EDUCATION FOR ALL (EFA) - Sastra Education

Breaking

Rabu, 19 Oktober 2016

EDUCATION FOR ALL (EFA)





Pendidikan inklusif adalah konsep pendidikan yang merangkul semua anak tanpa kecuali, Inklusi berasumsi bahwa hidup dan belajar bersama adalah suatu cara yang lebih baik, yang dapat memberikan keuntungan bagi setiap orang, bukan hanya anak-anak yang diberi label sebagai yang memiliki suatu perbedaan. Di dalam pendidikan inklusif, hambatan seorang anak (baik hambatan yang ada pada diri anak maupun hambatan yang berasal dari lingkungan anak) untuk bisa belajar bersama merupakan sebuah tantangan yang perlu diatasi, sebab salah satu tujuan pendidikan inklusif yaitu sebisa mungkin untuk menghilangkan hambatan tersebut. Jikapun hambatan tersebut tidak bisa dihilangkan, tetap diusahan untuk dikurangi (peminimalan hambatan).
            Landasan hukum nasional yang secara eksplisit menyatakan pendidikan inklusif adalah pada penjelasan pasal 15 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam penjelasan tersebut dinyatakan bahwa pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menegah.
            Selain itu dengan diterbitkannya Permendiknas No. 70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi anak penyandang kelainan dan cerdas istimewa dan bakat istimewa, serta terbitnya Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 2010, tentang penyelenggaraan pendidikan, semakin menegaskan jaminan terbukanya kesempatan bagi anak penyandang ketunaan untuk memperoleh akses pendidikan di sekolah reguler.
Implementasi pendidikan inklusif di Indonesia diyakini masih banyak menimbulkan permasalahan dan persepsi yang berbeda-beda, walaupun dalam perjalanannya telah menempuh kurang lebih 8 tahun. Secara kuantitas sekolah-sekolah reguler/lembaga pendidikan baik TK, SD, SMP maupun  SMA/SMK memang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, namun secara kualitas (kesesuain dengan yang diharapkan) masih perlu dipertanyakan.
Berbagai masalah yang timbul dalam masyarakat yaitu :
1.      Banyak kalangan berpendapat bahwa pendidikan inklusi merupakan sebuah model pendidikan.
Model Pendidikan Inklusif  yang pola penerapan masih jauh dari harapan manusia. Karena pendidikan inklusif merupakan pendidikan yang memanusiakan manusia. Inklusif yang dipandang sebagai model hanya sebatas label dalam arti bentuk indikasi untuk memberikan kemudahan dalam menyelengarakan pendidikan Inklusif.
2.      Implementasi pendidikan inklusi hanya sekedar mengikutsertakan peserta didik yang berkebutuhan khusus di sekolah regular tanpa harus memenuhi hak-hak pendidikan yang sesuai dengan kondisi anak. Kebutuhan anak yang kurang diperhatikan bahwa disamakan dengan anak normal.
3.      Dampak dari banyaknya anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusi menyebabkan dibentuknya kelas khusus di sekolah regular. Kelas khusus tersebut peserta didiknya adalah anak-anak yang mempunyai kebutuhan khusus. Implementasi model ini tentu menyimpang dari esensi dari pendidikan inklusif. Hal ini tidak bedanya dengan SLB yang terselenggara di sekolah regular.
Permasalahan-permasalahan tersebut akibat tidak konsistennya dari berbagai kelangan, terutama pemerintah dalam menjalankan sebuah paradigm pendidikan inklusi. Beberapa komponen yang seharusnya ada di dalam menjalankan regulasi pendidikan inklusi, belum terimplementasikan dengan baik. Bahkan terkesan hanya sebagian komponen saja yang dilaksanakan. Penyebab lain adalah perubahan kearah paradigma pendidikan inklusi cukup besar tantangannya. Tantangan-tantangan tersebut antara lain :
1.      Indonesia sudah bertahun-tahun melaksanakan pendidikan secara segregasi. Paradigma segregasi telah mengakar kepada penentu kebijakan dan para praktisi pendidikan, bahkan sering kali membelenggu para pengembang di bidang pendidikan. Mereka berasumsi bahwa dengan mengelompokkan peserta didik berdasarkan kreteria yang telah ditentukan, maka akan mempercepat ketercapaian tujuan pendidikan. Kebijakan itu disatu sisi yaitu sisi kognitifnya mungkin benar, akan tetapi perlu diingat bahwa ranah pendidikan yang perlu dicapai tidak hanya ranah kognitif saja, akan tetapi ranah psikomotor dan ranah afektif tidak kalah pentingnya harus menjadi penyerta tujuan yang tidak bisa dipisahkan. Ada juga yang berpendapat ada ranah social yang juga perlu dicapai.
2.      Menjamurnya sekolah berlebel unggulan atau apapun istilahnya yang mengedepankan kualitas input peserta didik menambah parahnya orang-orang yang secara social terpinggirkan akan membuat mereka semakin tidak bisa mengenyam pendidikan secara layak dan adil. Sekolah unggulan selama ini identik dengan kualitas IQ input peserta didik yang diatas rata-rata dan biaya pendidikan yang cukup mahal yang harus ditanggung oleh para orangtuanya. Tentu hal ini akan membuat kesenjangan yang lebih dalam. Kesenjangan selamanya akan selalu menyakitkan bagi banyak orang. Memang kesenjangan akan selalu ada, akan tetapi jika jaraknya terlalu jauh akan selalu memperburuk keadaan.
3.      Penyebaran informasi tentang pendidikan inklusif masih tidak karuan. Penyebab ini yang sepertinya yang paling dominan. Pendidikan inklusif secara eksplisit memang sudah menjadi kebijakan secara nasional, akan tetapi secara filosofi belum bisa menyentuh ke semua komponen bangsa yang bergerak dibidang pendidikan. Tahap-tahapan sosialisasi tidak dilalui dengan benar. Hal ini diperparah dengan seringnya pergantian pejabat di lingkungan Kementarian/Dinas Pendidikan yang seharusnya menangani pendidikan inklusi. Jika memang sudah diyakini bahwa paradigm pendidikan inklusi sudah menjadi agenda yang hebat untuk mengentaskan bangsa ini dari berbagai keterpurukan, seyogyanya semua pihak harus komitmen untuk mengimplementasikannya.
4.      Profesionalisme guru masih perlu dipertanyakan. Mereka sebagian besar lebih senang mendidik peserta didik yang “biasa-biasa saja (tidak banyak permasalahan)”. Banyak diantara mereka (mungkin sebagian besar) lebih senang menghindar jika disuguhi peserta didik yang mempunyai permasalahan (hambatan belajar) yang lebih berat. Padahal jika mereka menanganinya dengan senang dan peduli tentu akan menambah profesionalisme mereka.
5.      Acuan peserta didik yang mempunyai “prestasi belajar” sering diartikan secara sempit. Prestasi belajar sering diasumsikan dengan juara kelas, nilai yang tinggi, siswa yang dapat mengalahkan akademik siswa lainnya. Asumsi itulah yang membuat para pelaku bidang pendidikan berlomba-lomba menyeleksi input peserta didik yang hanya dilihat dari akademiknya saja. Hal ini tentu memperburuk keadaan perkembangan pendidikan inklusi.
Masih banyak sebenarnya permasalahan-permasalahan lainnya. Mudahan beberapa identifikasi permasalahan perkembangan pendidikan inklusi diatas cukup menjadi gambaran sampai dimana perkembangan pendidikan inklusi dewasa ini sehingga para praktisi maupun penggendali pendidikan di Indoensia tercinta ini dapat segera mengambil langkah yang tepat. Tulisan berikutnya akan penulis coba memberikan beberapa alternative pemecahannya. Semoga menjadi inspirasi dan perdebatan yang membangun untuk menumbuhkan dan mengimplementasikan pendidikan inklusif secara benar agar bangsa ini sesegera mungkin bisa bangkit dari keterpurukan pendidikan. Pendidikan di Indonesia tentu mengalami perkembangan, akan tetapi dampak buruknya juga tidak kalah berkembang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar