Di Astina Prabu Pandudewanata
di hadapan Destrarata, Yamawidura, Resi Bisma dan Sang nenek Dewi Gandawati. Dalam
pertemuan tersebut sang nenek mengusulkan agar Prabu Pandudewanata segera
mencari permasuri. Terdengar kabar desas – desus di Mandura. Ada sebuah
sayembara memanah untuk merebutkan seorang putri cantik jelita bernama Dewi
Kunti.
Dewi Kunti Nalibrata (Dewi
Prita) sebenarnya adalah anak angkat Prabu Basukunti, ia anak dari Raja
Surasena yang juga berbangsa Yadawa, yang berarti masih kerabat dekat Prabu
Basukunti sendiri. Dewi Kunti diangkat anak oleh Prabu Basukunti sejak masih
bayi, pada saat itu Prabu Basukunti sendiri telah memiliki seorang putra yang
bernama Basudewa, namun kemudian setelah ia diberi seorang anak perempuan oleh
kerabatnya, dari istrinya, Dewi Dayita putri Raja Boja, Prabu Basukunti
dikaruniai seorang putra lagi, bernama Ugrasena.
Karena didesak terus –
menerus oleh sang nenek Dewi Gandawati. Prabu Pandudewanata bersedia untuk
mengikuti sayembara memanah. Bersama para Punakawan dan kedua saudaranya
berangkat ke Mandura. Mereka mohon pamit dan restu dari sesepuh HAstina.
Sebelum ke Mandura. Prabu Pandudewanata singgah di tempat sang bopo di
Saptarengga. Ia minta restu dari boponya agar dapat memenangkan sayembara
tersebut. Berangkatlah mereka masuk ke dalam hutan.
Sebenarnya sayembara yang
digelar oleh Prabu Basukunti tidak lain adalah untuk menutupi aib yang telah
menjadi rahasia keluarga istana. Diceritakan bahwa, Dewi Kunti (Prita) telah
mengalami peristiwa yang menggegerkan keluarga istana Mandura. Kisahnya berawal
saat negeri Mandura kedatangan seorang pertapa sakti bernama Resi Druwasa dari
pertapaan Jagadwitana. Prabu Basukunti memberi tempat kepada sang resi, dan
mengangkatnya sebagai danghyang ajarya (guru) bagi putra-putrinya.
Di istana Mandura, Resi Druwasa sangat terkesan dengan prilaku dan pelayanan Dewi Kunti. Sang dewi sangat santun dan patuh, berbudi pekerti baik, sangat menghormati hidup orang lain, apalagi kepada orang tua dan gurunya. Karena rasa sayangnya itulah Resi Druwasa menganugerahi japa mantra sakti Adityarhedaya kepada kunti Nalibrata, yang mana kegunaan mantra tersebut adalah untuk memanggil dewa-dewi kahyangan, sesuai yang dikehendaki.
Dikisahkan pula, setelah Dewi
Kunti menerima japa mantra dari Resi Druwasa, ketika ia sedang menyendiri di
kaputren, ia sangat penasaran dengan mantra sang resi, walau gurunya telah
memberi amanat bahwa mantra tersebut hanya dipergunakan jika benar-benar
dibutuhkan. Tetapi, sebagai seorang dara yang belum cukup dewasa dan matang,
rasa penasaran itu sangat menggoda dirinya untuk mencoba mantra tersebut.
Ketika itu Dewi Kunti sedang
menyendiri di taman Batachinawi, taman indah berhias seribu bunga. Diantara
hangatnya dekapan sinar mentari pagi dan semilirnya angin yang berhembus, Dewi
Kunti melantunkan mantra-mantra Adityarhedaya. Seketika ia terkejut melihat
taman kaputren menjadi terang benderang bertaburan cahaya. Di hadapannya telah
berdiri sosok Batara Surya dengan menggunakan mahkota yang bergemerlapan.
"Apa yang kau inginkan
dariku, dewi?"
Dewi Kunti terpesona melihat
keelokan Batara Surya.
"Hamba hanya mencoba
mantra dari guru hamba, Resi Druwasa..."
"Tapi kau telah
membacakannya ketika hangat mentari menyinari tubuhmu."
Sejak saat itu, tidak ada
lagi kata-kata terucap dari dua insan yang telah sama-sama terpaut hati,
menyelami samudra hati diantara mereka. Dari kejadian itulah, hingga akhirnya
Dewi Kunti berbadan dua, hamil. Dewi Kunti hamil diluar pernikahan, membuat
seluruh keluarga istana Mandura menjadi bingung, lebih-lebih Prabu Basukunti
yang marah karena merasa malu. Apa yang akan dikatakan oleh rakyat negerinya,
juga raja-raja sahabat mancanegara, jika kehamilan putrinya yang tanpa suami
itu tersiar. Resi Druwasa sangat prihatin, tetapi juga merasa sangat
bertanggungjawab atas peristiwa tersebut. Bagaimanapun, Kunti adalah muridnya,
dan ia juga yang telah memberikan mantra sakti kepadanya.
Untuk menjaga nama baik
keluarga kerajaan, maka dengan kesaktiannya, ketika tiba waktunya Dewi Kunti
akan melahirkan putra pertamanya dari Batara Surya, Resi Druwasa mengeluarkan
jabang bayi Kunti melalui telinga sebelah kiri. Hal tersebut dimaksudkan agar
keperawanan Kunti tetap terjaga.
Setelah putra Surya terlahir,
Prabu Basukunti memerintahkan sang dewi membuang bayi tersebut. Dengan perasaan
sedih dan berat hati, Dewi Kunti menuruti kehendak ayahandanya. Ia membuang
putranya yang telah diberinama Basukarna (karena ia terlahir melalui telinga).
Bayi elok yang telah memiliki pusaka pembawaan sejak lahir berupa baju Tamsir
Kerei Kaswargan dan anting mustika sakti Pucunggul Maniking Surya itu akhirnya
dilarung (dihanyutkan) ke sungai Gangga. Kelak Basukarna ditemukan oleh
Adhirata, kusir kerajaan HAstinapura.
Negeri Mandura telah ramai
dikunjungi oleh para kesatria, putra mahkota, dan raja-raja dari seluruh
mancanegara. Pada waktu itu, setiap harinya alun-alun negeri Mandura dipadati oleh
rakyat bangsa Yadawa yang ingin menyaksikan jalannya sayembara. Rakyat Mandura
ingin menyaksikan sendiri ketangguhan kesatria yang akan memboyong putri sekar
kedaton, dewi Kunti Nalibrata.
Singkat cerita, satu persatu
para kesatria dan raja-raja mancanegara yang telah menjadi peserta sayembara
mencoba memanah seekor burung yang berada dalam sangkar besi. Bentuk sayembara
yang diselenggarakan oleh Prabu Basukunti adalah memanah seekor burung yang
berada dalam sangkar besi yang diputar sangat kencang. Barang siapa yang mampu
memanah burung di dalam sangkar yang berputar, maka dialah yang akan
memenangkan sayembara. Satu persatu anak-anak panah yang dilepaskan para
peserta sayembara luruh berjatuhan. Panah-panah mereka tidak mampu menembus
seekor burung di dalam sangkarnya, sebab jari-jari sangkar besi yang berputar
sangat cepat menjadi perisai ketika anak-anak panah itu mencoba menyusup pada
celah-celahnya.
Kegagalan para peserta
sayembara sempat membuat peserta lainnya menjadi putus asa, beberapa diantara mereka
mengundurkan diri, ada yang langsung pulang kembali ke negara mereka, dan ada
pula yang masih penasaran ingin ikut menyaksikan tuntasnya sayembara. Baik
keluarga raja ataupun rakyat Mandura berharap ada satu diantara mereka yang
mampu memenangkan sayembara, tapi lagi-lagi gagal. Telah beberapa hari
sayembara digelar, namun belum juga ada peserta sayembara yang memenangkan
pertandingan. Hingga tiba giliran peserta terakhir maju ke arena pertandingan,
ia tidak lain adalah Narasoma dari Mandaraka. Narasoma mengangkat busur
panahnya, mengarah pada sangkar besi yang terletak berjarak puluhan tumbak di
hadapannya. Semua yang hadir bertanya-tanya dalam hati mereka, akankah anak
panah itu bernasib serupa dengan anak-anak panah sebelumnya yang telah dilepaskan
para kesatria tanding sebelumnya? Mampukah Narasoma melakukannya?
Narasoma melepas anak panah
dari busurnya tatkala sangkar besi berputar sangat kencang. Ribuan mata masih
menatap sangkar yang berputar, yang berangsur-angsur putarannya menjadi pelan.
Serentak sorak sorai meriuh, menyoraki kemenangan putra mahkota Mandaraka.
Panah Narasoma menembus seekor burung yang berada tepat di dalam sangkarnya.
Prabu Basukunti beserta keluarga kerajaan sangat gembira, karena pada akhirnya
ada seorang kesatria yang mampu memenangkan sayembara.
Narasoma dielu-lukan oleh
rakyat Mandura, ibarat seorang pahlawan perang yang telah memenangkan
pertempuran di medan perang. Ini merasakan kemengan telah menjadi miliknya.
Setelah semuanya mereda
menahan kegirangan, Narasoma lalu menghadap Prabu Basukunti di pelataran
panggung sayembara, tapi tiba-tiba dari kerumunan penonton sayembara datang
tiga orang satria menuju pelataran sayembara, salah satu dari mereka menyatakan
ingin mengikuti sayembara. Membuat Prabu Basukunti menanyakan jatidiri mereka.
"Siapa gerangan kisanak
bertiga? Berasal dari manakah?"
"Perkenalkan, nama hamba
Pandu Dewanata. Ini kakak hamba, kanda Destarata, dan adik hamba Widura. Kami
putra Praburesi Abyasa dari negeri HAstinapura. Kedatangan kami tidak lain
adalah ingin mengikuti Sayembara Kunti Nalibrata."
Prabu Basukunti tertegun
setelah mengetahui siapa ketiga satria tersebut.
"Oh!.. Ternyata kalian
dari wangsa Kuru, datang dari jauh ingin mengikuti sayembara. Sungguh sangat
disayangkan kedatangan kalian terlambat. Ketahuilah Pandu, sayembara Kunti
Nalibrata baru saja usai, dan sayembara telah dimenangkan oleh Narasoma, putra
mahkota Mandaraka."
Para putra Astinatertunduk
setelah mendengar sayembar ditutup karena sudah ada pemenangnya. Kedatangan
mereka ternyata terlambat, namun saat ketiganya hendak pamit meninggalakan
tempat, tiba-tiba Narasoma menahannya. Dengan kesombongan.
“Hai tunggu kau putra
HAstina. Layaknya kau tak suka.....”.
"Jika paduka berkenan,
biarkan mereka diberi kesempatan untuk mengikuti sayembara."
Narasoma meminta Prabu
Basukunti mengulang kembali sayembara. Dalam pikiran Narasoma, ini adalah
kesempatan baik untuk menguji ketangguhan putra-putra HAstina. Bukanlah Wangsa
Kuru telah tersohor keberbagai negara Mancanegara? Secara turun temurun wangsa
itu telah disegani kawan dan ditakuti lawan, tapi itu leluhur mereka yang
terdahulu, dan ia hanya mendengar cerita. Dan sekarang, apakah ketiga kesatria
Astinaitu setangguh para pendahulunya. Ini adalah waktu yang tepat untuk
menguji kemampuan mereka, apakah mereka memiliki kemampuan melakukan hal yang
sama dengan dirinya? Kesatria dan raja-raja mancanegara sendiri tidak ada yang
sanggup melakukannya. Begitulah yang ada dalam pikiran Narasoma, ia hendak
bermaksud mempermalukan para kesatria Kuru. Narasoma pun nampak kesombongannya
setelah dielu-elukan, ia sangat suka dipuji.
"Apa maksudmu Narasoma?
Kau yang telah memenangkan sayembara, dan aku tidak mungkin merubah
peraturan!"
"Kalau begitu, biar
hamba yang membuka sayembara baru untuk mereka. Karena Kunti Nalibrata telah
menjadi hak hamba, maka hamba berhak membuat keputusan atas Kunti."
Prabu Basukunti sangat
tersinggung dengan perkataan Narasoma, walau memang betul Kunti Nalibrata telah
menjadi haknya karena telah memenangkan sayembara, tetapi Narasoma dianggap
tidak menghargai orang lain, bahkan menghormatinya sebagai raja Mandura,
sekaligus bakal menjadi mertuanya. Tapi mengingat Narasoma adalah putra Prabu
Mandrapati yang menjadi sahabatnya sekaligus masih memiliki hubungan
kekerabatan darah Yadawa, maka Prabu basukunti mencoba menahan diri, membiarkan
Narasoma melakukan kemauannya. Toh, segala kesombongan tidak akan berakhir
baik.
"Aku memberi kesempatan
padamu untuk mengikuti sayembara, tapi dengan satu pertaruhan, jika kau mampu
melakukan apa yang telah aku lakukan pada sayembara tadi, maka Kunti Nalibrata
akan aku serahkan padamu, tapi jika kau tidak mampu melakukannya, maka negeri
Astinamenjadi negeri taklukan Mandaraka."
Semua yang hadir terkejut
mendengar perkataan Narasoma, termasuk Prabu Basukunti. Tetapi para
kesatria Kuru masih bersikap tenang, mereka seolah tidak terpengaruh oleh
tantangan Narasoma.
"Kedatangan kami ke
Mandura hanya ingin mengikuti sayembara yang digelar oleh Prabu Basukunti.
Adapun sang prabu telah menutup sayembara karena kau telah memenangkannya, maka
kami pun akan turut undur diri, kami tidak menginginkan hal lain yang akan
menimbulkan perkara."
Pandu Dewanata lalu memberi
hormat kepada Prabu Basukunti dan mengajak kedua saudaranya beranjak pergi
meninggalkan Mandura, tapi Narasoma malah mengejeknya.
"Apa kau takut
menghadapi tantangan, Pandu? Bukankah kalian putra-putra Astinayang tersohor
itu? Aku kira kau memiliki sifat gagah berani seperti leluhurmu, Baharata.
Apakah kesatria terhormat seperti Bhisma Dewabrata tidak mengajarimu keberanian
sebagai seorang kesatria? Atau ayahmu tidak membekalimu?
Kata-kata Narasoma sangat
merendahkan di depan khalayak ramai, membuat telinga Pandu menjadi panas.
Terlebih Destarata, kakak Pandu yang tunanetra itu giginya gemeretakan menahan
marah. Diam-diam Destarata merapal aji Kumbalageni, namun Widura membisikinya,
agar sang kakak bisa menahan emosi.
"Apakah kau membiarkan
orang lain menghina leluhur kita, Pandu?" berkata sang Destarata kepada
adiknya, hingga akhirnya Pandu Dewanata menyanggupi tantangan Narasoma.
"Aku tidak pernah
menolak tantangan, Narasoma! Jika itu yang menjadi pertaruhanmu, aku tidak
menolak!"
Masih disaksikan oleh ribuan
rakyat Mandura, para kesatria dan juga raja-raja mancanegara, sayembara kembali
digelaRaden Pandu Dewanata berdiri di tengah gelanggang, gondewa dan anak
panahnya telah siap dalam genggaman. Tatkala sangkar besi mulai diputar
kencang, Pandu membidik sasarannya. Panah melesat cepat mengarah sasaran,
begitu kuatnya tenaga yang mendorong anak panah hingga sangkar besi terlepas
dari tiang pancang. Semua yang hadir tercengang dan berdecak kagum. Pandu tidak
hanya mampu melakukan seperti yang dilakukan Narasoma, lebih dari itu, selain
panah Pandu mampu menyusup jari-jari besi dan menembus seekor burung di dalam
sangkarnya, ia pun sekaligus mampu menjatuhkan sangkarnya. Sorak sorai
terdengar mengumandang, memuji kehebatan Pandu Dewanata.
Narasoma tidak menyangka
Pandu mampu melakukannya, dan dengan sangat malu Narasoma akhirnya menyerahkan
Kunti Nalibrata kepada Pandu, ia kemudian pergi meninggalkan Mandura. Kini Dewi
Kunti telah menjadi milik Pandu Dewanata. Prabu Basukunti merasa sangat senang,
tidak disangka akhirnya ia akan berbesan dan menjalin kekerabatan dengan
HAstinapura. Keesokan harinya, setelah mendapat restu dari Prabu Basukunti,
Pandu Dewanata memboyong dewi Kunti untuk dibawa ke HAstinapura.
Saat menuju perjalanan
pulang, di tengah perjalanan, masih dalam wilayah negara Mandura, rombongan
Pandu Dewanata terhenti. Pandu menghentikan laju kereta kencananya ketika di
hadapanya telah menghadang seorang kesatria penunggang kuda. Kesatria itu tidak
lain adalah Narasoma. Ternyata putra Prabu Mandrapati tidak benar-benar
meninggalkan Mandura, ia tidak langsung pulang ke Mandaraka. Setelah kemarin
meninggalkan gelanggang sayembara, di tengah perjalanan pulang, Narasoma merasa
bimbang. Ia teringat ayahandanya, Prabu Mandrapati yang sedang terbaring sakit.
Apa yang akan ia katakan di hadapan ayahandanya nanti. Apakah ia harus
bercerita dusta dengan mengatakan ia kalah dalam pertandingan sayembara? Atau
menceritakan terus terang bahwa kemenangannya telah digadaikan untuk sebuah
pertaruhan? Semua itu hanya akan memperparah sakit ayahandanya, maka dari itu
Narasoma memutuskan untuk tidak langsung pulang ke Mandaraka, ia berbalik arah
menghadang Pandu.
"Kenapa kau menghadang
perjalananku, Narasoma?"
"Pertaruhan kemarin
kurang menguntungkan buatku, Pandu. Aku ingin kau mengulang kembali pertaruhan
itu. Kita tanding jurit! Jika aku yang menang, maka kau serahkan kembali Dewi
Kunti kepadaku, tapi jika aku yang kalah, aku akan menyerahkan adiku, Dewi
Madrim kepadamu."
"Silahkan, kau yang
memulai Narasoma..."
Keduanya lalu terlibat perang
tanding. Narasoma menggempur Pandu dengan serangan yang begitu mematikan, dan
Pandu mengimbanginya. Pertempuran mereka sangat seimbang, sama-sama digjaya,
sama-sama menguasai ilmu kanuragan, dan senjata. Terkadang Pandu Dewanata terdesak
oleh serangan Narasoma yang dilancarkan secara bertubi-tubi, begitu pula
sebaliknya. Narasoma sempat dibikin kerepotan dengan serangan balik yang
dilancarkan Pandu.
Perang semakin menjadi,
daya-daya kesaktian mereka memporak porandakan sekitarnya. Tanah batu
berhamburan, pohon-pohon tumbang dan terbakar. Dan ketika keduanya beradu
pukulan sakti, Narasoma terpental jauh dan jatuh terpelanting. Darah segar
menyembur dari mulutnya, dadanya berdenyut sakit. Saat itu amarahnya kian
menjadi, ia pun lalu ingin menjajal kesaktian Chandrabhirawa. Tapi sesaat
ketika Narasoma hendak membaca mantra Chandrabhirawa, ia teringat pesan
mendiang mertuanya, Resi Bhagaspati.
"Narasoma... Aji
Candrabhirawa sangat ampuh, namun aji kesaktian itu akan sangat tidak bertuah
jika hanya dipergunakan untuk mengagungkan nafsu diri dan keserakahan.
Jaga dan rawatlah Setyawati,
kasih sayangilah dia, cintai dia dengan sepenuh kasih sayang. Janganlah kau
sia-siakan dia, walaupun dia hanya seorang anak gadis gunung yang jauh dari
suba sita dan kekurangan tata pergaulan kerajaan, tetapi dia anak yang baik,
patuh dan sangat setia kepadamu. Pegang teguh janjimu, Narasoma..."
Kata-kata Resi Bagaspati
mengiang di telinganya, seolah sang resi membisikan langsung kepadanya,
mengingatkan sumpahnya. Narasoma sangat terganggu karenanya, ia mencoba
melupakan dan tidak memperdulikan, amarahnya sudah terlanjur berkobar. Ia
segera merapal aji Chandrabirawa. Sekejap, di hadapannya telah berdiri sosok
raksasa cebol dengan seringai taring yang terlihat menyeramkan.
"Chandrabirawa!
Binasakan musuhku!"
Raksasa Chandrabirawa segera
melaksanakan perintah tuannya, ia menyerang Pandu secara membabi buta. Mendapat
serangan demikian, Pandu segera mengeluarkan pusaka Chandrasa.
Cras! Cras! Cras!
Beberapa kali pusaka Pandu
melukai tubuh Chandrabirawa. Darah bercipratan keluar dari tubuh Chandrabirawa.
Ajaib! Setiap percik darah yang membasahi tanah bebatuan dan rerumputan berubah
wujud menjadi raksasa cebol yang bentuk dan rupanya sama persis dengan
Chandrabirawa. Tanpa diperintah, raksasa-raksasa jelmaan itu menyerang Pandu
secara serentak. Pandu terkejut melihat keanehan yang terjadi pada musuhnya,
beberapa kali ia mencoba membinasakan raksasa-raksasa jelmaan Chandrabirawa
dengan pusakanya, tapi Chandrabirawa justru semakin banyak jumlahnya. Pandu
menjadi kerepotan menghadapi musuh yang bertambah banyak jumlahnya, ia hanya
berkelit, menangkis, dan menghindari serangan, ia tidak lagi melukai raksasa
jejadian Chandrabirawa karena akan semakin bertambah banyak.
"Duuh... Ayahanda Resi
Abyasa... Ayahanda Bhisma... Putramu keteteran menghadapi musuh-musuh
ini..."Pandu membatin.
Ia merasa putus asa
menghadapi Chandrabirawa. Dan pada saat-saat yang kritis, Pandu mendapat
bisikan ghaib dari ayahandanya, Resi Abyasa. Pandu dititah melakukan hening
cipta, memusatkan segala nafsu murni dengan berpasrah diri kepada Yang Maha
Tunggal.
Raksasa-raksasa Chandrabirawa
kebingungan ketika melihat musuhnya tidak melakukan apa-apa, diam tak bergerak.
Naluri mereka pun mengisyaratkan seperti tidak ada nafsu pada diri seseorang
yang menjadi lawannya. Dalam keadaan seperti itulah secara serta merta
raksasa-raksasa Chandrabirawa berkurang jumlahnya, terus dan terus berkurang
hingga kembali menjadi satu wujud Chandrabirawa.
Chandrabirawa melesat kembali
masuk ke dalam gua garba Narasoma. Candrabhirawa berkata kepada Narasoma agar
tidak mempergunakannya melawan orang-orang yang tidak memiliki nafsu angkara.
Pandu tidak menyia-nyiakan kesempatan, ia segera menerjang Narasoma yang sedang
dalam kebingungan. Putra Mandaraka terbanting dan jatuh terkapar saat
pukulan-pukulan Pandu beruntun menghantam dirinya, dan ketika Narasoma tertaih
mencoba bangun, ujung pusaka Pandu telah mengancam di hadapannya. Akhirnya
Narasoma menyerah, dan berjanji akan memboyong Dewi Madrim ke HAstinapura.
Pandu beserta rombongan
kembali melakukan perjalanan pulang ke HAstinapura. Di tengah perjalanan ia
kembali dihadang. Kali ini yang menghadangnya adalah Harya Suman, putra Prabu
Suwala dari negeri Gandhara. Harya Suman yang juga telah terlambat mengikuti
sayembara segera mengejar perjalanan Pandu Dewanata.
Harya Suman dan Pandu
kemudian terlibat perang tanding, tetapi pertarungan itu tidak memakan waktu
cukup lama. Putra mahkota Gandhara bukanlah lawan tanding yang tangguh bagi
Pandu, dengan mudah Pandu dapat membuat Harya Suman tidak berdaya. Harya Suman
menyerah dan berjanji akan memboyong kakaknya, Dewi Gandhari ke
HAstinapura.
"Aku pegang janjimu,
jika kau berdusta, maka HAstinapura akan meluluh lantakan negerimu!"
HAstinapura mendapatkan tiga
putri boyongan, Dewi Kunti dari negara Mandura, Dewi Madrim dari negara
Mandaraka, dan Dewi Ghandari dari negara Gandhara. Ketiga putri tersebut
awalnya akan dipasangkan dengan Destarata, Pandu Dewanata, dan Widura, akan
tetapi Widura menolak. Ia beralasan ketiga putri tersebut usianya tidak sepadan
dengan dirinya, maka Widura memberikan haknya kepada Pandu, karena Pandu yang
telah banyak berjasa dalam memenangkan sayembara.
Untuk menghargai Destarata
sebagai putra tertua, Pandu memberi kesempatan kakaknya memilih satu diantara
ketiga putri tersebut. Dalam hati ketiga putri itu sendiri sebenarnya mereka
menolak dijodohkan dengan Destarata yang tunanetra, apalagi tahta Astinaakan
diwariskan kepada Pandu Dewanata, maka ketiganya memanjatkan doa agar tidak
terpilih oleh Destarata.
Dewi Gandhari dengan dibantu
adiknya, Harya Suman mencoba membaluri tubuhnya dengan bau hanyir ikan dengan
maksud agar dirinya tidak terpilih oleh Destarata. Tetapi, Destarata yang
selalu menggunakan naluri, menggunakan indra penciumannya dalam memilih, saat
ia mencium bau hanyir ikan yang berasal dari tubuh Gandhari, bau hanyir itu
justru mengingatkannya pada panggang ikan yang menjadi makanan kesukaannya,
maka Destarata memutuskan jatuh pilihannya kepada Dewi Gandhari.
Pandu Dewanata kemudian naik
tahta menjadi raja HAstinapura menggantikan Praburesi Abyasa (Prabu Kresna
Dwipayana) yang mandita di Wukir Retawu. Ia memiliki dua permaisuri yaitu, Dewi
Kunti dan Dewi Madrim. Kelak dari rahim kedua putri tersebut akan lahir
kesatria-kesatria utama, Pandawa Lima. Dari dewi Kunti akan lahir Yudhistira,
Bima, dan Arjuna, sedangkan dari rahim Dewi Madrim lahir Nakula dan Sadewa.
Sementara,
Narasoma sendiri telah dinobatkan menjadi raja menggantikan ayahandanya, Prabu
Mandrapati yang telah meninggal setelah mendengar kegagalan putranya dalam
merebut sayembara. Narasoma menjadi raja Mandaraka dengan gelar Prabu
Salyapati. Dari rahim Pujawati, Narasoma dianugerahi lima orang anak, yaitu ;
Dewi Erawati (kelak menjadi istri Baladewa), Dewi Surtikanti (kelak menjadi
istri Basukarna), Dewi Banowati (kelak menjadi istri Duryudhana), Bhurisrawa,
dan Rukmarata. Hanya saja, salah satu putra Narasoma/Prabu Salya yang bernama
Bhurisrawa berwajah buruk seperti raksasa. Ini dikarenakan dahulu Narasoma
merasa jijik mempunyai mertua seorang raksasa.
Di Pertapa Sapta Arga sang
Resi begawan Abiyasa bersenda gurau dengan para cantrik. Sepoi – sepoi angin
terasa dingin pada badan yang resi yang ssudah tua. Hampir tulang yang
terbungkus dengan kulit. Raut wajah yang keriput bagai layunya bunga mawar.
Badan yang tidak lagi tegak dengan berjalan sudah pakai tongkat. Dengan nafas
yang tersenggal – senggal. Berjubahbatik loreng seperti loreng harimau. Dengan
cantrik – cantrik padepokan yang setia menemani.
Suara kicauan burung dengan
merdu terdengar indah bagai bnyanyian lagu syahdu. Desiran angin yang semilir
menebarkan aroma wangi yang tercium dari hidung yang hampir tertutup. Serta
alunan musik dari para tumbuhan menambah keagungan suara di padepokan Sapta
Arga.
Dari arah luar terdengar bunyi seperti akan
ada tamu yang akan berkunjung ke Sapta arga. Tak lama datang Punakawan berserta
ketiga putra Prabu Pandudewanata, Destarata, dan Yama Widura. Langkah kaki
ketiga putra bagai sesuap surga kehidupan yang mengalir. Suara alunan tenag
bagai air mengalir tanpa gangguan.
Salam yang terucap dari mulut
sang Pandhu bagai suara adzan yang indah dan merdu.
“Assalamualaikum........bopo
.....!” kata Pandhu.
“Wa’alaikum salam..........!”
jawab resi Abiyasa.
Oh anakku bocah bagus raharjo
ger Pandhu........! tanya Resi Abiyasa.
“Pangestunipun romo raharjo
sowan kula.......hormatku romo .......!” kata Pandhu.
“Ya ger tak terima pangestune
romo terimalah........!” kata resi Abiyasa.
“Saya angkat di kepala supaya
jadi jimat keselamatan ...........!.”
“Destrarata mengucapkan bekti
romo..........!.”
“Ya ger Destrarata romo
bektimu restu terimalah.........!”
“Saya angkat di kepala supaya
jadi jimat keselamatan ...........!.”
“Yama Widura mengucapkan
bekti romo..........!.”
“Ya ger Widura romo bektimu
restu terimalah.........!”
“Saya angkat di kepala supaya
jadi jimat keselamatan ...........!.”
“Ada apa ketiga putra
kesayangan datang kemari....?” kata resi Abiyasa.
“Romo resi kami diperintahkan
eyang ratu Gandawati untuk mengikuti sayembara di Mandura. Agar dapat
mempersunting putri Prabu Basukunti. Menurut romo resi bagaimana......?”kata
Pandhu.
Resi Abiyasa menyarankan agar
mengikuti sayembara tersebut. Dan memberinya restu. Karena sudah cukup. Prabu Pandudewanata dan
kedua saudaranya berserta para Punakawan
mohon pamit dan restu agar dapat memenangkan sayembara tersebut. Berangkatlah
mereka ke Mandura.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar