Negara yang makmur dan
sauasana yang begitu damai. Kehidupan rakyatnya serba kecukupan yang negara
tersebut berdiri karena kekuatan seorang pertapa yang menurutnya kakek
moyangnya. Ini negara gung binatara. Astinayang merupakan adi kuasa dibawah
raja Pandudewanata.Tersiar kabar bahwa sang permasuri Dewi Kunti telah
mengandung anak yang pertama. Tapi telah bulan kelahirannya anak tersebut belum
juga lahir.
“Ada apa gerangan ...?”.
Pertemuan di istana NgAstina
segera diadakan. Prabu Pandhu dihadap oleh Dhestharata, Widura dan Patih
Jayaprayitna. Mereka membicarakan kandungan Kunthi yang telah sampai bulan
kelahirannya belum juga lahir. Tengah mereka berunding. Kedatangan tanpa
diundang suara alunan melodi semilirnya gamelan yang ditabuh bagai sebuah
persembahan akan kedatangan sang bagus dari mandura. Dengan langkah tenang sang
Prabu Rukma berjalan ke mimbar HAstina.
“Raharjo dimas Prabu.......!”
“Pangestunipun kanda Prabu
Pandhu raharjo sowan saya...bektiku kanda..........!”
“Saya angkat datang mustaka
supaya dadi jimat keselamatan........ !”
“Ada apa dimas tanpa ada
kabar datang ke Astina.......?”
“Pertama saya diutus kanda
Prabu Basudewa untuk mengirimkan salam sejahtera dari kanda Prabu Basudewa
untuk kanda Prabu Pandhu. “
“Ya dimas......!”
“Yang kedua saya ingin
melihat ketentraman kerajaan HAstina........!”
“Ya dimas...!”
“Yang ketiga........saya
diutus kanda Prabu Basudewa untuk meminta bantuan kepada kanda Prabu
Pandhu......!”\
Arya Prabu Rukma datang
memberi tahu, bahwa negara Mandura akan diserang perajurit dari negara
Garbasumandha. Raja Garbasumandha ingin merebut Dewi Maherah. Istri Prabu Basudewa.
Raja Basudewa minta bantuan dengan utusan Arya Prabu Rukma. Mendengar ada
bahaya yang akan mengancam kerajaan kakak ipar. Dengan sigap sang Prabu Pandhu
bersedia untuk membantu.
Paseban agung di mimbar
Astinaditeruskan. Kali ini sang Prabu Pandhu memberikan perintah pada adiknya
Arya Widura. Arya Widura disuruh pergi ke Wukir Retawu dan ke Talkandha, supaya
mohon doa restu demi kelahiran bayi. Arya Widura menerima perintah kandanya.
“Perintah kanda akan hamba
laksnakan ........!”
Berangkatlah Arya Widura
meninggalkan paseban agung HAstina. Prabu Pandhu menyerahkan pemerintahan
Astinakepada sang Patih Gandamana. Badan tegak. Gagah perkasa bagai superman.
Dengan jalan langkah yang bagaikan suara hentak gajah. Biarpun sudah tua, tapi
badan masih segar bugar bagai satria muda.
“Kakang Gandamana aku
serahkan Astinapada kakang Patih.......!”
“Perintah Paduka akan hamba
laksanakan.....!”
Prabu Pandhu meninggalkan
paseban agung. Raja Pandhu menemui Dewi Kunthi yang sedang berbincang-bincang
dengan Dewi Ambika, Dewi Ambiki dan Dewi Madrim. Setelah memberi tahu tentang
rencana kepergiannya ke Mandura, ia segera bersamadi. Ia berganti baju satria,
dengan keris dibelakang. Ia berangkat ke
Mandura bersama Arya Prabu Rukma. Saudara tua yang buta, Dhestharata menunggu
kerajaan NgAstina.
Di negara yang
tak jauh berbeda, yang berkuasa raja raksasa. Raja yang sangat bengis dan
rakus. Dengan kejamnya ia memerintah kerajaannya. Tubuh kekar dan berwajah
beringas bagai harimau yang siap menerkam. Tubuh gembal dan gemuk dengan tinggi
kurang lebih 3 meter. Langkah yang berjalan dengan guncangan bagai sebuah gempa
bumi berkekuatan 3 SR. Ia bernama Prabu Yaksadarma. Yaksadarma raja Garbasumandha. Paseban agung
segera digelar. Prabu Yaksadarma dihadap oleh Arya Endrakusuma, adiknya yang
berwujud sama dengannya yang memiliki sifat rakus dan tamak. Patih
Kaladruwendra, Togog, Sarawita dan Ditya Garbacaraka. Pembahasan segera dibuka.
Sang raja siap menumpah isi hatinya dihadapan para punggawa. Bagai lahar yang
siap meletus. Semua is yang siap keluar bagi sebuah pistol yang siap membidik
seorang penjahat.
Raja berkeinginan memperisteri Dewi Maherah
isteri raja Mandura. Para punggawa di inta pendapat. Semua terdiam tiada yang
berani keluar kata – kata. Bagai sebuah mulut yang tetutup lakban. Raja
menanyai patihnya. Ia terdiam bagai sebuah ging yang tak dipukul. Bagaimana
bilang ia tidak kalau permintaan rajanya.
Ia memberi
perintah pada patihnya. Sang patih tak mungkin menolaknya. Ia memerintahkan
Ditya Garbacaraka. Ditya Garbacaraka disuruh melamar, Togog menyertainya, Patih
Kaladruwendra dan perajurit disuruh mengawal perjalanan mereka.
Perjalanan yang
panajng bagai jalan sebauh rel kereta. Perajurit Garbasumandha bertemu dengan
perajurit NgAstina. Terjadilah perang, tetapi perajurit Garbasumandha
menyimpang jalan.
Di negara yang
tak jauh berbeda, yang berkuasa raja raksasa. Raja yang sangat bengis dan
rakus. Dengan kejamnya ia memerintah kerajaannya. Tubuh kekar dan berwajah
beringas bagai harimau yang siap menerkam. Tubuh gembal dan gemuk dengan tinggi
kurang lebih 3 meter. Langkah yang berjalan dengan guncangan bagai sebuah gempa
bumi berkekuatan 3 SR. Ia bernama Prabu Yaksadarma. Yaksadarma raja Garbasumandha. Paseban agung
segera digelar. Prabu Yaksadarma dihadap oleh Arya Endrakusuma, adiknya yang
berwujud sama dengannya yang memiliki sifat rakus dan tamak. Patih
Kaladruwendra, Togog, Sarawita dan Ditya Garbacaraka. Pembahasan segera dibuka.
Sang raja siap menumpah isi hatinya dihadapan para punggawa. Bagai lahar yang
siap meletus. Semua is yang siap keluar bagi sebuah pistol yang siap membidik
seorang penjahat.
Raja berkeinginan memperisteri Dewi Maherah
isteri raja Mandura. Para punggawa di inta pendapat. Semua terdiam tiada yang
berani keluar kata – kata. Bagai sebuah mulut yang tetutup lakban. Raja
menanyai patihnya. Ia terdiam bagai sebuah ging yang tak dipukul. Bagaimana
bilang ia tidak kalau permintaan rajanya.
Ia memberi
perintah pada patihnya. Sang patih tak mungkin menolaknya. Ia memerintahkan
Ditya Garbacaraka. Ditya Garbacaraka disuruh melamar, Togog menyertainya, Patih
Kaladruwendra dan perajurit disuruh mengawal perjalanan mereka.
Perjalanan yang
panajng bagai jalan sebauh rel kereta. Perajurit Garbasumandha bertemu dengan
perajurit NgAstina. Terjadilah perang, tetapi perajurit Garbasumandha
menyimpang jalan.
Negara gung
binanatara yang merupakan kerajaan keturunan Batara Wisnu. Kerajan yang gemah
ripah loh jinawi. Mandura rajanya Bernama Prabu Basudewa. Raja Basudewa dihadap
oleh Patih Saraprabawa, Arya Ugrasena dan hulubalang raja. Mereka menanti
kedatangan Arya Prabu Rukma. Arya Prabu Rukma datang bersama Pandhu. Kedatangan
bagai sebuah jalan yang menyatakan kebenaran. Iringan suara merdu burung –
burung berkicauan. Sambutan hangat dari Prabu Basudewa, Arya Ugrasena.
Setelah
berwawancara, raja Basudewa masuk ke istana akan menjumpai para isteri. Namun
Garbcaraka telah masuk ke istana lebih dahulu, dan berhasil melarikan Dewi
Maherah. Dewi Mahendra dan Dewi Badraini kebingungan. Mereka bagai gajah yang
kehilangan gading. Harum semerbak bagai aroma bunga mawar. Kedatangan Basudewa
dan Pandhu. Melihat kedua istri kebingungan . ia mendekati kedua istrinya.
“Dinda dewi ada
apa ?” tanya Prabu Basudewa.
“Begini kanda
kang mbok Dewi Maherah telah diculik.........!” kata istrinya.
“Di culik
dinda.........!”
Mendengar berita
dari istrinya, Basudewa minta agar Pandhu segera mencarinya. Pandhu mohon
pamit. Pandhu segera berangkat meninggalkan kerajaan Mandura.
Tak lama Pandhu berhasil
mengejar Garbacaraka dan merebut Dewi Maherah, pertarungan sempat terjadi.
Kedua memang sakti. Tapi Prabu Pandhu lebih berpengalaman.
“Hai satria siapa kau berani
mengganggu urusanku....?”
“Aku raja HAstina, Pandhu
Dewanata..!”
“Oh inikah raja termashyur
akan kedigdayaannya......kenalkan akau Ditya Garbacaraka.....”
Pertarungan kembali terjadi,
dengan keris kalanadah Pandhu berhasil mengalahkan Garbacaraka. Dewi Maherah
berhasil direbutnya. lalu dibawa kembali ke Mandura. Dewi Maherah diserahkan kepada kakak ipar
Prabu Basudewa. Setelah menyerahkan Dewi Maherah, Pandhu minta pamit, kembali
ke NgAstina, Raja Basudewa mengikutinya.
Bunyi
gamalan dengan iringan gending – gending jawa. Alunan merdu bagai nyainyian
syair merdu untuk sang kekasih. Kemunculan empat punakawan Semar, Gareng,
Petruk dan Bagong bersenda gurau. Semar dengan bentuk bulat seperti gentong, kuncung
dikepalanya mata yang sedikit merem. Menandakan bahwa ia bukan pemalas
melainkan sesuatu lambang menandakan bahwa dia seorang yang sangup melawan hawa
nafsu dunia. Anak yang pertama Gareng bentuk badan seperti kapal dengan tangan
cengkot dan kaki pincang. Ia merupakan pertanda kawula yang hati – hati dalam
bertindak. Dan tidak suka mengambil hak milik oarng lain. Anak yang kedua
Petruk. Memiliki hidung panjang dan berkulit hitam dengan badan tinggi. Anak
yang ketiga Bagong. Badan seperti gentong bibir tebal dan suka menghibur.
Mereka kemudian menghadap Begawan Abiyasa.
Bagawan Abiyasa sedang berunding dengan Resi Bisma tentang kehamilan Kunthi.
Arya Widura datang dengan para
Punakawan. Suara gemuruh angin petanda akan kedatangan satria yang telah
ditunggu kedatangannya. Arya Widura berserta Punakawan menghadap Resi Abiyasa.
“Raharjo ger Widura....!”
“Restunya romo begawan,
bektiku romo......!”
“Ya tak terima bektimu, pangestunipun bopo terimalah......!”
“Saya angkat di kepala suapya
jadi jimat keselamatan ...”!
“Bagaimana Widura keadaan
kandungan anakku Kunti.......?”
“Begini romo panemabahan saya
diminta kanda Prabu Pandhu memintakan
sarana untuk kelahiran bayi yang dikandung oleh kang mbok Kunthi.”
Mendengar perkataan dari
anaknya kedua panemabahan bersiap untuk ke HAstina. Arya Widura disuruh
berangkat kembali ke NgAstina, Bagawan Abiyasa dan Resi Bisma segera
mengikutinya. Arya Widura dan punakawan mohon pamit. Mereka meninggalkan pertapan
Sapta Arga.
Dalam perjalanan Arya Widura dihadang oleh
raksasa Garbasumandha. Melihat rombongan raksasa yang tak dikenal Arya Widura
mengamuk, perajurit raksasa banyak yang gugur dan melarikan diri.
Dikahayangan
tempat para dewa bersemayam. Dengan tubuh gagah dan berwibawa duduk di
Mercupundu manik kahyangan sang Hayng Guru. Badan tegak dengan memilik banyak
tangan. Disetiap tangan memegang senjata. Bathara Guru mengadakan pertemuan di
Suralaya, dihadiri oleh Bathara Narada, Bathara Panyarikan, Bathara Dharma dan
Bathara Bayu. Batara Narada merupakan seorang patih kahyangan dengan tubuh
cebol dan berwajah badut. Batara Panyarikan, tubuh kurus, kecil dan berwajah
tampan.ia merupakan dewa senopati kahyangan. Batara Bayu merupakan dewa angin.
Batara Bayu dengan tubuh gagah, tegak dan kuat berwajah tampan. Begitu dengan
Sang Hyang Darma merupakan dewa keadilan. Berparas tampan. Mereka berbicara
tentang kehamilan Kunthi.
“Kakang
Batara Narada, bagaimana kabar Kunthi, kakang...?”
“Adhi
Guru, anakku Kunthi sudah mengandung 9 bulan, menurut adhi Guru bagaimana
selanjutnya.....”
“Turunlah
kakang Batara bersama Batara Darma, Panyarikan, dan Bayu...untuk memberi
pertolongan pada Kunthi anakku....”
“Sendika
adhi Guru....!”
Sang
Hyang Guru mengutus para dewa untuk pergi ke HAstina. Bathara Narada disuruh turun ke marcapada
bersama Bathara Dharma, Bathara Panyarikan dan Bathara Bayu. Batara Narada,
bata Mereka disuruh memberi pertolongan kepada Dewi Kunthi.
Dalam perjalanan menuju ke
HAstina. Raja Basudewa dan Pandhu berjumpa dengan Patih Kaladruwendra. Mereka
dihadang oleh pasukan Garbasumandha. Pasukan raksasa dipimpim seorang patih
yang kejam dan bengis. Mata melotot bagai mau keluar dengan muka merah merona
bagi kilatn api. Patih Kaladruwendra dengan keris menghadang perjalanan Prabu
Basudewa dan Pandhu.
“Hai satria siapa
naamu....haaa...haaaaaaa.......?”
“Jangan bentak – bentak
bertanya, bertanyalah dengan sopan, sebelum aku jawab siapa namamu wahai
raksasa... dan dimana dangka( tingggal)mu?”
“Ditanya balik tanya....aku
Patih Kaladruwendra dari kerajaan Garbasumandha...”
“Aku Raja Mandura, Prabu
Basudewa dan ini adik iparku raja HAstina, Prabu Pandhu Dewanata......”
“Oh ini ratu Mandura, kalau
begitu serahkan Dewi Maherah pada untuk kuberikan pada rajaku......”
“Jangan kau ambil istri
kakakku, langkahi dulu mayat Pandhu.......”
Terjadilah perkelahian,
pertarungan sengit terjadi. Dua kekuatan saling beradu. Adu jotos keduanya.
Hantaman demi hantaman dilancarkan Pandhu. Begitu pula Kaladruwendra. Tapi
hantaman Kaladruwendra tak membuat Pandhu gentar. Bahkan ia masih berdiri kokoh
setiap hantaman Kaladruwendra di lancarkan mengenai tubuhnya. Melihat
pertarungan yang tidak akan selesai sebelum salah satu mati. Dengan sigap
Pandhu mengambil panah. Rentangan busur panah segera ditarik.
Rek ......rek......!
Juuuuus......juuuuus....melancar
bagai kilatan cahaya. Dengan cepat anak panah tubuh Kaladruwendra.
Kaladruwendra terbunuh oleh panah Pandhu. Kepala sang patih terbang bersama
anak panah yang dilepas. Melihat gusti patih mati, pasukan Garbasumandha lari
terbirit untuk menyelamatkan. Dan pasukan Garbasumandha menghilang. Lari
pasukan patih Kaladruwendra segera bergegas melaporkan akan kematian sang
patih.
Melihat aman dan
damai, Prabu Pandhu dan Prabu Basudewa melanjutkan begitu juga raden Ugrasena
dan Arya Prabu Rukma.
Di kerajaan Garbasumandha,
Raja Yaksadarma dan Endrakusuma menanti kedatangan Garbacaraka. Suara semilir
dengan hembuasan angin lebat dan hujan deras mengiringi kedatangan Garbacaraka.
Disambutnya sang utusan tersebut.
“Garbacaraka, bagaimana
hasilnya...... ?”
“Ampun sinuwun, hamba
Garbacaraka akan bercerita tentang hasil yang diperoleh, tetapi direbut oleh
raja Pandhu.”
Cerita belum selesai,
tiba-tiba sebuah jatuh dihadapan raja.
Buk.....! suara jatuh seperti kepala manusia, terlihat darah berceceran.
Dilihat wajah kepala itu. Melihat wajah tak asing, ini kepala Kaladruwendra.
Melihat patihnya telah tewas, Yaksadarma marah, lalu mempersiapkan perajurit,
akan menyerang negara HAstina.
“Dimas Endrakusuma, aku
serahkan keamanan kerajaan Garbasumdha padamu....”
“Baik kanda Prabu, hati –
hati kanda...”.
Berangkatlah Prabu Yaksadarma
ke HAstina. Bersama beribu – beribu pasukan yang dipimpin Garbacaraka segera
menuju HAstina. Amarah yang panas bagai gunung berapi siap meletus akibat
lamaran di tolak patihnya meninggal.
“Hutang nyawa dibalas dengan
nyawa.......!” kata Prabu Yaksadarma.
Hembusan semilir
telah bertiup sepoi – sepoi. Tak lama kedatangan rombongan Prabu Pandhu, Prabu
Basudewa, Ugrasena dan Arya Prabu Rukma disambut baik oleh rakyat HAstina.
Rakyat Astinaberhamburan keluar untuk menyaksikan kedatangan raja mereka, dari
perang. Keselamatan raja Pandhu sangat diharapkan oleh para rakyat HAstina.
Karena selama pemerintahan Hastian tentram dan damai.
Dipaseban
Agung Arya Widura telah menanti kedatangan Kanda Prabu Pandhu berserta
rombongan Mandura. Pandhu segera naik tahta. Paseban yang telah digelar. Bagai
sebauh musayawah besar. Raja Pandhu berbicara dengan Arya Prabu Rukma,
Ugrasena, raja Basudewa dan Arya Widura.
“Bagaimana
dimas mengenai romo Resi Abiyasa dan romo begawan Begawan Bisma?”
Arya
Widura memberi tahu tentang kesanggupan Bagawan Abiyasa dan Resi Bisma. Prabu
Pandhu merasa bahagia karena kedua orang tua berkenan hadir dalam kelahiran anak
pertamanya. Tengah mereka berbincang-bincang. Suara angin yang bertiup bagai
suara lagu khasiidah yang di dendangkan. Kedatangan Bagawan Abiyasa dan resi Bisma telah
dinanti.
“Raharjo romo resi.. bektiku
romo !”
“Ya ger anak Prabu
...pangestunipun terimalah...!”
“Saya terima di atas kepala
supaya jadi jimat keselamatan......”
Setelah mereka berdua disambut, lalu diajak
masuk ke istana. Suara angin yang bertiuop dengan aroma bau wangi bunga
setaman. Membuat suasana Astinadilanda suatu pertanda baik.
“Ada apa gerangan ini bopo
resi.......?”
“Oh apa ini kakang
Bisma.....?”
“Mana aku tahu dimas
resi......?”
“Kang semar menurut ini
pertanda apa ?”
“Tenang saja, doro resi ini
kedatangan dewa.......!”
“Oh begitu kakang semar.....”
Kedatangan
Bathara Narada dan Bathara Darma.Raja Pandhu dan Basudewa cepat-cepat menyambut
kedatangan para dewa.
“Bekti kami
bukulun Narada dan bukulun Darma......!”
“Ya Ger Pandhu
dan Basudewa........!”
Bathara Narada memberi tahu tentang tujuan
kedatangannya. Bathara Narada menyuruh agar Bathara Darma merasuk kepada Dewi
Kunthi, membimbing kelahiran bayi. Bathara Darma merasuk, bayi dalam kandungan
Dewi Kunthi lahir melalui ubun-ubun. Bayi lahir laki-laki. Bathara Narada
memberi nama Puntadewa, dan mendapat sebutan Darmaputra. Semua yang hadir
menyambut kelahiran sang bayi.
Kedatangan musuh
tanpa diundang, laporan pasukan teleksandi, Raja Yaksadarma dan para
pengikutnya datang menyerang negara NgAstina. Mendengar Astinadiserang dengan
sigap Pandhu menerjang Prabu Yaksadarma.
Raja Yaksadarma mati oleh Pandhu. Mendengar kakak tewas, Endrakusuma
maju kepalagan, ia menantang satria HAstina. Majulah sang Widura, Endrakusuma mati oleh Arya Widura,
Garbacaraka mati oleh Arya Ugrasena. Bathara Bayu menghalau semua perajurit
raksasa. Musuh telah berhasil dibasmi. Pesta besar di negara NgAstina.
Menyambut kelahiran sang Yudistira.
Sementara Destarastra memilih Dewi Gendari untuk
dijadikan istrinya. Dewi Gendari merasa kecewa.
Karena ia gagal sebagai calon permasuri HAstina. Seharusnya putri cantik
sepertinya menjadi istri Pandu Dewanata, bukan Destarastra yang buta itu. Dalam
hati ia bersumpah bahwa anak keturunannya dengan Destarastra tidak akan pernah
akur dengan anak keturunan Pandu Dewanata.
Tak lama, Dewi Gendari hamil.
Namun, Destarastra merasa sangat bersedih hati, Kesedihan mereka disebabkan
kandungan Dewi Gendari yang telah mencapai usia tiga tahun lamanya. Walau telah
mencapai 1000 hari lebih, melampaui batas kenormalan usia hamil, akan tetapi
belum juga ada tanda-tanda akan melahirkan si jabang bayi.
Selama mengandung,
angan-angan Dewi Gendari tak pernah lepas dari rasa dendam dan sakit hati
kepada Pandu Dewanata. Ambisi untuk menumpas keturunan sang pandu sebagai
pelampiasan dendam sakit hatinya selalu tak pernah lupa diucapkan dalam
permohonan doa Dewi Gendari kepada dewata. Akan tetapi saat itu belum juga ada
dampak terkabulnya doa permintaan isteri adipati negara NgAstinapura ini. Pagi,
siang, sore hingga malam hari, hatinya senantiasa dirundung perasaan resah
gelisah, gundah gulana. Dan bahkan hampir putus asa, Mengingat antara apa yang
menjadi cita-cita dendam hatinya, maupun ingat akan kandungannya yang telah
melampaui kenormalan itu, sama sekali belum membawa hasil seperti apa yang
diharapkannya.
Selama masa kehamilan, Dewi Gendari tak pernah
memiliki ketentraman di hati. Apalagi setelah mengetahui Dewi Kunthi,
permaisuri Pandu telah melahirkan puteranya yang pertama, yang diberi nama
Raden Puntadewa atau juga disebut Raden Wijakangka. Bahkan Dewi Kunthi kini
telah dan hampir melahirkan puteranya yang kedua. Kecemasan serta seribu satu
macam perasaan gelisah dan tidak enak terkandung dalam hati Dewi Gendari ini
semakin menjadi-jadi.
Ketiadamenentuan perasaan
hati Dewi Gendari yang sedang berbadan dua itu, mengakibatkan tubuhnya terasa
gerah dan tidak betah tinggal dalam bangsal Kaputren. Dewi Gendari kemudian
melangkahkan kakinya, dengan langkah-langkah gontai menuruni tangga pualam di
bangsalnya menulusuri jalan setapak di antara hijaunya rerumputan, menuju ke
taman sari kerajaan NgAstinapura yang luas dan asri, diikuti oleh empat orang
emban sebagai abdi pengiringnya. Kala itu surya telah condong ke barat, saat
Dewi Gendari beserta empat orang abdinya menulusuri jalan setapak yang terbuat
dari pualam, diantara semerbak harum aneka bunga, serta rimbunnya pohon
buah-buahan yang menghiasi taman kerajaan, gerbang-gerbang sebagai batas
bagian-bagian taman yang luas itu, pandangan matanya yang sayu lurus memandang
ke depan seakan-akan tak peduli dengan segala keindahan taman di sekelilingnya.
Tak lama kemudian Dewi Gendari telah melalui gerbang taman yang ke tujuh dan
merupakan bagian taman yang terakhir.
Dalam bagian taman ini berisi
aneka macam binatang buas maupun jinak serta beragam unggas sebaga hiasannya,
tak ubahnya seperti isi kebun binatang layaknya namun tampat terawat bersih dan
rapi. Di tengah petamanan margasatwa ini terdapat sebuah kolam besar yang
terbuat dari batu pualam dengan dihiasi kelompok bunga teratai nan mekar dengan
indahnya. Ikan-ikan yang berwarna-warni berlari berpasangan berkejar-kejaran d
bawah warna biru jernihnya air. Tanpa sepengetahuan Dewi Gendari bahwa
kedatangannya di taman satwa itu, telah membuat seluruh binatang buas yang ada
di taman menjadi beringas, sementara binatang yang jinak serta unggas seperti
gelisah dan ketakutan,semua ini merupakan firasat buruk.
Hembusan angin keras
membuyarkan lamunan Dewi Gendari, mengetahui cuaca buruk, Dewi Gendari mengajak
para emban kembali ke kaputren. Langkah Dewi Gendari semakin dipercepat
karena gerimis telah mulai turun. Tiba
tiba saja Dewi Gendari yang sedang mengandung ini tersentak kaget saat
mendengar suara harimau mengaum begitu keras. Karena rasa kaget yang teramat
sangat tubuh Dewi Gendari gemetar, wajah pucat, tak terasa Dewi Gendari telah melahirkan
di tempat di mana ia berdiri, yaitu bebrapa jengkal sebelum mencapai gerbang
kaputren tempat tinggalnya. Dewi Gendari bukan melahirkan bayi sehat dan
mungil, melainkan adalah segumpal daging yang bercampur darah mengental,
berwarna mrah kehitam-hitaman, daging yang baru lahir dari rahim Dewi Gendari
itu bergerak-gerak serta berdenyut-denyut seakan-akan bernyawa.
Setelah melihat dan
mengetahui hal ini, bukan main marah Dewi Gendari, karena emosinya gumpalan
daging itu diinjak injah hingga terpecah belah, lalu ditendang-tendang dengan
kakinya ke arah yang tak menentu, pecahan serta serpihan daging yang dilahirkan
Dewi Gendari tercerai berai berserakan di atas rerumputan taman. Dewi Gendari
merasa emosi, geram dan marah. Setelah itu ia pun menjerit dan mengangis
histeris. Anehnya, setiap serpihan
daging yang berserakan itu besar atau kecil tetap berdenyut dan bergerak-gerak.
Sang Destrarasta menjadi
bingung. Dialam bawah sadar ia mendengar perkataan ayahnya sang resi Abiyasa.
Atas nasehat Begawan Abiyasa yang telah datang secara gaib dari pertapaannya,
meminta agar Destarasta untuk menutupi setiap serpihan daging itu dengan daun
jati.
Dewi Gendari segera melakukan
perintah sang resi. Dengan perasaan
was-was serta perasaan takut yang tertahan, Dewi Gendari serta
emban dan beberapa orang prajurit penjaga taman melaksanakan tugas yang
diperintahkan Destarasta, menutupi serpihan daging itu dengan daun jati,
jumlahnya mencapai 100 keping. Bersamaan dengan kejadian itu, suasana taman di
NgAstinapura berubah menjadi sangat menyeramkan. Binatang buas mengeluarkan
suaranya, disusul dengan lolongan anjing hutan yang berkepanjangan bersahutan,
burung hantu, kelelawar, burung gagak serta binatang malam lainnya.
Binatang-binatang yang lelolong tak kunjung berhenti, suasana seram dan
menakutkan meliputi NgAstinapura. Banyak para emban dan prajurit penjaga malam
ketakutan, wajahnya pucat, badannya menggigil, merinding bulu romanya.
Selesai memutupi gumpalan
darah ,Dewi Gendari turun segera menuju
tempat pemujaan, ia memohon kepada dewa, agar cita-citanya untuk berputera
banyak, bisa terkabul. Tiba-tiba saja Batari Durga muncul secara gaib dan
memberitahukan, apabila lewat tengah malam mendengar tangisan bayi di taman,
Dewi Gendari agar cepat-cepat menghampiri bayi tersebut, karena itu adalah
puteranya. Setelah memberikan pesan Batari Durgapun menghilang dari hadapan
Dewi Gendari secara gaib, kembali ke kahyangan di wukir pidikan.
Dan benar saja, saat
terdengar tangisan, Dewi Gendari segera menuju ke taman. Dan betapa terkejutnya
ia saat ia melihat ada 100 bayi di sana. Seluruh isi kerajaan bahagia mendengar
berita tersebut
Berikut nama-nama Kurawa :
- Duryodana (Suyodana)
- Dursasana (Duhsasana)
- Abaswa
- Adityaketu
- Alobha
- Anadhresya (Hanyadresya)
- Anudhara (Hanudhara)
- Anuradha
- Anuwinda (Anuwenda)
- Aparajita
- Aswaketu
- Bahwasi (Balaki)
- Balawardana
- Bhagadatta (Bogadenta)
- Bima
- Bimabala
- Bimadewa
- Bimarata (Bimaratha)
- Carucitra
- Citradharma
- Citrakala
- Citraksa
- Citrakunda
- Citralaksya
- Citrangga
- Citrasanda
- Citrasraya
- Citrawarman
- Dharpasandha
- Dhreksetra
- Dirgaroma
- Dirghabahu
- Dirghacitra
- Dredhahasta
- Dredhawarman
- Dredhayuda
- Dretapara
- Duhpradharsana
- Duhsa
- Duhsah
- Durbalaki
- Durbharata
- Durdharsa
- Durmagati
- Durmarsana
- Durmukha
- Durwimocana
- Duskarna
- Dusparajaya
- Duspramana
- Hayabahu
- Jalasandha
- Jarasanda
- Jayawikata
- Kanakadhwaja
- Kanakayu
- Karna
- Kawacin
- Krat
- Kundabhedi
- Kundadhara
- Mahabahu
- Mahacitra
- Nandaka
- Pandikunda
- Prabhata
- Pramathi
- Rodrakarma (Rudrakarman)
- Sala
- Sama
- Satwa
- Satyasanda
- Senani
- Sokarti
- Subahu
- Sudatra
- Suddha (Korawa)
- Sugrama
- Suhasta
- Sukasananda
- Sulokacitra
- Surasakti
- Tandasraya
- Ugra
- Ugrasena
- Ugrasrayi
- Ugrayudha
- Upacitra
- Upanandaka
- Urnanaba
- Wedha
- Wicitrihatana
- Wikala
- Wikatanana
- Winda
- Wirabahu
- Wirada
- Wisakti
- Wiwitsu
- Wyudoru (Wiyudarus )
Setelah kelahiran putra pertamanya Pandu merasa bahagia kemudian sang
dewi mulai mengandung lagi. Tak lama pada bulan kelahirannya telah tiba. Maka
lahirlah putra kedua yang berwujud bungkus. Seluruh kerajaan Astina sangat
berduka karena kelahiran anak jabang bayi Prabu Pandu dan Dewi Kunti yang
berwujud terbungkus. Tak ada senjata yang mampu untuk memecah bungkus tersebut.
Kurawa yang juga ikut membantu memecah bungkus tersebut, walaupun dengan tujuan
berbeda ingin melenyapkan sang jabang bayi – juga tidak sanggup melakukannya.
Sampai akhirnya, terdapat wangsit dewata yang meminta bayi bungkus tersebut
dibuang di hutan Krendawahana.
Sementara belum
lama hamil pada anak kedua Dewi Kunti mengandung lagi. Tapi aneh, pada saat lahir, sukma Arjuna yang berwujud
cahaya yang keluar dari rahim ibunya dan naik ke kayangan Kawidaren tempat para
bidadari. Semua bidadari yang ada jatuh cinta pada sukma Arjuna tersebut yang
bernama Wiji Mulya. Kegemparan tersebut menimbulkan kemarahan para dewa yang
lalu menyerangnya. Cahaya yang samar samar tersebut lalu berubah menjadi
sesosok manusia tampan yang berpakaian sederhana.
Hilangnya sukma
Wiji Mulya dari tubuh Dewi Kunthi menyebabkan kesedihan bagi Prabu Pandu. Atas
nasehat Semar, Pandu lalu naik ke kayangan dan meminta kembali putranya setelah
diberi wejangan oleh Batara Guru. Mengenai hasta brata. Selesai diberi Wejangan
pandhu meminta putra kembali dan mohon pamit untuk kembali ke HAstina. Sang
dewi Kunti merasa bahagia mendengar putranya selamat. Dan memberinama Arjuna,
Permadi,
Maka tumbuh
dewasa lah bayi tersebut menjadi satria yang tampan. Merasa kakaknya yang berwujud bungkus belum
dapat ditolong, ia pergi ke pertapan Wukir Retawu. Di pertapaan wukir
retawu Begawan Abyasa kedatangan Raden Permadi yang dikuti oleh punakawan.
“Kakek bagaimana nasib kakak bungkus, sudah sampai
beberapa tahun tak ada kabar baik mengenai ini eyang, menjadikan dukanya ibu
Kunti”
“Tentu saja sang
Begawan yang memang dipenuhi oleh budi luhur sudah mengetahui apa yang akan
terjadi.
Adanya bayi bungkus tersebut menjadikan gegernya suralaya. Bumi gonjang ganjing
bergetar seperti dibelah. Lautan menjadi kering.
Di suralaya Batara Guru memanggil Gajah Sena putra sang batara yang
berwujud gajah untuk memecah si bungkus sehingga menjadi manusia yang sejati.
Sang guru juga mengutus Dewi Umayi untuk melatih tentang keutamaan kepada si
bayi bungkus.
Selanjutnya Gajahsena dengan kekuatan yang dimilikinya membuka bungkus
sijabang bayi. Namun dengan pecahnya bungkus, sang bayi menjadi marah karena ia
merasa disakiti, maka terjadilah perkelahian yang dahsyat diantara keduanya.
Pertempuran tersebut berakhir dengan kalahnya Gajah Sena. Namun bersamaan
dengan sirnanya jasad sang Gajah, seluruh roh dan kekuatannya merasuk kedalam
badan si bayi bungkus., Kemudian datanglah
Betara Narada.
Si bungkus kemudian bertanya pada Sang Batara Narada
,”Heeem, siapakah aku ini?”
“Perkencong, perkencong waru
doyong …”. “Anakku ger bungkus , kamu itu sesungguhnya adalah
putra nomor dua dari Raja Prabu Pandu Dewanata di HAstina. Kamu lahir berwujud
bungkus, dan kehendak Dewata kamu akan menjadi ksatria utama, dan untuk itu
engkau kuberi nama Bratasena”.
Bratasena kemudian hari menjelma menjadi seorang yang gagah dan
menakutkan karena badannya yang tinggi besar dengan suara yang menggelegar.
Sampai suatu ketika. Datanglah Raja dari
Tasikmadu yang meminta pertolongan kepada Bratasena untuk melenyapkan raja
raksasa bernama Kala Dahana. Patih Kala Bantala, Kala Maruta dan Kala Ranu.
Dengan kekuatannya Bratasena mengalahkan para raksasa tersebut. Mereka sirna
dan semua kekuatan para raksasa tadi menyatu dalam tubuh Raden Bratasena;
itulah kekuatan api, tanah,angin dan air.
Sementara sang istri yang kedua yaitu Dewi Madrim yang telah mengandung.
Tapi keinginan yang diminta aneh untuk dipenuhi. Merasa bingung maka Raja
Pandhudewanata berwawancara dengan Resi Bisma, Yamawidura, Patih Kuruncana,
Puntadewa, Sena dan Permadi. Sang raja minta petunjuk dan nasihat kepada Resi
Bisma, bahwa Madrim ingin naik Lembu Andini kendaraan Batara Guru. Resi Bisma
memberi saran agar raja minta nasihat kepada Bagawan Abyasa di Saptaarga, di
pertapaan Wukir Retawu. Raja Pandhudewanata menerima saran Resi Bisma, Patih
Kuruncana diperintahkan mempersiapkan perajurit. Setelah selesai perundingan,
raja masuk ke Gupitmandragini menemui dua isterinya, raja memberi tahu tentang
hasil pertemuan, dan rencana kepergian raja ke Saptaarga.
“Dinda dewi aku akan pergi Sapta arga untuk meminta
saran pada romo resi.....”
“Baik kanda, berhati – hatilah kanda......!”
Yamawidura mengumumkan perintah dan rencana kepergian raja kepada para
perajurit. Para perajurit diperintah supaya menghormat keberangkatan raja.
Sebagian perajurit dipersiapkan untuk mengawal kepergian raja ke Wukir Retawu.
Raja bersama perajurit berangkat ke Saptaarga, dipimpin oleh Yamawidura.
Di kerajaan yang tak jauh Astinayang masih merupakan wilayah HAstina.
Kesuburan tanah gemah rimpah loh jinawi. Yaitu kerajaan Turilaya. Bogadata raja
negara Turilaya berunding dengan Gandapati, Kartipeya, Patih Hanggadenta,
Gendhingcaluring, Togog dan Sarawita. Mereka membicarakan amanat Arya Suman
yang disampaikan oleh Kartipeya, tentang perang Baratayuda. Mereka menginginkan
urungnya perang itu. Mereka mengambil putusan untuk menyerang negara NgAstina,
membunuh raja Pandhudewanata beserta anak-anaknya. Patih Hanggadenta ditugaskan
menyerang negara NgAstina. Gendhingcaluring ditugaskan menjaga tapal batas, dan
siapa saja yang akan membantu NgAstina supaya dihancurkannya. Raja Bogadata dan
Kartipeya akan pergi ke NgAstina secara sembunyi-sembunyi. Gandapati ditugaskan
menjaga keamanan negara Turilaya. Setelah siap, mereka berangkat menjalankan
tugasnya masing-masing. Perajurit Turilaya bertemu dengan perajurit NgAstina,
terjadilah pertempuran. Pertempuran padam setelah mereka menghentikan perang.
Masing-masing menyimpang jalan mencari selamat.
Pandepokan yang sangat sejuk berada di tengah hutan. Tertutup oleh hutan
lebat dan rimbun. Tinggallah seorang resi dengan putri yang cantik jelita.
Bernama Resi Darmana dan Endang Darmi. Resi Darmana dan anaknya Endang Darmi
berbicara dengan para cantrik di padepokan Hargasana. Sang Resi membicarakan
surat lamaran Brahmana Kamindana. Endang Darmi menurut kehendak ayahnya.
Tak lama Brahmana Kamindana datang, menagih kesanggupan dan jawaban Resi
Darmana tentang lamarannya. dengan kata keras dan kasar keluar dari mulut sang
Brahmana Kamindana. Watak sang Brahmana Kamindana amat kasar tutur katanya,
mendengar ucapan Resi Kamindana yang kasar dan tidak santun, membuat Resi
Darmana marah, terjadilah perkelahian. Para cantrik ikut membantu resi Darmana.
Para cantrik mengeroyok Brahmana Kamindana. Mula-mula Brahmana Kamindana
kalah, kemudian menggunakan pusaka saktinya berupa tombak pendek. Resi Darmana
ditangkap akan dibunuhnya. Sebelum terbunuh, Resi Darmana mengutuk. Brahmana
Kamindana dikatakan seperti rusa. Bersamaan dengan jatuhnya pusaka Brahmana
Kamindana ke dada Resi Darmana, Brahmana Kamindana berubah menjadi rusa dan
Resi Darmana meninggal dunia.
Setelah mendengar kematian ayahnya, Endang Darmi pergi meninggalkan
padepokan. Brahmana Kamindana mengejarnya, tetapi ia tidak dapat menangkapnya.
Dikatakan oleh sang brahmana, Endang Darmi lari cepat seperti rusa. Seketika
Endang Darmi berubah menjadi rusa betina. Rusa Kamindana berhasil menangkap
rusa Darmi, mereka masuk ke hutan.
Angin semilir membawa Prabu Pandhu di padekona ayahnya. Raja
Pandhudewanata bersama Semar, Gareng, Petruk dan Bagong menghadap Begawan
Abyasa di Saptaarga. Raja menyampaikan maksud kedatangannya. Bagawan Abyasa
memberi petunjuk dan nasihat, bahwa permintaan Madrim itu kelewat batas, dan
besar bahayanya. Bagawan Abyasa menyerahkan kepada sikap Pandhudewanata
sendiri. Pandhu ingin menuruti keinginan Madrim, lalu minta diri bersama para
punakawan. Bagawan Abyasa mengawal dari kejauhan, menuju ke NgAstina.
Di tengah perjalanan Pandhu dan para panakawan bertemu dengan perajurit
raksasa dari Turilaya. Terjadilah pertempuran. Perajurit yang dipimpin
Gendhingcaluring kalah dan tidak mampu menglahkan kedigdyaan Pandu. Togog dan
Sarawita kembali ke Turilaya. Pandhu meneruskan perjalanan ke Suralaya.
Bathara Narada dan Bathara Indra, Bathara Yama, Bathara Aswan, Bathara
Aswin dan Lembu Andini menghadap Bathara Guru. Bathara Guru bertanya kepada
Bathara Aswi dan Bathara Aswin, sebab apa mereka berdua turun ke NgAstina.
Mereka menjawab, bahwa mereka datang atas panggilan Madrim isteri Raja Pandhu,
yang ingin mempunyai anak. Bathara Guru menyuruh agar mereka berdua turun ke
NgAstina, untuk bertanggungjawab atas kelahiran bayi yang akan datang. Bathara
Aswan dan Bathara Aswin berangkat ke NgAstina.
Sepeninggalnya Bathara Aswan dan Bathara Aswin, raja Pandhu datang,
menghadap Bathara Guru, minta pinjaman Lembu Andini. Bathara Guru marah, sebab
raja Pandhu pernah mendirikan taman larangan dewa yang disebut Taman
Kadilengleng, yang mirip dengan taman Tinjomaya. Pandhu minta maaf, tetapi
Bathara Guru bertambah marah, karena ia hanya menuruti keinginan perempuan
isterinya. Pandhu minta maaf dan menyampaikan beberapa sanggahan dengan
berbagai pertanyaan.
“ Apakah ia bersalah karena menuruti permintaan
isteri? “
“Makhluk yang mengajukan permohonan kepada Dewa itu
bersalah?”
“Apakah salah bila raja minta perlindungan kepada raja semua raja?Apakah
sudah benar raja Tribuana menolak permintaan raja kecil? Bukankah raja besar
wajib mengabulkan permintaan raja kecil dan melindunginya? Akhirnya Bathara
Guru mengabulkan permintaan Pandhu dengan syarat, Pandhu tidak akan berbuat
salah lagi. Bila Pandhu sudah selesai naik Lembu Andini maka akan dicabut
nyawanya. Pandhu sanggup menerima hukumannya, lalu mohon diri. Para panakawan
dan Lembu Andini mengikutinya.”
Sepeninggal Pandhu dari Suralaya, Bathara Guru mengutus Bathara Narada
supaya turun ke NgAstina. Nyawa Pandhu harus dicabut sesudah mengendarai Lembu
Andini. Bathara Yama diberi tugas untuk mengikuti Bathara Narada. Mereka berdua
berangkat ke NgAstina. Pandhu mengikuti jalannya Lembu Andini masuk ke hutan
Kandhawa. Di tengah hutan Pandhu melihat sepasang Rusa yang sedang memadu
kasih. Ia iri melihatnya. Rusa jantan dipanah, berubah menjadi Brahmana Kamindana.
Brahmana Kamindana mengutuk, pandhu akan mati bila memadu kasih dengan
isterinya. Rusa betina juga dipanahnya, lalu kembali menjadi Endang Darmi.
Endang Darmi mengutuk, isteri Pandhu akan mati setelah melahirkan bayi
kandungannya. Brahmana Kamindana dan Endang Darmi musnah dari pandangan Pandhu.
Pandhu kembali ke negara NgAstina.
Bagawan Abyasa dihadap oleh Resi Bisma, Yamawidura, Patih Kuruncana dan
Sena, mereka memperbincangkan kepergian Pandhu ke Suralaya. Pandhu dan
punakawan datang bersama Lembu Andini. Pandhu melapor segala usahanya, kemudian
masuk ke istana menemui Dewi Kunthi dan Dewi Madrim. Setelah memberi tahu
tentang hasil yang diperoleh, Pandhu dan Dewi Madrim naik Lembu Andini. Mereka
melayang-layang di angkasa, di atas negara NgAstina. Di atas angkasa Pandhu dan
Madrim berwawan asmara, kemudian turun ke bumi NgAstina. Lembu Andini kembali
ke Suralaya. Pandhu masuk istana, bercerita kepada Begawan Abyasa, Resi Bisma,
Yamawidura, Patih Kuruncana, Sena dan Arjuna.
Mereka asyik mendengarkan cerita Pandhu di istana. Bathara Narada dan
Bathara Yama menjalankan tugas mereka, nyawa Pandhu dicabutnya. Pandhu
meninggal dunia, orang seistana gempar kesedihan. Bathara Aswan dan Bathara
Aswin menjelma kepada bayi yang dikandung oleh Dewi Madrim.
Setelah Dewi Madrim tahu bahwa raja Pandhu telah meninggal, ia bunuh
diri, sebuah patrem ditusukkan ke dalam perutnya. Dua bayi lahir melalui luka
perut Dewi Madrim. Bathara Narada dan Bathara Yama datang, menemui Abyasa,
minta agar bayi itu diberi nama Pingsen ( Nakula ) dan Tangsen ( Sadewa ). Kemudian jenasah Pandhu dan Madrim dibawa ke
Tepetloka. Tempat pembakaran mayat. Suara tangis dan haru seluruh rakyat akan kepergian Raja tercinta
mereka. Karena kedua putra Madrim telah ditinggal ibunya Dewi Madrim. Maka Begawan Abyasa meminta agar Kunthi mengasuh
dua bayi itu seperti anaknya sendiri. Kunthi menerima kedua bayi dengan senang
hati.
Raja Bogadata, Kartipeya dan perajurit Turilaya bersiap-siap menggempur
negara NgAstina. Bagawan Abyasa berunding dengan Resi Bisma. Yamawidura, Sena,
Patih Kuruncana dan Arjuna. Mereka membicarakan kekacauan negara dan serangan
musuh. Bogadata dan perajurit telah menyerang. Patih Kuruncana ditugaskan untuk
menyiapkan perajurit. Sena, Arjuna dan Yamawidura ikut berperang. Bogadata
dipanah oleh Arjuna, Kartipeya kena panah Yamawidura, Hanggadenta mati oleh
Patih Kuruncana, para perajurit Turilaya musnah oleh amukan Sena. Perang pun
selesai.
Bagawan Abyasa, Resi Bisma, Yamawidura dan Patih Kuruncana berunding,
mereka akan menobatkan Dhestharasta sebagai pemegang pemerintahan sampai para
Pandhawa dewasa. Mereka mengadakan pesta penobatan. Dan arya Suman menjadi
patih HAstina. Sementara para Pandawa
tingal bersama eyang mereka di Sapta arga. Menginjak dewasa para Pandawa,
maka diboyonglah ke HAstina.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar