Kapten Garuda versi Hermawan (Kumbalageni) - Sastra Education

Breaking

Rabu, 24 April 2019

Kapten Garuda versi Hermawan (Kumbalageni)


Disudut kota, di pinggir jalan ada sebuah bangunan tua. Bangunan yang sudah lama ditinggal pemiliknya. Diatas bangunan itu bertulis Irawan, Dektetif dan Konsultan Makhluk Astral. Ini dia nama kantorku, kantor yang aku dirikan sendiri. Aku hidup sendiri, bisa dibilang yatim piatu.
Mungkin kalian belum tahu aku, sebagai detektif dan konsultan makhluk astral merupakan pekerjaanku. Aku memiliki tubuh yang lumayan atletislah kalau dipandang, tetapi wajahku biasa-biasa untuk dipandang. Hidungku lumayan mancunglah untuk orang timur. Umur masih muda dua puluh dua tahun.
Pagi menjelang matahari mulai menampakkan sinar. Bunga-bunga bermekaran. Menyambut datangnya sebuah keajaiban. Aku duduk termenung dalam kantorku. Kantor kecil dengan bangun tua. Menunggu datangnya kasus atau kejadian langka. Kantor ini terasa sepi, karena tiga karyawanku pergi meninggalkanku. Kantor ini mungkin akan bangkrut karena belum pernah ada kasus datang semenjak masalah yang membuat kantorku dalam pailit. Pasti masalah keuangan. Pengeluaran lebih besar dari pemasukan. Hingga beberapa gaji karyawan menungguk dalam tiga bulan.
Di pagi hari bulan Juli itu, aku berdiri di depan kantorku, memperhatikan Busway yang kian membludak. Heran aku melihat para penumpang yang dengan tenang duduk-duduk. Tak satu kali pun ada yang mengangkat mata untuk menikmati pemandangan pertama dari negeri kelahirannya. Tapi mereka mungkin memang berbeda dari keadaanku sendiri.
Aku tak yakin ada sebuah mobil mercy dihenti di depan kantorku. Kulihat seorang wanita separuh baya keluar dari mercy. Ia masih cantik dan memakai pakaian celana panjang dengan setelan jas hitam bersepatu hak tinggi. Ia berjalan menuju kea rah kantorku.
“Selamat pagi,” ucapnya. “Apa benar ini kantor dektetif Irawan.”
“Benar,” kataku. “Memang ada perlu apa nyonya datang kesini.”
“Sebelum saya menjawab,” katanya. “Apa anda dektetif Irawan?”
“Ya saya sendiri,” kataku. “Silakan masuk nyonya!”
Aku mempersilakan wanita itu masuk dalam kantorku. Wanita itu masuk. Ia berdiri menghatapi aku. Dia sedang menjinjing sebuah tas kecil, ia duduk didepanku sambil memangku tas kecil.
“Kalau boleh saya tahu nama nyonya siapa?” tanyaku.
“Perkenalkan saya Irma istri menteri sekretaris Negara,” katanya. “Sebenarnya saya datang kesini untuk meminta anda menyelesaikan kasus tentang suami saya.”
“Suami nyonya!” tegasku. “Memang suami nyonya kenapa?”
“Dia dibunuh dalam kamar mandi,” katanya. Polisi lepas tangan karena kasusnya tak jejak mengenai pelaku. Polisi menyaranku untuk mendatangi anda.”
“Kasus pembunuhan,” gumanku. “Apa nyonya tahu bagaimana kejadiannya?”
“Kejadian!” katanya. “Maksud anda bagaimana?”
“Begini, mungkin ada hal-hal yang mencurigakan waktu kejadian,” kataku.
“Hal-hal yang mencurigakan,” tegas Irma. “Sebelum kejadian itu terjadi tiga hari yang lalu kami kedatangan tamu seorang pengusaha tua, ia lebih tua dari suamiku. Aku tak tahu apa yang mereka berdua bicarakan. Tetapi saat pengusaha itu pergi, wajah suami kelihatan gelisah. Tapi aku saat itu tak sempat bertanya kepadanya.”
Irawan mulai memahami asal kejadian itu berada. Hal paling penting adalah untuk memahami pemikiran dari lawan seseorang dan untuk menurunkan kewaspadaan mereka. Sulit sekali mendapatkan informasi dari seseorang yang dipenuhi dengan kecurigaan.
Namun, dengan membangun kepercayaan dan niat baik, seseorang bisa perlahan-lahan mengupas lapisan-lapisan dari kewaspadaan yang mengelilingi mereka, sampai mereka menjadi telanjang di depannya.
“Kasus ini mungkin agak sedikit rumit untuk dijelaskan,” kataku. “Tetapi saya akan menyelesaikannya.”
“Terima kasih,” kata Irma. “Saya tunggu kabarnya.”
“Tetapi apa boleh besok atau hari saat nyonya dirumah saya datang untuk melihat tempat kejadinya,” kataku.
“Silahkan hari Minggu anda datang,” kata Irma.
“Terima kasih,” kataku.
Wanita itu keluar dari kantorku. Ia masuk ke mercy dalam melesat kencang kearah jalan.
Aku sempat berfikir kejadian ini pasti melibatkan makhluk astral. Tetapi tanpa penyelidikan yang tepat dan menyeluruh persoalan ini pasti akan rumit.
Aku ingat salah satu teman supranaturalku. Mungkin sekali ia tahu dalam merawang kejadian ini.
Aku yakin dia tidak akan jauh dari markasnya. Dia sudah tak lagi bepergian dari satu ujung tanah Indonesia ke ujung lain, untuk menyelesaikan suatu perkara. Dia sudah terkenal di mana-mana, dan tak mau lagi waktunya disita oleh suatu perkara. Kini dia semakin mengarah pada apa yang disebut 'detektif konsultan' sama spesialisnya dengan dokter di Jogjakarta. Sejak dulu dia selalu menolak metode yang umum dipakai: manusia berlagak bagal anjing pemburu, memakai berbagai samaran yang hebat untuk mencari jejak penjahat dan berhenti pada setiap jejak untuk mengukurnya.
Aku langsung pergi ke alamat lama rumahnya. Betapa jelas kenangan yang dibangkitkan tempat itu! Hampir tak sempat aku berbasa-basi dengan bekas induk semangku. Buru-buru kulangkahi dua anak tangga sekaligus, lalu mengetuk pintu kamarnya.
“Masuk saja,” terdengar suara yang begitu kukenal itu dari dalam.
Aku masuk. Seorang berdiri menghatapi aku. Ia tampan dan tinggi mata hitam bulat seperti pingpong. Ia bernama Surya Kirana. Dia sedang menjinjing sebuah kopor kecil, yang dijatuhkan begitu saja waktu melihat aku.
“Irawan!” serunya. “Lama tak bertemu. “ Kemudian dia berlari ke arahku, merangkulku dalam dekapan erat. Percakapan kami tak menentu dan simpang siur. Banyak kata-kata seru diucapkan, pertanyaan-pertanyaan penuh rasa ingin tahu, penjelasan-penjelasan tentang kedatanganku, semuanya itu bercampur aduk.
“Mungkin ada orang lain yang menempati kamarku dulu, ya?” tanyaku akhirnya, setelah kami agak tenang. “Aku sebenarnya ingin bersamamu lagi di sini.”
Wajah mendadak berubah.

“Gila! -Menyedihkan sekali keadaannya. Coba kau lihat sekelilingmu, Sahabatku.”
Aku baru menyadari keadaan sekelilingku. Ada sebuah peti besar yang pasti sudah tua sekali umurnya, tersandar pada dinding. Di dekatnya ada beberapa buah koper, yang diatur dengan rapi menurut ukurannya, mulai dari yang besar sampai yang kecil. Suatu pemandangan yang sudah jelas maksudnya.
“Kau akan pergi?”
“Ya.”
“Ke mana?”
“London.”
“Apa?”
“Ya, benar-benar lelucon yang tak lucu, kan? Aku memang akan berangkat ke London. Padahal setiap hari aku berkata sendiri, takkan kutuliskan apa-apa dalam suratku - biar terperanjat sahabatkku Irawan bila melihatku nanti!”
“Tapi kapan kau akan berangkat?”
Surya melihat ke arlojinya.
“Satu jam lagi.”
“Kalau tak salah, kau selalu bilang tidak ada satu hal pun yang bisa membujukmu untuk bepergian jauh dengan pesawat.”
Surya memejamkan matanya lalu menggigil.
“Jangan bicara tentang itu, Sahabatku. Dokterku sudah. meyakinkan aku, orang tidak akan mati karena terbang, lagi pula hanya satu kali ini saja; kau tentu mengerti bahwa aku tidak-tidak akan pernah kembali lagi. “
Aku mendorong surya ke sebuah kursi.
“Mari kuceritakan bagaimana ini sampai terjadi. Kau tahu siapa menteri sekretais Negara saat ini? Yang bahkan lebih cerdas dari Eisnten? Mayjen Indra Girinata.”
“Menteri Sekretaris Negara saat ini?”
“Tepat. Istrinya mendatangiku aku. Di rumahnya telah terjadi banyak ketidakberesan. Dia memintaku untuk menyelidiki persoalannya di tempat. kuterima. Tetapi aku masih ragu dan bimbang permasalahan. Aku belum bisa memberikan pandanganku yang ampuh itu. Kulihat persoalan agak rumit dan magis.”
“Magis,” tegas Surya. “Masalah makhluk astral, dong!”
“Benar,” kataku. “Tetapi masalah sedikit agak rumit dari makhluk astral biasanya.”
“Rumit,” tegas Surya. “Kau sudah ahlinya,”
“Masalah bukan hanya makhluk astral saja,” kataku. “Tetapi aku merasa bahwa makhluk astral ini memiliki kekuatan dashyat.”
“Benar juga,” kata Surya. “Terus apa yang kau rasakan saat itu.”
“Aku belum menemukan solusi terbaik,” kataku.
“Sebenar aku tahu solusi,” kata Surya. “Tetapi ini agak sedikit berbahaya.”
“Bahaya,” kataku. “Memang bagaimana solusinya.”
“Kau ingat cerita dalam pewayangan,” kata Surya. “Ajian Kumbalageni.”
“Kumbalageni,” kataku mengulang.
“Itu memiliki daya ledak luar biasa,” kata Surya. “Hamtaman keras yang ditimbulkan sanggup meleburkan makhluk astral.”
“Benar juga!” kataku. “Tetapi bagaimana aku memilikinya?”
“Kau tenang saja,” kata Surya. “Aku akan mendatangkan guru untukmu.”
“Guru!” kataku mengulang. “Memang siapa dizaman now ini ada yang memiliki ajian kumbalageni.”
“Kau belum kenal aku,” kata Surya. “Aku akan memberi ramuan yang aku dapatkan menciptakan ajian kumbalageni.”
“Tadi kau bilang guru,” kataku. “Itu sih cuma obat.”
“Jangan salah memang ini obat,” kata Surya. “Tetapi ia hanya berefek sementara selama kamu mendapatkan pelatihan.”
“Pelatihan,” kataku mengulang. “Pelatihan seperti apa memangnya.”
“Setelah kau meminum ramuan ini,” kata Surya. “Kau akan tertidur dan bermimpi bahwa ada seorang guru datang mengajarimu ajian kumbalageni.”
“Oke!” kataku. “Cuma itulah cara kerjanya.”
“Mudah tetapi berbahaya,” kata Surya.
“Bahaya dimana?” tanyaku.
“Jika kau tak bangun selama dua hari berarti…” kata Surya terputus.
“Berarti apa?” tanyaku.
“Mati,” kata Surya.
“Mati,” kataku mengulang.
“Benar,” kata Surya. “Kau akan mati dan tak dapat bangun selamanya. Apa kau sudah siap?”
Masalah tambah rumit, kasus rumit aku masih memikirnya. Aku masih mengganga memikirnya.
“Keputusan ada ditanganmu,” kata Surya. “Jika siap malam kita lakukan.”
Aku berfikir secara sepihak. Kulihat kantorku juga sepi dari kerjaan. Mungkin ini jalan aku bisa memajukan kantorku.
“Okelah,” kataku. “Aku bersedia melakukannya malam ini.”
Pembicaran memakan waktu panjang. Aku dan Surya menungu waktu malam. Magrib hampir menjelang. Sholat magrib kami kerjakan. “Untunglah di sekitar rumahmu ada masjid,” kataku.
“Bagaimana malam ini?” kata Surya. “Kau sudah siap!”
“Kita tunggu setelah isya,” kataku. “Aku tak mau meninggalkan waktu sholat begitu saja.”
“Aku tahu kau beriman,” kata Surya. “Baiklah kita tunggu sesudah isya’.”
Malam telah menjelang. Isya’ telah datang. Adzan berkumandang. Kami melaksanakan sholat isya’ di masjid seberang. Kami memastikan untuk melihat keadaan sekitar. Kami pulang kediaman Surya.
“Bagaimana kau siap?” kata Surya.
“Siap!” kataku. “Sambil membaca basmalah aku minum ramuan dari Surya.”
Seluruh pancaindraku mengalami gema. Aku langsung amblas begitu saja. Rasa ramuan pahit setelah ditelan, tetapi manis saat masih ditenggorokan. Sungguh ajaib. Terlalap dan terkapar aku disebuah ranjang.
“Ir,” panggil Surya. “Berarti ramuan ini bekerja.”
Beberapa menit kemudian aku mengalami mimpi, Aku masuk ke dalam rumah padepokan. Aku diberi sambutan kedatangan. Makhluk aneh datang memberi salam.
“Malam, anak muda,” katanya. “Untuk kau datang di tengah malam.”
“Kamu ini siapa?” tanyaku penasaran.
“Kamu belum kenal aku anak muda,” katanya. “Tetapi aku mengenalmu.”
“Kau mengenalku!” tegasku. “Memang aku siapa dan apa tujuanku?”
“Kau Irawan, seorang Dektetif dan Consultan Makhluk astral,” katanya. “Namaku Semar. Tujuanmu datang ke sini mau belajar ajian Kumbalageni.”
“Benar, guru Semar,” kataku.
“Jangan panggil aku guru,” kata Semar. “Panggil saja kaki Semar.”
“Baik Kaki Semar,” kataku.
“Aku akan memberi ajian,” kata Semar. “Tetapi aku mau tahu seberapa besar tekadmu.”
“Tekadku,” tegasku. “Tekadku sangat kuat, bagaimana kau mengujinya?”
“Kau akan bertapa di atas batu ini selama dua tahun,” kata Semar.
“Dua tahun,” kataku. “Itu lama sekali,”
“Kau tidak tahu dua tahun dalam mimpi sama dengan dua jam waktu alammu,” kata Semar.
“Baik kuterima,” kataku.
“Ikut denganku,” kata Semar.
Kami berjalan menyusuri hutan. Terlihat batu besar dalam pandangan.
“Kau duduklah disana!” kata Semar. “Nanti aku akan menjemputmu setelah dua tahun.”
“Baik kaki,” kataku.
Semar meninggalkan sendiri di tengah hutan. Mungkin aku merasakan sedikit kegelapan dalam aku bertapa. Bayangan hitam datang mengintai. Sayup dan membisikkan suatu perkataan untuk aku meninggalkan dan kembali ke alam hidup.
Aku tak gentar dan tetap melanjutkan. Karena tekad dan semangat tajam, ia menghilang. Lalu datang seorang wanita cantik, ia menggoda dan mendekat padaku. Aku masih bertapa dan bangun dari batu. Godaan semakin tajam dan membuat jiwa lelaki mendidih dan membara. Aku masih kuat dan tegak akan tekad dan semangat, hampir dua tahun aku bertapa. Tubuhku bersarang lumut dan rumah laba-laba.
Datang dengan langkah ringan. “Kau berhasil anak muda,” kata Semar sambil berjalan ke arahku.
Aku diam dan kaku dalam balutan lumut dan dedaunan.
“Sungguh kuat tekadmu anak muda,” kata Semar.  Aku ditolong dan dibangunkan.
Aku telah sadar dari pingsan karena tidak makan.
“Kau berhasil anak muda,” kata Semar mengulang.
“Berhasil,” kataku mengulang. “Bagaimana aku berhasil, selama dua tahun aku hanya bertapa saja.”
“Kau belum tahu anak muda,” kata Semar, “ajian kumbalageni adalah tekad kuat dalam kebenaran.”
“Terima kasih kaki,” kataku.
“Sekarang kau kembalilah,” kata Semar. “Temanmu sudah berfikir bahwa kau meninggal.”
“Baik kaki,” kataku sambil berpamitan.
Aku kembali ke alam dunia. Aku bangun dan melirik sekitar. Ternyata teman Surya ketiduran.
“Kawan bangun!” teriakku. “Kawan bangun!”
Surya bangun dari tidur
“Kau sudar teman,” kata Surya, “bagaimana hasilnya? Ini lebih cepat dari perkiraanku.”
“Aku sudah mendapatkan ajian kumbalageni,” kataku. “Sekarang bagaimana?”
“Kau harus mencobanya untuk mengetahui,” kata Surya. “Kau coba besok pagi saja, ini masih jam tiga malam.”
“Kau sudah tahajud,” kataku. “Lebih aku tahajud dahulu untuk mengucapkan rasa syukur.”
“Belum,” kata Surya. “Aku ikut mataku tak dapat dipejamkan lagi.”
Kami berdua melakukan sholat malam, selesai sholat kurang dari lima belas menit kemudian adzan shubuh berkumandang. Kami melaksakan sholat shubuh di masjid sekitar. Sholat telah kami kerjakan.
“Jadikah kau mencoba ajian itu?” tanya Surya.
“Jadi dong!” kataku.
Kami mendatangi belakang rumah Surya ada sebuah pohon besar tumbang.
“Ini cocok untuk dijadikan pengujian,” kataku.
“Boleh,” kata Surya.
Aku mulai merasakan kekuatan, aku mencoba melayang pukulan. Keras dan tajam. Pohon itu terkena telak hingga hancur bagai debu.
“Gila kau kawan,” kata Surya. “Ini lebih dashyat dari yang aku bayangkan, makhluk astral sekuat apapun akan langsung lenyap dan menghilang.”
Aku tak percaya ternyata tangan kananku menyimpan kekuatan sebesar gunung. Bukan saja kekuatan yang aku miliki tetapi gesit dan cepat. Aku memandang menggaga di depan Surya.
“Ir!” kata Surya. “Kau berhasil mendapatkan kekuatan. Kau perlu nama untuk menjadi pahlawan.”
“Pahlawan,” kataku kaget. “Nama,”
“Nama baru,” kata Surya. “Mungkin Brajaman atau Punchman atau Dekman.”
“Nama itu kurang pas untukkku,” kataku.
Akau memulai berfikir. Terselit nama yang mengiang dalam telingaku. Lambang Negara kita adalah Garuda.
Bagaimana nama Kapten Garuda,” gumanku.
“Kapten Garuda,” kata Surya mengulang. Amerika punya Kapten Amerika, Marvel punya kapten Marvel. Keren tuh namanya!”
“Oke aku pakai nama Kapten Garuda,” kataku. “Bagaimana kostumnya?”
“Kostum,” kata Surya mengulang sambil berfikir. “Celana batik, baju merah putih ketat dengan garis merah putih dibahu. Dan topeng menutup muka paruh diatas hidung.”
“Ok! Kau buat saja konstumnya,” kataku. “Kau bilang tadi kau mau pergi ke London.”
“Aku hanya bercanda,” kata Surya. “Kau bersiap besok untuk menyelediki kasus Menteri Sekretaris Negara.”

Silakan Klik DISINI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar