Disudut kota, di
pinggir jalan ada sebuah bangunan tua. Bangunan yang sudah lama ditinggal
pemiliknya. Diatas bangunan itu bertulis Irawan, Dektetif dan Konsultan Makhluk
Astral. Ini dia nama kantorku, kantor yang aku dirikan sendiri. Aku hidup
sendiri, bisa dibilang yatim piatu.
Mungkin kalian
belum tahu aku, sebagai detektif dan konsultan makhluk astral merupakan
pekerjaanku. Aku memiliki tubuh yang lumayan atletislah kalau dipandang, tetapi
wajahku biasa-biasa untuk dipandang. Hidungku lumayan mancunglah untuk orang
timur. Umur masih muda dua puluh dua tahun.
Pagi menjelang
matahari mulai menampakkan sinar. Bunga-bunga bermekaran. Menyambut datangnya
sebuah keajaiban. Aku duduk termenung dalam kantorku. Kantor kecil dengan
bangun tua. Menunggu datangnya kasus atau kejadian langka. Kantor ini terasa
sepi, karena tiga karyawanku pergi meninggalkanku. Kantor ini mungkin akan
bangkrut karena belum pernah ada kasus datang semenjak masalah yang membuat
kantorku dalam pailit. Pasti masalah keuangan. Pengeluaran lebih besar dari
pemasukan. Hingga beberapa gaji karyawan menungguk dalam tiga bulan.
Di pagi hari
bulan Juli itu, aku berdiri di depan kantorku, memperhatikan Busway yang kian
membludak. Heran aku melihat para penumpang yang dengan tenang duduk-duduk. Tak
satu kali pun ada yang mengangkat mata untuk menikmati pemandangan pertama dari
negeri kelahirannya. Tapi mereka mungkin memang berbeda dari keadaanku sendiri.
Aku tak yakin
ada sebuah mobil mercy dihenti di depan kantorku. Kulihat seorang wanita separuh
baya keluar dari mercy. Ia masih cantik dan memakai pakaian celana panjang
dengan setelan jas hitam bersepatu hak tinggi. Ia berjalan menuju kea rah
kantorku.
“Selamat pagi,”
ucapnya. “Apa benar ini kantor dektetif Irawan.”
“Benar,” kataku.
“Memang ada perlu apa nyonya datang kesini.”
“Sebelum saya
menjawab,” katanya. “Apa anda dektetif Irawan?”
“Ya saya
sendiri,” kataku. “Silakan masuk nyonya!”
Aku
mempersilakan wanita itu masuk dalam kantorku. Wanita itu masuk. Ia berdiri
menghatapi aku. Dia sedang menjinjing sebuah tas kecil, ia duduk didepanku
sambil memangku tas kecil.
“Kalau boleh
saya tahu nama nyonya siapa?” tanyaku.
“Perkenalkan
saya Irma istri menteri sekretaris Negara,” katanya. “Sebenarnya saya datang
kesini untuk meminta anda menyelesaikan kasus tentang suami saya.”
“Suami nyonya!”
tegasku. “Memang suami nyonya kenapa?”
“Dia dibunuh
dalam kamar mandi,” katanya. Polisi lepas tangan karena kasusnya tak jejak
mengenai pelaku. Polisi menyaranku untuk mendatangi anda.”
“Kasus
pembunuhan,” gumanku. “Apa nyonya tahu bagaimana kejadiannya?”
“Kejadian!”
katanya. “Maksud anda bagaimana?”
“Begini, mungkin
ada hal-hal yang mencurigakan waktu kejadian,” kataku.
“Hal-hal yang
mencurigakan,” tegas Irma. “Sebelum kejadian itu terjadi tiga hari yang lalu
kami kedatangan tamu seorang pengusaha tua, ia lebih tua dari suamiku. Aku tak
tahu apa yang mereka berdua bicarakan. Tetapi saat pengusaha itu pergi, wajah
suami kelihatan gelisah. Tapi aku saat itu tak sempat bertanya kepadanya.”
Irawan mulai
memahami asal kejadian itu berada. Hal paling penting adalah untuk memahami
pemikiran dari lawan seseorang dan untuk menurunkan kewaspadaan mereka. Sulit
sekali mendapatkan informasi dari seseorang yang dipenuhi dengan kecurigaan.
Namun, dengan
membangun kepercayaan dan niat baik, seseorang bisa perlahan-lahan mengupas
lapisan-lapisan dari kewaspadaan yang mengelilingi mereka, sampai mereka
menjadi telanjang di depannya.
“Kasus ini
mungkin agak sedikit rumit untuk dijelaskan,” kataku. “Tetapi saya akan
menyelesaikannya.”
“Terima kasih,”
kata Irma. “Saya tunggu kabarnya.”
“Tetapi apa
boleh besok atau hari saat nyonya dirumah saya datang untuk melihat tempat
kejadinya,” kataku.
“Silahkan hari
Minggu anda datang,” kata Irma.
“Terima kasih,”
kataku.
Wanita itu
keluar dari kantorku. Ia masuk ke mercy dalam melesat kencang kearah jalan.
Aku sempat
berfikir kejadian ini pasti melibatkan makhluk astral. Tetapi tanpa
penyelidikan yang tepat dan menyeluruh persoalan ini pasti akan rumit.
Aku ingat salah
satu teman supranaturalku. Mungkin sekali ia tahu dalam merawang kejadian ini.
Aku yakin dia
tidak akan jauh dari markasnya. Dia sudah tak lagi bepergian dari satu ujung
tanah Indonesia ke ujung lain, untuk menyelesaikan suatu perkara. Dia sudah
terkenal di mana-mana, dan tak mau lagi waktunya disita oleh suatu perkara.
Kini dia semakin mengarah pada apa yang disebut 'detektif konsultan' sama spesialisnya
dengan dokter di Jogjakarta. Sejak dulu dia selalu menolak metode yang umum
dipakai: manusia berlagak bagal anjing pemburu, memakai berbagai samaran yang
hebat untuk mencari jejak penjahat dan berhenti pada setiap jejak untuk
mengukurnya.
Aku langsung
pergi ke alamat lama rumahnya. Betapa jelas kenangan yang dibangkitkan tempat itu!
Hampir tak sempat aku berbasa-basi dengan bekas induk semangku. Buru-buru
kulangkahi dua anak tangga sekaligus, lalu mengetuk pintu kamarnya.
“Masuk saja,” terdengar
suara yang begitu kukenal itu dari dalam.
Aku masuk.
Seorang berdiri menghatapi aku. Ia tampan dan tinggi mata hitam bulat seperti
pingpong. Ia bernama Surya Kirana. Dia sedang menjinjing sebuah kopor kecil,
yang dijatuhkan begitu saja waktu melihat aku.
“Irawan!”
serunya. “Lama tak bertemu. “ Kemudian dia berlari ke arahku, merangkulku dalam
dekapan erat. Percakapan kami tak menentu dan simpang siur. Banyak kata-kata
seru diucapkan, pertanyaan-pertanyaan penuh rasa ingin tahu, penjelasan-penjelasan
tentang kedatanganku, semuanya itu bercampur aduk.
“Mungkin ada
orang lain yang menempati kamarku dulu, ya?” tanyaku akhirnya, setelah kami agak
tenang. “Aku sebenarnya ingin bersamamu lagi di sini.”
Wajah mendadak
berubah.
“Gila!
-Menyedihkan sekali keadaannya. Coba kau lihat sekelilingmu, Sahabatku.”
Aku baru
menyadari keadaan sekelilingku. Ada sebuah peti besar yang pasti sudah tua
sekali umurnya, tersandar pada dinding. Di dekatnya ada beberapa buah koper, yang
diatur dengan rapi menurut ukurannya, mulai dari yang besar sampai yang kecil.
Suatu pemandangan yang sudah jelas maksudnya.
“Kau akan pergi?”
“Ya.”
“Ke mana?”
“London.”
“Apa?”
“Ya, benar-benar
lelucon yang tak lucu, kan? Aku memang akan berangkat ke London. Padahal setiap
hari aku berkata sendiri, takkan kutuliskan apa-apa dalam suratku - biar
terperanjat sahabatkku Irawan bila melihatku nanti!”
“Tapi kapan kau
akan berangkat?”
Surya melihat ke
arlojinya.
“Satu jam lagi.”
“Kalau tak
salah, kau selalu bilang tidak ada satu hal pun yang bisa membujukmu untuk
bepergian jauh dengan pesawat.”
Surya memejamkan
matanya lalu menggigil.
“Jangan bicara
tentang itu, Sahabatku. Dokterku sudah. meyakinkan aku, orang tidak akan mati
karena terbang, lagi pula hanya satu kali ini saja; kau tentu mengerti bahwa
aku tidak-tidak akan pernah kembali lagi. “
Aku mendorong
surya ke sebuah kursi.
“Mari
kuceritakan bagaimana ini sampai terjadi. Kau tahu siapa menteri sekretais
Negara saat ini? Yang bahkan lebih cerdas dari Eisnten? Mayjen Indra Girinata.”
“Menteri
Sekretaris Negara saat ini?”
“Tepat. Istrinya
mendatangiku aku. Di rumahnya telah terjadi banyak ketidakberesan. Dia
memintaku untuk menyelidiki persoalannya di tempat. kuterima. Tetapi aku masih
ragu dan bimbang permasalahan. Aku belum bisa memberikan pandanganku yang ampuh
itu. Kulihat persoalan agak rumit dan magis.”
“Magis,” tegas
Surya. “Masalah makhluk astral, dong!”
“Benar,” kataku.
“Tetapi masalah sedikit agak rumit dari makhluk astral biasanya.”
“Rumit,” tegas
Surya. “Kau sudah ahlinya,”
“Masalah bukan
hanya makhluk astral saja,” kataku. “Tetapi aku merasa bahwa makhluk astral ini
memiliki kekuatan dashyat.”
“Benar juga,”
kata Surya. “Terus apa yang kau rasakan saat itu.”
“Aku belum
menemukan solusi terbaik,” kataku.
“Sebenar aku
tahu solusi,” kata Surya. “Tetapi ini agak sedikit berbahaya.”
“Bahaya,”
kataku. “Memang bagaimana solusinya.”
“Kau ingat
cerita dalam pewayangan,” kata Surya. “Ajian Kumbalageni.”
“Kumbalageni,”
kataku mengulang.
“Itu memiliki
daya ledak luar biasa,” kata Surya. “Hamtaman keras yang ditimbulkan sanggup
meleburkan makhluk astral.”
“Benar juga!”
kataku. “Tetapi bagaimana aku memilikinya?”
“Kau tenang saja,”
kata Surya. “Aku akan mendatangkan guru untukmu.”
“Guru!” kataku
mengulang. “Memang siapa dizaman now ini ada yang memiliki ajian kumbalageni.”
“Kau belum kenal
aku,” kata Surya. “Aku akan memberi ramuan yang aku dapatkan menciptakan ajian
kumbalageni.”
“Tadi kau bilang
guru,” kataku. “Itu sih cuma obat.”
“Jangan salah
memang ini obat,” kata Surya. “Tetapi ia hanya berefek sementara selama kamu
mendapatkan pelatihan.”
“Pelatihan,”
kataku mengulang. “Pelatihan seperti apa memangnya.”
“Setelah kau
meminum ramuan ini,” kata Surya. “Kau akan tertidur dan bermimpi bahwa ada
seorang guru datang mengajarimu ajian kumbalageni.”
“Oke!” kataku.
“Cuma itulah cara kerjanya.”
“Mudah tetapi
berbahaya,” kata Surya.
“Bahaya dimana?”
tanyaku.
“Jika kau tak
bangun selama dua hari berarti…” kata Surya terputus.
“Berarti apa?”
tanyaku.
“Mati,” kata
Surya.
“Mati,” kataku
mengulang.
“Benar,” kata
Surya. “Kau akan mati dan tak dapat bangun selamanya. Apa kau sudah siap?”
Masalah tambah
rumit, kasus rumit aku masih memikirnya. Aku masih mengganga memikirnya.
“Keputusan ada
ditanganmu,” kata Surya. “Jika siap malam kita lakukan.”
Aku berfikir
secara sepihak. Kulihat kantorku juga sepi dari kerjaan. Mungkin ini jalan aku
bisa memajukan kantorku.
“Okelah,”
kataku. “Aku bersedia melakukannya malam ini.”
Pembicaran
memakan waktu panjang. Aku dan Surya menungu waktu malam. Magrib hampir
menjelang. Sholat magrib kami kerjakan. “Untunglah di sekitar rumahmu ada
masjid,” kataku.
“Bagaimana malam
ini?” kata Surya. “Kau sudah siap!”
“Kita tunggu
setelah isya,” kataku. “Aku tak mau meninggalkan waktu sholat begitu saja.”
“Aku tahu kau
beriman,” kata Surya. “Baiklah kita tunggu sesudah isya’.”
Malam telah
menjelang. Isya’ telah datang. Adzan berkumandang. Kami melaksanakan sholat
isya’ di masjid seberang. Kami memastikan untuk melihat keadaan sekitar. Kami
pulang kediaman Surya.
“Bagaimana kau
siap?” kata Surya.
“Siap!” kataku.
“Sambil membaca basmalah aku minum ramuan dari Surya.”
Seluruh
pancaindraku mengalami gema. Aku langsung amblas begitu saja. Rasa ramuan pahit
setelah ditelan, tetapi manis saat masih ditenggorokan. Sungguh ajaib. Terlalap
dan terkapar aku disebuah ranjang.
“Ir,” panggil
Surya. “Berarti ramuan ini bekerja.”
Beberapa menit
kemudian aku mengalami mimpi, Aku masuk ke dalam rumah padepokan. Aku diberi
sambutan kedatangan. Makhluk aneh datang memberi salam.
“Malam, anak
muda,” katanya. “Untuk kau datang di tengah malam.”
“Kamu ini
siapa?” tanyaku penasaran.
“Kamu belum
kenal aku anak muda,” katanya. “Tetapi aku mengenalmu.”
“Kau
mengenalku!” tegasku. “Memang aku siapa dan apa tujuanku?”
“Kau Irawan,
seorang Dektetif dan Consultan Makhluk astral,” katanya. “Namaku Semar.
Tujuanmu datang ke sini mau belajar ajian Kumbalageni.”
“Benar, guru
Semar,” kataku.
“Jangan panggil
aku guru,” kata Semar. “Panggil saja kaki Semar.”
“Baik Kaki
Semar,” kataku.
“Aku akan
memberi ajian,” kata Semar. “Tetapi aku mau tahu seberapa besar tekadmu.”
“Tekadku,”
tegasku. “Tekadku sangat kuat, bagaimana kau mengujinya?”
“Kau akan
bertapa di atas batu ini selama dua tahun,” kata Semar.
“Dua tahun,”
kataku. “Itu lama sekali,”
“Kau tidak tahu
dua tahun dalam mimpi sama dengan dua jam waktu alammu,” kata Semar.
“Baik kuterima,”
kataku.
“Ikut denganku,”
kata Semar.
Kami berjalan
menyusuri hutan. Terlihat batu besar dalam pandangan.
“Kau duduklah
disana!” kata Semar. “Nanti aku akan menjemputmu setelah dua tahun.”
“Baik kaki,”
kataku.
Semar
meninggalkan sendiri di tengah hutan. Mungkin aku merasakan sedikit kegelapan
dalam aku bertapa. Bayangan hitam datang mengintai. Sayup dan membisikkan suatu
perkataan untuk aku meninggalkan dan kembali ke alam hidup.
Aku tak gentar
dan tetap melanjutkan. Karena tekad dan semangat tajam, ia menghilang. Lalu
datang seorang wanita cantik, ia menggoda dan mendekat padaku. Aku masih
bertapa dan bangun dari batu. Godaan semakin tajam dan membuat jiwa lelaki
mendidih dan membara. Aku masih kuat dan tegak akan tekad dan semangat, hampir
dua tahun aku bertapa. Tubuhku bersarang lumut dan rumah laba-laba.
Datang dengan
langkah ringan. “Kau berhasil anak muda,” kata Semar sambil berjalan ke arahku.
Aku diam dan
kaku dalam balutan lumut dan dedaunan.
“Sungguh kuat
tekadmu anak muda,” kata Semar. Aku
ditolong dan dibangunkan.
Aku telah sadar
dari pingsan karena tidak makan.
“Kau berhasil
anak muda,” kata Semar mengulang.
“Berhasil,”
kataku mengulang. “Bagaimana aku berhasil, selama dua tahun aku hanya bertapa
saja.”
“Kau belum tahu
anak muda,” kata Semar, “ajian kumbalageni adalah tekad kuat dalam kebenaran.”
“Terima kasih kaki,”
kataku.
“Sekarang kau
kembalilah,” kata Semar. “Temanmu sudah berfikir bahwa kau meninggal.”
“Baik kaki,”
kataku sambil berpamitan.
Aku kembali ke alam dunia. Aku bangun
dan melirik sekitar. Ternyata teman Surya ketiduran.
“Kawan bangun!”
teriakku. “Kawan bangun!”
Surya bangun
dari tidur
“Kau sudar
teman,” kata Surya, “bagaimana hasilnya? Ini lebih cepat dari perkiraanku.”
“Aku sudah
mendapatkan ajian kumbalageni,” kataku. “Sekarang bagaimana?”
“Kau harus
mencobanya untuk mengetahui,” kata Surya. “Kau coba besok pagi saja, ini masih
jam tiga malam.”
“Kau sudah
tahajud,” kataku. “Lebih aku tahajud dahulu untuk mengucapkan rasa syukur.”
“Belum,” kata
Surya. “Aku ikut mataku tak dapat dipejamkan lagi.”
Kami berdua
melakukan sholat malam, selesai sholat kurang dari lima belas menit kemudian
adzan shubuh berkumandang. Kami melaksakan sholat shubuh di masjid sekitar.
Sholat telah kami kerjakan.
“Jadikah kau
mencoba ajian itu?” tanya Surya.
“Jadi dong!”
kataku.
Kami mendatangi
belakang rumah Surya ada sebuah pohon besar tumbang.
“Ini cocok untuk
dijadikan pengujian,” kataku.
“Boleh,” kata
Surya.
Aku mulai
merasakan kekuatan, aku mencoba melayang pukulan. Keras dan tajam. Pohon itu
terkena telak hingga hancur bagai debu.
“Gila kau
kawan,” kata Surya. “Ini lebih dashyat dari yang aku bayangkan, makhluk astral sekuat
apapun akan langsung lenyap dan menghilang.”
Aku tak percaya
ternyata tangan kananku menyimpan kekuatan sebesar gunung. Bukan saja kekuatan
yang aku miliki tetapi gesit dan cepat. Aku memandang menggaga di depan Surya.
“Ir!” kata
Surya. “Kau berhasil mendapatkan kekuatan. Kau perlu nama untuk menjadi
pahlawan.”
“Pahlawan,”
kataku kaget. “Nama,”
“Nama baru,”
kata Surya. “Mungkin Brajaman atau Punchman atau Dekman.”
“Nama itu kurang
pas untukkku,” kataku.
Akau memulai
berfikir. Terselit nama yang mengiang dalam telingaku. Lambang Negara kita
adalah Garuda.
Bagaimana nama
Kapten Garuda,” gumanku.
“Kapten Garuda,”
kata Surya mengulang. Amerika punya Kapten Amerika, Marvel punya kapten Marvel.
Keren tuh namanya!”
“Oke aku pakai
nama Kapten Garuda,” kataku. “Bagaimana kostumnya?”
“Kostum,” kata
Surya mengulang sambil berfikir. “Celana batik, baju merah putih ketat dengan
garis merah putih dibahu. Dan topeng menutup muka paruh diatas hidung.”
“Ok! Kau buat
saja konstumnya,” kataku. “Kau bilang tadi kau mau pergi ke London.”
“Aku hanya
bercanda,” kata Surya. “Kau bersiap besok untuk menyelediki kasus Menteri
Sekretaris Negara.”
Silakan Klik DISINI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar