Indonesia
negara demokrasi. Jika demokrasi dipimpin raja. Maka kalimat dari rakyat untuk
rakyat oleh rakyat dipantas disematkan untuk negara yang dipimpin oleh raja.
Raja berkuasa mutlak tak ada hukum tertinggi yang menyalahkan bahkan UUD 45
berada dibawanya ataupun para petinggi
MPR/DPR berada dibawahnya.
Jika
kita membicarakan raja, maka dimana nilai histori para pejuang kemerdekaan.
Para Pahlawan yang berjuang mempertahankan kemerdekaan mereka semua dinyatakan
sia-sia. Hal ini akan memicu konflik pertentangan budaya di berbagai kalangan.
Bahkan Pancasila yang mulai ditumbuhkan mungkin akan menghilang.
Raja
untuk negara penganut monarki tetapi negara kita republik. Dimana rakyat
memiliki peran penting untuk menentukan pemimpin. Bahkan dalam penegakan tugas
hukum dan UU rakyat turut serta dalam pertimbangan matang, seharusnya dengan
wakil-wakil rakyat yang dipercaya. Raja memang pemimpin tetapi tugas mutlak
tanpa batas, bahkan hukum dan UU tidak berlaku untuknya. Disini raja pengaruh
luas dan memiliki darah kuat dalam kebijaksanaan dan keadilan. Bahkan haki/wibawa
untuk menundukkan rakyatnya. Dimana kekuasan tak terbatas akan menunjukkan
kedigdayaan kekuasaan.
Masyarakat
sipil menjadi pusat perhatian karena perubahan situasi politik yang terjadi di Indonesia
yang sedang bertransisi dari rejim Orde Baru menciptakan banyak
kesempatan-kesempatan baru bagi organisasi masyarakat. Fenomena ini disebabkan
oleh beberapa faktor: organisasi masyarakat sipil memainkan peranan yang sangat
penting dalam memimpin perlawanan terhadap Rezim Diktator Orde Baru disaat
partai politik tidak dapat berfungsi secara benar; munculnya reaksi penentangan
terhadap partai politik dari masyarakat di Indonesia yang menganut sistem satu
partai; dan munculnya dukungan dari para pejabat dan pengusaha yang mapan dalam
demokrasi yang sebenarnya memiliki bayangan yang salah mengenai sistem
kepartaian dan kemudian menempatkan harapan-harapan mereka dalam masyarakat
sipil sebagai alat pembaharuan politik dan sosial.
Di
saat para pemimpin politik berjuang dengan perpecahan yang tidak dapat
dikendalikan dan supremasi hukum memberi jalan pada kekerasan dan terorisme,
kemajuan tidak mungkin terjadi sampai tercapainya akomodasi yang sekaligus
merangkul aspirasi-aspirasi yang beragam dari berbagai kalangan masyarakat.
Pengakomodasian tersebut dapat tercapai melalui negosiasi-negosiasi antara para
pemimpin politik dengan dukungan dari masyarakat sipil. Tidak dapat diragukan
bahwa peran masyarakat sipil merupakan elemen penting dalam mencapai suatu
konsensus, tetapi tanpa keterlibatan penuh partai-partai politik, tidak akan
ada kesepakatan yang dapat dicapai.
Pada
tahap yang kritis dalam pembangunan dan konsolidasi partai, para pemimpin dan
banyak pejabat kunci partai yang ditarik kedalam proses pemerintahandan
legislatif, sehingga membuat partai mereka yang baru berkembang menjadi lemah.
Banyak partai yang tidak siap untuk menanggapi kebutuhan-kebutuhan baik
pemerintah maupun oposisi, dan tidak mampu memenuhi harapan-harapan warga
negara. Hal ini hanya memperparah kesinisan publik.
Pada
saat demokrasi mulai bermunculan di Indonesia, partai politik berada dalam
kondisi antara terlalu lemah, terlalu personal, terlalu terbatasi oleh
pemerintah yang opresif, atau terlalu korup dan tidak tersentuh untuk dapat
memperoleh rasa hormat dan dukungan dari publik.
Kekhawatiran
mengenai kondisi demokrasi di Indonesia jelas-jelas berhubungan dengan tidak
adanya partai politik yang kuat dan demokratis. Dua puluh setelah runtuhnya
Orde Baru, Indonesia telah menghasilkan partai-partai politik yang kuat atau demokratis,
tetapi, sayangnya, tidak banyak partai yang kuat dan demokratis.
Demokratisasi
partai-partai politik harus menjadi prioritas dalam upaya untuk membangun kembali
kepercayaan publik terhadap partai politik dan proses demokrasi secara keseluruhan.
Partisipasi warga negara yang lebih besar, akuntabilitas kepemimpinan,
transparansi, dan ketentuan-ketentuan institusional sekarang menjadi lebih
penting dari sebelumnya agar upaya demokratisasi ini berhasil.
Organisasi-organisasi dan institusi-institusi yang memiliki komitmen dan
keahlian untuk membawa dan mempromosikan prakarsa-prakarsa ini kurang memiliki
sumber daya untuk melakukan hal-hal tersebut sekarang ini. Sama halnya dengan
upaya-upaya yang paling kecil yang sekarang ini dilakukan, upaya-upaya tersebut
dapat kehilangan artinya karena kurangnya bantuan dari organisasi-organisasi
internasional yang terlibat dalam upaya-upaya demokratisasi global.
Masyarakat
sipil tidak dapat disalahkan atas penurunan partai politik, dan sama halnya
dengan mereka yang mempromosikan peningkatan bantuan bagi partisipasi warga
negara diluar dari sistem partai. Di sisi lain, kita tidak dapat berdiam diri
dalam krisis yang berlangsung pada saat ini, karena penurunan partai politik
pada akhirnya akan mengancam fondasi demokrasi.
Selama
dua puluh tahun, ada keyakinan bahwa bantuan pembangunan ekonomi oleh
negara-negara donor dapat mencapai pertumbuhan ekonomi dan kesempatan yang akan
mengarah pada stabilitas sosial di negara-negara berkembang. Tetapi meskipun
sukses, penekanan terhadap pertumbuhan ekonomi sering kehilangan momentum
karena tidak dibarengi dengan pertumbuhan politik.
Hal
ini menjadi semakin jelas bahwa sejumlah permasalahan yang terus berkembang di
Negara berkembang berada diluar jangkauan bantuan ekonomi tradisional. Ketika
mereka menghadapi konsekuensi-konsekuensi ekonomi, masalahnya bukan hanya
bersifat ekonomi, masalah tersebut merupakan masalah politik. Benar halnya
bahwa pembangunan yang berkelanjutan memerlukan kapasitas untuk menyelesaikan
permasalahan tanpa menggunakan kekerasan atau represi.
Selama
dua puluh tahun terakhir, terdapat perubahan sikap yang besar dalam komunitas
donor dan institusi-institusi keuangan internasional yang akhirnya mengakui
sistem politik yang demokratis dan ekonomi pasar bebas merupakan dua bagian
dari proses yang sama, yang satu mendukung yang lain. Ketika jaminan atas
hak-hak individu dalam masyarakat tidak ada, maka akan timbullah hasil yang
tidak dapat dihindari, yaitu eksploitasi, korupsi, stratifikasi, dan
ketidakmampuan bersaing-terutama di dunia yang lebih demokratis dan kompetitif.
Faktanya
adalah, dislokasi pedesaan, degradasi lingkungan dan tidak berjalannya
kebijakan-kebijakan pertanian yang mengarah pada kelaparan dan melawan semua
jejak sistem politik dimana para korban tidak memiliki suara, dimana
institusi-institusi pemerintah merasa tidak berkewajiban untuk menjelaskan
kepada rakyat, dan dimana kepentingan-kepentingan tertentu merasa bebas
mengeksploitasi sumber daya tanpa takut diawasi atau merasa harus bertanggung
jawab.
Harus
ada panggilan aksi oleh masyarakat demokrasi untuk menempatkan pembangunan
partai politik secara internasional pada pijakan yang sama dengan
program-program yang dukungan bagi masyarakat sipil. Upaya ini akan menegakkan
kembali nilai-nilai yang kita miliki bersama dan mampu memenuhi kepentingan
strategis kita. Karena, dunia yang lebih demokratis merupakan tempat yang lebih
manusiawi, damai, stabil dan sejahtera.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar