Patriotisme Dan Imajinasi dalam Pendidikan - Sastra Education

Breaking

Senin, 06 Juni 2016

Patriotisme Dan Imajinasi dalam Pendidikan






Anda tahu patriotisme merupakan wujud sikap cinta tanah air. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang menyentuh aspek jiwa pada pelajar. Patriotisme membawa kemajuan bangsa apalagi dalam bidang pendidikan. Sikap patriotisme, nasionalisme, dan hidup mandiri merupakan hal yang sangat penting. Karena akan membawa kemakmuran dan kemajuan suatu bangsa. Program ini harus ditanamkan pada anak sejak dini. Dengan menanamkan sikap tersebut sejak dini generasi penerus Anda mampu bertindak sesuai dengan nuraninya dan mampu membangun bangsa tanpa tergantung pada bangsa lain. 

 
Mengingat pentingnya hal tersebut sehingga harus diajarkan pada anak sejak usia dini. Sebab pendidikan yang diberikan pada anak sejak dini dapa memberikan dasar pengetahuansecara spiritual, emosional, dan intelektual dalam mencapai potensi yang optimal. Jika pendidikan sudah diberikan dengan tepat sesuai dengan bakat dan lingkungan peserta maka lima atau sepuluh tahun ke depan negara Anda akan memiliki aset SDM yang berkualitas dan tangguh sehingga dapat bersaing dengan bangsa lain dan memiliki keunggulan.

“….Sejarah nasionalisme Indonesia tidak selalu harus berkaitan dengan partai politik dan kolonialisme. Kebebasan yang merupakan salah satu jiwa yang penting dari nasionalisme dapat digunakan untuk melihat munculnya generasi muda yang memberontak terhadap berbagai tradisi”, (Bambang Purwanto, 2005).

Setiap tanggal 20 Mei, di negeri ini selalu diperingati Hari Kebangkitan Nasional. Terlepas bahwa hal itu masih merupakan polemik dengan Sarekat Islam (SI, 1905), namun ia penting diperingati sebagai sebuah refleksi positif bagi bangsa Indonesia. Peringatan Harkitnas menjadi sesuatu yang penting ketika ia dijadikan sebuah refleksi bagi bangsa yang sedang membangun dari berbagai aspek kehidupan. Paling tidak, seluruh komponen masyarakat ini, baik itu para penyelenggara negara (pemerintah) dan seluruh jajarannya, dan masyarakat pada umumnya memiliki kesadaran sejarah yang tinggi untuk kemudian dijadikan sebagai bahan pelajaran, bahwa dulu Anda pernah bangkit. Kesadaran itu tentu sangat berpotensi untuk meningkatkan atau membangunkan kembali anak bangsa ini yang sedang tertidur lelap. Kesadaran ini sangat diharapkan pula mampu “membius” masyarakat Indonesia agar dapat berkarya yang lebih baik, produktif tidak konsumtif dan tentu dapat berkompetisi dan bersanding dengan negara-negara lain di dunia, atau paling tidak di Asia.
Selama ini, tentu Anda telah mempunyai pemahaman sendiri-sendiri tentang cerita bagaimana proses bangkitnya masyarakat Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Cerita itu bisa saja diperoleh dari para guru sejarah, pemerhati sejarah, sejarawan atau dari buku-buku sejarah. Kesamaan cerita itu paling tidak memberikan gambaran bahwa, kebangkitan nasional muncul akibat kolonialisme. Tentu kesimpulan ini tidak seutuhnya salah, karena memang salah satu pemicu bangkitnya bangsa ini adalah karena adanya berbagai eksploitasi sumberdaya manusia (SDM) dan sumber daya alam (SDA) oleh Pemerintah Hindia Belanda sejak kedatangannya di Nusantara ini (VOC, 1602).
Anda semua pasti tahu, berdasarkan buku sejarah yang telah Anda baca, selalu menjelaskan bagaimana aktivitas Pemerintah Hindia Belanda selama ia menginjakkan kakinya di negeri ini. Namun dalam hal ini, Anda tidak mengatakan bahwa Indonesia telah dijajah selama 350 tahun. Berbagai aktivitas itu, seperti adanya sistem tanam (cultuur stelsel, bukan tanam paksa), pemberlakuan berbagai pajak dan undang-undang yang membatasi kebebasan masyarakat pribumi, seperti ordonansi sekolah liar, ordonansi guru, ordonansi haji, dsb.
Kesalahan cara berfikir tentang nasionalisme muncul ketika disimpulkan bahwa bangkitnya bangsa ini hanya semata-mata karena adanya kolonialisme dan imprealisme. Kesalahan ini terus berlanjut, Anda tidak mampu menjelaskan kepada peserta didik (pada semua tingkatan pendidikan) persoalan realitas sosial sejarah bangsa ini ketika dijajah. Apakah misalnya ketika Anda tidak dijajah Belanda maka Anda tidak akan pernah bangkit? Seharusnya pertanyaan ini dijawab “tidak”, dengan alasan bahwa bangkitnya masyarakat pribumi adalah karena menginginkan “kebebasan”, dan kehidupan yang lebih baik dari segala bidang kehidupan politik, ekonomi, sosial, budaya dan agama.     
Kenyataan tersebut mengharuskan Anda untuk mendefinisikan ulang (redefinition) tentang nasionalisme Indonesia. Hal ini perlu dilakukan sebagai upaya memahami kembali realitas sosial pada masa lalu bangsa ini. Sehingga, sejarah tampak lebih adil dalam memberikan keterangan kepada masyarakat luas. Definisi ulang di sini, tidak dimaksudkan untuk mengatakan bahwa apa yang telah disampaikan oleh para guru dan buku tentang kebangkitan nasional itu adalah salah, namun hanya ingin mengatakan bahwa perlu sedikit memahami jika dalam memahami nasionalisme itu tidak selalu berkaitan dengan kolonialisme.
Kolonialisme adalah sebuah entitas yang ada pada waktu itu, yang juga merupakan bagian faktor pendorong munculnya nasionalisme Indonesia. Namun, ada hal penting lainya yang seperti (sengaja) dilupakan, yakni memahami perasaan masyarakat pribumi (khususnya para pemudanya) pada waktu itu. Pada awal abad ke-20, para pemuda memahami arti penting sebuah “kebebasan” dan keadilan. Pemuda Cokro, Sutomo, Sukarno dan lainnya adalah orang-orang yang merasakan penting kebebasan dan keadilan yag harus terus diperjuangkan. Jadi, proseslah yang kemudian membentuk ide nasionalisme itu yang terakumulasi pada tanggal 20 Mei 1908, yakni terbentuknya organisasi sosial kultural Budi Utomo, dan puncaknya tanggal 28 Oktober 1928, yakni dilantunkan “Sumpah Pemuda”: satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa yakni Indonesia. Upaya para pemuda yakni dengan membentuk berbagai organisasi, baik organisasi kebangsaan, keagamaan dan sosial kultural, sebagai wadah untuk memperjuangkan nilai-nilai kebebasan dan keadilan itu. Muncullah kemudian Budi Utomo, Sarekat Islam (SI), Indische Partij (IP), PNI sebagai organisasi beraliran kebangsaan, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Musyawaratutthalibin (organisasi lokal terbesar di Kalimantan, 1931) sebagai organisasi keagamaan, serta berbagai organisasi sosial kultural seperti Taman Siswa (Tamsis).
Bagaimana para elite pemuda pribumi menggapai cita-cita kebebasan dan keadilan? Hal itu sangat tampak berbagai program dan orientasi organisasi yang mereka jalankan. Misalnya, SI sangat getol memperjuangkan ekonomi kerakyatan, yakni dengan usaha batik di Solo. Melalui gerakan itu maka diharapkan masyarakat Indonesia dapat hidup sejahtera tanpa tergantung kepada orang lain. Di samping itu, para elite SI juga berusaha melakukan upaya resistensi terhadap berbagai kecurangan-kecurangan dan penindasan yang dilakukan oleh para ambtenaar-ambtenaar bumi putera maupun Eropa. Bahkan, sesekali juga ia memperjuangkan Indonesia ke arah zelfbestuur (berpemerintahan sendiri). Apa yang dilakukan oleh para elite SI adalah jelas sebagai upaya kebebasan dari berbagai “penindasan” dan rasa keadilan. Ketika golongan Cina tampaknya “berselingkuh” dengan pemerintah kolonial, maka para elite SI dengan cepat tanggap merubah arah perjuangan yakni dengan meningkatkan usaha ekonomi rakyat agar dominasi Cina atas perdagangan dapat di atasi. Berbagai tradisi yang membatasi ke arah kemajuan, juga merupakan pemicu utama munculnya kebangkitan itu, Begitu pula dengan ide zelfbestuur adalah sebuah upaya untuk meraih sebuah hakekat kebebasan.
Karena itu, mungkin tidak berlebihan jika pemahaman Anda tentang kebangkitan nasional atau nasionalisme Indonesia tidaklah selalu diidentikkan dengan kolonialisme, akan tetapi bagaimana Anda memandang bahwa proses sejarah yang tampak merupakan sebuah upaya meraih cita-cita kebebasan dan keadilan. Atau sebuah upaya mendobrak berbagai tradisi yang memasung berbagai nilai-nilai kebebasan dan keadilan. Hal itu sangat tampak ketika berbagai elite kebangsaan (sekuler) dan agama (religious) secara bersama-sama melakukan aktivitas politik, ekonomi, sosial, budaya (pendidikan) dan agama, dalam rangka upaya mengangkat harkat dan derajat masyarakat pribumi sejak awal abad ke-20. Berdasarkan hal itu pula, maka dapat disimpulkan bahwa nasionalisme adalah sebuah gejala modern yang muncul pada awal abad ke-20 di kota-kota kolonial. Hal ini penting disampaikan sebagai sebuah dekonstruksi atas fakta yang menyatakan bahwa nasionalisme Indonesia sudah ada sebelum abad ke-20.
Kekhawatiran akan merosotnya nasionalisme dan terjadinya disintegrasi nasional merebak di mana-mana akhir-akhir ini. Hal ini, antara lain, juga tercermin dalam simposium berjudul “Membangun Negara dan Mengembangkan Demokrasi dan Masyarakat Madani” yang diselenggarakan oleh Komisi Ilmu-ilmu Sosial Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) di Jakarta, Selasa, 8 Agustus 2006, di mana penulis juga menyajikan makalah.
Di tengah wacana mengenai nasionalisme yang pada umumnya dimulai dari tengah yakni langsung membicarakannya sebagai fenomena masyarakat modern yang dikaitkan dengan fenomena negara penulis coba mengangkat isu yang masih kurang dibicarakan orang, yakni membicarakannya dalam konteks kondisi-kondisi dasar yang di dalamnya dibangun bangsa (nation), kebangsaan (nasionalitas), dan rasa kebangsaan (nasionalisme) Indonesia. Kondisi dasar yang dimaksud dalam tulisan ini adalah suku bangsa.
Membicarakan suku bangsa sebagai kondisi dasar berarti menempatkan konsep-konsep bangsa, negara, dan nasionalisme secara posteriori. Dengan memahami suku bangsa sebagai kondisi dasar, diharapkan pemahaman Anda tentang bangsa, kebangsaan, dan nasionalisme akan menjadi lebih sistematik dan jernih.
Corak kebangsaan dan nasionalisme sedikit banyak ditentukan oleh kondisi dasar tersebut, meskipun dalam perjalanan zaman niscaya ada distorsi-distorsi yang dapat mengubah sosok maupun muatan nasionalisme itu. Selanjutnya, dengan menempatkan negara dalam konteks ini, maka negara dipandang sebagai bagian dari wilayah analisis yang lebih luas, yakni sebagai external agent yang saling memengaruhi dengan kondisi-kondisi lokal.
Karena titik tolak pembicaraan ini adalah dari perspektif tradisional suku bangsa suatu kesatuan sosial yang hidup di suatu teritorial tertentu, dan yang memiliki suatu kebudayaanmaka pergeseran konsep ini menjadi konsep kelompok etnik, sebagai konsekuensi dari proses menjadi kompleks masyarakat, menjadi penting dibicarakan.
Para ahli antropologi sependapat bahwa suku bangsa adalah landasan bagi terbentuknya bangsa. IM Lewis (1985: 358), misalnya, mengatakan bahwa “istilah bangsa (nation) adalah satuan kebudayaan tidak perlu membedakan antara suku bangsa dan bangsa karena perbedaannya hanya dalam ukuran, bukan komposisi struktural atau fungsinya segmen suku bangsa adalah bagian dari segmen bangsa yang lebih besar, meski berbeda ukuran namun ciri-cirinya sama”.
Meski pernyataan ini menuai banyak kritik, khususnya terkait dengan isu “homogenitas” ini, jelas bahwa para antropolog sangat peduli bahwa suatu konsep sosial budaya harus memiliki dasar empirik dalam kenyataan, bukan konsep yang dibangun di awang- awang. Konsep bangsa tentulah memiliki akar empirik, yakni dari suku bangsa.
Kebangsaan (nationality) dan rasa kebangsaan (nationalism) saling berkaitan satu sama lain. Rasa kebangsaan, biasanya juga disebut nasionalisme, adalah dimensi sensorismeminjam istilah Benedict Anderson (1991[1983]) Imagined Communitiesmerupakan konsep antropologi yang tidak semata-mata memandang nasionalisme sebagai prinsip politik.
Dimensi sensoris yang tak lain adalah kebudayaan ini memperjelas posisi antropologi yang berangkat dari konsep suku bangsa, kesukubangsaan, bangsa, dan kebangsaan, sebagaimana dibicarakan di atas. Inilah akar-akar bagi membicarakan rasa kebangsaan (nasionalisme) itu. Rasa kebangsaan atau yang kerap kali juga disebut nasionalisme adalah topik baru dalam kajian antropologi. Nasionalisme sebagai ideologi negara-bangsa modern sejak lama adalah rubrik ilmu politik, sosiologi makro, dan sejarah.
Perhatian antropologi terhadap nasionalisme menempuh jalur yang berbeda dari disiplin-disiplin tersebut yang menempatkan negara sebagai titik awal pembahasan. Sejalan dengan tradisinya, antropologi menempatkan nasionalisme bersamaan dengan negara karena kesetiaan, komitmen, dan rasa memiliki negara tidak hanya bersifat instrumentalyakni keterikatan oleh prinsip politikmelainkan juga bersifat sensorik yang berisikan sentimen-sentimen, emosi-emosi, dan perasaan-perasaan.
Dalam dimensi ini, bangsa, kebangsaan, dan rasa kebangsaan menjadi suatu yang “imagined” (meminjam istilah Benedict Anderson), yang berarti “orang- orang yang mendefinisikan diri mereka sebagai warga suatu bangsa, meski tidak pernah saling mengenal, bertemu, atau bahkan mendengar. Namun, dalam pikiran mereka hidup suatu image mengenai kesatuan bersama. Itulah sebabnya ada warga negara yang mau mengorbankan raga serta jiwanya demi membela bangsa dan negara.
MEDAN (Berita): 17 Agustus 2010, rakyat Indonesia kembali merayakan kemerdekaan  yang berhasil direbut para pejuang di tahun 1945 dari tangan penjajah. Hingga kini sudah 65 tahun Anda merdeka, namun sejauh ini makna dari kemerdekaan itu masih patut dipertanyakan. Menurut wakil rakyat dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) DPRD Sumut Brilian Moktar, arti dari kemerdekaan itu belum terlaksana secara murni dan konsekwen, terutama dalam hal yang menyangkut kepentingan rakyat.
Hal itu, kata Bendahara F PDIP ini, terlihat masih banyaknya poin-poin  tertera dan menjadi amanah Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang belum bisa terlaksana hingga saat ini, meski telah beberapa kali dilakukan amandemen, begitu juga halnya dengan makna proklamasi.  ”Mungkin arwah para pahlawan yang dengan pertumpahan darah merebut kemerdekaan negeri ini juga akan menangis ketika mereka melihat kondisi bangsa ini, dimana jiwa patriotisme dan nasionalisme pun semakin jauh berkurang,” ucap Brilian Moktar. Dia bahkan memantau, nasionalisme yang kerap digembar-gemborkan cenderung bukan tumbuh dari diri sendiri, melainkan cenderung dari kelompok maupun organisasi.
Hal itupula yang menyebabkan pelaksanaan UUD berjalan tidak konsekwen. “Karena jika tidak melaksanakan ketentuan yang diatur dalam perundang-undangan itu berarti memang nasionalismenya masih diragukan,’ucapnya.
Dalam hal ini, Brilian memaparkan, makna proklamasi dan  poin-poin tertera dalam UUD 1945 yang konsekwensinya masih jauh dari harapan. “Seperti kalimat yang tertera dalam isi proklamasi yakni, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, kenyataanya masih banyak rakyat yang hidupnya jauh dari sejahtera,” ujar Ketua Komisi E DPRD Sumut ini.
Begitu juga dalam UUD 1945 yang menyangkut warga negara dan penduduk, kenyataannya, kata Brilian untuk mengurus Kartu Tanda Penduduk (KTP) pun terkadang dipersulit. Meskipun pemerintah telah menyatakan gratis dalam kepengurusan KTP, namun kenyataannya banyak Pungli dilakukan oknum-oknum di lapangan. Beberapa poin lainnya, menyangkut masalah Hak Azasi Manusia( HAM), agama sesuai pasal 29 ayat 2, menurutnya juga belum terpenuhi.
Dalam persoalan agama ini, kata Brilian, kerap masih ditemukan permasalahan dan tidak ada ketegasan dari pemerintah dalam menyelesaikannya.
“Untuk membangun rumah ibadah terkadang juga sulit mendapatkan izin,’ ujarnya.
Sementara dari sisi hukum juga terkesan belum sepenuhnya berjalan, meskipun dalam UUD 1945 menyangkut pertahanan dan keamanan negara dalam hal ini institusi TNI dan Polri disebutkan bertugas melindungi rakyat Indonesia. Dari sisi pendidikan, wacana pemerintah memberikan sekolah gratis, kata Brilian malah disebut pihak-pihak tertentu sebagai pembohohan. Begitu juga yang tercantum dalam pasal 33 terkait perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial juga jauh dari terlaksana. Sedangkan harapannya, kedepan yang tentunya juga menjadi harapan seluruh bangsa Indonesia, Brilian menegaskan pemerintah harus berani menjalankan program-program dengan kembali mencontoh beberapa keberhasilan pemerintahan masa orde baru. ‘Tidak ada salahnya yang baik Anda contoh dan yang tidak baik Anda buang,” ucapnya.
Beberapa keberhasilan pada masa pemerintahan lalu, misalnya kata Brilian, dengan menggalakkan kembali sistem transmigrasi, keluarga berencana. Sektor pendidikan, lanjutnya juga harus menjadi landasan barometer pembangunan kedepan. ‘Pelaksanaan anggarannya harus mendapat skala priorits, tegasnya. Meskipun kata Brilian pemerintah telah menetapkan 20 persen anggaran untuk pendidikan dan 10 persen untuk sekto kesehatan dari jumlah APBD masing-masing daerah, namun hingga kini pelaksanaannya masih ‘amburadul’.
Itulah dalam hal bagaimana rasa Nasionalisme dan Patriotisme memulai memundar dengan adanya kemajuan dan kecanggih teknologi ditengah masyarakat Indonesia. Dalam hal ini saya sebagai seorang yang menulis buku ini ingin memberikan pengaruh dalam diri Anda untuk tetap mencintai bangsa dan Negara. 
Proses ini memang sedikit agak rumit tapi saya yakin dengan pola pikir Imajinasi akan memberikan pengaruh – pengaruh yang terbaik bagi diri Anda. Dalam pembelajaran selanjutnya saya akan memberikan rasa dan jiwa Anda untuk membaca puisi yang saya buat ini. Dengan membaca dan menghayati maka rasa Nasionalisme dan Patriotisme dalam diri Anda mudah – mudah akan bangkit dan bergelora.
Baca dan rasakan dalam jiwa dan rasa Anda secara benar dan nyata. Maka diri Anda akan bangun dari tidur panjang Anda. Sikap Nasionalisme dan Patriotisme akan tumbuh dan berkembang dalam diri Anda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar