Banyak orang tidak percaya Prabu Baka atau
Prabu Dwaka telah gugur. Lalu siapa yang berani melawannya, bahkan sampai
berhasil mengalahkan dan membunuhnya? Kalau ia manusia pastilah ia bukan
manusia biasa, tetapi manusia keturunan dewa. Atau malah mungkin ia seorang
dewa yang menyamar jadi manusia?. Untuk memastikan kebenaran kabar itu,
orang-orang berduyun-duyun menuju Padepokan Giripurwa.
Sesampainya di Giripurwa orang banyak
telah lebih dahulu berada di sana. Kedatangnya mereka selain untuk memastikan
kebenaran tentang gugurnya Raja pemakan manusia itu, mereka juga ingin melihat
dari dekat kesatria yang telah berhasil membunuh Prabu Dwaka.
Selama sepekan, terhitung sejak gugurnya
Prabu Dwaka, pada setiap harinya padepokan Giripurwa dibanjiri oleh orang-orang
dari berbagai penjuru negeri Ekacakra. Ekspresi kelegaan dan sukacita memancar
dari wajah mereka. Bimasena menadat ucapan
terimakasih krena keberhasilannya menyingkirkan angkaramurka yang
menjadi sumber kecemasan dan ketakutan.
Setelah semua menjadi reda, suasana
kembali normal, bahkan ketentraman dan kedamaian mulai dirasakan, Ibu Kunthi
dan kelima anaknya berpamitan kepada resi Hijrapa, meninggalkan Giripurwa.
Tidak lupa mereka juga berpamitan kepada Lurah Desa Kabayakan, Kyai Sagotra dan
Rara Winihan, beserta seluruh warganya.
Rasa haru meremas kalbu. Tak kuasa mereka
menahan tetesan air mata dari bola-bola mata yang bening bersahaja. Sesungguhnya
mereka mengharapakan para kesatria Pandhawa dan Ibu Kunthi yang luhur budi agar
berkenan tinggal untuk memimpin negeri. Mereka merindukan sosok pemimpin yang
sepi ing pamrih, rame ing gawe. Pemimpin yang mengayomi dan mencintai
rakyatnya. Namun tangan-tangan mereka tak kuasa menahannya. Lambaian tangan
mengantar kepergian Kunthi dan Pandhawa.
Walaupun setelah membelok di sudut desa,
Kunthi dan Pandhawa sudah tidak nampak lagi, mata hati mereka justru semakin
jelas memandang ketulusan hati yang telah dikorbankan oleh Ibu Kunthi dan
anak-anaknya.
Kunthi, Puntadewa, Bimasena, Arjuna dan
sikembar Nakula Sadewa telah jauh meninggalkan Padepokan Giripurwa. Mereka
tidak ingin kembali ke HAstinapura. Peristiwa Bale Sigala-gala telah membuat
mereka trauma. Walaupun ketika tinggal di kahyangan Saptapertala, Kunthi telah
berusaha agar Sadewa dan Nakula dapat melupakan peristiwa yang mengerikan di
Bale Sigala-gala, hingga saat ini si kembar belum mau memasuki bumi HAstina
Oleh karenya Kunthi dan kelima anaknya
bertekad hidup seperti layaknya seorang Brahmana yang sedang menjalani laku
tapa, berjalan tanpa tujuan, masuk keluar hutan dalam waktu yang tak terbatas.
Mereka menggunakan pakaian dari kulit binatang, memakan buah-buahan dan
akar-akaran yang ditemuinya di hutan.
Siang malam Bima dan Arjuna selalu waspada
menjaga ibu dan saudara-saudaranya dari serangan binatang buas dan juga raksasa
hutan.
Kabar gugurnya Prabu Dwaka terdengar jauh
sampai di negara Pringgandani. Prabu Arimba raja Pringgandani yang bermuka raksasa
ini masih terhitung sahabatnya Prabu Baka, terbakar hatinya mendengar kabar
tersebut. Ia mengutus Arimbi adiknya, yang bermuka raseksi, untuk mencari tahu
siapkah orang yang telah membunuh Prabu Dwaka. Jika sudah ketemu, Arimbi diberi
kuasa untuk membunuhnya. “Namun jika kamu tidak dapat membunuhnya, segeralah
pulang ke Pringgandani, biar aku sendiri yang akan membunuhnya.” Kata Prabu
Arima kepada Arimbi adiknya.
Saat itu juga Arimbi, meninggalkan Negara
Pringgandani sendirian, menuju Negara Ekacakra. Sesampainya di Ekacakra ia
mendapat keterangan untuk menuju ke Padepokan Giripurwa. Namun sesampainya di
Giripurwa, yang dicari sudah tidak ada. Arimbi kecewa. Ia kemudian mencari
keterangan mengenai ciri-ciri orang yang telah membunuh Prabu Dwaka
Setelah mendapat keterangan cukup jelas
dari salah seorang warga Desa Kabayakan, mengenai ciri-ciri kesatria yang telah
membunuh Prabu Dwaka, Arimbi segera mencari keberadaannya. Berkat pengalamannya
dan daya penciumannya yang tajam Arimbi tidak kesulitan menemukan jejaknya.
Di Hutan Waranawata Kunthi dan kelima
anaknya berada. Dan Arimbi telah menemukannya. Arimbi mengamati mereka dari
balik lebatnya pepohonan. Menurut ciri-ciri yang disampaikan oleh warga Desa
Kabayakan, sungguh benarlah bahwa keenam orang itu adalah Kunthi dan ke lima
anaknya. Salah satu diantara anak Kunthi, adalah pembunuh Prabu Dwaka. Namanya
Bimasena. Orangnya tinggi perkasa.
Arimbi mengarahkan pengamatannya kepada
orang yang dimaksud. Namun ketika ia melihat Bimasena, hatinya berdesir. Ada gelombang
magnet yang luar biasa besar, yang menarik-narik hatinya. Arimbi tak kuasa
menahan gejolak itu. Pada pandangan pertama, hati Arimbi telah tertambat kepada
sosok perkasa yang mempesona.
Terdorong oleh hasratnya yang tak mungkin
dibendung, Arimbi bergerak ringan menghampiri Bimasena yang sedang duduk
bersama Ibunda Kunthi. Keduanya terkejut, terlebih Bima, yang tidak tahu dari
mana arah datangnya, tiba-tiba ada sosok raseksi bersimpuh dihadapannya.
Sesampainya di depan Kunthi dan Bima,
Arimbi menjadi lupa tujuan semula, untuk membuat perhitungan dengan orang yang
membunuh Prabu Dwaka. Ketika mata Arimbi menatap Bima dari jarak dekat, ia
terkena panah asmara, yang lepas dengan sendirinya dari pribadi mempesona.
Kunthi menyapa dengan lembut, apa maksud kedatangannya? Arimbi tidak segera
dapat menjawab pertanyaan Kunthi. Memang pada semula ia bermaksud membuat
perhitungan dengan orang yang telah membunuh Prabu Dwaka. Namun kenyataannya
Arimbi tidak berdaya setelah menemukan orang yang dimaksud. Bahkan ia dengan
terus terang menyatakan jatuh cinta kepada Bimasena. Kunthi tersenyum lembut.
Ia memahami hati seorang wanita yang lebih mengutamakan perasaannya
dibandingkan dengan pikirannya.
Arimbi yang diutus oleh Prabu Arimba raja
Pringgandani, untuk mencari pembunuh Prabu Dwaka, telah menemukan orangnya di
Hutan Waranawata, yang bernama Bimasena Dengan tidak terduga pula, ternyata
Bimasena adalah anak Pandhudewanata, raja HAstinapura yang telah membunuh ayah
Arimbi yang bernama Prabu Tremboko, raja HAstinapura sebelum Prabu Arimba..
Namun hal tersebut tidaklah mampu menyulut
dendam dan kebencian Arimbi kepada Bimasena. Karena Arimbi telah terkena panah
asmara, yang lepas dengan sendirinya dari pribadi mempesona sang Bimasena.
Arimbi menjadi lupa tujuan semula, untuk membuat perhitungan dengan orang yang
membunuh Prabu Dwaka..
Arimbi, yang adalah seorang rasaksa
wanita, mempunyai postur yang tinggi besar, melebihi postur wanita pada
umumnya, wanita biasa yang bukan raseksi, sangatlah mendambakan sosok tinggi
besar dan gagah perkasa. Apalagi sosok tinggi besar dan gagah perkasa tersebut
bukan dari golongan raksasa, tetapi dari golongan kesatria seperti halnya
Bimasean. Tentu saja Arimbi terpana.
Sebagai seorang raseksi, Arimbi tidak
sungkan-sungkan menyatakan gejolak hatinya yang meluap-luap, di depan Ibu
Kunthi dan Bimasena, bahwa ia telah jatuh cinta kepada Bimasena pada pandangan
pertamanya. Kunthi menanggapi pernyataan Arimbi, dengan senyum dan kelembutan.
Namun Bima justru merasa risih dan tidak senang, sembari menggerutu, dasar
raseksi, tidak tahu diri.
Atas sikap Bimasena tersebut, Arimbi
menangis, memohon pertolongan Kunthi, agar Bimasena mau memperisterinya. Kunthi
tidak dapat berbuat apa-apa. Karena pada dasarnya semuanya itu bergantung
kepada Bimasena yang menjalaninya. Namun Kunthi menyarankan agar Arimbi mau
bersabar.
Arimbi tidak sakit hati ditolak Bimasena.
Ia justru semakin mengagumi sosok Bima yang jujur dan tegas. Panah Asmara yang
tidak pernah dilepaskan Bimasena kepada Arimbi, pada kenyatanya telah menembus
sangat dalam di lubuk hati Arimbi. Ajaib memang. Cinta membuat segalanya baru.
Pandangan Arimbi terhadap Bimasena berubah seratus delapan puluh derajat. Dari
musuh menjadi orang yang digandrunginya.
Walaupun Bimasena tidak pernah
mempedulikannya, bahkan tidak senang, Arimbi tetap saja mengikuti kemana Bima
dan keluarganya pergi. Nasihat Kunthi agar bersabar, menjadi kekuatan bagi
Arimbi untuk bertahan dalam menyalakan api cintanya kepada Bimasena. Karena ia
menyakini, dibalik kesabaran yang dijalaninya dengan tulus, ada sebuah harapan.
Harapan bahwa jika tiba pada waktunya, ia dapat bersanding dengan pujaan
hatinya. Saat itulah dapat diibaratkan seperti rumput kering yang mendamba
siraman air hujan, untuk tumbuh menghijau.
Hingga sampai hitungan bulan, Bima tidak
menampakkan perubahan sikap kepada Arimbi. Bahkan Bima semakin merasa risih
terhadap tingkah laku Arimbi yang ditujukan kepada dirinya dan juga kepada
keluarganya. Namun tidaklah demikian dengan Ibunda Kunthi. Kunthi justru merasa
iba kepada Arimbi, yang tidak hanya mengikutki kemana Pandhawa pergi, tetapi
juga selalu membantu, melayani dan menyediakan apa saja yang menjadi kebutuhan
Kunthi dan Pandhawa.
Disuatu pagi nan cerah, datanglah beberapa
punggawa Pringgandani yang diutus Prabu Arimba menemui Arimbi. Arimbi merasa
dirinya telah mengkianati perintah kakaknya. Maka dengan jujur Arimbi berkata
kepada utusan raja, bahwa ia tidak kuasa untuk berperang kepada orang yang
membunuh Prabu Dwaka, apalagi sampai mencelakainya, karena ia telah jatuh cinta
kepadanya.
Dengan baik-baik Arimbi memerintahkan
beberapa punggawa utusan, untuk pulang dan melaporkan kepada raja apa adanya.
Prabu Arimba tak mampu mengendalikan
emosinya, tatkala para punggawa memberikan laporan tentang keberadaan Arimbi
dan juga sikap Arimbi yang telah membelot bersama musuh. Apalagi dalam laporan
tersebut diungkapkan pula, bahwa Bimasena pembunuh Prabu Dwaka adalah anak
Pandudewanata.
Braaak! Prabu Arimba memecah meja di
depannya. Para punggawa gemetar ketakutan. Suara gemuruh didada Prabu Arimba
menimbulkan hawa panas. Hawa panas tersebut memenuhi Balairung Negara
Pringgandani.
Arimbi adalah satu-satunya adik perempuan
dan sangat dicintainya. Namun ia sangat murka bilamana Arimbi jatuh cinta
kepada anak Pandudewanata yang telah membunuh ayahanda Prabu Tremboko.
Semenjak naik tahta menggantikan Prabu
Tremboko yang gugur di tangan Pandudewanata, Prabu Arimba ingin mengadakan
perhitungan dengan Pandudewanata. Namun niat itu tidak kesampaian, dikarenakan
Pandudewanata telah meninggal di pertapaan. Namun setelah diketahui dari
laporan punggawa utusan, bahwa Pandudewanata mempunyai lima anak laki-laki,
Prabu Arimba akan mengadakan perhitungan dengan mereka. Khususnya Bimasena yang
sekaligus adalah pembunuh Prabu Dwaka, saudaranya.
Selagi bara dendam dihatinya mulai menyala
kembali, Prabu Arimba segera memerintahkan perajurit pengawal raja, untuk
mengikutinya memasuki hutan Waranawata, guna mengadakan perhitungan dengan
Bimasena.
Lima adik Raja Arimba yang kesemuanya
laki-laki kecuali Arimbi, ikut bersamanya. Mereka masing-masing adalah:
Brajadenta, Brajamusti, Brajawikalpa, Brajalamatan dan yang bungsu adalah Kala
Bendana.
Kemarahan Prabu Arimba belum juga reda.
Ingin rasanya ia menghajar Arimbi adiknya, yang telah berkhianat kepadanya,
dengan mengabaikan perintahnya. Pada awalnya Arimbi menyanggupi perintah
kakanya untuk mengadakan perhitungan dengan pembunuh Prabu Dwaka yang masih
saudaranya. Namun setelah melihat pelakunya yang bernama Bimasena, Arimbi jatuh
hati. Ia menjadi tak berdaya untuk melaksanakan perintah kakaknya. Oleh
karenanya dengan jujur Arimbi mengatakan kepada utusan kakaknya bahwa
Arimbi tidak mempunyai daya untuk melukai
Bimasena, terlebih membunuhnya.
Oleh karenanya Arimba ingin segera menuju ke hutan Waranawata
untuk menghukum Arimbi dan kemudian membunuh Bimasena dan saudaranya.
Di siang yang terik, Prabu Arimba dengan
diiringi beberapa pengawal pilihan meninggalkan negara Pringgandani. Dadanya
gemuruh karena kemarahan. Akibatnya matanya memerah dan kedua tangannya bergetar.
Para pengawal tahu bahwa raja Arimba sedang dalam keadaan marah besar, dan jika
tidak hati-hati dalam melayaninya, sedikit saja membuat kesalahan akan
berakibat fatal.
Di hutan Waranawata, Arimbi merasa cemas.
Ia tahu bahwa kakaknya akan sangat marah mendapat laporan utusannya, bahwa
Arimbi telah jatuh hati kepada musuhnya. Maka dari itu, sebelum Arimba sampai
di tengah hutan, tempat Kunthi dan anak-anaknya berada, Arimbi menyonsong
kakaknya di pinggir hutan. Benarlah apa yang perkirakan Arimbi, dari kejauhan
ia melihat kakaknya yang diikuti beberapa pengawalnya menampakkan kemarahannya.
Maka dari itu, sebelum Prabu Arimba melampiaskan kemarahannya, Arimbi
mendahuluinya memeluk kakinya. Sembari menangis, Arimbi memohon belaskasihan
kepada Prabu Arimba.
“Dhuh Kakanda Prabu, pada siapa lagi aku
sesambat kalau bukan kepada Kakanda Prabu yang menjadi silih orang tuaku.
Jikapun aku harus mendapat hukuman, hukumlah aku karena aku telah mengkianati
Sang Raja. Bahkan jikapun aku harus dihukum mati, aku rela menerimanya. Namun
sebelumnya aku akan mengatakan dengan sejujurnya bahwa aku sebagai wanita yang
sudah dewasa, sedang jatuh cinta kepada seseorang. Rasa kasmaran itu tiba-tiba
menyergapku. Dan aku tak kuasa melepaskannya. Walau aku tahu bahwa ia yang telah
membuatku jatuh cinta tersebut adalah musuh kita. Kakanda Prabu salahkah aku?”
Dada Prabu Arimba naik turun, nafasnya
tidak beraturan. Kemarahannya yang sudah mencapai puncak dicoba untuk ditahan.
Sebetulnya dilubuk hati yang paling dalam, Prabu Arimba sangat menyayangi
satu-satunya adik perempuannya. Sepeninggal ayahnya Prabu Tremboko, Prabu
Arimba yang kemudian naik tahta menyadari perannya sebagai pengganti orang
tuanya. Maka ketika Arimbi mengingatkan peran yang seharusnya diemban,
kemarahan Prabu Arimba berangsur-angsur mereda. Air mata Arimbi yang membasahi
kaki Prabu Arimba merambat naik dan menyiram dada yang panas gemuruh.
Walaupun dada masih tetap membusung dan
kedua tanganya masih berkacak pinggang, tatapan mata Prabu Arimba mulai
merunduk. Dipandanginya adiknya yang masih menangis memeluk kakinya.
Pelan-pelan rasa iba telah menyusup di hatinya. Ia menyadari, bahwa adiknya
telah tumbuh menjadi dewasa, tanpa ditunggui orang tua, dan sekarang sedang
jatuh cinta. Jika saja prabu Tremboko masih hidup alangkah senangnya dia. Namun
gara-gara Pandu ia terpaksa meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil-kecil.
Tiba-tiba Prabu Arimba berteriak lantang,
“Bangsat Pandudewanata, engkau telah memisahkan aku dan adik-adikku dengan
ayahku. Terkutuklah engkau dan keturunanmu. Rama Prabu Tremboko, akan aku
habisi hari ini keturunan Pandu, agar engkau berdiam di alam baka dengan
damai..
Prabu Arimba lari meninggalkan Arimbi,
masuk hutan ingin membinasakan keturunan Pandu. Belum jauh Prabu Arimba
meninggalkan Arimbi, Bimasena menghadang di jalan. Prabu Arimba terkejut dengan
keberanian orang ini. Apakah ini yang bernama Bimasena. Jika benar ini adalah
Bimasena, pantas jika adiknya jatuh cinta kepadanya.
Sebelum terjadi perang tanding diantara
keduanya, Arimbi telah menyusul dan mengatakan kepada Arimba bahwa itu adalah
Bimasena, dan memohon agar sang Prabu tidak membunuhnya.
Jeritan Arimbi yang melaranganya agar
kakaknya tidak berperang kepada Bimasena, justru membakar hati Arimba untuk
segera menghabisi Bimasena. Dengan tenaga yang berlebih, Arimba menerjang
Bimasena. Sejenak kemudian terjadilah perang tanding yang hebat.
Perang tanding yang dahsyat antara
Bimasena dan Prabu Arimba berlangsung dipinggiran hutan Waranawata, disaksikan
oleh Arimbi dan para perajurit pengawal dari Pringgandani. Dalam perang
tersebut Prabu Arimba dan Bimasena saling mengeluarkan kesaktiannya. Daya
kesaktian diantara keduanya sampai menimbulkan debu tanah yang
bergulung-gulung, laksana awan mendung. Beberapa kali terjadi suara ledakan keras,
menggoncang beberapa ranting pohonan yang berada disekitarnya. Akibatnya
merontokan sebagian daun dan ranting pohon di hutan tersebut.
Melihat pertempuran yang kian sengit,
Arimbi semakin cemas. Keringat dingin keluar dari sekujur tubuhnya. Ia
kawatirkan jika salah satu diantaranya cidera atau bahkan mati. Oleh karenanya
tak henti-hentinya ia berteriak, memohon agar peperangan dihentikan. Namun
teriakan-teriakan Arimbi tak ada yang menghiraukannya. Perang tanding terus
berlangsung. Bahkan semakin dahsyat.
Mereka yang menyaksikan terpaksa menjauhi
arena perang tanding. Kecuali Arimbi yang tidak mau beranjak dari tempat
semula. Ia begitu dekat dengan mereka yang berperang. Ia tidak mempedulikan
dirinya sendiri. Ia lebih mencemaskan yang sedang berperang tanding. Baik itu
Arimba maupun Bimasena.
Setelah peperangan berjalan beberapa lama,
tiba-tiba Bimasena terlempar keluar arena, dibarengi suara tawa yang
menggelegar-glegar. Arimbi segera mendekatinya, ditangisinya tubuh Bimasena
yang tergeletak lemas di tanah. Ia tahu bahwa tenaga Bima telah tersedot habis
oleh ilmu andalan yang dimiliki kakaknya.
Arimbi tidak tahu apa yang seharusnya
dilakukan terhadap Bima untuk memulihkan tenaganya. Namun ia tidak tega
membiarkannya tubuh Bimasena tergeletak sendirian. Dikipasinya Bimasena yang
pucat pasi tak sadarkan diri.
Arimba memandangi adiknya, yang sedang
menunggui musuhnya dengan setia. Ada rasa iba dihatinya. Adiknya memang benar
benar jatuh cinta kepada Bimasena. Disadarinya bahwa, ada kuasa dari atas yang
menghendaki benih cinta itu bersemi di hati adiknya, dengan tanpa dapat
ditolaknya.
Diakui pula bahwa Bimasena bukan orang
sembarangan. Tubuhnya yang tinggi perkasa menjadi ideal jika berpasangan dengan
raseksi Arimbi. Demikian pula wajahnya dan kesaktiannya, pantaslah jika adiknya
jatuh cinta pada pandangan pertama.
Namun sayang, bagi Arimba pesona Bimasena
tidaklah mampu menutup luka batin karena gugurnya Ramanda Prabu Tremboko dari
tangan Pandu.ayah Bimasena. Masih tergambar jelas peristiwa puluhan tahun lalu,
ketika Pandudewanata yang kala itu menjadi raja di HAstinapura, mengirim surat
tantangan kepada Ramanda Prabu Tremboko. Pada hal yang ia ketahui bahwa, Prabu
Pandudewanata adalah sahabat Ramanda Prabu Temboko.
Walaupun Ramanda Prabu Arimba masih
meragukan kebenaran surat tantangan tersebut, Prabu Pandudewanata dan para
perajurit terbaiknya telah menggempur Pringgandani menyusul Patihnya, Gandamana
yang lebih dahulu menyerang Pringgandani.
Perang yang tidak jelas penyebabnya pun
akhirnya terjadi. Dan bahkan menjadi perang yang sangat hebat, antara dua
negara besar yaitu HAstinapura dan Pringgandani. Dalam catatan sejarah perang
besar tersebut dinamakan dengan Perang Pamukswa.
Di dalam perang Pamukswa itulah Rama Prabu
Tremboko Gugur di tangan Pandudewanata. Aku sangat terpukul karenanya. Sebagai
anak tertua aku harus bertanggungjawab atas kerusakan bangunan negara
Pringgandani, serta para perajurit yang tercerai berai dan menjadi korban.
Dalam kondisi yang belum siap, sembari melakukan pembenahan di sana-sini, Ibunda
Ratu menyarankan agar aku menduduki tahta Pringgandani.
Maka tidak lama dari waktu gugurnya Prabu
Tremboko, aku naik tahta disaksikan oleh seluruh kekuatan Pringgandani yang
masih tersisa. Dalam acara resmi penobatanku, aku berjanji akan mengadakan perhitungan
dengan Pandudewanata. Tepuk tanganpun bergemuruh mendukung tekadku.
Kini aku telah berhadapan dan berperang
tanding dengan keturunan Pandu, dan sekarang ia dalam tak berdaya dihadapanku.
Jika aku berniat membunuhnya, ibaratnya tinggal membalikan tangan. Tetapi aku
tidak mau melakukannya. Karena jika aku lakukan, artinya aku tidak berwatak
kesatria. Walaupun wujudku adalah raksasa, di dalam hatiku telah terpatri watak
kesatria yang diajarkan dan diteladankan oleh Ramanda Prabu Tremboko. Maka aku akan
menunggu kekuatan Bimasena pulih, dan kembali bertanding denganku.
Bimasena anak nomor dua yang lahir dari
Ibunda Kunthi tersebut sesungguhnya bukanlah anak Pandudewanata. Ia adalah anak
dari Dewa Bayu. Dewa yang berkuasa atas angin. Berkaitan dengan hal tersebut,
secara tidak sengaja apa yang dilakukan oleh Arimbi untuk memulihkan tenaga
Bimasena dengan cara dikipasi adalah tepat. Karena melalui angin yang menerpa
wajah Bima, Dewa Bayu telah membelai putranya dan memulihkan tenaganya.
Maka sebentar kemudian, setelah Arimbi
mengipasi Bima, kekuatannya pulih kembali seperti semula, dan bahkan menjadi
semakin segar. Bimasena kemudian meloncat untuk menghampiri Prabu Arimba.
Berkat pertolongan Arimbi tubuh Bima yang
lunglai karena tersedot oleh ilmu Arimba telah pulih kembali. Ia bangun dan
menghampiri Arimba. Kini keduanya siap melanjutkan perang tanding. Sebentar
kemudian perang tanding babak kedua terjadi. Lagi-lagi tenaga Bima cepat
menyusut, sedangkan tenaga Arimba malah semakin bertambah.
Arimbi dapat memahami apa yang dilakukan
Arimba kakanya, bahwa untuk menghadapi lawan setangguh Bima tiada pilihan lain
kecuali mengeluarkan ilmu andalan Pringgandani yang khusus diwariskan kepada
pemegang tahta. Ilmu andalan tersebut mempunyai daya sedot tenaga lawan. Proses
penyedotan berlangsung pada saat terjadi benturan badan. Maka semakin sering
dan semakin cepat badan beradu, akan semakin cepat pula tenaga tersedot.
Demikian yang terjadi pada diri Bima,
tenaganya cepat menyusut tanpa diketahui penyebabnya. Hanya beberapa saat
setelah perang tanding babak ke dua berlangsung, Bima sudah kehabisan tenaga.
Ia tak mampu lagi melanjutkan perang tanding. Ia heran dengan apa yang terjadi
pada dirinya. Semakin ia bernafsu melumpuhkan lawannya, semakin cepat tenaganya
hilang.
Kesedihan menggumpal di hati Bima. Sedhih
bukan karena ia takut kalah dan takut mati, melainkan ia meratapi mengapa
dirinya tidak mampu berbuat banyak.
Dengan tenaga yang masih tersisa, ia
mencoba berteriak memberi khabar kepada Ibu dan saudara-saudaranya, untuk pamit
mati. Namun dikarenakan tenaganya sangat lemah, tidak ada teriakan, yang ada
adalah rintihan kekalahan yang hampir tak terdengar.
“Ibu Kunthi aku kalah. Aku pamit mati.
Anakmu tidak berdaya, tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Kunthi Ibuku aku mohon
ampun, Punta kakakku dan adik-adikku maafkan aku.”
Matahari di ujung kulon semakin redup
sinarnya. Sebentar lagi ia akan masuk keperaduan. Seakan-akan ia sengaja
meninggalkan Bimasena karena tak sampai hati melihat orang terkuat di Pandhawa
itu jatuh dalam ketidak berdayaan.
Sementara itu, Arimba yang melihat Bima
tidak berdaya, hanya tertawa ringan. Ia tidak melakukan tindakan apapun juga
terhadap lawannya yang sudah tidak berdaya. Arimba masih mencoba menghidupi
jiwa kesatrianya, seperti yang diteladankan ayahnya Prabu Tremboko. Ia
meninggalkan musuhnya dalam ketidak berdayaan, untuk memberi kesempatan
memulihkan tenaganya.
Malam merambat pelan, sayup-sayup
terdengar kidung pilu ditengah gulitanya hutan. Kunthi Puntadewa, Arjuna dan si
kembar Nakula Sadewa berada dalam kecemasan. Mereka menanti Bima yang tak
kunjung datang. Arjuna diutus menerobos lebatnya pepohonan dalam malam yang
pekat, untuk menemukan Bima.
Pada waktu yang bersamaan dengan usaha
Arjuna mencari Bima. Arimbi mendekati Bima dengan hati-hati. Disadarinya bahwa
Bima tidak menyukai dirinya, membenci raut mukanya yang berparas raseksi. Namun
Arimbi tahu bahwa Bima tak kuasa mengusirnya atau bahkan meninggalkan dirinya.
Seperti ketika dikipasi dengan daun jati, Bima hanya pasrah.
Setelah berada disamping Bima, Arimbi
melakukan hal yang sama, seperti yang pernah dilakukan sebelumnya, yaitu
mengipasi wajah Bima. Karena dengan cara demikian tenaga Bima cepat pulih.
Walaupun Arimbi heran, mengapa semudah dan secepat itu tenaga Bima pulih, ia
tidak menemukan jawabannya.
Tidak seorangpun tahu kecuali Bima, bahwa
pada saat Arimbi meniupkan anginnya ke wajah Bima melalui kipas, Dewa Bayu,
datang bersamaan semilirnya angin malam, mengusap tubuh Bima sehingga menjadi
kuat dan segar.
Bima segera meloncat berdiri dan siap
untuk bertempur. Namun hari telah gelap, dan Arimba musuhnya tidak ada di
depannya, yang ada hanyalah Arimbi si raseksi yang ia benci. Segeralah Bima
meninggalkan tempat itu untuk menghindari Arimbi yang menjijikan.
Bima ingin menemui Kunthi dan
saudara-saudaranya, sembari menunggu mentari pagi untuk meneruskan perang
tanding melawan Arimba. Disepanjang langkahnya, Bima mencoba mengingat-ngingat
apa yang terjadi pada saat berperang tanding melawan Arimba? Ia heran mengapa
tenaganya cepat menjadi susut? Namun Bima tidak menemukan jawabannya.
Belum jauh Bima meninggalkan Arimbi yang
diam tak bergerak, bertemulah ia dengan Arjuna adiknya, keduanya berlangkulan
lega. Untuk kemudian bersama-sama menuju ke tempat Ibu Kunthi dan saudara-saudaranya
berada.
Diwaktu yang sama Arimbi menemui kakaknya
Prabu Arimba di kemah pinggir hutan.
“Kakanda Prabu, tidak lebih baikkah jika
Kakanda berdamai dengan Bimasena.?” Prabu Arimba tidak segera menjawab. Hatinya
sesak dan marah terhadap pertanyaan Arimbi. Bukankah adiknya tahu bahwa ketika
upacara wisuda raja, aku bersumpah dihadapan rakyat Pringgandani, bahwa aku
akan menagih hutang nyawa kepada Pandudewanata.
“Aku masih ingat, pada waktu penobatan
raja, Kakanda berjanji akan mengadakan perhitungan hanya dengan Pandudewanata,
tidak kepada anak-anaknya. Bimasena adalah anaknya. Ia tidak berdosa,
berdamailah dengannya Kakanda”
Benar juga kata Arimbi. Bima tidak
bersalah, ayahnya yang bersalah. Tetapi ayahnya sudah meninggal. Tidak mungkin
mengadakan perhitungan dengan orang yang sudah mati. Yang mungkin dilakukan
adalah mengadakan perhitungan dengan yang masih hidup. Dan wajarlah jika
kesalahan dan dosa orang tuanya ditimpakan kepada anaknya. Seperti halnya
kepopuleran, kehormatan dan nama baik orang tua, anaknyalah yang ikut merasakan
keuntungannya.
“Arimbi aku sudah bersumpah akan
mengadakan perhitungan dengan Pandudewanata. Dengan darahnya yang masih
mengalir di dalam pribadi anak-anaknya. Jika engkau lebih menyayangi Bimasena,
berpihaklah kepadanya dan lawanlah aku.”
Arimbi menangis. Ia tidak dapat memilih
diantara ke duanya. Ia menghormati dan mencintai Arimba sebagai pengganti orang
tuanya. Tetapi ia jatuh cinta kepada Bimasena.
Arimba habis kesabarannya. Adik yang
sesungguhnya ia cintai tersebut diusir dari hadapannya. Dengan terisak Arimbi
meninggalkan Arimba. Arimba menatap kepergian Arimbi dengan dingin. Hingga
gelap malam menelan bayangnya.
Tatkala pagi tiba, Arimbi sudah berada di
halaman rumah kayu tempat Kunthi dan ke lima anaknya tinggal. Bima menampakan
wajah gelap. Tidak senang atas kehadiran Arimbi. Maka kemudian Arimbi
diusirnya. Kunthi merasa kasihan kepada Arimbi.
“Sena anakku, jangan memperlakukan
sesamamu tidak dengan hormat dan merendahkan martabatnya. Kalau pun engkau
tidak senang jangan begitu caranya.”
“Ibunda, sejak awal aku sudah mengatakan
tidak senang, tetapi ia selalu membuatku risih dan jijik.”
Memang akhirnya Kunthi dapat ikut
merasakan apa yang dirasakan Bima, maka disarankannya agar Arimbi untuk
sementara menjauhi tempat itu.
Matahari belum begitu tinggi.Prabu Arimba
bergegas mendatangi Bimasena untuk segera membinasakan.anak-anak Pandu.
Gara-gara Arimbi, perang tak kunjung usai. Maka kali ini naluri raksasanya
lebih diberi tempat jika dibandingkan dengan sifat kesatrianya. Dengan
keganasannya ia ingin secepatnya membinasakan semua keturunan Pandu sebelum
matahari sepenggalah.
Bima cukup terkejut dan belum siap
mendapat serangan mendadak dari Prabu Arimba. Beruntung ia masih sempat
menghindar kesamping dan menusukkan Kuku Pancanaka ke dada Prabu Arimba. Namun
dada tersebut sangat ulet, tidak mampu ditembus Kuku Pancanaka. Arimba tak mau
melepaskan lawannya, segera ia menyusul dengan serangan berikutnya
Perang dahsyatpun terjadi lagi. Mereka
saling serang dan masing-masing berusaha untuk menjatuhkan lawannya. Kunthi,
Puntadewa, Harjuna, Nakula dan Sadewa, termasuk juga Arimbi cemas dibuatnya.
Sedangkan para pengawal Pringgandani. Tenang-tenang saja. Bahkan sesekali
diantara mereka melempar senyum ejekan kepada kubu Bimasena.
Arimba mulai mengetrapkan ajian
andalannya, maka setahap demi setahap tenaga Bima tersedot. Semakin banyak
tenaga yang dikeluarkan semakin banyak pula tenaga yang tersedot.
Perang tanding antara Prabu Arimba dan
Bimasena tidak banyak mengalami perubahan dibandingkan perang tanding
sebelumnya. Ketika Prabu Arimba mulai mengetrapkan ajian andalanya yang dapat
menyedot tenaga lawan, maka kekuatan Bimasena susut dengan cepat. Tidak hanya
itu, selain dapat menyedot tenaga lawan, ajian andalan Prabu Arimba menjadikan kulitnya
alot seperti janget, tidak luka oleh segala macam senjata tajam, termasuk juga
kuku Pancanaka.
Bima menyadari bahwa lawannya mulai
mengetrapkan ajian andalannya, yang dapat mencuri tenaga lawan dengan tidak
diketahui dan dirasakan oleh lawannya. Dua kali Bima menjadi korban ajian
tersebut, sehingga ia kehabisan tenaga di peperangan. Untunglah, pada saat itu
Arimba tidak mengabiskan Bima pada saat Bima tak berdaya. Namun untuk perang
tanding yang ke tiga ini, jauh berbeda dengan perang tanding sebelumnya. Prabu
Arimba tidak lagi menampakkan sifat kesatrianya, tetapi menonjolkan naluri
raksasa yang ganas. Sepak terjangnya tidak lagi tenang dan mantap, tetapi kasar
dan nagwur. Maka jika kali ini Bima sampai kehabisan tenaga di peperangan,
pastilah Arimba akan melumatkannya. Bima tidak mau jatuh di peperangan melawan
Arimba untuk ke tiga kalinya. Oleh karenanya Bima telah mempelajari bagaimana
cara menghadapi ilmu andalan Prabu Arimba, yaitu dengan mengurangi sentuhan
langsung dengan badan Arimba. Terlebih pada saat mengeluarkan tenaga besar,
karena tenaga yang akan tersedot juga besar.
Selain mengurangi benturan langsung, Bima
mengetrapkan ajian Angkusprana, angkus artinya kait dan prana artinya nafas
atau angin. Dengan mengetrapkan aji angkusprana, Bima dapat mengkait dan
menghimpun kekuatan angin dari Sembilan saudara tunggal bayu termasuk dirinya,
yaitu: Dewa Bayu, Dewa Ruci, Anoman, Wil Jajagwreka, Gajah Situbanda, Naga
Kuwara, Garuda Mahambira, dan Begawan Mainaka. Sembilan kekuatan angin yang
dihimpun menjadi satu, membuat tenaga Bima mampu bertahan dan mengimbangi aji
andalan Arimba. Sehingga perang tanding semakin panjang dan rame. Namun satu
hal yang menggelisahkan Bima, bahwa Prabu Arimba tidak dapat luka oleh kuku
pusaka Bimasena.
Menjelang tengah hari, Prabu Arimba
meningkatkan serangannya dan sangat berambisi untuk segera menghabisi Bima.
Bima kesulitan membendung serangannya dan mulai terdesak. Hantaman, tendangan
dan gigitan acap kali menghampiri tubuh Bima. Hingga pada akhirnya Prabu Arimba
berhasil menguasai Bimasena. Pada saat Bima akan dihabisi, tepat matahari
bertahta pada puncaknya, Arimbi berteriak nyaring
“Bima! Tusuk pusarnya!!”
Keduanya sama-sama terkejut. Arimba
memandang adiknya dengan ekspresi kemarahan. Jahanam Arimbi! Engkau bocorkan
titik kelemahanku. Sehabis hatinya mengumpat adiknya, Arimba memandang ke
langit, kearah matahari yang persis berada di atas kepalanya. Pada saat itulah,
Bima yang berada dalam cengkeramannya memanfaatkan kesempatan. Kuku ditangan
Bima modot, muncul keluar dan segeralah ditusukkan di pusar Arimba. Raja
raksasa sebesar anak gunung menggerang keras.. Bima kemudian menarik kukunya
dan menjauhi lawannya.
Pusar Arimba menganga karena luka. Ia
berjalan sempoyongan mendekati Arimbi adiknya. Bumi bergetar-getar karena
langkahnya yang berat. Arimbi sangat kecemasan. Ia menanti dan pasrah apa yang
akan dilakukan kakaknya, untuk menebus kesalahannya. Kunthi juga mencemaskan
keselamatan Arimbi dan memberi isyarat kepada Arjuna untuk waspada. Semua mata
tertuju kepada Arimba yang semakin gontai mendekati Arimbi.
Ketika tepat berada di depan Arimbi, raja
Raksasa yang tinggi besar tersebut jatuh bertumpu pada dua tangan dan lututnya.
Dugaan mereka yang mengamati peristiwa itu meleset. Prabu Arimba tidak
menumpahkan kemarahannya kepada Arimbi. Dengan nada berat dan patah-patah ia
berpesan kepada Arimbi, untuk menitipkan Negara Pringgandani dan merestui
hubungannya dengan Bima yang sakti perkasa dan kesatria.
Tangis Arimbi memecah hutan Waranawata,
mengiring gugurnya Kakanda Prabu Arimba, pengganti orang tuanya yang ia hormati
dan cintai. Arimbi sangat bersedih, dirinya merasa berdosa, atas kepergian
Kakanda Arimba ke alam keabadian
Siang hari itu, di saat matahari sedikit
bergeser dari puncaknya, para pengawal Pringgandani membawa pulang rajanya yang
sudah tidak bernyawa. Mereka tidak berani mengganggu Arimbi yang telah diwarisi
kekuasaan Negara Pringgandani secara lesan oleh Prabu Arimba.
Sepeninggalnya para pengawal Pringgandani,
Kunthi mendekati Arimbi, yang telah menyelamatkan nyawa Bimasena dan
saudara-saudaranya. Sebagai tanda terimakasihnya, Kunthi membisikan mantra
sakti ditelinganya. Dengan sepenuh hati Arimbi mendengarkan dan mngucapkan apa
yang dibisikan Kunthi.
Sebentar kemudian keajaiban terjadi,
Arimbi si raseksi perempuan berubah menjadi putri cantik, berkulit kuning
langsat dengan postur tubuh yang tinggi besar. Naluri lelaki Bima terpana, ia
mendekati Arimbi dan Arimbi pun segera menghaturkan sembah.
Semua mata memandang keduanya, dalam hati
mereka berkata sungguh mereka adalah pasangan yang pantas dan ideal.
Bima menundukkan kepalanya untuk
menatap Arimbi yang bersimpuh menyembah dan memeluk kaki Bima. Raseksi Arimbi
yang sudah menjelma menjadi seorang wanita nan cantik menawan mampu membuat
Bima terpana. Jika menuruti nalurinya sebagai lelaki, Bima ingin membungkuk,
memegang ke dua pundak Arimbi untuk diangkatnya dan kemudian dipeluknya
erat-erat, agar payudaranya menghangatkan dadanya. Jika hal itu yang dilakukan,
dapat dipastikan bahwa Arimbi bakal menyambut hangat pelukan Bima. Dikarenakan
Arimbilah yang pada awal mula jatuh cinta kepada Bima.
Namun gejolak keinginan Bima tidak dengan
serta merta dituruti. Sebagai seorang kesatria Bima berusaha untuk menjaga
citranya. Maka dibiarkannya tangan Arimbi memeluk kakinya. Tidak seperti
sebelumnya ketika masih berujud rakseksi, Bima merasa jijik dan selalu
menghindari Arimbi.
Kunthi, Puntadewa, Arjuna, Nakula dan
Sadewa memandangi keduanya dengan perasaan senang. Dalam hati mereka sepakat
bahwa pasangan Bimasena dan Arimbi merupakan pasangan yang serasi. Mereka juga
bersyukur karena Bimasena tidak lagi membenci Arimbi yang telah banyak membatu
Kunthi dan para Pandawa.
Arimbi merasa lega karena sembahnya
diterima Bima. Titik terang mulai memancarkan harapan bahwa cinta Arimbi bakal
diterima Bima. Ketika harapan mulai terbuka, Arimbi memberanikan diri untuk
maju selangkah lagi dengan melakukan ngaras pada yaitu mencium kaki Bima.
Ketika bibir Arimbi menyentuh kaki Bima, seluruh tubuh Bima bergetar, terutama
detak jantungnya yang berdetak semakin cepat. Untuk menormalkan kembali detak
jauntungnya, Bima memegang kedua pundak Arimbi, untuk di tarik ke atas, agar
bibir yang basah bak delima merekah tidak lagi menempel dikaki Bima. Arimbi
menuruti pundaknya diangkat Bima untuk berdiri berhadapan dengan Bima. Ke dua
pasang mata saling menatap. Entah apa yang terbaca di palung hati mereka yang
terdalam.
Hari-hari selanjutnya, Arimbi mengikuti
penggembaraan Kunthi dan Pandawa di hutan Waranawata. Hubungan Arimbi dan Bima
semakin intim. Kunthi mencoba membaca perasaan anak-anaknya selain Bima,
terutama Puntadewa, apakah ada sesuatu yang mengganjal dihatinya melihat
semakin dekatnya hubungan Bima dan Arimbi.
Untuk memastikannya Kunthi menemui
Puntadewa secara khusus.
“Puntadewa anakku, seperti yang kita lihat
bersama bahwa pertemuannya Bima dan Arimbi bukan aku yang merencana. Demikian
kedekatan mereka yang semakin dekat bukan pula karena aku.”
“Aku paham Ibunda Kunthi, bahwa semuanya
itu telah diatur oleh Sang Hyang Widiwasa”
“Jika demikian tentunya engkau sebagai
saudara sulung rela dan ikhlas seandainya adikmu Bima akan mempunyai dua
isteri.”
“Sungguh Ibunda Kunthi aku rela dan
ikhlas.”
Kunthi lega mendengar pernyataan
Puntadewa, walaupun dibalik kelegaan ada rasa kasihan terhadap Puntadewa.
Hari berikutnya seluruh anggota keluarga
termasuk Arimbi dikumpulkan oleh Kunthi. Hal tersebut dilakukan demi
membicarakan hubungan Bima dan Arimbi. Pada kesempatan tersebut Kunthi
menghendaki agar hubungan antara Bima dan Arimbi diresmikan menjadi suami
isteri. Mengingat bahwa diantara keduanya telah terjalin benang asmara yang
sedang bertumbuh, saling mengikat dan saling membutuhkan, sehingga jika
dipisahkan akan melukai keduanya.
Semua saudara Bima menyetujui kehendak ibu
Kunthi. Maka segera setelah memilih hari yang baik bagi pasangan Bima dan
Arimbi, mereka diresmikan sebagai suami isteri dengan selamatan yang sederhana.
Perkawinan Bima dengan Arimbi yang adalah
bangsa raksasa menyusul perkawian Bima dengan Nagagini yang adalah bangsa ular merupakan
wujud bahwa Pandawa Lima bisa manjing ajur ajer, luluh menjadi satu dengan
semua golongan manusia. Bima kesatria yang gagah perkasa patuh, sederhana,
berani, sakti, dan jujur memang pantas menjadi idaman banyak wanita. Oleh
karena kejujuran dan kesederhanaannya Bima tak pernah berpikir yang
macam-macam, tak pernah menolak dengan apa yang memang sudah menjadi tugasnya
dan kewajibannya.. Hidup ini dijalaninya dengan apa adanya, mung saderma
nglakoni hanya sebatas menjalani saja, karena sudah ada yang mengatur. Bagaikan
air, Bima mengalir begitu saja sesuai dengan kehendaknya. Oleh karenanya ketika
dipertemukan dengan Arimbi yang cantik Bima tak kuasa menolaknya.
Dengan pemahaman tersebut Bima tidak
merasa bersikap kurang ajar terhadap Puntadewa kakaknya yang telah dua kali
dilangkahi. Bima juga tidak merasa mengkianati Nagagini pada saat ia
bercengkerama dengan Arimbi.
Sedangkan dipihak Arimbi Bima adalah
segalanya. Hidup bersanding dengan Bima ibarat kejatuhan bulan di saat purnama,
mendapat keberuntungan penuh. Oleh karenanya Arimbi tega mengorbankan Arimba
Kakaknya demi cintanya kepada Bima.
Namun walaupun Arimbi telah bahagia
bersanding dengan pujaan hati, hatinya sedih juga saat mengingat gugurnya
Arimba yang sangat menyayangi dirinya. Sesungguhnya Arimbi tidak rela kalau
dianggap membunuh kakanya melalui kekasihnya. Yang dilakukan adalah membela
yang lemah tak berdaya. Jika akhirnya yang terjadi adalah kematian Kakaknya,
itu sungguh diluar perhitungannya. Arimbi tahu bahwa jika Prabu Arimba ditusuk
pusarnya ia akan lemas untuk sementara sehingga Bima dapat melepaskan
cengkeramannya. Namun ia tidak tahu bahwa pada saat Arimbi berteriak “tusuk
pusarnya” tepat pada saat bedug tengange, saat mata hari berada persis dipuncak
ketinggian. Saat itulah kulit Arimba menjadi lunak seperti gethuk dan dengan
mudah dikoyak dengan benda tajam. Dengan pembenaran tersebut Arimbi memperoleh
keringanan beban hatinya.
Beberapa bulan berlalu, Bima dan Arimbi
menjalani masa bualan madu.
“Kakanda Bima aku sunguh bahagia karena
benih dari buah cinta kita berdua telah tumbuh di rahimku. Aku mendambakan anak
laki-laki, agar nantinya dapat mewarisi Negara Pringgondani. Apakah Kanda Bima
setuju?” Tanya Arimbi manja. Bima menganguk-angguk sembari membetulkan posisi
duduknya, agar Arimbi tidak jatuh dari pangkuannya. Angin hutan meniup perlahan
mengusap sekujur tubuh mereka yang berpasihan.
Karena keinginan Arimbi yang ingi kembali
ke Pringgodani. Bima mengikutinya. Arimbi
dan Bima meninggalkan hutan Kamiyaka menuju Negara Pringgandani. Arimbi yang
sudah menjelma menjadi seorang putri cantik tinggi perkasa adalah seorang putri
raja yang bakal menggantikan Arimba kakaknya menjadi raja di Pringgandani. Maka
tidak mengherankan jika Arimbi mempunyai berbagai ilmu tingkat tinggi, salah satunya
adalah ilmu meringankan tubuh. Sehingga ia bisa terbang tanpa menggunakan
sayap.
Demikian
juga Bima pasangannya walaupun badannya besar perkasa, ia mempunyai ilmu
Angkusprana yang dapat menghimpun kekuatan angin dari Sembilan saudara tunggal
bayu termasuk dirinya, yaitu: Dewa Bayu, Dewa Ruci, Anoman, Wil Jajagwreka,
Gajah Situbanda, Naga Kuwara, Garuda Mahambira, dan Begawan Mainaka. Sembilan
kekuatan angin tersebut membuat Bima dapat melompat sangat jauh seperti
terbang. Sehingga dua sejoli itu laksana dua burung garuda perkasa terbang
membelah langit biru.
Sekejap
kemudian mereka telah menginjakan kakinya di Negara Pringgandani. Arimbi
mengamati suasana Kraton Pringgandani tempat ia lahir dan dibesarkan. Suasana
duka atas meninggalnya Prabu Arimba masih nampak pada pemasangan bendera,
umbul-umbul dan rontek. Arimbi merasa berdosa, karena gara-gara dialah Prabu
Arimba gugur di tangan Bima. Selagi merenung dalam kesedihan, Prajurit jaga
menghentikan langkah Arimbi dan Bima di pintu gerbang utama bagian luar kraton.
Arimbi menjelaskan bahwa dia adalah Arimbi raseksi yang sudah menjadi putri
berkat pertolongan Kunthi ibu Bima. Oleh karenanya Arimbi minta jalan mau masuk
kraton menemui adik-adiknya. Namun penjelasan Arimbi tidak dengan serta merta
dipercaya oleh prajurit jaga. Karena menurut aturan bagi orang asing yang ingin
memasuki wilayah inti kraton harus tinggal beberapa waktu di bilik panganti
untuk diperiksa oleh beberapa petugas yang ada. Namun Arimbi tidak mau
melakukannya. Bahkan Arimbi menjadi jengkel atas sikap para perajurit jaga yang
sudah tidak mengenalnya lagi dan besikeras menahannya.
Sebagai
salah satu pewaris tahta Pringgandani, perlakuan prajurit jaga sungguh
menyakitkan. Arimbi dan Bima dipaksa memasuki bilik panganti untuk diperiksa seperti
yang diberlakukan bagi orang asing.
Kesabaran
Arimbi tidak tersisa lagi. Prajurit jaga yang berlaku kasar terhadap dirinya
dilumpuhkan dalam sekejap. Melihat rekannya tersungkur tak berdaya prajurit
jaga yang lain mengepung Arimbi. Belum sempat mereka bergerak, Arimbi
mendahului menyerang mereka. Satu gebrakan sudah cukup bagi Arimbi untuk
melumpuhkan beberapa prajurit jaga sekaligus. Melihat beberapa rekannya jatuh
tak berdaya panglima jaga memerintahkan untuk menutup pintu gerbang dan salah
satu prajurit diperintahkan melapor kepada Brajadenta, salah satu adik Arimbi.
Sementara itu Panglima jaga mempersiapkan prajuritnya yang masih tersisa untuk
menjadi palang terakhir yang menghalangi Arimbi dan Bima masuk gerbang utama.
Arimbi
menoleh kepada Bima, untuk memohon persetujuan kepada kekasihnya bagaimana
sebaiknya yang dilakukan untuk menghadapi prajurit jaga yang sudah siaga penuh.
Bima menggelengkan kepala tanda tidak menyetujui Arimbi melakukan kekerasan.
Arimbi tersadar bahwa dirinya sudah bukan raseksi lagi. Arimbi adalah seorang
dewi yang cantik jelita. Ia menjadi malu kepada dirinya sendiri dan juga malu
kepada Bima. Bahkan dibalik itu ada rasa kawatir jika Arimbi berperangai
kembali sebagai raseksi Bima akan segera meninggalkannya. Maka segeralah Arimbi
menarik kembali amarahnya.
Ketika
hatinya menjadi dingin, Arimbi diingatkan akan sebuah ilmu yang menyatukan
anak-anak Prabu Tremboko yaitu aji pamomong. Dengan ilmu tersebut diantara
anak-anak Tremboko dapat saling berhubungan saling mengingatkan dan saling
menjaga walaupun mereka tidak berada dalam satu tempat. Sewaktu hidupnya, Prabu
Tremboko menggunakan ajian pamomong untuk menyatukan anak-anaknya, mengetahui
keberadaannya dan untuk melindunginya. Oleh karenannya Arimbi segera
mengetrapkan aji pamomong untuk mengabarkan keberadaannya kepada adik-adinya.
Para prajurit jaga siaga penuh mengira bahwa Arimbi sedang mempersiapkan
serangannya. Namun lama ditunggu dalam ketegangan serangan tak kunjung datang.
Bahkan dari pintu gerbang munculah adik-adik Arimbi mulai dari Prabakesa,
Brajadenta, Brajamusti, Brajawikalpa, Brajalamatan dan yang bungsu adalah Kala
Bendana. Mereka berhamburan menyambut Arimbi dengan gembira. Suasana berubah
menjadi haru. Para prajurit jaga ikut hanyut dalam keharuan. Walaupun Arimbi
sekarang sudah menjelma menjadi seorang dewi yang cantik jelita, mereka masih
mengenali Arimbi lewat aji pamomong. Keenam adik-adik Arimbi tak berkedip dalam
menatap Arimbi yang cantik. Terbayanglah diangan mereka, seorang raja putri
yang cantik menawan yang bakal memerintah Negara Pringgandani untuk masa-masa
yang akan datang.
Kedatangan
Arimbi mengubah suasana duka menjadi gembira. Adik-adik Arimbi dan rakyat
pringgandani yang sebagian besar adalah bangsa raksasa, akan terangkat
derajatnya mempunyai pewaris tahta putri cantik bak bidadari kahyangan.
Namun
ketika Arimbi mengenalkan Bima sebagai suaminya, Barajadenta dengan tegas
menolak. Bima adalah musuh rakyat Pringgandani. Bima adalah pembunuh Prabu
Arimba, maka harus dilenyapkan.
Pernyataan
Brajadenta dengan cepat merubah suasana haru dan gembira menjadi tegang.
Prajurit bersiaga kembali untuk mengamankan negara. Prabakesa, Brajadenta,
Brajamusti, Barajawikalpa dan Brajalamatan menantang Bima untuk mengadakan
perhitungan atas meninggalnya Prabu Arimba. Bima sebelumnya sudah siap
menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi pada dirinya. Maka dengan
tenang Bima meladeni tantangan adik-adik Arimbi.
Namun
sebelum perang terjadi Arimbi mendekati Bima sambil berbisik, “jangan lakukan
kekerasan, Kakanda Bima.
Jika
boleh memilih tentunya Arimbi akan memilh diantara Bima dan adik-adiknya tidak
perlu bertempur. Karena jika hal itu terjadi hati Arimbi akan dihimpit rasa
cemas dari dua penjuru, seperti yang pernah dirasakan ketika Bima bertempur
melawan Arimba. Disatu pihak Arimbi mencemaskan Bima suaminya, dipihak yang
lain Arimbi juga mengkawatirkan adik-adiknya. Namun apa boleh buat, untuk
menundukkan adik-adiknya tidak ada jalan lain kecuali bertempur. Harapannya
agar Bima dapat memenangkan pertempuran melawan adik-adiknya dengan tidak
menyisakan luka, baik luka di badan maupun luka di hati.
Dikarenakan
tidak ada pilihan lain Bima pun meladeni tantangan adik-adik Arimbi. Dengan
melangkah tenang namun berat Bima mendekati Brajadenta yang dipandang sebagai
pimpinan diantara mereka. Sebelum Bima mendekat semakin dekat, Brajadenta telah
memberi aba-aba kepada keempat adiknya untuk menyerang Bima secara serentak.
Maka sebentar kemudian terjadilah pertempuran sengit. Bima dikeroyok oleh
adik-adik Arimbi, kecuali Kala Bendana yaitu Prabakesa, Brajadenta, Brajamusti,
Brajawikalpa dan Brajalamatan.
Arimbi
yang menyaksikan pertempuran itu menilai bahwa pertempuran bakal berjalan seru
dan dahsyat. Karena masing-masing dari mereka mempunyai ilmu-ilmu tingkat
tinggi. Namun jika dibandingkan dengan Bima ilmu-ilmu yang dimiliki ke lima
adik-adinya masih berada dibawahnya. Tetapi dikarenakan kekuatan kelimanya
bergabung menjadi satu maka akan sungguh merepotkan Bima. Walaupun Bima
merasakan bahwasannya tingkat ilmu adik-adik Arimbi masih berada di bawah
Arimba, tidak ada niat di hati Bima untuk menganggap enteng serangan-serangan
mereka. Bima selalu waspada menunggu serangan demi serangan yang dilancarkan
adik-adik Arimbi jurus demi jurus secara bergantian. Bahkan kadang kala
putra-putra Pringgandani tersebut melakukan serangan secara serentak.
Menghadapi serangan beruntun Bima lebih memilih menunggu serangan dari pada
mengambil inisiatif menyerang. Hal tersebut dilakukan karena Bima tidak berniat
untuk menyakiti adik-adik Arimbi, seperti yang dibisikan Arimbi sebelumnya.
Setelah
pertempuran berjalan cukup lama, adik-adik Arimbi yang pada mulanya membenci
Bima sebagai seorang pembunuh Kakak Arimba, perlahan-lahan mulai mempertanyakan
kebencian itu. Benarkah Bima seorang pembunuh yang kejam dan wajib dibenci dan
dimusnahkan? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul setelah mereka merasakan bahwa
perilaku Bima tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya yaitu ganas dan kejam.
Pada kenyataannya Bima adalah seorang kesatria sejati yang penuh tatakrama juga
ketika Bima berada di medan laga. Dengan sifat Bima yang demikian dapat
dimungkinkan bahwa gugurnya Arimba di tangan Bima akibat dari pembelaan diri
Bima menghadapi serangan Prabu Arimba.
Watak
ksatria yang melekat pada pribadi Bima telah mengusik watak ksatria anak-anak
Pringgandani yang dahulu pernah ditanamkan oleh Prabu Tremboko. Dengan watak
ksatria tersebut lalu munculah kesadaran bahwa ilmu mereka masih berada di
bawah ilmu Bima. Walaupun mereka telah mengeroyok Bima, adik-adik Arimbi
tersebut sulit untuk mengalahkannya. Bahkan kemudian munculah rasa malu di hati
mereka karena mengeroyok seseorang adalah tindakkan yang jauh dari watak
ksatria.
Oleh
karenanya, seperti diberi aba-aba Prabakesa, Brajadenta, Brajamusti,
Brajawikalpa dan Brajalamatan mengendorkan serangan, untuk kemudian
menghentikan serangan. Para prajurit jaga pada heran melihatnya. Apa yang
terjadi? Brajadenta dapat membaca apa yang diinginkan oleh keempat adiknya.
Untuk itulah maka kemudian Brajadenta melangkah mendekati Bima. Semua mata
mengarahkan pandangannya kepada sosok Brjadenta. Apa yang akan diperbuat?
Setelah tepat di depan Bima, Brajadenta berkata “Kami mengaku kalah.”
Arimbi
melonjak senang, tawaran damai yang dibawa Arimbi telah diterima oleh
adik-adiknya. Selanjutnya terjadilah pemandangan yang mengharukan. Bima memeluk
adik-adik Arimbi satu persatu. Mereka telah menerima Bima sebagai bagian dari
keluarganya, tidak sebagai musuhnya.
Dengan
menghidupi watak ksatria, para putra Pringgandani yang berparas rasaksa dapat
ikhlas merelakan kematian Prabu Arimba dalam perang tading melawan Bima. Mereka
mengakui bahwa Bima memang seorang ksatria keturunan trah Girisarangan yang
sakti. Maka dari itu ada rasa bangga di hati mereka ketika Bima telah
menyunting Kakang Mbok Arimbi yang sudah menjadi jelita, dan menjadi satu
keluarga di Pringgandani.
Dengan
bergabungnya Bima di Pringgandani, para putra Pringgandani optimis menatap masa
depan negara Pringgandani. Karena pasangan Bima dan Arimbi telah mampu
menghidupi kembali watak ksatria yang telah diwariskan oleh para pendahulunya,
tat kala membangun dan mendirikan negara Pringgandani. Karena dengan watak
berani, bersih, jujur, dan tulus, yang menjadi ciri khas watak seorang ksatria,
negara Pringgandani telah menjadi besar. Dan akan semakin besar dan jaya
manakala nilai-nilai luhur yang telah diwariskan akan dihidupi dalam
menjalankan pemerintahan negara Pringgandani.
Waktu
merambat pelan, untuk beberapa waktu Bima tinggal di Pringgandani membantu dan
mendampingi Arimbi dalam menata pemerintahan yang telah beberapa waktu komplang
tanpa raja. Seiring dengan penataan kerajaan, kandungan Arimbi bertambah
semakin besar. Ada secercah kebahagiaan dan harapan yang berkaitan dengan bayi
yang dikandung. Tangan Bima dan Arimbi meraba lembut perut Arimbi dengan sebuah
permohonan yang bulat dan utuh, jadikanlah anak ini seorang raja ksatria yang
membawa kejayaan negara Pringgandani.
Suasana
duka masih terasa sejak kepergian Raja besar Pringgandani untuk selamanya.
Prabu Arimba telah mempercayakan negara Pringgandani kepada Arimbi. Senyum
abadi yang ditinggalkan Prabu Arimba memberi semangat optimisme untuk
mewujudkan harapan akan kebesaran dan kejayaan Negara Pringgandani.
Berangsur-angsur
mendung kesedihan yang menggelayut di langit Pringgandani tersibak. Negara
mulai tertata dan pulih kembali seperti sebelum Prabu Arimba meninggal. Atas
kesepakatan ke enam adik-adik Arimba, yang terdiri dari Prabakesa, Brajadenta,
Brajamusti, Brajawikalpa, Brajalamatan dan Kala Bendana, Arimbi sebagai saudara
paling tua ditunjuk menggantikan Prabu Arimba untuk menjalankan pemerintahan
Pringgandani.
Beberapa
bulan Bima menjalani hidup dengan Arimbi di Pringgandani. Jika menuruti
perasaan hatinya Bima ingin mendampingi Arimbi, setidak-tidaknya sampai dengan
kelahiran anak yang dikandung Arimbi. Namun hatinya gundah juga mengingat bahwa
Bima telah berjanji kepada Ibu Kunthi untuk tidak meninggaklkan
saudara-saudaranya terlalu lama. Kegundahan hati Bima diungkapkan kepada
Arimbi, dan disepakati untuk sementara waktu Bima kembali menemui Ibu Kunthi
dan saudara-saudaranya di hutan Kamiyaka. Dan jika sampai pada saatnya bayi
yang dikandung Arimbi lahir, Bima akan kembali ke Pringgandani.
Tidak
membutuhkan waktu yang terlalu lama, Bima telah sampai di hadapan Ibu dan
saudara-saudaranya. Mendengar cerita bahwa pada akhirnya Bima diterima sebagai
saudara tua oleh adik-adik Arimbi dan menjadi bagian dari Negara Pringgandani,
Kunthi dan saudara-saudara Bima dipenuhi dengan rasa sukacita.
Pagi
itu udara sungguh cerah. Kehangatan sinar mentari mampu menembus lebatnya
dedaunan hutan Kamiyaka. Kunthi memandangi sepasang burung prenjak yang
berkicau bersautan, tak henti-hentinya. Kicau sepasang burung Prenjak jantan
dan betina tersebut selain membangkitkan suasana keceriaan alam semesta juga
dapat dibaca sebagai pertanda alam bagi manusia.. Jika sepasang burung Prenjak
tersebut berkicau di arah barat rumah, itu pertanda jelek, akan ada tamu yang
mengajak bertengkar. Jika sepasang burung Prenjak tersebut berkicau di arah Timur
rumah, itu pertanda jelek juga, karena akan terjadi kebakaran. Jika sepasang
burung Prenjak berkicau mengitari rumah, itu pertanda baik, akan mendapat
rejeki dari jerih payahnya. Jika sepasang burung Prenjak, berkicau bersautan di
arah selatan rumah, itu pertanda baik, akan ada tamu bangsawan yang berkendak
baik. Jika sepasang burung Prenjak berkicau di arah utara rumah, itu pertanda
sangat baik, akan ada tamu seorang guru memberi wangsit yang benar dan suci.
Benarkah
akan ada tamu agung, seorang resi, pandita atau begawan yang datang di Hutan
Kamiyaka ini? Dengan menengarai sepasang burung Prenjak yang tak henti-hentinya
berkicau bersautan di sebelah utara rumah kayu ini. Jika benar pertanda
tersebut, Kunthi tidak bisa memperkirakan siapakah sesepuh yang bakal datang.
Karena selain Resi Bisma, Yamawidura, Begawan Abiyasa dan Semar tidak ada lagi
orang yang dianggap agung dan suci. Namun apakah mungkin salah satu di antara
empat orang agung tersebut datang ke Hutan Kamiyaka ini?
Semenjak
peristiwa bale sigala-gala, Kunthi dan anak-anaknya sengaja mengasingkan diri
menyamar sebagai orang sudra yang hidup menggembara dari hutan ke hutan. Kunthi
menitipkan pesan kepada Kanana abdi setia Yamawidura yang berjasa membuat
terowongan rahasia yang dipakai oleh Hyang Antaboga dan Nagatamala untuk
menyelamatkan Kunthi dan Pandawa dari peristiwa Balesigala-gala. Pesan yang
disampakai kepada Kanana adalah bahwa Kunthi dan anak-anaknya janganlah dicari
untuk diajak pulang ke Panggombakan. Biarlah anak-anaknya terutama sikembar
Nakula dan Sadewa melupakan trauma prahara Balesigala-gala.
Matahari
telah bergeser condong ke ujung kulon, pertanda hari telah beranjak dari siang.
Tamu agung yang dinanti Kunthi dalam hati belum juga datang. Seperti biasanya,
setelah panas matahari berkurang, Arjuna selalu menyempatkan diri mengajari
adiknya Nakula dan Sadewa untuk berolah senjata panah. Sedangkan Kunthi,
Puntadewa dan Bima melihat dari kejauhan. Mereka cukup puas melihat kecerdasan
dan ketrampilan Nakula dan Sadewa. Pada saat Kunthi melupakan pertanda yang
dikabarkan kicau sepasang burung Prenjak di sebelah utara rumah, mendadak dari
kejauhan, arah matahari tenggelam ada dua orang yang datang dengan langkah
ringan, Mereka adalah Begawan Abiyasa dan pamomongnya yaitu Semar. Dapat dibayangkan
betapa mengharukan pertemuan itu. Setelah bertahun-tahun mereka tidak saling
berjumpa, sekarang bertemu di hutan yang kotor, beratap daun dan berlantai
tanah. Namun satu hal yang disyukuri bahwa mereka berjumpa dalam keadaan
selamat dan sehat walafiat.
Abiyasa
adalah sosok mertua yang sangat dihormati Kunthi lebih dari Prabu Basukunthi
ayahnya sendiri. Oleh karena kedatangannya di Hutan Kamiyaka yang tak dinyana
sebelumnya sungguh membuat hati Kunthi dan para Pandawa merasa tentram dan
damai. Kunthi sangat terharu atas usaha panjang yang dilakukan rama Begawan
Abiyasa untuk menemukan dirinya dan anak-anaknya. Tidak Nampak keletihan yang
disandang pada kedua orang tua tersebut. Wajahnya tetap ceria berwibawa dan
suci.
Tentunya
selain ingin mendapati menantu dan cucu-cucunya dalam keadaan selamat, ada hal
khusus dan penting yang ingin disampaikan oleh Abiyasa dan Semar. Di ruang yang
tidak begitu luas dengan diterangi oleh lampu minyak Begawan Abiyasa
menyampaikan beberapa hal khusus kepada Kunthi dan Pandawa Lima.
“Kunthi
dan cucuku Pandawa, semenjak peristiwa Balesigala-gala, Negara HAstinapura
mewartakan kabar resmi, bahwa Kunthi dan Pandawa Lima telah mati terbakar,
Hanya Yamawidura dan Kanana abdinya yang mengetahui keadaan kalian yang
sesungguhnya. Namun keadaan kalian yang selamat dari peristiwa Balesigala-gala
tidak diungkapkan oleh Yamawidura kepada Prabu Destarastra, dengan
pertimbangan, agar para Kurawa tidak memburu kalian untuk dilenyapkan. Oleh
karenanya aku sengaja tidak memanggil kalian untuk pulang di Panggomabakan.
Tetapi tanpa sepengetahuan kalian, aku telah mengutus Semar untuk selalu
memomong kalian dari kejauhan.
Namun
saat ini adalah saat yang tepat untuk menunjukkan dirimu kepada kawula
HAstinapura dan para Kurawa bahwa Pandawa Lima selamat tidak kurang sesuatu apa
pun. Tentunya rakyat akan mengelu-elukanmu dengan gegap gempita. Dan meyakini
bahwa kalian adalah titah terpilih yang diutus dewa untuk memayu hayuning
bawana.
“Kebetulan
saat ini dibuka sayembara memanah di Cempalaradya,” kata Semar. “Bukankah ndara
Arjuna adalah ahli panah yang mumpuni. Itu artinya bahwa ndara Arjuna mendapat
kesempatan emas untuk memenangkan sayembara. Pada hal bagi siapa yang berhasil
akan mendapatkan putri Prabu Durpada yang bernama Durpadi.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar