MELENYAPKAN PANDAWA Bag 1 - Sastra Education

Breaking

Senin, 23 Mei 2016

MELENYAPKAN PANDAWA Bag 1


Tuntas sudah ilmu Soka lima di berikan pada Pandawa dan Kurawa. Terlihat berbeda dalam olah kanuragan pada diri satria Pandawa terutama Bima. Bima yang secara fisik mempunyai kekuatan yang luar biasa, tetapi lugu dan sederhana dalam pola pikir, dijadikan target utama dan pertama untuk disingkirkan. Patih Sengkuni dan Duryudana menyusun rencana untuk membunuh Bima. Maka dibuatlah sebuah pesanggrahan yang nyaman dan indah di hutan Pramanakoti, di pinggir Sungai Gangga. Bimasena diundang pesta di pesanggrahan tersebut. Makanan dan minuman tersedia melimpah. Bimasena datang sendirian memenuhi undangan Duryudana yang dianggap sebagai saudara tua yang dihormati. Sengkuni, Duryudana, Dursasana, dan warga Kurawa lainnya menampakkan rasa persahabatan penuh keakraban dalam menjamu Bimasena. Tanpa perasaan curiga, Bimasena menikmati hidangan yang disajikan.
Berkali-kali Duryudana menambah tuak ke dalam bumbung minuman di tangan Bima. Entah mengapa, Bima tak kuasa menolak tawaran warga Kurawa. Apakah ia takut akan menyakiti hati para Kurawa jika menolak tawarannya. Walau sesungguhnya Bimasena telah merasakan kepalanya berat dan pusing karena kebanyakan minum tuak, toh ia selalu meneguknya tatkala minuman yang ada di bumbungnya ditambah Duryudana.
Sekuat apa pun Bima bertahan memaksakan diri untuk menuruti kehendak para Kurawa, akhirnya sampailah pada batas daya tahan Bimasena. Selanjutnya Bimasena tidak kuat lagi dan jatuh di lantai. Sebagian besar warga Kurawa terkejut melihat Bima jatuh begitu cepat. Namun tidak banyak yang tahu kecuali Sengkuni dan Duryudana, bahwasanya tuak yang khusus diminum Bimasena telah dicampuri dengan racun yang mematikan. Bima terkulai tak berdaya, dari mulutnya keluar busa berwarna putih. Sengkuni segera memerintahkan warga Kurawa segera mengikat badan Bimasena dengan akar-akar pohon. Setelah diikat kuat-kuat, lalu diberi bandul batu yang sangat besar, Bimasena dilemparkan ke sungai Gangga yang membentuk kedung dengan kedalaman lebih dari 12 meter. Warga Kurawa bersorak gembira, bak tumpukan batu bata yang roboh membarengi deburan air sungai Gangga yang memecah ditimpa Bimasena.

Sebentar kemudian permukaan air sungai Gangga menutup kembali untuk menyembunyikan apa yang sesungguhnya terjadi dengan diri Bimasena. Puluhan pasang mata warga Kurawa tak kuasa menembus kedalaman sungai Gangga lebih dari satu meter. Namun semua yang ikut pesta mempunyai anggapan yang sama, bahwa Bimasena akan segera mati.
Kedung Sungai Gangga terkenal sangat gawat, karena dihuni oleh ribuan ular ganas yang dirajai oleh raja ular bernama Aryaka. Ular-ular ganas tersebut tidak membuang-mbuang waktu. Mereka bergerak amat cepat menyambut benda asing yang masuk ke dalam air. Beratnya tubuh Bima ditambah dengan beratnya batu mengakibatkan tubuh Bimasena tenggelam semakin cepat menuju ke dasar sungai. Ribuan ular beracun mematuki tubuh Bima.
Eloknya terjadi peristiwa yang tak terbayangkan manusia. Patukan ular-ular beracun tersebut tidak membuat Bimasena mati lebih cepat. Racun yang telah masuk di tubuh Bima lewat minuman yang disajikan, tidak mempunyai daya pembunuh lagi, bahkan telah menjadi tawar ketika bereaksi dengan racun akibat patukan ribuan ular. Dengan sangat cepat tubuh Bimasena berangsur-angsur pulih kekuatannya. Bimasena kemudian sadar, tetapi tidak diberi kesempatan untuk mengingat kejadian yang menimpa dirinya, karena sekujur badannya dipatuk oleh ribuan ular berbisa. Ia mengamuk membunuh ribuan ular yang menyerangnya. Raja ular Aryaka mendapat laporan bahwa ada orang mengamuk di dasar sungai, dan telah membunuh ribuan ular. Raja Aryaka mendekatinya, dan tahulah dia bahwa orang itu bukan orang sembarangan. Bima adalah anak Dewa Bayu, dewanya angin.
Dengan keramahan kebapakan. Naga Aryaka mendekati Bimasena. Dan redalah kemarahan Bimasena. Kemudian Bimasena melakukan penghormatan kepada Naga Aryaka dan meminta maaf atas kelakuannya karena telah membunuh ribuan rakyatnya. Setelah segalanya menjadi baik, termasuk ular-ular yang telah dibunuh dihidupkan kembali oleh Naga Aryaka, Bima ingat akan semua kejadian yang menimpanya sejak awal hingga akhir, dan menceritakannya kepada Naga Aryaka.
Naga Aryaka mendengarkan cerita Bima dengan seksama. Ada ungkapan syukur dari Naga Aryaka bahwasannya Bima akhirnya lolos dari ancaman pembunuhan yang dilakukan oleh Patih Sengkuni dan Duryudana. Sebagai tanda rasa syukur itu Naga Aryaka memberi anugerah kepada Bima berujud minum Tirta Rasakundha. Setelah meminum Tirta Rasakundha, Bima tidak merasakan bahwa dirinya berada di dalam air di dasar Bengawan Gangga. Tidak ada bedanya dengan di atas daratan, napasnya lancar, badan serta pakaiannya tidak basah. Naga Aryaka menghendaki agar beberapa hari Bima berada di dasar Bengawan Gangga untuk memperoleh ilmu darinya.
Dengan senang hati Bima memenuhi permintaan Naga Aryaka yang telah berperan dalam menyelamatkan dirinya. Berbagai ilmu tentang hidup di wejangkan kepada Bima. Setelah dianggap cukup, Naga Aryaka berpesan.
”Bima, janganlah engkau membalas kejahatan saudara tuamu dengan kejahatan pula, karena hal tersebut tidak menyelesaikan masalah. Serahkan masalahmu kepada Sang Hyang Tunggal penguasa alam semesta. Serahkan kepada Dia perbuatan jahat Sengkuni dan Kurawa. Jika pun ada hukuman, birlah Dia yang menghukumnya.” Bima berjanji akan mentaati nasihat Naga Aryaka, dan mohon diri meninggalkan Bengawan Gangga untuk kembali ke Panggombakan.
Sesampainya di Panggombakan, Bima disambut oleh paman Yamawidura, Ibunda Kunthi, Puntadewa serta adik-adiknya dengan sukacita. Karena beberapa pekan sejak diundang pesta di pesanggrahan alas Pramanakoti, Bima belum kembali. Kepada mereka diceritakannya apa yang dialami Bima dari awal sampai akhir. Sungguh mengharukan tetapi juga membahagiakan. Bima lolos dari maut, bahkan memperoleh ilmu dan Tirta Rasakundha dari Naga Aryaka.
Kabar kepulangan Bima di Panggombakan dalam keadaan segar bugar membuat Sengkuni, Duryudana dan warga Korawa kelimpungan. Mereka sudah terlanjur mengabarkan kepada Raja Destrarasta bahwa Bima jatuh tenggelam di kedung Bengawan Gangga sewaktu berpesta pora di Pesanggrahan Alas Pramanakoti. Karena lama tidak muncul Bima dianggap telah mati disantap naga-naga ganas penghuni kedung bengawan Gangga. Tetapi ternyata, Bima belum mati, ia menjadi semakin perkasa. Dengan mendapat kesaktian baru yang memungkinkan ia dapat hidup di dalam air seperti layaknya berada di atas daratan
”Sengkuni! Aku mendengar bahwa Bima kembali dalam keadaan selamat., benarkah itu?”
”Ampun Sang Prabu Destrarasta, apa yang paduka dengar benar adanya. Bima masih hidup. Untuk itu kami mohon ampun atas praduga hamba sebelumnya yang mengatakan bahwa Bima telah mati. Karena lebih dari sepekan warga Kurawa menunggu disekitar kedung bengawan Gangga, tempat Bima tenggelam, namun Bima tidak muncul. Kami beranggapan bahwa tidak ada seorang manusia yang dapat bertahan hidup di dalam air, selama berhari-hari. Jika ternyata ia masih hidup, hamba sendiri cukup heran, dengan ilmu sihir macam apa yang digunakan Bima.”
”Cukup Sengkuni! Panggil Bima dan saudara-saudaranya, aku ingin mendengar kisahnya.”
”Baik Sang Prabu, perintah paduka segera aku laksanakan.”
Dengan terbata-bata Sengkuni segera undur diri. Prabu Destarastra menarik napas panjang. Ia dapat merasakan kepatuhan Sengkuni dan juga Gendari isterinya adalah kepatuhan semu. Walaupun telah dibungkus dengan kata-kata manis, suasana yang damai menentramkan, toh kebusukan hatinya tercium juga. Jika dapat memilih ia lebih senang tidak menjadi raja di HAstinapura. Percuma saja ia memerintah. Karena aturan, wewenang, keputusan dan kebijakan raja selalu diselewengkan demi kepentingan Isteri dan Patihnya.
Sengkuni gelisah, apa jadinya jika Bima berkisah tentang penganiayaan yang dilakukan warga Kurawa. Walaupun Sengkuni dan Gendari menganggap remeh Destrarastra karena kebutaan matanya, mereka miris juga kepada aji Lebur Sakethi yang dimiliki Destarastra. Namun kegelisahan Sengkuni tak berkepanjangan. Ia segera mendapat akal, untuk menghadapi cerita Bima. Yang penting menjaga agar Destarastra tidak marah.
Usaha membunuh para Pandawa yang dilakukan oleh Sangkuni, Gendari dan para Kurawa berkali-kali gagal. Namun berkali pula ia lolos dari tuduhan Sang Raja. Dan itu tidak membuat jera. Bahkan semakin terbakar hati mereka untuk segera menyingkirkan Pandawa.
Diilhami oleh sebuah peristiwa kebakaran, Sengkuni mendapat gagasan baru untuk menyingkirkan Pandawa. Ya dengan cara dibakar akan sulit dilacak penyebabnya. Gagasan tersebut disetujui oleh Gendari, Duryudana dan para Kurawa. Kemudian diteruskan kepada Purucana, seorang ahli membuat bangunan yang cepat dan indah. Maka mulailah dibangun sebuah bale di Waranawata, yang letaknya jauh dari kotaraja HAstinapura.
 Untuk mengetahui kisah Bima yang sebenarnya maka para Pandawa diundang ke HAstina. Bersama para sauadaranya. Bima datang menghadap. Prabu Destarata segera menanyakan kisahnya pada Bima.
Di hadapan sang raja, Bimasena tidak mengisahkan peristiwa yang sebenarnya menimpa dirinya di kedung Sungai Gangga wilayah hutan Pramanakoti. Hal tersebut dilakukan semata-mata agar tidak a...da dendam yang tersisa di hatinya. Ia teringat nasihat Naga Aryaka ”Bima, janganlah engkau membalas kejahatan saudara tuamu dengan kejahatan pula, karena hal tersebut tidak menyelesaikan masalah. Serahkan masalahmu kepada Sang Hyang Tunggal penguasa alam semesta. Serahkan kepada Dia perbuatan jahat Sengkuni dan Kurawa. Jika pun ada hukuman, biarlah Dia yang menghukumnya.” Dan Bimasena telah berjanji untuk mentaati nasihat Naga Aryaka, dewa penguasa sungai telah menolong, menyelamatkan dan bahkan memberikan anugerah Tirta Rasakundha kepada dirinya.
Prabu Destarastra tahu bahwa ada sesuatu kejadian buruk yang disembunyikan Bimasena, maka pada kesempatan lain Deatarastra memanggil beberapa orang terdekat tanpa kehadiran Bimasena dan saudara-saudaranya. Pada kesempatan tersebut, Sang Prabu Destarastra melampiaskan amarahnya kepada Sengkuni.
“Sengkuni, Sengkuni, sampai kapankah engkau akan mempermainkan aku? Berapa kali engkau telah meniupkan kabar bohong kepadaku yang adalah raja HAstinapura.”
“Ampun Sang Prabu Destarastra, waktu itu memang benar, saya melihat dengan mata kepala sendiri, bahwa seusai pesta, mungkin karena saking banyaknya minum tuak, Bimasena jalan sempoyongan dan masuk ke kedung sungai Gangga. Para perajurit berjaga-jaga di pinggir sungai, dan siap menolong jika sewaktu-waktu Bimasena timbul dari kedung tersebut. Namun hingga sampai dengan hari ke tiga, anak ke dua dari Pandudewanata tersebut tidak muncul juga. Salahkah jika kemudian aku menyimpulkan bahwa Bimasena telah mati? Adakah seseorang yang mampu bertahan di dalam air selama tiga hari?”
“Sengkuni! Nyatanya engkau salah! Bimasena masih hidup!!!
Bentakan Destarastra membuat semua yang ada di pisowanan tersebut tertunduk diam. Tidak ada satupun yang berani mengeluarkan kata-kata. Destarastra sendiri nampaknya sudah tidak ingin lagi mengeluarkan sepatah kata pun. Bahkan ia memberi isyarat kepada Gendari agar dituntunnya meninggalkan pisowanan terbatas.
Sengkuni semakin terbakar atas nasib baik yang dialami Bimasena. Api kebencian yang menyala-nyala di hati Sengkuni memang ingin sungguh-sungguh diwujudkan untuk membakar, tidak hanya Bimasena tetapi juga Kunti dan ke lima anaknya.
Untuk sebuah rencana besar tersebut, Sengkuni tidak mau gagal lagi. Ia memerintahkan Purucona, arsitek nomor satu di HAstinapura untuk membuat sebuah bangunan peristirahatan yang indah dan nyaman di atas pegunungan di luar kotaraja HAstinapura. Bangunan semi permanent tersebut dirancang kusus. Tiang-tiang bangunan diisi dengan sendawa dan gandarukem, bahan sejenis mesiu dan minyak yang mudah terbakar.
Kunti dan Anak-anaknya memang bukan tipe pendendam. Di hati mereka telah diajarkan bagaimana senantiasa menumbuhkan sikap nan tulus untuk mengasihi kepada siapapun tak terkecuali, termasuk kepada mereka yang telah menganiaya dirinya. Karena dengan demikian hatinya tidak ditumbuhi dendam yang menggerogoti dan meracuni hidupnya.
Oleh karenanya, sekali lagi, bujuk rayu Sengkuni dan Duryudana berhasil mengajak Ibu Kunti, Puntadewa, Bimasena, Herjuna, Nakula dan Sadewa untuk merasakan nyamannya rumah peristirahatan yang bernama Bale Sigala-gala di puncak pegunungan.
Dua pekan lagi, saat purnama sidhi, Kunti dan ke lima anaknya berjanji akan memenuhi undangan Sengkuni dan para Kurawa dalam acara andrawina di Bale Sigalgala. Mendengar rencana tersebut Sang Paman Yamawidura, orang yang mempunyai kelebihan dalam hal membaca kejadian yang belum terjadi, merasakan firasat buruk yang harus dihindari. Maka ia memanggil Kanana abdinya, yang ahli membuat terowongan. Kanana diperintahkan untuk menyelidiki Pesanggrahan Bale Sigala-gala dan secepatnya membuat terowongan untuk jalan penyelamatan jika terjadi sesuatu atas pesanggrahan tersebut.
Kanana segera melaksanan perintah rahasia Yamawidura dengan sebaik-baiknya, serapi-rapinya dan secepat-cepatnya. Ia tahu bahwa sosok Yamawidura adalah titisan Bathara Dharma, dewa keadilan dan kebenaran. Ia mempunyai kelebihan dan tak tertanding di negara HAstinapura dalam hal membaca kejadian yang akan terjadi. Raja Sendiri mengakui kelebihan adiknya yang sangat disayanginya itu. Maka Kanana meyakini bahwa bakal terjadi huru-hara besar, dan terowongan yang ia buat atas perintah Yamawidura, benar-benar akan menjadi sarana untuk jalan penyelamatan. Kurang dari dua pekan Terowongan yang panjangnya lebih dari 400 langkah tersebut telah selesai. Kanana benar-benar menunjukan kualitasnya.
Pada malam menjelang pesta di Balai Sigala-gala, tepat pada tabuh ke sebelas Yama Widura mengidungkan mantra-syair yang isinya mengingatkan agar setiap orang selalu waspada dan berjaga-jaga dalam doa dan pujian, untuk memohon keselamatan, jauh dari segala yang jahat.
Kunti dan Bima belum tidur. Mereka terhanyut oleh syair-syair yang dikidungkan Yamawidura. Batin yang cerdas dapat menangkap bahwa melalui Kidung malam tersebut Yamawidura ingin mengingatkan agar Kunti dan Anak-anaknya yang besok sore akan memenuhi undangan para Kurawa di Bale Sigala-gala jangan menanggalkan kewaspadaan dan selalu berdoa mohon terhindar dari segala mara bahaya.
Lewat tengah malam, Yamawidura menyelesaikan pembacaan mantra yang di kidungkan. Hampir bersamaan, Kunti dan Bimasena terlelap dalam tidur, menyusul Puntadewa, Herjuna, Sadewa, Nakula dan juga Padmarini isteri Yamawidura dan kedua anaknya Sanjaya dan Yuyutsuh.
Malam merambat pelan dilangit Panggombakan. Seakan enggan menemui pagi. Mungkin karena ia tidak sampai hati menyaksikan tragedi besar yang akan terjadi di rumah indah dan asri yang bernama Bale Sigala-gala.
Kicau burung bersautan di pagi itu. Langit Panggombakan biru cerah. Tak ada sedikit pun awan yang menggelantung. Kunthi dan anak-anaknya merasakan pula cerahnya hari itu. Secerah hati mereka yang tidak pernah terhalang awan dendam dan kebencian, kendati mereka menjadi sasaran irihati. Seperti yang terjadi belum lama ini, para Kurawa gagal membunuh Bimasena di hutan Pramanakoti. Dikarenakan dari pihak Pandawa mudah melupakan perbuatan jahat yang dilakukan Sengkuni dan para Kurawa maka Pandawa tidak menaruh curiga seikitpun atas undangan pesta di Bale Sigala-gala nanti sore. Bahkan bagi Pandhawa kesempatan tersebut dapat menjadi sarana untuk merekatkan hubungan persaudaraan.
Lain yang dirasakan para Pandhawa, lain pula yang dirasakan Yama Widura. Sejak Kunthi dan para Pandhawa merencakan akan datang pesta memenuhi undangan warga Korawa di Bale Sigala-gala, Yama Widura, paman dari para Pandhawa itu gelisah. Semalaman ia tidak dapat tidur. Kidung mantra tulak bala, memohon keselamatan mengalun hingga tenggah malam. Sementara malam yang tersisa digunakan untuk berdoa di sanggar pamujan. Apa yang telah dilakukan Yama Widura, termasuk juga pembuatan terowongan yang dikerjakan oleh Kanana, adalah semata-mata demi keselamatan Kunti dan para Pandhawa.
Pagi itu, Yama Widura menerima Kunthi dan anak-anaknya yang hendak berpamitan pergi ke gunung Waranawata menghadiri undangan pesta di Bale Sigala-gala
“Kakang Mbok Kunti dan anak-anakku Pandawa, kemeriahan pesta dapat dengan mudah membuat orang lupa. Oleh karenanya jangan tinggalkan kewaspadaan. Bimasena engkau orang yang paling perkasa diantara Ibu dan saudara-saudaramu. Padamulah aku titipkan keselamatan Ibu dan saudara-saudaramu.”
Dihantar oleh tatapan cemas Yamawidura. Kunthi dan ke lima anaknya meninggalkan Panggombakan.
Sejak pagi Bale Sigala-gala menampakan kesibukannya. Aneka bunga dan umbul-umbul menghias halaman dan ruangan. Sebagian besar warga Kurawa telah hadir di situ. Bale Sigala-gala nampak indah mempesona. Purucona dengan bangga melihat karyanya yang istimewa. Semua yang melihat bangungan tersebut selalu berdecak kagum. Nama Purucona yang sudah dikenal menjadi semakin terkenal.
Namun tiba-tiba hati Purucona berdesir tatkala membayangkan bahwa nanti malam Bale yang indah menawan akan berubah menjadi kobaran api. Dan api tersebut akan membakar Kunti dan anak-anaknya.
“Purucona!!! Engkau harus mencegah agar Bale Sigala-gala tidak menjadi alat untuk membunuh orang yang tak berdosa.”
Puruncona merasa bersalah. Ia gelisah sepanjang hari. Hingga menjelang pesta kegelisahan Purucona semakin menjadi-njadi. Satu persatu tamu yang datang menambah rasa bersalah semakin berat menekan hati sang arsitek nomor satu di HAstinapura.
Ketika sayup terdengar bunyi kenthongan tujuh kali, tamu undangan telah memenuhi ruangan pesta. Namun Patih Sengkuni, Duryudana, Dursasana dan para Kurawa belum menampakan kelegaan. Dikarenakan tamu istimewa yang ditunggu-tungu belum datang, yaitu Kunti dan anak-anaknya. Jika para Pandawa tidak datang apalah artinya pesta yang menelan biaya sangat banyak ini?.
Kunthi dan Pandhawa seharusnya sudah sampai di tempat pesta, namun sebelum memasuki lokasi pesta mereka ditemui oleh Kanana, utusan Yamawidura. Ada pesan rahasia disampaikan khususnya kepada Bimasena, seperti yang telah diisyaratkan Jamawidura; “Jangan tinggalkan kewaspadaan! Bimasena engkau orang yang paling perkasa diantara Ibu dan saudara-saudaramu. Padamulah aku titipkan keselamatan mereka” Bimasena meminta Kanana untuk berterus terang apa yang akan terjadi dan tindakan apa yang seharusnya aku lakukan. Namun Kanana tergesa untuk pergi, karena takut diketahui oleh Patih Sengkuni dan warga Kurawa.
Sejak Kanana menyelesaikan terowongan rahasia yang berada di ruang paling belakang, ia menyamar sebagai tenaga kasar yang ikut mempersiapkan perlengkapan pesta. Hal tersebut dilakukan supaya ia dapat menjaganya agar keberadaan terowongan rahasia teresebut tidak diketahui oleh para Kurawa.
Menjelang tabuh ke delapan, Kunti, Puntadewa, Bimasena, Arjuna dan si kembar Sadewa dan Nakula datang. Duryudana mendekati Sengkuni sambil berbisik. Sengkuni menolehkan mukanya kegerbang masuk. Patih Sengkuni dan Duryudana tergopoh-gopoh menyambut mereka.
Keramahtamahan Sengkuni memang berlebihan, membuat risi tamu-tamu yang hadir, selain warga Kurawa. Namun tidak untuk Kunti dan Pandawa sikap Sengkuni dan warga Kurawa dirasakan merupakan perhomatan khusus sesama saudara.
Pesta itu sungguh meriah. Para petugas yang mengurusi makanan, minuman dan acara pesta, menjalankan tugasnya dengan baik dan rapi. Aneka hidangan pesta mbanyu mili, mengalir tak pernah henti. Demikian juga acara yang dipentaskan, berganti-ganti penuh variasi.
Suasana gembira, acara meriah dan makanan melimpah, menyihir para penikmat pesta untuk terhanyut dalam suasana memabukan. Satu persatu kewaspadaan mereka hilang, Para Kurawa kecuali Patih Sengkuni, Duryudana dan Dursasana sudah tidak dapat mengontrol diri sendiri. Melihat suasana yang semakin memabukan, pemuka pesta terpaksa menghentikan satu acara yang masih tersisa, karena sudah tidak mendapat perhatian.
Keadaan menjadi lebih hening. Yang tersisa tinggal beberapa suara gemelintingnya gelas minuman dan piring makanan. Karena sebagian besar yang lain sudah menghentikan makannya karena sudah tidak ada sedikitpun ruang perut yang kosong.
Jika semula pesta ini dirancang untuk membawa Kunti dan anak-anaknya terhanyut dalan suasana pesta yang memabukan dan lupa akan dirinya, sehingga mudah diperdaya. Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Justru para Kurawa yang seharusnya berpura-pura, malah lebih dahulu terhanyut dalam haru birunya pesta.
Sengkuni menjadi binggung. Bagaimana akan melaksanakan rencananya. Dalam keadaan mabuk, ia kesulitan membawa warga Kurawa keluar dari Bale Sigala-gala.
Suasana berangsur-angsur hening. Dentingan perkakas yang saling beradu diantara sendok dengan gelas, mangkuk dan piring, sudah tidak terjadi lagi. Para petugas yang mengontrtol makanan dan minuman sudah berhenti melakukan panambahan hidangan. Dikarenakan makanan memang masih cukup ada, masih cukup untuk tamu yang ada. Bahkan mereka mulai mencicil untuk menyingkirkan aneka perkakas yang sudah kotor oleh sisa-sisa makanan dan minuman. Bersamaan dengan itu, datanglah rombongan petapa yang sengaja mampir untuk meminta makanan. Jumlahnya enam orang lima orang putra dan satu orang putri. Kedatangannya disambut hangat oleh para Pandawa, mereka dipersilakan menikmati makanan yang masih terhidang dengan leluasa.
Sementara itu Sengkuni dan Duryudana dibuat geram. Warga Kurawa telah gagal melaksanakan tugasnya. Semula diharapan warga Kurawa ikut berpesta tersebut hanya untuk membuat suasana pesta meriah. Dengan berpura-pura ikut makan dan minum sebanyak-banyaknya, agar para Pandhawa terpancing untuk ikut makan dan minum sampai mabuk dan tak sadarkan diri, sehingga dengan mudah Sengkuni dapat melaksanakan rencananya yaitu membakar Bale Sigala-gala beserta Kunthi dan para Pandhawa.
Namun yang terjadi justru sebaliknya. Para warga Kurawa lah yang tidak dapat menahan diri. Mereka terlalu banyak makan dan minum sehingga menjadi mabuk.  Perilaku warga Kurawa tersebut secara tidak sadar telah menghambat rencananya sendiri, rencana warga Kurawa yang diprakarsai oleh Patih Sengkuni. Tentunya tidaklah mungkin untuk menunggu mereka yang mabuk sadar kembali. Sengkuni dan Duryudana harus berpacu dengan waktu. Jangan sampai fajar mulai merekah diufuk Timur, Bale-Sigala-gala masih utuh berdiri.
Maka dengan hati-hati agar tidak menimbulkan kecurigaan bagi Kunthi dan anak-anaknya, Duryudana dibantu oleh para hulubalang dan tenaga kasar yang lain, memapah keluar para pemabuk yang tak sadarkan diri. Setelah semua warga Kurawa dan beberapa orang yang mabuk di amankan di tempat yang jauh dari Bale Sigala-gala, Sengkuni mempersilakan Kunthi dan Nakula untuk beristirahat dan tidur di ruang yang telah disediakan, tepatnya di belakang ruang pesta, menyusul Bimasena, Arjuna dan Sadewa. Ketika Kunthi dan Nakula menuju ke ruang belakang, mereka melihat ke enam Petapa tidur nyenyak sekali di lantai, tidak seberapa jauh dengan pintu ruang belakang. Mereka sangat kecapaian. Dewi Kunthi menyapa lembut, dengan tanpa mengharap balasan.
“Selamat malam sang petapa, selamat beristirahat dan sampai jumpa di esok hari.”
Malam merambat menuju pagi. Dari kejauhan, terdengar suara kentongan yang berbunyi dua kali, mengisyaratkan bahwa waktu telah menunjukan pukul dua dini hari. Sampai di ruang belakang Kunthi melihat Bimasena, Arjuna dan Sadewa masih terjaga. Yang mengejutkan Kunthi bahwa diantara mereka ada seorang abdi dari Panggombakan, orang terdekatnya Yamawidura yang ahli membuat terowongan, bernama Kanana. Ada apa dengan Kanana?
Dengan wajah serius Kanana memohon agar diberi kesempatan menjelaskan hal rahasia dengan tanpa didengar oleh orang lain selain Dewi Kunthi dan dan anak-anaknya. Pintu ruangan ditutup perlahan sekali, mereka memusatkan perhatian dan pandangannya pada Kanana yang akan membeberkan hal penting penuh rahasia.
“Mohon maaf sebelumnya, Ibu Kunthi dan para Putra, beberapa pekan lalu, saya diperintahkan untuk membuat terowongan rahasia sebagai jalan penyelamatan jika sewaktu-waktu terjadi bencana di pesta Bale Sigala-gala. Terutama kepada Raden Bimasena, Bapa Yamawidura mengingatkan agar selalu waspada dan bertindak cepat untuk menyelamatkan Ibu Kunthi beserta saudara-saudaranya, sewaktu bencana yang di kawatirkan benar-benar terjadi. Inilah pitu terowongan itu.
Kunthi dan para Pandawa ternganga. Mereka tidak menyangka bahwa lantai yang beralas permadani di ruang itu dapat dibuka dengan mudah. Setelah dibuka oleh Kanana ternyata dari lobang tersebut ada tangga yang menuju ke pintu terowongan. “Jika terjadi sesuatu, terowongan inilah yang akan membawa kita sampai di bawah bukit dengan selamat”
Baru saja Kanana akan menutup pintu terowongan kembali, mereka dikejutkan oleh cahaya merah yang tiba-tiba saja menjadi besar. Hawa panas dengan cepat merambat ke seluruh tubuh mereka.
“Kebakaran! Kebakaran! Kebakaran!
Kunthi teringat kepada ke enam petapa yang tidur tidak jauh dari pintu ruangan ini. Tetapi ketika akan membuka pintu, ternyata pintu tersebut telah dikancing dari luar. Kunthi sempat berteriak “ Selamat malam Sang Petapa” Kunthi berusaha untuk membuka pintu, namun sebelum berhasil ia telah disaut oleh Bimasena dan bersama para Pandhawa dibawa masuk ke pintu terowongan. Kanana bergerak cepat menutup pintu, setelah Kunthi dan anak-anaknya dipastikan telah masuk terowongan
Kunthi bersama lima anaknya telah masuk terowongan rahasia, menyusul peristiwa kebakaran hehat di Bale Sigala-gala. Namun pikiran dan hatinya masih tertinggal di ruangan tempat ke enam petapa tidur. Ia membayangkan bahwa keenam brahmana yang tidur nyenyak, tidak akan mampu menyelamatkan diri dari kepungan api yang merambat teramat cepat. Betapa dahsyatnya kebakaran itu. Hawa panasnya mampu menembus beberapa langkah dari mulut terowongan. Bima menggendong Nakula dan Sadewa berjalan paling belakang menyusuri terowongan, menjauhi pintu trowongan yang terasa semakin panas. Mereka mengikuti cahaya putih yang berjalan paling depan. Bima berusaha menenangkan Ibu dan saudara-saudaranya, terutama si kembar Nakula dan Sadewa yang menangis ketakutan.
Siapakah cahaya putih di depan itu? Dialah Kanana? Abdi Paman Yamawidura yang ahli membuat terowongan? Pertanyaan Dewi Kunthi dan anak-anaknya rupanya tidak membutuhkan jawaban. Bagi mereka yang penting adalah bahwa cahaya putih itu akan menuntunnya keluar dari terowongan ini menuju tempat yang aman, jauh dari kobaran api Bale Sigala-gala, api yang dinyalakan dari kobaran hati yang penuh dendam dan kebencian.
Sebenarnya apa yang terjadi di Bale Sigala-gala? Bale artinya bangunan rumah, Gala adalah jabung. Bahan yang bisa menjadi keras seperti semen, namun mudah terbakar. Itulah alasan Patih Sengkuni menggunakan jabung sebagai bahan utama untuk membuat bangunan. Ditambah lagi dengan tiang-tiang penyangga bangunan, yang telah diisi dengan sendawa dan gandarukem, bahan sejenis mesiu yang bisa meledak. Dengan demikian jadilah pesanggrahan “Bale Sigala-gala” yang siap dibakar dan diledakan. Sengkuni yakin, bahwa Bale Sigala-gala akan mampu mengubah tulang daging Kunthi dan Pandawa menjadi abu dan arang.
Purucona cepat bakar! Bakar! Bakar!!! Perintah tersebut terdengar keras, namun walaupun begitu tidak ada seorang pun diantara Kunthi dan para Pandhawa yang bisa menyelamatkan diri keluar dari Bale Sigala-gala. Apalagi ruangan yang ditempati Kunti dan anak-anaknya telah dikancing dari luar. Sehingga dipastikan bahwa mereka terbakar di dalam ruangan.
Api berkobar ganas, disusul suara ledakan ledakan keras dari tiang-tiang bangunan yang diisi sendawa dan gandarukem. Malang bagi Purocana, undagi nomor satu di HAstinapura tersebut sengaja dijadikan tumbal untuk peristiwa Balesigala-gala ini Ia, setelah menyulut Bale Sigala-gala dilempar paksa ke dalam api oleh beberapa perajurit yang ditugaskan Sengkuni. Karena jika tidak, dikhawatirkan Purucona akan membeberkan rekayasa kebakaran di Bale Sigala-gala.
Patih Sengkuni, Duryudana, Dursasana dan para Korawa yang lain, serta para perajurit dan pekerja pesta, dari kejauhan memandangi lidah-lidah api yang menimbulkan asap hitam pekat. Tanpa berkedip Patih Sengkuni memandangi Bale Sigala-Gala yang dibakar, untuk memastikan bahwa tidak ada seorangpun diantara Kunthi dan anak-anaknya menyelamatkan diri, keluar dari kobaran api. Artinya bahwa Kunthi dan ke lima anaknya hangus terbakar. Karena memang hanya tinggal enam orang yang masih berada di dalam bangunan Bale Sigala-gala, karena yang lainnya telah diajak keluar sebelum kebakaran terjadi. Yah tinggal enam orang. Kunthi, Puntadewa. Bimasena, Arjuna, Nakula dan Sadewa. Dan pasti tubuh mereka telah menjadi arang dan abu. Demikian pikir Sengkuni.
Wajah Sengkuni dan warga Kurawa nampak lega dan senang. Karena dengan tewasnya para Pandawa, tidak ada lagi yang menghalangi Duryudana menduduki tahta HAstinapura.
Namun bagi yang tidak tahu menahu rencana dibalik semua itu, termasuk para pekerja pesta, peristiwa kebakaran di Bale Sigala-gala itu sungguh mengherankan. Pasalnya bahwa warga Kurawa dan perajuritnya. Tidak berusaha untuk memadamkan api Juga perihal evakuasi. Semua warga Kurawa yang mabuk, telah dibawa keluar dari Bale Sigala-gala sesaat sebelum kebakaran terjadi. Sepertinya ada rencana sebelumnya bawa Bale Sigala-gala sengaja dibakar. Tanda-tanda adanya kesengajaan dalam peristiwa kebakaran tersebut semakin dikuatkan ketika menjelang deti-detik terjadinya kebakaran, terdengar teriakan ‘cepat bakar!’
Lepas dari sekenario yang dilakukan, peristiwa kebakaran Bale Sigala-gala merupakan tragedi kemanusiaan yang memilukan. Rakyat pedusunan yang berada dibawah bukit pesanggrahan terbangun karenanya. Mereka tidak tahu-menahu latar belakang dan penyebab kebakaran Bale Sigala-gala. Namun mata hati mereka menatap pilu api yang berkobar menjilat angkasa pada dini hari itu. Dibenak mereka muncul gambaran yang memilukan. Adhuh, Dewi Kunthi dan para Pandawa ada di sana. Tadi siang lewat di dusun ini. Dielu-elukan oleh warga dusun. Disambut sebagai calon raja pengganti Pandudewanata. Rakyat berharap, pada saatnya nanti, ketika Raden Puntadewa menjadi raja akan mampu merubah nasib mereka.
Namun saat ini, ketika api telah membakar Bale Sigala-gala, mereka menangis. Para Pandhawa yang mereka cintai dan mereka harapkan akan menjadi raja yang adil bijaksanan telah hangus terbakar. Seperti harapan mereka akan kesejahteraan dan ketenteraman. Telah lenyap ditelan asap.
Dini hari yang naas itu akan segera berlalu, dan kidung malam pun tak terdengar lagi, namun rupanya fajar masih enggan menyinarkan cahayanya, sebelum yang bertikai membuka cedela hati.
Pesanggrahan Bale Sigala-gala yang indah megah, tak mampu bertahan lama dari amukan api. Purucona seorang undag...i atau ahli bangunan terkemuka di HAstinapura. Termasuk juga menjadi korban keganasan api. Ia dipaksa untuk menyulut Bale Sigala-gala yang ia bangun dengan bahan yang mudah terbakar. Ketika api mulai ganas menyala, Purucona dilemparkan ke dalam api oleh beberapa pengawal yang telah dipersiapkan. Sungguh malang nasibnya si Purucona. Ia sengaja dijadikan tumbal untuk rencana besar ini. Awal tragedi Purucona adalah ketika Patih Sengkuni menemui dirinya dan memerintahkan untuk membangun sebuah pesanggrahan yang indah menawan. Kepercayaan langsung dari Patih HAstinapura kepada dirinya membuat Purucona benar-benar merasa bangga dan gembira. Oleh karena kepercayaan yang diberikan kepadanya Purucona ingin menunjukkan bahwa dalam waktu yang relatif pendek ia mampu menciptakan sebuah karya bangunan yang indah.
Konsep bangunan pesanggrahan Bale Sigala-gala adalah ‘Pradah’ artinya ruang-ruang yang ada dibuat terbuka. Dengan desain yang sedemikian rupa Purucona menginginkan setiap ruangan yang ada mampu mempunyai daya undang bagi siapa saja untuk masuk. Setelah mereka masuk, mereka akan dimanjakan dengan ruangan yang nyaman, udara yang segar dan hidangan yang lezat. Sehingga semua orang yang datang, masuk ruangan dan menikmati hidangan yang disajikan akan menjadi lupa terhadap beban hidup yang berat.
Semula tidak terlintas sedikitpun dibenaknya bahwa pada akhirnya bangunan itu dibuat demi sebuah sarana untuk melenyapkan Pandhawa lima dari muka bumi. Para Pandawa diundang masuk menikmati hidangan pesta agar menjadi lupa, sehingga meninggalkan kewaspadaan dan akhirnya tidak tahu akan datangnya bahaya api yang meluluh-lantakan semuanya.
Maka pada malam itu Purucona menjadi shock setelah mengetahui bahwa Bale Sigala-gala karyanya akan dijadikan sarana untuk membunuh Pewaris tahta HAstinapura yang sah. Sekarang semuanya telang berlangsung amat cepat. Arsitek nomor satu di HAstinapura benar-benar tekah luluh lantak menjadi arang dan abu, bersama dengan karya terakhirnya yang sebelumnya sangat mempesona. Selain Purucona, ada enam orang yang mengalami nasib seperti Purucona. Mereka ditemukan di depan pintu ruang belakang.
Siapa lagi kalau bukan Kunthi dan ke lima anaknya.
Ketika matahari mulai meninggi, bukit letak pesanggrahan Bale Sigala-gala dibangun, penuh sesak. Orang-orang pada datang untuk memastikan apakah Raden Yudhisthira dan saudara-saudaranya dan juga Ibunya dapat menyelamatkan diri?
“Inilah mayat Kunthi, walaupun sudah menjadi arang, masih kelihatan bahwa ini adalah mayat seorang wanita. Dan yang lima ini adalah anak-anaknya, yaitu: Yudhisthira, Bimasena, Herjuna, Nakula dan Sadewa.”
Dengan penuh kelegaan Sengkuni menyakinkan bahwa ke enam mayat yang ada, adalah Kunthi dan Pandhawa lima. Dan rupanya keyakinan Sengkuni tersebut tak terbantahkan, karena ada bukti yang ditunjukan. Para rakyat bersedih. Para kawula menangis, melihat ke enam mayat yang diyakinkan Sengkuni adalah mayat Kunthi dan anak-anaknya. Tidak ada yang menyuruh, para kawula pedesan yang datang, bersimpuh mengelilingi keenam mayat tersebut. Rasa hormat dan rasa cinta yang begitu tinggi yang ditunjukkan oleh rakyat HAstinapura kepada Pandawa, walaupun sudah menjadi abu, membuat Sengkuni dan Para Kurawa panas hatinya. Maka segeralah Patih Sengkuni memberikan perintah untuk membubarkan para kawula pedesaan itu. Satu persatu mereka meninggalkan puing-puing Bale Sigala-gala dengan kepala tunduk. Tanpa disadari kaki mereka menginjak-injak abu Purucona sang Arsitek yang malang.
Para kawula yang diusir Patih Sengkuni menjauh dari puing-puing kebakaran, namun mereka enggan untuk meninggalkan halaman Bale Sigala-gala. Jika pun ada yang keluar halaman, mereka berpencar tidak jauh dari pagar halaman Bale Sigala-gala. Diantara para kawula HAstinapura yang masih berada disekeliling Bale Sigala-gala, terdapat istri dan anak Purucona.. Ibu dan anak tersebut datang dari kotaraja ingin menyaksikan secara langsung keindahan Pesanggrahan Bale Sigala-gala, hasil karya Purucona. Sampai di tempat pesta isteri dan anak arsitektur nomor satu negara HAstinapura tersebut memandang kagum Bangunan pesanggrahan Bale Sigala-gala. Kekaguman mereka tidak sendiri. Karena hampir sebagian besar para tamu undangan yang hadir mengagumi karya Purucona.
Namun keindahan bangunan tersebut dalam sekejap berubah dengan cepat. Seperti mimpi rasannya. Kini pesanggrahan yang indah telah hangus terbakar. Tak terbayangkan bahwa pesanggrahan yang dibangun ayahnya siang malam dengan susah payah tak kenal lelah, telah lenyap dalam seketika. Bahkan Purucona ikut lenyap bersama bangunan karyanya.
Rasa cemas dan kawatir semakin memuncak, ketika sampai siang hari, ibu dan anak tersebut tidak mendapati orang yang amat disayangi.
Tidak! Purucona tidak mati! Ia masih hidup pada waktu yang amat panjang.. Buktinya bahwa karya bangunan yang dihasilkan tersebar di seluruh penjuru negeri HAstinapura. Ilmu-ilmunya tentang bangunan sudah diberikan kepada murid-muridnya, anak buahnya, tukang-tukangnya. Lihatlah banyak bangunan yang berdiri di kotaraja HAstinapura yang disebut gaya Purucanan. Dan kemudian ilmu-ilmu arsitektur Purucanan tersebut telah tumbuh dan berkembang bahkan hingga ke manca negara.
Ibu dan anak itu berusaha menyangkal bahwa Purucona tidak mati hangus bersama bangunan karyanya. Mereka masih mengharapakan bahwa Purucona hidup dan tinggal bersama-sama dengan keluarga dalam damai, dan penuh kasih sayang.
Namun harapan tersebut semakin tipis. Purucona sudah tidak tampak lagi. Menurut dua tamu yang hadir pada malam pesta, mereka menyaksikan, ketika ada api berkobar dan langsung menjadi besar, empat perajurit menghalangi Purucona yang hendak menyelamatkan diri dari kobaran api. Bahkan yang lebih mengerikan, keempat perajurit tersebut melemparkan Purucona ke dalam kobaran api. Purucona menjerit keras-keras. Namun suara jeritannya tenggelam oleh suara ledakan tiang-tiang yang berisi sendawa.
“Ayah! Betapa malang nasibmu. Engkau dipakai sebagai alat konspirasi tingkat tinggi. Awalnya ia diberi kesempatan untuk berjalan di depan tetapi kemudian ditusuk dari belakang. Patih Sengkuni, si jahanam akan kubunuh engkau.”
“Jangan anakku! Jangan! Jika kau lakukan, ibarat sulung masuk api, tak ada gunanya. Engkau akan mati sia-sia. Aku tidak mau kehilangan engkau.”
Anak Purucona tidak meneruskan niatnya. Benar apa yang dikatakan ibunya. Jika ia menuruti emosinya dan berusaha membunuh Patih Sengkuni, entah berhasil ataupun tidak, maka akibatnya ia sendiri yang akan dibunuh. Dan jika hal itu yang terjadi, ibunya pasti akan lebih menderita. Sudah kehilangan suami dan kemudian kehilangan anak satu-satunya.
“Ibu kita tinggalkan tempat ini dengan segera”.
Peristiwa Bale Sigala-gala menjadi sejarah hitam-pekat bagi keluarga Purucona. Walaupun di kotaraja mereka mempunyai rumah besar, megah dan asri, mereka tidak mau lagi kembali ke HAstinapura. Bagi mereka negaranya tidak dapat diandalakan untuk mengayomi warganya. Para penguasa negeri itu bersikap arogan. Ambisi pribadi dikedepankan. Kekuasaan dipakai sebagai alat untuk menguasai. Kedudukan hanya menjadi sarana untuk menginjak-injak rakyat dan memperlakukan rakyat sesuka hatinya. Jika untuk kepentingan diri sendiri, yang benar dapat disalahkan dan yang lurus diadili.
“Huh! Tidak sudi lagi aku menginjakan kakiku di kotaraja, sebelum Patih Sengkuni dan begundalnya lengser dari jabatannya.
Anak Purucona dan Ibunya berjalan tanpa tujuan. Mereka mempunyai hasrat yang sama, yaitu menjauhi Kotaraja HAstinapura, tempat para penguasa memperlakukan dan membunuh ayahnya sedemikian keji.
Peristiwa Bale Sigala-gala sangat menggemparkan seluruh kawula HAstinapura. Bukan karena bangunan yang elok asri itu ludes terbakar, tetapi terutama karena Anak-anak Pandudewanata calon raja yang didambakan rakyat menjadi korban. Pandita Durna yang pada waktu kejadian belum berperan banyak selain sebagai guru dari warga Pandawa dan warga Korawa, ikut prihatin dan bersedih, pasalnya karena dua murid terbaiknya yakni Bimasena dan Herjuna menjadi korban.
Jika oleh banyak orang peristiwa Bale Sigala-gala dicatat sebagai tragedi pilu umat manusia, namun tidak oleh Patih Sengkuni. Ludesnya Bale Sigala-gala sama artinya dengan sirnanya penghalang yang merintangi ambisinya untuk mendudukan Doryudana di tahta HAstinapura. Oleh karenanya patut disambut dengan sukaria. Tetapi benarkah Sengkuni berhasil menyingkirkan para Pandawa? Memang sementara ini kawula HAstinapura mempercayai bahwa warga Pandawa telah mati.
“Telah Mati!? Ucapkan sekali lagi Sengkuni dengan sejelas-jelasnya!
“Ampun Kakanda Prabu, memang benarlah adanya. Kami tidak dapat berbuat apa-apa. Api terlalu cepat berkobar dan menghabiskan Pesanggrahan Bale-Sigala se isisnya. Termasuk Kakang Mbok Kunthi, dan ananak-anaknya, juga Purucona sang arsitek itu.’
Destarastra menyesali dirinya yang dilahirkan buta. Karena dengan tidak dapat melihat, banyak kendala-kendala yang dihadapi dalam memerintahkan negara besar seperti HAstinapura ini. Ia selama ini hanya mengandalkan laporan-laporan yang sering tidak sesuai dengan kenyataannya. Bahkan tidak jarang yang merah dilaporkan hijau dan yang kuning dilaporkankan putih. Tergantung dari kepentingan yang melaporkan. Sedih rasa menjadi raja tidak dapat mengerti kondisi yang sebenarnya dari rakyatnya. Kalau tidak karena rasa cintanya kepada Pandu adiknya, sesungguhnya ia tidak mau menduduki tahta HAstinapura. Jika pun dirinya berambisi menjadi raja, tentunya sebagi anak sulung laki-laki dari Prabu Kresnadwipayana, raja HAstinapura sebelumnya. Ia akan bersikeras menduduki tahta. Namun karena menyadari keterbatasannya, dengan tulus ia merelakan tahta HAstinapura kepada adiknya.
Namun yang terjadi selanjutnya adalah bahwa tahta kembali pada dirinya. Pandu telah wafat akibat kutukan Resi Kimindama. Destarastra memerintah negara HAstinapura dengan segala keterbatasannya. Satu hal yang masih dipegang teguh oleh Destarastra, yaitu bahwa tahta HAstinapura ini adalah titipan Pandu untuk diwariskan kepada anak-anaknya. Tinggal menunggu waktu. Yamawidura adik bungsu Destarastra ditugaskan untuk mendampingi anak-anak Pandu dan mempersiapkan lahir batin, agar pantas menjadi raja.
Selang waktu mulai dari meninggalnya Pandudewanata hingga sampai para Pandhawa tumbuh dewasa dan siap menjadi raja inilah yang dimanfaat oleh Patih Sengkuni dan Gendari. Mereka menyusun rencana untuk mendudukan Duryudana menjadi raja. Salah satunya usaha yang dilakukan mereka adalah menjebak Destarastra dengan undang-undang kerajaan yang berbunyi bahwa setiap anak sulung laki-laki raja yang usianya sudah mencukupi, wajib diwisuda menjadi Putra Mahkota. Destarastra menolak. Ia tahu kelicikan Patih Sengkuni dan Gendari, isterinya. Jika Destarsatra mewisuda Duryudana sebagai Putra Mahkota, sama halnya dengan menjilat ludahnya sendiri, menarik tahtanya dari Pandu dan memberikannya kepada Duryudana anaknya.
Cara kasarpun pernah dilakukan, yaitu dengan meracun Bimasena yang menjadi kekuatan Pandawa. Namun gagal. Dan sekarang dengan cara yang lebih kasar dan keji, yaitu dengan membakar para pandawa dalam arena pesta.
Oleh karenanya Destarastra dapat menangkap kelicikan dan kepalsuan melalui laporan Patih Sengkuni perihal tragedi Bale Sigala-gala. Destarastra marah besar. Ia tak kuasa mengendalikan dirinya ketika mendengar kabar kematian Kunti dan Pandawa. Destarastra tak kuasa mengeluarkan kata-kata, badannya bergetar, giginya gemeretak. Dari kedua tangannya muncul asap tipis berwarna merah.
“Lebur Sekethi!” Sengkuni gemetar ketakutan, ia bergeser menjauh dari Prabu Destarastra. Para Abdi, Kerabat, Punggawa, Senapati dan Permaisuri panik ketakutan. Telapak tangan Prabu Destarastra yang telah berisi aji Lebur Sekethi diarahkan ke tempat Patih Sengkuni duduk.
“Dhuaaarr”
Suara menggelegar menggema di sitihinggil. Kursi kepatihan lebur jadi debu, dan menyisakan lobang di lantai yang cukup besar dan dalam.
Semua diam, tak ada yang berani mengeluarkan suara. Prabu Destarastra tersengal napasnya. Ia duduk lemas di kursi raja, kursi yang banyak direbutkan orang. Pandangannya seakan menerawang jauh dan jauh sekali. Benarkah Kunthi dan anak-anaknya telah mati? Rasanya tidak mungkin. Bukankah masih ada tugas yang harus dikerjakan? Diantaranya adalah menyeimbangkan negara HAstinapura dari perilaku yang tidak baik dan perilaku yang baik.
Gendari tahu persis bagaimana harus mendampingi Destarastra. Setelah cukup lama Sang Prabu dibiarkan terbang dengan pikirannya dan menyelam dalam perasaannya, Gendari mendekati Sang Prabu dan meraba dadanya dengan penuh kelembutan.
“Sang Prabu, hari menjelang senja, perlulah kiranya Sang Prabu mandi agar badan menjadi segar dan pikiran menjadi dingin.”
Destarastra tidak menolak, ketika dirinya dituntun oleh isterinya yang walaupun tidak suka dengan perilakunya, namun sebenarnya sangat ia sayangi. Tapi pikirannya yang masih dipenuhi perasaan cemas ketika kelima keponakannya mati hangus terbakar dan adik iparnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar