Di hadapan sang raja, Bimasena tidak
mengisahkan peristiwa yang sebenarnya menimpa dirinya di kedung Sungai Gangga
wilayah hutan Pramanakoti. Hal tersebut dilakukan semata-mata agar tidak a...da dendam yang
tersisa di hatinya. Ia teringat nasihat Naga Aryaka ”Bima, janganlah engkau
membalas kejahatan saudara tuamu dengan kejahatan pula, karena hal tersebut
tidak menyelesaikan masalah. Serahkan masalahmu kepada Sang Hyang Tunggal
penguasa alam semesta. Serahkan kepada Dia perbuatan jahat Sengkuni dan Kurawa.
Jika pun ada hukuman, biarlah Dia yang menghukumnya.” Dan Bimasena telah
berjanji untuk mentaati nasihat Naga Aryaka, dewa penguasa sungai telah
menolong, menyelamatkan dan bahkan memberikan anugerah Tirta Rasakundha kepada
dirinya.
Prabu
Destarastra tahu bahwa ada sesuatu kejadian buruk yang disembunyikan Bimasena,
maka pada kesempatan lain Deatarastra memanggil beberapa orang terdekat tanpa
kehadiran Bimasena dan saudara-saudaranya. Pada kesempatan tersebut, Sang Prabu
Destarastra melampiaskan amarahnya kepada Sengkuni.
“Sengkuni,
Sengkuni, sampai kapankah engkau akan mempermainkan aku? Berapa kali engkau
telah meniupkan kabar bohong kepadaku yang adalah raja HAstinapura.”
“Ampun Sang
Prabu Destarastra, waktu itu memang benar, saya melihat dengan mata kepala
sendiri, bahwa seusai pesta, mungkin karena saking banyaknya minum tuak,
Bimasena jalan sempoyongan dan masuk ke kedung sungai Gangga. Para perajurit
berjaga-jaga di pinggir sungai, dan siap menolong jika sewaktu-waktu Bimasena
timbul dari kedung tersebut. Namun hingga sampai dengan hari ke tiga, anak ke
dua dari Pandudewanata tersebut tidak muncul juga. Salahkah jika kemudian aku
menyimpulkan bahwa Bimasena telah mati? Adakah seseorang yang mampu bertahan di
dalam air selama tiga hari?”
“Sengkuni!
Nyatanya engkau salah! Bimasena masih hidup!!!
Bentakan
Destarastra membuat semua yang ada di pisowanan tersebut tertunduk diam. Tidak
ada satupun yang berani mengeluarkan kata-kata. Destarastra sendiri nampaknya
sudah tidak ingin lagi mengeluarkan sepatah kata pun. Bahkan ia memberi isyarat
kepada Gendari agar dituntunnya meninggalkan pisowanan terbatas.
Sengkuni
semakin terbakar atas nasib baik yang dialami Bimasena. Api kebencian yang
menyala-nyala di hati Sengkuni memang ingin sungguh-sungguh diwujudkan untuk
membakar, tidak hanya Bimasena tetapi juga Kunti dan ke lima anaknya.
Untuk sebuah
rencana besar tersebut, Sengkuni tidak mau gagal lagi. Ia memerintahkan
Purucona, arsitek nomor satu di HAstinapura untuk membuat sebuah bangunan
peristirahatan yang indah dan nyaman di atas pegunungan di luar kotaraja
HAstinapura. Bangunan semi permanent tersebut dirancang kusus. Tiang-tiang
bangunan diisi dengan sendawa dan gandarukem, bahan sejenis mesiu dan minyak
yang mudah terbakar.
Kunti dan
Anak-anaknya memang bukan tipe pendendam. Di hati mereka telah diajarkan
bagaimana senantiasa menumbuhkan sikap nan tulus untuk mengasihi kepada
siapapun tak terkecuali, termasuk kepada mereka yang telah menganiaya dirinya.
Karena dengan demikian hatinya tidak ditumbuhi dendam yang menggerogoti dan
meracuni hidupnya.
Oleh
karenanya, sekali lagi, bujuk rayu Sengkuni dan Duryudana berhasil mengajak Ibu
Kunti, Puntadewa, Bimasena, Herjuna, Nakula dan Sadewa untuk merasakan
nyamannya rumah peristirahatan yang bernama Bale Sigala-gala di puncak
pegunungan.
Dua pekan
lagi, saat purnama sidhi, Kunti dan ke lima anaknya berjanji akan memenuhi
undangan Sengkuni dan para Kurawa dalam acara andrawina di Bale Sigalgala.
Mendengar rencana tersebut Sang Paman Yamawidura, orang yang mempunyai
kelebihan dalam hal membaca kejadian yang belum terjadi, merasakan firasat
buruk yang harus dihindari. Maka ia memanggil Kanana abdinya, yang ahli membuat
terowongan. Kanana diperintahkan untuk menyelidiki Pesanggrahan Bale Sigala-gala
dan secepatnya membuat terowongan untuk jalan penyelamatan jika terjadi sesuatu
atas pesanggrahan tersebut.
Kanana segera
melaksanan perintah rahasia Yamawidura dengan sebaik-baiknya, serapi-rapinya
dan secepat-cepatnya. Ia tahu bahwa sosok Yamawidura adalah titisan Bathara
Dharma, dewa keadilan dan kebenaran. Ia mempunyai kelebihan dan tak tertanding
di negara HAstinapura dalam hal membaca kejadian yang akan terjadi. Raja
Sendiri mengakui kelebihan adiknya yang sangat disayanginya itu. Maka Kanana meyakini
bahwa bakal terjadi huru-hara besar, dan terowongan yang ia buat atas perintah
Yamawidura, benar-benar akan menjadi sarana untuk jalan penyelamatan. Kurang
dari dua pekan Terowongan yang panjangnya lebih dari 400 langkah tersebut telah
selesai. Kanana benar-benar menunjukan kualitasnya.
Pada malam
menjelang pesta di Balai Sigala-gala, tepat pada tabuh ke sebelas Yama Widura
mengidungkan mantra-syair yang isinya mengingatkan agar setiap orang selalu
waspada dan berjaga-jaga dalam doa dan pujian, untuk memohon keselamatan, jauh
dari segala yang jahat.
Kunti dan Bima
belum tidur. Mereka terhanyut oleh syair-syair yang dikidungkan Yamawidura.
Batin yang cerdas dapat menangkap bahwa melalui Kidung malam tersebut
Yamawidura ingin mengingatkan agar Kunti dan Anak-anaknya yang besok sore akan
memenuhi undangan para Kurawa di Bale Sigala-gala jangan menanggalkan
kewaspadaan dan selalu berdoa mohon terhindar dari segala mara bahaya.
Lewat tengah
malam, Yamawidura menyelesaikan pembacaan mantra yang di kidungkan. Hampir
bersamaan, Kunti dan Bimasena terlelap dalam tidur, menyusul Puntadewa,
Herjuna, Sadewa, Nakula dan juga Padmarini isteri Yamawidura dan kedua anaknya
Sanjaya dan Yuyutsuh.
Malam merambat
pelan dilangit Panggombakan. Seakan enggan menemui pagi. Mungkin karena ia
tidak sampai hati menyaksikan tragedi besar yang akan terjadi di rumah indah
dan asri yang bernama Bale Sigala-gala.
Kicau burung
bersautan di pagi itu. Langit Panggombakan biru cerah. Tak ada sedikit pun awan
yang menggelantung. Kunthi dan anak-anaknya merasakan pula cerahnya hari itu.
Secerah hati mereka yang tidak pernah terhalang awan dendam dan kebencian,
kendati mereka menjadi sasaran irihati. Seperti yang terjadi belum lama ini,
para Kurawa gagal membunuh Bimasena di hutan Pramanakoti. Dikarenakan dari
pihak Pandawa mudah melupakan perbuatan jahat yang dilakukan Sengkuni dan para
Kurawa maka Pandawa tidak menaruh curiga seikitpun atas undangan pesta di Bale
Sigala-gala nanti sore. Bahkan bagi Pandhawa kesempatan tersebut dapat menjadi
sarana untuk merekatkan hubungan persaudaraan.
Lain yang
dirasakan para Pandhawa, lain pula yang dirasakan Yama Widura. Sejak Kunthi dan
para Pandhawa merencakan akan datang pesta memenuhi undangan warga Korawa di
Bale Sigala-gala, Yama Widura, paman dari para Pandhawa itu gelisah. Semalaman
ia tidak dapat tidur. Kidung mantra tulak bala, memohon keselamatan mengalun
hingga tenggah malam. Sementara malam yang tersisa digunakan untuk berdoa di
sanggar pamujan. Apa yang telah dilakukan Yama Widura, termasuk juga pembuatan
terowongan yang dikerjakan oleh Kanana, adalah semata-mata demi keselamatan
Kunti dan para Pandhawa.
Pagi itu, Yama
Widura menerima Kunthi dan anak-anaknya yang hendak berpamitan pergi ke gunung
Waranawata menghadiri undangan pesta di Bale Sigala-gala
“Kakang Mbok
Kunti dan anak-anakku Pandawa, kemeriahan pesta dapat dengan mudah membuat
orang lupa. Oleh karenanya jangan tinggalkan kewaspadaan. Bimasena engkau orang
yang paling perkasa diantara Ibu dan saudara-saudaramu. Padamulah aku titipkan
keselamatan Ibu dan saudara-saudaramu.”
Dihantar oleh
tatapan cemas Yamawidura. Kunthi dan ke lima anaknya meninggalkan Panggombakan.
Sejak pagi
Bale Sigala-gala menampakan kesibukannya. Aneka bunga dan umbul-umbul menghias
halaman dan ruangan. Sebagian besar warga Kurawa telah hadir di situ. Bale
Sigala-gala nampak indah mempesona. Purucona dengan bangga melihat karyanya
yang istimewa. Semua yang melihat bangungan tersebut selalu berdecak kagum.
Nama Purucona yang sudah dikenal menjadi semakin terkenal.
Namun
tiba-tiba hati Purucona berdesir tatkala membayangkan bahwa nanti malam Bale
yang indah menawan akan berubah menjadi kobaran api. Dan api tersebut akan
membakar Kunti dan anak-anaknya.
“Purucona!!!
Engkau harus mencegah agar Bale Sigala-gala tidak menjadi alat untuk membunuh
orang yang tak berdosa.”
Puruncona
merasa bersalah. Ia gelisah sepanjang hari. Hingga menjelang pesta kegelisahan
Purucona semakin menjadi-njadi. Satu persatu tamu yang datang menambah rasa
bersalah semakin berat menekan hati sang arsitek nomor satu di HAstinapura.
Ketika sayup
terdengar bunyi kenthongan tujuh kali, tamu undangan telah memenuhi ruangan
pesta. Namun Patih Sengkuni, Duryudana, Dursasana dan para Kurawa belum
menampakan kelegaan. Dikarenakan tamu istimewa yang ditunggu-tungu belum
datang, yaitu Kunti dan anak-anaknya. Jika para Pandawa tidak datang apalah
artinya pesta yang menelan biaya sangat banyak ini?.
Kunthi dan
Pandhawa seharusnya sudah sampai di tempat pesta, namun sebelum memasuki lokasi
pesta mereka ditemui oleh Kanana, utusan Yamawidura. Ada pesan rahasia
disampaikan khususnya kepada Bimasena, seperti yang telah diisyaratkan
Jamawidura; “Jangan tinggalkan kewaspadaan! Bimasena engkau orang yang paling
perkasa diantara Ibu dan saudara-saudaramu. Padamulah aku titipkan keselamatan
mereka” Bimasena meminta Kanana untuk berterus terang apa yang akan terjadi dan
tindakan apa yang seharusnya aku lakukan. Namun Kanana tergesa untuk pergi,
karena takut diketahui oleh Patih Sengkuni dan warga Kurawa.
Sejak Kanana
menyelesaikan terowongan rahasia yang berada di ruang paling belakang, ia
menyamar sebagai tenaga kasar yang ikut mempersiapkan perlengkapan pesta. Hal
tersebut dilakukan supaya ia dapat menjaganya agar keberadaan terowongan
rahasia teresebut tidak diketahui oleh para Kurawa.
Menjelang
tabuh ke delapan, Kunti, Puntadewa, Bimasena, Arjuna dan si kembar Sadewa dan
Nakula datang. Duryudana mendekati Sengkuni sambil berbisik. Sengkuni
menolehkan mukanya kegerbang masuk. Patih Sengkuni dan Duryudana tergopoh-gopoh
menyambut mereka.
Keramahtamahan
Sengkuni memang berlebihan, membuat risi tamu-tamu yang hadir, selain warga
Kurawa. Namun tidak untuk Kunti dan Pandawa sikap Sengkuni dan warga Kurawa
dirasakan merupakan perhomatan khusus sesama saudara.
Pesta itu
sungguh meriah. Para petugas yang mengurusi makanan, minuman dan acara pesta,
menjalankan tugasnya dengan baik dan rapi. Aneka hidangan pesta mbanyu mili,
mengalir tak pernah henti. Demikian juga acara yang dipentaskan, berganti-ganti
penuh variasi.
Suasana
gembira, acara meriah dan makanan melimpah, menyihir para penikmat pesta untuk
terhanyut dalam suasana memabukan. Satu persatu kewaspadaan mereka hilang, Para
Kurawa kecuali Patih Sengkuni, Duryudana dan Dursasana sudah tidak dapat
mengontrol diri sendiri. Melihat suasana yang semakin memabukan, pemuka pesta
terpaksa menghentikan satu acara yang masih tersisa, karena sudah tidak
mendapat perhatian.
Keadaan
menjadi lebih hening. Yang tersisa tinggal beberapa suara gemelintingnya gelas
minuman dan piring makanan. Karena sebagian besar yang lain sudah menghentikan
makannya karena sudah tidak ada sedikitpun ruang perut yang kosong.
Jika semula
pesta ini dirancang untuk membawa Kunti dan anak-anaknya terhanyut dalan
suasana pesta yang memabukan dan lupa akan dirinya, sehingga mudah diperdaya.
Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Justru para Kurawa yang seharusnya
berpura-pura, malah lebih dahulu terhanyut dalam haru birunya pesta.
Sengkuni
menjadi binggung. Bagaimana akan melaksanakan rencananya. Dalam keadaan mabuk,
ia kesulitan membawa warga Kurawa keluar dari Bale Sigala-gala.
Suasana
berangsur-angsur hening. Dentingan perkakas yang saling beradu diantara sendok
dengan gelas, mangkuk dan piring, sudah tidak terjadi lagi. Para petugas yang
mengontrtol makanan dan minuman sudah berhenti melakukan panambahan hidangan.
Dikarenakan makanan memang masih cukup ada, masih cukup untuk tamu yang ada.
Bahkan mereka mulai mencicil untuk menyingkirkan aneka perkakas yang sudah
kotor oleh sisa-sisa makanan dan minuman. Bersamaan dengan itu, datanglah
rombongan petapa yang sengaja mampir untuk meminta makanan. Jumlahnya enam
orang lima orang putra dan satu orang putri. Kedatangannya disambut hangat oleh
para Pandawa, mereka dipersilakan menikmati makanan yang masih terhidang dengan
leluasa.
Sementara itu
Sengkuni dan Duryudana dibuat geram. Warga Kurawa telah gagal melaksanakan
tugasnya. Semula diharapan warga Kurawa ikut berpesta tersebut hanya untuk
membuat suasana pesta meriah. Dengan berpura-pura ikut makan dan minum
sebanyak-banyaknya, agar para Pandhawa terpancing untuk ikut makan dan minum
sampai mabuk dan tak sadarkan diri, sehingga dengan mudah Sengkuni dapat
melaksanakan rencananya yaitu membakar Bale Sigala-gala beserta Kunthi dan para
Pandhawa.
Namun yang
terjadi justru sebaliknya. Para warga Kurawa lah yang tidak dapat menahan diri.
Mereka terlalu banyak makan dan minum sehingga menjadi mabuk. Perilaku warga Kurawa tersebut secara tidak
sadar telah menghambat rencananya sendiri, rencana warga Kurawa yang
diprakarsai oleh Patih Sengkuni. Tentunya tidaklah mungkin untuk menunggu
mereka yang mabuk sadar kembali. Sengkuni dan Duryudana harus berpacu dengan
waktu. Jangan sampai fajar mulai merekah diufuk Timur, Bale-Sigala-gala masih
utuh berdiri.
Maka dengan
hati-hati agar tidak menimbulkan kecurigaan bagi Kunthi dan anak-anaknya,
Duryudana dibantu oleh para hulubalang dan tenaga kasar yang lain, memapah
keluar para pemabuk yang tak sadarkan diri. Setelah semua warga Kurawa dan
beberapa orang yang mabuk di amankan di tempat yang jauh dari Bale Sigala-gala,
Sengkuni mempersilakan Kunthi dan Nakula untuk beristirahat dan tidur di ruang
yang telah disediakan, tepatnya di belakang ruang pesta, menyusul Bimasena,
Arjuna dan Sadewa. Ketika Kunthi dan Nakula menuju ke ruang belakang, mereka
melihat ke enam Petapa tidur nyenyak sekali di lantai, tidak seberapa jauh
dengan pintu ruang belakang. Mereka sangat kecapaian. Dewi Kunthi menyapa
lembut, dengan tanpa mengharap balasan.
“Selamat malam
sang petapa, selamat beristirahat dan sampai jumpa di esok hari.”
Malam merambat
menuju pagi. Dari kejauhan, terdengar suara kentongan yang berbunyi dua kali,
mengisyaratkan bahwa waktu telah menunjukan pukul dua dini hari. Sampai di
ruang belakang Kunthi melihat Bimasena, Arjuna dan Sadewa masih terjaga. Yang
mengejutkan Kunthi bahwa diantara mereka ada seorang abdi dari Panggombakan,
orang terdekatnya Yamawidura yang ahli membuat terowongan, bernama Kanana. Ada
apa dengan Kanana?
Dengan wajah
serius Kanana memohon agar diberi kesempatan menjelaskan hal rahasia dengan
tanpa didengar oleh orang lain selain Dewi Kunthi dan dan anak-anaknya. Pintu
ruangan ditutup perlahan sekali, mereka memusatkan perhatian dan pandangannya
pada Kanana yang akan membeberkan hal penting penuh rahasia.
“Mohon maaf
sebelumnya, Ibu Kunthi dan para Putra, beberapa pekan lalu, saya diperintahkan
untuk membuat terowongan rahasia sebagai jalan penyelamatan jika sewaktu-waktu
terjadi bencana di pesta Bale Sigala-gala. Terutama kepada Raden Bimasena, Bapa
Yamawidura mengingatkan agar selalu waspada dan bertindak cepat untuk
menyelamatkan Ibu Kunthi beserta saudara-saudaranya, sewaktu bencana yang di
kawatirkan benar-benar terjadi. Inilah pitu terowongan itu.
Kunthi dan
para Pandawa ternganga. Mereka tidak menyangka bahwa lantai yang beralas
permadani di ruang itu dapat dibuka dengan mudah. Setelah dibuka oleh Kanana
ternyata dari lobang tersebut ada tangga yang menuju ke pintu terowongan. “Jika
terjadi sesuatu, terowongan inilah yang akan membawa kita sampai di bawah bukit
dengan selamat”
Baru saja
Kanana akan menutup pintu terowongan kembali, mereka dikejutkan oleh cahaya
merah yang tiba-tiba saja menjadi besar. Hawa panas dengan cepat merambat ke
seluruh tubuh mereka.
“Kebakaran!
Kebakaran! Kebakaran!
Kunthi
teringat kepada ke enam petapa yang tidur tidak jauh dari pintu ruangan ini.
Tetapi ketika akan membuka pintu, ternyata pintu tersebut telah dikancing dari
luar. Kunthi sempat berteriak “ Selamat malam Sang Petapa” Kunthi berusaha
untuk membuka pintu, namun sebelum berhasil ia telah disaut oleh Bimasena dan
bersama para Pandhawa dibawa masuk ke pintu terowongan. Kanana bergerak cepat
menutup pintu, setelah Kunthi dan anak-anaknya dipastikan telah masuk
terowongan
Kunthi bersama
lima anaknya telah masuk terowongan rahasia, menyusul peristiwa kebakaran hehat
di Bale Sigala-gala. Namun pikiran dan hatinya masih tertinggal di ruangan
tempat ke enam petapa tidur. Ia membayangkan bahwa keenam brahmana yang tidur
nyenyak, tidak akan mampu menyelamatkan diri dari kepungan api yang merambat
teramat cepat. Betapa dahsyatnya kebakaran itu. Hawa panasnya mampu menembus
beberapa langkah dari mulut terowongan. Bima menggendong Nakula dan Sadewa
berjalan paling belakang menyusuri terowongan, menjauhi pintu trowongan yang
terasa semakin panas. Mereka mengikuti cahaya putih yang berjalan paling depan.
Bima berusaha menenangkan Ibu dan saudara-saudaranya, terutama si kembar Nakula
dan Sadewa yang menangis ketakutan.
Siapakah
cahaya putih di depan itu? Dialah Kanana? Abdi Paman Yamawidura yang ahli
membuat terowongan? Pertanyaan Dewi Kunthi dan anak-anaknya rupanya tidak
membutuhkan jawaban. Bagi mereka yang penting adalah bahwa cahaya putih itu
akan menuntunnya keluar dari terowongan ini menuju tempat yang aman, jauh dari
kobaran api Bale Sigala-gala, api yang dinyalakan dari kobaran hati yang penuh
dendam dan kebencian.
Sebenarnya apa
yang terjadi di Bale Sigala-gala? Bale artinya bangunan rumah, Gala adalah
jabung. Bahan yang bisa menjadi keras seperti semen, namun mudah terbakar.
Itulah alasan Patih Sengkuni menggunakan jabung sebagai bahan utama untuk
membuat bangunan. Ditambah lagi dengan tiang-tiang penyangga bangunan, yang
telah diisi dengan sendawa dan gandarukem, bahan sejenis mesiu yang bisa
meledak. Dengan demikian jadilah pesanggrahan “Bale Sigala-gala” yang siap
dibakar dan diledakan. Sengkuni yakin, bahwa Bale Sigala-gala akan mampu
mengubah tulang daging Kunthi dan Pandawa menjadi abu dan arang.
Purucona cepat
bakar! Bakar! Bakar!!! Perintah tersebut terdengar keras, namun walaupun begitu
tidak ada seorang pun diantara Kunthi dan para Pandhawa yang bisa menyelamatkan
diri keluar dari Bale Sigala-gala. Apalagi ruangan yang ditempati Kunti dan
anak-anaknya telah dikancing dari luar. Sehingga dipastikan bahwa mereka
terbakar di dalam ruangan.
Api berkobar
ganas, disusul suara ledakan ledakan keras dari tiang-tiang bangunan yang diisi
sendawa dan gandarukem. Malang bagi Purocana, undagi nomor satu di HAstinapura
tersebut sengaja dijadikan tumbal untuk peristiwa Balesigala-gala ini Ia,
setelah menyulut Bale Sigala-gala dilempar paksa ke dalam api oleh beberapa
perajurit yang ditugaskan Sengkuni. Karena jika tidak, dikhawatirkan Purucona
akan membeberkan rekayasa kebakaran di Bale Sigala-gala.
Patih
Sengkuni, Duryudana, Dursasana dan para Korawa yang lain, serta para perajurit
dan pekerja pesta, dari kejauhan memandangi lidah-lidah api yang menimbulkan
asap hitam pekat. Tanpa berkedip Patih Sengkuni memandangi Bale Sigala-Gala
yang dibakar, untuk memastikan bahwa tidak ada seorangpun diantara Kunthi dan anak-anaknya
menyelamatkan diri, keluar dari kobaran api. Artinya bahwa Kunthi dan ke lima
anaknya hangus terbakar. Karena memang hanya tinggal enam orang yang masih
berada di dalam bangunan Bale Sigala-gala, karena yang lainnya telah diajak
keluar sebelum kebakaran terjadi. Yah tinggal enam orang. Kunthi, Puntadewa.
Bimasena, Arjuna, Nakula dan Sadewa. Dan pasti tubuh mereka telah menjadi arang
dan abu. Demikian pikir Sengkuni.
Wajah Sengkuni
dan warga Kurawa nampak lega dan senang. Karena dengan tewasnya para Pandawa,
tidak ada lagi yang menghalangi Duryudana menduduki tahta HAstinapura.
Namun bagi
yang tidak tahu menahu rencana dibalik semua itu, termasuk para pekerja pesta,
peristiwa kebakaran di Bale Sigala-gala itu sungguh mengherankan. Pasalnya
bahwa warga Kurawa dan perajuritnya. Tidak berusaha untuk memadamkan api Juga
perihal evakuasi. Semua warga Kurawa yang mabuk, telah dibawa keluar dari Bale
Sigala-gala sesaat sebelum kebakaran terjadi. Sepertinya ada rencana sebelumnya
bawa Bale Sigala-gala sengaja dibakar. Tanda-tanda adanya kesengajaan dalam
peristiwa kebakaran tersebut semakin dikuatkan ketika menjelang deti-detik
terjadinya kebakaran, terdengar teriakan ‘cepat bakar!’
Lepas dari
sekenario yang dilakukan, peristiwa kebakaran Bale Sigala-gala merupakan
tragedi kemanusiaan yang memilukan. Rakyat pedusunan yang berada dibawah bukit
pesanggrahan terbangun karenanya. Mereka tidak tahu-menahu latar belakang dan
penyebab kebakaran Bale Sigala-gala. Namun mata hati mereka menatap pilu api
yang berkobar menjilat angkasa pada dini hari itu. Dibenak mereka muncul
gambaran yang memilukan. Adhuh, Dewi Kunthi dan para Pandawa ada di sana. Tadi
siang lewat di dusun ini. Dielu-elukan oleh warga dusun. Disambut sebagai calon
raja pengganti Pandudewanata. Rakyat berharap, pada saatnya nanti, ketika Raden
Puntadewa menjadi raja akan mampu merubah nasib mereka.
Namun saat
ini, ketika api telah membakar Bale Sigala-gala, mereka menangis. Para Pandhawa
yang mereka cintai dan mereka harapkan akan menjadi raja yang adil bijaksanan
telah hangus terbakar. Seperti harapan mereka akan kesejahteraan dan
ketenteraman. Telah lenyap ditelan asap.
Dini hari yang
naas itu akan segera berlalu, dan kidung malam pun tak terdengar lagi, namun
rupanya fajar masih enggan menyinarkan cahayanya, sebelum yang bertikai membuka
cedela hati.
Pesanggrahan Bale Sigala-gala yang indah
megah, tak mampu bertahan lama dari amukan api. Purucona seorang undag...i atau ahli
bangunan terkemuka di HAstinapura. Termasuk juga menjadi korban keganasan api.
Ia dipaksa untuk menyulut Bale Sigala-gala yang ia bangun dengan bahan yang
mudah terbakar. Ketika api mulai ganas menyala, Purucona dilemparkan ke dalam
api oleh beberapa pengawal yang telah dipersiapkan. Sungguh malang nasibnya si
Purucona. Ia sengaja dijadikan tumbal untuk rencana besar ini. Awal tragedi
Purucona adalah ketika Patih Sengkuni menemui dirinya dan memerintahkan untuk
membangun sebuah pesanggrahan yang indah menawan. Kepercayaan langsung dari
Patih HAstinapura kepada dirinya membuat Purucona benar-benar merasa bangga dan
gembira. Oleh karena kepercayaan yang diberikan kepadanya Purucona ingin
menunjukkan bahwa dalam waktu yang relatif pendek ia mampu menciptakan sebuah
karya bangunan yang indah.
Konsep
bangunan pesanggrahan Bale Sigala-gala adalah ‘Pradah’ artinya ruang-ruang yang
ada dibuat terbuka. Dengan desain yang sedemikian rupa Purucona menginginkan
setiap ruangan yang ada mampu mempunyai daya undang bagi siapa saja untuk
masuk. Setelah mereka masuk, mereka akan dimanjakan dengan ruangan yang nyaman,
udara yang segar dan hidangan yang lezat. Sehingga semua orang yang datang,
masuk ruangan dan menikmati hidangan yang disajikan akan menjadi lupa terhadap
beban hidup yang berat.
Semula tidak
terlintas sedikitpun dibenaknya bahwa pada akhirnya bangunan itu dibuat demi
sebuah sarana untuk melenyapkan Pandhawa lima dari muka bumi. Para Pandawa
diundang masuk menikmati hidangan pesta agar menjadi lupa, sehingga
meninggalkan kewaspadaan dan akhirnya tidak tahu akan datangnya bahaya api yang
meluluh-lantakan semuanya.
Maka pada
malam itu Purucona menjadi shock setelah mengetahui bahwa Bale Sigala-gala
karyanya akan dijadikan sarana untuk membunuh Pewaris tahta HAstinapura yang
sah. Sekarang semuanya telang berlangsung amat cepat. Arsitek nomor satu di
HAstinapura benar-benar tekah luluh lantak menjadi arang dan abu, bersama
dengan karya terakhirnya yang sebelumnya sangat mempesona. Selain Purucona, ada
enam orang yang mengalami nasib seperti Purucona. Mereka ditemukan di depan
pintu ruang belakang.
Siapa lagi
kalau bukan Kunthi dan ke lima anaknya.
Ketika
matahari mulai meninggi, bukit letak pesanggrahan Bale Sigala-gala dibangun,
penuh sesak. Orang-orang pada datang untuk memastikan apakah Raden Yudhisthira
dan saudara-saudaranya dan juga Ibunya dapat menyelamatkan diri?
“Inilah mayat
Kunthi, walaupun sudah menjadi arang, masih kelihatan bahwa ini adalah mayat
seorang wanita. Dan yang lima ini adalah anak-anaknya, yaitu: Yudhisthira,
Bimasena, Herjuna, Nakula dan Sadewa.”
Dengan penuh
kelegaan Sengkuni menyakinkan bahwa ke enam mayat yang ada, adalah Kunthi dan
Pandhawa lima. Dan rupanya keyakinan Sengkuni tersebut tak terbantahkan, karena
ada bukti yang ditunjukan. Para rakyat bersedih. Para kawula menangis, melihat
ke enam mayat yang diyakinkan Sengkuni adalah mayat Kunthi dan anak-anaknya.
Tidak ada yang menyuruh, para kawula pedesan yang datang, bersimpuh
mengelilingi keenam mayat tersebut. Rasa hormat dan rasa cinta yang begitu
tinggi yang ditunjukkan oleh rakyat HAstinapura kepada Pandawa, walaupun sudah
menjadi abu, membuat Sengkuni dan Para Kurawa panas hatinya. Maka segeralah
Patih Sengkuni memberikan perintah untuk membubarkan para kawula pedesaan itu.
Satu persatu mereka meninggalkan puing-puing Bale Sigala-gala dengan kepala
tunduk. Tanpa disadari kaki mereka menginjak-injak abu Purucona sang Arsitek
yang malang.
Para kawula
yang diusir Patih Sengkuni menjauh dari puing-puing kebakaran, namun mereka
enggan untuk meninggalkan halaman Bale Sigala-gala. Jika pun ada yang keluar
halaman, mereka berpencar tidak jauh dari pagar halaman Bale Sigala-gala.
Diantara para kawula HAstinapura yang masih berada disekeliling Bale
Sigala-gala, terdapat istri dan anak Purucona.. Ibu dan anak tersebut datang
dari kotaraja ingin menyaksikan secara langsung keindahan Pesanggrahan Bale
Sigala-gala, hasil karya Purucona. Sampai di tempat pesta isteri dan anak
arsitektur nomor satu negara HAstinapura tersebut memandang kagum Bangunan
pesanggrahan Bale Sigala-gala. Kekaguman mereka tidak sendiri. Karena hampir
sebagian besar para tamu undangan yang hadir mengagumi karya Purucona.
Namun
keindahan bangunan tersebut dalam sekejap berubah dengan cepat. Seperti mimpi
rasannya. Kini pesanggrahan yang indah telah hangus terbakar. Tak terbayangkan
bahwa pesanggrahan yang dibangun ayahnya siang malam dengan susah payah tak
kenal lelah, telah lenyap dalam seketika. Bahkan Purucona ikut lenyap bersama
bangunan karyanya.
Rasa cemas dan
kawatir semakin memuncak, ketika sampai siang hari, ibu dan anak tersebut tidak
mendapati orang yang amat disayangi.
Tidak!
Purucona tidak mati! Ia masih hidup pada waktu yang amat panjang.. Buktinya
bahwa karya bangunan yang dihasilkan tersebar di seluruh penjuru negeri
HAstinapura. Ilmu-ilmunya tentang bangunan sudah diberikan kepada
murid-muridnya, anak buahnya, tukang-tukangnya. Lihatlah banyak bangunan yang
berdiri di kotaraja HAstinapura yang disebut gaya Purucanan. Dan kemudian
ilmu-ilmu arsitektur Purucanan tersebut telah tumbuh dan berkembang bahkan
hingga ke manca negara.
Ibu dan anak
itu berusaha menyangkal bahwa Purucona tidak mati hangus bersama bangunan
karyanya. Mereka masih mengharapakan bahwa Purucona hidup dan tinggal
bersama-sama dengan keluarga dalam damai, dan penuh kasih sayang.
Namun harapan
tersebut semakin tipis. Purucona sudah tidak tampak lagi. Menurut dua tamu yang
hadir pada malam pesta, mereka menyaksikan, ketika ada api berkobar dan
langsung menjadi besar, empat perajurit menghalangi Purucona yang hendak
menyelamatkan diri dari kobaran api. Bahkan yang lebih mengerikan, keempat
perajurit tersebut melemparkan Purucona ke dalam kobaran api. Purucona menjerit
keras-keras. Namun suara jeritannya tenggelam oleh suara ledakan tiang-tiang
yang berisi sendawa.
“Ayah! Betapa
malang nasibmu. Engkau dipakai sebagai alat konspirasi tingkat tinggi. Awalnya
ia diberi kesempatan untuk berjalan di depan tetapi kemudian ditusuk dari
belakang. Patih Sengkuni, si jahanam akan kubunuh engkau.”
“Jangan
anakku! Jangan! Jika kau lakukan, ibarat sulung masuk api, tak ada gunanya.
Engkau akan mati sia-sia. Aku tidak mau kehilangan engkau.”
Anak Purucona
tidak meneruskan niatnya. Benar apa yang dikatakan ibunya. Jika ia menuruti
emosinya dan berusaha membunuh Patih Sengkuni, entah berhasil ataupun tidak,
maka akibatnya ia sendiri yang akan dibunuh. Dan jika hal itu yang terjadi,
ibunya pasti akan lebih menderita. Sudah kehilangan suami dan kemudian
kehilangan anak satu-satunya.
“Ibu kita
tinggalkan tempat ini dengan segera”.
Peristiwa Bale
Sigala-gala menjadi sejarah hitam-pekat bagi keluarga Purucona. Walaupun di
kotaraja mereka mempunyai rumah besar, megah dan asri, mereka tidak mau lagi
kembali ke HAstinapura. Bagi mereka negaranya tidak dapat diandalakan untuk
mengayomi warganya. Para penguasa negeri itu bersikap arogan. Ambisi pribadi
dikedepankan. Kekuasaan dipakai sebagai alat untuk menguasai. Kedudukan hanya
menjadi sarana untuk menginjak-injak rakyat dan memperlakukan rakyat sesuka
hatinya. Jika untuk kepentingan diri sendiri, yang benar dapat disalahkan dan
yang lurus diadili.
“Huh! Tidak
sudi lagi aku menginjakan kakiku di kotaraja, sebelum Patih Sengkuni dan
begundalnya lengser dari jabatannya.
Anak Purucona
dan Ibunya berjalan tanpa tujuan. Mereka mempunyai hasrat yang sama, yaitu
menjauhi Kotaraja HAstinapura, tempat para penguasa memperlakukan dan membunuh
ayahnya sedemikian keji.
Peristiwa Bale
Sigala-gala sangat menggemparkan seluruh kawula HAstinapura. Bukan karena
bangunan yang elok asri itu ludes terbakar, tetapi terutama karena Anak-anak
Pandudewanata calon raja yang didambakan rakyat menjadi korban. Pandita Durna
yang pada waktu kejadian belum berperan banyak selain sebagai guru dari warga
Pandawa dan warga Korawa, ikut prihatin dan bersedih, pasalnya karena dua murid
terbaiknya yakni Bimasena dan Herjuna menjadi korban.
Jika oleh
banyak orang peristiwa Bale Sigala-gala dicatat sebagai tragedi pilu umat
manusia, namun tidak oleh Patih Sengkuni. Ludesnya Bale Sigala-gala sama
artinya dengan sirnanya penghalang yang merintangi ambisinya untuk mendudukan
Doryudana di tahta HAstinapura. Oleh karenanya patut disambut dengan sukaria.
Tetapi benarkah Sengkuni berhasil menyingkirkan para Pandawa? Memang sementara
ini kawula HAstinapura mempercayai bahwa warga Pandawa telah mati.
“Telah Mati!?
Ucapkan sekali lagi Sengkuni dengan sejelas-jelasnya!
“Ampun Kakanda
Prabu, memang benarlah adanya. Kami tidak dapat berbuat apa-apa. Api terlalu
cepat berkobar dan menghabiskan Pesanggrahan Bale-Sigala se isisnya. Termasuk
Kakang Mbok Kunthi, dan ananak-anaknya, juga Purucona sang arsitek itu.’
Destarastra menyesali
dirinya yang dilahirkan buta. Karena dengan tidak dapat melihat, banyak
kendala-kendala yang dihadapi dalam memerintahkan negara besar seperti
HAstinapura ini. Ia selama ini hanya mengandalkan laporan-laporan yang sering
tidak sesuai dengan kenyataannya. Bahkan tidak jarang yang merah dilaporkan
hijau dan yang kuning dilaporkankan putih. Tergantung dari kepentingan yang
melaporkan. Sedih rasa menjadi raja tidak dapat mengerti kondisi yang
sebenarnya dari rakyatnya. Kalau tidak karena rasa cintanya kepada Pandu
adiknya, sesungguhnya ia tidak mau menduduki tahta HAstinapura. Jika pun
dirinya berambisi menjadi raja, tentunya sebagi anak sulung laki-laki dari
Prabu Kresnadwipayana, raja HAstinapura sebelumnya. Ia akan bersikeras
menduduki tahta. Namun karena menyadari keterbatasannya, dengan tulus ia
merelakan tahta HAstinapura kepada adiknya.
Namun yang
terjadi selanjutnya adalah bahwa tahta kembali pada dirinya. Pandu telah wafat
akibat kutukan Resi Kimindama. Destarastra memerintah negara HAstinapura dengan
segala keterbatasannya. Satu hal yang masih dipegang teguh oleh Destarastra,
yaitu bahwa tahta HAstinapura ini adalah titipan Pandu untuk diwariskan kepada
anak-anaknya. Tinggal menunggu waktu. Yamawidura adik bungsu Destarastra
ditugaskan untuk mendampingi anak-anak Pandu dan mempersiapkan lahir batin,
agar pantas menjadi raja.
Selang waktu
mulai dari meninggalnya Pandudewanata hingga sampai para Pandhawa tumbuh dewasa
dan siap menjadi raja inilah yang dimanfaat oleh Patih Sengkuni dan Gendari.
Mereka menyusun rencana untuk mendudukan Duryudana menjadi raja. Salah satunya
usaha yang dilakukan mereka adalah menjebak Destarastra dengan undang-undang
kerajaan yang berbunyi bahwa setiap anak sulung laki-laki raja yang usianya
sudah mencukupi, wajib diwisuda menjadi Putra Mahkota. Destarastra menolak. Ia
tahu kelicikan Patih Sengkuni dan Gendari, isterinya. Jika Destarsatra mewisuda
Duryudana sebagai Putra Mahkota, sama halnya dengan menjilat ludahnya sendiri,
menarik tahtanya dari Pandu dan memberikannya kepada Duryudana anaknya.
Cara kasarpun
pernah dilakukan, yaitu dengan meracun Bimasena yang menjadi kekuatan Pandawa.
Namun gagal. Dan sekarang dengan cara yang lebih kasar dan keji, yaitu dengan
membakar para pandawa dalam arena pesta.
Oleh karenanya
Destarastra dapat menangkap kelicikan dan kepalsuan melalui laporan Patih
Sengkuni perihal tragedi Bale Sigala-gala. Destarastra marah besar. Ia tak
kuasa mengendalikan dirinya ketika mendengar kabar kematian Kunti dan Pandawa.
Destarastra tak kuasa mengeluarkan kata-kata, badannya bergetar, giginya
gemeretak. Dari kedua tangannya muncul asap tipis berwarna merah.
“Lebur
Sekethi!” Sengkuni gemetar ketakutan, ia bergeser menjauh dari Prabu
Destarastra. Para Abdi, Kerabat, Punggawa, Senapati dan Permaisuri panik ketakutan.
Telapak tangan Prabu Destarastra yang telah berisi aji Lebur Sekethi diarahkan
ke tempat Patih Sengkuni duduk.
“Dhuaaarr”
Suara
menggelegar menggema di sitihinggil. Kursi kepatihan lebur jadi debu, dan
menyisakan lobang di lantai yang cukup besar dan dalam.
Semua diam,
tak ada yang berani mengeluarkan suara. Prabu Destarastra tersengal napasnya.
Ia duduk lemas di kursi raja, kursi yang banyak direbutkan orang. Pandangannya
seakan menerawang jauh dan jauh sekali. Benarkah Kunthi dan anak-anaknya telah
mati? Rasanya tidak mungkin. Bukankah masih ada tugas yang harus dikerjakan?
Diantaranya adalah menyeimbangkan negara HAstinapura dari perilaku yang tidak
baik dan perilaku yang baik.
Gendari tahu
persis bagaimana harus mendampingi Destarastra. Setelah cukup lama Sang Prabu
dibiarkan terbang dengan pikirannya dan menyelam dalam perasaannya, Gendari
mendekati Sang Prabu dan meraba dadanya dengan penuh kelembutan.
“Sang Prabu,
hari menjelang senja, perlulah kiranya Sang Prabu mandi agar badan menjadi segar
dan pikiran menjadi dingin.”
Destarastra
tidak menolak, ketika dirinya dituntun oleh isterinya yang walaupun tidak suka
dengan perilakunya, namun sebenarnya sangat ia sayangi. Tapi pikirannya yang
masih dipenuhi perasaan cemas ketika kelima keponakannya mati hangus terbakar
dan adik iparnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar