Isu
publik sedang mengancam kestabilan negara saat ini. Para politisi bertindak
bukan untuk negera tetapi karena gensi dan jabatan. Akhir dari pesta demokrasi,
Indonesia di radang duka. Kematian yang menimpa para petugas kpps menjadi
tragedi luar biasa.
Pancasila
sebagai ideology bangsa mungkin bukan menjadi pegangan para politisi negara.
Mereka hanya mementingkan hak idealisme tanpa memperhatikan rakyatnya.
Pancasila hanya sampingan yang tak diperlukan dalam politik bangsa. Harga
Pancasila sebagai jiwa bangsa telah ditelan idealisme dan kemerosatan moral.
Politisi
bertindak dalam menunjang kebutuhan semata. Dimana demokrasi dari rakyat untuk
rakyat oleh rakyat hanya menjadi pandangan belaka. Konsep hidup gaya tinggi
yang diagung menjadi refenrensi kebutuhan yang wajib mereka jaga.
Bulan
ramadhan apa mereka tetap sama?
Melihat
banyak hal-hal yang baik yang diburuk. Hal buruk yang dibaikkan. Semata-mata isu publik yang tak memperhatikan
fakta, hal ini mengapa isu public sebagai tombak media hanya dipakai politisi
untuk pengalihkan kuasa. Legitimasi politik public yang harus menjaga sekarang
malah public yang mencela dan menghina. Mata-mata politisi yang mengabdi,
mereka malah menghalalkan cara untuk menduduki jabatannya.
Mengapa
Indonesia menjadi ribut hanya karena kalah suara.?
Gengsi
dan jabatan. Zaman milenial ini mungkin banyak mata memandang bahwa kebutuhan
tersier adalah lebih utama dari kebutuhan pokok. Ideology Pancasila menjadi
titik berat untuk Indonesia menjadi pudar karena gengsi dan jabatan. Muncul isu public tentang ‘people power’ dalam
bulan ramadhan merupakan pukulan berat legitimasi Pancasila. Pandangan
Pancasila sebagai ideology bangsa sedikit tercoreng karenanya.
Ramadhan
bulan puasa. Seharusnya mental dan akhlak dalam puasa tidak terbatas pada pengendalian diri menghadapi kebutuhan pokok jasmani saja, akan tetapi berkembang
sampai kepada pengendalian diri dalam menghadapi kebutuhan kejiwaan dan sosial
yang tidak kalah pentingnya dalam kehidupan manusia. Pancasila dan iman
adalah tonggak utama. Isu public karena gengsi dan jabatan seharusnya hilang dalam iman, taqwa dan pancasila. Para politisi seharusnya berfikir cerdas,
bukan berfikir bebas tanpa iman, taqwa dan Pancasila.
People
Power apa manfaatnya?
Apa
itu menguatkan Pancasila? Apa itu idaman rakyat Indonesia? Apa itu menjaga
kesatuan Indonesia? Apa itu ujung tombak pemersatu bangsa? Apa itu wujud
persatuan Indonesia? Apa itu bhineka tunggal ika?
Pemikiran
yang terbelegu ekspektasi dunia, gengsi dan jabatan adalah wujud syetan dunia
yang merendahkan martabat manusia. Berapa banyak perselisihan, pertengkaran dan
kerenggangan hubungan terjadi akibat tidak terpenuhinya kebutuhan kejiwaan dan
social. Berbagai macam prahara politik yang terjadi adalah wujud isu public
untuk meningkat gengsi dan jabatan semata.
Rakyat
menjadi landasan dalam memperjuangankan kepopulerannya, rakyat menjadi loncatan
kekuasaannya. Rakyat menjadi ujung tombak untuk jabatannya. Mereka memikirkan
jabatan, mereka menjaga gengsinya.
Apa
itu sikap Pancasila?
Tentu
saja bukan. Jika kita pemikir cerdas.
Pancasila
sebagai dasar etika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
diberdayakan melalui kebebasan masyarakat untuk mendasari suatu sikap mental
atau attitude. Proses penghayatan dan pengamalan nilai-nilai
Pancasila sesungguhnya merupakan proses psikologis dan proses social
kultural. Secara sederhana
proses itu digambarkan
sebagai suatu proses mengenal, mengerti, menghayati,
mengamalkan dan memiliki kesadaran diri.
Perbuatan
mengenal dan mengerti merupakan bagian yang integral dari proses kognitif
termasuk di dalamnya proses berpikir seseorang. Proses menghayati merupakan
suatu proses afektif yakni proses psikologis yang menyentuh perasaan seseorang.
Sedangkan proses mengamalkan merupakan tindakan nyata yang tentunya harus telah
dilandasi oleh proses kognitif sebelumnya. Kesadaran diri merupakan suatu sikap
yang dapat disimpulkan dari pengenalan, pengertian, penghayatan dan pengamalan.
Pancasila, yang di dalamnya termasuk agama dan kebudayaan berkepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan sumber nilai yang menuntut sikap. Untuk
mewujudkan sikap inilah setiap individu warga negara seyogianya mengenal,
mengerti, menghayati dan mengamalkan Pancasila. Oleh karena itu, pengembangan
segi-segi psikologis tentang tingkah laku menurut Pancasila menuntut
dikembangkan proses pemancasilaan berbagai segi kehidupan. Untuk menghasilkan
generasi bangsa penuh cita-cita Pancasila.
Ramadhan
adalah sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan cara untuk membersihkan
serta meningkatkan martabat kejiwaan.
Indonesia
adalah Pancasila. Indonesia merdeka dibulan ramadhan penuh aroma surga. Tak
sepantasnya tercoreng karena isu public yang mengguncang iman dan
pancasila. Gengsi dan jabatan yang
memandang rendah manusia harus hilang dan lenyap dalam pemikiran orang
Indonesia. Pancasila yang menjadi tombak pemersatu harus terjaga dan terbina
sempurna. Melihat hal maka ini tak ada salah bulan ramadhan berkah Pancasila
Indonesia.
Ramadhan
adalah bulan untuk kita dapat menghindarkan diri dari berbagai maksiat. Sebab puasa bisa menundukkan hawa nafsu yang
mendorong tindakan maksiat. Puasa juga
merupakan latihan bagi manusia untuk bersabar dalam menahan lapar, haus, dan
mencegah hawa nafsu. Selanjutnya, kesabaran yang dipelajari dari puasa akan
diterapkan diseluruh aspek kehidupannya.
Tawadlu’
dalam berpolitik adalah wujud kita mencinta ramadhan dan Pancasila. Karena jiwa
ini secara tabiaat akan mencari kesenangan
dan rasa lapang
serta tidak ingin
terbebani sehingga akan menimbulkan keinginan
lari dari peribadatan
dan tetap dalam kesenangannya. Maka apabila seorang
hamba mampu menundukkan dirinya dengan
melaksanakan perintah Alloh
dan menjauhi laranganNya,
sungguh ia telah tawadhu' dalam peribadatan menjadi tombak politik
Pancasila Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar