Anda tahu patriotisme
merupakan wujud sikap cinta tanah air. Pendidikan yang baik adalah pendidikan
yang menyentuh aspek jiwa pada pelajar. Patriotisme membawa kemajuan bangsa
apalagi dalam bidang pendidikan. Sikap patriotisme, nasionalisme, dan hidup mandiri
merupakan hal yang sangat penting. Karena akan membawa kemakmuran dan kemajuan
suatu bangsa. Program ini harus ditanamkan pada anak sejak dini. Dengan
menanamkan sikap tersebut sejak dini generasi penerus Anda mampu bertindak
sesuai dengan nuraninya dan mampu membangun bangsa tanpa tergantung pada bangsa
lain.
Mengingat pentingnya
hal tersebut sehingga harus diajarkan pada anak sejak usia dini. Sebab
pendidikan yang diberikan pada anak sejak dini dapa memberikan dasar
pengetahuansecara spiritual, emosional, dan intelektual dalam mencapai potensi
yang optimal. Jika pendidikan sudah diberikan dengan tepat sesuai dengan bakat
dan lingkungan peserta maka lima atau sepuluh tahun ke depan negara Anda akan
memiliki aset SDM yang berkualitas dan tangguh sehingga dapat bersaing dengan
bangsa lain dan memiliki keunggulan.
“….Sejarah nasionalisme
Indonesia tidak selalu harus berkaitan dengan partai politik dan kolonialisme.
Kebebasan yang merupakan salah satu jiwa yang penting dari nasionalisme dapat
digunakan untuk melihat munculnya generasi muda yang memberontak terhadap
berbagai tradisi”, (Bambang Purwanto, 2005).
Setiap tanggal 20 Mei,
di negeri ini selalu diperingati Hari Kebangkitan Nasional. Terlepas bahwa hal
itu masih merupakan polemik dengan Sarekat Islam (SI, 1905), namun ia penting
diperingati sebagai sebuah refleksi positif bagi bangsa Indonesia. Peringatan
Harkitnas menjadi sesuatu yang penting ketika ia dijadikan sebuah refleksi bagi
bangsa yang sedang membangun dari berbagai aspek kehidupan. Paling tidak,
seluruh komponen masyarakat ini, baik itu para penyelenggara negara
(pemerintah) dan seluruh jajarannya, dan masyarakat pada umumnya memiliki
kesadaran sejarah yang tinggi untuk kemudian dijadikan sebagai bahan pelajaran,
bahwa dulu Anda pernah bangkit. Kesadaran itu tentu sangat berpotensi untuk
meningkatkan atau membangunkan kembali anak bangsa ini yang sedang tertidur
lelap. Kesadaran ini sangat diharapkan pula mampu “membius” masyarakat
Indonesia agar dapat berkarya yang lebih baik, produktif tidak konsumtif dan
tentu dapat berkompetisi dan bersanding dengan negara-negara lain di dunia,
atau paling tidak di Asia.
Selama ini, tentu Anda
telah mempunyai pemahaman sendiri-sendiri tentang cerita bagaimana proses
bangkitnya masyarakat Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Cerita itu bisa saja
diperoleh dari para guru sejarah, pemerhati sejarah, sejarawan atau dari
buku-buku sejarah. Kesamaan cerita itu paling tidak memberikan gambaran bahwa,
kebangkitan nasional muncul akibat kolonialisme. Tentu kesimpulan ini tidak
seutuhnya salah, karena memang salah satu pemicu bangkitnya bangsa ini adalah
karena adanya berbagai eksploitasi sumberdaya manusia (SDM) dan sumber daya
alam (SDA) oleh Pemerintah Hindia Belanda sejak kedatangannya di Nusantara ini
(VOC, 1602).
Anda semua pasti tahu,
berdasarkan buku sejarah yang telah Anda baca, selalu menjelaskan bagaimana
aktivitas Pemerintah Hindia Belanda selama ia menginjakkan kakinya di negeri
ini. Namun dalam hal ini, Anda tidak mengatakan bahwa Indonesia telah dijajah
selama 350 tahun. Berbagai aktivitas itu, seperti adanya sistem tanam (cultuur
stelsel, bukan tanam paksa), pemberlakuan berbagai pajak dan undang-undang
yang membatasi kebebasan masyarakat pribumi, seperti ordonansi sekolah liar,
ordonansi guru, ordonansi haji, dsb.
Kesalahan cara berfikir
tentang nasionalisme muncul ketika disimpulkan bahwa bangkitnya bangsa ini
hanya semata-mata karena adanya kolonialisme dan imprealisme. Kesalahan ini
terus berlanjut, Anda tidak mampu menjelaskan kepada peserta didik (pada semua
tingkatan pendidikan) persoalan realitas sosial sejarah bangsa ini ketika
dijajah. Apakah misalnya ketika Anda tidak dijajah Belanda maka Anda tidak akan
pernah bangkit? Seharusnya pertanyaan ini dijawab “tidak”, dengan alasan bahwa
bangkitnya masyarakat pribumi adalah karena menginginkan “kebebasan”, dan
kehidupan yang lebih baik dari segala bidang kehidupan politik, ekonomi,
sosial, budaya dan agama.
Kenyataan tersebut
mengharuskan Anda untuk mendefinisikan ulang (redefinition) tentang nasionalisme
Indonesia. Hal ini perlu dilakukan sebagai upaya memahami kembali realitas
sosial pada masa lalu bangsa ini. Sehingga, sejarah tampak lebih adil dalam
memberikan keterangan kepada masyarakat luas. Definisi ulang di sini, tidak
dimaksudkan untuk mengatakan bahwa apa yang telah disampaikan oleh para guru
dan buku tentang kebangkitan nasional itu adalah salah, namun hanya ingin
mengatakan bahwa perlu sedikit memahami jika dalam memahami nasionalisme itu
tidak selalu berkaitan dengan kolonialisme.
Kolonialisme adalah
sebuah entitas yang ada pada waktu itu, yang juga merupakan bagian faktor
pendorong munculnya nasionalisme Indonesia. Namun, ada hal penting lainya yang
seperti (sengaja) dilupakan, yakni memahami perasaan masyarakat pribumi
(khususnya para pemudanya) pada waktu itu. Pada awal abad ke-20, para pemuda
memahami arti penting sebuah “kebebasan” dan keadilan. Pemuda Cokro, Sutomo,
Sukarno dan lainnya adalah orang-orang yang merasakan penting kebebasan dan
keadilan yag harus terus diperjuangkan. Jadi, proseslah yang kemudian membentuk
ide nasionalisme itu yang terakumulasi pada tanggal 20 Mei 1908, yakni
terbentuknya organisasi sosial kultural Budi Utomo, dan puncaknya tanggal 28
Oktober 1928, yakni dilantunkan “Sumpah Pemuda”: satu bangsa, satu tanah air
dan satu bahasa yakni Indonesia. Upaya para pemuda yakni dengan membentuk
berbagai organisasi, baik organisasi kebangsaan, keagamaan dan sosial kultural,
sebagai wadah untuk memperjuangkan nilai-nilai kebebasan dan keadilan itu.
Muncullah kemudian Budi Utomo, Sarekat Islam (SI), Indische Partij (IP), PNI
sebagai organisasi beraliran kebangsaan, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU),
Musyawaratutthalibin (organisasi lokal terbesar di Kalimantan, 1931) sebagai
organisasi keagamaan, serta berbagai organisasi sosial kultural seperti Taman
Siswa (Tamsis).
Bagaimana para elite
pemuda pribumi menggapai cita-cita kebebasan dan keadilan? Hal itu sangat
tampak berbagai program dan orientasi organisasi yang mereka jalankan.
Misalnya, SI sangat getol memperjuangkan ekonomi kerakyatan, yakni dengan usaha
batik di Solo. Melalui gerakan itu maka diharapkan masyarakat Indonesia dapat
hidup sejahtera tanpa tergantung kepada orang lain. Di samping itu, para elite
SI juga berusaha melakukan upaya resistensi terhadap berbagai
kecurangan-kecurangan dan penindasan yang dilakukan oleh para
ambtenaar-ambtenaar bumi putera maupun Eropa. Bahkan, sesekali juga ia
memperjuangkan Indonesia ke arah zelfbestuur (berpemerintahan sendiri).
Apa yang dilakukan oleh para elite SI adalah jelas sebagai upaya kebebasan dari
berbagai “penindasan” dan rasa keadilan. Ketika golongan Cina tampaknya
“berselingkuh” dengan pemerintah kolonial, maka para elite SI dengan cepat
tanggap merubah arah perjuangan yakni dengan meningkatkan usaha ekonomi rakyat agar
dominasi Cina atas perdagangan dapat di atasi. Berbagai tradisi yang membatasi
ke arah kemajuan, juga merupakan pemicu utama munculnya kebangkitan itu, Begitu
pula dengan ide zelfbestuur adalah sebuah upaya untuk meraih sebuah
hakekat kebebasan.
Karena itu, mungkin
tidak berlebihan jika pemahaman Anda tentang kebangkitan nasional atau
nasionalisme Indonesia tidaklah selalu diidentikkan dengan kolonialisme, akan
tetapi bagaimana Anda memandang bahwa proses sejarah yang tampak merupakan
sebuah upaya meraih cita-cita kebebasan dan keadilan. Atau sebuah upaya
mendobrak berbagai tradisi yang memasung berbagai nilai-nilai kebebasan dan
keadilan. Hal itu sangat tampak ketika berbagai elite kebangsaan (sekuler) dan
agama (religious) secara bersama-sama melakukan aktivitas politik, ekonomi,
sosial, budaya (pendidikan) dan agama, dalam rangka upaya mengangkat harkat dan
derajat masyarakat pribumi sejak awal abad ke-20. Berdasarkan hal itu pula,
maka dapat disimpulkan bahwa nasionalisme adalah sebuah gejala modern yang
muncul pada awal abad ke-20 di kota-kota kolonial. Hal ini penting disampaikan
sebagai sebuah dekonstruksi atas fakta yang menyatakan bahwa nasionalisme
Indonesia sudah ada sebelum abad ke-20.
Kekhawatiran akan
merosotnya nasionalisme dan terjadinya disintegrasi nasional merebak di
mana-mana akhir-akhir ini. Hal ini, antara lain, juga tercermin dalam simposium
berjudul “Membangun Negara dan Mengembangkan Demokrasi dan Masyarakat Madani”
yang diselenggarakan oleh Komisi Ilmu-ilmu Sosial Akademi Ilmu Pengetahuan
Indonesia (AIPI) di Jakarta, Selasa, 8 Agustus 2006, di mana penulis juga
menyajikan makalah.
Di tengah wacana
mengenai nasionalisme yang pada umumnya dimulai dari tengah yakni langsung
membicarakannya sebagai fenomena masyarakat modern yang dikaitkan dengan
fenomena negara penulis coba mengangkat isu yang masih kurang dibicarakan
orang, yakni membicarakannya dalam konteks kondisi-kondisi dasar yang di
dalamnya dibangun bangsa (nation), kebangsaan (nasionalitas), dan rasa
kebangsaan (nasionalisme) Indonesia. Kondisi dasar yang dimaksud dalam tulisan
ini adalah suku bangsa.
Membicarakan suku
bangsa sebagai kondisi dasar berarti menempatkan konsep-konsep bangsa, negara,
dan nasionalisme secara posteriori. Dengan memahami suku bangsa sebagai kondisi
dasar, diharapkan pemahaman Anda tentang bangsa, kebangsaan, dan nasionalisme
akan menjadi lebih sistematik dan jernih.
Corak kebangsaan dan
nasionalisme sedikit banyak ditentukan oleh kondisi dasar tersebut, meskipun
dalam perjalanan zaman niscaya ada distorsi-distorsi yang dapat mengubah sosok
maupun muatan nasionalisme itu. Selanjutnya, dengan menempatkan negara dalam
konteks ini, maka negara dipandang sebagai bagian dari wilayah analisis yang
lebih luas, yakni sebagai external agent yang saling memengaruhi dengan
kondisi-kondisi lokal.
Karena titik tolak
pembicaraan ini adalah dari perspektif tradisional suku bangsa suatu kesatuan
sosial yang hidup di suatu teritorial tertentu, dan yang memiliki suatu
kebudayaanmaka pergeseran konsep ini menjadi konsep kelompok etnik, sebagai
konsekuensi dari proses menjadi kompleks masyarakat, menjadi penting
dibicarakan.
Para ahli antropologi
sependapat bahwa suku bangsa adalah landasan bagi terbentuknya bangsa. IM Lewis
(1985: 358), misalnya, mengatakan bahwa “istilah bangsa (nation) adalah satuan
kebudayaan tidak perlu membedakan antara suku bangsa dan bangsa karena
perbedaannya hanya dalam ukuran, bukan komposisi struktural atau fungsinya
segmen suku bangsa adalah bagian dari segmen bangsa yang lebih besar, meski berbeda
ukuran namun ciri-cirinya sama”.
Meski pernyataan ini menuai banyak kritik, khususnya terkait dengan isu “homogenitas” ini, jelas bahwa para antropolog sangat peduli bahwa suatu konsep sosial budaya harus memiliki dasar empirik dalam kenyataan, bukan konsep yang dibangun di awang- awang. Konsep bangsa tentulah memiliki akar empirik, yakni dari suku bangsa.
Meski pernyataan ini menuai banyak kritik, khususnya terkait dengan isu “homogenitas” ini, jelas bahwa para antropolog sangat peduli bahwa suatu konsep sosial budaya harus memiliki dasar empirik dalam kenyataan, bukan konsep yang dibangun di awang- awang. Konsep bangsa tentulah memiliki akar empirik, yakni dari suku bangsa.
Kebangsaan
(nationality) dan rasa kebangsaan (nationalism) saling berkaitan satu sama
lain. Rasa kebangsaan, biasanya juga disebut nasionalisme, adalah dimensi
sensorismeminjam istilah Benedict Anderson (1991[1983]) Imagined
Communitiesmerupakan konsep antropologi yang tidak semata-mata memandang
nasionalisme sebagai prinsip politik.
Dimensi sensoris yang
tak lain adalah kebudayaan ini memperjelas posisi antropologi yang berangkat
dari konsep suku bangsa, kesukubangsaan, bangsa, dan kebangsaan, sebagaimana
dibicarakan di atas. Inilah akar-akar bagi membicarakan rasa kebangsaan (nasionalisme)
itu. Rasa kebangsaan atau yang kerap kali juga disebut nasionalisme adalah
topik baru dalam kajian antropologi. Nasionalisme sebagai ideologi
negara-bangsa modern sejak lama adalah rubrik ilmu politik, sosiologi makro,
dan sejarah.
Perhatian antropologi
terhadap nasionalisme menempuh jalur yang berbeda dari disiplin-disiplin
tersebut yang menempatkan negara sebagai titik awal pembahasan. Sejalan dengan
tradisinya, antropologi menempatkan nasionalisme bersamaan dengan negara karena
kesetiaan, komitmen, dan rasa memiliki negara tidak hanya bersifat
instrumentalyakni keterikatan oleh prinsip politikmelainkan juga bersifat
sensorik yang berisikan sentimen-sentimen, emosi-emosi, dan perasaan-perasaan.
Dalam dimensi ini,
bangsa, kebangsaan, dan rasa kebangsaan menjadi suatu yang “imagined” (meminjam
istilah Benedict Anderson), yang berarti “orang- orang yang mendefinisikan diri
mereka sebagai warga suatu bangsa, meski tidak pernah saling mengenal, bertemu,
atau bahkan mendengar. Namun, dalam pikiran mereka hidup suatu image mengenai
kesatuan bersama. Itulah sebabnya ada warga negara yang mau mengorbankan raga
serta jiwanya demi membela bangsa dan negara.
MEDAN (Berita): 17
Agustus 2010, rakyat Indonesia kembali merayakan kemerdekaan yang
berhasil direbut para pejuang di tahun 1945 dari tangan penjajah. Hingga kini
sudah 65 tahun Anda merdeka, namun sejauh ini makna dari kemerdekaan itu masih
patut dipertanyakan. Menurut wakil rakyat dari Fraksi Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDI-P) DPRD Sumut Brilian Moktar, arti dari kemerdekaan
itu belum terlaksana secara murni dan konsekwen, terutama dalam hal yang
menyangkut kepentingan rakyat.
Hal itu, kata Bendahara
F PDIP ini, terlihat masih banyaknya poin-poin tertera dan menjadi amanah
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang belum bisa terlaksana hingga saat ini,
meski telah beberapa kali dilakukan amandemen, begitu juga halnya dengan makna
proklamasi. ”Mungkin arwah para pahlawan yang dengan pertumpahan darah
merebut kemerdekaan negeri ini juga akan menangis ketika mereka melihat kondisi
bangsa ini, dimana jiwa patriotisme dan nasionalisme pun semakin jauh
berkurang,” ucap Brilian Moktar. Dia bahkan memantau, nasionalisme yang kerap
digembar-gemborkan cenderung bukan tumbuh dari diri sendiri, melainkan
cenderung dari kelompok maupun organisasi.
Hal itupula yang
menyebabkan pelaksanaan UUD berjalan tidak konsekwen. “Karena jika tidak
melaksanakan ketentuan yang diatur dalam perundang-undangan itu berarti memang
nasionalismenya masih diragukan,’ucapnya.
Dalam hal ini, Brilian
memaparkan, makna proklamasi dan poin-poin tertera dalam UUD 1945 yang
konsekwensinya masih jauh dari harapan. “Seperti kalimat yang tertera dalam isi
proklamasi yakni, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan
bangsa, kenyataanya masih banyak rakyat yang hidupnya jauh dari sejahtera,”
ujar Ketua Komisi E DPRD Sumut ini.
Begitu juga dalam UUD
1945 yang menyangkut warga negara dan penduduk, kenyataannya, kata Brilian
untuk mengurus Kartu Tanda Penduduk (KTP) pun terkadang dipersulit. Meskipun
pemerintah telah menyatakan gratis dalam kepengurusan KTP, namun kenyataannya
banyak Pungli dilakukan oknum-oknum di lapangan. Beberapa poin lainnya,
menyangkut masalah Hak Azasi Manusia( HAM), agama sesuai pasal 29 ayat 2,
menurutnya juga belum terpenuhi.
Dalam persoalan agama ini, kata Brilian, kerap masih ditemukan permasalahan dan tidak ada ketegasan dari pemerintah dalam menyelesaikannya.
“Untuk membangun rumah ibadah terkadang juga sulit mendapatkan izin,’ ujarnya.
Dalam persoalan agama ini, kata Brilian, kerap masih ditemukan permasalahan dan tidak ada ketegasan dari pemerintah dalam menyelesaikannya.
“Untuk membangun rumah ibadah terkadang juga sulit mendapatkan izin,’ ujarnya.
Sementara dari sisi
hukum juga terkesan belum sepenuhnya berjalan, meskipun dalam UUD 1945
menyangkut pertahanan dan keamanan negara dalam hal ini institusi TNI dan Polri
disebutkan bertugas melindungi rakyat Indonesia. Dari sisi pendidikan, wacana
pemerintah memberikan sekolah gratis, kata Brilian malah disebut pihak-pihak
tertentu sebagai pembohohan. Begitu juga yang tercantum dalam pasal 33 terkait
perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial juga jauh dari terlaksana. Sedangkan
harapannya, kedepan yang tentunya juga menjadi harapan seluruh bangsa
Indonesia, Brilian menegaskan pemerintah harus berani menjalankan
program-program dengan kembali mencontoh beberapa keberhasilan pemerintahan
masa orde baru. ‘Tidak ada salahnya yang baik Anda contoh dan yang tidak baik
Anda buang,” ucapnya.
Beberapa keberhasilan
pada masa pemerintahan lalu, misalnya kata Brilian, dengan menggalakkan kembali
sistem transmigrasi, keluarga berencana. Sektor pendidikan, lanjutnya juga
harus menjadi landasan barometer pembangunan kedepan. ‘Pelaksanaan anggarannya
harus mendapat skala priorits, tegasnya. Meskipun kata Brilian pemerintah telah
menetapkan 20 persen anggaran untuk pendidikan dan 10 persen untuk sekto
kesehatan dari jumlah APBD masing-masing daerah, namun hingga kini
pelaksanaannya masih ‘amburadul’.
Itulah dalam hal
bagaimana rasa Nasionalisme dan Patriotisme memulai memundar dengan adanya
kemajuan dan kecanggih teknologi ditengah masyarakat Indonesia. Dalam hal ini
saya sebagai seorang yang menulis buku ini ingin memberikan pengaruh dalam diri
Anda untuk tetap mencintai bangsa dan Negara.
Proses ini memang
sedikit agak rumit tapi saya yakin dengan pola pikir Imajinasi akan memberikan
pengaruh – pengaruh yang terbaik bagi diri Anda. Dalam pembelajaran selanjutnya
saya akan memberikan rasa dan jiwa Anda untuk membaca puisi yang saya buat ini.
Dengan membaca dan menghayati maka rasa Nasionalisme dan Patriotisme dalam diri
Anda mudah – mudah akan bangkit dan bergelora.
Baca dan rasakan dalam jiwa
dan rasa Anda secara benar dan nyata. Maka diri Anda akan bangun dari tidur
panjang Anda. Sikap Nasionalisme dan Patriotisme akan tumbuh dan berkembang
dalam diri Anda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar