Pagi itu di kapautren Panggombakan yang sekitarnya banyak ditumbuhi pohon besar kecil nan rindang, ramai oleh kicaunya burung-burung. Teristimewa suara burung prenjak bersautan persis didepan rumah sebelah kanan. Biasanya itu pertanda akan datang seorang wiku, pandhita atau panembahan. Semar meyakini pertanda itu, maka ia bersama para abdi panggombakan mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut tamu agung tersebut.
Keyakinan Semar dalam menanggapi pertanda
alam melalui suara burung prenjak menjadi kenyataan. Tak lama kemudian,
datanglah Begawan Abiyasa dari Pertapaan Saptaarga. Yamawidura, Kunthi dan
Pandhawa tergopoh-gopoh menyambutnya. Kedatangan Begawan Abiyasa sungguh amat
tepat, karena kerabat Pandhawa sedang gundah hatinya menyusul pengusirannya
dari Negara HAstinapura. Bagaikan air kendi yang telah berusia delapan tahun
menyiram kepala dan hatinya. Dingin menyegarkan. Suasana menjadi tenang
tentram.
Belum genap sepekan Begawan Abiyasa
tinggal di Panggombakan, tiba-tiba suasana damai dihempaskan oleh kedatangan
Patih Sengkuni dan para Kurawa. Dengan alasan karena terdorong oleh
kerinduannya kepada sauadaranya yaitu para Pandhawa. Namun ternyata itu sekedar
basa-basi yang tidak berlangsung lama. Rupanya para Kurawa telah mengatur
strategi. Beberapa orang ditugaskan untuk menjauhkan Bima dan saudaranya dengan
Begawan Abiyasa. Karena yang menjadi tujuan utama adalah untuk menemui Begawan
Abiyasa.
Pada mulanya mereka menghaturkan sembah
seperti layaknya seorang cucu kepada eyangnya yang bijak. Tetapi apa yang
kemudian terjadi? Para Kurawa yang diwakili Patih Sengkuni me
nanyakan perihal Lenga (minyak) Tala milik Begawan Abiyasa. “Kami tidak percaya bahwasanya Sang Begawan tidak membawanya. Tidak mungkin Lenga Tala lepas dari dirinya.
nanyakan perihal Lenga (minyak) Tala milik Begawan Abiyasa. “Kami tidak percaya bahwasanya Sang Begawan tidak membawanya. Tidak mungkin Lenga Tala lepas dari dirinya.
Karena Lenga Tala merupakan minyak yang
mempunuai kasiat luar biasa. Siapa saja yang sekujur badannya diolesi Lenga
Tala ia tidak akan terluka oleh bermacam jenis senjata. Oleh karena itu
kedatangan kami ke Panggombakan ini untuk memimta Lenga Tala sekarang juga.
Jika Sang Begawan Abiyasa mengatakan bahwa Lenga Tala tidak dibawa, kami akan
melepaskan semua pakaian yang menempel, untuk membuktikan bahwa Sang Begawan
telah membohongi kami! He he he.”
Belum mendapat jawaban, Dursasana mulai
melakukan aksinya. Ia dengan cepat menjulurkan tangannya dan menarik ubel-ubel
tutup kepala yang dipakai Begawan Abiyasa. Bersamaan itu tampaklah benda
bercahaya berbentuk oval, berujud cupu, jatuh dan menggelinding di lantai.
Dengan cekatan Dursasana menyahut benda tersebut dan membawanya kabur, seraya
terkekeh-kekeh.
“Memang benar engkau tidak berhohong hai
Abiyasa, bahwa dirimu tidak membawa Lenga Tala. Karena yang membawa adalah aku,
hua ha ha” Dursasana berlari sambil menari-nari menimang cupu yang berisi Lenga
Tala, diikuti oleh Patih Sengkuni, Duryudana dan beberapa Kurawa. Abiyasa
bersama beberapa cantrik tidak mapu berbuat apa-apa. Namun dibalik raganya yang
lemah, Sang Begawan Abiyasa mempunyai kekuatan lain yang jauh melebihi kekuatan
ragawi manapun, yaitu dengan kekuatan sabda yang keluar dari mulutnya. “Inikah
Destrarastra hasil didikkanmu? Apakah engkau tidak cemas bahwa suatu saat
perilaku anak-anakmu Kurawa yang diperbuat untukku akan menimpamu pula? Bahkan
lebih dari itu, mereka akan beramai-ramai menginjak-injak kepalamu, hai
Destarastra. Dan engkau Sengkuni. Karena mulutmulah semua ini terjadi. Oleh
karena hasutanmu, mulutmu akan menjadi lebar, selebar badanmu.”
Para cantrik mengerti bahwa apa yang di
katakan Guru mereka tidak sekedar ungkapan ketidak puasan, tetapi merupakan
kutukan bagi Drestarastra dan Patih Sengkuni. Maka ketika guntur menggelegar
dibarengi angin bertiup kencang, para Cantrik merasa ngeri, karena hal tersebut
menjadi pertanda bahwa kutukan Begawan Abiyasa benar-benar akan terjadi.
Para cantrik Padepokan Saptaarga yang ikut
ke Panggombakan merasa tercabik hatinya, menyaksikan Sengkuni dan para Kurawa
menghina guru mereka, Begawan Abiyasa. Sikap diam mereka bukan karena
ketakutan, tetapi bagi mereka tidaklah terpuji membuat keributan pada saat
bertandang di Panggombakan. Karena kesadaran tersebut, tanpa diperintah salah satu
diantara para cantrik berlari keluar, untuk melaporkan kejadian tersebut kepada
Bimasena.
Sementara itu, rombongan Kurawa yang
berhasil membawa Lenga Tala, bergantian menimang-nimang benda berbentuk oval
bercahaya, sembari menari-nari di sepanjang jalan. Para peladang yang sedang
merawat tanamannya, memilih menyembunyikan diri, dari pada harus memberi hormat
sembah kepada para bangsawan yang tidak mereka sukai. Burung-burung pun terbang
berhamburan meninggalkan pepohonan di pinggir jalan untuk mengabarkan kepada
kawula Panggombakan untuk menjauhi jalan yang akan dilewati rombongan Patih
Sengkuni dan para Kurawa, supaya hati mereka tidak dikotori oleh kejahatannya.
Cupu bercahaya berisi Lenga Tala yang
dapat membuat kekebalan badan dari serangan segala jenis senjata dan pusaka,
sungguh menyilaukan hati Patih Sengkuni dan Kurawa. Oleh karena nafsunya itu,
mereka tidak memperdulikan lagi sesamanya, bahkan saudaranya atau malah
pepundhennya yang seharusnya mereka hormati. Saking asyiknya mengamati benda
hasil rampasannya, Patih Sengkuni dan Para Kurawa tidak menyadari bahwa
Bimasena telah menyusul mereka.
Panas hati Bima. Ia tidak mampu lagi
membendung luapan amarah. Tanpa banyak kata, dengan cepat kaki Bima yang
perkasa menghampiri dada Dursasana. Terjengkang-lah Dursasana menipa Kurawa
yang lain. Saat itulah tiba-tiba Bimasena merebut Lenga Tala dari tangan
Duryudana. Patih Sengkuni kebingungan, seperti orang kebakaran jenggot. Dengan
suara parau ia berteriak “Kejar Bimasena dan rebut Lenga Tala!” Dursasana segera
bangkit mengejar Bimasena, diikuti Duryudana dan adik-adiknya serta Patih
Sengkuni.
Bimasena adalah seoarang Ksatria sejati.
Ia tidak lari. Dengan dada tegak Bima menunggu terjangan para Kurawa. Bimasena
bergeming menerima pukulan bertubi-tubi. Ia berusaha dengan sekuat tenaga
mempertahankan Lenga Tala. Namun sedahsyat apapun tenaga manusia tentu ada
batasnya. Demikian pula Bimasena, menghadapi keroyokan para Kurawa. Tenaganya
semakin menyusut. Pada saat kelelahan, ia memutuskan untuk melempar Lenga Tala,
jauh ke arah gunung Sataarga. Sengkuni dan para Kurawa terkejut sesaat, namun
kemudian bagaikan gerombolan Serigala mengejar Domba, mereka berlari kearah
jatuhnya Cupu Lenga Tala. Bimasena dan Harjuna dan beberapa cantrik
menyusulnya. Bima berdiri tegak memandang ke arah jatuhnya Cupu Lenga Tala. Ada
kelegaan dihati Bima, ketika ia membayangkan bahwa cupu tersebut akan membentur
batu dan isinya tumpah, tidak dapat dimanfaatkan.
Tidaklah mudah untuk menemukan cupu yang
dilempar Bimasena. Walaupun dengan sisa tenaganya, lemparan Bimasena jauh
hingga menjangkau di balik bukit, sehingga Patih Sengkuni dan Kurawa kehilangan
arah jatuhnya Cupu Lenga Tala. Menjelang sore, Cupu Lenga Tala belum di
temukan. Akhirnya Patih Sengkuni dan Kurawa dipaksa menghentikan pencariannya,
karena hari mulai gelap. Mereka bertekad tidak akan pulang ke Negara
HAstinapura sebelum dapat menemukan cupu tersebut.
Malam merambat pelan. Di tempat
peristirahatan, Patih Sengkuni, Duryudana dan Dursasana tidak dapat segera
memejamkan mata. Kekhawatiran yang sama, muncul di dalam benaknya. Mereka
khawatir jika malam terlalu panjang, Cupu Lenga Tala ditemukan orang lain. Niat
mereka ingin merobek malam sehingga pagi segera menjelang, untuk melanjutkan
usahanya mencari dan menemukan Lenga Tala. Namun sang malam berjalan seperti
biasanya, hingga gelapnya mencapai titik sempurna. Pada saat itu, hampir
bersamaan, ketiganya tercengang melihat seleret sinar kebiru-biruan yang
membelah langit dari bawah ke atas. Tanpa diperintah ketiganya bergegas menuju
tempat asal sinar misterius tersebut. Karena kegaduhan langkah mereka, para
Kurawa yang lain terbangun dari tidurnya. Tanpa mengetahui apa yang dilakukan
oleh para pimpinan mereka, mereka bangun menyusul Patih Sengkuni, Duryudana dan
Dursasana yang sudah mendahului hilang ditelan pekatnya malam.
Niat Patih Sengkuni, Duryudana, Dursasana
dan Kurawa lainnya berubah. Jika semula mereka menginginkan hari segera pagi,
namun dengan adanya cahaya kebiru-biruan, mereka bermaksud menghentikan gelap,
sebelum dapat menemukan apa yang menjadi sumber cahaya tersebut. Karena di
dalam gelap mereka dapat dengan jelas melihat sinar kebiru-biruan itu, sehingga
dengan mudah dapat menemukan tempat cahaya itu berasal.
Di pinggir hamparan tanah pategalan,
tepatnya di sebuah sumur tua, awal dari cahaya itu. Secara bebarengan mereka
mendekati sumur melongok di dalamnya. Mata mereka berkilat-kilat melihat benda
yang menjadi sumber dari cahaya. Hampir bersamaan mereka berucap “Cupu Lenga
Tala.” Betapa senang hati mereka melihat benda yang dicarinya ada di depan mata
dalam keadaan utuh. Maksud hati ingin segera mengambilnya, namun mereka
kebingungan bagaimana caranya? Sumur yang tidak begitu luas itu amat dalam.
Dinding sekelilingnya penuh lobang, ditumbuhi semak belukar. Tampaklah di
antara rimbunnya semak, beberapa ekor ular berbisa dengan badannya yang
mengkilat tertimpa cahaya. Melihat keadaan sumur yang menyeramkan, diantara
mereka tidak ada yang punya nyali untuk masuk ke dalam sumur. Beberapa lama
mereka mondar-mandir di seputar sumur, tanpa berbuat sesuatu.
Bersamaan dengan merekahnya fajar di ujung
Timur, Bimasena, Harjuna dan saudara-saudaranya datang. Sengkuni menyapanya
dengan amat manis. “Anak-anakku Pandawa, kebetulan kalian datang. Hampir saja
kami putus asa tidak dapat menemukan Cupu Lenga Tala. Sekarang cupu telah
diketemukan di dalam sumur tua ini. Namun di antara kami tak ada berani
mengambil. Hanya kalianlah yang kami harapkan dapat mengambilnya, untuk
kemudian dibagi dengan adil.” Bimasena dapat menangkap dibalik kata-kata manis,
ada tipu muslihat yang kotor. “Aku tidak mau! Biarlah Cupu Lenga Tala tenggelam
di dasar sumur, dari pada jatuh ke tangan orang-orang durhaka.”
Bimasena dan saudara-saudaranya ingin
segera pergi, tanpa berniat melongok sumur tua itu. Namun langkah mereka
terhenti ketika melihat kelebatnya seseorang. Dengan langkahnya yang ringan
orang tersebut menuju sumur tua. Ia membawa rumput kalanjana yang telah
disambung-sambung. Semua mata menatapnya. Walaupun badannya cacat, mata orang
itu tajam bagai elang. Kewibawaan memancar kuat darinya. Sesampainya di bibir
sumur, sembari menebarkan pandangan ke arah Kurawa dan Pandhawa, ia berkakata.
“Apa yang kalian inginkan dariku?” “Ambilkan benda itu untuk kami!.” Teriak
para Kurawa. “Baiklah! Lihatlah!” Seperti mendapatkan aba-aba, para Kurawa
berebut merapat di bibir sumur, ingin melihat apa yang akan dikerjakan orang
asing tersebut. Dengan penuh keyakinan ia menurunkan rangkaian rumput kalanjana
ke dalam sumur. Ditanganya, sambungan rumput-rumput itu berubah bagaikan seekor
naga kecil yang ganas, menyergap Cupu Lenga Tala, dan mengangkatnya ke
permukaan sumur. Dalam sekejap Cupu Lenga Tala telah berada dalam genggamannya.
Para kurawa bersorak gembira. Bagaikan anak-anak kecil yang mendapatkan kembali
mainan kesukaannya. Mereka saling berdesakan, berebut menjulurkan tangannya,
untuk mendapatkan Cupu Lenga Tala.
Orang asing tersebut mengerutkan
keningnya, ia nampak tidak senang atas perilaku para Kurawa. “Tidak sembarang
orang yang mempunyai benda istimewa ini. Aku ingin bertemu dengan pemiliknya
untuk mengembalikan padanya.” Dalam hati mereka bertanya-tanya. Siapakah orang
ini? Apakah dia kenal dengan Begawan Abiyasa, pemiliknya?. Namun mereka tidak
berani menanyakan hal tersebut. Ada rasa getar dan takut menyaksikan kesaktian
yang telah ditunjukkan. Oleh karena itu para Kurawa tidak berani memaksakan
kehendak untuk mendapatkan Cupu Lenga Tala. Mereka menyerahkan kepada Patih
Sengkuni yang dipercaya mempunyai banyak siasat untuk mendapatkan cupu dari
tangan orang asing tersebut.
Sementara itu para Pandhawa justru lebih
tertarik kepada perilaku orang asing tersebut yang dipercaya mempunyai segudang
ilmu tingkat tinggi, dari pada Cupu Lenga Tala. Bagi para Pandhawa yang sejak
kecil gemar berguru, bertemu dengan orang berilmu tinggi merupakan kesempatan
yang tidak boleh sia-siakan. Maka dengan tak segan-segan mereka menghampirinya.
Harjuna bersimpuh menyembahnya dan Bimasena mengangkat orang itu di atas kepala
wujud lain dari sembah Bimasena. Keduanya hampir bersamaan berucap:
“Perkenankanlah aku menjadi muridmu ya maha guru.” Orang itu terharu
karenanya.. Sejak awal ia mengamati Bimasena dan Harjuna. Matanya yang tajam
dapat melihat kejujuran, kepatuhan, kesetiaan dan bakat yang luar biasa dibalik
ketampanan Harjuna dan kegagahan Bimasena. Gayungpun pun bersambut.
Sesungguhnya penggembaran orang asing tersebut hingga sampai ke tempat ini
dalam upaya mencari murid terbaik. Dan saat ini telah ditemukan dalam diri
Harjuna dan Bimasena.. “Siapa namamu bocah bagus?” “Nama hamba Harjuna” “Dan
kau bocah gagah perkasa?” “Bimasena” “Baiklah Harjuna dan Bimasena mulai hari
ini kalian aku angkat menjadi muridku”
Orang sakti bertubuh cacad itu telah
mengangkat murid baru, Bimasena dan Harjuna, dan disusul Puntadewa, Nakula dan
Sadewa. Dalam pernyataan awal mereka berlima berjanji akan selalu patuh kepada
guru. “Ha, ha, ha, bagus-bagus! Aku tidak menyangka bertemu kalian berlima yang
terkenal dengan sebutan Pandhawa Lima. Dengan suka hati aku bersedia menjadi
gurumu”
Patih Sengkuni gusar. Orang asing yang
berhasil mengambil Cupu Lenga Tala, telah mengangkat murid Pandhawa. Dengan
demikian dapat dipastikan bahwa Lenga Tala akan diberikan Pandhawa. Apalagi
setelah mengetahui bahwa para Kurawa telah merebut paksa dari tangan Begawan Abiyasa.
Namun sebelum kemungkinan paling buruk terjadi, Patih Sengkuni segera
mendekatinya, dengan penuh hormat ia memperkenalkan diri. “Namaku Sengkuni,
patih HAstinapura, dan yang berada di sekitar sumur itu adalah putra-putra
raja. Jika diperbolehkan aku akan memanggilmu Kakang, seperti layaknya sebutan
untuk saudara tua. Kebetulan Sang raja butuh guru sakti bagi putra-putranya.
Untuk itu kakang, sekarang juga engkau aku ajak menghadap raja. Aku akan
meyakinkan kesaktianmu, sehingga raja berkenan mengangkatmu menjadi guru resmi
istana.”
“Sebenarnya orang asing tersebut tidak
membutuhkan murid, selain Pandhawa lima. Namun tawaran Patih Sengkuni perlu
dipertimbangkan. Karena dengan menjadi guru istana, ia dapat memanfaatkan
kekuatan dan kebesaran HAstinapura untuk tujuan-tujuan pribadi. “Baiklah Adhi
Sengkuni, aku terima tawaranmu, asalkan anakku Aswatama dan Pandhawa lima boleh
masuk ke istana untuk bersama putra-putra raja mendapatkan ilmu dariku.”
Sengkuni keberatan dengan syarat itu. Ia
tidak suka Pandhawa tinggal di istana. Bahkan beberapa waktu lalu Patih
Sengkuni berhasil membujuk raja untuk mengusir Pandhawa, dengan alasan bahwa
Pandhawa telah menghasut rakyat untuk memusuhi raja. “Jika kalian keberatan
dengan syarat itu, akupun keberatan untuk masuk istana. Maaf! Selamat tinggal!
Ayo murid-muridku, ikutilah aku!”
“Adhuh celaka! Lenga Tala dibawa! Para
Kurawa kejar dia!!”
Ketika Kurawa bergerak untuk mengejar
mereka, tiba-tiba kabut tebal menghadang jalan. Orang sakti dan Pandawa lima
lenyap di balik putihnya kabut.
Tak lama para Pandawa tiba di Sokalima. Dan saat menjelang pagi
para Pandawa mulai belajar ilmu dari sang guru. Arjuna yang ahli menggunakan
gandewa. Bima sangat ahli mengunakan gada. Yudistira ahli mengunakn tombak.
Nakula dan Sadewa ahli mengunakan pedang. Hari – hari para Pandawa belajar pada
sang guru. Terutama Arjuna yang sangat hebat dalam memanah hal ini dirasakan
ole sang Drona. Kebehatan bahkan bisa melebihi sang guru Drona.
Maka menjelang tengah malam, Harjuna
memasuki halaman padepokan Sokalima. Temaramnya cahaya lampu minyak menyambut
wajah halus nan tampan di pintu gerbang padepokan. Wajah tersebut sudah sangat
dikenal oleh para cantrik yang jaga, sehingga dengan serta-merta mereka
menyambutnya dengan penuh hormat, dan mengantarnya sampai di depan pintu,
tempat sang guru menanti.
Sang Guru Durna sudah cukup lama duduk
bersila di ruang dalam menghadap meja dengan lampu minyak yang diletakkan di
tengah-tengahnya. Di meja pendek itulah Guru Durna meletakan pusaka andalan
yang berujud busur panah pemberian Batara Indra, namanya Gandewa. Kedahsyatan
pusaka ini adalah, jika busur tersebut ditarik di medan perang, akan
mengeluarkan anak panah dengan jumlah tak terbatas, dapat mencapai ratusan
ribu, tergantung dari pemakainya. Sesungguhnya busur ini akan diwariskan kepada
Aswatama, anak laki-laki satu-satunya. Namun rupanya sang guru Durna tidak
cukup puas dengan kemampuan Aswatama. Dibandingkan dengan murid-murid yang
lain, Aswatama tidak memiliki keistimewaan, sehingga jika pusaka Gandewa
dipercayakan kepada Aswatama, ia akan mengalami kesulitan untuk menggunakannya,
apalagi jika harus menarik busur Gandewa di medan perang.
Dengan mempertimbangkan kemampuan yang
ada, terlebih pada penguasaan berolah senjata panah, maka Harjunalah yang mempunyai
kemampuan memanah jauh meninggalkan murid-murid yang lain. Maka tidak dapat
disalahkan jika Harjuna lebih diistimewakan dibanding murid-murid yang lain,
termasuk juga Aswatama, karena Harjuna memang istimewa.
Suara gemerit menandakan pintu ruang tengah
dibuka.
“Saya datang menghadap di tengah malam ini
bapa guru, maafkan saya”
“Masuklah Harjuna, aku telah lama
menunggumu.”
Dengan langkah hati-hati Harjuna memasuki
ruangan, menyembah, untuk kemudian laku dhodhok dan duduk menunduk di hadapan
sang guru Durna. Mata Harjuna menatap sebuah busur yang pernah diperlihatkan
kepadanya. Ada getar yang kuat di hati Harjuna melihat busur Gandewa yang
sengaja diletakan dan disiapkan di meja. Sebagai murid yang lantip dan cerdas
Harjuna dapat membaca bahwa ada hubungannya antara pemanggilan dirinya dengan
pusaka Gandewa.
Suasana menjadi hening dan khidmat ketika
Durna mengawali pembicaraan yang wigati dan serius.“Harjuna murid yang aku
kasihi, engkau tahu pusaka ini adalah pemberian Batara Indra pemimpin para
Dewa. Diberikan padaku karena ketekunanku menjalani laku belajar ilmu memanah,
baik secara lahir dan juga secara batin. Sehingga bagiku busur Gandewa ini
merupakan tanda puncak prestasiku dalam hal ilmu memanah.
Namun sekarang aku tidak muda lagi,
apalagi fisikku cacat sehingga tidak mungkin berprestasi seperti dulu lagi.
Oleh karenanya, busur Gandewa ini sebaiknya aku wariskan kepada murid yang
dapat mencecap ilmu memanahku dengan tuntas.
Pada mulanya aku memang berharap banyak
kepada anakku Aswatama, namun dengan jujur aku mengakui bahwa ia tidak mampu
mewarisi pusaka dahsyat ini, dikarenakan ilmu memanahnya tidak sempurna.
Harjuna tentunya engkau dapat membaca arah pembicaraanku ini. Namun pasti
engkau tidak akan pernah menduga rencanaku atas pusaka ini.”
“Ampun Bapa Guru, saya tidak akan pernah
mengungkapkan isi hatiku, sebelum Bapa Guru mengatakan kepadaku. Karena
sesungguhnya, bapa guru dapat membaca isi hatiku.”
“He he he, Harjuna engkau memang murid
yang selalu bisa membuat aku bangga. Kepatuhan, ketekunan, kemampuan dan
kesetiaan yang telah engkau baktikan kepadaku selama ini adalah dasar
pertimbanganku untuk memberikan semua ilmu yang ada padaku, khususnya ilmu
memanah. Sehingga dengan demikian kemampuan memanah yang telah engkau kuasai
sejajar dengan dengan kemampuanku. Jika aku lebih unggul dalam pengalaman,
engkaupun lebih unggul dalam hal tenaga.
Harjuna bocah bagus, seorang guru sejati
akan sangat berbahagia jika dapat menghasilkan murid yang mempunyai kemampuan
melebihi gurunya. Maka untuk itulah aku memanggilmu secara khusus di tengah
malam ini untuk menyempurnakan ilmu memanah yang telah aku ajarkan padamu.”
Tangan Durna yang mulai menampakan
keriputnya tersebut bergetar, dengan perlahan dan hati-hati ia mengambil pusaka
Gandewa.
“Terimalah pusaka ini, Harjuna”
“Bapa Guru”
“Seperti ketika aku menerima pusaka ini
dari Batara Indra, demikian pula aku memberikan pusaka ini kepadamu sebagai
tanda penghargaan atas prestasimu dalam ilmu memanah.”
“Adhuh Bapa Guru, apakah aku cukup pantas
menerima penghargaan yang demikian tinggi? Tidakkah Aswatama yang lebih berhak
menerima warisan pusaka dari Bapa Guru Durna?”
“Harjuna, purbawasesa ada padaku, aku
masih percaya bahwa engkau tidak akan pernah mencoba untuk tidak taat kepada
perintahku.”
“Ampun bapa guru Durna, dengan penuh rasa
bakti dan hormat pusaka Gandewa aku terima. Terimakasih bapa guru atas
penghargaan ini.”
Dengan perlahan tangan Harjuna dijulurkan
menerima pusaka Gandewa.
Di sisi gelap, jauh dari jangkauan cahaya
lampu minyak, ada sepasang mata yang sejak awal memperhatikan dialog antara
guru dan murid tersebut. Pada saat pusaka Gandewa telah berpindah ke tangan
Harjuna, dari ke dua sudut mata tersebut menyembul airmata bening berkilau.
Walau hanya beberapa tetes, namun telah mampu membasahi ke dua pipinya.
Aswatama sakit hati melihat haknya direbut
oleh orang lain. Bagaimana tidak? Bukankah ia adalah anak semata wayang,
satu-satunya pewaris dari sang Guru Durna, tetapi mengapa dengan enaknya, tanpa
pembicaraan dan pemberitahuan lebih dulu, bapanya telah mewariskan mustikaning
pusaka Gandewa pemberian Dewa Indra itu kepada Harjuna. Siapakah Harjuna itu?
Bukankah ia hanyalah salah satu murid Sokalima? Tidak ada hubungan darah sama
sekali dengan Sang Guru Durna?
“Dhuh Dewa!!!” Aswatama merebahkan diri di
lantai, air matanya akan menetes, namun tiba-tiba ditahannya, ketika ia
mendengar langkah kaki yang tidak asing di telinga mendekati dirinya. Dengan
segera ia bangkit. Panas hatinya telah mengeringkan air di matanya. Sebelum
suara langkah kaki tersebut sampai ditempat itu, ia lari menembus kegelapan
malam. Langkah Durna dipercepat agar dapat mengetahui kemana Aswatama
mengarahkan larinya.
Di tanah lapang ujung dusun Aswatama
menghentikan larinya. Ia berbaring terlentang dirumput yang mulai dibasahi
embun malam. Walaupun malam itu bulan sedang tidak bertahta, langit tidak
menjadi gelap-pekat karena bertaburnya berjuta bintang. Aswatama membiarkan
rasa dingin mulai menyentuh kulit, merambat ke aliran darah menuju ke jantung
dan meyebar ke hati, ke otak dan ke seluruh tubuh.
Proses pendinginan itulah yang kemudian
membuat Aswatama tidak mampu lagi membendung air matanya. Ia menagis
tersedu-sedu bukan karena pusaka Gandewa, tetapi lebih kepada bahwa
keberuntungan tidak pernah berpihak padanya. Dhuh Sang Hyang Tunggal, tidakah
Engkau cabut saja nyawaku, dari pada hidupku hanya akan menambah cacatan buruk
bagi sejarah manusia.
Dalam keadaan seperti itu biasanya
Aswatama mulai berimajinasi tentang ibunya yang adalah seorang bidadari bernama
Wilutama. Dengan cara demikian maka semua persoalan hidup akan terlupakan. Yang
ada adalah sebuah kerinduan untuk berjumpa dengan seorang ibu yang pernah
melahirkannya.
Dicarinya wajah ibunya diantara
bintang-bintang yang berserakan, namun tidak pernah ditemukan. Bahkan
senyumnyapun tidak.
Siang
itu langit biru bersih tanpa awan. Sang surya bersinar dengan sempurna. Namun
walaupun begitu panasnya tidak mampu menembus lebatnya pepohonan di hutan kecil
yang berada di sekitar Padepokan Sokalima. Di ujung jalan setapak yang diapit
oleh rimbunnya semak belukar, ada serombongan bangsawan sedang berburu binatang
hutan. Salah satu di antaranya adalah Harjuna dengan membawa anjing pelacak.
Tanpa seorang pun mengetahui apa yang terjadi, tiba-tiba si anjing menyalak
dengan keras dan berlari menuju arah tertentu. Tanpa diberi aba-aba Harjuna dan
saudara-saudaranya mengikuti anjing pelacak tersebut.
Cep!
Langkah mereka terhenti, demikian juga nyalak anjing pelacak diam seketika.
Perlahan-lahan Harjuna mendekati anjing kesayangannya yang sudah tidak
bergerak. Hatinya berdesir, keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya.
Kesatria luar biasa, murid andalan Sokalima tersebut tak kuasa menahan gejolak
hatinya. Kemarahan besar meledak-ledak di dadanya. Selama hidupnya belum pernah
ia mendapat malu seperti saat ini. Sebagai satu-satunya murid Sokalima yang
ahli berolah senjata panah telah dihadapkan kenyataan bahwa tingkat kemampuan
menggunakan senjata panah yang dikuasai Harjuna masih berada di bawah seorang
yang melepaskan anak panahnya ke kepala anjing pelacak tersebut. Dengan seksama
Harjuna dan saudara-saudaranya meneliti panah yang tepat menancap di antara
kedua mata anjingnya dengan sempurna. Ada tujuh anak panah yang menancap hampir
bersamaan pada satu titik yang sama. Sehingga cukup menyisakan satu anak panah
rangkap tujuh. Sangat luar biasa.
“Kurang
ajar, siapa orang yang telah memanah anjing kesayanganku!?”
Bima,
Puntadewa, Sadewa dan Nakula, lebih heran lagi dibandingkan dengan Harjuna.
Mata mereka tidak melihat ketika ada tujuh panah yang hampir bersamaan
menghujam otak si anjing pelacak yang hanya berjarak beberapa jengkal di
depannya.
Harjuna
adalah seorang ksatria yang gemar ‘tapa ngrame’, selalu siap sedia menolong
sesamanya yang membutuhkan, melindungi yang lemah, membela yang teraniaya. Ia
senantiasa memperjuangkan kebenaran dan menentang yang durhaka. Maka tidak
mengherankan, jika pada saat Sang Harjuna menyusuri jalan-jalan pedesaan,
mereka berebut untuk menawarkan agar Harjuna berkenan singgah di rumahnya,
untuk memberikan cunduk bunga melati, lambang dari cinta dan kasih sayang. Oleh
karenanya bagi keluarga yang dikunjungi Harjuna menjadi berkah akan
berkelimpahan.
“Hore!
Hore! Hore! Sang Pekik datang, kita sambut dia, kita taburkan bunga mawar
warna-warni. Ayo jongkok, ayo jongkok, jongkok. Beri sembah hormat kepadanya.
Sang Pekik mampirlah di gubuk kami, mangga pinarak Raden, Raden Harjuna.
Horeee!”
Cep
klakep! Suara suka-cita para kawula pedesaan yang terngiang di telinga berhenti
seketika. Demikian pula suasana penuh kasih yang pernah singgah di sanubari
lenyap tak berbekas. Ketika sang Harjuna melihat anjing kesayangannya
tergeletak mati ditembus tujuh anak panah sekaligus. Yang ditinggal adalah
sebuah kemarahan, yang semakin menjadi besar.
“Kurang
ajar! Siapa yang berani menghina Harjuna, ayo keluarlah! Perang tanding melawan
panengah Pandawa.”
Suasana
hening sepi, tidak ada suara yang menanggapi tantangan Harjuna. Puntadewa cemas
akan keadaan adiknya.
“Dinda
Harjuna, mengapa jiwamu menjadi ringkih, engkau tidak dapat mengendalikan amarahmu
ketika melihat panah luar biasa.”
“Karena
anjing kesayanganku dibunuh.”
“Bukan
Dinda Harjuna, bukan karena anjing kesayanganmu yang telah mati, tetapi karena
pembunuhnya adalah orang yang sangat luar biasa dalam menggunakan senjata
panah, melebihi kemampuanmu. Bukankah begitu Harjuna. Seharusnya engkau
menjadari, bahwa di atas langit masih ada langit.”
“Kakanda
Punta, bukankah langit di atasku adalah Bapa Guru Durna? Mungkinkah yang
melakukan ini adalah Bapa Guru Durna? Karena hanya Bapa Guru yang mempunyai
ilmu panah Sapta Tunggal yaitu melepaskan tujuh anak panah pada satu titik
sasaran. Namun selama aku menjadi muridnya, Bapa Guru Durna belum pernah
memberi contoh ilmu panah Sapta Tunggal sesempurna kali ini. Bapa Durna! Aku
datang menghadap.”
Kedatangan
Harjuna dan saudara-saudaranya disambut Pandita Durna dengan wajah
berseri-seri. Maklumlah, Harjuna dan Bimasena adalah murid-murid kesayangan
yang menjadi andalan Sokalima. Namun rupanya keceriaan wajah sang guru
terhenti. Dahinya yang memang sudah keriput semakin keriput ketika ditatapnya
Harjuna membawa anjing yang mati tertancap panah di dahinya dengan ilmu Sapta
Tunggal.
Hatinya
berdesir. Ia tahu siapa yang melakukannya, siapa lagi kalau bukan Ekalaya.
Tetapi bagaimana jika Harjuna tahu tentang Ekalaya?
“Apakah
Bapa Guru yang telah melakukan ini?”
Durna
menggelengkan kepalanya
“Lalu
siapa yang telah menguasai ilmu Sapta Tunggal, salah satu ilmu panah andalan
Sokalima dengan
sempurna?”
Durna
berusaha untuk menyembunyikan nama Ekalaya terutama di hadapan Harjuna. Karena
ia tahu jika Harjuna mengetahui bahwa ada murid Sokalima yang lebih pandai
dibandingkan dirinya, akan fatal jadinya.
“Harjuna,
akhir-akhir ini hutan di sekitar Sokalima sering didatangi pemburu asing,
mungkin salah satu di antaranya yang telah melepaskan panah itu.”
“Ampun
Bapa Guru, apakah ilmu Sapta Tunggal juga diajarkan di luar Sokalima?”
“Tidak
Harjuna, tetapi ada ribuan ilmu memanah yang diajarkan di luar Sokalima. Dan
bisa saja beberapa di antaranya mirip dengan ilmu Sapta Tunggal.
Lolongan
anjing yang terus-menerus dirasa dapat mengganggu semedinya, maka Ekalaya
melepaskan anak panah dari jarak jauh dan diarahkan ke suara anjing. Namun
ternyata tindakan yang dilakukan Ekalaya tersebut berbuntut panjang. Pasalnya
anjing yang terkena panah bukan anjing hutan, dan bukan pula anjing milik
penduduk sekitar, seperti yang diduga oleh Ekalaya. Namun anjing tersebut
ternyata anjing pelacak milik Harjuna.
Ketika
Harjuna membawa bangkai anjingnya kepada Pandita Durna, dan menanyakan perihal
panah yang menancap, Harjuna belum sepenuhnya lega atas keterangan Sang Guru
Durna. Ia akan mencari sampai ketemu, siapa sesungguhnya orang berilmu tinggi
yang telah membunuh anjingnya. Maka Harjuna segera mohon pamit untuk kembali ke
hutan kecil di pinggiran Sokalima.
Melihat
kegelisahan Harjuna, Aswatama yang sejak awal mengamati dari kejauhan,
diam-diam mendahului Harjuna masuk ke tengah hutan untuk mengabarkan kepada
Ekalaya dan Anggraeni. Demi keselamatan dua sahabatnya Aswatama menyarankan
agar keduanya pergi ke tempat yang aman untuk sementara.
Sejatinya
Ekalaya tidak gentar sedikit pun berhadapan dengan Harjuna, namun jika ia dan
Anggraeni mau menyingkir ke tempat yang aman, tindakan itu merupakan
penghargaannya kepda Aswatama sahabatnya. Tidak beberapa lama sejak kepergian
Ekalaya dan Anggraeni, Harjuna sampai di sanggar Ekalaya.
Mata
Harjuna teperanjat melihat ada patung Pandita Durna di tengah. Siapa yang
membuat patung ini? Patung yang diletakkan sedemikian rupa itu sangat hidup.
Mata dan senyum bibirnya akan membuat getar siapa pun yang memandangnya.
Pandangan Harjuna ditebarkan mengamati tempat di sekitarnya. Dilihat dari
kebersihan dan perlengkapan yang ada, tempat ini masih aktif digunakan untuk
latihan memanah. Lalu siapa orangnya? Apakah ia yang memanah anjingku? Sembunyi
di mana ia?
Harjuna,
satria berbudi halus dan suka menolong tersebut, perlahan-lahan dirambati
perasaan marah. Darahnya menghangat dan mulai mendidih.
“Kurang
ajar! Jika engkau satria keluarlah! Hadapi aku......”
Harjuna
adalah murid Pandhita Durna yang masuk kategori lantip, cerdas dan cepat
tanggap akan sasmita perlambang yang diberikan gurunya. Oleh karenanya sebelum
sang Guru Durna menyelesaikan ceritanya, Harjuna sudah mampu menangkap bahwa
Gurunya secara tidak langsung telah mengangkat raja muda Paranggelung sebagai
muridnya.
“Bapa
Guru yang aku hormati, jika berkenan sebaiknya cerita mengenai raja muda yang
rupawan, sakti dan rendah hati dicukupkan. Kami sesungguhnya tidak mempunyai
hak untuk melarang sang Guru mengangkat murid baru. Demikian pula kiranya
seorang Guru tidak berhak melarang muridnya berguru kepada guru yang lain.
Tetapi bukankah selama ini pengangkatan murid-murid Sokalima selalu melibatkan
saudara tua perguruan? Adakah kekhususan untuk murid yang satu ini? Adakah
rahasia yang tidak boleh diketahui oleh murid-murid yang lain?”
“Harjuna
jangan terlalu jauh berprasangka. Jika engkau mau dengan sabar mendengarkan
ceritaku sampai selesai, tentunya akan menjadi jelas bahwa prasangkamu mengenai
diriku keliru. Berhubung engkau telah memotong ceritaku, maka aku tegaskan
bahwa Raja muda itu telah tiba di Sokalima dan belajar ilmu-ilmu Sokalima,
tetapi aku tidak mengangkatnya sebagai murid.”
“Ampun
Bapa Guru, maafkan saya yang khilaf ini.”
Harjuna
menyesal. Karena merasa dirinya diremehkan oleh orang lain, hatinya panas
terbakar, sehingga tanpa sadar ia telah berani memotong cerita Sang Guru.
Nampaknya Durna kecewa atas tindakan murid yang dikasihi tersebut. Ia tidak
ingin memperpanjang suasana yang tidak mengenakkan ini. Maka segeralah ia masuk
ke ruang dalam, meninggalkan Harjuna dan empat saudaranya.
Karena
kedudukannya sebagai murid papan atas di Sokalima telah tergeser oleh murid
lain, padahal keberadan murid tersebut tidak diketahui sebelumnya, dan tiba-tiba
menjadi orang istimewa di Sokalima, Harjuna merasa kesulitan untuk
mengendalikan emosinya, menjernihkan pikirannya dan mendinginkan hatinya. Oleh
karenanya ia ingin segera bertemu dengan raja muda Paranggelung untuk
membuktikan sejauh mana ketampanannya dan menakar seberapa tinggi ilmunya.
Jika
pada awalnya Ekalaya atau juga sering disebut Palgunadi ingin menghindari
Harjuna atas saran Aswatama, namun setelah mendengarkan cerita dari para
cantrik ia tidak sampai hati membiarkan Sang Guru Durna dipojokkan oleh desakan
Harjuna. Maka atas pertimbangan dan kesepakatan Ekalaya, Aswatama dan
Anggraeni, mereka berniat menemui Pandita Durna untuk memohon agar sang Guru
memperkenankan Palgunadi meladeni tantangan Harjuna.
Pada
teriknya siang, mereka bertiga tiba di halaman padepokan Sokalima. Sebelum
kaki-kaki mereka menapaki lantai pendapa induk untuk menemui Guru Durna, ada
lima orang datang menghampiri. Sebelum mereka saling menyapa, Aswatama
memperkenalkan Ekalaya dan Anggraeni kepada Harjuna, Puntadewa, Bimasena,
Nakula dan Sadewa. Pada kesempatan tersebut, Ekalaya memohon maaf terutama
kepada Harjuna, karena khilaf ia telah membunuh anjing pelacak milik Harjuna.
Namun permintaan maaf yang tulus tersebut tidak menyelesaikan masalah. Karena
sesungguhnya bukan itu permasalahannya. Nampaknya Harjuna gagal dalam mencoba
mengendalikan gejolak hatinya yang sangat luar biasa.
Sulit
rasanya menerima kenyataan bahwa Ekalaya secara penampilan mampu mengimbangi
dirinya yang selama ini mendapat julukan lelananing jagad dan lancuring bawana
yang berarti laki-laki tampan yang mampu memberi warna keindahan bagi dunia.
Apalagi ketika dilihatnya Anggreni, wanita yang mendampingi Ekalaya, darah
Harjuna mengalir lebih cepat. Kecantikan dan kemolekan Anggraeni tidak kalah
dibandingkan dengan isteri-isteri Harjuna. Bahkan pendamping Ekalaya ini
mempunyai daya tarik sangat luar biasa yang tidak dimiliki oleh wanita-wanita
lain, termasuk isteri-isteri Harjuna. Keempat saudara Harjuna pun merasakan
bahwa pasangan Ekalaya dan Anggraeni merupakan pasangan ideal yang mempunyai
daya magnet kuat. Siapa saja akan merasa bangga mengenal dan mendapat
kesempatan berbincang-bincang dengan pasangan raja dan ratu dari Negara
Paranggelung tersebut.
Tentunya
dapat dimaklumi jika Harjuna tak kuasa menyiram bara api cemburu yang menyala
di hatinya. Bahkan kesempurnaan Anggraeni sebagai isteri setia Ekalaya bak
minyak yang memercik, maka sekejap kemudian bara api di hati Harjuna mulai
menyala tak terkendali.
“Bocah
Bagus aku ingin mengajakmu bertanding, seperti kebiasaan di Padepokan Sokalima
yang belum pernah engkau jalani.”
“Maaf
Kisanak, aku perlu mendapat ijin dari Bapa Guru Durna.”
“Jangan
mengaku guru kepada seseorang yang tidak pernah mengangkatmu sebagai murid.”
“Aku
tidak peduli! Siapa pun yang telah membantuku menuju kesempurnaan hidup, beliau
adalah guruku. Demikian juga jika engkau dapat membantuku menerapkan ilmu-ilmu
Sokalima dalam arena pertandingan, engkau pun menjadi guruku.”
“Baiklah,
aku ajari engkau cara menarik panah dengan baik!”
Reeeet!!
Dengan gerakan halus namun mengandung daya luar biasa Harjuna menarik busurnya
dan diarahkan ke dada Palgunadi. Semua orang tegang melihatnya. Mereka dapat
merasakan ada kemarahan besar di balik gemeretnya suara busur Harjuna. “Jangan
Adinda, jangan lakukan itu.” Pinta Puntadewa, saudara sulung Harjuna.
“Maaf
Kakanda Punta, bukankah Kakanda juga pernah mengalami jiwa Ksatria yang
terkoyak?”
Kata-kata
Harjuna mengingatkan ketika Puntadewa menjelma menjadi raksasa putih sebesar
gunung karena tak kuasa menahan amarahnya. Maka dibiarkannya adiknya memilih
cara untuk mengatasi kemarahannya yang tidak mudah dikendalikan.
Busur
Harjuna semakin melengkung tajam. Anak panahnya siap menembus dada Ekalaya yang
dibiarkannya terbuka wajar. Tidak lebih dari lima hitungan maka panah Harjuna
akan meninggalkan busurnya menembus dada Ekalaya tanpa perlawanan. Anggraeni
memejamkam matanya dan menggigit bibirnya, tidak tega melihat suaminya ditembus
anak panah Harjuna. Namun ia tidak berbuat apa pun, karena percaya bahwa suaminya
akan mampu menyelamatkan diri.
Wuuuss,
tiba-tiba Sang Guru Durna berdiri di antara Ekalaya dan Harjuna.
Kedatangan
Durna di tengah-tengah mereka memaksa pertikaian antara Harjuna dan Ekalaya
berhenti sementara.
“Aku
dapat merasakan apa yang kalian rasakan. Sebagai seorang ksatria, perang
tanding merupakan cara penyelesaian pamungkas yang terbaik. Kecuali jika salah
satu di antara kalian mau mengalah atau mengaku kalah sebelum bertanding. Itu
pun tidak mungkin kalian lakukan. Pasti! Karena aku tahu watak keduanya. Maka
jangan salah sangka jika aku melarang kalian ber perang tanding. Silakan
berperang tanding, asalkan jelas alasannya.”
“Ampun
Bapa Guru, orang ini telah membunuh anjing pelacakku.”
“Ampun
Sang Maha Resi, aku telah meminta maaf.”
“Bagus!
Sisi lain dari seorang ksatria adalah mau mengakui kesalahannya.”
“Bagaimana
dengan pihak yang tidak melakukan kesalahan, tetapi pihak yang dirugikan?”
“Itu
tergantung orangnya. Jika yang dirugikan seorang Brahmana tentunya ia akan
memaafkan, karena yang bersangkutan telah mengakui kesalahannya. Jika yang
dirugikan seorang raja, ia akan memberi ampun tetapi bersyarat. Syaratnya bisa
hukuman, denda atau yang lain. Jika yang dirugikan adalah seorang Ksatria, ia
dapat memilih di antara keduanya, seperti raja atau seperti brahmana.”
“Ampun
Bapa Guru, bolehkah saya tidak memilih di antara keduanya?”
“Boleh!
Boleh! Apa yang kau pilih Harjuna?”
“Cara
Ksatria sejati. Perang tanding!”
“Bagaimana
Ekalaya?”
”Perang
tanding untuk apa? Jika untuk anjing yang mati aku tidak mau. Lebih baik aku
mengaku kalah dan minta maaf.”
Harjuna
terdiam. Ia kebingungan. Sesungguhnya untuk apa perang tanding? Yang pasti
tidak untuk seekor anjing, melainkan untuk sebuah martabat dan harga diri.
“Bagaimana
jawabmu Harjuna?”
Durna
melemparkan pertanyaan Ekalaya.
“Sebagai
saudara tua seperguruan aku ingin menjajal ilmu Ekalaya.”
“Bagus
Harjuna! Sesungguhnya aku pun ingin menjajal seberapa tinggi tingkat ilmu
seorang lelananging jagad.”
Darah
muda Ekalaya mulai panas. Ia mulai tidak senang, bahkan cenderung muak melihat
sikap ksatria besar seperti Harjuna bersifat arogan, meremehkan sesamanya. Maka
ia sengaja membakar hati Harjuna yang sudah membara. Seperti dikomando,
keduanya melakukan sembah kepada Sang Guru Durna dan memberi hormat kepada Aswatama,
Anggraeni, Puntadewa, Bimasena, Nakula, Sadewa dan para cantrik-mentrik.
Maka
mulailah mereka bertempur. Keduanya sama-sama sakti dan mempunyai bekal ilmu
yang cukup. Jurus demi jurus mereka keluarkan. Ilmu demi ilmu mereka benturkan,
namun keadaan masih berimbang. Mereka yang menyaksikan tegang berdebar
menyaksikan kedua orang sakti beradu ilmu. Beberapa di antaranya menjadi pusing
menyaksikan gerakan-gerakan Harjuna dan Ekalaya. Maka mereka lebih memilih
menjauhi arena pertempuran dan duduk di bibir pendapa.
Hari
menjelang sore, pertempuran belum berakhir. Keduanya sama-sama muda, sama-sama
sakti, sama-sama tampan-rupawan, dan sama-sama menggunakan ilmu-ilmu Sokalima.
“Luar
biasa, ternyata ilmu-ilmu Sokalima sangat dahsyat. Tetapi mengapa aku yang sudah
belasan tahun menjadi cantriknya tidak dapat seperti mereka ya?” Celetuk
seorang cantrik.
“Lha
iya jelas, wong kamu kalau diajari malah tidur,” timpal cantrik yang lain.
Karena
hari mulai gelap dan keduanya sudah kehabisan tenaga maka Durna menghentikan
pertempuran. Dengan wajah cemas Anggraeni memapah suaminya, diajak masuk ke
bilik untuk kemudian dirawat dengan penuh kasih dan kesetiaan. Sedangkan di
pihak Harjuna, Nakula dan Sadewa yang cemas sejak awal pertempuran berlari
mendapati Harjuna untuk diajak berjalan memasuki salah satu bilik yang biasa
ditempati Harjuna. Sementara Aswatama dan para cantrik-mentrik meninggalkan
arena pertempuran untuk menceritakan kepada sanak saudara tentang pengalaman
luar biasa yang baru sekali disaksikan sepanjang hidup mereka.
Suasana
memang menjadi sangat sepi. Durna masih duduk sendirian, tidak ada satu cantrik
pun yang berani mendekat. Tampaklah garis-garis wajahnya semakin dalam, sedalam
kesenduan hatinya, menyaksikan kedua murid pilihan bertaruh antara hidup dan mati.
Jika saat ini keduanya masih hidup, tentunya pada saatnya nanti hanya ada satu
yang hidup. Ekalaya atau Harjuna.
Sejatinya
yang menjadi harapan Durna, pertikaian antara Ekalaya dan Harjuna tidak usah
dilanjutkan. Keduanya sama-sama sakti, ibarat dua sayap Sokalima yang perkasa.
Mereka dapat membawa terbang nama Sokalima tinggi-tinggi, ke segala penjuru
dunia. Sangat disayangkan jika satu di antaranya gugur pada medan harga diri.
Namun itu tidaklah mungkin, karena di antara keduanya masih menyisakan bara api
didadanya. Dinginnya malam di Sokalima tak kuasa mendinginkan hati mereka yang
bertikai.
Dari
masing-masing bilik yang ditempati Harjuna dan Ekalaya memancar energi yang
saling bertemu sehingga bagi para cantrik yang kebetulan lewat di antara kedua
bilik tersebut, pasti akan terkejut, dikarenakan ada sengatan hawa panas yang
tidak mengenakkan.
Walau
di dalam komplek padepokan Sokalima ada perbawa hawa panas, di depan pintu
gerbang padepokan menebar energi lembut penuh kedamaian lewat kidungan cantrik jaga
yang terbawa angin. Jika yang sedang bertikai mau membuka jendela hati dan
membiarkan kidungan malam itu menyusup ke relung-relungnya, niscaya tidak
mustahil pertempuran lanjutan yang tentunya lebih dahsyat tidak akan pernah
terjadi.
Tidak
peduli didengar atau pun tidak didengar, dirasakan maupun diabaikan, kidung
malam tetap mengalun dari bibir cantrik tua yang berkulit kehitam-hitaman.
Tidak
beberapa lama kemudian, cantrik tua yang menjadi sumber suara kidungan tak
kuasa menahan kantuknya, ia berbaring di gardu jaga. Akhirnya kidung malam yang
mengingatkankan bahwa manusia ini lemah tak berdaya tetapi congkak dan tinggi
hati, tak mau mengakui kelemahannya, hilang tak berbekas, tertutup suara burung
hantu kutu-kutu walang ataga atau serangga-serangga malam yang saling
bersahutan. Dengan demikian daya kidungan tersebut tak pernah menembus bilik
mereka yang bertikai. Bilik hati Harjuna dan Ekalaya
Malam
kian larut, tidak ada lagi senda gurau di antara para cantrik yang jaga, tidak
terdengar lagi kidung malam. Hari menjelang dini hari, tidak seperti biasanya
Guru Durna duduk sendirian di ruang tengah. Disorot lampu temaram, tampaklah
bahwa ia sedang berduka, duka yang sangat dalam. Baru kali ini sebagai guru
besar ia tak kuasa menghentikan pertikaian kedua muridnya. Yah walaupun secara
resmi Ekalaya tidak diangkat menjadi muridnya, tetapi jujur saja secara batin
Durna telah mengangkat Ekalaya sebagai muridnya. Apalagi diperkuat dengan
adanya patung Durna di Sanggar Ekalaya yang dijadikan pusat konsentrasi dalam
mempelajari ilmu-ilmu Sokalima.
Selagi
masih ada kesempatan, Durna berusaha mencegah kemungkinan yang paling buruk
yaitu kematian salah satu di antara keduanya. Namun usaha Durna hanya mampu
menunda saatnya. Karena permasalahannya sudah merambah pada harga diri, hal
yang paling berharga bagi seorang kesatria. Dan penyelesaiannya hanya satu
yaitu perang tanding. Dua hari lagi di saat bulan purnama mereka akan berperang
tanding antara hidup dan mati.
Kabar
tentang perang tanding antara Harjuna dan Ekalaya telah tersebar tidak hanya di
wilayah padepokan Sokalima, tetapi jauh di luar Sokalima. Di tanah lapang yang
biasanya menjadi tempat pendadaran murid-murid Sokalima, malam itu menjadi
istimewa. Sejak sore hari ribuan orang mulai berdatangan. Mereka ingin meyaksikan
lanjutan pertandingan maha dahsyat di abad ini.
Di
tengah kerumunan orang yang jumlahnya mencapai ribuan, Durna berdiri tegar di
antara keduanya, Harjuna dan Ekalaya. Detik-detik purnama telah muncul di ufuk
timur. Harjuna dan Ekalaya telah mempersiapkan diri. Demi sebuah harga diri,
mereka telah siap menghadapi kemungkinan yang paling buruk, yaitu kematian.
Sebentar
kemudian perang tanding dimulai. Bayangan keduanya tidak dikenali lagi yang
mana Ekalaya dan yang mana Harjuna. Seperti pertandingan pertamanya, sebagian
besar dari mereka pandangannya kabur dan kepalanya menjadi pusing.
Sebelum
menyadari apa yang terjadi tiba-tiba Harjuna terlempar ke luar arena. Sorak
membahana dari penonton menambah bara api di dada Harjuna menjadi semakin
menyala. Ia mulai tak sabar, tangannya manyambar busur yang telah disiapkan di
pinggir arena. Bruull! Ribuan anak panah keluar dari busurnya. Dengan tenang
Ekalaya menyambut hujan panah yang diluncurkan Harjuna. Hanya hitungan detik
patahan anak panah jatuh berserakan di antara Harjuna dan Ekalaya.
Perang
adu kesaktian ilmu memanah berlangsung lama. Pada akhirnya Harjuna mengeluarkan
pusaka andalan Sokalima yang diwariskan Guru Durna kepadanya yaitu pusaka
Gandewa. Pusaka tersebut memancarkan cahaya berkilau yang menyilaukan mata.
Reketek!!
Pusaka gandewa ditarik oleh Harjuna. Durna sangat terkejut, ia ingin
mencegahnya namun terlambat. Dari pusaka gandewa telah meluncur ribuan anak
panah yang tak habis-habisnya, mengarah pada Ekalaya. Semua penonton tercengang
memandangnya. Sungguh luar biasa.
Aswatama
yang pernah kecewa karena Rama Durna telah mewariskan pusaka dahsyat kyai
Gandewa kepada Harjuna, mencemaskan keselamatan Ekalaya sahabatnya yang
dihujani ribuan anak panah yang muntah dari busur Gandewa. Wah gawat!! Namun
setelah menyaksikan bagaimana Ekalaya menyambut hujan panah yang dilontarkan
Harjuna, dengan busur pusaka yang tak kalah dahsyatnya dengan pusaka Gandewa,
kecemasan Aswatama berkurang. Namun ketegangan justru semakin bertambah. Tidak
saja bagi Aswatama, tetapi juga dirasakan oleh mereka yang menyaksikan ribuan
anak panah saling beradu dan meledak-ledak di angkasa Sokalima.
Malam
bulan purnama semakin bercahaya karena dihiasai oleh percikan-percikan api
warna-warni akibat beradunya ribuan anak panah yang dilontarkan Harjuna dan
Ekalaya. Kejadian yang luar biasa tersebut membuat Kahyangan Jonggring Saloka
gonjang-ganjing. Ada hawa panas menebar di seluruh wilayah para dewa tersebut,
di tempat Batara Guru bertahta. Karena terusik kenyamanannya diutuslah Patih
Narada untuk melerai pertikaian antara Harjuna dan Ekalaya. Dalam perjalanan
menuju ke Marcapada, Hyang Narada tertegun melihat pemandangan di depannya,
tepat di atas langit Soka Lima. Ada percikan cahaya api warna-warni silih
berganti. Sampai sehebat inikah kesaktian keduanya? Layak jika pengaruhnya
sampai ke Kahyangan Jonggring Saloka. Maka tanpa membuang waktu, Dewa nomor dua
di Kahyangan Jonggring Saloka tersebut segera turun ke arah yang sedang
bertikai. Namun niat Patih Narada terhalangi oleh asap hitam pekat yang muncul
tiba-tiba menyusul suara ledakan menggelegar. Awan hitam tersebut semakin tebal
bergulung-gulung menyelimuti langit Soka Lima. Bersamaan dengan suara ledakan
dahsyat, Batara Guru diiringi para Dewa dan Dewi turun dari Kahyangan ingin
menyaksikan apa yang terjadi di Marcapada.
Suasana
menjadi sangat mencekam. Malam bulan purnama yang sebelumnya semakin mempesona
dengan adanya percikan-percikan api warna-warni kini menjadi gelap gulita dan
sepi mencekam. Tidak ada lagi sorak sorai dan tepuk tangan dari para penonton
yang menyaksikan perang-tanding antara Ekalaya dan Harjuna. Melihat keadaan
yang semakin tidak nyaman, Batara Guru memerintahkan agar para Dewa-Dewi
menaburkan bunga-bunga dengan aroma nan wangi untuk menyingkirkan asap hitam
yang menyelimuti Soka Lima. Sekejap kemudian hujan bunga telah mengguyur Soka
Lima. Daya dan aromanya mampu menyibak asap hitam yang menutupi kejadian besar
yang ada di Soka Lima. Pelan tapi pasti, asap hitam pekat yang menutupi
padepokan Soka Lima berangsur-angsur menghilang. Malam bulan purnama menjadi
sempurna kembali. Malam menjadi mempesona. Ribuan penonton perang tanding yang
sejak sore berdatangan di Soka Lima belum beranjak dari tempatnya. Mereka yang
telah menumpahkan perhatiannya dengan segenap rasa-perasaan dan emosinya di
dalam perang tanding tersebut semakin dibuat terheran-heran dengan kejadian
berikutnya.
Tanah
lapang di Soka Lima, tempat Harjuna dan Ekalaya bertanding, kini penuh
bertaburan bunga warna-warni dengan aroma keharumannya masing-masing. Asap
tebal yang muncul akibat ledakan yang ditimbulkan karena beradunya kedua busur
pusaka milik Harjuna dan Ekalaya kini telah berganti dengan para Dewa-Dewi yang
mengiringi Batara Guru yang menyusul Batara Narada untuk menghentikan yang sedang
bertikai.
“Kang!
Bermimpikah aku?”
“Coba
aku cubit lenganmu”
“Aduh!
Sakit kang.”
“Itu
namanya kamu tidak sedang bermimpi. Kau dan aku berada di dalam alam sadar.”
“Tetapi
lihatlah itu kang, langit di sekeliling kita penuh dengan gambar para dewa yang
sangat mempesona dan para dewi yang amat jelita.”
“Ssst!
Jangan keras-keras dan gumunan isteriku, itu adalah para Dewa dan para Dewi
yang mengiringi Batara Guru dan Batara Narada, ingin melerai perang tanding
antara Harjuna dan Ekalaya.”
Sepasang
suami isteri tersebut tidak memperpanjang pembicaraannya. Mereka bersama-sama
ribuan penonton yang lain lebih memilih memusatkan perhatiannya dengan apa yang
akan dilakukan Batara Guru dan Batara Narada terhadap Harjuna dan Ekalaya yang
tergeletak tak berdaya. Dikarenakan mereka berdua telah menguras tenaga dan
ilmunya untuk memuntahkan puluhan ribu anak panah melalui busur pusakanya
masing masing. Pada puncaknya Busur Gandewa milik Harjuna dan busur pusaka
milik Ekalaya saling menyedot dan beradu. Maka terjadilah ledakan amat dahsyat
disertai asap hitam pekat yang bergulung-gulung, menggulung kedua busur pusaka
hingga hilang tak berbekas.
Durna
tergopoh-gopoh menyembah rajanya dewa serta pengiring yang menginjakkan kakinya
di Soka Lima. Setelah menanggapi sembah Durna dan juga sembah dari ribuan orang
yang hadir, Batara Guru didampingi Batara Narada mendekati Ekalaya dan Harjuna
untuk kemudian memercikkan air kehidupan kepada mereka. Setelah itu didekatinya
orang nomor satu di Soka Lima sembari bersabda:
“Durna
selesaikan pertikaian di antara muridmu dengan adil.”
Sekejap
kemudian Batara Guru dan seluruh pengiringnya meninggalkan Soka Lima. Malam pun
pulih seperti malam purnama sebelumnya, sebelum ada pertikaian yang menimbulkan
hawa panas ke seluruh alam semesta dan mengusik kenyamanan alamnya para
Dewa-Dewi. Soka Lima berangsur-angsur pulih seperti hari-hari biasa yang tenang
dan damai jauh dari mereka yang bertikai.
Orang-orang
mulai melangkah pulang dengan perasaan yang sulit digambarkan dan terlalu
banyak untuk diceritakan. Namun di masing-masing hati masih tersisa pertanyaan
bagaimanakah akhir dari pertikaian antara hidup dan mati. Dan kalau boleh
mereka berharap bahwa pertikaian akan berubah menjadi perdamaian dan
persahabatan.
Memang
benar, di sisa malam itu Soka Lima boleh menikmati ketenangan dan ketentraman,
dikarenakan yang bertikai terbaring tak berdaya. Bahkan mungkin jika Sang Hyang
Guru tidak memercikkan air kehidupannya di raga mereka yang lemah, tidak ada
kehidupan lagi. Dengan demikian tentunya akan tamatlah pertikaian mereka
bersama kerapuhan raganya. Ketika pertarungan tersebut Arjuna melihat ada ilmu
yang berbeda yang dimiliki oleh Ekalaya.
Saat pagi yang cerah tiba, udara yang
semilir menyentuh kulit hingga terasa dingin. Tidak jauh dari kediaman Kerajaan
Paranggelung, Sang Prabu Palgunadi sedang mengadakan pisowan Agung. Ia
mengadakan sayembara menamah dalam istana untuk mengadakan pesta karena telah
kembali dari perburuan, saat memanah Prabu Palgunadi begitu hebat menggunakan
panah melebihi Arjuna. Melihat sang Prabu Palgunadi yang begitu hebat
menggunakan ilmu sapta tunggal Arjuna merasa cemburu oleh Begawan Drona ia
meminta untuk ditambah ilmu keskatian saat memanah.” Guru, kenapa Palgunadi
lebih hebat dari saya padahal ilmu yang digunakan sama...?”, keluh Arjuna.
Saat pisowan itu Arjuna yang memakai tutup
muka memanah dengan memberi bunga pada sang dewi, Prabu Plagunadi terkejut dan
terheran. Walaupun ia jago mengolah gandewa tapi tidak dapat melakukan apa yang
dilakukan Arjuna.
Drona saat sepi segera mendatangi Ekalaya.
Saat akan mulai pertandingan yang ketiga, Prabu Ekalaya, harus mengalah. Prabu
Ekalaya tak sanggup untuk mengalah, Maafkan
aku Bapa Resi, hal itu tidak mungkin dapat aku lakukan. Aku tidak dapat
berpura-pura untuk kalah. Karena ketika tangganku telah menarik busur dan
memegang anak panah, ada daya luar biasa yang terhimpun dengan sendirinya di
seluruh budi, pikiran dan sekujur tubuhku serta otot bebayuku, guna menghadang
serangan musuh.”
“Oo
lole, lole blegudhug monyor-monyor prit gantil buntute bedhug. Lalu ilmu apa
yang engkau gunakan?“
“Maafkan
aku Bapa Resi Durna, pada tataran luar aku menggunakan ilmu Sapta Tunggal, ilmu
andalan Soka Lima, tetapi tenaga dalamnya berasal dari pusaka Mustika Ampal.”
“Mustika
Ampal?”
”Bapa
Resi, Mustika Ampal adalah pusaka pemberian Sang Hyang Wenang, wujudnya adalah
cincin. Menurut Ramanda Prabu Hiranyandanu, cincin Mustika Ampal dianugerahkan
ketika Ramanda sedang melakukan tapa guna memohon agar anak yang ada dalam
kandungan sang prameswari kelak dapat memimpin Negara Nisada dengan adil dan
bijaksana. Ramanda juga mengisahkan bahwa cincin Mustika Ampal mempunyai daya
sangat luar biasa dan ketepatan yang akurat pada saat digunakan untuk menarik
busur dan melepaskan anak panah. Sehingga sudah menjadi kehendaknyalah Mustika
Ampal dianugerahkan kepada calon raja di Negara Nisada, di mana seluruh
rakyatnya terampil menggunakan panah.
Bapa
Resi, dikarenakan Cincin Mustika Ampal dikenakan di ibu jariku sejak bayi,
hingga sekarang setelah aku menjadi raja di Negara Nisada atau Paranggelung
menggantikan Ramanda Prabu yang telah wafat, cincin tersebut telah berada di
bawah kulit dan di luar daging, menyatu dengan ibu jari tanganku. Oleh karena
Cincin Mustika Ampal itulah aku tidak mungkin untuk berpura-pura kalah. Kecuali
jika serangan musuh lebih dahsyat daripada kekuatan Cincin Mustika Ampal.”
Pantas,
pusaka Gandewa dapat dihadang dengan kekuatan Mustika Ampal. Bahkan pusaka
pemberian Dewa Indra yang baru saja diwariskan kepada Harjuna tersebut hancur
lebur musnah tak berbekas.
Tiba-tiba
hati Pandita Durna terusik. Ilmu-ilmu yang digunakan Ekalaya tidak murni ilmu
Sokalima, tetapi telah dipadukan dengan sipat kandel pribadi yang didapat sejak
masih bayi. Walaupun Harjuna juga menimba ilmu di banyak tempat, ilmu-ilmu yang
digunakan dalam perang tanding adalah ilmu-ilmu yang diajarkan di
Sokalima.Membandingkan di antara keduanya sang Guru besar tersebut tak kuasa
lagi berdiri di tengah secara adil. Ia mulai berpihak kepada Harjuna, murid
mula pertama yang patuh berbakti dan telah mengangkat nama Sokalima melambung
tinggi berkat ilmu-ilmu yang selalu digunakannya. Tak terkecuali ketika
berperang tanding melawan Ekalaya.
“Ekalaya,
jika niatmu tidak berubah, mau mengalah dengan cara berpura-pura kalah dalam
perang tanding, ada cara yang dapat ditempuh, yaitu jika Cincin Mustika Ampal
tersebut dilepas untuk sementara.”
“Ampun
Bapa Resi Durna, bagaimana bisa dilepas, Mustika Ampal telah jadi satu dengan
ibu jari tangan kananku.”
“Ekalaya,
apakah engkau tidak percaya bahwa aku dapat melakukannya?”
“Ampun
Bapa Resi, maafkan aku yang bodoh ini, maafkan aku.”
Dengan
tergopoh-gopoh Ekalaya menyembah Sang Resi Durna, beringsut mendekat, sembari
mengulurkan ibu jari tangan kanannya, tempat Cincin Mustika Ampal berada.
Sang
Guru bertanya kepada muridnya,
“Tidak
percayakah engkau padaku Ekalaya?”
“Ampun
Bapa Resi, bukan maksudku untuk tidak mempercayai kemampuan Bapa Resi Durna.
Aku percaya, Bapa Resi mampu melakukannya. Silakan Bapa Resi, ambilah cincin
Mustika Ampal ini dari ibu jari tanganku.”
Pandita
Durna ingin menunjukkan bahwa dirinya adalah guru yang mumpuni dan menguasai
berbagai ilmu tingkat tinggi. Sehingga tidak akan kesulitan dalam melepas
Cincin Mustika Ampal, walaupun sudah manjing menjadi satu dengan ibu jari tangan
kanan Ekalaya.
Ekalaya
memberikan tangan kanannya kepada seorang yang sangat ia hormati. Tangan itu
bergetar tanpa dapat dicegahnya. Dengan amat perlahan Durna mencoba
mengeluarkan cincin Mustika Ampal itu.
Satu
kali, dua kali usaha Durna belum berhasil. Cincin tersebut masih terpendam
rapat di antara kulit dan daging. Walaupun tidak kelihatan mencolok, Durna
telah mengerahkan sebagian besar tenaga dalamnya, sehingga keringatnya susul
menyusul meninggalkan dahinya yang semakin berkerut. Dikarenakan tangan Ekalaya
bergetar, Durna menganggap bahwa Ekalaya telah menghimpun energi untuk
menghalangi pengambilan Mustika Ampal
“Ekalaya,
jangan berusaha menahan cincin Mustika Ampal.”
“Ampun
Bapa Resi, aku tidak menahannya. Tangan ini bergetar dengan sendirinya.”
Durna
mencoba lagi. Kali ini ia mengerahkan seluruh kemampuannya. Tangan Ekalaya dan
tangan Pandita Durna bergetar semakin cepat dan semakin kuat. Pusaran hawa
panas memancar dari kedua tangan tersebut.
Panas,
panas dan semakin panas.
“Aduh!
“
Tiba-tiba
Ekalaya mengeluh pendek. Kemudian terkulai di lantai bilik.
Mendengar
bahwa suaminya dalam bahaya, Anggraeni segera masuk ke biliknya,“Kangmaaass!”
Anggraeni
menubruk Ekalaya yang tergeletak tidak sadarkan diri. Sungguh amat mengejutkan,
ibu jari Ekalaya telah tiada. Dan meninggalkan luka memilukan. Anggraeni tahu
bahwa di ibu jari itulah pangkal kesaktian suaminya. Jika sekarang ibu jari
tersebut telah tiada, artinya bahwa kesaktiannya telah lenyap.
Namun
sekarang Cincin Mustika Ampal yang telah mempecundangi nama besar Sokalima di
hadapan orang banyak berada dalam genggamannya. Apa yang dapat kau lakukan,
Ekalaya, menghadapi Harjuna tanpa Cincin Mustika Ampal. Tiba-tiba hati Durna
telah dibakar oleh sakit hatinya, karena ilmu-ilmu Sokalima yang diperagakan dengan
sempurna oleh Harjuna, murid kesayangannya, tak mampu mengalahkan Ekalaya.
Durna
menimang-nimang Cincin Mustika Ampal, menuju bilik Harjuna. Namun sebelum
tangan Durna mengetuk pintu, Harjuna telah membukakannya.
“Silakan
masuk Bapa Guru Durna.”
“Harjuna,
aku membawa pusaka dahsyat, namanya Cincin Mustika Ampal. Dengan pusaka ini
engkau dapat mengalahkan Ekalaya dengan mudah. Kenakanlah pusaka ini pada ibu
jari tangan kananmu, serta tunjukkan kepadanya dan kepada banyak orang bahwa
ilmu Sokalima tak terkalahkan.”
Harjuna
menyembah, kemudian memberikan tangan kanannya. Pandita Durna segera mengenakan
Cincin Mustika Ampal di ibu jari Harjuna sebelah kanan.
Sungguh
ajaib!
Dengan
masih menyisakan rasa herannya, Durna dan Harjuna mengamati keajaiban itu. Jari
tangan Harjuna bertambah satu, sehingga jumlahnya menjadi enam.
“Dimanakah
Cincin Mustika Ampal yang disebut-sebut Bapa Guru?”
“Ada
di dalam ibu jari yang baru itu Harjuna.”
Harjuna
juga ingin membuktikan daya kekuatan dari Cincin Mustika Ampal. Maka segeralah
satria Panengah Pandawa tersebut menyahut busur serta anak panahnya, lalu pergi
keluar dari biliknya. Di tengah gulita malam, Harjuna melepaskan anak panahnya
ke arah pohon beringin yang berdiri angker di sudut halaman komplek bilik-bilik
siswa Sokalima. Jari tangan yang berjumlah enam menjadi sangat pas untuk
membidikan anak panah. Bagai suara ribuan kumbang, anak panah itu telah melesat
meninggalkan busurnya. Sekejap kemudian, luar biasa akibatnya, ribuan sulur
pohon beringin putus berserakan menumpuk di tanah. Sehingga pohon yang semula
dinamakan beringin wok, pohon beringin yang mempunyai brewok itu, menjadi
bersih tanpa brewok lagi.
Harjuna
tertegun atas daya luar biasa yang ditimbulkan oleh pusaka Cincin Mustika Ampal
pemberian Bapa Guru Durna. Segera setelahnya, Harjuna memberi sembah dan
mengucap terimakasih yang tak terhingga atas pusaka dahsyat pemberian sang guru
besar Sokalima itu. Kemudian Harjuna berjanji akan mengalahkan Ekalaya pada
pertemuan yang ke tiga kalinya nanti, dengan ilmu-ilmu Sokalima yang dilambari
Cincin Mustika Ampal.
Hatinya
Dewi Angggaini saat Arjuna datang ke kaputren ia sangat sedih, Maka Arjuna
menghiburnya. “Cah ayu kamu kenapa?”, tanya Arjuna. “Aku tidak apa – apa kang
mas”. Bersama para punkawan Arjuna menyandungkan gending – gending jawa dengan
kidung asmara. Merasa terhibur oleh hati sang Dewi. Sang dewi mulai menampakan
senyum kembali. Ini membuat hati Arjuna berbunga – bunga ketika melihat senyum
bibirnya yang mempesona.
“Kang
mas, kenapa kang mas kesini?”, tanya sang dewi. “Aku kesini untuk melihat sang
dewi yang mempesona hatiku”. Dengan rayuan manis keluar dari mulut Arjuna. “Ah
kang mas bisa saja”. Mereka berdua sedang tetaman asmara yang maha dashyat.
Hingga terlupa semua kejadian yang ada. Gelora asmara yang ada pada Arjuna
melupakan semua pertandingan yang akan dilaksanakan sang Guru. Sesaat kemudian
ia teringat, terperanjatlah Arjuna. “Ada apa kang mas?’, tanya sang dewi.
Sebenarnya sang dewi ingin agar Arjuna melupakan pertandingan yang akan
dilaksanakan. “Maaf diajeng Angraini, saya ada urusan sebentar”. Arjuna segera
meningglkan kaputren. Ekalaya yang melihat istri bersama pria lain mersa
cemburu. Saat malam menjelang, sang dewi menemui suaminya Ekalaya. “Bagaimana
keadaan kang mas Prabu?”. “Aku tidak apa – apa”. “Diajeng jangan kau tinggalkan
aku sendirian”. Mendengar perkataan suaminya dewi Anggarini, tergugah hatinya.
Ia tidak akan meningglakan suaminya lagi.
Pagi
hari yang cerah, burung merdu berkicauan. Diatas pepohonan yang rindang membuat
suasana hati menjadi bahagia. Tetapi tidak bagi sang dewi. Karena ini saat
pertandingan antara Prabu Ekalaya dan Arjuna dimulai. Maka membuat hati sang dewi sangat was – was dan cemas.
“Aku tidak ingin kedua terluka”. Maka sang dewi menyusulnya kedalam hutan.
Pertarungan
Antara Arjuna dan Ekalaya dimulai disansikan puluhan raja dari berbagai
kerajaan. Pertandinganpun segera
dimulai, “hai Palgunadi menyerahlah engkau padaku”, teriak Arjuna. “Jangan
suruh aku menyerah wahai Palguna, inilah jiwa satriaku”,jawab Ekalaya. Pukulan
pertama dilancar Arjuna.
Ekalaya
yang sudah lenyap kesaktiannya tidak bisa bangkit dari pukulan Arjuna. Bertubi
– tubi Ekalaya menerima pukulan Arjuna. Drona yang meliaht Ekalaya tergopoh
menghadapi Arjuna.” Lanjutkan...terus! Lanjutkan... Terus!” , teriak sang
resi. Arjuna mau menghentikan
pertandingan tidak jadi, karean ia mendenagr perinath gurunya.Tiba – tiba sang
Dewi datang memeluk suaminya ini membuat ia membenci Arjuna.
Walaupun
perasaan asmara yang kian mempesona dalam pandangan , tapi berubah ketika
melihat suaminya terbaring jatuh dan ditertawakan oleh raja – raja yang hadir
menyaksikan. “Mana perasanmu Droan
sebagai seorang resi” terdiam Drona tanpa ada kata – kata dari mulut. “Dan
kalian para raja mana jiwa satria kalian”. Tetegun seketika tawa para raja.
“Dan kamu Arjuna tegakah kamu menyayat hatiku ini”, terdiam sang Arjuna.
“Dewi....., Dewi Anggraini.... Bukan begitu maksud saya”.
Dewi
Anggaini segera membawa suami meninggalkan pertandingan, dengan tatapan tajam
ia terus memandang Arjuna. Dewi Anggraini segera naik kuda bersama Palgunadi.
Dibawalah Prabu Palgunadi ke istana, suara prak.... Prak...! Tinggal kedengaran
jauh kuda tersebut meningglakan pertandinagan.
Dewi
Anggraini tiba di Paranggelung, sang suami segera dibaringkan ditempat tidur.
“Bertahanlah kang mas”. “Diajeng jangan tinggalkan aku”. Dengan suara terpatah
–patah suara yang diucapkan Ekalaya. “Kanda harus bertahan”. Tiba napas sang
Prabu tidak terasa dan detang jantung tak terdengar lagi. “ Kanda jangan tinggalkan
aku”.Karena tidak tertolong lagi maka Prabu Palgunadi meninggal. Kanda
Prabu...!, kanda Prabu....!. Melihat suaminya telah tiada. Dewi Anggraini mau
menyusul kematian suaminya, dengan patrem ia menusuk tubuhnya, maka sang dewi
ikut Meninggal.
Arjuna
yang melihat dewi Anggraini yang tak mempedulikan segea rmenyusul ke
Paranggelung. Dengan sigap ia naik kuda, di cambuknya, suara
prak....!.prak.......!Meninggalkan sang resi. Sang resi yang gelagat Arjuna
yang tak ada peduli anjuran guru, maka disusullah Arjuna yang pergi ke
Paranggelung. Dengan secepat kilat Arjuna sampai di Paranggelung.
Ia
segera mencari Dewi Anggraini, tanpa diduga sang dewi sudah tiada. Hati Arjuna
menjadi putus asa. Melihat Arjuna yang telah kehilangan cinta, maka sang Guru
segera memeluknya. Ini menghilangkan cintanya pada Anggraini dan Karena ilmu
telah sempurna maka sang guru mengajaknya untuk kembali ke Sakolima. Dengan
hati yang sudah teriris – iris Arjuna mengikuti gurunya. Drona dan Arjuna
meninggalkan Paranggelung. Prak ....! Prak..... Akhirnya tiba di Sakoalima dan
para saudara – saudaranya telah menunggu kedatangannya.
Sementara itu, sesampainya di keraton
Astinapura, Patih Sengkuni melaporkan kepada raja, bahwa lenga tala gagal
direbut. Sekarang dibawa pergi oleh seorang pandhita sakti. Bahkan ia telah
mengangkat murid Pandhawa dan membawa serta mereka ke padepokannya.
Duryudana dan para Kurawa merengek-rengek
memohon kepada raja agar Pandhita sakti tersebut diangkat menjadi Guru Istana.
“Ampun Kakanda Prabu, perlu menjadi pertimbangan,
ia mau menjadi guru para Kurawa asalkan Pandawa lima diperkenankan masuk
istana, pada hal beberapa waktu yang lalu Kanda Prabu telah mengusir mereka.”
“Jika demikian biarlah anak-anakku yang
datang berguru ke padanya”
“Ampun Kakanda Prabu, langkah tersebut
akan merosotkan kewibawaan paduka raja,”
“Lantas bagaimana pendapatmu Patih
Sengkuni?”
“Kanda Prabu, sebelumnya aku ingin mencari
padepokannya untuk kemudian memaksa dia datang di istana tanpa Pandawa Lima”
Mendengar rencana Patih Sengkuni, Duryudana
yang menyaksikan sendiri kesaktiannya padhita tersebut bertanya, lalu siapa
yang mampu memaksanya?
Sengkuni sempat gelagepan, namun ia
kemudian berkata, “Aku akan memerintahkan satu bregada prajurit untuk mengepung
dan kemudian menangkapnya.
“Sengkuni! Apakah untuk mendapatkan
seorang guru tidak boleh dengan cara paksa. Jika terjadi korban nyawa apakah
engkau mau bertanggungjawab?
“Maksud saya tidak begitu Maha Resi Bisma.
Apa yang akan kami lakukan ini semata-mata merupakan tanda bakti kepada raja.
Karena jika nantinya para putra raja mendapatkan guru yang sakti, dan menyerap
ilmunya, mereka akan mampu menjaga, memperkuat dan memperluas kerajaan
HAstinapura”
“Sengkuni, Sengkuni, apakah engkau tidak
pernah melihat guru sakti di HAstinapura ini? Coba kamu jawab dengan jujur,
tidak adakah Guru Sakti di HAstinapura? Sengkuni!”
“Ada, ada Maha Resi, bahkan tidak sekedar
ada, tetapi banyak. Jumlahnya kira-kira ratusan, ee mungkin bisa mencapai
ribuan. Sedangkan yang diangkat menjadi guru istana saja sudah seratus lebih.
Padahal gaji mereka…” “Cukup!! Sekarang jawab pertanyaanku, apakah para Kurawa
telah menyerap semua ilmu dari mereka, terutama para guru yang digaji istana?”
Eee sudah, eh belum dhing. Maksud saya semua ilmu telah diajarkan dan dipahami,
tetapi belum semua di kuasai.” “Bagus, lalu apa usahamu agar para Kurawa mampu
menyerap ilmu para guru istana dengan baik? “
Ampun Maha Resi Bisma, jika bibir ini
menjadi panjang, salah satunya karena setiap waktu aku selalu mengatakan kepada
keponakanku para kurawa, belajarlah yang tekun dan rajin. Tetapi memang
mempelajari ilmu-ilmu tingkat tinggi tidak cukup dengan rajin dan tekun, tetapi
membutuhkan bakat dan kemampuan” “Jadi menurutmu cucu-cucuku para Kurawa itu
rajin dan tekun?” Iya, eee kadang-kadang rajin, dan kadang-kadang tekun. Eee
rajin kok, tetapi” “Sengkuni, engkau akan mengatakan bahwa para Kurawa itu
tekun dan rajin tetapi tidak berbakat dan tidak mampu menguasai ilmu-ilmu
tinggi?” “Tidak demikian Sang Maha Resi, para Kurawa itu mempunyai bakat dan
kemampuan, tetapi belum ada guru yang mampu menggali bakat dan kemampuannya”
“Sengkuni! Engkau jangan menyalahkan para
guru istana! Engkau menganggap aku buta? Tidak dapat melihat kenyataan yang
sebenarnya? Bukankah para Kurawa tidak dengan sungguh-sungguh menyerap ilmu
dari para guru istana? Dan itu sesungguhnya menjadi tanggunggjawabmu untuk
memotivasi mereka.”
“Ampun Maha Resi, hamba ini seorang Patih,
tugas hamba mengabdi kepada negara dan raja. Bukan sebagai pengasuh anak-anak
raja.” “Baik! Jika demikian jangan ikut campur dalam hal mencari guru untuk
para Kurawa. Anak Prabu Destarastra, ijinkanlah aku sendiri yang akan menemui
guru sakti yang diinginkan anak-anakmu. Pertimbanganku agar para Kurawa dan
para Pandawa menyerap ilmu dari guru yang sama, dengan aturan dan disiplin yang
sama serta sumpah ketaatan yang sama pula. Sehingga dengan demikian ada harapan
untuk mempersatukan diantara mereka.”
Destarastra setuju usul Resi Bisma, karena
sesungguhnya ada harapan yang sama, agar diantara anak-anaknya dan anak-anak
Pandudewanata hidup berdampingan dengan rukun. Tetapi entah apa sebabnya
benih-benih permusuhan telah tumbuh lebih cepat dari pada benih-benih
kerukunan.
Dengan pertimbangan bahwa Yamawidura
mengetahui letak padepokan, tempat Pandhita Sakti berada, maka Destarastra
memerintahkan kepada Yamawidura untuk mengiring Resi Bisma. Menurut keterangan
Sadewa, sewaktu mohon restu kepada Ibunda Dewi Kunthi ke Panggombakan, ia
beserta keempat saudaranya selama beberapa waktu tinggal di Padepokan Sokalima
yang terletak di tapal batas wilayah Negara Pancalaradya, untuk berguru kepada
Padhita Durna.
Pada hari yang telah disepakati, sebelum
matahari terbit, Resi Bisma diiringi Yamawidura keluar dari Kestalan Keraton
HAstinapura, menuju arah tenggara. Derap dari delapan kaki kuda yang mereka
tumpangi, meninggalkan debu yang terbang terbawa angin dan menempel pada
lekuk-lekuk bangunan Keraton HAstinapura yang indah.
Di tengah terik matahari, Resi Bisma dan
Yamawidura sengaja tidak berhenti, agar segera sampai di Padepokan Sokalima,
tempat Pandhita Durna menggembleng cantrik-cantriknya, termasuk Pandhawa Lima.
Jika pun harus istirahat, sekedar untuk memberi makan minum kuda-kuda mereka.
Dilihat pada garis-garis wajahnya, Resi
Bisma sudah tidak muda lagi, bahkan dapat dikatakan lanjut usia, namun badannya
masih tegap dan jiwanya masih tegar, jauh lebih muda dari usia yang sebenarnya.
Sorot matanya tajam bagai rajawali. Segudang ilmu sakti yang ia pelajari sejak
masa kanak-kanak, masih melekat kuat di badan dan jiwanya. Waktu muda ia
mendapat tiga anugerah besar yaitu; umur panjang sampai tujuh turunan, tidak
pernah kalah dalam berperang dan tidak dapat mati jika tidak atas permintaan
sendiri. Ia menjadi putera mahkota kerajaan HAstinapura pada masa pemerintahan
ayahnya, Prabu Sentanu. Namun karena Dewi Setyawati, ibu sambungnya
menginginkan tahta demi anaknya, maka ia mengalah, dengan ikhlas tahta
diserahkan kepada anak Setyawati. Bahkan ia berjanji untuk menjalani hidup
‘wadat’ tidak menikah, agar tidak mempunyai keturunan yang akan mengusik tahta
HAstinapura, dan menimbulkan pertumpahan darah diantara saudara.
Dengan kebesaran hati, Resi Bisma telah
melepaskan tahtanya dan menjalani hidup wadat. Walaupun ada godaan besar dari
seorang wanita bernama Dewi Amba, Bisma tetap setia dengan janjinya untuk tidak
menurunkan anak dari seorang wanita. Namun saat ini ia sangat kecewa, bukan
karena ia telah merelakan tahtanya dan menjalani laku hidup wadat, tetapi lebih
dikarenakan pergolakan tahta HAstinapura tidak terhindarkan karenanya. “Apakah
keputusanku untuk melepaskan tahta salah? Jikakalau benar, mengapa Citragada
dan Wicitrawirya anak Setyawati, belum genap hitungan tahun menduduki tahta,
meninggal secara berurutan? Menurut anggapan rakyat HAstinapura, Citragada dan
Wicitrawirya tidak kuat menduduki tahta, mereka kuwalat kepada pendiri Keraton
dan Rakyat HAstinapura. Karena secara tidak langsung telah merebut tahta yang
bukan haknya dari tanganku. Rupanya Ibunda Setyawati mempercayainya anggapan
rakyat. Ia sangat menyesalkan telah mengajukan anak-anaknya untuk menduduki
tahta.
Pada suatu malam, Ibunda Ratu menemuiku,
dan meyapaku. Ia selalu memanggilku dengan nama kecilku, Dewa Brata. Ketika
nama itu disebut, aku diingatkan kepada ibuku Dewi Ganggawati, seorang bidadari
yang memberikan nama itu. Aku rindu padanya, ingin dipeluk, dicium, dibelai
dengan penuh cinta. Namun itu tak pernah aku rasakan. Sejak bayi, Ibunda telah
meninggalkan aku dan ramanda Prabu Sentanu kembali ke kahyangan.
“Dewa Brata, aku telah melakukan kesalahan
besar kepadamu dan rakyat HAstinapura. Semenjak kedua adik tirimu meninggal
berurutan, tahta HAstinapura kosong. Aku sadar, tragedi ini merupakan
peringatan ‘Hyang Akarya Jagad’ bahwa sesungguhnya hanya engkaulah yang berhak
atas tahta HAstinapura.”
“Bukan Ibunda yang bersalah, melainkan
aku. Karena dengan memberikan tahta kepada keturunan Ibunda Dewi Setyawati, aku
telah mengkhianati leluhurku, pendiri Keraton HAstinapura ini. Seakan-akan
tahta HAstinapura adalah milikku, dapat aku gunakan sesukaku, boleh aku
diberikan sesuai keinginanku. Demikian pula kedudukan putera mahkota yang
kutanggalkan tanpa persetujuan rakyat, artinya aku telah menyelewengkan
kepercayaan rakyat HAstinapura.”
“Dewa Brata inilah saat yang tepat untuk
menebus kesalahan kita”
“Katakan apa yang harus aku lakukan untuk
menebus kesalahan.”
“Jika engkau mau melakukan, kesalahku
tertebus pula”
“Katakan Ibunda, katakanlah”
“Duduklah di tahta HAstinapura”
Malam itu terang benderang, tidak turun
hujan. Bulan penuh menggantung di langit, kidung malam mengalun merdu. Namun
kata-kata Ibunda Ratu laksana halilintar menggelegar di dada Dewa Brata.
Sesungguhnya yang dikatakan Ibunda Ratu, sama dengan bisikan nuraninya bahkan
sama pula dengan nurani rakyat, yang beranggapan bahwa satu-satunya orang yang
berhak, pantas dan kuat menduduki tahta adalah Dewa Brata. Namun kesadarannya
menolak untuk menjadi raja.
Aku mengalami goncangan yang amat hebat,
jika aku tidak bersedia menjadi raja, artinya aku telah mengingkari tradisi
pendiri kraton HAstinapura, dan menolak mandat yang diberikan rakyat. Namun
sebaliknya jika aku bersedia menjadi raja, aku telah mengkianati janjiku dan
menghina para Dewa yang telah memberikan tiga anugerah karena kerelaanku
menyerahkan tahta dan hidup wadat.
Resi Bisma menghentikan permenungan masa
lalunya, ia dan Yamawidura sampai di gapura masuk padepokan Sokalima. Sang Resi
Bisma banyak berharap kepada guru besar Soka Lima, untuk membantu mengurangi
beban perasaan bersalah, dengan mempersatukan Pandhawa dan Kurawa, sehingga mampu
meredam sengketa dan pertumpahan.
Dua orang cantrik menyambut dengan penuh
hormat, sopan dan ramah, walaupun mereka tidak tahu bahwa tamunya adalah dua
orang besar dari negara yang besar pula.
Bisma dan Yamawidura turun dari kudanya,
segera dua orang cantrik menghampirinya untuk menambatkan kuda-kuda mereka.
Begitu pula dengan dua cantrik lain mengiring Bisma dan Yamawidura menuju ke
bangunan induk padepokan. Sepanjang jalan, aneka bunga warna-warni menjulur
tangkainya, merunduk di pinggir jalan, bagaikan pagar-ayu, menyambut datangnya
kedua tamu agung. Di bibir tangga bangunan induk, Pandita Durna, beserta
Puntadewa, Bimasena, Harjuna, Nakula dan Sadewa tergopoh-gopoh menyongsong
mereka.
“Selamat datang di padepokan Sokalima,
Sang Resi Agung HAstinapura. Sudah tiga hari ini, sepasang burung prenjak
berkicau bersautan persis di depan rumah induk. Itu pertanda bahwa padepokan
akan kedatangan tamu Resi Agung.”
“Pandhita Durna jangan berlebihan, aku
manusia biasa seperti engkau, bukan manusia agung.”
Durna mengangguk-angguk, walaupun
sesungguhnya ia tahu bahwa Bisma adalah Resinya para Resi.
Setelah mereka dipersilakan duduk, Bisma
mengawali pembicaraan.
“Pandhita Durna, tentunya engkau telah
mengetahui banyak tentang aku dari cucu-cucuku Pandhawa. Namun aku ingin
mengatakan bahwa hingga saat ini hidupku selalu dibayang-bayangi perasaan
bersalah. Menyusul keputusanku yang pertama: ketika aku merelakan tahta kepada
anak-anak Setyawati dengan Ramanda Prabu Sentanu yaitu Citragada dan
Wicitrawirya, yang meninggal berurutan setelah menduduki tahta. Keputusan yang
ke dua: mengangkat Abiyasa, anak Setyawati dengan Palasara trah Pertapa
Saptaarga, bukan trah HAstinapura. Sejak Abiyasa menduduki tahta, Hastinpura
selalu bermasalah. Terlebih lagi setelah kehadiran Kurawa dan Pandhawa
perebutan tahta HAstinapura semakin meruncing.”
“Sang Resi Bisma, perjalanan hidupku
rupanya juga tidak lebih baik.” Pandita Durna berkisah pula.
“Sampai saat ini perasaan bersalah seperti
yang dirasakan Sang Resi juga menggelayut dalam hidupku. Ketika Ramanda Prabu
Baratwaja menginginkan aku menjadi raja di Hargajembangan, aku menolak, dan
memilih pergi ke Tanah Jawa, untuk berguru kepada Begawan Abiyasa. Tetapi
tragedi telah menimpaku, badan dan wajahku cacat seumur hidup. Aku menggembara
tak tentu arah di negeri orang, dengan membawa anak tanpa ibu.”
Mereka terdiam untuk sementara waktu,
ingin saling memahami perjalanan hidup masing-masing.
“Pandita Durna, aku tahu engkau dalam
penderitaan, namun engkaulah yang kurasa dapat membantu mencegah perang antara
Kurawa dan Pandawa. Untuk itulah aku datang memohon engkau bersedia menjadi
guru mereka. Karena dengan menjadikan mereka murid-muridmu, mereka akan menjadi
saudara seperguruan, yang akan menumbuhkan perasaan senasib, seperjuangan.
Bukankah hal tersebut akan memperkecil benih-benih permusuhan?”
“Pada awalnya aku lebih berminat
mengangkat murid para Pandhawa. Namun setelah Sang Resi mengungkapkan tujuan
mulia dibalik pengangkatan murid Para Kurawa, aku bersedia menjadi guru
mereka.”
“Terimakasih Kumbayana. Tentunya dengan
kesediaanmu, Prabu Destrarastra akan memberikan gelar guru istana.”
“Dhuh Sang Resi Bisma, ada yang lebih
penting dari gelar itu, yaitu kebebasan mengajar setiap orang yang
membutuhkan.”
Bisma dapat memahaminya, karena ia tahu
persis darma seorang pandita atau resi, ialah memberikan ilmu kepada siapa
saja, tidak pilih-pilih. Ibaratnya sebuah sumur yang selalu terbuka bagi yang
menimba air darinya.
Sebelum kembali ke Istana Resi Bisma dan
Yamawidura berpesan agar selain mengajarkan ilmu, ada hal mendasar yang wajib
ditanamkan kepada Pandhawa dan Kurawa, yaitu agar diantara mereka dibangun rasa
mencintai, sikap saling menghargai dan rela memberi maaf.
Membangun sikap moral tidak lebih mudah
dibandingkan dengan mengajarakan ilmu kanuragan dan ilmu kebatinan. Oleh
karenanya seorang guru diharuskan mempunyai otoritas penuh, teguh adil dan
berwibawa. Dengan alasan tersebut, Bisma setuju bahwa tempat penggemblengan
para murid, dilakukan di Sokalima. Maka para Kurawa segera mendapatkan pelajaran
dari sang Resi. Saat berlatih saja para kurawa merasa malas dan bergemar
bernain wanita. Dan terlihat sikap para kurawa selalu mengganggap remeh musuh
terlihat sudah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar