Pagi itu, rumah kecil pingiran desa
hidup keluarga kecil bahagia. Badan kurus tinggi dan berkumis tipis, rambut
hitam ikal pendek, dia ayahku. Namanya Rohman. Emakku agak sedikit berisi
rambut hitam ikal panjang. Emakku bernama Sugeng. Rumah kami sedehana, rumah
pedesaan bagi orang pingiran. Batu-batu yang berlapis semen dengan cat kuning
yang hampir terkelupas. Konsen-konsen yang lapuk karena usia, pintu kayu tua
yang berjamur dan dimakan usia. Mungkin ini menggambarkan keluarga miskin
dikota tetapi ini desa bung. Layar desa dengan layar kota berbeda. Keluarga
miskin dikota tetapi tetap sederhana di desa. Itu kata-kata motivasi untuk
pembangkit hati. Kota merupakan tempat dunia kerja tetapi kejam menerima
cobaan. Dimana usaha dan kreativitas tetap terjaga untuk membangun nusantara.
Salam kelezatan, santapan nikmat tangan
desa mungkin berbeda dengan santapan orang kota. Bumbu rempah-rempah lebih
terasa kelezatannya. Lezat harum dan wangi rempah memabukkan bagi setiap orang
mencicipinya. Sebuah kelezatan tercipta, emakku pandai memasak, masakan favorit
keluarga gudeg bahan dari alam kebun sendiri. Pohon nangka tua tumbuh di kebun
dekat aliran sungai. Mengalir ringan penuh keindahan desa. Mungkin itu sebelum
terjadi prahara. Tumbuh berbuah lebat hingga dibagikan untuk tetatanga. Buah
nangka merupakan bahan utama gudeg, resep emak memang berbeda, alami dan
menyehatkan keluarga. Masih banyak lagi bahan utama gudeg jogja. Tetapi rasa
nangka muda bagai pesona jogja tetap istimewa.
Hidangan sederhana tertata di meja. Meja
kecil buatan tangan sang ayah tercinta. Tangan terampil orang desa lebih
berguna dan sederhana. Kombinasi keuletan dan kreativitas penuh pesona. Saat
terasa luang waktu ayahnya menggunakan ketrampilannya. Banyak hasil karya
terpapang di ruang keluarga, mulai kursi dan meja tamu menghiasi perabotan
keluarga.
Nasi liwet andalan keluarga. Nasi yang
dimasak pakai ketel atau panci bukan magicom atau magijar. Nasi liwet punya
pesona keluarga. Rasa nasi yang memiliki kelembutan rasa hingga lidah selalu
bergoyang untuknya. Bahkan bau harum yang dikelaurnya terasa menggoda
dinding-dinding tenggorokan manusia.
Karena
miskin bukan halangan untuk bahagia. Keluarga kami bukan miskin tetapi
sederhana punya iman dan taqwa tetap terjaga. Miskin boleh bicara tetapi hati
tetap iman dan taqwa. Sholat lima waktu paling utama. Dimana terasa desa nan
indah dan mempesona.
Namaku Herman, rambut hitam pendek ikal,
wajah oval, kulit kuning langsat atau sawo matang. Usiaku sebelas tahun.
Mungkin masih kecil kata orang, tetapi baginya aku masuk remaja. Aku mulai
masuk SMP. Setiap tahun kelulusan di desaku masih jauh dari glamor kota. Budaya
gila pesta dan hura-hura mungkin ada tetapi tetap memakai tata karma. Bahkan
pesta atau party orang kota menyebutnya adalah hal yang mustahil untuk
diadakan. Orang desa merayakan biasa misalnya diadakan kenduri, biasa orang
jawa lakukan. Ini budaya bukan hal yang harus dihina dan diperdebatkan dalam
agama. Tradisi baik akan menghasilkan hal baik pula. Kelulusan dengan nilai
terbaik, membuatku banyak pilihan untuk masuk smp favorit.
Salah satu SMP favorit di daerahku adalah
SMP N 2 Prambanan terletak di daerah dataran tinggi Pereng Sumberharjo
Prambanan Sleman. SMP yang paling dekat dengan rumahku. Orang bilang SMP itu
bermutu bagus. Dan merupakan SMP yang banyak dituju murid-murid berprestasi.
“Bangun…!” teriak emakku sampai
melengking. “Pertama kali masuk sekolah jangan sampai terlambat nanti dihukum
mengitari lapangan.”
“Ngertos mak,” kataku sambil merapikan
tempat tidur.
Pagi hari sejuk dan indah sekali. Biar
matahari belum terbit tapi udara bersih di pedasaan membuat hati dan jantung
terpompa segar setiap hari. Rasa segar badan karena tidur delapan jam perhari. Kamar
tidur telah rapi, selimut bantal guling tertata rapi sebelum tempat tidur
teracak-acak oleh pergerakkan membuat pulau ditempat tidurku. Kamar tidur
sederhana dan apa adanya tak membuat semangatku menyerah begitu saja. Rajin
membaca dan suka berfikir di kamar berlampu remang-remang lima watt. Kamar
sederhana bersih dan rapi membuat mata memandang lebih berarti dan menyejukkan
hati.
Aku bangun sebelum shubuh berkumandang. Aku
bergegas ke kamar mandi. Biarpun sudah zaman milenial tetapi keluarga tetap
sederhana. Untuk mengambil air harus ditimba. Air pompa mungkin ada tapi air
tiba lebih sehat dan mengasyikkan. Air tiba merupakan air segar dan menyehatkan
karena kerja keras untuk mengambilnya. Mungkin anak jaman now takut
melakukannya tetapi hidup sederhana lebih nyaman dan terasa berharga. Bahkan
lebih menyenangkan dan sangat menyenangkan.
Air dingin dan bersih bening dari sumur
sebuah karunia Sang Pencipta. Air yang memancar dari tanah nusantara bagaikan
surga untuk kesejahteraan rakyatnya. Siraman dingin membasahi seluruh tubuhku membuat
tubuh segar dan dingin. Mata lima wattku terbuka lebar dan terasa segar.
Lima belas menit sebelum adzan datang. Air
wudlu membasuh mukaku, kesegaran air yang mengalir dari gentong terasa sejuk
dan segar dikulitku. Sholat tahajud tak lupa aku kerjakan serta membaca ayat
suci Al Quran sebagai penutup sholat malam. Selesai tahajud baru adzan shubuh
berkumandang. Aku kembali mengambil air wudlu biar wudlu yang tadi belum batal.
Air wudlu selain menyucikan juga bermanfaat bagi kesehatan. Tak salah bila
islam mengajarkan kebersihan. Selesai sholat shubuh baru aku mulai belajar.
Membaca sedikit karena otak mulai terasa segar dan masih bisa menampung
ingatan. Tak terasa keblabasan aku tertidur di meja belajar.
“Her!” teriak emak dari meja makan. “Makan!”
Pertama kali masuk sekolah membuatku
merasa resah semalam bahkan khawatir akan kejadian yang tak menyenangkan, hal
ini biasa terjadi bila pertama kali masuk tempat berbeda. Semerbak membahana
ruangan. Bau harum bawang goreng terasa mengundang. Bahkan terasa mengoyangkan
lidah. Bau harum masakan emak tercium keras disela-sela hidungku. Bau harum
rempah-rempah dengan cita rasa keluarga dan kasih sayang orang tua membahana
memberikan semangat pagi untu melakukan usaha. Masakan keluarga memang sungguh
mempesona. Bau harum dan wangi seakan bercampur nikmat dengan tangan manusia. Yang
memiliki kualitas sehat dan sempurna untuk memenuhi kebutuhan gizi keluarga.
“Ayo cepat, kita makan bersama,” kata
ayahku sambil membersihkan motor buntutnya.
Motor yang sudah lama dibelinya semenjak
ia masih remaja, menemani ia sekolah hingga kerja. Ayahku merupakan buruh pabrik
biasa. Pekerja prabik dengan penghasilan pas-pas saja. Tetapi memiliki jiwa
sosial tinggi terhadap tetangga maupun saudara. Ia menyayangi motor buntutnya.
Setiap hari tak lupa ia membersihkan kotoran kecil pada motor buntutnya.
“Siap pak!” jawab Herman sambil membasuh
muka dan berganti baju seragam.
Badan terasa segar dan bersemangat untuk
aktivitas pertama. Saat berjalan ke ruang makan keluarga aroma harum gudeg
tercium hidungku. Kenikmatan makanan desa yang menggugah selera. Gudeg adalah
masakan khas dari jogja mungkin bisa dibilang legenda. Menurut cerita Nenekku, emakku
memang jago memyiapkan makanan apalagi gudeg, menurut emak, kakek pernah
bercerita bahwa tangan emakku pencipta makanan yang nikmat dan sehat untuk
dinikmati.
Gudeg memang legenda.
Makanan yang menjadi ikon utama Daerah
Istimewa Yogyakarta adalah gudeg. Nama “gudeg” didapat dari istilah bahasa Jawa
hangudek. Istilah hangudek memiliki arti ‘proses mengaduk’. Ini bermula dari
sejarah gudeg yang lahir bersamaan dengan dibangunnya Kerajaan Mataram Islam
pada tahun 1500-an. Tempat untuk membangun Kerajaan Mataram Islam ini berada di
sebuah alas, yaitu Alas Mentaok di daerah Kotagede. Di Alas Mentaok ini banyak
tumbuh pepohonan, seperti nangka, kelapa, tangkil, dan melinjo. Saat
pembangunan kerajaan, pohon-pohon yang tumbuh di Alas Mentaok ini ditebang oleh
para pekerja dan akhirnya dimanfaatkan. Salah satu bahan yang dimanfaatkan
tersebut adalah buah nangka muda yang dimasak untuk dijadikan santapan bagi
para pekerja. Karena jumlah masakan yang dibutuhkan untuk makan para pekerja
harus banyak, nangka muda tersebut dimasak menggunakan tempat yang besar dan
mengaduknya membutuhkan alat pengaduk besar yang bentuknya menyerupai dayung
perahu. Dari proses mengaduk (hangudek) ini kemudian muncul istilah “gudeg”
untuk menamai masakan dari buah nangka muda tersebut.
Sebagai salah satu olahan yang memiliki
sejarah, gudeg masuk dalam catatan karya sastra Jawa, yaitu Serat Centhini.
Karya sastra ini merupakan himpunan segala macam ilmu pengetahuan dan
kebudayaan Jawa. Diceritakan dalam karya sastra Jawa tersebut bahwa pada tahun
1600-an Raden Mas Cebolang melakukan perjalanan dan singgah di pedepokan
Pangeran Tembayat. Saat Raden Mas Cebolang singgah, ada tamu yang sedang
berkunjung di pedepokan Pangeran Tembayat, yaitu Ki Anom. Sebagai jamuan untuk
Ki Anom, Pangeran Tembayat menyajikan gudeg.
Seiring berjalannya waktu, gudeg yang
awalnya adalah masakan rumahan akhirnya dimanfaatkan untuk dijual ke
masyarakat. Akan tetapi, pada awal abad ke-19 belum banyak orang yang berjualan
disebabkan proses pembuatan gudeg membutuhkan waktu yang lama. Gudeg mulai
dijual dan dikenal banyak kalangan setelah Presiden Soekarno memiliki ide untuk
membangun universitas di Yogyakarta pada tahun 1940-an. Universitas tersebut
sekarang menjadi salah satu universitas yang terkenal, yaitu Universitas Gadjah
Mada. Dari pembangunan kampus itu muncul sentra Gudeg Mbarek di kawasan
Bulaksumur, Sleman, Yogyakarta. Setelah itu pada tahun 1970-an sentra gudeg
baru juga dibangun di kawasan sebelah timur Keraton Yogyakarta, yaitu Wijilan.
Sebagai makanan khas Yogyakarta, gudeg
merupakan salah satu olahan yang banyak dipilih untuk dijadikan oleh-oleh.
Seiring dengan perkembangan zaman, pengemasan gudeg juga semakin beragam. Ada
yang dikemas dengan besek, daun pisang, kardus, dan kendil. Selain itu, karena
gudeg merupakan masakan basah dan cepat basi, muncul ide untuk menjadikan gudeg
sebagai makanan kalengan agar tidak cepat basi.
Ayahku telah siap di meja. Aku datang
segera menyusulnya. Makanan Gudeg telah tersedia, dipadukan dengan gorengan
tempe dan sambal tomat ulek. Tanpa ayam, tetapi rasaku gudeg emakku sudah
terasa daging yang kenyal dan gurih.
“Wah nikmatnya,” pujiku. “Tak salah
bapak pilih emak. Selain cantik juga pandai masak. Masakan memiliki kualitas
rasa yang tak kalah dengan masakan restoran”
“Jangan memuji begitu, Her!” kata ayahku,
“nanti emakmu jadi besar kepala.”
“Siapa juga yang senang dipuji?” kata
emak sinis. “Sudah-sudah bicaranya nanti keburu dingin makanannya.”
“Oke!” kata ayahku. “Mari kita semua
makan bersama. Makanan sederhana akan terasa nikmat jika dilakukan bersama
keluarga.”
Santapan nikmat telah dihidangkan emakku.
Aroma tercium saat kami duduk bersama. Ruang makan sederhana dengan kursi hasil
karya ayahku menemani makan di meja. Kaloborasi meja makan yang menggugah
selera. Onion goring yang memberikan rasa lembut dan nyaman pada kuah gudeg,
rasa rempah-rempah beradu sempurna menghasilkan kelezatan kasih sayang
keluarga. Kelezatan rasa yang menampilkan kasih sayang orang tua pada anaknya,
dengan belaian lembut dan penuh cinta.
“Gimana rasanya,” tanya Emak penuh
senyuman memandang anak dan suami menikmati masakannya. “Hanya ini yang dapat emak
hidangkan!”
“Rasa
enak, mak!” kataku menyantap hidangan penuh selera.
Rasanya sangat tajam dan kuat hingga
imajinasiku terasa keluar dari batas-batasku. Bahkan intuisi kuat tentang kasih
sayang keluarga. Buah nangka telah lama dikenal masyarakat luas daging buahnya
tebal, harum dan manis. Buah muda (gori) digunakan sayur gudeg yaitu satu jenis
lauk bersantan dan rasanya gurih lezat. Sehingga kota Yogyakarta dikenal
julukan kota gudeg.
Rempah-rempah menyatu sempurna dengan
potongan nangka muda. Potongan yang tidak besar atau kecil seperti daging sapi
yang membaur sempurna dengan kuah lenggit dan manis. Nangka muda yang cocok dan
sempurna masih belum matang seperti daging sapi yang dimasak sempurna. Enam
suing Garlic, tiga suing onion, empat buah kemiri, satu sendok teh garam, satu
sendok makan lada bubuk atau satu genggam tangan lada butir, satu jempol tangan
lengkuas, gula merah satu sendok makan, tiga daun salam, enam butir ketumbar,
satu buah kelapa tua parut dan satu buah nangka muda ukuran sedang. Memang
ukuran umami untuk gudeg khas jogja. Kelezatan rasa manis dan legit gudeg
mengambar kelembutan kasih sayang keluarga.
“Jangan salah emakmu memang jago
memasak,” kata Ayahku. “Tangan emakmu seperti emas penuh cita rasa. Masakan apa
yang dibuatnya akan memberikan selera.”
“Emas penuh cita rasa,” kataku
mengulang. “Sangat luar biasa, cita rasa tangan emak memang tiada bandingnya.”
“Bapak bisa aja memuji emak,” kata
Emakku tersipu malu.
“Benar kata bapak, mak!” kataku. “Masakan
emak memang sangat menggugah selera. Ibaratnya seorang penyanyi yang
menggetarkan hati penontonnya. Tetapi dengan masakannya, emak memuaskan hati
keluarganya.”
“Bisa saja kamu Her!” kata emakku sambil
tersenyum.
“Makanya besok kalau kau cari istri
seperti emakmu pintar masak dan yang lebih penting sederhana,” kata ayahnya. “Tak
lupa cantik pula.”
Senyuman bahagia memancar dari wajahnya
emak. Pujian ayah ibarat siraman air surga karena tumbuh dan besar oleh kasih
sayang dan cinta. Pagi yang indah menambah bahagia keluarga.
“Benar juga kata bapakmu Her!” sahut emak.
“Di agama kita mengajarkan untuk hidup sederhana dan selalu berbagi kepada
orang yang kurang beruntung.”
“Benar kata mak,” kataku. “Tauladan yang
baik dari orang tua agar membangun kepribadian baik bagi anaknya.”
“Sudah! Sudah! Sudah siang ini cepat
makan nanti kalian berdua terlambat,” kata emak sambil mengambilkan nasi untuk
ayahku.
Mereka bertiga makan dengan lahapnya.
Gudeg, tempe goreng serta sayur genjer disantap dengan nikmatnya. Campuran
manis gudeg dengan sambal ulek seperti badai gelombang yang menampar penuh
kesegaran dan keindahan. Makan pagi yang menggugah selara membuat makanan desa
menyenangkan. Lebih tepat tak melupakan gizi dan kesehatan.
“Her cepat habiskan nanti terlambat,”
kata emaknya.
“Oke mak!” kataku.”Matur nuwun
makanannya!”
Makanan telah disantap habis dalam
piring Herman. Tak tersisa satu biji nasipun. Kata orang jangan buang makanan
walaupun sebiji saja karena menyebabkan dosa. Piring aku letakkan di pencucian.
Dan aku tak lupa cuci tangan. Makanan hari penuh kesan dan memberi semangat
pagi yang membahagiakan.
“Mak! aku berangkat dulu,” kataku. “Sudah
terlambat nih.”
Tangan emak kucium lembut, begitu juga
tangan ayahku, tak lupa aku mengucapkan: “assalamualaikum,” kataku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar