Negara
HAstinapura mengalami kemajuan pesat, kesejahteraan meningkat, kejayaan negeri
terangkat. Namun sayang, pada puncak pemerintahannya, Pandudewanata beserta
Dewi Madrim wafat akibat menemuhi permintaan sang istri Dewi Madrim. Maka para
sesepuh istana menyaran agar Destarasta yang memegang tahta HAstina. Menungu
hingga putra Pandu dewasa. Hingga sekarang Destarastralah yang memegang tahta
HAstinapura. Tahta itu telah memberinya segalanya, kesenangan kepuasan,
kekuasaan, kekayaan, kebesaran, kewibawaan dan keagungan. Betapa nikmatnya
tahta itu. Semakin lama duduk di atas tahta, akan semakin nikmat rasanya.
Ya itulah tahta, sesuatu yang terbaik di
bumi HAstinapura. Berikanlah yang terbaik kepada anak-anak kita, kata Gendari
terngiang ditelinga Destarastra. Tidak! Itu bukan yang terbaik, karena hal itu
dapat menjerumuskan anak-anak kita ke dalam perang saudara. Namun dikarenakan
bujukan Gendari tak pernah henti, Destarastra terombang-ambing, antara
mempertahankan atau menyerahkan tahta. Jika menuruti pikirannya, tahta akan
dipertahankan untuk isteri dan anak-anaknya. Namun jika menuruti kesadarannya,
tahta akan diserahkan kepada anak-anak Pandudewanata.
Untuk mengatasai konflik batinnya,
Destarastra mengadakan Pasowanan agung, untuk menyampaikan niatnya kepada para
tetua dan penasihat negri, bagaimana pendapat mereka jika anak-anak Pandudewanata
diboyong di HAstinapura, agar diantara Kurawa dan Pandawa dapat hidup
berdampingan dengan damai, bahu-membahu membangun negeri dan meneruskan
kejayaan HAstinapura.
“Sinuwun Prabu sesembahan hamba,
hamba menyetujui rencana sinuwun Prabu memboyong anak-anak Pandudewanata, dan
hamba akan mempersiapkan upacara besar-besaran menyambut kedatangan mereka.”
“Sengkuni, penyambutan itu tidak perlu
dengan kemewahan. Semenjak Negara Astinaditinggalkan Pandudewanata, banyak
kawula yang hidup dibawah garis kemiskinan. Melihat kenyataan itu, apakah
engkau sampai hati menghamburkan kemewahan, di tengah-tengah kemiskinan, hanya
demi sebuah upacara? Bukankah yang terpenting adalah keselamatan para Pandawa?”
“Maafkan hamba dhuh Sang Maha Resi
Bisma, sesungguhnya maksud hamba tidak lain kecuali demi menjaga kewibawaan
Raja.”
“Ada cara lain untuk menjaga kewibawaan
raja, tidak dengan kemewahan dan kekuatan. Di tengah-tengah keprihatinan,
seorang raja akan semakin berwibawa jika dia rela menanggalkan kewibawaanya dan
bersama-sama dengan kawula ikut merasakan dan menjalani keprihatinan.” Sahut
Bisma.
“Ampun Kakanda Prabu.” Sela Yamawidura.
“Benar apa yang dikatakan Paman Resi Bisma, bahwa kewibawaan tidak terletak
pada kemewahan, kekuatan dan simbol-simbol raja yang ada di keraton, tetapi
kewibawaan raja ada pada mereka, para kawula. Bukankah tahta dan mahkota tidak
ada artinya jika tanpa kawula? Dan tepatlah kiranya jika Kakanda Prabu
memboyong Pandawa di HAstinapura. Dengan kebijaksanaan tersebut, rakyat akan
menilai bahwa Kakanda Prabu memperhatikan mereka, mendengarkan suara mereka,
serta merasakan jeritan hati mereka yang dirundung rindu kepada anak-anak
Pandudewanata.”
Yamawidura memang dikenal sebagai
penasehat bijaksana dan waskitha. Para sesepuh dan Destarastra menyetujui saran
Yamawidura. Maka segeralah diputuskan hari pelaksanaan memboyong Pandawa,
Yamawidura diangkat menjadi duta, menemui Begawan Abiyasa di Saptarengga, untuk
memboyong Kunthi dan ke lima anaknya.
Pada hari yang ditentukan, sejak pagi
kawula berduyun-duyun memenuhi alun-alun dan ruas-ruas jalan yang akan di
lewati anak-anak Pandu. Dengan kesadaran dan ketulusan hati, para kawula
memasang umbul-umbul, rontek, bendera, penjor dan macam-macam hiasan untuk
menyambut anak-anak Pandu. HAstinapura berubah wajah. Ibarat seorang gadis
sedang bersolek, untuk menyambut kekasihnya yang telah lama berpisah. Waktu
itu, ketika Pandudewanata, meninggalkan HAstinapura, rakyat mengiring dengan
tetesan air mata. Nestapa Pandudewanata adalah duka kawula HAstinapura. Setelah
lama berpisah, hari itu, kerinduan antara kawula dan raja tumpah kepada
anak-anak Pandudewanata.
“Hore! Horeee! Calon Raja kita datang.”
“Hidup calon Raja!” “Hidup anak
Pandu!” “Hiduuup!”
Sepanjang jalan para kawula HAstinapura
mengelu-elukan. Mereka saling berebut ingin melihat dari dekat putra-putra
Pandudewanata. Pancaran kebijaksanaan Puntadewa, kekokohan Bimasena, ketampanan
Harjuna, ketenangan Nakula dan kecerdasan Sadewa, mampu mengudang kekaguman
rakyat HAstinapura. Ketika kereta yang ditumpangi Dewi Kunthi melintas di depan
mereka, ada rasa iba tersembul dari ekspresi wajah rakyat HAstinapura, tatkala
melihat kerut-kerut wajah wanita setengah baya itu menggoreskan penderitaan
yang teramat dalam.
Sore hari, setelah upacara Pandawa Boyong
usai. Jalan-jalan menuju kotaraja menjadi lengang, alun-alun kembali sepi.
Prabu Destarastra termenung, merasakan peristiwa yang baru saja berlalu.
“Gendari, Benar apa yang dikatakan Yamawidura bahwa kewibawaan tidak berada
pada simbol raja. Tanpa simbol-simbol raja, anak-anak Pandudewanata disambut
bak raja besar, melebihi raja yang berkuasa. Itu artinya bahwa simbol-simbol
raja yang aku pakai selama ini kosong, dan isinya ada di tangan anap-anak
Pandu. Untuk itu sudah sepantasnya tahta HAstinapura aku berikan kepada
Pandawa”
“Jangan Kanda Prabu, Kakanda harus
mempertahankan tahta Astinapura”
“Mempertahankan tahta tanpa kewibawaan?”
“Bukankah Kanda Prabu yang memegang
kekuasaan dan menguasai negeri ini? Termasuk menguasai kewibawaan. Jika
kewibawaan itu diyakini berada di tanggan Pandhawa kita akan merebutnya dan
memberikan kepada para Kurawa. Ingat! Kakanda, kita belum memberikan yang
terbaik untuk anak-anak kita.” Sore menjelang malam, langit menjadi semakin
merah. Cahaya matahari mulai enggan menambah panasnya Bumi HAstinapura yang
kian panas, sepanas hati Dewi Gendari.
Di
dalem kasatrian Astinapura, Puntadewa berkumpul dengan kedua adiknya, Suasana
sedikit hening. Beberapa pepohon yang
berada di halaman memantulkan cahaya matahari ke wajah mereka, melalui balik
daun-daunnya yang berwarna ke coklat-coklatan. Siang itu, saat istirahat,
matahari berada diatas kepala, Semar memanfatkan waktunya untuk mengunjungi
momongannya.
“Dhuh
doro kula, Puntadewa, Bimasena, Harjuna, ada goresan sendu di wajah kalian.
Adakah sesuatu perkara besar yang melebihi kemampuan kalian untuk
menanggungnya, sehingga menggelisahkan hati?”
“Kakang Semar, engkau sungguh seorang panakawan
pinunjul, mampu merasakan apa yang kami rasakan. Memang benar, ada perasaan
yang menyesak hati. Keberadaan kami di HAstinapura rupa-rupanya tidak
dikehendaki oleh para Kurawa. Mereka menunjukan sikap tidak bersahabat, bahkan
mengarah pada permusuhan. Gerak-gerik kami dicurigai, kami dilarang keluar
masuk benteng untuk bertatap muka dengan para kawula, sehingga kami jadi serba
salah untuk melakukan sesuatu.”
“Dhuh
doro kula, dengan keadaan yang kurang menguntungkan tersebut bukan berarti
kalian tidak dapat berbuat sesuatu. Bagi orang bijak, waktu jangan
disia-siakan. Setiap denyutnya harus membawa manfaat. Pekerjaan itu jangan
ditunggu, tetapi dikerjakan. Dharma bakti jangan dinanti, tetapi dijalani.”
“Kakang
Semar, kami menjadi bingung, apa yang musti kami kerjakan?”
“Dhuh
adhuh, ndara, ndara, bendara kula. Sampeyan itu bagaimana ya ?
Di
Saptarengga eyangmu Abiyasa telah mengajari banyak hal, baru beberapa bulan
hidup di istana, rasa pangrasa kalian menjadi tumpul. Apakah kalian tidak
melihat dan merasakan kehidupan di lingkungan beteng dalam ini. Para abdi menjadi korban kebijakan raja,
hidup dalam penderitaan dan tekanan. Mereka butuh dibela, dilindungi dan
dibebaskan dari berbagai ancaman. Sebagai seorang satria masihkan kalian
bertanya, apa yang musti dikerjakan?” “Kakang Semar, kami telah mencoba
melakukan hal itu, namun kami malahan dituduh menentang kebijaksanaan raja dan
membuat kerusuhan di benteng dalam ini”
“Kalian
memang harus cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati. Kalian dapat
melakukan sesuatu untuk sebuah keadilan, tanpa harus menimbulkan kecurigaan dan
membuat keonaran. Jangan berhenti karena dihalangi! Karena sesungguhnya
pekerjaan mulia tidak akan pernah selesai hanya dengan berpangku tangan dan
keragu-raguan.” Tanpa menunggu jawaban, Semar segera melangkah pergi. Kakinya
yang besar dan kokoh menapaki hamparan pasir, melewati sela-sela pohon Sawo
Beludru. Puntadewa, Bimasena dan Harjuna terpaku diam. Mereka menatap kepergian
Semar hingga hilang ditelan pintu depan menuju arah keluar.
Siang
itu matahari tak terhalang mega, wajah mereka yang merah karena teguran Semar,
semakin memerah diterpa pasir di halaman Kasatrian yang beterbangan tertiup
angin. Dari pandangan matanya dapat diketahui bahwa perasaan mereka sangat
terpukul. Mereka menyadari ketidak mampuannya menghadapi sebuah suasana yang
sengaja dibuat untuk semakin memojokkan mereka.
Tiba-tiba
siang yang hening itu pecah oleh kegaduhan para Kurawa yang datang di Dalem
Kasatrian. Disertai teguran sinis, mereka menghampiri Puntadewa dan
adik-adiknya. Ketiga anak Pandu itu diam saja. Suara yang tidak mengenakan dan
menyakitan itu, sudah terbiasa keluar dari mulut para Kurawa.
“Huaa
ha ha…! Bingung! Linglung! Pantas saja anak gunung di kraton bingung. Ha ha ha.
Bukankah hidup di keraton menyenangkan? Makan enak, tidur nyenyak, apakah masih
kurang? Apakah menginginkan wanita sintal manis, cantik bahenol? Huaaaa …”
“Hmm, jaga mulutmu Kakang Dursasana, jika tidak ingin aku robek.”
Para
Kurawa terdiam, mereka tergetar oleh kata-kata Bimasena. Puntadewa mencoba
meredakan ketegangan.
“Sebagai
saudara tua yang kami hormati seharusnya kalian tidak mengeluarkan kata-kata
pedas menusuk, karena sesungguhnya kami ingin hidup berdampingan dengan damai.
Di HAstinapura ini bukankah tidak ada perbedaan diantara kita”
“Tidak
berbeda dengan kami? Hua ha ha ha. Menggelikan! Kami adalah para putra raja
yang hidup di keraton, sedangkan kalian adalah anak Pandhu yang hidup di
hutan.”
“Tetapi
Ramanda Pandhu adalah raja yang berhak atas tahta HAstinapura.”
“Orang
mati tidak dapat naik tahta. Tetapi kalau memang kalian ingin diperlakukan sama
seperti putra raja, silakan minta dikeloni arwah bapakmu, huaaaaa.” Ejek
Dursasana. “Hmm, kurang ajar.”
Bimasena
tak mampu menahan amarah ketika ayahnya yang sudah meninggal dihina. Duryudana
dan Dursasana yang berada dipaling depan, dihampirinya dengan kakinya, Keduanya
jatuh terlentang menyentuh pasir. Para kurawa maju mengerubut. Belum berlanjut
keributan itu, tiba-tiba terdengarlah suara yang sudah tidak asing di
telinganya. “Bima anakku.”
Ditolehnya
arah datangnya suara. Ia melihat Dewi Kunthi ibundanya dan Yamawidura pamandanya
telah berada diantara Puntadewa dan Harjuna. Bersamaan dengan itu Para Kurawa
meninggalkan Kasatrian.
“Bima,
jaga amarahmu, tidak ada gunanya membuat onar di negri yang kita cintai ini.”
“Benar kata ibumu Kunthi, jika nafsu amarahmu kau biarkan liar, akibatnya akan
merugikan negri, mencelakai sesama dan menghancurkan diri sendiri.”
Tanpa
sepatah katapun Bimasena berjalan memasuki dalem kasatrian, dikuti oleh Kunthi,
Yamawidura dan kedua adiknya.
Sesampainya
di ruang tengah, mereka duduk bersama. Dalam kesempatan tersebut, Yamawidura
menyampaikan perkembangan terbaru yang menyangkut keberadaan Anak-anak Pandu di
Negara HAstinapura. Ada sekelompok petinggi Negri dan para bangsawan yang
membuat laporan, bahwa semenjak Pandawa memasuki kota raja, kewibawaan raja
berangsur-angsur surut. Jika hal ini dibiarkan, pada saatnya nanti wahyu raja
akan berpindah kepada Pandhawa. Maka jalan satu-satunya yang harus dilakukan
adalah mengusir Pandawa dari Bumi Astinapura.
“Aku
sudah mengingatkan kepada Raja, agar meneliti terlebih dahulu kebenaran laporan
itu sebelum mengambil keputusan. Namun omongan Sengkuni dan Gendari lebih
berpengaruh. Kakanda Prabu memutuskan, kalian diusir dari HAstinapura. Namun
ada secercah harapan, ketika Kakanda Prabu masih mendengarkan suaraku, untuk
tidak mengusir kalian keluar dari bumi Astinapura. Ia memperbolehkan aku
memboyong kalian di Panggombakan, yang masih terhitung wilayah HAstinapura.”
Malam
itu malam purnama, Kunthi, kelima anaknya dan Yamawidura meninggalkan kotaraja
Astinapura. Tidak seperti ketika mereka memasuki kotaraja, kali ini,
disepanjang jalan yang dilaluinya, tidak ada rakyat yang mengelu-elukannya,
kecuali suara binatang malam yang mengidungkan tembang kesedihan. Sementara
itu, bulan bundar menyembunyikan mukanya
di balik awan hitam, ia tidak sampai hati melihat ketidak adilan yang disandang
anak-anak manusia. Maka berangkatlah mereka ke kadipaten Panggombakkan kediaman
Yamawidura.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar