Beradab atau Berkarakter - Sastra Education

Breaking

Jumat, 11 Januari 2019

Beradab atau Berkarakter


Masyarakat yang beradab juga masyarakat yang menghargai aktivitas keilmuan. Tentu menjadi tidak beradab, jika aktivitas keilmuan dikecilkan, sementara aktivitas hiburan diagung-agungkan. Tidak mungkin suatu bangsa akan maju jika tidak menjadikan tradisi ilmu sebagai bagian dari tradisinya.
Masyarakat beradab adalah  masyarakat yang memuliakan orang yang beriman, berilmu, orang yang shalih, dan orang yang taqwa; bukan orang yang kuasa, banyak harta, keturunan raja, berparas rupawan, dan banyak anak buah.
Peradaban yang dibangun Nabi Muhammad saw di Madinah adalah sebuah contoh ideal. Masyarakat Madinah adalah masyarakat yang haus ilmu, cinta ibadah, dan cinta pengorbanan. Kondisi itu sangat jauh berbeda denngan kondisi masyarakat Jahiliah, yang merupakan masyarakat yang tidak beradab, alias masyarakat biadab.

Pemahaman dan pengakuan tentang adab inilah yang membedakan seorang Muslim yang berkarakter dengan seorang komunis atau ateis yang berkarakter. Secara umum, pendidikan karakter yang digalakkan oleh pemerintah adalah baik. Tetapi, orang yang berkarakter saja, belum tentu beradab. Lihatlah, orang-orang Barat, banyak yang sangat peduli dengan kebersihan dan kerja keras, tetapi mereka tidak memandang jahat aktivitas bermabuk-mabukan, bertelanjang, dan berzina.
Karakter memang laksana “otot” yang memerlukan latihan demi latihan untuk menjaga dan meningkatkan kualitas kesehatan dan kekuatannya. Karena itu, pendidikan karakter memerlukan proses pemahaman, penanaman nilai, dan pembiasaan, sehingga seorang anak didik mencintai perbuatan baik.  Contoh, untuk mendidik agar anak mencintai kebersihan, maka harus dilakukan pembiasaan hidup bersih dan diberikan pemahaman agar mereka mencintai kebersihan. Tentu, ini adalah cara yang baik dan memerlukan kesabaran dalam pendidikan.
Para pendidik, guru, orang tua, ulama, dan dosen, wajib memikirkan masalah pendidikan ini dengan serius. Inilah kunci kebangkitan bangsa dan negara. Jika pendidikan rusak, maka rusak pula semua sektor kehidupan lainnya. Sebab, di dalam dunia pendidikan inilah seharusnya ditanamkan nilai-nilai kecintaan kepada ilmu, kecintaan kepada ibadah, dan kecintaan kepada pengorbanan.
Proses pendidikan dirasakan belum berhasil membangun manusia Indonesia yang berkarakter. Bahkan, banyak yang menyebut, pendidikan telah gagal, karena banyak lulusan sekolah atau sarjana yang piawai dalam menjawab soal ujian, berotak cerdas, tetapi mental dan moralnya lemah.
Banyak pakar bidang moral dan agama yang sehari-hari mengajar tentang kebaikan, tetapi perilakunya tidak sejalan dengan ilmu yang diajarkannya. Sejak kecil, anak-anak diajarkan menghafal tentang bagusnya sikap jujur, berani, kerja keras, kebersihan, dan jahatnya kecurangan. Tapi, nilai-nilai  kebaikan itu diajarkan dan diujikan sebatas pengetahuan di atas kertas dan dihafal sebagai bahan yang wajib dipelajari, karena diduga akan keluar dalam kertas soal ujian.
Di tengah meningkatnya kucuran dana pendidikan dari pemerintah, juga terjadi peningkatan pungutan biaya pendidikan kepada peserta didik. Orang tua dibuat tidak berdaya. Sebab, seringkali pungutan itu  diatasnamakan kesepakatan Komite Sekolah yang beranggotakan orang tua atau wali peserta didik.
Pendidikan karakter bukanlah sebuah proses menghafal materi soal ujian, dan teknik-teknik menjawabnya. Pendidikan karakter memerlukan pembiasaan. Pembiasaan untuk berbuat baik; pembiasaan untuk berlaku jujur, ksatria; malu berbuat curang; malu bersikap malas; malu membiarkan lingkungannya kotor. Karakter tidak terbentuk secara instan, tapi harus dilatih secara serius dan proporsional agar mencapai bentuk dan kekuatan yang ideal.
Mengapa ada kesenjangan antara praktik pendidikan dengan karakter peserta didik. Bisa dikatakan, dunia Pendidikan di Indonesia kini sedang memasuki masa-masa yang sangat pelik. Kucuran anggaran pendidikan yang sangat besar disertai berbagai program terobosan sepertinya belum mampu memecahkan persoalan mendasar dalam dunia pendidikan, yakni bagaimana mencetak alumni pendidikan yang unggul, yang beriman, bertaqwa, profesional, dan berkarakter, sebagaimana tujuan pendidikan dalam UU Sistem Pendidikan Nasional.
Banyak guru, dokter, hakim, insinyur, banyak orang yang bukunya satu gudang dan diplomanya segulung besar, tiba dalam masyarakat menjadi ”mati”, sebab dia bukan orang masyarakat.
Hidupnya hanya mementingkan dirinya, diplomanya hanya untuk mencari harta, hatinya sudah seperti batu, tidak mampunyai cita-cita, lain dari pada kesenangan dirinya. Pribadinya tidak kuat. Dia bergerak bukan karena dorongan jiwa dan akal. Kepandaiannya yang banyak itu kerap kali menimbulkan takutnya. Bukan menimbulkan keberaniannya memasuki lapangan hidup.
Salah satu ciri manusia Indonesia yang cukup menonjol ialah hipokritis alias munafik. Berpura-pura, lain di muka, lain di belakang, merupakan sebuah ciri utama manusia Indonesia sudah sejak lama, sejak mereka dipaksa oleh kekuatan-kekuatan dari luar untuk menyembunyikan apa yang sebenarnya dirasakannya atau dipikirkannya atau pun yang sebenarnya dikehendakinya, karena takut akan mendapat ganjaran yang membawa bencana bagi dirinya.
Ciri kedua utama manusia Indonesia masa kini adalah segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, putusannya, kelakukannya, pikirannya, dan sebagainya.  “Bukan  saya” adalah  kalimat  yang  cukup  populer  pula  di  mulut  manusia Indonesia.
Ciri ketiga utama manusia Indonesia adalah jiwa feodalnya. Meskipun  salah  satu  tujuan  revolusi kemerdekaan Indonesia ialah juga untuk membebaskan manusia Indonesia dari feodalisme, tetapi feodalisme dalam bentuk-bentuk baru makin berkembang dalam diri dan masyarakat manusia Indonesia.
Ciri keempat manusia Indonesia punya watak yang lemah.  Karakter kurang kuat. Manusia Indonesia kurang kuat mempertahankan atau memperjuangkan keyakinannya. Dia mudah, apalagi jika dipaksa, dan demi untuk “survive” bersedia mengubah keyakinannya. Makanya kita dapat melihat gejala pelacuran intelektual amat mudah terjadi dengan manusia Indonesia.
Ciri kelima dia cenderung boros. Dia senang berpakaian bagus, memakai perhiasan, berpesta-pesta. Hari ini ciri manusia Indonesia ini menjelma dalam membangun rumah mewah, mobil mewah, pesta besar, hanya memakai barang buatan luar negeri, main golf, singkatnya segala apa yang serba mahal.”
Dia lebih suka tidak bekerja keras, kecuali kalau terpaksa… atau dengan mudah mendapat gelar sarjana, sampai memalsukan atau membeli gelar sarjana, supaya segera dapat pangkat, dan dari kedudukan berpangkat cepat bisa menjadi kaya. Jadi priyayi, jadi pegawai negeri adalah idaman utama, karena pangkat demikian merupakan lambang status yang tertinggi.
Kita patut khawatir, bahwa program pendidikan karakter ini juga nantinya akan berujung kepada slogan semata. Ganti menteri, ganti kebijakan. Lihatlah, bagaimana pergantian kurikulum dan buku pelajaran yang datang silih berganti, ada Kurikulum Berbasis Materi  (KBM), ada Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), ada sebagainya. Lihatlah, berbagai slogan dan operasi dibuat untuk kelancaran lalu-lintas, tetapi hingga kini, program itu berujung menjadi slogan. Di Jakarta, pernah disosialisasikan pengendara sepeda motor harus menyalakan lampu, meskipun siang hari. Tapi, tak lama kemudian, aturan itu sudah dilupakan. Ada peraturan daerah melarang rokok di tempat umum, tetapi hanya efektif diterapkan di awal-awal keluarnya peraturan saja. Setelah beberapa minggu, seolah-olah  terjadi  ”saling  pengertian”  antara pelanggar dan aparat. Pelanggaran-demi pelanggaran terjadi di depan mata aparat,  tanpa  ada  tindakan apa-apa.
Pendidikan karakter memerlukan keterlibatan semua aspek dimensi manusia, sehingga tidak sesuai dengan sistem pendidikan yang terlalu menekankan pada aspek hafalan dan orientasi untuk lulus ujian.
Kemajuan bangsa adalah “guru” dan “pengorbanan”. Maka, awal kebangkitan bangsa harus dimulai dengan mencetak “guru-guru yang suka berkorban”. Guru bukan sekedar terampil mengajar bagaimana menjawab soal Ujian Nasional, tetapi diri dan hidupnya harus menjadi contoh bagi murid-muridnya. Sebuah proses pendidikan yang mengarahkan para siswanya menjadi orang-orang yang beradab. Sebab, jika adab hilang pada diri seseorang, maka akan mengakibatkan kezaliman, kebodohan dan menuruti hawa nafsu yang merusak. Karena itu, adab mesti ditanamkan pada seluruh manusia dalam berbagai lapisan, pada murid, guru, pemimpin rumah tangga, pemimpin bisnis, pemimpin masyarakat dan lainnya.
Dunia pendidikan di Indonesia banyak yang ikut terjebak pada gejala pragmatisme, dimana banyak anak didik yang memasuki dunia pendidikan semata-mata hanya untuk mengejar ijazah sebagai alat mencari kerja. Kampus atau sekolah tidak lagi menjadi tempat ideal untuk mencari ilmu. Padahal, pendidikan adalah adalah tempat untuk mencari ilmu. Konsep ilmu dalam Islam bukan hanya untuk dihafal, tetapi untuk diamalkan. Banyak siswa belajar materi aqidah dengan tujuan agar dapat menjawab soal. Karena itulah, yang kemudian dilakukannya adalah menghafal materi sekedar untuk menjawab soal, tanpa penghayatan dan niat pengamalan. Begitu juga saat belajar materi syariah, metode yang digunakan adalah hafalan untuk menjawab soal ujian.
Model pembelajaran semacam itu tidak akan berdampak pada pembentukan pribadi yang unggul.  Akhirnya, karena desakan kepentingan sesaat, banyak sekolah terpaksa berkompromi dengan realitas.  Pendidikan akhirnya tidak dapat memasang target ideal, tetapi menuruti kemauan siswa sekedar lulus dan mendapatkan ijazah.  Siswa dianggap sebagap customer, pelanggan, yang harus dituruti kemauannya. Padahal pendidikan, selain bertujuan menambah ilmu, juga bertujuan membentuk sikap, karakter, dan pribadi yang mulia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar