Novel ini
menceritakan tentang sebuah petualangan seorang bocah antara hidup dan mati
untuk menggugat keadilan batara. Mereka adalah Wisanggeni berserta sabahat
setianya Manuhara, Birawa, Mayangkara, Janaka, Semar, Gareng, Petruk, Bagong.
Cerita ini
menceritakan tentang kehidupan bayi laki-laki yang dibunuh karena perintah raja
Suralaya. Akan tetapi ia berhasil bertahan hidup untuk menegakkan keadilan
batara, karena kegelapan saat itu menguasai kahyangan suralaya.
Novel ini
juga mengisahkan tentang semangat juang dari bocah yang lahir karena kesalahan
batara tetapi ia berhasil menaklukkan seluruh mayapada, dengan kekuatan dan
kehebatan semenjak ia di buang di Kawah Candradimuka.
Aku lahir
di Deksinageni kahyangan Batara Brama, Dewa penguasa api suralaya. Aku lahir
dari satria Pandawa Janaka dan Dewi Dresnala. Kelahiranku membuat kahyangan
Suralaya terjadi perdebatan dalam politik keluarga. Dewasrani menginginkan
ibuku, ia berusaha membunuhku dan ayahnya.
Kesulitan
dan kegelapan terus mempengaruhi kahyangan Suralaya. Aku dibuang Batara Yama
dan Indra di Kawah Candradimuka. Kawah Candradimuka tidak membunuh diriku, ia
membuatku tumbuh dewasa. Batara Narada menyelamatkanku. Aku diletakkan di hutan
Kurusetra. Awal petualanganku dimulai saat aku menginjakkan kaki di Marcapada.
Hutan
Kurusetra adalah hutan luas 1/8 luas dunia, hutan penuh hal – hal aneh dan
menakutkan. Saat aku di hutan Kurusetra aku menemukan sahabat setiaku Mendha.
Ia menemani petualanganku. Kisah penuh hidup dan mati. Ancaman hutan kuru
bermula saat Gajah situbanda ingin membunuhku.
Politik
suralaya dibawah ke marcapada. Hutan Kurusetra tak bersahabat denganku. Gajah
Situbanda memburu diriku. Ia menerjang diriku hingga aku akan terusir dari
Kurusetra. Aku bersama Mendha berhasil selamat dari ancaman Situbanda.
Aku
terdampar di lembah Tua, seorang pertapa bernama Eyang Guru Mulia menerimaku
sebagai muridnya. Aku diberi keris Kalabendu dan ajian pengawak braja. Keris
yang dapat ditunjamkan jika mantra dirapalnya. Ajian yang dapat merubah diriku
menjadi jilatan api membara sepanas matahari.
Kepergian
Eyang Mulia membuat sedih dan duka. Datang kegelapan di Lembah Tua, Raja Parang
Gupita, raja raksasa buta berperilaku angkara murka. Ia berhasil memnunjamkan
pusaka ke tubuh kecil hingga aku terlulai lemah tak berdaya. Mendha sedih dan
duka mendengar Wisanggeni mendapat luka di tubuhnya. Mendha merawatku hingga
aku sembuh total dari semua luka.
Aku bertapa
di batu untuk menguatkan ilmu dan pusaka. Keberhasilan Wisanggeni membuatnya
untuk melakukan perjalanan dalam menaklukan hewan buas Kurusetra. Aku bersama
Mendha mencari Gajah Situbanda. Perjalanan ini akan memberikan aku kekuatan dan
kehebatan sebelum menyelematkan ibuku.
Di lembah
Tua akan berjalan menuju tempat aku bertemu Gajah Situbanda. Keanehan hutan
kurusetra makin terasa. Cekaman dan kegelapan menyelimutinya. Aku bertemu kera bijak Kurusetra dari pertapa
Kendalisada Mayangkara/ Senggana. Aku bertemu dengan Situbandan salah satu
pimpinan bernama Manuhara. Dengan ajian pengawak braja aku berhasil
menaklukkannya.
Perjalanan
selanjutnya menaklukkan raja hutan Kurusetra. Macan Birawa takluk dalam ajian
pengawak braja. Tapi dalam perjalanan kami pernah di tipu kancil hingga membuat
aku terluka. Birawa dan Manuhara menjadi sahabat setiaku.
Dalam
gerbang di lembah Emas aku bertemu orang yang belum pernah aku lihat. Mulut
lebar membuat orang ketawa. Ia mengaku bernama Bagong. Ia penunjuk jalan
mencari ayahku yang suka bertapa. Di lembah hijau, kami menemukan masalah yang
menghimpit dalam pencariannya. Pasukan kuda Dewasrani mondar- mandir di sekitar
Lembah hijau. Aku terkukai tak berdaya dalam perjalananku mencari ayahku. Luka
dalam yang aku rasakan saat pedang pasukan raksasa buta suruh dewasrani
menunjam ke tubuhku. Aku bertemu ayahku saat luka dalam terasa menyakitkan.
Perjalanan membawaku ke Pertapan Dahana.
Aku melihat
kakekku dan membekali diri untuk melakukan tugas dalam menggugat keadilan
Batara. Aku ditemani Semar, Gareng, Petruk
dan Bagong serta ayahku, Birawa, Manuhara dan Mayangkara.
Langkah
kami tersesat di kahyangan Suralaya. Semar sebagai penunjuk jalan terlalu
sombong hingga kami tersesat di sentra Ganda Mayit tempat semayam Batari Durga.
Aku hampir mati disana. Kegelapan bukan disitu saja perjalanan kami menuju ke
gerbang Selo Manangkep seperti kisah yang menakutkan salju tebal dan gangguan
raksasa serta serigala anjing Dewasrani membuat aku luka dalam.
Di
Indraloka kami mendapat sambutan hanggat. Hingga Batara Indra mengantarku
menuju Jonggring Saloka. Aku menanyakan ibuku pada Batara Guru. Ia diam tak
menjawab pertanyaanku. Aku membuat ia agar memberiku jawaban dari pertanyaanku.
Batari Durga yang ada dalam paseban memberi tekanan kegelapan yang kuat. Ia
marah dan murka . Batara Guru memberi perintah untuk membunuhku
Batara Yama
menyerangku, Panyarikan memburu. Hingga Durga membasmiku. Aku menaiki tahta
marcupumanik, aku merapal ajianku, api menjilat dalam tubuhku. Batara Guru
memberiku jawaban yang aku minta.
Aku terbang
ke Parang Gupita. Aku memburu Dewasrani. Ia menghilang tiba- tiba saat api
membara tubuhku. Aku berhasil menggugat keadilan batara, pemimpin kahyangan
Suralaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar