Pesona ( Cita Rasa - Sastra Education

Breaking

Rabu, 09 Januari 2019

Pesona ( Cita Rasa


Pagi itu, rumah kecil pingiran desa hidup keluarga kecil bahagia. Badan kurus tinggi dan berkumis tipis, rambut hitam ikal pendek, dia ayahku. Namanya Rohman. Emakku agak sedikit berisi rambut hitam ikal panjang. Emakku bernama Sugeng. Rumah kami sedehana, rumah pedesaan bagi orang pingiran. Batu-batu yang berlapis semen dengan cat kuning yang hampir terkelupas. Konsen-konsen yang lapuk karena usia, pintu kayu tua yang berjamur dan dimakan usia. Mungkin ini menggambarkan keluarga miskin dikota tetapi ini desa bung. Layar desa dengan layar kota berbeda. Keluarga miskin dikota tetapi tetap sederhana di desa. Itu kata-kata motivasi untuk pembangkit hati. Kota merupakan tempat dunia kerja tetapi kejam menerima cobaan. Dimana usaha dan kreativitas tetap terjaga untuk membangun nusantara.
Salam kelezatan, santapan nikmat tangan desa mungkin berbeda dengan santapan orang kota. Bumbu rempah-rempah lebih terasa kelezatannya. Lezat harum dan wangi rempah memabukkan bagi setiap orang mencicipinya. Sebuah kelezatan tercipta, emakku pandai memasak, masakan favorit keluarga gudeg bahan dari alam kebun sendiri. Pohon nangka tua tumbuh di kebun dekat aliran sungai. Mengalir ringan penuh keindahan desa. Mungkin itu sebelum terjadi prahara. Tumbuh berbuah lebat hingga dibagikan untuk tetatanga. Buah nangka merupakan bahan utama gudeg, resep emak memang berbeda, alami dan menyehatkan keluarga. Masih banyak lagi bahan utama gudeg jogja. Tetapi rasa nangka muda bagai pesona jogja tetap istimewa.
Hidangan sederhana tertata di meja. Meja kecil buatan tangan sang ayah tercinta. Tangan terampil orang desa lebih berguna dan sederhana. Kombinasi keuletan dan kreativitas penuh pesona. Saat terasa luang waktu ayahnya menggunakan ketrampilannya. Banyak hasil karya terpapang di ruang keluarga, mulai kursi dan meja tamu menghiasi perabotan keluarga.
Nasi liwet andalan keluarga. Nasi yang dimasak pakai ketel atau panci bukan magicom atau magijar. Nasi liwet punya pesona keluarga. Rasa nasi yang memiliki kelembutan rasa hingga lidah selalu bergoyang untuknya. Bahkan bau harum yang dikelaurnya terasa menggoda dinding-dinding tenggorokan manusia.
 Karena miskin bukan halangan untuk bahagia. Keluarga kami bukan miskin tetapi sederhana punya iman dan taqwa tetap terjaga. Miskin boleh bicara tetapi hati tetap iman dan taqwa. Sholat lima waktu paling utama. Dimana terasa desa nan indah dan mempesona.
Namaku Herman, rambut hitam pendek ikal, wajah oval, kulit kuning langsat atau sawo matang. Usiaku sebelas tahun. Mungkin masih kecil kata orang, tetapi baginya aku masuk remaja. Aku mulai masuk SMP. Setiap tahun kelulusan di desaku masih jauh dari glamor kota. Budaya gila pesta dan hura-hura mungkin ada tetapi tetap memakai tata karma. Bahkan pesta atau party orang kota menyebutnya adalah hal yang mustahil untuk diadakan. Orang desa merayakan biasa misalnya diadakan kenduri, biasa orang jawa lakukan. Ini budaya bukan hal yang harus dihina dan diperdebatkan dalam agama. Tradisi baik akan menghasilkan hal baik pula. Kelulusan dengan nilai terbaik, membuatku banyak pilihan untuk masuk smp favorit.
Salah satu SMP favorit di daerahku adalah SMP N 2 Prambanan terletak di daerah dataran tinggi Pereng Sumberharjo Prambanan Sleman. SMP yang paling dekat dengan rumahku. Orang bilang SMP itu bermutu bagus. Dan merupakan SMP yang banyak dituju murid-murid berprestasi.
“Bangun…!” teriak emakku sampai melengking. “Pertama kali masuk sekolah jangan sampai terlambat nanti dihukum mengitari lapangan.”
“Ngertos mak,” kataku sambil merapikan tempat tidur.
Pagi hari sejuk dan indah sekali. Biar matahari belum terbit tapi udara bersih di pedasaan membuat hati dan jantung terpompa segar setiap hari. Rasa segar badan karena tidur delapan jam perhari. Kamar tidur telah rapi, selimut bantal guling tertata rapi sebelum tempat tidur teracak-acak oleh pergerakkan membuat pulau ditempat tidurku. Kamar tidur sederhana dan apa adanya tak membuat semangatku menyerah begitu saja. Rajin membaca dan suka berfikir di kamar berlampu remang-remang lima watt. Kamar sederhana bersih dan rapi membuat mata memandang lebih berarti dan menyejukkan hati.
Aku bangun sebelum shubuh berkumandang. Aku bergegas ke kamar mandi. Biarpun sudah zaman milenial tetapi keluarga tetap sederhana. Untuk mengambil air harus ditimba. Air pompa mungkin ada tapi air tiba lebih sehat dan mengasyikkan. Air tiba merupakan air segar dan menyehatkan karena kerja keras untuk mengambilnya. Mungkin anak jaman now takut melakukannya tetapi hidup sederhana lebih nyaman dan terasa berharga. Bahkan lebih menyenangkan dan sangat menyenangkan.

Air dingin dan bersih bening dari sumur sebuah karunia Sang Pencipta. Air yang memancar dari tanah nusantara bagaikan surga untuk kesejahteraan rakyatnya. Siraman dingin membasahi seluruh tubuhku membuat tubuh segar dan dingin. Mata lima wattku terbuka lebar dan terasa segar.
Lima belas menit sebelum adzan datang. Air wudlu membasuh mukaku, kesegaran air yang mengalir dari gentong terasa sejuk dan segar dikulitku. Sholat tahajud tak lupa aku kerjakan serta membaca ayat suci Al Quran sebagai penutup sholat malam. Selesai tahajud baru adzan shubuh berkumandang. Aku kembali mengambil air wudlu biar wudlu yang tadi belum batal. Air wudlu selain menyucikan juga bermanfaat bagi kesehatan. Tak salah bila islam mengajarkan kebersihan. Selesai sholat shubuh baru aku mulai belajar. Membaca sedikit karena otak mulai terasa segar dan masih bisa menampung ingatan. Tak terasa keblabasan aku tertidur di meja belajar.
“Her!” teriak emak dari meja makan. “Makan!”
Pertama kali masuk sekolah membuatku merasa resah semalam bahkan khawatir akan kejadian yang tak menyenangkan, hal ini biasa terjadi bila pertama kali masuk tempat berbeda. Semerbak membahana ruangan. Bau harum bawang goreng terasa mengundang. Bahkan terasa mengoyangkan lidah. Bau harum masakan emak tercium keras disela-sela hidungku. Bau harum rempah-rempah dengan cita rasa keluarga dan kasih sayang orang tua membahana memberikan semangat pagi untu melakukan usaha. Masakan keluarga memang sungguh mempesona. Bau harum dan wangi seakan bercampur nikmat dengan tangan manusia. Yang memiliki kualitas sehat dan sempurna untuk memenuhi kebutuhan gizi keluarga.
“Ayo cepat, kita makan bersama,” kata ayahku sambil membersihkan motor buntutnya.
Motor yang sudah lama dibelinya semenjak ia masih remaja, menemani ia sekolah hingga kerja. Ayahku merupakan buruh pabrik biasa. Pekerja prabik dengan penghasilan pas-pas saja. Tetapi memiliki jiwa sosial tinggi terhadap tetangga maupun saudara. Ia menyayangi motor buntutnya. Setiap hari tak lupa ia membersihkan kotoran kecil pada motor buntutnya.
“Siap pak!” jawab Herman sambil membasuh muka dan berganti baju seragam.
Badan terasa segar dan bersemangat untuk aktivitas pertama. Saat berjalan ke ruang makan keluarga aroma harum gudeg tercium hidungku. Kenikmatan makanan desa yang menggugah selera. Gudeg adalah masakan khas dari jogja mungkin bisa dibilang legenda. Menurut cerita Nenekku, emakku memang jago memyiapkan makanan apalagi gudeg, menurut emak, kakek pernah bercerita bahwa tangan emakku pencipta makanan yang nikmat dan sehat untuk dinikmati.

Gudeg memang legenda.
Makanan yang menjadi ikon utama Daerah Istimewa Yogyakarta adalah gudeg. Nama “gudeg” didapat dari istilah bahasa Jawa hangudek. Istilah hangudek memiliki arti ‘proses mengaduk’. Ini bermula dari sejarah gudeg yang lahir bersamaan dengan dibangunnya Kerajaan Mataram Islam pada tahun 1500-an. Tempat untuk membangun Kerajaan Mataram Islam ini berada di sebuah alas, yaitu Alas Mentaok di daerah Kotagede. Di Alas Mentaok ini banyak tumbuh pepohonan, seperti nangka, kelapa, tangkil, dan melinjo. Saat pembangunan kerajaan, pohon-pohon yang tumbuh di Alas Mentaok ini ditebang oleh para pekerja dan akhirnya dimanfaatkan. Salah satu bahan yang dimanfaatkan tersebut adalah buah nangka muda yang dimasak untuk dijadikan santapan bagi para pekerja. Karena jumlah masakan yang dibutuhkan untuk makan para pekerja harus banyak, nangka muda tersebut dimasak menggunakan tempat yang besar dan mengaduknya membutuhkan alat pengaduk besar yang bentuknya menyerupai dayung perahu. Dari proses mengaduk (hangudek) ini kemudian muncul istilah “gudeg” untuk menamai masakan dari buah nangka muda tersebut.
Sebagai salah satu olahan yang memiliki sejarah, gudeg masuk dalam catatan karya sastra Jawa, yaitu Serat Centhini. Karya sastra ini merupakan himpunan segala macam ilmu pengetahuan dan kebudayaan Jawa. Diceritakan dalam karya sastra Jawa tersebut bahwa pada tahun 1600-an Raden Mas Cebolang melakukan perjalanan dan singgah di pedepokan Pangeran Tembayat. Saat Raden Mas Cebolang singgah, ada tamu yang sedang berkunjung di pedepokan Pangeran Tembayat, yaitu Ki Anom. Sebagai jamuan untuk Ki Anom, Pangeran Tembayat menyajikan gudeg.
Seiring berjalannya waktu, gudeg yang awalnya adalah masakan rumahan akhirnya dimanfaatkan untuk dijual ke masyarakat. Akan tetapi, pada awal abad ke-19 belum banyak orang yang berjualan disebabkan proses pembuatan gudeg membutuhkan waktu yang lama. Gudeg mulai dijual dan dikenal banyak kalangan setelah Presiden Soekarno memiliki ide untuk membangun universitas di Yogyakarta pada tahun 1940-an. Universitas tersebut sekarang menjadi salah satu universitas yang terkenal, yaitu Universitas Gadjah Mada. Dari pembangunan kampus itu muncul sentra Gudeg Mbarek di kawasan Bulaksumur, Sleman, Yogyakarta. Setelah itu pada tahun 1970-an sentra gudeg baru juga dibangun di kawasan sebelah timur Keraton Yogyakarta, yaitu Wijilan.
Sebagai makanan khas Yogyakarta, gudeg merupakan salah satu olahan yang banyak dipilih untuk dijadikan oleh-oleh. Seiring dengan perkembangan zaman, pengemasan gudeg juga semakin beragam. Ada yang dikemas dengan besek, daun pisang, kardus, dan kendil. Selain itu, karena gudeg merupakan masakan basah dan cepat basi, muncul ide untuk menjadikan gudeg sebagai makanan kalengan agar tidak cepat basi.
Ayahku telah siap di meja. Aku datang segera menyusulnya. Makanan Gudeg telah tersedia, dipadukan dengan gorengan tempe dan sambal tomat ulek. Tanpa ayam, tetapi rasaku gudeg emakku sudah terasa daging yang kenyal dan gurih.
“Wah nikmatnya,” pujiku. “Tak salah bapak pilih emak. Selain cantik juga pandai masak. Masakan memiliki kualitas rasa yang tak kalah dengan masakan restoran”
“Jangan memuji begitu, Her!” kata ayahku, “nanti emakmu jadi besar kepala.”
“Siapa juga yang senang dipuji?” kata emak sinis. “Sudah-sudah bicaranya nanti keburu dingin makanannya.”
“Oke!” kata ayahku. “Mari kita semua makan bersama. Makanan sederhana akan terasa nikmat jika dilakukan bersama keluarga.”
Santapan nikmat telah dihidangkan emakku. Aroma tercium saat kami duduk bersama. Ruang makan sederhana dengan kursi hasil karya ayahku menemani makan di meja. Kaloborasi meja makan yang menggugah selera. Onion goring yang memberikan rasa lembut dan nyaman pada kuah gudeg, rasa rempah-rempah beradu sempurna menghasilkan kelezatan kasih sayang keluarga. Kelezatan rasa yang menampilkan kasih sayang orang tua pada anaknya, dengan belaian lembut dan penuh cinta.
“Gimana rasanya,” tanya Emak penuh senyuman memandang anak dan suami menikmati masakannya. “Hanya ini yang dapat emak hidangkan!”
 “Rasa enak, mak!” kataku menyantap hidangan penuh selera.
Rasanya sangat tajam dan kuat hingga imajinasiku terasa keluar dari batas-batasku. Bahkan intuisi kuat tentang kasih sayang keluarga. Buah nangka telah lama dikenal masyarakat luas daging buahnya tebal, harum dan manis. Buah muda (gori) digunakan sayur gudeg yaitu satu jenis lauk bersantan dan rasanya gurih lezat. Sehingga kota Yogyakarta dikenal julukan kota gudeg.
Rempah-rempah menyatu sempurna dengan potongan nangka muda. Potongan yang tidak besar atau kecil seperti daging sapi yang membaur sempurna dengan kuah lenggit dan manis. Nangka muda yang cocok dan sempurna masih belum matang seperti daging sapi yang dimasak sempurna. Enam suing Garlic, tiga suing onion, empat buah kemiri, satu sendok teh garam, satu sendok makan lada bubuk atau satu genggam tangan lada butir, satu jempol tangan lengkuas, gula merah satu sendok makan, tiga daun salam, enam butir ketumbar, satu buah kelapa tua parut dan satu buah nangka muda ukuran sedang. Memang ukuran umami untuk gudeg khas jogja. Kelezatan rasa manis dan legit gudeg mengambar kelembutan kasih sayang keluarga.

“Jangan salah emakmu memang jago memasak,” kata Ayahku. “Tangan emakmu seperti emas penuh cita rasa. Masakan apa yang dibuatnya akan memberikan selera.”
“Emas penuh cita rasa,” kataku mengulang. “Sangat luar biasa, cita rasa tangan emak memang tiada bandingnya.”
“Bapak bisa aja memuji emak,” kata Emakku tersipu malu.
“Benar kata bapak, mak!” kataku. “Masakan emak memang sangat menggugah selera. Ibaratnya seorang penyanyi yang menggetarkan hati penontonnya. Tetapi dengan masakannya, emak memuaskan hati keluarganya.”
“Bisa saja kamu Her!” kata emakku sambil tersenyum.
“Makanya besok kalau kau cari istri seperti emakmu pintar masak dan yang lebih penting sederhana,” kata ayahnya. “Tak lupa cantik pula.”
Senyuman bahagia memancar dari wajahnya emak. Pujian ayah ibarat siraman air surga karena tumbuh dan besar oleh kasih sayang dan cinta. Pagi yang indah menambah bahagia keluarga.
“Benar juga kata bapakmu Her!” sahut emak. “Di agama kita mengajarkan untuk hidup sederhana dan selalu berbagi kepada orang yang kurang beruntung.”
“Benar kata mak,” kataku. “Tauladan yang baik dari orang tua agar membangun kepribadian baik bagi anaknya.”
“Sudah! Sudah! Sudah siang ini cepat makan nanti kalian berdua terlambat,” kata emak sambil mengambilkan nasi untuk ayahku.
Mereka bertiga makan dengan lahapnya. Gudeg, tempe goreng serta sayur genjer disantap dengan nikmatnya. Campuran manis gudeg dengan sambal ulek seperti badai gelombang yang menampar penuh kesegaran dan keindahan. Makan pagi yang menggugah selara membuat makanan desa menyenangkan. Lebih tepat tak melupakan gizi dan kesehatan.
“Her cepat habiskan nanti terlambat,” kata emaknya.
“Oke mak!” kataku.”Matur nuwun makanannya!”
Makanan telah disantap habis dalam piring Herman. Tak tersisa satu biji nasipun. Kata orang jangan buang makanan walaupun sebiji saja karena menyebabkan dosa. Piring aku letakkan di pencucian. Dan aku tak lupa cuci tangan. Makanan hari penuh kesan dan memberi semangat pagi yang membahagiakan.
“Mak! aku berangkat dulu,” kataku. “Sudah terlambat nih.”
Tangan emak kucium lembut, begitu juga tangan ayahku, tak lupa aku mengucapkan: “assalamualaikum,” kataku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar