Pendidikan inklusif adalah konsep pendidikan yang
merangkul semua anak tanpa kecuali, Inklusi berasumsi bahwa hidup dan belajar
bersama adalah suatu cara yang lebih baik, yang dapat memberikan keuntungan
bagi setiap orang, bukan hanya anak-anak yang diberi label sebagai yang
memiliki suatu perbedaan. Di
dalam pendidikan inklusif, hambatan seorang anak (baik hambatan yang ada pada
diri anak maupun hambatan yang berasal dari lingkungan anak) untuk bisa belajar
bersama merupakan sebuah tantangan yang perlu diatasi, sebab salah satu tujuan
pendidikan inklusif yaitu sebisa mungkin untuk menghilangkan hambatan tersebut.
Jikapun hambatan tersebut tidak bisa dihilangkan, tetap diusahan untuk
dikurangi (peminimalan hambatan).
Landasan
hukum nasional yang secara eksplisit menyatakan pendidikan inklusif adalah pada
penjelasan pasal 15 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Dalam penjelasan tersebut dinyatakan bahwa pendidikan khusus merupakan
penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta
didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif
atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menegah.
Selain
itu dengan diterbitkannya Permendiknas No. 70 tahun 2009 tentang Pendidikan
Inklusif bagi anak penyandang kelainan dan cerdas istimewa dan bakat istimewa,
serta terbitnya Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 2010, tentang penyelenggaraan
pendidikan, semakin menegaskan jaminan terbukanya kesempatan bagi anak
penyandang ketunaan untuk memperoleh akses pendidikan di sekolah reguler.
Implementasi
pendidikan inklusif di Indonesia diyakini masih banyak menimbulkan permasalahan
dan persepsi yang berbeda-beda, walaupun dalam perjalanannya telah menempuh
kurang lebih 8 tahun. Secara kuantitas sekolah-sekolah reguler/lembaga
pendidikan baik TK, SD, SMP maupun
SMA/SMK memang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, namun secara
kualitas (kesesuain dengan yang diharapkan) masih perlu dipertanyakan.
Berbagai
masalah yang timbul dalam masyarakat yaitu :
1. Banyak
kalangan berpendapat bahwa pendidikan inklusi merupakan sebuah model
pendidikan.
Model Pendidikan
Inklusif yang pola penerapan masih jauh
dari harapan manusia. Karena pendidikan inklusif merupakan pendidikan yang
memanusiakan manusia. Inklusif yang dipandang sebagai model hanya sebatas label
dalam arti bentuk indikasi untuk memberikan kemudahan dalam menyelengarakan
pendidikan Inklusif.
2. Implementasi
pendidikan inklusi hanya sekedar mengikutsertakan peserta didik yang
berkebutuhan khusus di sekolah regular tanpa harus memenuhi hak-hak pendidikan
yang sesuai dengan kondisi anak. Kebutuhan anak yang kurang diperhatikan bahwa
disamakan dengan anak normal.
3. Dampak
dari banyaknya anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusi menyebabkan
dibentuknya kelas khusus di sekolah regular. Kelas khusus tersebut peserta
didiknya adalah anak-anak yang mempunyai kebutuhan khusus. Implementasi model
ini tentu menyimpang dari esensi dari pendidikan inklusif. Hal ini tidak
bedanya dengan SLB yang terselenggara di sekolah regular.
Permasalahan-permasalahan
tersebut akibat tidak konsistennya dari berbagai kelangan, terutama pemerintah
dalam menjalankan sebuah paradigm pendidikan inklusi. Beberapa komponen yang
seharusnya ada di dalam menjalankan regulasi pendidikan inklusi, belum terimplementasikan
dengan baik. Bahkan terkesan hanya sebagian komponen saja yang dilaksanakan.
Penyebab lain adalah perubahan kearah paradigma pendidikan inklusi cukup besar
tantangannya. Tantangan-tantangan tersebut antara lain :
1. Indonesia
sudah bertahun-tahun melaksanakan pendidikan secara segregasi. Paradigma
segregasi telah mengakar kepada penentu kebijakan dan para praktisi pendidikan,
bahkan sering kali membelenggu para pengembang di bidang pendidikan. Mereka
berasumsi bahwa dengan mengelompokkan peserta didik berdasarkan kreteria yang
telah ditentukan, maka akan mempercepat ketercapaian tujuan pendidikan.
Kebijakan itu disatu sisi yaitu sisi kognitifnya mungkin benar, akan tetapi
perlu diingat bahwa ranah pendidikan yang perlu dicapai tidak hanya ranah
kognitif saja, akan tetapi ranah psikomotor dan ranah afektif tidak kalah
pentingnya harus menjadi penyerta tujuan yang tidak bisa dipisahkan. Ada juga
yang berpendapat ada ranah social yang juga perlu dicapai.
2. Menjamurnya
sekolah berlebel unggulan atau apapun istilahnya yang mengedepankan kualitas
input peserta didik menambah parahnya orang-orang yang secara social
terpinggirkan akan membuat mereka semakin tidak bisa mengenyam pendidikan
secara layak dan adil. Sekolah unggulan selama ini identik dengan kualitas IQ
input peserta didik yang diatas rata-rata dan biaya pendidikan yang cukup mahal
yang harus ditanggung oleh para orangtuanya. Tentu hal ini akan membuat
kesenjangan yang lebih dalam. Kesenjangan selamanya akan selalu menyakitkan
bagi banyak orang. Memang kesenjangan akan selalu ada, akan tetapi jika
jaraknya terlalu jauh akan selalu memperburuk keadaan.
3. Penyebaran
informasi tentang pendidikan inklusif masih tidak karuan. Penyebab ini yang
sepertinya yang paling dominan. Pendidikan inklusif secara eksplisit memang
sudah menjadi kebijakan secara nasional, akan tetapi secara filosofi belum bisa
menyentuh ke semua komponen bangsa yang bergerak dibidang pendidikan.
Tahap-tahapan sosialisasi tidak dilalui dengan benar. Hal ini diperparah dengan
seringnya pergantian pejabat di lingkungan Kementarian/Dinas Pendidikan yang
seharusnya menangani pendidikan inklusi. Jika memang sudah diyakini bahwa
paradigm pendidikan inklusi sudah menjadi agenda yang hebat untuk mengentaskan
bangsa ini dari berbagai keterpurukan, seyogyanya semua pihak harus komitmen
untuk mengimplementasikannya.
4. Profesionalisme
guru masih perlu dipertanyakan. Mereka sebagian besar lebih senang mendidik
peserta didik yang “biasa-biasa saja (tidak banyak permasalahan)”. Banyak
diantara mereka (mungkin sebagian besar) lebih senang menghindar jika disuguhi
peserta didik yang mempunyai permasalahan (hambatan belajar) yang lebih berat.
Padahal jika mereka menanganinya dengan senang dan peduli tentu akan menambah
profesionalisme mereka.
5. Acuan
peserta didik yang mempunyai “prestasi belajar” sering diartikan secara sempit.
Prestasi belajar sering diasumsikan dengan juara kelas, nilai yang tinggi,
siswa yang dapat mengalahkan akademik siswa lainnya. Asumsi itulah yang membuat
para pelaku bidang pendidikan berlomba-lomba menyeleksi input peserta didik
yang hanya dilihat dari akademiknya saja. Hal ini tentu memperburuk keadaan
perkembangan pendidikan inklusi.
Masih
banyak sebenarnya permasalahan-permasalahan lainnya. Mudahan beberapa
identifikasi permasalahan perkembangan pendidikan inklusi diatas cukup menjadi
gambaran sampai dimana perkembangan pendidikan inklusi dewasa ini sehingga para
praktisi maupun penggendali pendidikan di Indoensia tercinta ini dapat segera
mengambil langkah yang tepat. Tulisan berikutnya akan penulis coba memberikan
beberapa alternative pemecahannya. Semoga menjadi inspirasi dan perdebatan yang
membangun untuk menumbuhkan dan mengimplementasikan pendidikan inklusif secara
benar agar bangsa ini sesegera mungkin bisa bangkit dari keterpurukan
pendidikan. Pendidikan di Indonesia tentu mengalami perkembangan, akan tetapi
dampak buruknya juga tidak kalah berkembang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar