DURNA SANG GURU SEJATI - Sastra Education

Breaking

Minggu, 22 Mei 2016

DURNA SANG GURU SEJATI



Pagi itu  di kapautren Panggombakan yang sekitarnya banyak ditumbuhi pohon besar kecil nan rindang, ramai oleh kicaunya burung-burung. Teristimewa suara burung prenjak bersautan persis didepan rumah sebelah kanan. Biasanya itu pertanda akan datang seorang wiku, pandhita atau panembahan. Semar meyakini pertanda itu, maka ia bersama para abdi panggombakan mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut tamu agung tersebut.
Keyakinan Semar dalam menanggapi pertanda alam melalui suara burung prenjak menjadi kenyataan. Tak lama kemudian, datanglah Begawan Abiyasa dari Pertapaan Saptaarga. Yamawidura, Kunthi dan Pandhawa tergopoh-gopoh menyambutnya. Kedatangan Begawan Abiyasa sungguh amat tepat, karena kerabat Pandhawa sedang gundah hatinya menyusul pengusirannya dari Negara HAstinapura. Bagaikan air kendi yang telah berusia delapan tahun menyiram kepala dan hatinya. Dingin menyegarkan. Suasana menjadi tenang tentram.
Belum genap sepekan Begawan Abiyasa tinggal di Panggombakan, tiba-tiba suasana damai dihempaskan oleh kedatangan Patih Sengkuni dan para Kurawa. Dengan alasan karena terdorong oleh kerinduannya kepada sauadaranya yaitu para Pandhawa. Namun ternyata itu sekedar basa-basi yang tidak berlangsung lama. Rupanya para Kurawa telah mengatur strategi. Beberapa orang ditugaskan untuk menjauhkan Bima dan saudaranya dengan Begawan Abiyasa. Karena yang menjadi tujuan utama adalah untuk menemui Begawan Abiyasa.
Pada mulanya mereka menghaturkan sembah seperti layaknya seorang cucu kepada eyangnya yang bijak. Tetapi apa yang kemudian terjadi? Para Kurawa yang diwakili Patih Sengkuni me
nanyakan perihal Lenga (minyak) Tala milik Begawan Abiyasa. “Kami tidak percaya bahwasanya Sang Begawan tidak membawanya. Tidak mungkin Lenga Tala lepas dari dirinya.
Karena Lenga Tala merupakan minyak yang mempunuai kasiat luar biasa. Siapa saja yang sekujur badannya diolesi Lenga Tala ia tidak akan terluka oleh bermacam jenis senjata. Oleh karena itu kedatangan kami ke Panggombakan ini untuk memimta Lenga Tala sekarang juga. Jika Sang Begawan Abiyasa mengatakan bahwa Lenga Tala tidak dibawa, kami akan melepaskan semua pakaian yang menempel, untuk membuktikan bahwa Sang Begawan telah membohongi kami! He he he.”
Belum mendapat jawaban, Dursasana mulai melakukan aksinya. Ia dengan cepat menjulurkan tangannya dan menarik ubel-ubel tutup kepala yang dipakai Begawan Abiyasa. Bersamaan itu tampaklah benda bercahaya berbentuk oval, berujud cupu, jatuh dan menggelinding di lantai. Dengan cekatan Dursasana menyahut benda tersebut dan membawanya kabur, seraya terkekeh-kekeh.
“Memang benar engkau tidak berhohong hai Abiyasa, bahwa dirimu tidak membawa Lenga Tala. Karena yang membawa adalah aku, hua ha ha” Dursasana berlari sambil menari-nari menimang cupu yang berisi Lenga Tala, diikuti oleh Patih Sengkuni, Duryudana dan beberapa Kurawa. Abiyasa bersama beberapa cantrik tidak mapu berbuat apa-apa. Namun dibalik raganya yang lemah, Sang Begawan Abiyasa mempunyai kekuatan lain yang jauh melebihi kekuatan ragawi manapun, yaitu dengan kekuatan sabda yang keluar dari mulutnya. “Inikah Destrarastra hasil didikkanmu? Apakah engkau tidak cemas bahwa suatu saat perilaku anak-anakmu Kurawa yang diperbuat untukku akan menimpamu pula? Bahkan lebih dari itu, mereka akan beramai-ramai menginjak-injak kepalamu, hai Destarastra. Dan engkau Sengkuni. Karena mulutmulah semua ini terjadi. Oleh karena hasutanmu, mulutmu akan menjadi lebar, selebar badanmu.”
Para cantrik mengerti bahwa apa yang di katakan Guru mereka tidak sekedar ungkapan ketidak puasan, tetapi merupakan kutukan bagi Drestarastra dan Patih Sengkuni. Maka ketika guntur menggelegar dibarengi angin bertiup kencang, para Cantrik merasa ngeri, karena hal tersebut menjadi pertanda bahwa kutukan Begawan Abiyasa benar-benar akan terjadi.
Para cantrik Padepokan Saptaarga yang ikut ke Panggombakan merasa tercabik hatinya, menyaksikan Sengkuni dan para Kurawa menghina guru mereka, Begawan Abiyasa. Sikap diam mereka bukan karena ketakutan, tetapi bagi mereka tidaklah terpuji membuat keributan pada saat bertandang di Panggombakan. Karena kesadaran tersebut, tanpa diperintah salah satu diantara para cantrik berlari keluar, untuk melaporkan kejadian tersebut kepada Bimasena.
Sementara itu, rombongan Kurawa yang berhasil membawa Lenga Tala, bergantian menimang-nimang benda berbentuk oval bercahaya, sembari menari-nari di sepanjang jalan. Para peladang yang sedang merawat tanamannya, memilih menyembunyikan diri, dari pada harus memberi hormat sembah kepada para bangsawan yang tidak mereka sukai. Burung-burung pun terbang berhamburan meninggalkan pepohonan di pinggir jalan untuk mengabarkan kepada kawula Panggombakan untuk menjauhi jalan yang akan dilewati rombongan Patih Sengkuni dan para Kurawa, supaya hati mereka tidak dikotori oleh kejahatannya.
Cupu bercahaya berisi Lenga Tala yang dapat membuat kekebalan badan dari serangan segala jenis senjata dan pusaka, sungguh menyilaukan hati Patih Sengkuni dan Kurawa. Oleh karena nafsunya itu, mereka tidak memperdulikan lagi sesamanya, bahkan saudaranya atau malah pepundhennya yang seharusnya mereka hormati. Saking asyiknya mengamati benda hasil rampasannya, Patih Sengkuni dan Para Kurawa tidak menyadari bahwa Bimasena telah menyusul mereka.
Panas hati Bima. Ia tidak mampu lagi membendung luapan amarah. Tanpa banyak kata, dengan cepat kaki Bima yang perkasa menghampiri dada Dursasana. Terjengkang-lah Dursasana menipa Kurawa yang lain. Saat itulah tiba-tiba Bimasena merebut Lenga Tala dari tangan Duryudana. Patih Sengkuni kebingungan, seperti orang kebakaran jenggot. Dengan suara parau ia berteriak “Kejar Bimasena dan rebut Lenga Tala!” Dursasana segera bangkit mengejar Bimasena, diikuti Duryudana dan adik-adiknya serta Patih Sengkuni.
Bimasena adalah seoarang Ksatria sejati. Ia tidak lari. Dengan dada tegak Bima menunggu terjangan para Kurawa. Bimasena bergeming menerima pukulan bertubi-tubi. Ia berusaha dengan sekuat tenaga mempertahankan Lenga Tala. Namun sedahsyat apapun tenaga manusia tentu ada batasnya. Demikian pula Bimasena, menghadapi keroyokan para Kurawa. Tenaganya semakin menyusut. Pada saat kelelahan, ia memutuskan untuk melempar Lenga Tala, jauh ke arah gunung Sataarga. Sengkuni dan para Kurawa terkejut sesaat, namun kemudian bagaikan gerombolan Serigala mengejar Domba, mereka berlari kearah jatuhnya Cupu Lenga Tala. Bimasena dan Harjuna dan beberapa cantrik menyusulnya. Bima berdiri tegak memandang ke arah jatuhnya Cupu Lenga Tala. Ada kelegaan dihati Bima, ketika ia membayangkan bahwa cupu tersebut akan membentur batu dan isinya tumpah, tidak dapat dimanfaatkan.
Tidaklah mudah untuk menemukan cupu yang dilempar Bimasena. Walaupun dengan sisa tenaganya, lemparan Bimasena jauh hingga menjangkau di balik bukit, sehingga Patih Sengkuni dan Kurawa kehilangan arah jatuhnya Cupu Lenga Tala. Menjelang sore, Cupu Lenga Tala belum di temukan. Akhirnya Patih Sengkuni dan Kurawa dipaksa menghentikan pencariannya, karena hari mulai gelap. Mereka bertekad tidak akan pulang ke Negara HAstinapura sebelum dapat menemukan cupu tersebut.
Malam merambat pelan. Di tempat peristirahatan, Patih Sengkuni, Duryudana dan Dursasana tidak dapat segera memejamkan mata. Kekhawatiran yang sama, muncul di dalam benaknya. Mereka khawatir jika malam terlalu panjang, Cupu Lenga Tala ditemukan orang lain. Niat mereka ingin merobek malam sehingga pagi segera menjelang, untuk melanjutkan usahanya mencari dan menemukan Lenga Tala. Namun sang malam berjalan seperti biasanya, hingga gelapnya mencapai titik sempurna. Pada saat itu, hampir bersamaan, ketiganya tercengang melihat seleret sinar kebiru-biruan yang membelah langit dari bawah ke atas. Tanpa diperintah ketiganya bergegas menuju tempat asal sinar misterius tersebut. Karena kegaduhan langkah mereka, para Kurawa yang lain terbangun dari tidurnya. Tanpa mengetahui apa yang dilakukan oleh para pimpinan mereka, mereka bangun menyusul Patih Sengkuni, Duryudana dan Dursasana yang sudah mendahului hilang ditelan pekatnya malam.
Niat Patih Sengkuni, Duryudana, Dursasana dan Kurawa lainnya berubah. Jika semula mereka menginginkan hari segera pagi, namun dengan adanya cahaya kebiru-biruan, mereka bermaksud menghentikan gelap, sebelum dapat menemukan apa yang menjadi sumber cahaya tersebut. Karena di dalam gelap mereka dapat dengan jelas melihat sinar kebiru-biruan itu, sehingga dengan mudah dapat menemukan tempat cahaya itu berasal.
Di pinggir hamparan tanah pategalan, tepatnya di sebuah sumur tua, awal dari cahaya itu. Secara bebarengan mereka mendekati sumur melongok di dalamnya. Mata mereka berkilat-kilat melihat benda yang menjadi sumber dari cahaya. Hampir bersamaan mereka berucap “Cupu Lenga Tala.” Betapa senang hati mereka melihat benda yang dicarinya ada di depan mata dalam keadaan utuh. Maksud hati ingin segera mengambilnya, namun mereka kebingungan bagaimana caranya? Sumur yang tidak begitu luas itu amat dalam. Dinding sekelilingnya penuh lobang, ditumbuhi semak belukar. Tampaklah di antara rimbunnya semak, beberapa ekor ular berbisa dengan badannya yang mengkilat tertimpa cahaya. Melihat keadaan sumur yang menyeramkan, diantara mereka tidak ada yang punya nyali untuk masuk ke dalam sumur. Beberapa lama mereka mondar-mandir di seputar sumur, tanpa berbuat sesuatu.
Bersamaan dengan merekahnya fajar di ujung Timur, Bimasena, Harjuna dan saudara-saudaranya datang. Sengkuni menyapanya dengan amat manis. “Anak-anakku Pandawa, kebetulan kalian datang. Hampir saja kami putus asa tidak dapat menemukan Cupu Lenga Tala. Sekarang cupu telah diketemukan di dalam sumur tua ini. Namun di antara kami tak ada berani mengambil. Hanya kalianlah yang kami harapkan dapat mengambilnya, untuk kemudian dibagi dengan adil.” Bimasena dapat menangkap dibalik kata-kata manis, ada tipu muslihat yang kotor. “Aku tidak mau! Biarlah Cupu Lenga Tala tenggelam di dasar sumur, dari pada jatuh ke tangan orang-orang durhaka.”
Bimasena dan saudara-saudaranya ingin segera pergi, tanpa berniat melongok sumur tua itu. Namun langkah mereka terhenti ketika melihat kelebatnya seseorang. Dengan langkahnya yang ringan orang tersebut menuju sumur tua. Ia membawa rumput kalanjana yang telah disambung-sambung. Semua mata menatapnya. Walaupun badannya cacat, mata orang itu tajam bagai elang. Kewibawaan memancar kuat darinya. Sesampainya di bibir sumur, sembari menebarkan pandangan ke arah Kurawa dan Pandhawa, ia berkakata. “Apa yang kalian inginkan dariku?” “Ambilkan benda itu untuk kami!.” Teriak para Kurawa. “Baiklah! Lihatlah!” Seperti mendapatkan aba-aba, para Kurawa berebut merapat di bibir sumur, ingin melihat apa yang akan dikerjakan orang asing tersebut. Dengan penuh keyakinan ia menurunkan rangkaian rumput kalanjana ke dalam sumur. Ditanganya, sambungan rumput-rumput itu berubah bagaikan seekor naga kecil yang ganas, menyergap Cupu Lenga Tala, dan mengangkatnya ke permukaan sumur. Dalam sekejap Cupu Lenga Tala telah berada dalam genggamannya. Para kurawa bersorak gembira. Bagaikan anak-anak kecil yang mendapatkan kembali mainan kesukaannya. Mereka saling berdesakan, berebut menjulurkan tangannya, untuk mendapatkan Cupu Lenga Tala.
Orang asing tersebut mengerutkan keningnya, ia nampak tidak senang atas perilaku para Kurawa. “Tidak sembarang orang yang mempunyai benda istimewa ini. Aku ingin bertemu dengan pemiliknya untuk mengembalikan padanya.” Dalam hati mereka bertanya-tanya. Siapakah orang ini? Apakah dia kenal dengan Begawan Abiyasa, pemiliknya?. Namun mereka tidak berani menanyakan hal tersebut. Ada rasa getar dan takut menyaksikan kesaktian yang telah ditunjukkan. Oleh karena itu para Kurawa tidak berani memaksakan kehendak untuk mendapatkan Cupu Lenga Tala. Mereka menyerahkan kepada Patih Sengkuni yang dipercaya mempunyai banyak siasat untuk mendapatkan cupu dari tangan orang asing tersebut.
Sementara itu para Pandhawa justru lebih tertarik kepada perilaku orang asing tersebut yang dipercaya mempunyai segudang ilmu tingkat tinggi, dari pada Cupu Lenga Tala. Bagi para Pandhawa yang sejak kecil gemar berguru, bertemu dengan orang berilmu tinggi merupakan kesempatan yang tidak boleh sia-siakan. Maka dengan tak segan-segan mereka menghampirinya. Harjuna bersimpuh menyembahnya dan Bimasena mengangkat orang itu di atas kepala wujud lain dari sembah Bimasena. Keduanya hampir bersamaan berucap: “Perkenankanlah aku menjadi muridmu ya maha guru.” Orang itu terharu karenanya.. Sejak awal ia mengamati Bimasena dan Harjuna. Matanya yang tajam dapat melihat kejujuran, kepatuhan, kesetiaan dan bakat yang luar biasa dibalik ketampanan Harjuna dan kegagahan Bimasena. Gayungpun pun bersambut. Sesungguhnya penggembaran orang asing tersebut hingga sampai ke tempat ini dalam upaya mencari murid terbaik. Dan saat ini telah ditemukan dalam diri Harjuna dan Bimasena.. “Siapa namamu bocah bagus?” “Nama hamba Harjuna” “Dan kau bocah gagah perkasa?” “Bimasena” “Baiklah Harjuna dan Bimasena mulai hari ini kalian aku angkat menjadi muridku”
Orang sakti bertubuh cacad itu telah mengangkat murid baru, Bimasena dan Harjuna, dan disusul Puntadewa, Nakula dan Sadewa. Dalam pernyataan awal mereka berlima berjanji akan selalu patuh kepada guru. “Ha, ha, ha, bagus-bagus! Aku tidak menyangka bertemu kalian berlima yang terkenal dengan sebutan Pandhawa Lima. Dengan suka hati aku bersedia menjadi gurumu”
Patih Sengkuni gusar. Orang asing yang berhasil mengambil Cupu Lenga Tala, telah mengangkat murid Pandhawa. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa Lenga Tala akan diberikan Pandhawa. Apalagi setelah mengetahui bahwa para Kurawa telah merebut paksa dari tangan Begawan Abiyasa. Namun sebelum kemungkinan paling buruk terjadi, Patih Sengkuni segera mendekatinya, dengan penuh hormat ia memperkenalkan diri. “Namaku Sengkuni, patih HAstinapura, dan yang berada di sekitar sumur itu adalah putra-putra raja. Jika diperbolehkan aku akan memanggilmu Kakang, seperti layaknya sebutan untuk saudara tua. Kebetulan Sang raja butuh guru sakti bagi putra-putranya. Untuk itu kakang, sekarang juga engkau aku ajak menghadap raja. Aku akan meyakinkan kesaktianmu, sehingga raja berkenan mengangkatmu menjadi guru resmi istana.”
“Sebenarnya orang asing tersebut tidak membutuhkan murid, selain Pandhawa lima. Namun tawaran Patih Sengkuni perlu dipertimbangkan. Karena dengan menjadi guru istana, ia dapat memanfaatkan kekuatan dan kebesaran HAstinapura untuk tujuan-tujuan pribadi. “Baiklah Adhi Sengkuni, aku terima tawaranmu, asalkan anakku Aswatama dan Pandhawa lima boleh masuk ke istana untuk bersama putra-putra raja mendapatkan ilmu dariku.”
Sengkuni keberatan dengan syarat itu. Ia tidak suka Pandhawa tinggal di istana. Bahkan beberapa waktu lalu Patih Sengkuni berhasil membujuk raja untuk mengusir Pandhawa, dengan alasan bahwa Pandhawa telah menghasut rakyat untuk memusuhi raja. “Jika kalian keberatan dengan syarat itu, akupun keberatan untuk masuk istana. Maaf! Selamat tinggal! Ayo murid-muridku, ikutilah aku!”
“Adhuh celaka! Lenga Tala dibawa! Para Kurawa kejar dia!!”
Ketika Kurawa bergerak untuk mengejar mereka, tiba-tiba kabut tebal menghadang jalan. Orang sakti dan Pandawa lima lenyap di balik putihnya kabut.
Tak lama para Pandawa  tiba di Sokalima. Dan saat menjelang pagi para Pandawa mulai belajar ilmu dari sang guru. Arjuna yang ahli menggunakan gandewa. Bima sangat ahli mengunakan gada. Yudistira ahli mengunakn tombak. Nakula dan Sadewa ahli mengunakan pedang. Hari – hari para Pandawa belajar pada sang guru. Terutama Arjuna yang sangat hebat dalam memanah hal ini dirasakan ole sang Drona. Kebehatan bahkan bisa melebihi sang guru Drona.
Maka menjelang tengah malam, Harjuna memasuki halaman padepokan Sokalima. Temaramnya cahaya lampu minyak menyambut wajah halus nan tampan di pintu gerbang padepokan. Wajah tersebut sudah sangat dikenal oleh para cantrik yang jaga, sehingga dengan serta-merta mereka menyambutnya dengan penuh hormat, dan mengantarnya sampai di depan pintu, tempat sang guru menanti.
Sang Guru Durna sudah cukup lama duduk bersila di ruang dalam menghadap meja dengan lampu minyak yang diletakkan di tengah-tengahnya. Di meja pendek itulah Guru Durna meletakan pusaka andalan yang berujud busur panah pemberian Batara Indra, namanya Gandewa. Kedahsyatan pusaka ini adalah, jika busur tersebut ditarik di medan perang, akan mengeluarkan anak panah dengan jumlah tak terbatas, dapat mencapai ratusan ribu, tergantung dari pemakainya. Sesungguhnya busur ini akan diwariskan kepada Aswatama, anak laki-laki satu-satunya. Namun rupanya sang guru Durna tidak cukup puas dengan kemampuan Aswatama. Dibandingkan dengan murid-murid yang lain, Aswatama tidak memiliki keistimewaan, sehingga jika pusaka Gandewa dipercayakan kepada Aswatama, ia akan mengalami kesulitan untuk menggunakannya, apalagi jika harus menarik busur Gandewa di medan perang.
Dengan mempertimbangkan kemampuan yang ada, terlebih pada penguasaan berolah senjata panah, maka Harjunalah yang mempunyai kemampuan memanah jauh meninggalkan murid-murid yang lain. Maka tidak dapat disalahkan jika Harjuna lebih diistimewakan dibanding murid-murid yang lain, termasuk juga Aswatama, karena Harjuna memang istimewa.
Suara gemerit menandakan pintu ruang tengah dibuka.
“Saya datang menghadap di tengah malam ini bapa guru, maafkan saya”
“Masuklah Harjuna, aku telah lama menunggumu.”
Dengan langkah hati-hati Harjuna memasuki ruangan, menyembah, untuk kemudian laku dhodhok dan duduk menunduk di hadapan sang guru Durna. Mata Harjuna menatap sebuah busur yang pernah diperlihatkan kepadanya. Ada getar yang kuat di hati Harjuna melihat busur Gandewa yang sengaja diletakan dan disiapkan di meja. Sebagai murid yang lantip dan cerdas Harjuna dapat membaca bahwa ada hubungannya antara pemanggilan dirinya dengan pusaka Gandewa.
Suasana menjadi hening dan khidmat ketika Durna mengawali pembicaraan yang wigati dan serius.“Harjuna murid yang aku kasihi, engkau tahu pusaka ini adalah pemberian Batara Indra pemimpin para Dewa. Diberikan padaku karena ketekunanku menjalani laku belajar ilmu memanah, baik secara lahir dan juga secara batin. Sehingga bagiku busur Gandewa ini merupakan tanda puncak prestasiku dalam hal ilmu memanah.
Namun sekarang aku tidak muda lagi, apalagi fisikku cacat sehingga tidak mungkin berprestasi seperti dulu lagi. Oleh karenanya, busur Gandewa ini sebaiknya aku wariskan kepada murid yang dapat mencecap ilmu memanahku dengan tuntas.
Pada mulanya aku memang berharap banyak kepada anakku Aswatama, namun dengan jujur aku mengakui bahwa ia tidak mampu mewarisi pusaka dahsyat ini, dikarenakan ilmu memanahnya tidak sempurna. Harjuna tentunya engkau dapat membaca arah pembicaraanku ini. Namun pasti engkau tidak akan pernah menduga rencanaku atas pusaka ini.”
“Ampun Bapa Guru, saya tidak akan pernah mengungkapkan isi hatiku, sebelum Bapa Guru mengatakan kepadaku. Karena sesungguhnya, bapa guru dapat membaca isi hatiku.”
“He he he, Harjuna engkau memang murid yang selalu bisa membuat aku bangga. Kepatuhan, ketekunan, kemampuan dan kesetiaan yang telah engkau baktikan kepadaku selama ini adalah dasar pertimbanganku untuk memberikan semua ilmu yang ada padaku, khususnya ilmu memanah. Sehingga dengan demikian kemampuan memanah yang telah engkau kuasai sejajar dengan dengan kemampuanku. Jika aku lebih unggul dalam pengalaman, engkaupun lebih unggul dalam hal tenaga.
Harjuna bocah bagus, seorang guru sejati akan sangat berbahagia jika dapat menghasilkan murid yang mempunyai kemampuan melebihi gurunya. Maka untuk itulah aku memanggilmu secara khusus di tengah malam ini untuk menyempurnakan ilmu memanah yang telah aku ajarkan padamu.”
Tangan Durna yang mulai menampakan keriputnya tersebut bergetar, dengan perlahan dan hati-hati ia mengambil pusaka Gandewa.
“Terimalah pusaka ini, Harjuna”
“Bapa Guru”
“Seperti ketika aku menerima pusaka ini dari Batara Indra, demikian pula aku memberikan pusaka ini kepadamu sebagai tanda penghargaan atas prestasimu dalam ilmu memanah.”
“Adhuh Bapa Guru, apakah aku cukup pantas menerima penghargaan yang demikian tinggi? Tidakkah Aswatama yang lebih berhak menerima warisan pusaka dari Bapa Guru Durna?”
“Harjuna, purbawasesa ada padaku, aku masih percaya bahwa engkau tidak akan pernah mencoba untuk tidak taat kepada perintahku.”
“Ampun bapa guru Durna, dengan penuh rasa bakti dan hormat pusaka Gandewa aku terima. Terimakasih bapa guru atas penghargaan ini.”
Dengan perlahan tangan Harjuna dijulurkan menerima pusaka Gandewa.
Di sisi gelap, jauh dari jangkauan cahaya lampu minyak, ada sepasang mata yang sejak awal memperhatikan dialog antara guru dan murid tersebut. Pada saat pusaka Gandewa telah berpindah ke tangan Harjuna, dari ke dua sudut mata tersebut menyembul airmata bening berkilau. Walau hanya beberapa tetes, namun telah mampu membasahi ke dua pipinya.
Aswatama sakit hati melihat haknya direbut oleh orang lain. Bagaimana tidak? Bukankah ia adalah anak semata wayang, satu-satunya pewaris dari sang Guru Durna, tetapi mengapa dengan enaknya, tanpa pembicaraan dan pemberitahuan lebih dulu, bapanya telah mewariskan mustikaning pusaka Gandewa pemberian Dewa Indra itu kepada Harjuna. Siapakah Harjuna itu? Bukankah ia hanyalah salah satu murid Sokalima? Tidak ada hubungan darah sama sekali dengan Sang Guru Durna?
“Dhuh Dewa!!!” Aswatama merebahkan diri di lantai, air matanya akan menetes, namun tiba-tiba ditahannya, ketika ia mendengar langkah kaki yang tidak asing di telinga mendekati dirinya. Dengan segera ia bangkit. Panas hatinya telah mengeringkan air di matanya. Sebelum suara langkah kaki tersebut sampai ditempat itu, ia lari menembus kegelapan malam. Langkah Durna dipercepat agar dapat mengetahui kemana Aswatama mengarahkan larinya.
Di tanah lapang ujung dusun Aswatama menghentikan larinya. Ia berbaring terlentang dirumput yang mulai dibasahi embun malam. Walaupun malam itu bulan sedang tidak bertahta, langit tidak menjadi gelap-pekat karena bertaburnya berjuta bintang. Aswatama membiarkan rasa dingin mulai menyentuh kulit, merambat ke aliran darah menuju ke jantung dan meyebar ke hati, ke otak dan ke seluruh tubuh.
Proses pendinginan itulah yang kemudian membuat Aswatama tidak mampu lagi membendung air matanya. Ia menagis tersedu-sedu bukan karena pusaka Gandewa, tetapi lebih kepada bahwa keberuntungan tidak pernah berpihak padanya. Dhuh Sang Hyang Tunggal, tidakah Engkau cabut saja nyawaku, dari pada hidupku hanya akan menambah cacatan buruk bagi sejarah manusia.
Dalam keadaan seperti itu biasanya Aswatama mulai berimajinasi tentang ibunya yang adalah seorang bidadari bernama Wilutama. Dengan cara demikian maka semua persoalan hidup akan terlupakan. Yang ada adalah sebuah kerinduan untuk berjumpa dengan seorang ibu yang pernah melahirkannya.
Dicarinya wajah ibunya diantara bintang-bintang yang berserakan, namun tidak pernah ditemukan. Bahkan senyumnyapun tidak.


Siang itu langit biru bersih tanpa awan. Sang surya bersinar dengan sempurna. Namun walaupun begitu panasnya tidak mampu menembus lebatnya pepohonan di hutan kecil yang berada di sekitar Padepokan Sokalima. Di ujung jalan setapak yang diapit oleh rimbunnya semak belukar, ada serombongan bangsawan sedang berburu binatang hutan. Salah satu di antaranya adalah Harjuna dengan membawa anjing pelacak. Tanpa seorang pun mengetahui apa yang terjadi, tiba-tiba si anjing menyalak dengan keras dan berlari menuju arah tertentu. Tanpa diberi aba-aba Harjuna dan saudara-saudaranya mengikuti anjing pelacak tersebut.
Cep! Langkah mereka terhenti, demikian juga nyalak anjing pelacak diam seketika. Perlahan-lahan Harjuna mendekati anjing kesayangannya yang sudah tidak bergerak. Hatinya berdesir, keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Kesatria luar biasa, murid andalan Sokalima tersebut tak kuasa menahan gejolak hatinya. Kemarahan besar meledak-ledak di dadanya. Selama hidupnya belum pernah ia mendapat malu seperti saat ini. Sebagai satu-satunya murid Sokalima yang ahli berolah senjata panah telah dihadapkan kenyataan bahwa tingkat kemampuan menggunakan senjata panah yang dikuasai Harjuna masih berada di bawah seorang yang melepaskan anak panahnya ke kepala anjing pelacak tersebut. Dengan seksama Harjuna dan saudara-saudaranya meneliti panah yang tepat menancap di antara kedua mata anjingnya dengan sempurna. Ada tujuh anak panah yang menancap hampir bersamaan pada satu titik yang sama. Sehingga cukup menyisakan satu anak panah rangkap tujuh. Sangat luar biasa.
“Kurang ajar, siapa orang yang telah memanah anjing kesayanganku!?”
Bima, Puntadewa, Sadewa dan Nakula, lebih heran lagi dibandingkan dengan Harjuna. Mata mereka tidak melihat ketika ada tujuh panah yang hampir bersamaan menghujam otak si anjing pelacak yang hanya berjarak beberapa jengkal di depannya.
Harjuna adalah seorang ksatria yang gemar ‘tapa ngrame’, selalu siap sedia menolong sesamanya yang membutuhkan, melindungi yang lemah, membela yang teraniaya. Ia senantiasa memperjuangkan kebenaran dan menentang yang durhaka. Maka tidak mengherankan, jika pada saat Sang Harjuna menyusuri jalan-jalan pedesaan, mereka berebut untuk menawarkan agar Harjuna berkenan singgah di rumahnya, untuk memberikan cunduk bunga melati, lambang dari cinta dan kasih sayang. Oleh karenanya bagi keluarga yang dikunjungi Harjuna menjadi berkah akan berkelimpahan.
“Hore! Hore! Hore! Sang Pekik datang, kita sambut dia, kita taburkan bunga mawar warna-warni. Ayo jongkok, ayo jongkok, jongkok. Beri sembah hormat kepadanya. Sang Pekik mampirlah di gubuk kami, mangga pinarak Raden, Raden Harjuna. Horeee!”
Cep klakep! Suara suka-cita para kawula pedesaan yang terngiang di telinga berhenti seketika. Demikian pula suasana penuh kasih yang pernah singgah di sanubari lenyap tak berbekas. Ketika sang Harjuna melihat anjing kesayangannya tergeletak mati ditembus tujuh anak panah sekaligus. Yang ditinggal adalah sebuah kemarahan, yang semakin menjadi besar.
“Kurang ajar! Siapa yang berani menghina Harjuna, ayo keluarlah! Perang tanding melawan panengah Pandawa.”
Suasana hening sepi, tidak ada suara yang menanggapi tantangan Harjuna. Puntadewa cemas akan keadaan adiknya.
“Dinda Harjuna, mengapa jiwamu menjadi ringkih, engkau tidak dapat mengendalikan amarahmu ketika melihat panah luar biasa.”
“Karena anjing kesayanganku dibunuh.”
“Bukan Dinda Harjuna, bukan karena anjing kesayanganmu yang telah mati, tetapi karena pembunuhnya adalah orang yang sangat luar biasa dalam menggunakan senjata panah, melebihi kemampuanmu. Bukankah begitu Harjuna. Seharusnya engkau menjadari, bahwa di atas langit masih ada langit.”
“Kakanda Punta, bukankah langit di atasku adalah Bapa Guru Durna? Mungkinkah yang melakukan ini adalah Bapa Guru Durna? Karena hanya Bapa Guru yang mempunyai ilmu panah Sapta Tunggal yaitu melepaskan tujuh anak panah pada satu titik sasaran. Namun selama aku menjadi muridnya, Bapa Guru Durna belum pernah memberi contoh ilmu panah Sapta Tunggal sesempurna kali ini. Bapa Durna! Aku datang menghadap.”
Kedatangan Harjuna dan saudara-saudaranya disambut Pandita Durna dengan wajah berseri-seri. Maklumlah, Harjuna dan Bimasena adalah murid-murid kesayangan yang menjadi andalan Sokalima. Namun rupanya keceriaan wajah sang guru terhenti. Dahinya yang memang sudah keriput semakin keriput ketika ditatapnya Harjuna membawa anjing yang mati tertancap panah di dahinya dengan ilmu Sapta Tunggal.
Hatinya berdesir. Ia tahu siapa yang melakukannya, siapa lagi kalau bukan Ekalaya. Tetapi bagaimana jika Harjuna tahu tentang Ekalaya?
“Apakah Bapa Guru yang telah melakukan ini?”
Durna menggelengkan kepalanya
“Lalu siapa yang telah menguasai ilmu Sapta Tunggal, salah satu ilmu panah andalan Sokalima dengan sempurna?”
Durna berusaha untuk menyembunyikan nama Ekalaya terutama di hadapan Harjuna. Karena ia tahu jika Harjuna mengetahui bahwa ada murid Sokalima yang lebih pandai dibandingkan dirinya, akan fatal jadinya.
“Harjuna, akhir-akhir ini hutan di sekitar Sokalima sering didatangi pemburu asing, mungkin salah satu di antaranya yang telah melepaskan panah itu.”
“Ampun Bapa Guru, apakah ilmu Sapta Tunggal juga diajarkan di luar Sokalima?”
“Tidak Harjuna, tetapi ada ribuan ilmu memanah yang diajarkan di luar Sokalima. Dan bisa saja beberapa di antaranya mirip dengan ilmu Sapta Tunggal.
Lolongan anjing yang terus-menerus dirasa dapat mengganggu semedinya, maka Ekalaya melepaskan anak panah dari jarak jauh dan diarahkan ke suara anjing. Namun ternyata tindakan yang dilakukan Ekalaya tersebut berbuntut panjang. Pasalnya anjing yang terkena panah bukan anjing hutan, dan bukan pula anjing milik penduduk sekitar, seperti yang diduga oleh Ekalaya. Namun anjing tersebut ternyata anjing pelacak milik Harjuna.
Ketika Harjuna membawa bangkai anjingnya kepada Pandita Durna, dan menanyakan perihal panah yang menancap, Harjuna belum sepenuhnya lega atas keterangan Sang Guru Durna. Ia akan mencari sampai ketemu, siapa sesungguhnya orang berilmu tinggi yang telah membunuh anjingnya. Maka Harjuna segera mohon pamit untuk kembali ke hutan kecil di pinggiran Sokalima.



Melihat kegelisahan Harjuna, Aswatama yang sejak awal mengamati dari kejauhan, diam-diam mendahului Harjuna masuk ke tengah hutan untuk mengabarkan kepada Ekalaya dan Anggraeni. Demi keselamatan dua sahabatnya Aswatama menyarankan agar keduanya pergi ke tempat yang aman untuk sementara.
Sejatinya Ekalaya tidak gentar sedikit pun berhadapan dengan Harjuna, namun jika ia dan Anggraeni mau menyingkir ke tempat yang aman, tindakan itu merupakan penghargaannya kepda Aswatama sahabatnya. Tidak beberapa lama sejak kepergian Ekalaya dan Anggraeni, Harjuna sampai di sanggar Ekalaya.
Mata Harjuna teperanjat melihat ada patung Pandita Durna di tengah. Siapa yang membuat patung ini? Patung yang diletakkan sedemikian rupa itu sangat hidup. Mata dan senyum bibirnya akan membuat getar siapa pun yang memandangnya. Pandangan Harjuna ditebarkan mengamati tempat di sekitarnya. Dilihat dari kebersihan dan perlengkapan yang ada, tempat ini masih aktif digunakan untuk latihan memanah. Lalu siapa orangnya? Apakah ia yang memanah anjingku? Sembunyi di mana ia?
Harjuna, satria berbudi halus dan suka menolong tersebut, perlahan-lahan dirambati perasaan marah. Darahnya menghangat dan mulai mendidih.
“Kurang ajar! Jika engkau satria keluarlah! Hadapi aku......”
Harjuna adalah murid Pandhita Durna yang masuk kategori lantip, cerdas dan cepat tanggap akan sasmita perlambang yang diberikan gurunya. Oleh karenanya sebelum sang Guru Durna menyelesaikan ceritanya, Harjuna sudah mampu menangkap bahwa Gurunya secara tidak langsung telah mengangkat raja muda Paranggelung sebagai muridnya.
“Bapa Guru yang aku hormati, jika berkenan sebaiknya cerita mengenai raja muda yang rupawan, sakti dan rendah hati dicukupkan. Kami sesungguhnya tidak mempunyai hak untuk melarang sang Guru mengangkat murid baru. Demikian pula kiranya seorang Guru tidak berhak melarang muridnya berguru kepada guru yang lain. Tetapi bukankah selama ini pengangkatan murid-murid Sokalima selalu melibatkan saudara tua perguruan? Adakah kekhususan untuk murid yang satu ini? Adakah rahasia yang tidak boleh diketahui oleh murid-murid yang lain?”
“Harjuna jangan terlalu jauh berprasangka. Jika engkau mau dengan sabar mendengarkan ceritaku sampai selesai, tentunya akan menjadi jelas bahwa prasangkamu mengenai diriku keliru. Berhubung engkau telah memotong ceritaku, maka aku tegaskan bahwa Raja muda itu telah tiba di Sokalima dan belajar ilmu-ilmu Sokalima, tetapi aku tidak mengangkatnya sebagai murid.”
“Ampun Bapa Guru, maafkan saya yang khilaf ini.”
Harjuna menyesal. Karena merasa dirinya diremehkan oleh orang lain, hatinya panas terbakar, sehingga tanpa sadar ia telah berani memotong cerita Sang Guru. Nampaknya Durna kecewa atas tindakan murid yang dikasihi tersebut. Ia tidak ingin memperpanjang suasana yang tidak mengenakkan ini. Maka segeralah ia masuk ke ruang dalam, meninggalkan Harjuna dan empat saudaranya.
Karena kedudukannya sebagai murid papan atas di Sokalima telah tergeser oleh murid lain, padahal keberadan murid tersebut tidak diketahui sebelumnya, dan tiba-tiba menjadi orang istimewa di Sokalima, Harjuna merasa kesulitan untuk mengendalikan emosinya, menjernihkan pikirannya dan mendinginkan hatinya. Oleh karenanya ia ingin segera bertemu dengan raja muda Paranggelung untuk membuktikan sejauh mana ketampanannya dan menakar seberapa tinggi ilmunya.
Jika pada awalnya Ekalaya atau juga sering disebut Palgunadi ingin menghindari Harjuna atas saran Aswatama, namun setelah mendengarkan cerita dari para cantrik ia tidak sampai hati membiarkan Sang Guru Durna dipojokkan oleh desakan Harjuna. Maka atas pertimbangan dan kesepakatan Ekalaya, Aswatama dan Anggraeni, mereka berniat menemui Pandita Durna untuk memohon agar sang Guru memperkenankan Palgunadi meladeni tantangan Harjuna.
Pada teriknya siang, mereka bertiga tiba di halaman padepokan Sokalima. Sebelum kaki-kaki mereka menapaki lantai pendapa induk untuk menemui Guru Durna, ada lima orang datang menghampiri. Sebelum mereka saling menyapa, Aswatama memperkenalkan Ekalaya dan Anggraeni kepada Harjuna, Puntadewa, Bimasena, Nakula dan Sadewa. Pada kesempatan tersebut, Ekalaya memohon maaf terutama kepada Harjuna, karena khilaf ia telah membunuh anjing pelacak milik Harjuna. Namun permintaan maaf yang tulus tersebut tidak menyelesaikan masalah. Karena sesungguhnya bukan itu permasalahannya. Nampaknya Harjuna gagal dalam mencoba mengendalikan gejolak hatinya yang sangat luar biasa.
Sulit rasanya menerima kenyataan bahwa Ekalaya secara penampilan mampu mengimbangi dirinya yang selama ini mendapat julukan lelananing jagad dan lancuring bawana yang berarti laki-laki tampan yang mampu memberi warna keindahan bagi dunia. Apalagi ketika dilihatnya Anggreni, wanita yang mendampingi Ekalaya, darah Harjuna mengalir lebih cepat. Kecantikan dan kemolekan Anggraeni tidak kalah dibandingkan dengan isteri-isteri Harjuna. Bahkan pendamping Ekalaya ini mempunyai daya tarik sangat luar biasa yang tidak dimiliki oleh wanita-wanita lain, termasuk isteri-isteri Harjuna. Keempat saudara Harjuna pun merasakan bahwa pasangan Ekalaya dan Anggraeni merupakan pasangan ideal yang mempunyai daya magnet kuat. Siapa saja akan merasa bangga mengenal dan mendapat kesempatan berbincang-bincang dengan pasangan raja dan ratu dari Negara Paranggelung tersebut.
Tentunya dapat dimaklumi jika Harjuna tak kuasa menyiram bara api cemburu yang menyala di hatinya. Bahkan kesempurnaan Anggraeni sebagai isteri setia Ekalaya bak minyak yang memercik, maka sekejap kemudian bara api di hati Harjuna mulai menyala tak terkendali.
“Bocah Bagus aku ingin mengajakmu bertanding, seperti kebiasaan di Padepokan Sokalima yang belum pernah engkau jalani.”
“Maaf Kisanak, aku perlu mendapat ijin dari Bapa Guru Durna.”
“Jangan mengaku guru kepada seseorang yang tidak pernah mengangkatmu sebagai murid.”
“Aku tidak peduli! Siapa pun yang telah membantuku menuju kesempurnaan hidup, beliau adalah guruku. Demikian juga jika engkau dapat membantuku menerapkan ilmu-ilmu Sokalima dalam arena pertandingan, engkau pun menjadi guruku.”
“Baiklah, aku ajari engkau cara menarik panah dengan baik!”
Reeeet!! Dengan gerakan halus namun mengandung daya luar biasa Harjuna menarik busurnya dan diarahkan ke dada Palgunadi. Semua orang tegang melihatnya. Mereka dapat merasakan ada kemarahan besar di balik gemeretnya suara busur Harjuna. “Jangan Adinda, jangan lakukan itu.” Pinta Puntadewa, saudara sulung Harjuna.
“Maaf Kakanda Punta, bukankah Kakanda juga pernah mengalami jiwa Ksatria yang terkoyak?”
Kata-kata Harjuna mengingatkan ketika Puntadewa menjelma menjadi raksasa putih sebesar gunung karena tak kuasa menahan amarahnya. Maka dibiarkannya adiknya memilih cara untuk mengatasi kemarahannya yang tidak mudah dikendalikan.
Busur Harjuna semakin melengkung tajam. Anak panahnya siap menembus dada Ekalaya yang dibiarkannya terbuka wajar. Tidak lebih dari lima hitungan maka panah Harjuna akan meninggalkan busurnya menembus dada Ekalaya tanpa perlawanan. Anggraeni memejamkam matanya dan menggigit bibirnya, tidak tega melihat suaminya ditembus anak panah Harjuna. Namun ia tidak berbuat apa pun, karena percaya bahwa suaminya akan mampu menyelamatkan diri.
Wuuuss, tiba-tiba Sang Guru Durna berdiri di antara Ekalaya dan Harjuna.
Kedatangan Durna di tengah-tengah mereka memaksa pertikaian antara Harjuna dan Ekalaya berhenti sementara. 
“Aku dapat merasakan apa yang kalian rasakan. Sebagai seorang ksatria, perang tanding merupakan cara penyelesaian pamungkas yang terbaik. Kecuali jika salah satu di antara kalian mau mengalah atau mengaku kalah sebelum bertanding. Itu pun tidak mungkin kalian lakukan. Pasti! Karena aku tahu watak keduanya. Maka jangan salah sangka jika aku melarang kalian ber perang tanding. Silakan berperang tanding, asalkan jelas alasannya.”
“Ampun Bapa Guru, orang ini telah membunuh anjing pelacakku.”
“Ampun Sang Maha Resi, aku telah meminta maaf.”
“Bagus! Sisi lain dari seorang ksatria adalah mau mengakui kesalahannya.”
“Bagaimana dengan pihak yang tidak melakukan kesalahan, tetapi pihak yang dirugikan?”
“Itu tergantung orangnya. Jika yang dirugikan seorang Brahmana tentunya ia akan memaafkan, karena yang bersangkutan telah mengakui kesalahannya. Jika yang dirugikan seorang raja, ia akan memberi ampun tetapi bersyarat. Syaratnya bisa hukuman, denda atau yang lain. Jika yang dirugikan adalah seorang Ksatria, ia dapat memilih di antara keduanya, seperti raja atau seperti brahmana.”
“Ampun Bapa Guru, bolehkah saya tidak memilih di antara keduanya?”
“Boleh! Boleh! Apa yang kau pilih Harjuna?”
“Cara Ksatria sejati. Perang tanding!”
“Bagaimana Ekalaya?”
”Perang tanding untuk apa? Jika untuk anjing yang mati aku tidak mau. Lebih baik aku mengaku kalah dan minta maaf.”
Harjuna terdiam. Ia kebingungan. Sesungguhnya untuk apa perang tanding? Yang pasti tidak untuk seekor anjing, melainkan untuk sebuah martabat dan harga diri.
“Bagaimana jawabmu Harjuna?”
Durna melemparkan pertanyaan Ekalaya.
“Sebagai saudara tua seperguruan aku ingin menjajal ilmu Ekalaya.”
“Bagus Harjuna! Sesungguhnya aku pun ingin menjajal seberapa tinggi tingkat ilmu seorang lelananging jagad.”
Darah muda Ekalaya mulai panas. Ia mulai tidak senang, bahkan cenderung muak melihat sikap ksatria besar seperti Harjuna bersifat arogan, meremehkan sesamanya. Maka ia sengaja membakar hati Harjuna yang sudah membara. Seperti dikomando, keduanya melakukan sembah kepada Sang Guru Durna dan memberi hormat kepada Aswatama, Anggraeni, Puntadewa, Bimasena, Nakula, Sadewa dan para cantrik-mentrik.
Maka mulailah mereka bertempur. Keduanya sama-sama sakti dan mempunyai bekal ilmu yang cukup. Jurus demi jurus mereka keluarkan. Ilmu demi ilmu mereka benturkan, namun keadaan masih berimbang. Mereka yang menyaksikan tegang berdebar menyaksikan kedua orang sakti beradu ilmu. Beberapa di antaranya menjadi pusing menyaksikan gerakan-gerakan Harjuna dan Ekalaya. Maka mereka lebih memilih menjauhi arena pertempuran dan duduk di bibir pendapa.
Hari menjelang sore, pertempuran belum berakhir. Keduanya sama-sama muda, sama-sama sakti, sama-sama tampan-rupawan, dan sama-sama menggunakan ilmu-ilmu Sokalima.
“Luar biasa, ternyata ilmu-ilmu Sokalima sangat dahsyat. Tetapi mengapa aku yang sudah belasan tahun menjadi cantriknya tidak dapat seperti mereka ya?” Celetuk seorang cantrik.
“Lha iya jelas, wong kamu kalau diajari malah tidur,” timpal cantrik yang lain.
Karena hari mulai gelap dan keduanya sudah kehabisan tenaga maka Durna menghentikan pertempuran. Dengan wajah cemas Anggraeni memapah suaminya, diajak masuk ke bilik untuk kemudian dirawat dengan penuh kasih dan kesetiaan. Sedangkan di pihak Harjuna, Nakula dan Sadewa yang cemas sejak awal pertempuran berlari mendapati Harjuna untuk diajak berjalan memasuki salah satu bilik yang biasa ditempati Harjuna. Sementara Aswatama dan para cantrik-mentrik meninggalkan arena pertempuran untuk menceritakan kepada sanak saudara tentang pengalaman luar biasa yang baru sekali disaksikan sepanjang hidup mereka.
Suasana memang menjadi sangat sepi. Durna masih duduk sendirian, tidak ada satu cantrik pun yang berani mendekat. Tampaklah garis-garis wajahnya semakin dalam, sedalam kesenduan hatinya, menyaksikan kedua murid pilihan bertaruh antara hidup dan mati. Jika saat ini keduanya masih hidup, tentunya pada saatnya nanti hanya ada satu yang hidup. Ekalaya atau Harjuna.
Sejatinya yang menjadi harapan Durna, pertikaian antara Ekalaya dan Harjuna tidak usah dilanjutkan. Keduanya sama-sama sakti, ibarat dua sayap Sokalima yang perkasa. Mereka dapat membawa terbang nama Sokalima tinggi-tinggi, ke segala penjuru dunia. Sangat disayangkan jika satu di antaranya gugur pada medan harga diri. Namun itu tidaklah mungkin, karena di antara keduanya masih menyisakan bara api didadanya. Dinginnya malam di Sokalima tak kuasa mendinginkan hati mereka yang bertikai.
Dari masing-masing bilik yang ditempati Harjuna dan Ekalaya memancar energi yang saling bertemu sehingga bagi para cantrik yang kebetulan lewat di antara kedua bilik tersebut, pasti akan terkejut, dikarenakan ada sengatan hawa panas yang tidak mengenakkan.
Walau di dalam komplek padepokan Sokalima ada perbawa hawa panas, di depan pintu gerbang padepokan menebar energi lembut penuh kedamaian lewat kidungan cantrik jaga yang terbawa angin. Jika yang sedang bertikai mau membuka jendela hati dan membiarkan kidungan malam itu menyusup ke relung-relungnya, niscaya tidak mustahil pertempuran lanjutan yang tentunya lebih dahsyat tidak akan pernah terjadi.
Tidak peduli didengar atau pun tidak didengar, dirasakan maupun diabaikan, kidung malam tetap mengalun dari bibir cantrik tua yang berkulit kehitam-hitaman.
Tidak beberapa lama kemudian, cantrik tua yang menjadi sumber suara kidungan tak kuasa menahan kantuknya, ia berbaring di gardu jaga. Akhirnya kidung malam yang mengingatkankan bahwa manusia ini lemah tak berdaya tetapi congkak dan tinggi hati, tak mau mengakui kelemahannya, hilang tak berbekas, tertutup suara burung hantu kutu-kutu walang ataga atau serangga-serangga malam yang saling bersahutan. Dengan demikian daya kidungan tersebut tak pernah menembus bilik mereka yang bertikai. Bilik hati Harjuna dan Ekalaya
Malam kian larut, tidak ada lagi senda gurau di antara para cantrik yang jaga, tidak terdengar lagi kidung malam. Hari menjelang dini hari, tidak seperti biasanya Guru Durna duduk sendirian di ruang tengah. Disorot lampu temaram, tampaklah bahwa ia sedang berduka, duka yang sangat dalam. Baru kali ini sebagai guru besar ia tak kuasa menghentikan pertikaian kedua muridnya. Yah walaupun secara resmi Ekalaya tidak diangkat menjadi muridnya, tetapi jujur saja secara batin Durna telah mengangkat Ekalaya sebagai muridnya. Apalagi diperkuat dengan adanya patung Durna di Sanggar Ekalaya yang dijadikan pusat konsentrasi dalam mempelajari ilmu-ilmu Sokalima.
Selagi masih ada kesempatan, Durna berusaha mencegah kemungkinan yang paling buruk yaitu kematian salah satu di antara keduanya. Namun usaha Durna hanya mampu menunda saatnya. Karena permasalahannya sudah merambah pada harga diri, hal yang paling berharga bagi seorang kesatria. Dan penyelesaiannya hanya satu yaitu perang tanding. Dua hari lagi di saat bulan purnama mereka akan berperang tanding antara hidup dan mati.
Kabar tentang perang tanding antara Harjuna dan Ekalaya telah tersebar tidak hanya di wilayah padepokan Sokalima, tetapi jauh di luar Sokalima. Di tanah lapang yang biasanya menjadi tempat pendadaran murid-murid Sokalima, malam itu menjadi istimewa. Sejak sore hari ribuan orang mulai berdatangan. Mereka ingin meyaksikan lanjutan pertandingan maha dahsyat di abad ini.
Di tengah kerumunan orang yang jumlahnya mencapai ribuan, Durna berdiri tegar di antara keduanya, Harjuna dan Ekalaya. Detik-detik purnama telah muncul di ufuk timur. Harjuna dan Ekalaya telah mempersiapkan diri. Demi sebuah harga diri, mereka telah siap menghadapi kemungkinan yang paling buruk, yaitu kematian.
Sebentar kemudian perang tanding dimulai. Bayangan keduanya tidak dikenali lagi yang mana Ekalaya dan yang mana Harjuna. Seperti pertandingan pertamanya, sebagian besar dari mereka pandangannya kabur dan kepalanya menjadi pusing.
Sebelum menyadari apa yang terjadi tiba-tiba Harjuna terlempar ke luar arena. Sorak membahana dari penonton menambah bara api di dada Harjuna menjadi semakin menyala. Ia mulai tak sabar, tangannya manyambar busur yang telah disiapkan di pinggir arena. Bruull! Ribuan anak panah keluar dari busurnya. Dengan tenang Ekalaya menyambut hujan panah yang diluncurkan Harjuna. Hanya hitungan detik patahan anak panah jatuh berserakan di antara Harjuna dan Ekalaya.
Perang adu kesaktian ilmu memanah berlangsung lama. Pada akhirnya Harjuna mengeluarkan pusaka andalan Sokalima yang diwariskan Guru Durna kepadanya yaitu pusaka Gandewa. Pusaka tersebut memancarkan cahaya berkilau yang menyilaukan mata.
Reketek!! Pusaka gandewa ditarik oleh Harjuna. Durna sangat terkejut, ia ingin mencegahnya namun terlambat. Dari pusaka gandewa telah meluncur ribuan anak panah yang tak habis-habisnya, mengarah pada Ekalaya. Semua penonton tercengang memandangnya. Sungguh luar biasa.
Aswatama yang pernah kecewa karena Rama Durna telah mewariskan pusaka dahsyat kyai Gandewa kepada Harjuna, mencemaskan keselamatan Ekalaya sahabatnya yang dihujani ribuan anak panah yang muntah dari busur Gandewa. Wah gawat!! Namun setelah menyaksikan bagaimana Ekalaya menyambut hujan panah yang dilontarkan Harjuna, dengan busur pusaka yang tak kalah dahsyatnya dengan pusaka Gandewa, kecemasan Aswatama berkurang. Namun ketegangan justru semakin bertambah. Tidak saja bagi Aswatama, tetapi juga dirasakan oleh mereka yang menyaksikan ribuan anak panah saling beradu dan meledak-ledak di angkasa Sokalima.
Malam bulan purnama semakin bercahaya karena dihiasai oleh percikan-percikan api warna-warni akibat beradunya ribuan anak panah yang dilontarkan Harjuna dan Ekalaya. Kejadian yang luar biasa tersebut membuat Kahyangan Jonggring Saloka gonjang-ganjing. Ada hawa panas menebar di seluruh wilayah para dewa tersebut, di tempat Batara Guru bertahta. Karena terusik kenyamanannya diutuslah Patih Narada untuk melerai pertikaian antara Harjuna dan Ekalaya. Dalam perjalanan menuju ke Marcapada, Hyang Narada tertegun melihat pemandangan di depannya, tepat di atas langit Soka Lima. Ada percikan cahaya api warna-warni silih berganti. Sampai sehebat inikah kesaktian keduanya? Layak jika pengaruhnya sampai ke Kahyangan Jonggring Saloka. Maka tanpa membuang waktu, Dewa nomor dua di Kahyangan Jonggring Saloka tersebut segera turun ke arah yang sedang bertikai. Namun niat Patih Narada terhalangi oleh asap hitam pekat yang muncul tiba-tiba menyusul suara ledakan menggelegar. Awan hitam tersebut semakin tebal bergulung-gulung menyelimuti langit Soka Lima. Bersamaan dengan suara ledakan dahsyat, Batara Guru diiringi para Dewa dan Dewi turun dari Kahyangan ingin menyaksikan apa yang terjadi di Marcapada.
Suasana menjadi sangat mencekam. Malam bulan purnama yang sebelumnya semakin mempesona dengan adanya percikan-percikan api warna-warni kini menjadi gelap gulita dan sepi mencekam. Tidak ada lagi sorak sorai dan tepuk tangan dari para penonton yang menyaksikan perang-tanding antara Ekalaya dan Harjuna. Melihat keadaan yang semakin tidak nyaman, Batara Guru memerintahkan agar para Dewa-Dewi menaburkan bunga-bunga dengan aroma nan wangi untuk menyingkirkan asap hitam yang menyelimuti Soka Lima. Sekejap kemudian hujan bunga telah mengguyur Soka Lima. Daya dan aromanya mampu menyibak asap hitam yang menutupi kejadian besar yang ada di Soka Lima. Pelan tapi pasti, asap hitam pekat yang menutupi padepokan Soka Lima berangsur-angsur menghilang. Malam bulan purnama menjadi sempurna kembali. Malam menjadi mempesona. Ribuan penonton perang tanding yang sejak sore berdatangan di Soka Lima belum beranjak dari tempatnya. Mereka yang telah menumpahkan perhatiannya dengan segenap rasa-perasaan dan emosinya di dalam perang tanding tersebut semakin dibuat terheran-heran dengan kejadian berikutnya.
Tanah lapang di Soka Lima, tempat Harjuna dan Ekalaya bertanding, kini penuh bertaburan bunga warna-warni dengan aroma keharumannya masing-masing. Asap tebal yang muncul akibat ledakan yang ditimbulkan karena beradunya kedua busur pusaka milik Harjuna dan Ekalaya kini telah berganti dengan para Dewa-Dewi yang mengiringi Batara Guru yang menyusul Batara Narada untuk menghentikan yang sedang bertikai.
“Kang! Bermimpikah aku?”
“Coba aku cubit lenganmu”
“Aduh! Sakit kang.”
“Itu namanya kamu tidak sedang bermimpi. Kau dan aku berada di dalam alam sadar.”
“Tetapi lihatlah itu kang, langit di sekeliling kita penuh dengan gambar para dewa yang sangat mempesona dan para dewi yang amat jelita.”
“Ssst! Jangan keras-keras dan gumunan isteriku, itu adalah para Dewa dan para Dewi yang mengiringi Batara Guru dan Batara Narada, ingin melerai perang tanding antara Harjuna dan Ekalaya.”
Sepasang suami isteri tersebut tidak memperpanjang pembicaraannya. Mereka bersama-sama ribuan penonton yang lain lebih memilih memusatkan perhatiannya dengan apa yang akan dilakukan Batara Guru dan Batara Narada terhadap Harjuna dan Ekalaya yang tergeletak tak berdaya. Dikarenakan mereka berdua telah menguras tenaga dan ilmunya untuk memuntahkan puluhan ribu anak panah melalui busur pusakanya masing masing. Pada puncaknya Busur Gandewa milik Harjuna dan busur pusaka milik Ekalaya saling menyedot dan beradu. Maka terjadilah ledakan amat dahsyat disertai asap hitam pekat yang bergulung-gulung, menggulung kedua busur pusaka hingga hilang tak berbekas.
Durna tergopoh-gopoh menyembah rajanya dewa serta pengiring yang menginjakkan kakinya di Soka Lima. Setelah menanggapi sembah Durna dan juga sembah dari ribuan orang yang hadir, Batara Guru didampingi Batara Narada mendekati Ekalaya dan Harjuna untuk kemudian memercikkan air kehidupan kepada mereka. Setelah itu didekatinya orang nomor satu di Soka Lima sembari bersabda:
“Durna selesaikan pertikaian di antara muridmu dengan adil.”
Sekejap kemudian Batara Guru dan seluruh pengiringnya meninggalkan Soka Lima. Malam pun pulih seperti malam purnama sebelumnya, sebelum ada pertikaian yang menimbulkan hawa panas ke seluruh alam semesta dan mengusik kenyamanan alamnya para Dewa-Dewi. Soka Lima berangsur-angsur pulih seperti hari-hari biasa yang tenang dan damai jauh dari mereka yang bertikai.
Orang-orang mulai melangkah pulang dengan perasaan yang sulit digambarkan dan terlalu banyak untuk diceritakan. Namun di masing-masing hati masih tersisa pertanyaan bagaimanakah akhir dari pertikaian antara hidup dan mati. Dan kalau boleh mereka berharap bahwa pertikaian akan berubah menjadi perdamaian dan persahabatan.
Memang benar, di sisa malam itu Soka Lima boleh menikmati ketenangan dan ketentraman, dikarenakan yang bertikai terbaring tak berdaya. Bahkan mungkin jika Sang Hyang Guru tidak memercikkan air kehidupannya di raga mereka yang lemah, tidak ada kehidupan lagi. Dengan demikian tentunya akan tamatlah pertikaian mereka bersama kerapuhan raganya. Ketika pertarungan tersebut Arjuna melihat ada ilmu yang berbeda yang dimiliki oleh Ekalaya. 



Saat pagi yang cerah tiba, udara yang semilir menyentuh kulit hingga terasa dingin. Tidak jauh dari kediaman Kerajaan Paranggelung, Sang Prabu Palgunadi sedang mengadakan pisowan Agung. Ia mengadakan sayembara menamah dalam istana untuk mengadakan pesta karena telah kembali dari perburuan, saat memanah Prabu Palgunadi begitu hebat menggunakan panah melebihi Arjuna. Melihat sang Prabu Palgunadi yang begitu hebat menggunakan ilmu sapta tunggal Arjuna merasa cemburu oleh Begawan Drona ia meminta untuk ditambah ilmu keskatian saat memanah.” Guru, kenapa Palgunadi lebih hebat dari saya padahal ilmu yang digunakan sama...?”, keluh Arjuna.
Saat pisowan itu Arjuna yang memakai tutup muka memanah dengan memberi bunga pada sang dewi, Prabu Plagunadi terkejut dan terheran. Walaupun ia jago mengolah gandewa tapi tidak dapat melakukan apa yang dilakukan Arjuna.
Drona saat sepi segera mendatangi Ekalaya. Saat akan mulai pertandingan yang ketiga, Prabu Ekalaya, harus mengalah. Prabu Ekalaya tak sanggup untuk mengalah, Maafkan aku Bapa Resi, hal itu tidak mungkin dapat aku lakukan. Aku tidak dapat berpura-pura untuk kalah. Karena ketika tangganku telah menarik busur dan memegang anak panah, ada daya luar biasa yang terhimpun dengan sendirinya di seluruh budi, pikiran dan sekujur tubuhku serta otot bebayuku, guna menghadang serangan musuh.”
“Oo lole, lole blegudhug monyor-monyor prit gantil buntute bedhug. Lalu ilmu apa yang engkau gunakan?“
“Maafkan aku Bapa Resi Durna, pada tataran luar aku menggunakan ilmu Sapta Tunggal, ilmu andalan Soka Lima, tetapi tenaga dalamnya berasal dari pusaka Mustika Ampal.”
“Mustika Ampal?”
”Bapa Resi, Mustika Ampal adalah pusaka pemberian Sang Hyang Wenang, wujudnya adalah cincin. Menurut Ramanda Prabu Hiranyandanu, cincin Mustika Ampal dianugerahkan ketika Ramanda sedang melakukan tapa guna memohon agar anak yang ada dalam kandungan sang prameswari kelak dapat memimpin Negara Nisada dengan adil dan bijaksana. Ramanda juga mengisahkan bahwa cincin Mustika Ampal mempunyai daya sangat luar biasa dan ketepatan yang akurat pada saat digunakan untuk menarik busur dan melepaskan anak panah. Sehingga sudah menjadi kehendaknyalah Mustika Ampal dianugerahkan kepada calon raja di Negara Nisada, di mana seluruh rakyatnya terampil menggunakan panah.
Bapa Resi, dikarenakan Cincin Mustika Ampal dikenakan di ibu jariku sejak bayi, hingga sekarang setelah aku menjadi raja di Negara Nisada atau Paranggelung menggantikan Ramanda Prabu yang telah wafat, cincin tersebut telah berada di bawah kulit dan di luar daging, menyatu dengan ibu jari tanganku. Oleh karena Cincin Mustika Ampal itulah aku tidak mungkin untuk berpura-pura kalah. Kecuali jika serangan musuh lebih dahsyat daripada kekuatan Cincin Mustika Ampal.”
Pantas, pusaka Gandewa dapat dihadang dengan kekuatan Mustika Ampal. Bahkan pusaka pemberian Dewa Indra yang baru saja diwariskan kepada Harjuna tersebut hancur lebur musnah tak berbekas.
Tiba-tiba hati Pandita Durna terusik. Ilmu-ilmu yang digunakan Ekalaya tidak murni ilmu Sokalima, tetapi telah dipadukan dengan sipat kandel pribadi yang didapat sejak masih bayi. Walaupun Harjuna juga menimba ilmu di banyak tempat, ilmu-ilmu yang digunakan dalam perang tanding adalah ilmu-ilmu yang diajarkan di Sokalima.Membandingkan di antara keduanya sang Guru besar tersebut tak kuasa lagi berdiri di tengah secara adil. Ia mulai berpihak kepada Harjuna, murid mula pertama yang patuh berbakti dan telah mengangkat nama Sokalima melambung tinggi berkat ilmu-ilmu yang selalu digunakannya. Tak terkecuali ketika berperang tanding melawan Ekalaya.
“Ekalaya, jika niatmu tidak berubah, mau mengalah dengan cara berpura-pura kalah dalam perang tanding, ada cara yang dapat ditempuh, yaitu jika Cincin Mustika Ampal tersebut dilepas untuk sementara.”
“Ampun Bapa Resi Durna, bagaimana bisa dilepas, Mustika Ampal telah jadi satu dengan ibu jari tangan kananku.”
“Ekalaya, apakah engkau tidak percaya bahwa aku dapat melakukannya?”
“Ampun Bapa Resi, maafkan aku yang bodoh ini, maafkan aku.”
Dengan tergopoh-gopoh Ekalaya menyembah Sang Resi Durna, beringsut mendekat, sembari mengulurkan ibu jari tangan kanannya, tempat Cincin Mustika Ampal berada.
 Sang Guru bertanya kepada muridnya,
“Tidak percayakah engkau padaku Ekalaya?”
“Ampun Bapa Resi, bukan maksudku untuk tidak mempercayai kemampuan Bapa Resi Durna. Aku percaya, Bapa Resi mampu melakukannya. Silakan Bapa Resi, ambilah cincin Mustika Ampal ini dari ibu jari tanganku.”
Pandita Durna ingin menunjukkan bahwa dirinya adalah guru yang mumpuni dan menguasai berbagai ilmu tingkat tinggi. Sehingga tidak akan kesulitan dalam melepas Cincin Mustika Ampal, walaupun sudah manjing menjadi satu dengan ibu jari tangan kanan Ekalaya.
Ekalaya memberikan tangan kanannya kepada seorang yang sangat ia hormati. Tangan itu bergetar tanpa dapat dicegahnya. Dengan amat perlahan Durna mencoba mengeluarkan cincin Mustika Ampal itu.
Satu kali, dua kali usaha Durna belum berhasil. Cincin tersebut masih terpendam rapat di antara kulit dan daging. Walaupun tidak kelihatan mencolok, Durna telah mengerahkan sebagian besar tenaga dalamnya, sehingga keringatnya susul menyusul meninggalkan dahinya yang semakin berkerut. Dikarenakan tangan Ekalaya bergetar, Durna menganggap bahwa Ekalaya telah menghimpun energi untuk menghalangi pengambilan Mustika Ampal
“Ekalaya, jangan berusaha menahan cincin Mustika Ampal.”
“Ampun Bapa Resi, aku tidak menahannya. Tangan ini bergetar dengan sendirinya.”
Durna mencoba lagi. Kali ini ia mengerahkan seluruh kemampuannya. Tangan Ekalaya dan tangan Pandita Durna bergetar semakin cepat dan semakin kuat. Pusaran hawa panas memancar dari kedua tangan tersebut.
Panas, panas dan semakin panas.
“Aduh! “
Tiba-tiba Ekalaya mengeluh pendek. Kemudian terkulai di lantai bilik.
Mendengar bahwa suaminya dalam bahaya, Anggraeni segera masuk ke biliknya,“Kangmaaass!”
Anggraeni menubruk Ekalaya yang tergeletak tidak sadarkan diri. Sungguh amat mengejutkan, ibu jari Ekalaya telah tiada. Dan meninggalkan luka memilukan. Anggraeni tahu bahwa di ibu jari itulah pangkal kesaktian suaminya. Jika sekarang ibu jari tersebut telah tiada, artinya bahwa kesaktiannya telah lenyap.
Namun sekarang Cincin Mustika Ampal yang telah mempecundangi nama besar Sokalima di hadapan orang banyak berada dalam genggamannya. Apa yang dapat kau lakukan, Ekalaya, menghadapi Harjuna tanpa Cincin Mustika Ampal. Tiba-tiba hati Durna telah dibakar oleh sakit hatinya, karena ilmu-ilmu Sokalima yang diperagakan dengan sempurna oleh Harjuna, murid kesayangannya, tak mampu mengalahkan Ekalaya.
Durna menimang-nimang Cincin Mustika Ampal, menuju bilik Harjuna. Namun sebelum tangan Durna mengetuk pintu, Harjuna telah membukakannya.
“Silakan masuk Bapa Guru Durna.”
“Harjuna, aku membawa pusaka dahsyat, namanya Cincin Mustika Ampal. Dengan pusaka ini engkau dapat mengalahkan Ekalaya dengan mudah. Kenakanlah pusaka ini pada ibu jari tangan kananmu, serta tunjukkan kepadanya dan kepada banyak orang bahwa ilmu Sokalima tak terkalahkan.”
Harjuna menyembah, kemudian memberikan tangan kanannya. Pandita Durna segera mengenakan Cincin Mustika Ampal di ibu jari Harjuna sebelah kanan.
Sungguh ajaib!
Dengan masih menyisakan rasa herannya, Durna dan Harjuna mengamati keajaiban itu. Jari tangan Harjuna bertambah satu, sehingga jumlahnya menjadi enam.
“Dimanakah Cincin Mustika Ampal yang disebut-sebut Bapa Guru?”
“Ada di dalam ibu jari yang baru itu Harjuna.”
Harjuna juga ingin membuktikan daya kekuatan dari Cincin Mustika Ampal. Maka segeralah satria Panengah Pandawa tersebut menyahut busur serta anak panahnya, lalu pergi keluar dari biliknya. Di tengah gulita malam, Harjuna melepaskan anak panahnya ke arah pohon beringin yang berdiri angker di sudut halaman komplek bilik-bilik siswa Sokalima. Jari tangan yang berjumlah enam menjadi sangat pas untuk membidikan anak panah. Bagai suara ribuan kumbang, anak panah itu telah melesat meninggalkan busurnya. Sekejap kemudian, luar biasa akibatnya, ribuan sulur pohon beringin putus berserakan menumpuk di tanah. Sehingga pohon yang semula dinamakan beringin wok, pohon beringin yang mempunyai brewok itu, menjadi bersih tanpa brewok lagi.
Harjuna tertegun atas daya luar biasa yang ditimbulkan oleh pusaka Cincin Mustika Ampal pemberian Bapa Guru Durna. Segera setelahnya, Harjuna memberi sembah dan mengucap terimakasih yang tak terhingga atas pusaka dahsyat pemberian sang guru besar Sokalima itu. Kemudian Harjuna berjanji akan mengalahkan Ekalaya pada pertemuan yang ke tiga kalinya nanti, dengan ilmu-ilmu Sokalima yang dilambari Cincin Mustika Ampal.
Hatinya Dewi Angggaini saat Arjuna datang ke kaputren ia sangat sedih, Maka Arjuna menghiburnya. “Cah ayu kamu kenapa?”, tanya Arjuna. “Aku tidak apa – apa kang mas”. Bersama para punkawan Arjuna menyandungkan gending – gending jawa dengan kidung asmara. Merasa terhibur oleh hati sang Dewi. Sang dewi mulai menampakan senyum kembali. Ini membuat hati Arjuna berbunga – bunga ketika melihat senyum bibirnya yang mempesona.
“Kang mas, kenapa kang mas kesini?”, tanya sang dewi. “Aku kesini untuk melihat sang dewi yang mempesona hatiku”. Dengan rayuan manis keluar dari mulut Arjuna. “Ah kang mas bisa saja”. Mereka berdua sedang tetaman asmara yang maha dashyat. Hingga terlupa semua kejadian yang ada. Gelora asmara yang ada pada Arjuna melupakan semua pertandingan yang akan dilaksanakan sang Guru. Sesaat kemudian ia teringat, terperanjatlah Arjuna. “Ada apa kang mas?’, tanya sang dewi. Sebenarnya sang dewi ingin agar Arjuna melupakan pertandingan yang akan dilaksanakan. “Maaf diajeng Angraini, saya ada urusan sebentar”. Arjuna segera meningglkan kaputren. Ekalaya yang melihat istri bersama pria lain mersa cemburu. Saat malam menjelang, sang dewi menemui suaminya Ekalaya. “Bagaimana keadaan kang mas Prabu?”. “Aku tidak apa – apa”. “Diajeng jangan kau tinggalkan aku sendirian”. Mendengar perkataan suaminya dewi Anggarini, tergugah hatinya. Ia tidak akan meningglakan suaminya lagi.
Pagi hari yang cerah, burung merdu berkicauan. Diatas pepohonan yang rindang membuat suasana hati menjadi bahagia. Tetapi tidak bagi sang dewi. Karena ini saat pertandingan antara Prabu Ekalaya dan Arjuna dimulai. Maka membuat  hati sang dewi sangat was – was dan cemas. “Aku tidak ingin kedua terluka”. Maka sang dewi menyusulnya kedalam hutan.
Pertarungan Antara Arjuna dan Ekalaya dimulai disansikan puluhan raja dari berbagai kerajaan.  Pertandinganpun segera dimulai, “hai Palgunadi menyerahlah engkau padaku”, teriak Arjuna. “Jangan suruh aku menyerah wahai Palguna, inilah jiwa satriaku”,jawab Ekalaya. Pukulan pertama dilancar Arjuna.
Ekalaya yang sudah lenyap kesaktiannya tidak bisa bangkit dari pukulan Arjuna. Bertubi – tubi Ekalaya menerima pukulan Arjuna. Drona yang meliaht Ekalaya tergopoh menghadapi Arjuna.” Lanjutkan...terus! Lanjutkan... Terus!” , teriak sang resi.  Arjuna mau menghentikan pertandingan tidak jadi, karean ia mendenagr perinath gurunya.Tiba – tiba sang Dewi datang memeluk suaminya ini membuat ia membenci Arjuna.
Walaupun perasaan asmara yang kian mempesona dalam pandangan , tapi berubah ketika melihat suaminya terbaring jatuh dan ditertawakan oleh raja – raja yang hadir menyaksikan.  “Mana perasanmu Droan sebagai seorang resi” terdiam Drona tanpa ada kata – kata dari mulut. “Dan kalian para raja mana jiwa satria kalian”. Tetegun seketika tawa para raja. “Dan kamu Arjuna tegakah kamu menyayat hatiku ini”, terdiam sang Arjuna. “Dewi....., Dewi Anggraini.... Bukan begitu maksud saya”.
Dewi Anggaini segera membawa suami meninggalkan pertandingan, dengan tatapan tajam ia terus memandang Arjuna. Dewi Anggraini segera naik kuda bersama Palgunadi. Dibawalah Prabu Palgunadi ke istana, suara prak.... Prak...! Tinggal kedengaran jauh kuda tersebut meningglakan pertandinagan.
Dewi Anggraini tiba di Paranggelung, sang suami segera dibaringkan ditempat tidur. “Bertahanlah kang mas”. “Diajeng jangan tinggalkan aku”. Dengan suara terpatah –patah suara yang diucapkan Ekalaya. “Kanda harus bertahan”. Tiba napas sang Prabu tidak terasa dan detang jantung tak terdengar lagi. “ Kanda jangan tinggalkan aku”.Karena tidak tertolong lagi maka Prabu Palgunadi meninggal. Kanda Prabu...!, kanda Prabu....!. Melihat suaminya telah tiada. Dewi Anggraini mau menyusul kematian suaminya, dengan patrem ia menusuk tubuhnya, maka sang dewi ikut Meninggal.
Arjuna yang melihat dewi Anggraini yang tak mempedulikan segea rmenyusul ke Paranggelung. Dengan sigap ia naik kuda, di cambuknya, suara prak....!.prak.......!Meninggalkan sang resi. Sang resi yang gelagat Arjuna yang tak ada peduli anjuran guru, maka disusullah Arjuna yang pergi ke Paranggelung. Dengan secepat kilat Arjuna sampai di Paranggelung.

Ia segera mencari Dewi Anggraini, tanpa diduga sang dewi sudah tiada. Hati Arjuna menjadi putus asa. Melihat Arjuna yang telah kehilangan cinta, maka sang Guru segera memeluknya. Ini menghilangkan cintanya pada Anggraini dan Karena ilmu telah sempurna maka sang guru mengajaknya untuk kembali ke Sakolima. Dengan hati yang sudah teriris – iris Arjuna mengikuti gurunya. Drona dan Arjuna meninggalkan Paranggelung. Prak ....! Prak..... Akhirnya tiba di Sakoalima dan para saudara – saudaranya telah menunggu kedatangannya. 



Sementara itu, sesampainya di keraton Astinapura, Patih Sengkuni melaporkan kepada raja, bahwa lenga tala gagal direbut. Sekarang dibawa pergi oleh seorang pandhita sakti. Bahkan ia telah mengangkat murid Pandhawa dan membawa serta mereka ke padepokannya.
Duryudana dan para Kurawa merengek-rengek memohon kepada raja agar Pandhita sakti tersebut diangkat menjadi Guru Istana.
“Ampun Kakanda Prabu, perlu menjadi pertimbangan, ia mau menjadi guru para Kurawa asalkan Pandawa lima diperkenankan masuk istana, pada hal beberapa waktu yang lalu Kanda Prabu telah mengusir mereka.”
“Jika demikian biarlah anak-anakku yang datang berguru ke padanya”
“Ampun Kakanda Prabu, langkah tersebut akan merosotkan kewibawaan paduka raja,”
“Lantas bagaimana pendapatmu Patih Sengkuni?”
“Kanda Prabu, sebelumnya aku ingin mencari padepokannya untuk kemudian memaksa dia datang di istana tanpa Pandawa Lima”
Mendengar rencana Patih Sengkuni, Duryudana yang menyaksikan sendiri kesaktiannya padhita tersebut bertanya, lalu siapa yang mampu memaksanya?
Sengkuni sempat gelagepan, namun ia kemudian berkata, “Aku akan memerintahkan satu bregada prajurit untuk mengepung dan kemudian menangkapnya.
“Sengkuni! Apakah untuk mendapatkan seorang guru tidak boleh dengan cara paksa. Jika terjadi korban nyawa apakah engkau mau bertanggungjawab?
“Maksud saya tidak begitu Maha Resi Bisma. Apa yang akan kami lakukan ini semata-mata merupakan tanda bakti kepada raja. Karena jika nantinya para putra raja mendapatkan guru yang sakti, dan menyerap ilmunya, mereka akan mampu menjaga, memperkuat dan memperluas kerajaan HAstinapura”
“Sengkuni, Sengkuni, apakah engkau tidak pernah melihat guru sakti di HAstinapura ini? Coba kamu jawab dengan jujur, tidak adakah Guru Sakti di HAstinapura? Sengkuni!”
“Ada, ada Maha Resi, bahkan tidak sekedar ada, tetapi banyak. Jumlahnya kira-kira ratusan, ee mungkin bisa mencapai ribuan. Sedangkan yang diangkat menjadi guru istana saja sudah seratus lebih. Padahal gaji mereka…” “Cukup!! Sekarang jawab pertanyaanku, apakah para Kurawa telah menyerap semua ilmu dari mereka, terutama para guru yang digaji istana?” Eee sudah, eh belum dhing. Maksud saya semua ilmu telah diajarkan dan dipahami, tetapi belum semua di kuasai.” “Bagus, lalu apa usahamu agar para Kurawa mampu menyerap ilmu para guru istana dengan baik? “
Ampun Maha Resi Bisma, jika bibir ini menjadi panjang, salah satunya karena setiap waktu aku selalu mengatakan kepada keponakanku para kurawa, belajarlah yang tekun dan rajin. Tetapi memang mempelajari ilmu-ilmu tingkat tinggi tidak cukup dengan rajin dan tekun, tetapi membutuhkan bakat dan kemampuan” “Jadi menurutmu cucu-cucuku para Kurawa itu rajin dan tekun?” Iya, eee kadang-kadang rajin, dan kadang-kadang tekun. Eee rajin kok, tetapi” “Sengkuni, engkau akan mengatakan bahwa para Kurawa itu tekun dan rajin tetapi tidak berbakat dan tidak mampu menguasai ilmu-ilmu tinggi?” “Tidak demikian Sang Maha Resi, para Kurawa itu mempunyai bakat dan kemampuan, tetapi belum ada guru yang mampu menggali bakat dan kemampuannya”
“Sengkuni! Engkau jangan menyalahkan para guru istana! Engkau menganggap aku buta? Tidak dapat melihat kenyataan yang sebenarnya? Bukankah para Kurawa tidak dengan sungguh-sungguh menyerap ilmu dari para guru istana? Dan itu sesungguhnya menjadi tanggunggjawabmu untuk memotivasi mereka.”
“Ampun Maha Resi, hamba ini seorang Patih, tugas hamba mengabdi kepada negara dan raja. Bukan sebagai pengasuh anak-anak raja.” “Baik! Jika demikian jangan ikut campur dalam hal mencari guru untuk para Kurawa. Anak Prabu Destarastra, ijinkanlah aku sendiri yang akan menemui guru sakti yang diinginkan anak-anakmu. Pertimbanganku agar para Kurawa dan para Pandawa menyerap ilmu dari guru yang sama, dengan aturan dan disiplin yang sama serta sumpah ketaatan yang sama pula. Sehingga dengan demikian ada harapan untuk mempersatukan diantara mereka.”
Destarastra setuju usul Resi Bisma, karena sesungguhnya ada harapan yang sama, agar diantara anak-anaknya dan anak-anak Pandudewanata hidup berdampingan dengan rukun. Tetapi entah apa sebabnya benih-benih permusuhan telah tumbuh lebih cepat dari pada benih-benih kerukunan.
Dengan pertimbangan bahwa Yamawidura mengetahui letak padepokan, tempat Pandhita Sakti berada, maka Destarastra memerintahkan kepada Yamawidura untuk mengiring Resi Bisma. Menurut keterangan Sadewa, sewaktu mohon restu kepada Ibunda Dewi Kunthi ke Panggombakan, ia beserta keempat saudaranya selama beberapa waktu tinggal di Padepokan Sokalima yang terletak di tapal batas wilayah Negara Pancalaradya, untuk berguru kepada Padhita Durna.
Pada hari yang telah disepakati, sebelum matahari terbit, Resi Bisma diiringi Yamawidura keluar dari Kestalan Keraton HAstinapura, menuju arah tenggara. Derap dari delapan kaki kuda yang mereka tumpangi, meninggalkan debu yang terbang terbawa angin dan menempel pada lekuk-lekuk bangunan Keraton HAstinapura yang indah.
Di tengah terik matahari, Resi Bisma dan Yamawidura sengaja tidak berhenti, agar segera sampai di Padepokan Sokalima, tempat Pandhita Durna menggembleng cantrik-cantriknya, termasuk Pandhawa Lima. Jika pun harus istirahat, sekedar untuk memberi makan minum kuda-kuda mereka.
Dilihat pada garis-garis wajahnya, Resi Bisma sudah tidak muda lagi, bahkan dapat dikatakan lanjut usia, namun badannya masih tegap dan jiwanya masih tegar, jauh lebih muda dari usia yang sebenarnya. Sorot matanya tajam bagai rajawali. Segudang ilmu sakti yang ia pelajari sejak masa kanak-kanak, masih melekat kuat di badan dan jiwanya. Waktu muda ia mendapat tiga anugerah besar yaitu; umur panjang sampai tujuh turunan, tidak pernah kalah dalam berperang dan tidak dapat mati jika tidak atas permintaan sendiri. Ia menjadi putera mahkota kerajaan HAstinapura pada masa pemerintahan ayahnya, Prabu Sentanu. Namun karena Dewi Setyawati, ibu sambungnya menginginkan tahta demi anaknya, maka ia mengalah, dengan ikhlas tahta diserahkan kepada anak Setyawati. Bahkan ia berjanji untuk menjalani hidup ‘wadat’ tidak menikah, agar tidak mempunyai keturunan yang akan mengusik tahta HAstinapura, dan menimbulkan pertumpahan darah diantara saudara.
Dengan kebesaran hati, Resi Bisma telah melepaskan tahtanya dan menjalani hidup wadat. Walaupun ada godaan besar dari seorang wanita bernama Dewi Amba, Bisma tetap setia dengan janjinya untuk tidak menurunkan anak dari seorang wanita. Namun saat ini ia sangat kecewa, bukan karena ia telah merelakan tahtanya dan menjalani laku hidup wadat, tetapi lebih dikarenakan pergolakan tahta HAstinapura tidak terhindarkan karenanya. “Apakah keputusanku untuk melepaskan tahta salah? Jikakalau benar, mengapa Citragada dan Wicitrawirya anak Setyawati, belum genap hitungan tahun menduduki tahta, meninggal secara berurutan? Menurut anggapan rakyat HAstinapura, Citragada dan Wicitrawirya tidak kuat menduduki tahta, mereka kuwalat kepada pendiri Keraton dan Rakyat HAstinapura. Karena secara tidak langsung telah merebut tahta yang bukan haknya dari tanganku. Rupanya Ibunda Setyawati mempercayainya anggapan rakyat. Ia sangat menyesalkan telah mengajukan anak-anaknya untuk menduduki tahta.
Pada suatu malam, Ibunda Ratu menemuiku, dan meyapaku. Ia selalu memanggilku dengan nama kecilku, Dewa Brata. Ketika nama itu disebut, aku diingatkan kepada ibuku Dewi Ganggawati, seorang bidadari yang memberikan nama itu. Aku rindu padanya, ingin dipeluk, dicium, dibelai dengan penuh cinta. Namun itu tak pernah aku rasakan. Sejak bayi, Ibunda telah meninggalkan aku dan ramanda Prabu Sentanu kembali ke kahyangan.
“Dewa Brata, aku telah melakukan kesalahan besar kepadamu dan rakyat HAstinapura. Semenjak kedua adik tirimu meninggal berurutan, tahta HAstinapura kosong. Aku sadar, tragedi ini merupakan peringatan ‘Hyang Akarya Jagad’ bahwa sesungguhnya hanya engkaulah yang berhak atas tahta HAstinapura.”
“Bukan Ibunda yang bersalah, melainkan aku. Karena dengan memberikan tahta kepada keturunan Ibunda Dewi Setyawati, aku telah mengkhianati leluhurku, pendiri Keraton HAstinapura ini. Seakan-akan tahta HAstinapura adalah milikku, dapat aku gunakan sesukaku, boleh aku diberikan sesuai keinginanku. Demikian pula kedudukan putera mahkota yang kutanggalkan tanpa persetujuan rakyat, artinya aku telah menyelewengkan kepercayaan rakyat HAstinapura.”
“Dewa Brata inilah saat yang tepat untuk menebus kesalahan kita”
“Katakan apa yang harus aku lakukan untuk menebus kesalahan.”
“Jika engkau mau melakukan, kesalahku tertebus pula”
“Katakan Ibunda, katakanlah”
“Duduklah di tahta HAstinapura”
Malam itu terang benderang, tidak turun hujan. Bulan penuh menggantung di langit, kidung malam mengalun merdu. Namun kata-kata Ibunda Ratu laksana halilintar menggelegar di dada Dewa Brata. Sesungguhnya yang dikatakan Ibunda Ratu, sama dengan bisikan nuraninya bahkan sama pula dengan nurani rakyat, yang beranggapan bahwa satu-satunya orang yang berhak, pantas dan kuat menduduki tahta adalah Dewa Brata. Namun kesadarannya menolak untuk menjadi raja.
Aku mengalami goncangan yang amat hebat, jika aku tidak bersedia menjadi raja, artinya aku telah mengingkari tradisi pendiri kraton HAstinapura, dan menolak mandat yang diberikan rakyat. Namun sebaliknya jika aku bersedia menjadi raja, aku telah mengkianati janjiku dan menghina para Dewa yang telah memberikan tiga anugerah karena kerelaanku menyerahkan tahta dan hidup wadat.
Resi Bisma menghentikan permenungan masa lalunya, ia dan Yamawidura sampai di gapura masuk padepokan Sokalima. Sang Resi Bisma banyak berharap kepada guru besar Soka Lima, untuk membantu mengurangi beban perasaan bersalah, dengan mempersatukan Pandhawa dan Kurawa, sehingga mampu meredam sengketa dan pertumpahan.
Dua orang cantrik menyambut dengan penuh hormat, sopan dan ramah, walaupun mereka tidak tahu bahwa tamunya adalah dua orang besar dari negara yang besar pula.
Bisma dan Yamawidura turun dari kudanya, segera dua orang cantrik menghampirinya untuk menambatkan kuda-kuda mereka. Begitu pula dengan dua cantrik lain mengiring Bisma dan Yamawidura menuju ke bangunan induk padepokan. Sepanjang jalan, aneka bunga warna-warni menjulur tangkainya, merunduk di pinggir jalan, bagaikan pagar-ayu, menyambut datangnya kedua tamu agung. Di bibir tangga bangunan induk, Pandita Durna, beserta Puntadewa, Bimasena, Harjuna, Nakula dan Sadewa tergopoh-gopoh menyongsong mereka.
“Selamat datang di padepokan Sokalima, Sang Resi Agung HAstinapura. Sudah tiga hari ini, sepasang burung prenjak berkicau bersautan persis di depan rumah induk. Itu pertanda bahwa padepokan akan kedatangan tamu Resi Agung.”
“Pandhita Durna jangan berlebihan, aku manusia biasa seperti engkau, bukan manusia agung.”
Durna mengangguk-angguk, walaupun sesungguhnya ia tahu bahwa Bisma adalah Resinya para Resi.
Setelah mereka dipersilakan duduk, Bisma mengawali pembicaraan.
“Pandhita Durna, tentunya engkau telah mengetahui banyak tentang aku dari cucu-cucuku Pandhawa. Namun aku ingin mengatakan bahwa hingga saat ini hidupku selalu dibayang-bayangi perasaan bersalah. Menyusul keputusanku yang pertama: ketika aku merelakan tahta kepada anak-anak Setyawati dengan Ramanda Prabu Sentanu yaitu Citragada dan Wicitrawirya, yang meninggal berurutan setelah menduduki tahta. Keputusan yang ke dua: mengangkat Abiyasa, anak Setyawati dengan Palasara trah Pertapa Saptaarga, bukan trah HAstinapura. Sejak Abiyasa menduduki tahta, Hastinpura selalu bermasalah. Terlebih lagi setelah kehadiran Kurawa dan Pandhawa perebutan tahta HAstinapura semakin meruncing.”
“Sang Resi Bisma, perjalanan hidupku rupanya juga tidak lebih baik.” Pandita Durna berkisah pula.
“Sampai saat ini perasaan bersalah seperti yang dirasakan Sang Resi juga menggelayut dalam hidupku. Ketika Ramanda Prabu Baratwaja menginginkan aku menjadi raja di Hargajembangan, aku menolak, dan memilih pergi ke Tanah Jawa, untuk berguru kepada Begawan Abiyasa. Tetapi tragedi telah menimpaku, badan dan wajahku cacat seumur hidup. Aku menggembara tak tentu arah di negeri orang, dengan membawa anak tanpa ibu.”
Mereka terdiam untuk sementara waktu, ingin saling memahami perjalanan hidup masing-masing.
“Pandita Durna, aku tahu engkau dalam penderitaan, namun engkaulah yang kurasa dapat membantu mencegah perang antara Kurawa dan Pandawa. Untuk itulah aku datang memohon engkau bersedia menjadi guru mereka. Karena dengan menjadikan mereka murid-muridmu, mereka akan menjadi saudara seperguruan, yang akan menumbuhkan perasaan senasib, seperjuangan. Bukankah hal tersebut akan memperkecil benih-benih permusuhan?”
“Pada awalnya aku lebih berminat mengangkat murid para Pandhawa. Namun setelah Sang Resi mengungkapkan tujuan mulia dibalik pengangkatan murid Para Kurawa, aku bersedia menjadi guru mereka.”
“Terimakasih Kumbayana. Tentunya dengan kesediaanmu, Prabu Destrarastra akan memberikan gelar guru istana.”
“Dhuh Sang Resi Bisma, ada yang lebih penting dari gelar itu, yaitu kebebasan mengajar setiap orang yang membutuhkan.”
Bisma dapat memahaminya, karena ia tahu persis darma seorang pandita atau resi, ialah memberikan ilmu kepada siapa saja, tidak pilih-pilih. Ibaratnya sebuah sumur yang selalu terbuka bagi yang menimba air darinya.
Sebelum kembali ke Istana Resi Bisma dan Yamawidura berpesan agar selain mengajarkan ilmu, ada hal mendasar yang wajib ditanamkan kepada Pandhawa dan Kurawa, yaitu agar diantara mereka dibangun rasa mencintai, sikap saling menghargai dan rela memberi maaf.
Membangun sikap moral tidak lebih mudah dibandingkan dengan mengajarakan ilmu kanuragan dan ilmu kebatinan. Oleh karenanya seorang guru diharuskan mempunyai otoritas penuh, teguh adil dan berwibawa. Dengan alasan tersebut, Bisma setuju bahwa tempat penggemblengan para murid, dilakukan di Sokalima. Maka para Kurawa segera mendapatkan pelajaran dari sang Resi. Saat berlatih saja para kurawa merasa malas dan bergemar bernain wanita. Dan terlihat sikap para kurawa selalu mengganggap remeh musuh terlihat sudah. Bukti nyata bahwa kemampuan Pandawa dalam menyerap ilmu Sokalima lebih baik dibanding dengan warga Kurawa, dapat ditengarai ketika diadakan pendadaran murid-murid Sokalima. Dalam ketrampilan berolah aneka senjata keluarga Pandawa lebih unggul. Demikian juga ketika Durna menguji murid-muridnya untuk menundukkan Raja Durpada dan Patih Gandamana. Yang berhasil menundukkan mereka adalah keluarga Pandawa. Oleh karena alasan tersebut warga Kurawa merasa terancam atas keberadaan keluarga Pandawa yang lebih sakti dan lebih unggul. Maka disusunlah sebuah rencana untuk menyingkirkan warga Pandawa.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar