Masyarakat yang beradab
juga masyarakat yang menghargai aktivitas keilmuan. Tentu menjadi tidak beradab,
jika aktivitas keilmuan dikecilkan, sementara aktivitas hiburan diagung-agungkan.
Tidak mungkin suatu bangsa akan maju jika tidak menjadikan tradisi ilmu sebagai
bagian dari tradisinya.
Masyarakat beradab adalah
masyarakat yang memuliakan orang yang
beriman, berilmu, orang yang shalih, dan orang yang taqwa; bukan orang yang
kuasa, banyak harta, keturunan raja, berparas rupawan, dan banyak anak buah.
Peradaban yang dibangun
Nabi Muhammad saw di Madinah adalah sebuah contoh ideal. Masyarakat Madinah
adalah masyarakat yang haus ilmu, cinta ibadah, dan cinta pengorbanan. Kondisi
itu sangat jauh berbeda denngan kondisi masyarakat Jahiliah, yang merupakan
masyarakat yang tidak beradab, alias masyarakat biadab.
Pemahaman dan pengakuan
tentang adab inilah yang membedakan seorang Muslim yang berkarakter dengan seorang
komunis atau ateis yang berkarakter. Secara umum, pendidikan karakter yang
digalakkan oleh pemerintah adalah baik. Tetapi, orang yang berkarakter saja,
belum tentu beradab. Lihatlah, orang-orang Barat, banyak yang sangat peduli
dengan kebersihan dan kerja keras, tetapi mereka tidak memandang jahat
aktivitas bermabuk-mabukan, bertelanjang, dan berzina.
Karakter memang laksana
“otot” yang memerlukan latihan demi latihan untuk menjaga dan meningkatkan
kualitas kesehatan dan kekuatannya. Karena itu, pendidikan karakter memerlukan proses
pemahaman, penanaman nilai, dan pembiasaan, sehingga seorang anak didik
mencintai perbuatan baik. Contoh, untuk
mendidik agar anak mencintai kebersihan, maka harus dilakukan pembiasaan hidup
bersih dan diberikan pemahaman agar mereka mencintai kebersihan. Tentu, ini
adalah cara yang baik dan memerlukan kesabaran dalam pendidikan.
Para pendidik, guru,
orang tua, ulama, dan dosen, wajib memikirkan masalah pendidikan ini dengan
serius. Inilah kunci kebangkitan bangsa dan negara. Jika pendidikan rusak, maka
rusak pula semua sektor kehidupan lainnya. Sebab, di dalam dunia pendidikan
inilah seharusnya ditanamkan nilai-nilai kecintaan kepada ilmu, kecintaan
kepada ibadah, dan kecintaan kepada pengorbanan.
Proses pendidikan dirasakan
belum berhasil membangun manusia Indonesia yang berkarakter. Bahkan, banyak
yang menyebut, pendidikan telah gagal, karena banyak lulusan sekolah atau
sarjana yang piawai dalam menjawab soal ujian, berotak cerdas, tetapi mental
dan moralnya lemah.
Banyak pakar bidang
moral dan agama yang sehari-hari mengajar tentang kebaikan, tetapi perilakunya
tidak sejalan dengan ilmu yang diajarkannya. Sejak kecil, anak-anak diajarkan
menghafal tentang bagusnya sikap jujur, berani, kerja keras, kebersihan, dan jahatnya
kecurangan. Tapi, nilai-nilai kebaikan
itu diajarkan dan diujikan sebatas pengetahuan di atas kertas dan dihafal
sebagai bahan yang wajib dipelajari, karena diduga akan keluar dalam kertas
soal ujian.
Di tengah meningkatnya
kucuran dana pendidikan dari pemerintah, juga terjadi peningkatan pungutan
biaya pendidikan kepada peserta didik. Orang tua dibuat tidak berdaya. Sebab,
seringkali pungutan itu diatasnamakan kesepakatan
Komite Sekolah yang beranggotakan orang tua atau wali peserta didik.
Pendidikan karakter bukanlah
sebuah proses menghafal materi soal ujian, dan teknik-teknik menjawabnya. Pendidikan
karakter memerlukan pembiasaan. Pembiasaan untuk berbuat baik; pembiasaan untuk
berlaku jujur, ksatria; malu berbuat curang; malu bersikap malas; malu
membiarkan lingkungannya kotor. Karakter tidak terbentuk secara instan, tapi harus
dilatih secara serius dan proporsional agar mencapai bentuk dan kekuatan yang
ideal.
Mengapa ada kesenjangan
antara praktik pendidikan dengan karakter peserta didik. Bisa dikatakan, dunia
Pendidikan di Indonesia kini sedang memasuki masa-masa yang sangat pelik.
Kucuran anggaran pendidikan yang sangat besar disertai berbagai program
terobosan sepertinya belum mampu memecahkan persoalan mendasar dalam dunia
pendidikan, yakni bagaimana mencetak alumni pendidikan yang unggul, yang beriman,
bertaqwa, profesional, dan berkarakter, sebagaimana tujuan pendidikan dalam UU
Sistem Pendidikan Nasional.
Banyak guru, dokter,
hakim, insinyur, banyak orang yang bukunya satu gudang dan diplomanya segulung
besar, tiba dalam masyarakat menjadi ”mati”, sebab dia bukan orang masyarakat.
Hidupnya hanya
mementingkan dirinya, diplomanya hanya untuk mencari harta, hatinya sudah
seperti batu, tidak mampunyai cita-cita, lain dari pada kesenangan dirinya.
Pribadinya tidak kuat. Dia bergerak bukan karena dorongan jiwa dan akal. Kepandaiannya
yang banyak itu kerap kali menimbulkan takutnya. Bukan menimbulkan keberaniannya
memasuki lapangan hidup.
Salah satu ciri manusia
Indonesia yang cukup menonjol ialah hipokritis alias munafik. Berpura-pura, lain
di muka, lain di belakang, merupakan sebuah ciri utama manusia Indonesia sudah
sejak lama, sejak mereka dipaksa oleh kekuatan-kekuatan dari luar untuk
menyembunyikan apa yang sebenarnya dirasakannya atau dipikirkannya atau pun
yang sebenarnya dikehendakinya, karena takut akan mendapat ganjaran yang
membawa bencana bagi dirinya.
Ciri kedua utama
manusia Indonesia masa kini adalah segan dan enggan bertanggung jawab atas
perbuatannya, putusannya, kelakukannya, pikirannya, dan sebagainya. “Bukan
saya” adalah kalimat yang
cukup populer pula
di mulut manusia Indonesia.
Ciri ketiga utama
manusia Indonesia adalah jiwa feodalnya. Meskipun salah
satu tujuan revolusi kemerdekaan Indonesia ialah juga
untuk membebaskan manusia Indonesia dari feodalisme, tetapi feodalisme dalam
bentuk-bentuk baru makin berkembang dalam diri dan masyarakat manusia
Indonesia.
Ciri keempat manusia
Indonesia punya watak yang lemah. Karakter
kurang kuat. Manusia Indonesia kurang kuat mempertahankan atau memperjuangkan
keyakinannya. Dia mudah, apalagi jika dipaksa, dan demi untuk “survive” bersedia
mengubah keyakinannya. Makanya kita dapat melihat gejala pelacuran intelektual
amat mudah terjadi dengan manusia Indonesia.
Ciri kelima dia
cenderung boros. Dia senang berpakaian bagus, memakai perhiasan, berpesta-pesta.
Hari ini ciri manusia Indonesia ini menjelma dalam membangun rumah mewah, mobil
mewah, pesta besar, hanya memakai barang buatan luar negeri, main golf,
singkatnya segala apa yang serba mahal.”
Dia lebih suka tidak
bekerja keras, kecuali kalau terpaksa… atau dengan mudah mendapat gelar
sarjana, sampai memalsukan atau membeli gelar sarjana, supaya segera dapat
pangkat, dan dari kedudukan berpangkat cepat bisa menjadi kaya. Jadi priyayi,
jadi pegawai negeri adalah idaman utama, karena pangkat demikian merupakan
lambang status yang tertinggi.
Kita patut khawatir,
bahwa program pendidikan karakter ini juga nantinya akan berujung kepada slogan
semata. Ganti menteri, ganti kebijakan. Lihatlah, bagaimana pergantian
kurikulum dan buku pelajaran yang datang silih berganti, ada Kurikulum Berbasis
Materi (KBM), ada Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK), ada sebagainya. Lihatlah, berbagai slogan dan operasi dibuat untuk
kelancaran lalu-lintas, tetapi hingga kini, program itu berujung menjadi
slogan. Di Jakarta, pernah disosialisasikan pengendara sepeda motor harus
menyalakan lampu, meskipun siang hari. Tapi, tak lama kemudian, aturan itu
sudah dilupakan. Ada peraturan daerah melarang rokok di tempat umum, tetapi hanya
efektif diterapkan di awal-awal keluarnya peraturan saja. Setelah beberapa minggu,
seolah-olah terjadi ”saling
pengertian” antara pelanggar dan
aparat. Pelanggaran-demi pelanggaran terjadi di depan mata aparat, tanpa
ada tindakan apa-apa.
Pendidikan karakter
memerlukan keterlibatan semua aspek dimensi manusia, sehingga tidak sesuai dengan
sistem pendidikan yang terlalu menekankan pada aspek hafalan dan orientasi
untuk lulus ujian.
Kemajuan bangsa adalah
“guru” dan “pengorbanan”. Maka, awal kebangkitan bangsa harus dimulai dengan
mencetak “guru-guru yang suka berkorban”. Guru bukan sekedar terampil mengajar
bagaimana menjawab soal Ujian Nasional, tetapi diri dan hidupnya harus menjadi
contoh bagi murid-muridnya. Sebuah proses pendidikan yang mengarahkan para
siswanya menjadi orang-orang yang beradab. Sebab, jika adab hilang pada diri
seseorang, maka akan mengakibatkan kezaliman, kebodohan dan menuruti hawa nafsu
yang merusak. Karena itu, adab mesti ditanamkan pada seluruh manusia dalam
berbagai lapisan, pada murid, guru, pemimpin rumah tangga, pemimpin bisnis,
pemimpin masyarakat dan lainnya.
Dunia pendidikan di
Indonesia banyak yang ikut terjebak pada gejala pragmatisme, dimana banyak anak
didik yang memasuki dunia pendidikan semata-mata hanya untuk mengejar ijazah sebagai
alat mencari kerja. Kampus atau sekolah tidak lagi menjadi tempat ideal untuk
mencari ilmu. Padahal, pendidikan adalah adalah tempat untuk mencari ilmu.
Konsep ilmu dalam Islam bukan hanya untuk dihafal, tetapi untuk diamalkan.
Banyak siswa belajar materi aqidah dengan tujuan agar dapat menjawab soal.
Karena itulah, yang kemudian dilakukannya adalah menghafal materi sekedar untuk
menjawab soal, tanpa penghayatan dan niat pengamalan. Begitu juga saat belajar
materi syariah, metode yang digunakan adalah hafalan untuk menjawab soal ujian.
Model pembelajaran semacam itu tidak
akan berdampak pada pembentukan pribadi yang unggul. Akhirnya, karena desakan kepentingan sesaat,
banyak sekolah terpaksa berkompromi dengan realitas. Pendidikan akhirnya tidak dapat memasang
target ideal, tetapi menuruti kemauan siswa sekedar lulus dan mendapatkan ijazah. Siswa dianggap sebagap customer, pelanggan,
yang harus dituruti kemauannya. Padahal pendidikan, selain bertujuan menambah
ilmu, juga bertujuan membentuk sikap, karakter, dan pribadi yang mulia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar