LAHIRNYA DARAH KURU - Sastra Education

Breaking

Minggu, 22 Mei 2016

LAHIRNYA DARAH KURU



Negara yang makmur dan sauasana yang begitu damai. Kehidupan rakyatnya serba kecukupan yang negara tersebut berdiri karena kekuatan seorang pertapa yang menurutnya kakek moyangnya. Ini negara gung binatara. Astinayang merupakan adi kuasa dibawah raja Pandudewanata.Tersiar kabar bahwa sang permasuri Dewi Kunti telah mengandung anak yang pertama. Tapi telah bulan kelahirannya anak tersebut belum juga lahir.
 “Ada apa gerangan ...?”.
Pertemuan di istana NgAstina segera diadakan. Prabu Pandhu dihadap oleh Dhestharata, Widura dan Patih Jayaprayitna. Mereka membicarakan kandungan Kunthi yang telah sampai bulan kelahirannya belum juga lahir. Tengah mereka berunding. Kedatangan tanpa diundang suara alunan melodi semilirnya gamelan yang ditabuh bagai sebuah persembahan akan kedatangan sang bagus dari mandura. Dengan langkah tenang sang Prabu Rukma berjalan ke mimbar HAstina.
“Raharjo dimas Prabu.......!”
“Pangestunipun kanda Prabu Pandhu raharjo sowan saya...bektiku kanda..........!”
“Ya dimas Prabu Rukma.........restunipun enggal terimalah......!”
“Saya angkat datang mustaka supaya dadi jimat keselamatan........ !”
“Ada apa dimas tanpa ada kabar datang ke Astina.......?”
“Pertama saya diutus kanda Prabu Basudewa untuk mengirimkan salam sejahtera dari kanda Prabu Basudewa untuk kanda Prabu Pandhu. “
“Ya dimas......!”
“Yang kedua saya ingin melihat ketentraman kerajaan HAstina........!”
“Ya dimas...!”
“Yang ketiga........saya diutus kanda Prabu Basudewa untuk meminta bantuan kepada kanda Prabu Pandhu......!”\

“Bantuan apa dimas.......?”
Arya Prabu Rukma datang memberi tahu, bahwa negara Mandura akan diserang perajurit dari negara Garbasumandha. Raja Garbasumandha ingin merebut Dewi Maherah. Istri Prabu Basudewa. Raja Basudewa minta bantuan dengan utusan Arya Prabu Rukma. Mendengar ada bahaya yang akan mengancam kerajaan kakak ipar. Dengan sigap sang Prabu Pandhu bersedia untuk membantu.
Paseban agung di mimbar Astinaditeruskan. Kali ini sang Prabu Pandhu memberikan perintah pada adiknya Arya Widura. Arya Widura disuruh pergi ke Wukir Retawu dan ke Talkandha, supaya mohon doa restu demi kelahiran bayi. Arya Widura menerima perintah kandanya.
“Perintah kanda akan hamba laksnakan ........!”
Berangkatlah Arya Widura meninggalkan paseban agung HAstina. Prabu Pandhu menyerahkan pemerintahan Astinakepada sang Patih Gandamana. Badan tegak. Gagah perkasa bagai superman. Dengan jalan langkah yang bagaikan suara hentak gajah. Biarpun sudah tua, tapi badan masih segar bugar bagai satria muda.
“Kakang Gandamana aku serahkan Astinapada kakang Patih.......!”
“Perintah Paduka akan hamba laksanakan.....!”
Prabu Pandhu meninggalkan paseban agung. Raja Pandhu menemui Dewi Kunthi yang sedang berbincang-bincang dengan Dewi Ambika, Dewi Ambiki dan Dewi Madrim. Setelah memberi tahu tentang rencana kepergiannya ke Mandura, ia segera bersamadi. Ia berganti baju satria, dengan keris dibelakang.  Ia berangkat ke Mandura bersama Arya Prabu Rukma. Saudara tua yang buta, Dhestharata menunggu kerajaan NgAstina.

Di negara yang tak jauh berbeda, yang berkuasa raja raksasa. Raja yang sangat bengis dan rakus. Dengan kejamnya ia memerintah kerajaannya. Tubuh kekar dan berwajah beringas bagai harimau yang siap menerkam. Tubuh gembal dan gemuk dengan tinggi kurang lebih 3 meter. Langkah yang berjalan dengan guncangan bagai sebuah gempa bumi berkekuatan 3 SR. Ia bernama Prabu Yaksadarma.  Yaksadarma raja Garbasumandha. Paseban agung segera digelar. Prabu Yaksadarma dihadap oleh Arya Endrakusuma, adiknya yang berwujud sama dengannya yang memiliki sifat rakus dan tamak. Patih Kaladruwendra, Togog, Sarawita dan Ditya Garbacaraka. Pembahasan segera dibuka. Sang raja siap menumpah isi hatinya dihadapan para punggawa. Bagai lahar yang siap meletus. Semua is yang siap keluar bagi sebuah pistol yang siap membidik seorang penjahat.
 Raja berkeinginan memperisteri Dewi Maherah isteri raja Mandura. Para punggawa di inta pendapat. Semua terdiam tiada yang berani keluar kata – kata. Bagai sebuah mulut yang tetutup lakban. Raja menanyai patihnya. Ia terdiam bagai sebuah ging yang tak dipukul. Bagaimana bilang ia tidak kalau permintaan rajanya.
Ia memberi perintah pada patihnya. Sang patih tak mungkin menolaknya. Ia memerintahkan Ditya Garbacaraka. Ditya Garbacaraka disuruh melamar, Togog menyertainya, Patih Kaladruwendra dan perajurit disuruh mengawal perjalanan mereka.
Perjalanan yang panajng bagai jalan sebauh rel kereta. Perajurit Garbasumandha bertemu dengan perajurit NgAstina. Terjadilah perang, tetapi perajurit Garbasumandha menyimpang jalan.


Di negara yang tak jauh berbeda, yang berkuasa raja raksasa. Raja yang sangat bengis dan rakus. Dengan kejamnya ia memerintah kerajaannya. Tubuh kekar dan berwajah beringas bagai harimau yang siap menerkam. Tubuh gembal dan gemuk dengan tinggi kurang lebih 3 meter. Langkah yang berjalan dengan guncangan bagai sebuah gempa bumi berkekuatan 3 SR. Ia bernama Prabu Yaksadarma.  Yaksadarma raja Garbasumandha. Paseban agung segera digelar. Prabu Yaksadarma dihadap oleh Arya Endrakusuma, adiknya yang berwujud sama dengannya yang memiliki sifat rakus dan tamak. Patih Kaladruwendra, Togog, Sarawita dan Ditya Garbacaraka. Pembahasan segera dibuka. Sang raja siap menumpah isi hatinya dihadapan para punggawa. Bagai lahar yang siap meletus. Semua is yang siap keluar bagi sebuah pistol yang siap membidik seorang penjahat.
 Raja berkeinginan memperisteri Dewi Maherah isteri raja Mandura. Para punggawa di inta pendapat. Semua terdiam tiada yang berani keluar kata – kata. Bagai sebuah mulut yang tetutup lakban. Raja menanyai patihnya. Ia terdiam bagai sebuah ging yang tak dipukul. Bagaimana bilang ia tidak kalau permintaan rajanya.
Ia memberi perintah pada patihnya. Sang patih tak mungkin menolaknya. Ia memerintahkan Ditya Garbacaraka. Ditya Garbacaraka disuruh melamar, Togog menyertainya, Patih Kaladruwendra dan perajurit disuruh mengawal perjalanan mereka.
Perjalanan yang panajng bagai jalan sebauh rel kereta. Perajurit Garbasumandha bertemu dengan perajurit NgAstina. Terjadilah perang, tetapi perajurit Garbasumandha menyimpang jalan.



Negara gung binanatara yang merupakan kerajaan keturunan Batara Wisnu. Kerajan yang gemah ripah loh jinawi. Mandura rajanya Bernama Prabu Basudewa. Raja Basudewa dihadap oleh Patih Saraprabawa, Arya Ugrasena dan hulubalang raja. Mereka menanti kedatangan Arya Prabu Rukma. Arya Prabu Rukma datang bersama Pandhu. Kedatangan bagai sebuah jalan yang menyatakan kebenaran. Iringan suara merdu burung – burung berkicauan. Sambutan hangat dari Prabu Basudewa, Arya Ugrasena. 
Setelah berwawancara, raja Basudewa masuk ke istana akan menjumpai para isteri. Namun Garbcaraka telah masuk ke istana lebih dahulu, dan berhasil melarikan Dewi Maherah. Dewi Mahendra dan Dewi Badraini kebingungan. Mereka bagai gajah yang kehilangan gading. Harum semerbak bagai aroma bunga mawar. Kedatangan Basudewa dan Pandhu. Melihat kedua istri kebingungan . ia mendekati kedua istrinya.
“Dinda dewi ada apa ?” tanya Prabu Basudewa.
“Begini kanda kang mbok Dewi Maherah telah diculik.........!” kata istrinya.
“Di culik dinda.........!”
Mendengar berita dari istrinya, Basudewa minta agar Pandhu segera mencarinya. Pandhu mohon pamit. Pandhu segera berangkat meninggalkan kerajaan Mandura.
Tak lama Pandhu berhasil mengejar Garbacaraka dan merebut Dewi Maherah, pertarungan sempat terjadi. Kedua memang sakti. Tapi Prabu Pandhu lebih berpengalaman.
“Hai satria siapa kau berani mengganggu urusanku....?”
“Aku raja HAstina, Pandhu Dewanata..!”
“Oh inikah raja termashyur akan kedigdayaannya......kenalkan akau Ditya Garbacaraka.....”
Pertarungan kembali terjadi, dengan keris kalanadah Pandhu berhasil mengalahkan Garbacaraka. Dewi Maherah berhasil direbutnya. lalu dibawa kembali ke Mandura.  Dewi Maherah diserahkan kepada kakak ipar Prabu Basudewa. Setelah menyerahkan Dewi Maherah, Pandhu minta pamit, kembali ke NgAstina, Raja Basudewa mengikutinya.


Bunyi gamalan dengan iringan gending – gending jawa. Alunan merdu bagai nyainyian syair merdu untuk sang kekasih. Kemunculan empat punakawan Semar, Gareng, Petruk dan Bagong bersenda gurau. Semar dengan  bentuk bulat seperti gentong, kuncung dikepalanya mata yang sedikit merem. Menandakan bahwa ia bukan pemalas melainkan sesuatu lambang menandakan bahwa dia seorang yang sangup melawan hawa nafsu dunia. Anak yang pertama Gareng bentuk badan seperti kapal dengan tangan cengkot dan kaki pincang. Ia merupakan pertanda kawula yang hati – hati dalam bertindak. Dan tidak suka mengambil hak milik oarng lain. Anak yang kedua Petruk. Memiliki hidung panjang dan berkulit hitam dengan badan tinggi. Anak yang ketiga Bagong. Badan seperti gentong bibir tebal dan suka menghibur.
 Mereka kemudian menghadap Begawan Abiyasa. Bagawan Abiyasa sedang berunding dengan Resi Bisma tentang kehamilan Kunthi. Arya Widura datang  dengan para Punakawan. Suara gemuruh angin petanda akan kedatangan satria yang telah ditunggu kedatangannya. Arya Widura berserta Punakawan menghadap Resi Abiyasa.
“Raharjo ger Widura....!”
“Restunya romo begawan, bektiku romo......!”
“Ya tak  terima bektimu, pangestunipun bopo terimalah......!”
“Saya angkat di kepala suapya jadi jimat keselamatan ...”!
“Bagaimana Widura keadaan kandungan anakku Kunti.......?”
“Begini romo panemabahan saya diminta kanda Prabu Pandhu memintakan  sarana untuk kelahiran bayi yang dikandung oleh kang mbok Kunthi.”
Mendengar perkataan dari anaknya kedua panemabahan bersiap untuk ke HAstina. Arya Widura disuruh berangkat kembali ke NgAstina, Bagawan Abiyasa dan Resi Bisma segera mengikutinya. Arya Widura dan punakawan mohon pamit. Mereka meninggalkan pertapan Sapta Arga.
 Dalam perjalanan Arya Widura dihadang oleh raksasa Garbasumandha. Melihat rombongan raksasa yang tak dikenal Arya Widura mengamuk, perajurit raksasa banyak yang gugur dan melarikan diri.




Dikahayangan tempat para dewa bersemayam. Dengan tubuh gagah dan berwibawa duduk di Mercupundu manik kahyangan sang Hayng Guru. Badan tegak dengan memilik banyak tangan. Disetiap tangan memegang senjata. Bathara Guru mengadakan pertemuan di Suralaya, dihadiri oleh Bathara Narada, Bathara Panyarikan, Bathara Dharma dan Bathara Bayu. Batara Narada merupakan seorang patih kahyangan dengan tubuh cebol dan berwajah badut. Batara Panyarikan, tubuh kurus, kecil dan berwajah tampan.ia merupakan dewa senopati kahyangan. Batara Bayu merupakan dewa angin. Batara Bayu dengan tubuh gagah, tegak dan kuat berwajah tampan. Begitu dengan Sang Hyang Darma merupakan dewa keadilan. Berparas tampan. Mereka berbicara tentang kehamilan Kunthi.
“Kakang Batara Narada, bagaimana kabar Kunthi, kakang...?”
“Adhi Guru, anakku Kunthi sudah mengandung 9 bulan, menurut adhi Guru bagaimana selanjutnya.....”
“Turunlah kakang Batara bersama Batara Darma, Panyarikan, dan Bayu...untuk memberi pertolongan pada Kunthi anakku....”
“Sendika adhi Guru....!”
Sang Hyang Guru mengutus para dewa untuk pergi ke HAstina.  Bathara Narada disuruh turun ke marcapada bersama Bathara Dharma, Bathara Panyarikan dan Bathara Bayu. Batara Narada, bata Mereka disuruh memberi pertolongan kepada Dewi Kunthi.



Dalam perjalanan menuju ke HAstina. Raja Basudewa dan Pandhu berjumpa dengan Patih Kaladruwendra. Mereka dihadang oleh pasukan Garbasumandha. Pasukan raksasa dipimpim seorang patih yang kejam dan bengis. Mata melotot bagai mau keluar dengan muka merah merona bagi kilatn api. Patih Kaladruwendra dengan keris menghadang perjalanan Prabu Basudewa dan Pandhu.
“Hai satria siapa naamu....haaa...haaaaaaa.......?”
“Jangan bentak – bentak bertanya, bertanyalah dengan sopan, sebelum aku jawab siapa namamu wahai raksasa... dan dimana dangka( tingggal)mu?”
“Ditanya balik tanya....aku Patih Kaladruwendra dari kerajaan Garbasumandha...”
“Aku Raja Mandura, Prabu Basudewa dan ini adik iparku raja HAstina, Prabu Pandhu Dewanata......”
“Oh ini ratu Mandura, kalau begitu serahkan Dewi Maherah pada untuk kuberikan pada rajaku......”
“Jangan kau ambil istri kakakku, langkahi dulu mayat Pandhu.......”
Terjadilah perkelahian, pertarungan sengit terjadi. Dua kekuatan saling beradu. Adu jotos keduanya. Hantaman demi hantaman dilancarkan Pandhu. Begitu pula Kaladruwendra. Tapi hantaman Kaladruwendra tak membuat Pandhu gentar. Bahkan ia masih berdiri kokoh setiap hantaman Kaladruwendra di lancarkan mengenai tubuhnya. Melihat pertarungan yang tidak akan selesai sebelum salah satu mati. Dengan sigap Pandhu mengambil panah. Rentangan busur panah segera ditarik.
Rek ......rek......!
Juuuuus......juuuuus....melancar bagai kilatan cahaya. Dengan cepat anak panah tubuh Kaladruwendra. Kaladruwendra terbunuh oleh panah Pandhu. Kepala sang patih terbang bersama anak panah yang dilepas. Melihat gusti patih mati, pasukan Garbasumandha lari terbirit untuk menyelamatkan. Dan pasukan Garbasumandha menghilang. Lari pasukan patih Kaladruwendra segera bergegas melaporkan akan kematian sang patih.
Melihat aman dan damai, Prabu Pandhu dan Prabu Basudewa melanjutkan begitu juga raden Ugrasena dan Arya Prabu Rukma.



Di kerajaan Garbasumandha, Raja Yaksadarma dan Endrakusuma menanti kedatangan Garbacaraka. Suara semilir dengan hembuasan angin lebat dan hujan deras mengiringi kedatangan Garbacaraka. Disambutnya sang utusan tersebut.
“Garbacaraka, bagaimana hasilnya...... ?”
“Ampun sinuwun, hamba Garbacaraka akan bercerita tentang hasil yang diperoleh, tetapi direbut oleh raja Pandhu.”
Cerita belum selesai, tiba-tiba sebuah jatuh dihadapan raja.  Buk.....! suara jatuh seperti kepala manusia, terlihat darah berceceran. Dilihat wajah kepala itu. Melihat wajah tak asing, ini kepala Kaladruwendra. Melihat patihnya telah tewas, Yaksadarma marah, lalu mempersiapkan perajurit, akan menyerang negara HAstina.
“Dimas Endrakusuma, aku serahkan keamanan kerajaan Garbasumdha padamu....”
“Baik kanda Prabu, hati – hati kanda...”.
Berangkatlah Prabu Yaksadarma ke HAstina. Bersama beribu – beribu pasukan yang dipimpin Garbacaraka segera menuju HAstina. Amarah yang panas bagai gunung berapi siap meletus akibat lamaran di tolak patihnya meninggal.
“Hutang nyawa dibalas dengan nyawa.......!” kata Prabu Yaksadarma.
Hembusan semilir telah bertiup sepoi – sepoi. Tak lama kedatangan rombongan Prabu Pandhu, Prabu Basudewa, Ugrasena dan Arya Prabu Rukma disambut baik oleh rakyat HAstina. Rakyat Astinaberhamburan keluar untuk menyaksikan kedatangan raja mereka, dari perang. Keselamatan raja Pandhu sangat diharapkan oleh para rakyat HAstina. Karena selama pemerintahan Hastian tentram dan damai.
Dipaseban Agung Arya Widura telah menanti kedatangan Kanda Prabu Pandhu berserta rombongan Mandura. Pandhu segera naik tahta. Paseban yang telah digelar. Bagai sebauh musayawah besar. Raja Pandhu berbicara dengan Arya Prabu Rukma, Ugrasena, raja Basudewa dan Arya Widura.
“Bagaimana dimas mengenai romo Resi Abiyasa dan romo begawan Begawan Bisma?”
Arya Widura memberi tahu tentang kesanggupan Bagawan Abiyasa dan Resi Bisma. Prabu Pandhu merasa bahagia karena kedua orang tua berkenan hadir dalam kelahiran anak pertamanya. Tengah mereka berbincang-bincang. Suara angin yang bertiup bagai suara lagu khasiidah yang di dendangkan. Kedatangan   Bagawan Abiyasa dan resi Bisma telah dinanti.
“Raharjo romo resi.. bektiku romo !”
“Ya ger anak Prabu ...pangestunipun terimalah...!”
“Saya terima di atas kepala supaya jadi jimat keselamatan......”
 Setelah mereka berdua disambut, lalu diajak masuk ke istana. Suara angin yang bertiuop dengan aroma bau wangi bunga setaman. Membuat suasana Astinadilanda suatu pertanda baik.
“Ada apa gerangan ini bopo resi.......?”
“Oh apa ini kakang Bisma.....?”
“Mana aku tahu dimas resi......?”
“Kang semar menurut ini pertanda apa ?”
“Tenang saja, doro resi ini kedatangan dewa.......!”
“Oh begitu kakang semar.....”
Kedatangan Bathara Narada dan Bathara Darma.Raja Pandhu dan Basudewa cepat-cepat menyambut kedatangan para dewa.
“Bekti kami bukulun Narada dan bukulun Darma......!”
“Ya Ger Pandhu dan Basudewa........!”
 Bathara Narada memberi tahu tentang tujuan kedatangannya. Bathara Narada menyuruh agar Bathara Darma merasuk kepada Dewi Kunthi, membimbing kelahiran bayi. Bathara Darma merasuk, bayi dalam kandungan Dewi Kunthi lahir melalui ubun-ubun. Bayi lahir laki-laki. Bathara Narada memberi nama Puntadewa, dan mendapat sebutan Darmaputra. Semua yang hadir menyambut kelahiran sang bayi.
Kedatangan musuh tanpa diundang, laporan pasukan teleksandi, Raja Yaksadarma dan para pengikutnya datang menyerang negara NgAstina. Mendengar Astinadiserang dengan sigap Pandhu menerjang Prabu Yaksadarma.  Raja Yaksadarma mati oleh Pandhu. Mendengar kakak tewas, Endrakusuma maju kepalagan, ia menantang satria HAstina. Majulah sang Widura,  Endrakusuma mati oleh Arya Widura, Garbacaraka mati oleh Arya Ugrasena. Bathara Bayu menghalau semua perajurit raksasa. Musuh telah berhasil dibasmi. Pesta besar di negara NgAstina. Menyambut kelahiran sang Yudistira. 



Sementara  Destarastra memilih Dewi Gendari untuk dijadikan istrinya. Dewi Gendari merasa kecewa.  Karena ia gagal sebagai calon permasuri HAstina. Seharusnya putri cantik sepertinya menjadi istri Pandu Dewanata, bukan Destarastra yang buta itu. Dalam hati ia bersumpah bahwa anak keturunannya dengan Destarastra tidak akan pernah akur dengan anak keturunan Pandu Dewanata.
Tak lama, Dewi Gendari hamil. Namun, Destarastra merasa sangat bersedih hati, Kesedihan mereka disebabkan kandungan Dewi Gendari yang telah mencapai usia tiga tahun lamanya. Walau telah mencapai 1000 hari lebih, melampaui batas kenormalan usia hamil, akan tetapi belum juga ada tanda-tanda akan melahirkan si jabang bayi.
Selama mengandung, angan-angan Dewi Gendari tak pernah lepas dari rasa dendam dan sakit hati kepada Pandu Dewanata. Ambisi untuk menumpas keturunan sang pandu sebagai pelampiasan dendam sakit hatinya selalu tak pernah lupa diucapkan dalam permohonan doa Dewi Gendari kepada dewata. Akan tetapi saat itu belum juga ada dampak terkabulnya doa permintaan isteri adipati negara NgAstinapura ini. Pagi, siang, sore hingga malam hari, hatinya senantiasa dirundung perasaan resah gelisah, gundah gulana. Dan bahkan hampir putus asa, Mengingat antara apa yang menjadi cita-cita dendam hatinya, maupun ingat akan kandungannya yang telah melampaui kenormalan itu, sama sekali belum membawa hasil seperti apa yang diharapkannya.
 Selama masa kehamilan, Dewi Gendari tak pernah memiliki ketentraman di hati. Apalagi setelah mengetahui Dewi Kunthi, permaisuri Pandu telah melahirkan puteranya yang pertama, yang diberi nama Raden Puntadewa atau juga disebut Raden Wijakangka. Bahkan Dewi Kunthi kini telah dan hampir melahirkan puteranya yang kedua. Kecemasan serta seribu satu macam perasaan gelisah dan tidak enak terkandung dalam hati Dewi Gendari ini semakin menjadi-jadi.
Ketiadamenentuan perasaan hati Dewi Gendari yang sedang berbadan dua itu, mengakibatkan tubuhnya terasa gerah dan tidak betah tinggal dalam bangsal Kaputren. Dewi Gendari kemudian melangkahkan kakinya, dengan langkah-langkah gontai menuruni tangga pualam di bangsalnya menulusuri jalan setapak di antara hijaunya rerumputan, menuju ke taman sari kerajaan NgAstinapura yang luas dan asri, diikuti oleh empat orang emban sebagai abdi pengiringnya. Kala itu surya telah condong ke barat, saat Dewi Gendari beserta empat orang abdinya menulusuri jalan setapak yang terbuat dari pualam, diantara semerbak harum aneka bunga, serta rimbunnya pohon buah-buahan yang menghiasi taman kerajaan, gerbang-gerbang sebagai batas bagian-bagian taman yang luas itu, pandangan matanya yang sayu lurus memandang ke depan seakan-akan tak peduli dengan segala keindahan taman di sekelilingnya. Tak lama kemudian Dewi Gendari telah melalui gerbang taman yang ke tujuh dan merupakan bagian taman yang terakhir.
Dalam bagian taman ini berisi aneka macam binatang buas maupun jinak serta beragam unggas sebaga hiasannya, tak ubahnya seperti isi kebun binatang layaknya namun tampat terawat bersih dan rapi. Di tengah petamanan margasatwa ini terdapat sebuah kolam besar yang terbuat dari batu pualam dengan dihiasi kelompok bunga teratai nan mekar dengan indahnya. Ikan-ikan yang berwarna-warni berlari berpasangan berkejar-kejaran d bawah warna biru jernihnya air. Tanpa sepengetahuan Dewi Gendari bahwa kedatangannya di taman satwa itu, telah membuat seluruh binatang buas yang ada di taman menjadi beringas, sementara binatang yang jinak serta unggas seperti gelisah dan ketakutan,semua ini merupakan firasat buruk.
Hembusan angin keras membuyarkan lamunan Dewi Gendari, mengetahui cuaca buruk, Dewi Gendari mengajak para emban kembali ke kaputren. Langkah Dewi Gendari semakin dipercepat karena  gerimis telah mulai turun. Tiba tiba saja Dewi Gendari yang sedang mengandung ini tersentak kaget saat mendengar suara harimau mengaum begitu keras. Karena rasa kaget yang teramat sangat tubuh Dewi Gendari gemetar, wajah pucat, tak terasa Dewi Gendari telah melahirkan di tempat di mana ia berdiri, yaitu bebrapa jengkal sebelum mencapai gerbang kaputren tempat tinggalnya. Dewi Gendari bukan melahirkan bayi sehat dan mungil, melainkan adalah segumpal daging yang bercampur darah mengental, berwarna mrah kehitam-hitaman, daging yang baru lahir dari rahim Dewi Gendari itu bergerak-gerak serta berdenyut-denyut seakan-akan bernyawa.
Setelah melihat dan mengetahui hal ini, bukan main marah Dewi Gendari, karena emosinya gumpalan daging itu diinjak injah hingga terpecah belah, lalu ditendang-tendang dengan kakinya ke arah yang tak menentu, pecahan serta serpihan daging yang dilahirkan Dewi Gendari tercerai berai berserakan di atas rerumputan taman. Dewi Gendari merasa emosi, geram dan marah. Setelah itu ia pun menjerit dan mengangis histeris.  Anehnya, setiap serpihan daging yang berserakan itu besar atau kecil tetap berdenyut dan bergerak-gerak.
Sang Destrarasta menjadi bingung. Dialam bawah sadar ia mendengar perkataan ayahnya sang resi Abiyasa. Atas nasehat Begawan Abiyasa yang telah datang secara gaib dari pertapaannya, meminta agar Destarasta untuk menutupi setiap serpihan daging itu dengan daun jati.
Dewi Gendari segera melakukan perintah sang resi. Dengan perasaan  was-was serta perasaan takut yang tertahan, Dewi Gendari  serta  emban dan beberapa orang prajurit penjaga taman melaksanakan tugas yang diperintahkan Destarasta, menutupi serpihan daging itu dengan daun jati, jumlahnya mencapai 100 keping. Bersamaan dengan kejadian itu, suasana taman di NgAstinapura berubah menjadi sangat menyeramkan. Binatang buas mengeluarkan suaranya, disusul dengan lolongan anjing hutan yang berkepanjangan bersahutan, burung hantu, kelelawar, burung gagak serta binatang malam lainnya. Binatang-binatang yang lelolong tak kunjung berhenti, suasana seram dan menakutkan meliputi NgAstinapura. Banyak para emban dan prajurit penjaga malam ketakutan, wajahnya pucat, badannya menggigil, merinding bulu romanya.
Selesai memutupi gumpalan darah ,Dewi Gendari turun segera  menuju tempat pemujaan, ia memohon kepada dewa, agar cita-citanya untuk berputera banyak, bisa terkabul. Tiba-tiba saja Batari Durga muncul secara gaib dan memberitahukan, apabila lewat tengah malam mendengar tangisan bayi di taman, Dewi Gendari agar cepat-cepat menghampiri bayi tersebut, karena itu adalah puteranya. Setelah memberikan pesan Batari Durgapun menghilang dari hadapan Dewi Gendari secara gaib, kembali ke kahyangan di wukir pidikan.
Dan benar saja, saat terdengar tangisan, Dewi Gendari segera menuju ke taman. Dan betapa terkejutnya ia saat ia melihat ada 100 bayi di sana. Seluruh isi kerajaan bahagia mendengar berita tersebut
Berikut nama-nama Kurawa :


  1. Duryodana (Suyodana)
  2. Dursasana (Duhsasana)
  3. Abaswa
  4. Adityaketu
  5. Alobha
  6. Anadhresya (Hanyadresya)
  7. Anudhara (Hanudhara)
  8. Anuradha
  9. Anuwinda (Anuwenda)
  10. Aparajita
  11. Aswaketu
  12. Bahwasi (Balaki)
  13. Balawardana
  14. Bhagadatta (Bogadenta)
  15. Bima
  16. Bimabala
  17. Bimadewa
  18. Bimarata (Bimaratha)
  19. Carucitra
  20. Citradharma
  21. Citrakala
  22. Citraksa
  23. Citrakunda
  24. Citralaksya
  25. Citrangga
  26. Citrasanda
  27. Citrasraya
  28. Citrawarman
  29. Dharpasandha
  30. Dhreksetra
  31. Dirgaroma
  32. Dirghabahu
  33. Dirghacitra
  34. Dredhahasta
  35. Dredhawarman
  36. Dredhayuda
  37. Dretapara
  38. Duhpradharsana
  39. Duhsa
  40. Duhsah
  41. Durbalaki
  42. Durbharata
  43. Durdharsa
  44. Durmagati
  45. Durmarsana
  46. Durmukha
  47. Durwimocana
  48. Duskarna
  49. Dusparajaya
  50. Duspramana
  51. Hayabahu
  52. Jalasandha
  53. Jarasanda
  54. Jayawikata
  55. Kanakadhwaja
  56. Kanakayu
  57. Karna
  58. Kawacin
  59. Krat
  60. Kundabhedi
  61. Kundadhara
  62. Mahabahu
  63. Mahacitra
  64. Nandaka
  65. Pandikunda
  66. Prabhata
  67. Pramathi
  68. Rodrakarma (Rudrakarman)
  69. Sala
  70. Sama
  71. Satwa
  72. Satyasanda
  73. Senani
  74. Sokarti
  75. Subahu
  76. Sudatra
  77. Suddha (Korawa)
  78. Sugrama
  79. Suhasta
  80. Sukasananda
  81. Sulokacitra
  82. Surasakti
  83. Tandasraya
  84. Ugra
  85. Ugrasena
  86. Ugrasrayi
  87. Ugrayudha
  88. Upacitra
  89. Upanandaka
  90. Urnanaba
  91. Wedha
  92. Wicitrihatana
  93. Wikala
  94. Wikatanana
  95. Winda
  96. Wirabahu
  97. Wirada
  98. Wisakti
  99. Wiwitsu 
  100. Wyudoru (Wiyudarus )



Setelah kelahiran putra pertamanya Pandu merasa bahagia kemudian sang dewi mulai mengandung lagi. Tak lama pada bulan kelahirannya telah tiba. Maka lahirlah putra kedua yang berwujud bungkus. Seluruh kerajaan Astina sangat berduka karena kelahiran anak jabang bayi Prabu Pandu dan Dewi Kunti yang berwujud terbungkus. Tak ada senjata yang mampu untuk memecah bungkus tersebut. Kurawa yang juga ikut membantu memecah bungkus tersebut, walaupun dengan tujuan berbeda ingin melenyapkan sang jabang bayi – juga tidak sanggup melakukannya. Sampai akhirnya, terdapat wangsit dewata yang meminta bayi bungkus tersebut dibuang di hutan Krendawahana.
Sementara belum lama hamil pada anak kedua Dewi Kunti mengandung lagi. Tapi aneh,  pada saat lahir, sukma Arjuna yang berwujud cahaya yang keluar dari rahim ibunya dan naik ke kayangan Kawidaren tempat para bidadari. Semua bidadari yang ada jatuh cinta pada sukma Arjuna tersebut yang bernama Wiji Mulya. Kegemparan tersebut menimbulkan kemarahan para dewa yang lalu menyerangnya. Cahaya yang samar samar tersebut lalu berubah menjadi sesosok manusia tampan yang berpakaian sederhana.
Hilangnya sukma Wiji Mulya dari tubuh Dewi Kunthi menyebabkan kesedihan bagi Prabu Pandu. Atas nasehat Semar, Pandu lalu naik ke kayangan dan meminta kembali putranya setelah diberi wejangan oleh Batara Guru. Mengenai hasta brata. Selesai diberi Wejangan pandhu meminta putra kembali dan mohon pamit untuk kembali ke HAstina. Sang dewi Kunti merasa bahagia mendengar putranya selamat. Dan memberinama Arjuna, Permadi,
Maka tumbuh dewasa lah bayi tersebut menjadi satria yang tampan.  Merasa kakaknya yang berwujud bungkus belum dapat ditolong, ia pergi ke pertapan Wukir Retawu. Di pertapaan wukir retawu Begawan Abyasa kedatangan Raden Permadi yang dikuti oleh punakawan.
“Kakek bagaimana nasib kakak bungkus, sudah sampai beberapa tahun tak ada kabar baik mengenai ini eyang, menjadikan dukanya ibu Kunti”
Tentu saja sang Begawan yang memang dipenuhi oleh budi luhur sudah mengetahui apa yang akan terjadi.
Adanya bayi bungkus tersebut menjadikan gegernya suralaya. Bumi gonjang ganjing bergetar seperti dibelah. Lautan menjadi kering.
Di suralaya Batara Guru memanggil Gajah Sena putra sang batara yang berwujud gajah untuk memecah si bungkus sehingga menjadi manusia yang sejati. Sang guru juga mengutus Dewi Umayi untuk melatih tentang keutamaan kepada si bayi bungkus.
Selanjutnya Gajahsena dengan kekuatan yang dimilikinya membuka bungkus sijabang bayi. Namun dengan pecahnya bungkus, sang bayi menjadi marah karena ia merasa disakiti, maka terjadilah perkelahian yang dahsyat diantara keduanya. Pertempuran tersebut berakhir dengan kalahnya Gajah Sena. Namun bersamaan dengan sirnanya jasad sang Gajah, seluruh roh dan kekuatannya merasuk kedalam badan si bayi bungkus., Kemudian datanglah Betara Narada.
Si bungkus kemudian bertanya pada Sang Batara Narada ,”Heeem, siapakah aku ini?”
“Perkencong, perkencong waru doyong …”. “Anakku ger bungkus ,  kamu itu sesungguhnya adalah putra nomor dua dari Raja Prabu Pandu Dewanata di HAstina. Kamu lahir berwujud bungkus, dan kehendak Dewata kamu akan menjadi ksatria utama, dan untuk itu engkau kuberi nama Bratasena”.
Bratasena kemudian hari menjelma menjadi seorang yang gagah dan menakutkan karena badannya yang tinggi besar dengan suara yang menggelegar. Sampai suatu ketika. Datanglah Raja  dari Tasikmadu yang meminta pertolongan kepada Bratasena untuk melenyapkan raja raksasa bernama Kala Dahana. Patih Kala Bantala, Kala Maruta dan Kala Ranu. Dengan kekuatannya Bratasena mengalahkan para raksasa tersebut. Mereka sirna dan semua kekuatan para raksasa tadi menyatu dalam tubuh Raden Bratasena; itulah kekuatan api, tanah,angin dan air.


Sementara sang istri yang kedua yaitu Dewi Madrim yang telah mengandung. Tapi keinginan yang diminta aneh untuk dipenuhi. Merasa bingung maka Raja Pandhudewanata berwawancara dengan Resi Bisma, Yamawidura, Patih Kuruncana, Puntadewa, Sena dan Permadi. Sang raja minta petunjuk dan nasihat kepada Resi Bisma, bahwa Madrim ingin naik Lembu Andini kendaraan Batara Guru. Resi Bisma memberi saran agar raja minta nasihat kepada Bagawan Abyasa di Saptaarga, di pertapaan Wukir Retawu. Raja Pandhudewanata menerima saran Resi Bisma, Patih Kuruncana diperintahkan mempersiapkan perajurit. Setelah selesai perundingan, raja masuk ke Gupitmandragini menemui dua isterinya, raja memberi tahu tentang hasil pertemuan, dan rencana kepergian raja ke Saptaarga.
“Dinda dewi aku akan pergi Sapta arga untuk meminta saran pada romo resi.....”
“Baik kanda, berhati – hatilah kanda......!”
Yamawidura mengumumkan perintah dan rencana kepergian raja kepada para perajurit. Para perajurit diperintah supaya menghormat keberangkatan raja. Sebagian perajurit dipersiapkan untuk mengawal kepergian raja ke Wukir Retawu. Raja bersama perajurit berangkat ke Saptaarga, dipimpin oleh Yamawidura.



Di kerajaan yang tak jauh Astinayang masih merupakan wilayah HAstina. Kesuburan tanah gemah rimpah loh jinawi. Yaitu kerajaan Turilaya. Bogadata raja negara Turilaya berunding dengan Gandapati, Kartipeya, Patih Hanggadenta, Gendhingcaluring, Togog dan Sarawita. Mereka membicarakan amanat Arya Suman yang disampaikan oleh Kartipeya, tentang perang Baratayuda. Mereka menginginkan urungnya perang itu. Mereka mengambil putusan untuk menyerang negara NgAstina, membunuh raja Pandhudewanata beserta anak-anaknya. Patih Hanggadenta ditugaskan menyerang negara NgAstina. Gendhingcaluring ditugaskan menjaga tapal batas, dan siapa saja yang akan membantu NgAstina supaya dihancurkannya. Raja Bogadata dan Kartipeya akan pergi ke NgAstina secara sembunyi-sembunyi. Gandapati ditugaskan menjaga keamanan negara Turilaya. Setelah siap, mereka berangkat menjalankan tugasnya masing-masing. Perajurit Turilaya bertemu dengan perajurit NgAstina, terjadilah pertempuran. Pertempuran padam setelah mereka menghentikan perang. Masing-masing menyimpang jalan mencari selamat.



Pandepokan yang sangat sejuk berada di tengah hutan. Tertutup oleh hutan lebat dan rimbun. Tinggallah seorang resi dengan putri yang cantik jelita. Bernama Resi Darmana dan Endang Darmi. Resi Darmana dan anaknya Endang Darmi berbicara dengan para cantrik di padepokan Hargasana. Sang Resi membicarakan surat lamaran Brahmana Kamindana. Endang Darmi menurut kehendak ayahnya.
Tak lama Brahmana Kamindana datang, menagih kesanggupan dan jawaban Resi Darmana tentang lamarannya. dengan kata keras dan kasar keluar dari mulut sang Brahmana Kamindana. Watak sang Brahmana Kamindana amat kasar tutur katanya, mendengar ucapan Resi Kamindana yang kasar dan tidak santun, membuat Resi Darmana marah, terjadilah perkelahian. Para cantrik ikut membantu resi Darmana.  
Para cantrik mengeroyok Brahmana Kamindana. Mula-mula Brahmana Kamindana kalah, kemudian menggunakan pusaka saktinya berupa tombak pendek. Resi Darmana ditangkap akan dibunuhnya. Sebelum terbunuh, Resi Darmana mengutuk. Brahmana Kamindana dikatakan seperti rusa. Bersamaan dengan jatuhnya pusaka Brahmana Kamindana ke dada Resi Darmana, Brahmana Kamindana berubah menjadi rusa dan Resi Darmana meninggal dunia.
Setelah mendengar kematian ayahnya, Endang Darmi pergi meninggalkan padepokan. Brahmana Kamindana mengejarnya, tetapi ia tidak dapat menangkapnya. Dikatakan oleh sang brahmana, Endang Darmi lari cepat seperti rusa. Seketika Endang Darmi berubah menjadi rusa betina. Rusa Kamindana berhasil menangkap rusa Darmi, mereka masuk ke hutan.


Angin semilir membawa Prabu Pandhu di padekona ayahnya. Raja Pandhudewanata bersama Semar, Gareng, Petruk dan Bagong menghadap Begawan Abyasa di Saptaarga. Raja menyampaikan maksud kedatangannya. Bagawan Abyasa memberi petunjuk dan nasihat, bahwa permintaan Madrim itu kelewat batas, dan besar bahayanya. Bagawan Abyasa menyerahkan kepada sikap Pandhudewanata sendiri. Pandhu ingin menuruti keinginan Madrim, lalu minta diri bersama para punakawan. Bagawan Abyasa mengawal dari kejauhan, menuju ke NgAstina.
Di tengah perjalanan Pandhu dan para panakawan bertemu dengan perajurit raksasa dari Turilaya. Terjadilah pertempuran. Perajurit yang dipimpin Gendhingcaluring kalah dan tidak mampu menglahkan kedigdyaan Pandu. Togog dan Sarawita kembali ke Turilaya. Pandhu meneruskan perjalanan ke Suralaya.
Bathara Narada dan Bathara Indra, Bathara Yama, Bathara Aswan, Bathara Aswin dan Lembu Andini menghadap Bathara Guru. Bathara Guru bertanya kepada Bathara Aswi dan Bathara Aswin, sebab apa mereka berdua turun ke NgAstina. Mereka menjawab, bahwa mereka datang atas panggilan Madrim isteri Raja Pandhu, yang ingin mempunyai anak. Bathara Guru menyuruh agar mereka berdua turun ke NgAstina, untuk bertanggungjawab atas kelahiran bayi yang akan datang. Bathara Aswan dan Bathara Aswin berangkat ke NgAstina.
Sepeninggalnya Bathara Aswan dan Bathara Aswin, raja Pandhu datang, menghadap Bathara Guru, minta pinjaman Lembu Andini. Bathara Guru marah, sebab raja Pandhu pernah mendirikan taman larangan dewa yang disebut Taman Kadilengleng, yang mirip dengan taman Tinjomaya. Pandhu minta maaf, tetapi Bathara Guru bertambah marah, karena ia hanya menuruti keinginan perempuan isterinya. Pandhu minta maaf dan menyampaikan beberapa sanggahan dengan berbagai pertanyaan.
“ Apakah ia bersalah karena menuruti permintaan isteri? “
“Makhluk yang mengajukan permohonan kepada Dewa itu bersalah?”
“Apakah salah bila raja minta perlindungan kepada raja semua raja?Apakah sudah benar raja Tribuana menolak permintaan raja kecil? Bukankah raja besar wajib mengabulkan permintaan raja kecil dan melindunginya? Akhirnya Bathara Guru mengabulkan permintaan Pandhu dengan syarat, Pandhu tidak akan berbuat salah lagi. Bila Pandhu sudah selesai naik Lembu Andini maka akan dicabut nyawanya. Pandhu sanggup menerima hukumannya, lalu mohon diri. Para panakawan dan Lembu Andini mengikutinya.”
Sepeninggal Pandhu dari Suralaya, Bathara Guru mengutus Bathara Narada supaya turun ke NgAstina. Nyawa Pandhu harus dicabut sesudah mengendarai Lembu Andini. Bathara Yama diberi tugas untuk mengikuti Bathara Narada. Mereka berdua berangkat ke NgAstina. Pandhu mengikuti jalannya Lembu Andini masuk ke hutan Kandhawa. Di tengah hutan Pandhu melihat sepasang Rusa yang sedang memadu kasih. Ia iri melihatnya. Rusa jantan dipanah, berubah menjadi Brahmana Kamindana. Brahmana Kamindana mengutuk, pandhu akan mati bila memadu kasih dengan isterinya. Rusa betina juga dipanahnya, lalu kembali menjadi Endang Darmi. Endang Darmi mengutuk, isteri Pandhu akan mati setelah melahirkan bayi kandungannya. Brahmana Kamindana dan Endang Darmi musnah dari pandangan Pandhu. Pandhu kembali ke negara NgAstina.
Bagawan Abyasa dihadap oleh Resi Bisma, Yamawidura, Patih Kuruncana dan Sena, mereka memperbincangkan kepergian Pandhu ke Suralaya. Pandhu dan punakawan datang bersama Lembu Andini. Pandhu melapor segala usahanya, kemudian masuk ke istana menemui Dewi Kunthi dan Dewi Madrim. Setelah memberi tahu tentang hasil yang diperoleh, Pandhu dan Dewi Madrim naik Lembu Andini. Mereka melayang-layang di angkasa, di atas negara NgAstina. Di atas angkasa Pandhu dan Madrim berwawan asmara, kemudian turun ke bumi NgAstina. Lembu Andini kembali ke Suralaya. Pandhu masuk istana, bercerita kepada Begawan Abyasa, Resi Bisma, Yamawidura, Patih Kuruncana, Sena dan Arjuna.
Mereka asyik mendengarkan cerita Pandhu di istana. Bathara Narada dan Bathara Yama menjalankan tugas mereka, nyawa Pandhu dicabutnya. Pandhu meninggal dunia, orang seistana gempar kesedihan. Bathara Aswan dan Bathara Aswin menjelma kepada bayi yang dikandung oleh Dewi Madrim.
Setelah Dewi Madrim tahu bahwa raja Pandhu telah meninggal, ia bunuh diri, sebuah patrem ditusukkan ke dalam perutnya. Dua bayi lahir melalui luka perut Dewi Madrim. Bathara Narada dan Bathara Yama datang, menemui Abyasa, minta agar bayi itu diberi nama Pingsen ( Nakula ) dan  Tangsen ( Sadewa ). Kemudian  jenasah Pandhu dan Madrim dibawa ke Tepetloka. Tempat pembakaran mayat. Suara tangis dan haru  seluruh rakyat akan kepergian Raja tercinta mereka. Karena kedua putra Madrim telah ditinggal ibunya Dewi Madrim. Maka  Begawan Abyasa meminta agar Kunthi mengasuh dua bayi itu seperti anaknya sendiri. Kunthi menerima kedua bayi dengan senang hati.
Raja Bogadata, Kartipeya dan perajurit Turilaya bersiap-siap menggempur negara NgAstina. Bagawan Abyasa berunding dengan Resi Bisma. Yamawidura, Sena, Patih Kuruncana dan Arjuna. Mereka membicarakan kekacauan negara dan serangan musuh. Bogadata dan perajurit telah menyerang. Patih Kuruncana ditugaskan untuk menyiapkan perajurit. Sena, Arjuna dan Yamawidura ikut berperang. Bogadata dipanah oleh Arjuna, Kartipeya kena panah Yamawidura, Hanggadenta mati oleh Patih Kuruncana, para perajurit Turilaya musnah oleh amukan Sena. Perang pun selesai.
Bagawan Abyasa, Resi Bisma, Yamawidura dan Patih Kuruncana berunding, mereka akan menobatkan Dhestharasta sebagai pemegang pemerintahan sampai para Pandhawa dewasa. Mereka mengadakan pesta penobatan. Dan arya Suman menjadi patih HAstina.  Sementara para Pandawa tingal bersama eyang mereka di Sapta arga. Menginjak dewasa  para Pandawa,  maka diboyonglah ke HAstina.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar