Kunthi,
Pandawa Lima dan Kanana saling berpandangan. Mereka heran dengan apa yang baru
saja mereka alami. Berawal dari peristiwa kebakaran di Bale Sigala-gala,
kemudian mereka dibukakan pintu terowongan oleh Kanana, kemudian Bima
menggendong mereka dan membawa masuk ke pintu terowongan. Di terowongan mereka
mengikuti cahaya putih dan akhirnya selamat sampai di tempat terbuka yang belum
pernah mereka jumpai sebelumnya.
Tempat yang
asing tersebut merupakan halaman pintu gerbang kerajaan. Kerajaan manakah ini.
Pintu gerbangnya megah perkasa, dihiasi dengan ukiran bermotif binatang dan
tumbuh-tumbuhan yang mempesona. Seperti kerajaan besar lainnya, pintu gerbang
tersebut dijaga oleh beberapa perajurit yang mengawasi orang yang keluar masuk
kerajaan. Jika dirasa perlu para penjaga tersebut berwenang memeriksa dan
menggeledah tamu yang ingin masuk ke kerajaan. Kunti, Pandawa Lima dan Kanana
disambut oleh kepala perajurit jaga dengan penuh hormat. Kemudian mereka
dikawal beberapa perajurit untuk masuk menuju kedaton, kecuali Kanana yang
memilih tinggal bersama perajurit jaga.
Kunthi dan
Pandawa heran, para prajurit di kerajaan ini berkulit kasar saperti sisik,
baunya amis seperti ular. Mereka membawa Kunti dan anak-anaknya kepada yang
dikenalkan sebagai putra raja, bernama Nagatatmala. Orangnya gagah pakaiannya
gemerlap ia juga bersisik seperti perajurit-perajurit yang lain. Nagatatmala
memberi hormat dan bertanya mengenai keselamatan mereka. Nagatatmala
mempersilakan mereka beristirahat di tempat yang sudah disediakan, sebelum
ketemu raja. Seorang gadis cantik dikenalkan oleh Nagatatmala, sebagai adiknya
bernama Nagagini.
Kunthi dan
Pandawa terpesona melihat kecantikan Nagagini. Kulitnya halus bersinar tidak
seperti kakaknya dan para perajurit, yang berkulit kasar bersisik. Hampir tak
berkedip, para Pandawa memandang Nagagini yang berperangai lembut dan menawan.
Nagagini memberi salam hormat kepada Kunti dan kepada Puntadewa, Bimasena,
Herjuna, Nakula dan Sadewa. Tidak ada yang tahu bahwa ketika Nagagini memberi
salam hormat kepada Bimasena, Nagagini bergetar gugup. Detak jantungnya
berdegup keras. Bimasena adalah sosok yang pernah ia jumpai dalam mimpinya.
Bahkan di dalam mimpi tersebut Bimasena dan Nagagini telah saling memadu kasih.
“Oh Raden
Bima”
Nagagini
berkeluh pendek dan segera meninggalkan ruangan tempat Kunti dan para Pandawa
berada, takut jika gejolak hatinya terbaca. Gejolak hati yang tak karuan ketika
berjumpa dengan kekasih hatinya. Bagi Nagagini sulit membedakan antara mimpi
dan kenyataan. Karena mimpinya belum lama ini menjadi kenyataan.
Nagagini
menyadari bahwa dirinya dan Bima bukan merupakan satu rumpun bangsa. Nagagini
adalah keturunan dewa berjenis ular Naga. Sedangkan Bima adalah kesatria
keturunan manusia pada umumnya. Namun Bima bagi Nagagini adalah keistimewaan.
Ada getaran khusus yang belum didapatkannya pada manusia kebanyakan. Sejak
perkenalannya dengan Bima, Nagagini tidak pernah melepaskan pikirannya atas
Bima. Usaha untuk menghapus bayangan Bima diangannya tak pernah berhasil,
bahkan semakin jelas tergambar.
Demikian
halnya yang terjadi dengan Bima. Sejak pertemuannya dengan Nagagini, Bima
gelisah luar biasa. Tidak ada yang tahu apa yang dirasakan Bima. Bahkan Bima
sendiri tak habis mengerti mengapa tiba-tiba saja ada perasaan aneh yang
menggelayut di angannya. Selama hidup belum pernah ia merasakan gejolak
perasaan yang seperti ini. Bima tidak tertarik lagi membicarakan tentang
peristiwa Bale Sigala-gala, kejahatan Sengkuni dan tahta HAstinapura, kecuali
pembicaraan perihal pertemuannya dengan Dewi Nagagini. Bima juga tidak mempunyai
hasrat untuk makan ketika dijamu dan tidur ketika larut malam, kecuali
hasratnya untuk selalu bertemu dan bersanding dengan Nagagini. Lain yang
dirasakan Nagagini, Bima tidak mempedulikan bahwa dirinya dan Nagani adalah
berbeda. Yang dirasakan Bima adalah bahwa Nagagini telah menawan seluruh akal
budinya.
Sama-sama
berangkat dari kegerahan hati yang memuncak, mereka berdua dipertemukan di
sebuah taman“Raden Bima, belum tidurkah?”
Pertanyaan
Nagagini tidak membutuhkan jawaban, namun cukup mengejutkan Bima, yang tidak
menyangka bahwa Nagagini berada ditaman yang sama.
“Engkau juga
belum tidur Nagagini?”
Jika keduanya
mau jujur pasti jawabnya sama. Karena engkaulah yang menyebabkan aku tidak
dapat tidur malam ini.
“Raden Bima
senangkah engkau tinggal di sini?”
“Sangat senang
Nagagini”
“Sangat
senang? Mengapa?”
“Karena ada
kau”
“Sungguhkah
Raden? Karena aku?”
“Sungguh
Nagagini. Aku berkata dengan hati.”
“Engkau amat
jujur Raden. Aku kagum kepadamu.”
“Sungguhkah
Nagagini, engkau kagum padaku?”
Sembari tersenyum
Nagagini mengangguk. Dada Bima bergelora. Hatinya tumbuh seribu bunga.
“Nagagini ini
negara mana?”
“Apakah
kakakku Nagatamala belum menjelaskan kepadamu?”
Bima
menggelengkan kepala. Selanjutnya Ngagini memberitahukan bahwa ini adalah
kahyangan Saptapertala, yang berpusat di dasar bumi lapisan ke tujuh. Rajanya
adalah ayah Nagagini, bernama Sang Hyang Antaboga.
“Ibuku adalah
bidadari bernama Dewi Supreti. Kami sebenarnya adalah bangsa ular yang sudah
menjadi dewa-dewi.”
Bima mencoba
mengingat apa yang telah dilihatnya. Para perajurit dan orang-orang di
Saptapertala, termasuk Nagatatmala berbau amis, berkulit kasar seperti sisik
ular. Namun yang mengherankan adalah Nagagini. Kulitnya kuning halus bersinar.
“Apakah Sang
Hyang Antaboga berujud Dewa? Atau Ular Naga?”
“Berubah-ubah.
Tetapi jika ayahku marah, ia menjelma menjadi seekor naga ganas yang
mengerikan. Apakah engkau takut Raden”
Tatapan mata
Nagagini menyimpan kekawatiran yang amat dalam. Jika Bima takut, harapannya
untuk bersanding dengan Bima lebih lama, takkan pernah kesampaian.
“Aku tidak
takut Nagagini”
“Benarkah
Raden?”
“Aku pernah
ditolong naga Aryaka penguasa Bengawan Gangga dan diberi minum Tirta
Rasakundha. Setelah meminum Tirta Rasakundha, itu aku merasakan daya yang luar
biasa. Walaupun aku berada di dasar Bengawan Gangga. Rasanya berada di atas
daratan, napasnya lancar, badan serta pakaiannya tidak basah.”
”Ah Bima,
pengalaman luar biasa.”
Hampir saja
Nagagini melompat kegirangan. Pengalaman Bima dengan naga Aryaka menyiratkan
bahwa perkenalan dengan Bima akan berlanjut lebih jauh.
Mata Nagagini
berbinar-binar mendengar penuturan Bima. Pemuda di hadapannya yang pernah
melintas di dalam mimpi tersebut benar-benar istimewa. Di dalam darahnya telah
mengalir Tirta Rasakundha, sebuah daya kekuatan yang hanya dimiliki oleh bangsa
Naga. Tirta Rasakundha ibarat benang merah yang menghubungkan naluri mereka,
maka pantas saja ada getaran khusus di antara kedua hati yang saling
menyenangkan, membahagiakan dan menentramkan. Nagagini semakin percaya bahwasannya
pertemuan ini telah diatur oleh Sang Hyang Widiwasa. Betapa indahnya hari itu.
Saat mereka untuk pertamakali saling bertemu, saling mengenal dan terutama
saling berbagi cinta, cinta antara pria dan wanita yang baru pertama kali ini
bersemi, bahkan bersemi dengan cepat.
“Raden Bima,
engkau mengatakan sangat senang tinggal di Saptapertala ini, lantas apa
rencanamu selanjutnya?”
Bima
kebingungan sebentar, kemudian ia menjawab:
“Aku tidak
mempunyai rencana apa pun, karena bagiku tinggal di tempat ini dan berdampingan
dengan engkau, adalah segalanya.”
“Ooh! Benarkah
Raden Bima? Aku merasa tersanjung oleh kata-katamu Raden. Alangkah bahagianya
jika engkau tinggal di sini berada di sampingku dan tidak akan pernah
meninggalkanku.”
“Sesungguhnya
aku pun merasakan hal yang sama, ingin selalu berada di sampingmu, Nagagini.”
“Benarkah
Raden?! Oo alangkah bahagianya jika pertemuan ini terus berlanjut sampai waktu
yang tak terbatas.”
“Iya, aku
setuju Nagagini, lalu bagaimana caranya?”
“Nah, itulah
yang tadi aku tanyakan kepada Raden, apa rencana Raden selanjutnya?”
“Terserah kamu
Nagagini, aku manut.”
“Manut
bagaimana ta Raden? Tidak selayaknya dalam hal ini pria mengekor wanita.”
Nagagini
tersenyum geli atas keluguan dan kejujuran Bima. Mereka berdua semakin akrab.
Dunia menjadi milik mereka berdua termasuk taman Saptapertala yang asri.
Sehingga tidak menyadari kehadiran Puntadewa dan Arjuna di taman tersebut.
Sejak datang di taman Saptapertala beberapa saat lalu, Puntadewa dan Arjuna
tidak enak untuk menyapa Bima yang sedang berduaan dengan Dewi Nagagini.
Puntadewa dan Arjuna diam-diam mengagumi Nagagini yang mempunyai kecantikan
khusus yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Kecantikan Nagagini adalah
kecantikan yang memancar dari dalam keluar melalui matanya, senyumnya,
gerak-geriknya dan seluruh kulitnya. Sungguh luar biasa.
Pantas saja
Bima yang lugu-kaku terpana karenanya.
Rupanya
Puntadewa dan Arjuna kalah betah dengan Nagagini dan Bima di taman Saptapertala
berlama-lama. Mereka akhirnya terpaksa menyapa Bima yang memang sudah beberapa
waktu tidak menyadari kedatangan kakak dan adiknya.
Baru setelah
disapa Puntadewa, Bima tersadar bahwa mereka tidak hanya berdua di taman
Saptapertala.
“Adikku Bima,
dan engkau Dewi Nagagini, maafkan kami telah mengganggu kalian berdua.
Kedatangan kami di taman ini untuk menemui Bima dan mengajaknya bersama ibu
Kunthi dan adik-dikku yang lain menghadap Sang Hyang Antaboga, penguasa
kahyangan Saptapertala ini, malam ini juga.”
Bima mempunyai
perasaan tidak enak kepada Puntadewa kakaknya. Karena hingga saat ini Puntadewa
belum pernah menjalin hubungan akrab degan seorang wanita. Namun apa mau
dikata, Bima menyadari bahwa dirinya adalah manusia biasa, yang tidak kuasa
menolak atau pun menghindar dari apa yang sudah diatur oleh Sang Hyang Tunggal.
Termasuk pertemuannya dengan Nagagini bukanlah secara kebetulan, tapi telah
diatur oleh-Nya.
Nagagini
tersipu malu. Ia mempersilakan Bima mengikuti Raden Puntadewa dan Raden Arjuna
meninggalkan taman Saptapertala. Taman yang menjadi saksi, bahwa di tempat ini
dua sejoli telah mengawalinya, merenda benang-benang cinta.
Kunthi, Puntadewa, Bimasena, Herjuna,
Sadewa dan Nakula diantar Nagatatmala menghadap Sang Hyang Antaboga yang
bertahta di kahyangan Saptapertala. Sang Hyang Antaboga mengucapkan selamat
datang. Di Kahyangan dasar Bumi l...apis tujuh. Kunthi dan para Pandhawa secara bergantian
mengucapkan terimakasih atas kebaikan Sang Hyang Antaboga, Nagatatmala dan
Nagagini serta kerabat Saptapertala yang telah menolong dan memberi tempat yang
mewah dan nyaman. Sehingga mereka dapat merasa tenang dan aman, jauh dari
bencana yang hampir saja merenggut jiwa mereka. Rasa trauma yang mencekam masih
dirasakan terutama oleh Nakula dan Sadewa, yang hingga sekarang masih sering
menangis ketakutan.
Nagatatmala
dan Nagagini ditugaskan oleh Hyang Antaboga untuk membuat Kunthi dan
anak-anaknya betah tinggal di Saptapertala. Tempat yang disediakan dan makanan
yang sajikan diusahakan membuat mereka nyaman dan senang. Sehingga dengan
demikian usaha untuk memulihan mentalnya dari trauma yang diderita, terutama
Sadewa dan Nakula cepat berhasil. Tetapi yang lebih penting adalah, bahwa
jangan sampai peristiwa Bale Sigala-gala nantinya menimbulkan dendam di hati
Kunthi dan para Pandhawa.
Sang Hyang
Antaboga mengetahui akan keadaan yang diderita Kunthi dan Para Pandhawa baik
secara lahir maupun batin. Oleh karenanya Kunthi beserta anak-anaknya
disarankan untuk sementara waktu tinggal di Kahyangan Saptapertala. Dengan
tinggal beberapa lama di Kahyangan Saptpertala, Hyang Antagoba berharap agar
Kunthi dan anak-anaknya mampu melupakan peristiwa mecekam di Bale Sigala-gala.
Ketika
kebakaran Bale-Sigala-gala, bumi terasa panas. Sebagai Dewa penguasa bumi,
Hyang Antaboga mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi. Dan menimpa mereka.
Nagatatmala diutus untuk menyelamatkan para korban kebakaran. Maka berangkatlah
Nagatatmala menyusuri bumi mengarah ke tempat kebakaran. Bersamaan dengan itu,
di Kahyangan Jonggring Saloka Batara Guru dan para Batara dan Batari merasakan
hawa panas yang menyesakkan. Maka diutuslah Hyang Narada turun ke marcapada,
menuju ke sumber hawa panas. Pada waktu yang hampir bersamaan Batara Narada dan
Nagatatmala bertemu di pintu terowongan, tempat Kanana, Kunthi dan para
Pandhawa berusaha menyelamatkan diri. Di dalam suasana panik, gelap, sesak dan
sempit, Batara Narada dan Nagatatmala dengan caranya masing-masing berusaha
menolong dan menyelamatakan Kunthi dan Pandhawa. Nagatatmala berubah sebgai
garangan Putih bercahaya dan Batara Narada menuntun membukakan jalan menuju
Kahyangan Saptapertala, tempat yang paling aman di Bumi lapis ke tujuh. Secara
gaib tahu-tahu mereka telah berada di depan pintu gerbang kerajaan yang indah
megah.
Hingga
sekarang Kunthi dan anak-anaknya juga Kanana belum tahu secara pasti siapa yang
telah menyelamatkan mereka dan mengantarnya sampai ke kahyangan Sapta pertala,
kecuali Kanana yang mengawalinya membuka terowongan buatannya atas perintah
Yamawidura.
Hyang Antaboga
merasa Kasihan kepada Kunthi dan anakaanaknya. Semenjak meninggalnya
Pandudewanata derita mereka silih berganti. Hal tersebut dikarenakan Sengkuni,
Gendari dan Para Korawa selalu berusaha menyingkirkan para Pandhawa. “Kunthi
tanamkanlah di hati anak-anakmu sikap welasasih. Welas asih kepada siapa saja
termasuk juga kepada orang yang memusuhi kamu. Karena hanya dengan sikap
welasasihlah orang mudah mengampuni dan tidak akan pernah tumbuh benih-benih
dendam dihati.”
“Terimakasih
Pukulun atas nasihatnya yang berharga. Aku akan melaksanakannya. Tetapi maaf
Sang Hyang Antaboga, sebenarnya apa yang sesungguhnya terjadi dibalik peristiwa
Bale Sigala-gala?”
“Kunthi,
sebenarnya engkau sudah tahu, atau paling tidak engkau telah merasakan
kejanggalan-kejanggalan sebelum pesta berlangsung.”
“Hyang
Pukulun, aku orang yang bodoh dan tumpul, sehingga tidak merasakan
kejanggalan-kejanggalan sebelumnya.”
Sang Hyang
Antaboga tidak mau berterus terang. Ia justru mengajak Kunthi dan para Pandhawa
bersyukur, karena telah terhindar dari marabahaya.
“Namun
maafkanlah Pukulun, kalau boleh tahu siapakah yang menyelamatkan kami dan
menuntunnya sampai ke tempat ini?” Hyang
Antaboga tidak menjawab pertanyaan Kunthi, tetapi sekali lagi ia mengajak
Kunthi dan anak-anaknya merayakan syukur atas keselamatan yang masih boleh
diterima.
Sudah beberapa
bulan Kunthi dan para Pandhawa serta juga Kanana tinggal di Saptapertala.
Hubungan antara Bimasena dan Naga Gini semakin intim, seakan-akan mereka tidak
mau berpisah. Dari hari ke hari cinta mereka semakin bersemi. Betapa indah dan
ajaibnya hidup yang penuh cinta. Terlebih lagi cinta yang semakin menjadi
sempurna. Seperti rembulan saat Purnamasidi, yang mampu membuat malam menjadi
romantis indah mempesona. Bagaikan kidung malam yang syahdu menyusup kalbu,
hingga membuat setiap insan merasa betapa berharganya hidup ini.
Kunthi adalah
sosok ibu yang baik. Ia ikut bahagia melihat anaknya bahagia. Saat ini anak
nomor dua yang bernama Bimasena sedang mengalami kebahagiaan. Semenjak tinggal
di Kahyangan Saptapertala, Bimasena telah menjalin asmara dengan putri Sang
Hyang Antaboga yang bernama Dewi Nagagini. Namun dibalik kebahagiaan tersebut
ada kekhawatiran dibenak Kunthi. Pasalnya, Bimasena adalah anak nomor dua, jika
pertalian Asmara dengan Dewi Nagagini nantinya berlanjut ke jenjang perkawinan,
lalu bagaimanakah dengan Puntadewa anak Kunthi yang nomor satu? Apakah ia rela
dilangkahi oleh adiknya? Di sudut taman
bunga, Dewi Kunthi duduk sendirian. Hatinya terombang-ambing oleh dua perasaan
yang saling bergelayut. Disatu sisi perasaan bahagia yang tumbuh karena ikut
merasakan kebahagiaan anak nomor dua yang bernama Bimasena. Di sisi lain,
perasaan sedih karena Kunthi membayangkan alangkah sedihnya anak nomor satu
yang bernama Puntadewa karena belum mendapat kesempatan untuk merasakan
kebahagiaan menjalin asmara seperti yang dialami Bimasena dan Dewi Nagagini.
Puntadewa yang
melihat Ibunda Kunthi duduk sendirian lewat pukul 11 malam berniat untuk
menemaninya. Kedatangan Puntadewa dianggap Kunthi sebagai pembenaran atas
perasaannya yang sedang menggelayut di kalbunya. Apa yang dirasakan Puntadewa
tentunya tidak jauh berbeda dengan apa yang dirasakan Kunthi. Dengan persepsi
yang demikian, Dewi Kunthi membuka pembicaraan.
“Anakku Punta,
apa yang engkau rasakan malam ini?” “Aku
merasa tenteram di Saptapertala ini Ibu”“Apakah adik-adikmu juga merasakan
seperti yang engkau rasakan?”“Iya Ibu” “Termasuk
juga adikmu Bima?” “Iya Ibu” Kunthi menatap lembut anak sulungnya yang dengan polos
menjawab setiap pertanyaan tanpa gejolak perasaan sesuai dengan yang
diperkirakannya. Benarkah Puntadewa tidak tersinggung atas sikap Bimasena yang
lebih dahulu menjalin hubungan asmara dengan seorang wanita.
“Punta, maksud
Ibu adalah, apakah engkau senang melihat Bimasena menjalin asmara dengan Dewi
Nagagini?”
“Tidak sekedar
senang Ibu, tetapi aku sungguh bahagia melihat adikku Bima bahagia dengan Dewi
Nagagini. Alangkah sempurnanya kebahagiaan adikku Bima jika Ibu berkenan
membicarakan hubungan antara mereka berdua kepada Sang Hyang Antaboga, dan
meresmikan mereka menjadi suami isteri.” Perkiraan
Kunthi bertolak belakang dengan perasaan Puntadewa yang sesungguhnya. Kunthi
terharu atas sikap Puntadewa. Walaupun sejak kecil Kunthi tahu bahwa Puntadewa
mempunyai watak sabar dan sikap mengalah terhadap siapapun, tidak mengenai soal
asmara. Karena menurut Kunthi, masalah asmara bagi anak muda adalah masalah
yang peka menimbulkan permasalahan.
“Punta, semula
aku berniat untuk melarang Bima bergaul lebih akrab dengan Nagagini, dengan
pertimbangan bukankah kita di sini telah ditolong, dan diperlakukan seperti
layaknya tamu terhormat? Apakah kita tega bersikap tidak sopan kepada tuan
rumah dan putrinya? Namun niat itu aku urungkan, aku tidak sampai hati
memisahkan mereka berdua, karena hal tersebut akan menyakitkan hati Bima dan
membuatnya ia bersedih. Oleh karenanya, demi kebahagiaan mereka berdua aku akan
membicarakan kepada Sang Hyang Antaboga, sesuai yang engkau usulkan.”
Semua
menyetujui usulan Puntadewa, terlebih Bimasena yang menyambutnya dengan
sukacita. Maka hari pun dipilih untuk menghadap Sang Hyang Antaboga dengan
tujuan membicarakan hubungan antara Bimasena dan Dewi Nagagni Sang Hyang Antaboga didampingi oleh Nagatatmala menyambut
kedatangan Kunthi dan Puntadewa. Mereka berempat menyetujui hubungan Bimasena
dan Dewi Nagagini diresmikan sebagai suami isteri. “Kunthi, kebahagiaan anak-anak kita adalah kebahagiaan
kita sebagai orang tua. Hubungan antara Bimasena dan Nagagini sudah menjadi
kehendak ‘Dewa’ kita wajib memberikan restu agar mereka selalu bahagia dalam
suka dan duka, sakit dan sehat jauh dan dekat” Hyang Antaboga tersenyum bahagia, mengawali kebahagiaan
calon pengantin berdua yang tidak lama lagi diresmikan Ketika matahari mulai menampakan sinarnya
kemerah-merahan, terdengar suara gamelan mengalun dari di pusat kotaraja
Saptapertala. Dari kejauhan suara gamelan tersebut terdengar menyatu dengan
suara serangga-serangga malam yang saling bersaut-sautan. Perpaduan aneka suara
tersebut bagaikan sebuah komposisi musik para dewa tatkala sedang melakukan
pujaasmara.
Malam itu ibu
kota Kahyangan Saptapertala berhias dengan keindahan. Bak gadis dewasa yang
sedang bersolek manja. Disetiap sudut kota dipasang umbul-umbul serta rontek,
dan dipadu dengan penjor-penjor berhiaskan janur kuning. Hiasan-hiasan tersebut
ditancapkan ke pinggir jalan dengan sudut kemiringan enampuluh derajat,
sehingga seakan menunduk memberi salam hormat kepada siapa saja yang melewati
jalan itu. Kawula Saptapertala yang hampir sebagian besar berkulit kasar
seperti sisik, berduyun-duyun menuju pusat koata raja. Di dunia bawah tanah
pada lapis ke tujuh yang disebut Kahyangan Saptapertala ini kehidupannya tidak
jauh berbeda dengan kehidupan di atas dunia atau di marcapada, yang membedakan
adalah orang-orang di Saptapertala berkulit kasar seperti sisik.
Menjelang
tabuh tujuh, alun-alun Kotaraja berubah menjadi lautan manusia mereka datang
dari penjuru negeri, ingin menyaksikan peristiwa yang amat bersejarah, yaitu
perkawinan antara bangsa manusia dan keturunan dewa ular. Perkawinan antara
Raden Bimasena dan Dewi Nagagini.
Sebelum kedua
Calon Penganten dipertemukan dalam upacara Panggih, di pendapa induk yang
terletak di pinggir alun-alun, diadakan tarian sakral lingga-yoni yang
melambangkan perkawinan agung antara Dewa Siwa dan Dewi Uma. Konon tarian
tersebut diadakan, adalah untuk ritual penghormatan kepada dewa Siwa. Namun
saat ini tarian tersebut dipentaskan untuk menyambut dan menghormat calon
pengantin berdua. Selain itu tarian Lingga-yoni juga merupakan doa pengharapan
agar bumi Saptapertala mengalami kesuburan dan kesejahteraan.
Setelah tari
Lingga-yoni selesai, mengumandanglah kidung malam yang berisi sebuah mantra
untuk mengingatkan agar semua makhluk, baik yang kelihatan maupun yang tidak
kelihatan saling menempatkan diri pada tempatnya, sesuai dengan demensi mereka,
sehingga diantara mereka tidak saling mengganggu.
Singgah-singgah
kala singgah pan suminggah durga kala
sumingkir sing aama sing awulu sing asuku sing asirahsing atenggak kalawan sing abuntut
padha sira suminggah muliha mring asal neki.
Hening
suasana, semua yang hadir diam. Mereka mencoba mengikuti dan menghayati tiap
kata yang ditembangkan dengan telinga dan hatinya hingga sampai dengan nada
terakhir. Maka legalah batin mereka, setelah tembang singgah-singgah usai.
Mereka berkeyakinan bahwa upacara panggih pengantin akan lancar dan baik
adanya.
Seperti apa
yang direncanakan dan dilaksanakan, semuanya berjalan dengan baik Raden
Bimasena dan Dewi Nagagini telah resmi dipersatukan sebagai suami istri. Hyang
Antaboga amat gembira menyaksikan pasangan Raden Bimasena dan Dewi Nagagini.
Bagi Dewa penguasa bumi ini, perkawinan antara Raden Bimasena dan Dewi Nagagini
tidaklah merupakan perkawinan pada umumnya. Perkawinan mereka bagaikan symbol
bersatunya antara bangsa manusia dan bangsa ular yang selama ini tidak saling
bersahabat. Atau juga dapat dimaknai sebagai upaya untuk membangun kembali
keharmonisan alam. Namun yang lebih penting dan sangat disyukuri oleh Dewi
Kunthi dan Sang Hyang Antaboga adalah bahwa perkawinan tersebut telah
mengalihkan perhatiannya Bimasena khususnya atas kejahatan Sengkuni dan Korawa
yang telah mencelakai para Pandhawa.
Seandainya
saja Bimasena tidak berjumpa dengan Dewi Nagagini, tentu saja panas hatinya
akan semakin menjilat tak terkendali dan membakar Sengkuni dan para Korawa.
Namun syukurlah sebelum semuanya terjadi Dewi Nagagini telah menyiram hatinya
dengan kelembutan dan kesejukan. Sehingga malam itu Bimasena tak mampu lagi
melepaskan pelukan Nagagini yang menentramkan.
Kebahagian
Bimasena juga menjadi kebahagiaan Puntadewa dan adik-adiknya. Tidak seperti
yang dikhawatirkan Kunthi, bahwa Puntadewa sebagai saudara sulung akan merasa
di langkahi oleh adiknya. Bimasena dan Dewi Nagagini menikmati masa bulan madu
yang sungguh membahagiakan. Namun ada saat berjumpa dan ada saat berpisah.
Waktu untuk menikmati sebuah kebahagiaan di dunia mana pun tidaklah abadi,
bahkan dapat dikatakan terbatas.
Demikian
halnya dengan pasangan temanten baru Bimasena dan Nagagini.
Mereka boleh
puas menikmati waktu bercengkeraman yang tidak genap satu tahun. Walaupun begitu,
cinta diantara mereka telah membuahkan benih di rahim Dewi Nagagini. Berat
rasanya untuk meninggalkan isterinya yang sedang hamil. Namun apa boleh buat
tugas sebagai kesatria dan pelindung Ibu dan saudara-saudara berada di atas
kepentingan pribadinya. Bahkan sebagai salah satu pewaris tahta HAstinapura,
Bimasena bersama Pandhawa berkewajiban berjuang untuk mengembalikan kekuasaan
yang sekarang dikuasai oleh warga Korawa. Bagi warga Pandhawa sesungguhnya
bukan kekuasaan itu yang ingin dikuasai, melainkan sebagai bukti rasa baktinya
kepada rakyat HAstinapura yang mempercayakan tahta HAstinapura kepada
putra-putra Pandudewanata. Suara rakyat itulah yang menjadi energi perjuangan
untuk meraih kekuasaan.
Dengan alasan
itulah Sang Hyang Antaboga menyarankan agar Kunthi dan anak-anaknya, termasuk
menantunya segera meninggalkan Kahyangan Saptapratala menuju HAstinapura, untuk
menunaikan panggilannya sebagai pewaris tahta.
Pagi-pagi
benar, Kunthi, Puntadewa, Bimasena, Arjuna, Nakula dan Sadewa dan juga Kanana
seorang abdi dari Panggomabakan ahli membuat terowongan meninggalkan Kahyangan
Saptapertala. Perpisahan yang mengharukan antara Dewi Nagagini dan Bimasena
tidak dapat dihindarkan. Namun diantara mereka ada janji untuk saling bertemu
kembali agar cinta mereka berdua semakin sempurnanya adanya.
Mereka diantar
oleh Sang Hyang Antaboga dengan pethitnya atau ekornya. Dan tiba-tiba saja
mereka telah berada dipermukaan bumi, yang dipanasi dan diterangi oleh
matahari. Semakin lama bumi Saptapertala semakin jauh ditinggalkan. Kunthi dan
Para Pandhawa menuju jalan ke HAstinapura sedangkan Kanana menuju ke
Panggombakan.
Dalam
perjalanan Kunthi dan Pandhawa sampailah di sebuah desa yang sangat subur
tanahnya. Tetapi ada keganjilan yang dirasakan. Banyaknya rumah kosong tanpa
berpenghuni menimbulkan dugaan ada hal yang tidak beres di desa tersebut.
Kunthi dan anak-anaknya beristirhat di salah satu rumah besar yang tidak
terurus. Rumput liar di halaman depan dan samping rumah mulai tumbuh lebat.
Herjuna mengelilingi rumah tersebut, siapa tahu ada orang yang bisa ditanya
perihal desa tersebut. Namun tidak ada satu pun orang yang nampak disekitar
rumah. Sadewa dan Nakula merengek minta makan. Kunthi kebingungan. Disuruhnya
Bimasena dan Harjuna mencari makan di dusun sebelah yang berpenghuni.
Tidak
seperti biasanya, pagi itu dusun kabayakan kelihatan masih sepi, khususnya di
rumah kepala desa Kabayakan. Rara Winihan dan Lurah Sagotra belum bangun. Hanya
ada dua orang sekabat atau pembantu Lurah yang sedang membersihkan meja kursi
di pendapa. Baru setelah tabuh sepuluh, ada satu, dua orang yang mulai
berdatangan untuk bertemu dengan Lurah Sagotra.
Sementara
itu perjalanan Bima dalam mencari dua bungkus nasi untuk adiknya Sadewa dan
Nakula bertemu dengan para pengungsi. Dari para pengungsi itulah Bima mendapat
keterangan bahwa daerah ini masih dibawah kerajaan Manahilan atau kerajaan
Ekacakra. Yang bertahta adalah seorang raja bertulang besar dan bergigi tajam,
bernama Prabu Dawaka atau Prabu Baka. Pada setiap bulan sekali Prabu Baka
meminta kepada rakyatnya untuk menghidangkan hidangan istimewa berupa ingkung
manusia (daging manusia utuh) Tentu saja hal tersebut membuat rakyatnya hidup
dalam kecemasan dan ketakutan. Banyak diantara mereka yang secara diam-diam
mengungsi ke negara Pancala untuk meminta perlindungan. Suasana di Ekacakra
semakin sepi. Di sana-sini banyak dijumpai rumah tak berpenghuni. Mengetahui
keadaan yang seperti itu, Prabu Baka marah-marah. Ia menyerukan agar semua
penduduk tidak boleh meninggalkan negara Manahilan. Bagi yang melanggar
perintah tersebut akibatnya akan lebih mengerikan.
Sejak
diberlakukan aturan itu suasana tambah mencekam. Para warga semakin ketakutan.
Mau meninggalkan Ekacakra takut jika ketahuan oleh para perajurit. Tetapi jika
tetap tinggal di negara Ekacakra juga takut karena akan mendapat giliran korban
keganasan raja. Pantas saja Desa-desa di seluruh pelosok negeri bagaikan desa
mati, yang tidak mengungsi lebih memilih bersembunyi.
Para
pengungsi yang ketemu Bima disore itu adalah mereka yang mengambil langkah
untung-untungan. Dari pada tinggal di Ekacakra hidup dalam kecemasan
terus-menerus, lebih baik segera meninggalkan negeri ini. Mereka mencari
celah-celah yang kemungkinan besar dapat lolos dari penjagaan perajurit.
Namun
ternyata para pengungsi yang ketemu Bima tersebut belum beruntung. Walaupun
telah memperhitungkan waktu dan tempat dengan cermat untuk dapat lolos dari
pantauan perajurit, ternyata meleset. Ditikungan desa para pengungsi dihadang
oleh beberapa perajurit. Walaupun jumlah mereka tidak lebih banyak daripara
pengungsi, mereka membawa senja lengkap yang siap merajam atau jika
memungkinkan menangkapnya hidup-hidup untuk dipersembahkan kepada Prabu Dwaka.
Melihat
dan merasakan penindasan dan penderitaan sesama, naluri Bima tergugah. Sebelum
para perajurit menyerang para pegungsi yang ketakutan. Bima lebih dahulu
menerjang perajurit yang rata-rata berbadan besar dan bergigi tajam. Para
perajurit sangat terkejut menghadapi keberanian Bima. Belum pernah rakyat di
negeri ini mempunyai keberanian seperti Bima. Terjangan Bima yang menyeruak
diantara para pengungsi membuyarkan para perajurit. Beberapa pengungsi yang
bernyali menyaksikan sepak terjang Bima dengan penuh takjub. Sedangkan
pengungsi yang lain lari bersembunyi. Bima tidak membutuhkan banyak waktu untuk
melumpuhkan para perajurit Ekacakra. Tidak ada satu pun yang mampu mengimbangi
kesaktian Bima. Belum sampai lecet kulitnya, merela lari ketakutan.
Para
pengungsi yang menyaksikan kesaktian Bima bersorak gembira. Sementara pengungsi
yang lain keluar dari persembunyiannya. Ucapan terimakasih terlontar tanpa
disuruh dari mulut mereka. Wajahnya yang penuh dengan garis-garis ketakutan
mulai terurai. Hampir bersamaan, para pengungsi yang telah berkumpul itu
menghaturkan sembah kepada Bima.
“Ampun
Raden, hamba semua ini orang bodoh, sehingga tidak tahu bahwa pada hari ini,
desa kami telah kedatangan tamu istimewa yang akan mengentaskan kami dari rasa
ketakutan yang berkepanjangan. Maafkan hamba Raden atas kesalahan kami.
Bolehkan kami mengetahui siapa sesungguhnya Raden ini?”
“Namaku
Bima. Aku adalah anak Prabu Pandudewanata yang nomor dua.”
“Ooo
Raden Bima? Pantas saja mempunyai kesaktian yang luar biasa. Sekali lagi
maafkan hamba yang tidak menghormat pada awal berjumpa. Sungguh kami tidak tahu
sebelumnya bahwa Raden adalah salah satu pewaris tahta HAstinapura.”
“Sudahlah
kami maafkan semuanya, namun jangan menghormatiku secara berlebihan seperti
ini. Aku sampai ditempat ini sesungguhnya mencari dua bungkus nasi untuk adik
saya yang lelaparan.”
Dengan
senang hati para pengungsi tersebut berebut menawarkan sebagian bekalnya untuk
adik Bima yang kelaparan.
“Dimanakah
adik Raden Bima berada?”
“Diujung
desa yang berbatasan dengan Gunung?”
“Ooo
di Giripurwa. Apakah di rumah Resi Hijrapa?”
“Aku
tidak tahu. Tetapi rumah itu kosong tidak berpenghuni.”
Setelah
menerima dua bungkus nasi, Bima segera meninggalkan para pengungsi yang
mengagumi Bima tak berkesudahan.
Setelah
Bima jauh meninggalkannya, para pengungsi tersebut kembali menyadari bahwa jiwa
mereka belum bebas sepenuhnya dari ancaman. Ketakutan mulai merambati lagi.
Dikhawatirkan para perajurit yang dikalahkan Bima akan mengejar mereka dalam
jumlah yang lebih besar. Maka lebih baik mereka tidak meneruskan perjalanannya
mengungsi ke Negara Pancala, tetapi mengikuti Bima menuju ke Giripurwa.
Siang
itu, pendapa Kabayakan mulai menggeliat. Rara Winihan mendahului suaminya,
menemui para warga yang butuh pelayanannya. Para warga yang datang pada intinya
menyatakan keprihatinannya bahwa pada minggu ini, desa Kabayakan mendapat
giliran untuk menyediakan korban bagi Prabu Dwaka. Mendapat pengaduan itu Rara
Winihan tidak memperlihatkan kecemasan. Wajahnya berseri, senyumnya tak pernah
meninggalkan bibirnya yang tipis merah.
“Para
bebahu Desa yang aku banggakan. Jangan khawatir akan hal itu. Prabu Baka boleh
saja mengirimkan hulu-balangnya ke desa kita untuk mengambil korban manusia,
tetapi kita juga punya hak untuk tidak menyediakan baginya.
Rara
Winihan memberikan pengharapan, bahwa tidak lama lagi desa Kabayakan akan
terbebas dari rasa cemas takut. Bahkan Desa ini akan mendapat anugerah yang
begitu besar.
Tanda
akan datangnya anugerah besar itu di sampaikan oleh Hyang Widi Wasa lewat
mimpinya. Pada dini hari tadi, Rara Winihan bermimpi sedang melakukan perjalanan
ke dusun-dusun, bersama Ki Lurah Sagotra, Para Bebahu, dan beberapa orang yang
dituakan. Sesampainya di setiap dusun yang mereka kunjungi, para warga
mengelu-elukan rombongan Lurah Sagotra. Suasana kunjungan tersebut mirip sebuah
perjalanan pesiar. Diakhir perjalanannya, rombongan Lurah Sagotra memasuki
jalur sungai. Keanehan terjadi, mereka berjalan diatas sungai dan kakinya tidak
menyentuh air.
Mendengar
penuturan mimpi Rara Winihan, para bebahu desa Kabayakan tersebut mulai timbul
keberaniannya. Mereka sepakat untuk tidak menyediakan korban bagi Prabu Baka.
Rara Winihan menyarankan agar salah satu bebahu desa menghadap Resi Hijrapa di
padepokan Giripurwa, untuk memohon agar Resi Hijrapa berani menolak korban
untuk Prabu Baka. Dua orang bebahu desa segera berangkat menuju ke rumah Resi
Hijrapa.
Kembali
kepada Kunthi yang sedang menunggui anaknya Nakula dan Sadewa yang kelaparan.
Hati Kunthi teriris-iris melihat Nakula dan Sadewa menangis kelaparan. Hingga
terucap dalam bibirnya yang pecah dan kering. Jika pun aku harus mengiris
dagingku demi untuk Nakula dan Sadewa, aku akan lakukan. Kunthi semakin gelisah
menghadapi tangis Nakula dan Sadewa yang semakin serak. Walupun Kunthi sudah
mengutus Bima dan Arjuna untuk mencari makan bagi si kembar, Kunthi masih
berupaya untuk mendapatkan makanan secepatnya, agar tangis si kembar segera
berhenti. Pada saat mengbibur si Kembar, Kunthi mendengar ada suara di dalam
rumah yang sebelumnya dikira tidak berpenghuni.
“Puntadewa
ke sinilah, rupanya ada orang sengaja bersembunyi di dalam rumah ini. Coba
dengarlah baik-baik. Tidak salahkah pendengaranku bahwa ada beberapa orang
sedang berbicara? Tolong Punta temui mereka, siapa tahu ada makanan yang dapat
dibagikan untuk Nakula dan Sadewa. Puntadewa bergegas pergi menemui orang yang
berdialog di rumah dalam. Kunthi tinggal sendirian menunggui anak kembarnya
yang merengek menyedihkan. Tak lama kemudian Puntadewa datang dengan membawa
sedikit makanan dan minuman. Makanan tersebut sedikit untuk ukuran orang
dewasa, juga belum mencukupi untuk ukuran anak-anak. Namun makanan yang didapat
dari pemilik rumah tersebut sungguh dapat menolong untuk sementara, sembari
menunggu usaha Bima dan Arjuna.
Tak
beberapa lama makanan yang sedikit itu segera habis. Nakula dan Sadewa masih lapar,
namun sudah tidak menangis lagi. Kunthi sangat lega, ingin mengucapkan
terimakasih kepada tuan rumah yang telah menyambung nyawa anak kembarnya.
Dengan membawa Nakula Sadewa dan diiringi Puntadewa, Kunthi menemui si pemilik
rumah yang bernama Resi Hijrapa.
“Dengan
apakah kami harus membalas? Jika tidak sekarang, nanti pasti aku balas kebaikan
Sang Resi. Karena jika kebaikan itu tidak aku balas, aku seperti seorang
pepriman yang kerjanya ke sana-ke mari hanya untuk minta-minta.
Resi
Hijrapa tersenyum getir mendengar pernyataan Kunthi. Di jaman seperti ini,
masih adakah seseorang yang merasa wajib untuk membalas budi? Tentu saja semua
orang tua bisa berbicara seperti apa yang dikatakan oleh ibu setengah baya
tersebut, atas nama kebaikan budi, manakala anaknya dibebaskan dari bahaya
kelaparan, kesakitan atau pun kematian. Namun jika bahaya kematian masih
mengacam anaknya, masihkah orang tua itu mampu berbicara tentang kebaikan budi?
Jikapun pernyataan ibu setengah baya tersebut sungguh-sungguh, tidak sekedar
basa-basi, apakah ia dapat gantian membebaskan anaknya dari bahaya kematian?
Jika dapat, tentunya gantian aku yang mebicarakan tentang kebaikan budi.
Resi
Hijrapa adalah pengasuh sebuah Padepokan yang berada di wilayah Giripurwa. Ia
hidup bersama isteri dan tiga anaknya. Sebelumnya, rumah besar ini menjadi
pusat kegiatan cantrik-cantriknya. Namun sayang, sekarang rumah besar tersebut
menjadi tidak terurus. Tidak ada lagi cantrik yang datang. Tinggal Resi Hijrapa
dan keluarga yang menunggui rumah itu. Itu pun bersembunyi di ruang paling
dalam, takut jika diketahui oleh perajurit Ekacakra.
Kelemahan
Resi Hijrapa itulah yang menyebabkan para cantrik-cantriknya tidak lagi berguru
kepada Resi Hijrapa. Mereka kecewa kepada gurunya yang takut membela para
korban kekejaman Prabu Baka. Bahkan ketika Resi Hijrapa pada gilirannya
diharuskan mengorbankan salah satu anaknya untuk Prabu Baka, Resi Hijrapa tidak
berani menolak. Maka kecuali keluarganya, hampir semua warga giripurwa termasuk
cantrik-cantriknya mengungsi ke negara Pancalradya.
Oleh
karenanya kedatangan enam orang asing di rumahnya membuat hati Resi Hijrapa
berkurang ketakuatannya. Mereka untuk sementara waktu boleh menempati di rumah
depan. Kunthi mengucap terimakasih atas kebaikannnya.
Menjelang
sore hari Arjuna datang dengan membawa dua bungkus nasi. Kunthi tidak berkenan
dengan cerita Harjuna. Dua bungkus nasi ditolaknya, karena dua bungkus nasi
tersebut didapatkannya dengan cara meminta belas kasihan dari seseorang? Aku
tidak mau darah anakku akan mengalir darah seorang pepriman yang pekerjaannya
meminta-minta. Harjuna diam, ia meletakan dua bungkus nasi tersebut di depan
kaki Ibu Kunthi. Sebelum Kunthi mengambil tindakan mau diapakan nasi hasil dari
minta-minta tersebut, Bima datang dengan membawa dua bungkus nasi. Kepada Ibu
Kunthi, Bima bercerita tentang para pengungsi yang memberikan sebagian dari
bekalnya karena telah ditolong dan diselamatkan. Kunthi menerima dua bungkus
nasi dari tangan Bimasena. Sementara itu hampir bersamaan Nakula dan Sadewa yang
masih merasa lapar segera mengambil bungkusan nasi dan kemudian memakannya.
Nakula mengambil bungkusan nasi yang dibawa Arjuna sedangkan Sadewa memakan
nasi yang dibawa Bimasena. Kunthi membiarkannya nasi yang dibawa Arjuna dimakan
oleh Nakula. Namun hal itu merupakan hutang budi kepada orang yang memberi. Dan
tentunya ia akan beruasaha membalasnya seperti yang akan dilakukan kepada Resi
Hijrapa.
Malam
itu bulan menggantung sepenggal. Wilayah Giripurwa yang hampir separonya
terdiri dari daerah pegunungan, meniupkan hawa dingin yang berselimut kabut.
Bunyi kentongan dari beberapa rumah warga yang masih berpenghuni, bersusul
bersautan dengan irama doro-muluk. Mulai dari suara yang paling jauh hinngga
suara yang paling dekat.
Irama
doromuluk adalah irama memukul kentongan mulai dari pukulan lembut dan pelan
menuju ke pukulan keras dan cepat. Setelah pukulan tersebut mencapai tingkat
suara yang paling keras dan tingkat kecepatan yang paling cepat, irama
dikembalikan lagi menuju ke irama semula, yaitu lembut dan pelan. Jika
dirasakan, suara kentongan doro-muluk ini seperti sebuah irama kidung yang
dibawa angin malam, dari tidak jelas menjadi semakin jelas dan kembali lagi
menjadi tidak jelas dan kemudian hilang. Kentongan irama doro-muluk ini
biasanya menjadi pertanda bahwa suasana di sebuah wilayah tempat kentongan itu
dipukul, dalam keadaan aman. Sehingga irama doro-muluk memberi suasana batin
tentram.
Namun
tidak untuk malam itu. Suara doro-muluk yang di bunyikan warga yang masih
tersisa, tidak untuk menggambarkan suara hati yang aman dan tenteram, melainkan
merupakan sebuah jeritan permohonan untuk dibebaskan dari rasa takut dan cemas.
Ketakutan
dan kecemasan dirasakan oleh seluruh rakyat Ekacakra, termasuk keluarga Resi
Hijrapa. Malam itu, keluarga Resi Hijrapa, yang terdiri dari isteri dan ketiga
anaknya belum dapat terlelap. Segunung rasa takut dan cemas menindih hati
mereka. Hal tersebut berkaitan dengan keputusan raja yang memutuskan bahwa
salah satu dari tiga remaja anak Resi Hijrapa dikorbankan untuk santapan raja.
Menurut
tradisi negara Ekacakra, hari yang dipilih untuk mengadakan korban bakaran
secara besar-besaran adalah hari Anggara Jenar atau Selasa Paing, yang jatuh
pada bulan pertama pada setiap tahunnya. Dikatakan besar karena sesaji yang
dikorbankan paling lengkap, termasuk satu diantaranya adalah ‘ingkung’ manusia.
Lima
hari lagi waktunya telah tiba, Resi Hijrapa belum memastikan siapa diantara
anaknya yang dipilih untuk dikorbankan. Karena ketidak berdayaan untuk menolak
perintah raja dan juga ketidak teganya mengorbankan salah satu anaknya,
ketenangan kewibawaan yang biasanya menjadi ciri khas bagi para resi, tak
sedikitpun tersisa. Resi Hijrapa gusar pikirannya dan bingung hatinya. Walaupun
dalam hati ia mempunyai kecenderungan untuk memilih, namun ia tidak berani
menyatakan dihadapan anak-anaknya. Oleh karena kesulitannya, Resi Hijrapa
membiarkan isteri dan ke tiga anaknya mengalami kecemasan yang berkepanjangan.
Dalam
situasi yang tidak berpengharapan itulah, tiba-tiba Raden Rawan anak nomor dua
menyatakan kesanggupannya untuk dijadikan korban bagi Prabu Dwaka. Mendengar
kesanggupan Raden Rawan Resi Hijrapa, Nyai Resi dan dua saudaranya terharu.
Jika mau jujur, dengan pernyataan kesanggupan Raden Rawan tersebut, Resi
Hijrapa dibebaskan dari ketidakberdayaannya untuk memilih salah satu diantara
ketiga anaknya. Namun bagaimanapun juga sebagai orang tua tentunya hatinya
teriris, tatkala menyerahkan anaknya sebagai pangewan-ewan raja..
Dimata
orang tua dan keluarga, raden Rawan tidak mempunyai keistimewaan. Selain tidak
cukup tampan jika dibandingkan dengan kakak dan adiknya Raden Rawan adalah anak
yang paling pendiam dan sederhana. Namun dibalik itu semua sesekali waktu,
terutama pada saat-sat yang sulit, muncul pribadi yang mengejutkan dan bahkan mecengangkan,
yang tidak terduga sebelumnya
Seperti
yang terjadi pada saat itu, malam dingin beku, dan embunpun mulai turun,
tiba-tiba dihanggatkan oleh keberanian Raden Rawan untuk menghadapi Prabu Dwaka
dan siap mati menjadi ‘tawur agung.” Resi Hijrapa ingin tahu apa yang mendasari
keberanian anaknya tersebut. Dengan jujur raden Rawan mengatakan dihadapan
Bapak, ibu, kakak serta adiknya.
“Bapak
dan Ibu, maafkan anakmu ini, jika pernyataanku menyakitkan hati Bapak dan Ibu.
Aku berani menghadapi Prabu Dwaka dan siap mati menjadi santapannya, kare di
keluarga ini aku adalah anak yang paling tidak berarti. Menurut yang aku
rasakan, bapak sangat menyayangi kakaku dan Ibu sangat mengasihi adikku.
Sehingga jika aku yang dikorbankan keluarga ini akan segera lupa kesedihannya,
lupa akan aku dan cepat pulih kembali”
“Rawaaaan!
Ooh Rawaaaan!”
Hampir
bersamaan Resi Hijrapa dan Nyai Resi menubruk Rawan anaknya. Kedua orang tua
itu menangis seperti anak kecil. Pernyataan Rawan yang jujur dan polos
itu.sungguh telah menyadarkan bahwa selama ini tanpa disengaja ia telah
melakukan ‘mban cindhe, mban siladan.’ Mengemban anaknya yang satu dengan kain
cindhe empuk dan halus, dan mengemban anak yang lainnya dengan siladan, sesetan
bambu hitam yang tajam dan melukai. Resi Hijrapa dan Nyai Resi telah pilih
kasih dalam mendidik dan mendampingi ke tiga anaknya. Layaklah jika padepokan
Giripurwa ambyar diterpa badai ketakutan, karena guru utamanya saja tidak
berhasil dalam mengatasi ketakutan dan membagi keadilan di dalam keluarga. Akibatnya
para cantriknya pada pergi mengungsi dan sebagian menjadi bebahu desa di
Kalurahan Kabayakan.
“Tidaaaak!
Tidak anakku, engkau tidak boleh menjadi korban. Biar aku saja, orang tua
‘balilu’ yang tak tahu malu. Orang tua bangka yang tak banyak guna”. Resi
Hijrapa mengakui segala kedunguannya. Namun Rawan tetap pada niatnya, bahwa ia
ingin menjadi tumbal negara dan keluarga.
Suara
gaduh di ruang tengah itu cukup menggangu Kunthi beserta anaknya yang numpang
di emper bagian depan. Bahkan telinga Kunthi telah mendengar semua yang
dibicarakan Keluarga Resi Hijrapa.
Bersamaan
dengan suara kokok ayam, ketegangan keluarga Resi Hijrapa mulai reda. Mau tidak
mau mereka harus mengakui kebenaran Raden Rawan. Bahwa untuk memperkecil
bencana keluarga, dirinyalah yang harus dikorbankan. Kecuali jika Resi Hijrapa
berani dan tegas menentang keputusan Prabu Dwaka, dan berani mengatakan bahwa
hal tersebut adalah jahanam, aku tidak sudi untuk melaksanakan. Huh!
Ketika
fajar nampak merekah diufuk timur, dan sinarnya mulai membagi terang dan
kehidupan bagi yang jahat, bagi yang baik dan bagi siapa saja tanpa kecuali,
keluarga Resi Hijrapa justru baru mulai terlelap dalam tidur. Entah karena
semalamnya belum tidur atau karena mereka enggan atau bahkan malu kepada
Matahari yang saban hari memberikan teladan bagaimana seharusnya untuk berlaku
adil kepada semua ciptaan.
Pada
hari-hari yang masih tersisa, sikap Resi dan Nyai Hijrapa berubah 180 derajat
terhadap Raden Rawan. Mereka ingin menebus kesalahan dalam mendampingi
anak-anaknya. Raden Rawan telah menyadarkan kedua orang tuanya, bahwasannya
mereka telah pilih kasih dalam memperlakukan ke tiga anaknya. Jika sebelumnya
Resi Hijrapa lebih memperhatikan dan mencintai anak sulungnya, dan Nyai Hijrapa
lebih dekat dengan anak bungsunya, sekarang mereka lebih memperhatikan Raden
Rawan anak yang lahir nomor dua.
Sesungguhnya
Raden Rawan merasa risih atas perlakuan kedua orang tuanya yang berlebih. Namun
ia tidak akan mengungkapkannya kepada ke dua orang tuanya. Raden Rawan sendiri
ingin mengisi hari-hari terakhirnya dengan kebaikan dan kedamaian. Beberapa
hari sebelum ia siap mati untuk menjadi korban keganasan Prabu Dwaka, ia
berpamitan kepada beberapa teman-temanya dan beberapa orang yang ia hormati,
termasuk diantaranya Lurah Sagotra dan Rara Winihan.
Di
mata Raden Rawan, Rara Winihan adalah pemimpin yang luar biasa. Ia mampu
memberikan semangat dan keberanian untuk mengatasi ketertindasan dan memerangi
ketidak adilan. Ia peduli terhadap warganya yang mengalami kesulitan. Beberapa
hari yang lalu Rara Winihan mengutus dua bebahu desa menemui ayahnya, agar
menolak menyediakan korban untuk Prabu Dwaka. Namun ayahnya menolak usulan itu
dengan halus. Ia tidak berani melawan Prabu Dwaka.
Keteladanan
Rara Winihan itulah yang membuat Raden Rawan berani menjadi korban dengan dada
membusung dan muka tengadah. Apalagi ia juga mempunyai keyakinannya bahwa
keberanian dan ketulusan akan dapat menghancurkan kesewenang-wenangan.
“Aku
bangga, engkau jujur dan pemberani. Terlebih engkau mempunyai keyakinan yang
kuat bahwa kesewenang-wenangan akan hancur oleh keberanian dan ketulusan. Maju
terus Rawan aku dan para bebahu desa Kabayakan berada dibelakangmu.”
“Terimakasih
Ibu Rara, aku mohon diri.”
Hari
Anggara Jenar yang jatuh pada bulan pertama pada setiap tahunnya, tinggal tiga
hari lagi, Rara Winihan memutar otak, mencari strategi yang tepat untuk
menghadapi Prabu Dwaka, pada saat menghidangkan korban Raden Rawan. Ketika
malam menjelang, di Kobongan Senthong tengah, Rara Winihan mendapat pencerahan.
Tiba-tiba ia teringat kepada Harjuna yang mempunyai jasa luar biasa pada
kehidupan rumah tangganya. Ia ingin menghadap Harjuna yang bersama keluarganya
berada di rumah Resi Hijrapa. Diajaknya Ki Lurah Sagotra untuk menemui ibu dan
saudara-saudara Harjuna.
Ki
Lurah Sagotra dan Rara Winihan ditemui oleh Ibunda Kunthi dan para Putra.
“Dhuh
Ibu Kunthi dan para putra, saya beserta suami, sebagai yang dituakan, mewakili
seluruh warga desa Kabayakan menyampaikan terimakasih. Kedatangan Ibu dan para
putra membawa berkat yang melimpah kepada warga Desa Kabayakan dan Giripurwa.
Saya bersama pasangan saya telah mendapatkan berkah kerukunan itu melalui Raden
Harjuna. Demikian pula beberapa warga yang mengungsi juga telah mendapatkan
berkah pertolongan melalui Raden Bima. Aku meyakini bahwa Hyang Maha Agung
telah menuntun Ibunda Kunthi dan para putra untuk singgah di wilayah ini dan
melimpahkan berkahnya bagi seluruh warga.”
“Rara
Winihan, aku dan anak-anakku adalah orang orang yang numpang makan dan tidur di
tempat ini. Seharusnya kamilah yang mengucapkan terimakasih kepada semua warga
Desa Kabayakan dan Giripurwa, karena mereka telah memberikan tempat dan makanan
dengan ramah dan ikhlas. Aku secara pribadi mohon maaf karena telah merepotkan
banyak orang.”
“Kerendahan
hati seorang permaisuri Raja sungguh menakjubkan. Dengan kerendahan hati
seorang ibu sejati, aku berkeyakinan bahwa Ibunda Kunthi tidak tega melihat
penderitaan putra-putrinya.”
“Benar
katamu Rara Winihan, aku tidak tega ketika melihat anakku kembar kelaparan.
Tetapi apa yang dapat kulakukan? Aku hanyalah seorang wanita yang lemah dan
miskin.”
“Bukankah
ibu tinggal memerintahkan putra-putranya yang perkasa?”
“Tetapi
aku kecewa dengan Harjuna, ia hanya meminta-minta makanan kepadamu”
“Ampun
Ibunda Kunthi, dua bungkus nasi bukanlah apa-apa jika dibandingkan dengan
berkah yang ditinggalkan. Oleh karena kehadiran Raden Harjuna, aku dan suamiku
boleh menikmati kebahagiaan suami isteri yang telah kami tunggu hampir setahun
lamanya.”
“Jika
yang terjadi adalah kebaikan, itu bukan karena Harjuna, melainkan karena
kebaikan-Nya.”
“Iya
Ibunda Kunthi, aku sependapat dengan Ibunda, termasuk juga berkat kebaikan-Nya
yang akan dilimpahkan kepada semua warga Kabayakan dan Giripurwa melalui
putra-putra Ibunda yang perkasa. Baru beberapa hari Ibunda Kunthi dan para
putra tinggal di rumah ini, semakin banyak warga yang datang di tempat ini.
Mereka yang telah mengetahui siapakah sesungguhnya Ibunda Kunthi dan
putra-putranya, ingin meminta perlindungan atas kesewenang-wenangan Prabu Dwaka”
“Rara
Winihan, aku telah mendengarnya dari keluarga Resi Hijrapa yang mendapat
kewajiban mengorbankan salah satu anaknya kepada Prabu Dwaka. Aku tidak tega
ketika Rawan akan dikorbankan. Aku telah membujuk anakku Bima untuk menolong
keluarga Hijrapa, dengan menjadi silih korban. Namun Bima belum menyanggupi,
dengan alasan karena Resi Hijrapa tidak memintanya.”
Kecerdasan
dan kecekatan Rara Winihan telah menangkap sebuah peluang yang sangat penting
untuk sebuah pengharapan yang membebaskan. Bermula dari rasa iba Ibunda Kunthi
terhadap ketakutan dan penderitaan keluarga Resi Hijrapa, khususnya Raden Rawan
yang akan dikorbankan. Ibu Kunthi membujuk Bima agar mau menolongnya. Bima mau
menolongnya tetapi dengan syarat, agar Resi Hijrapa-lah yang meninginkan pertolongan
tersebut. Ibunda Kunthi memakluminya kepada anak nomor dua ini. Orangnya
sederhana dan jujur, tentunya kalau tidak diminta, ia sungkan untuk menawarkan
kemampuannya, karena hal tersebut akan menggiring kepada kesombongan.
Rara
Winihan tahu, tinggal satu hal lagi yang harus dikerjakan jika semuanya akan
menjadi beres, yaitu Resi Hijrapa mau datang memohon belaskasihan kepada Kunthi
untuk menolongnya.
“Ibunda
Kunthi, jika Resi Hijrapa tahu siapakah sesungguhnya orang-orang yang menumpang
di rumahnya, tentu tanpa diminta pun ia akan tergopoh-gopoh bersujud meminta
perlindungan. Namun karena saat ini ia sedang mengalami tekanan yang luar
biasa, Resi Hijrapa tidak memperhatikan orang-orang disekitarnya. Baginya
Ibunda Kunthi dan para putra sebatas seorang penggembara yang numpang sementara
di rumahnya. Sehingga Resi Hijrapa beranggapan bahwa Ibunda Kunthi dan para
putra tidak dapat menolongnya. Oleh karenanya biarlah aku yang menghadap Resi
Hijrapa untuk mengatakan hal ini.”
Tanpa
menunggu jawaban Ibunda Kunthi, Rara Winihan undur diri, dan segera menemu Resi
Hijrapa.
Rara
Winihan tidak mau membuang waktu, setelah mohon diri, Kunthi, Puntadewa,
Bimasena, Harjuna dan sikembar Nakula, Sadewa ditinggalkannya. Ia menemui Resi
Hijrapa diruang dalam. Sebelum Rara Winihan masuk, Rawan mendahului keluar
menyambut dengan wajah berseri-seri. Bocah remaja itu mengalami sukacita
didatangi Ibu Lurah dan Bapak Lurah yang sangat ia kagumi. Apalagi di hari-hari
terakhir sebelum ia dikorbankan, kehadiran seseorang yang menjadi idola dapat
menjadi kekuatan dan penghiburan.
“Bapa
Resi, dua bebahu desa yang kami utus menghadap Bapa Resi melaporkan bahwa Bapa
Resi tetap akan mengorbankan Rawan, tidak adakah jalan lain?
“Kami
tidak menemukan jalan lain. Kecuali jika kami menolak. Dan itu fatal akibatnya,
seluruh keluargaku akan ditumpas.”
“Apakah
tidak meminta tolong”
“Orang
yang mau menolong kami artinya ia mau menjadi silih korban anakku. Saya tidak
percaya bahwa ada orang yang bersedia menolong kami dengan berani menggantikan
anakku menjadi santapan Prabu Dwaka.”
“Bapa
Resi, tahukah Bapa Resi siapakah sesungguhnya seorang janda beserta ke lima
anaknya yang numpang di rumah Bapa Resi?”
“Ibu
Lurah, hatiku gelap dan pikiranku kalut sehingga tidak pernah menanyakan
siapakah mereka sesungguhnya.”
“Bapa
Resi, merekalah yang akan menjadi dewa penolong, jika Bapa mau menemuinya untuk
memohon pertolongan.”
“Ibu
Lurah, siapakah sesungguhnya mereka?”
“Mereka
adalah Ibu Kunthi dan Pandhawa Lima”
“Benarkah
Ibu Lurah?
Rara
Winihan mengganguk mantap. Pernyataan Rara Winihan bagaikan matahari yang
tiba-tiba muncul memecah mendung kelabu. Wajah Resi Hijrapa berseri. Secercah
harapan baru menyembul dari sanubarinya. Dengan tergopoh-gopoh, Resi Hijrapa
berjalan menuju ruang depan, tempat Kunthi dan anak-anaknya menumpang. Rara
Winihan, Lurah Sagotra dan Raden Rawan mengikutinya.
Sesampainya
di depan Kunthi, Resi Hijrapa bersimpuh dan menghaturkan sembah di depan kaki
Kunthi, untuk memohon pertolongan.
“Ibu
Prameswari maafkan hamba si tua bangka yang bodoh ini, jauhkan dari tulah
sarik, dari kutuk dan dari hukuman, karena kesalahan hamba. Hamba telah
memperlakukan Ibu Prameswari dan para pewaris tahta HAstinapura dengan sangat
tidak layak.”
“Bapa
Resi janganlah merendahkan dan menghinakan dirimu sendiri, duduklah, dan
bicaralah dengan wajar, katakanlah apa yang engkau inginkan dari kami.”
“Dhuh
Ibu Prameswari, ampunilah kesalahanku, karena penyambutanku di rumah ini tidak
sesuai denga kedudukan Sang Ibu Kunthi beserta para putra.”
“Sudahlah
Bapa Resi. Bapa Resi tidak bersalah. Kamilah yang telah merepotkan Bapa resi
dan keluarga. Tetapi bukankah ada sesuatu yang lebih penting dari semuanya itu.
Katakanlah Bapa Resi”
Karena
kehalusan budi dan kerendah hati dan belas-kasih Sang Ibu Kunthi, Resi Hijrapa
memberanikan diri untuk menceritakan masalah berat yang dihadapi oleh
keluarganya dan kemudian memohon pertologannya. Dewi Kunthi yang sudah
mendengar dan mengetahui semuanya, bahkan sudah berembug masalah ini dengan
Bima anaknya, menyarankan kepada Resi Hijrapa agar langsung meminta bantuan
kepada anaknya yang nomor dua yang bernama Bimasena. Karena dialah orangnya
yang tepat untuk melakukan pertolongan ini.
Bima
adalah sosok yang sederhana dan jujur, ia selalu siap memberikan pertolongan
kepada siapapun yang membutuhkan, apalagi jika yang bersangkutan datang memohon
langsung kepada dirinya, maka akan semakin mantaplah ia melakukan pertolongan.
Ketika ditemui Resi Hijrapa, Bima bersedia dikorbankan sebagai ganti Rawan
anaknya. Resi Hijrapa sangat lega, terbebas dari beban berat yang menindihnya.
Sesaat
setelah Bima menyanggupkan diri menjadi sesaji yang akan dipersembahkan kepada
Prabu Dwaka, datang serombongan perajurit Ekacakra dengan jumlah yang lebih
banyak dari jumlah perajurit yang kemarin lusa mencegat para pengungsi. Mereka
melacak keberadaan seorang tinggi perkasa yang telah menolong para pengungsi
dan mengalahkannya. Ketika kemudian mereka menemukan orang yang dimaksud yaitu
Bima di rumah Resi Hijrapa, maka kemudian mereka datang dengan maksud menawan
Bima. Bima dengan dibantu oleh Harjuna bermaksud melawannya.
Namun
sebelum peperangan terjadi Lurah Sagotrra didampingi Rara Winihan menyerukan
kepada pemimpin perajurit Ekacakra, agar mau bersabar. Kecerdasan Rara Winihan
berhasil mempengaruhui pimpinan perajurit untuk membatalkan niatnya nenangkap
Bima. Dengan alasan bahwa Bima telah menyanggupkan diri sebagai korban untuk
Prabu Dwaka.
”Di
rumah ini segala sesuatunya telah disiapkan. Jika pimpinan perajurit mau
menangkap Raden Bima dan Raden Bima melawan, maka akan terjadi pertempuran.
Jika pertempuran terjadi di rumah ini maka semuanya yang ada bakal rusak dan
hancur. Termasuk juga ubarampe sesaji yang telah dipersiapkan. Jika hal ini
benar-benar terjadi, artinya para perajurit telah menghancurkan persiapan
sesaji yang akan dipersembahkan kepada raja, termasuk calon korbannya yaitu
Raden Bimasena. Jika pemimpin perajurit akan nekat memaksakan kehendak, aku
sebagai lurah di wilayah ini akan menghadap raja dan menghaturkan bahwa calon
sesaji yang telah dipersiapan dirusak oleh perajurit Ekacakra sendiri.”
Mendengar
seruan Ibu Lurah yang lantang tersebut, pemimpin perajurit tanpa berucap
sepatah kata pun membalikan kudanya bersama dengan pasukannya meninggalkan
rumah Resi Hijrapa. Mereka takut jika tindakannya menangkap orang tinggi
perkasa dianggap mengacaukan persiapan korban terbesar sepanjang tahun yang
akan diadakan besok lusa.
Kabar
kesanggupan Bima mau menjadi korban santapan menggantikan Rawan cepat tersebar
di Desa Sendangkandayakan dan pertapaan Giripurwa. Mereka berdatangan di rumah
Resi Hijrapa. Ketika ditemuinya ada Lurah Sagotra dan Rara Winihan, semakin
mantaplah mereka bergabung.
Ketika
tiba saatnya, hari Anggara Jenar yang jatuh pada bulan pertama pada setiap
tahunnya, Resi Hijrapa telah siap dengan sesajinya. Rara Winihan berperan besar
dalam pembuatan sesaji. Ia telah menutupi badan Bima dengan parutan kelapa muda
yang dimasak bothok.
Pagi
itu mereka membawa sesaji komplit meninggalkan Rumah Resi Hijrapa, menuju
keraton Ekacakra. Selain Bima sendiri, yang mengiringi sesaji dari Giripurwa
adalah : Harjuna, Rawan, Rara Winihan, Lurah Sagotra, Resi Hijrapa, warga
Sendangkandayakan dan Giripurwa. Dengan keberadaan Bima diantara mereka, mereka
tidak takut, karena mereka percaya dengan nama besar Pandhawa Lima dan sebagian
dari mereka telah melihat kesaktian Bima waktu menolong para pengungsi.
Sesampainya
di balairung keraton Ekacakra, sesaji dari Giripuwa yang berupa Bima dibumbu
bothok menarik perhatian banyak orang termasuk Sang Prabu Dwaka, karena sosok
Bima yang tinggi besar sepadan dengan Prabu Dwaka.
Setelah
segalanya siap, upacara sesaji dimulai dengan pemukulan gong beri tiga kali.
Selesai gaung gong yang ketiga, mereka mulai melakukan pembakaran aneka macam
daging dan ikan secara serentak. Di tengah-tengah membumbungnya asap bakaran,
Prabu Baka berjalan keliling sebelum mendekati korban mausia yaitu Bima Bothok.
Baru setalah langkahnya tertuju kepada Bima Bothok, perutnya mulai keroncongan,
dan air liurnya mengumpul di ujung lidahnya.
Sitihinggil
Ekacakra penuh dengan asap korban bakaran. Prabu Dwaka mulai merasa lapar
mencium bau asap dari daging yang dibakar. Terlebih ketika melihat Bima yang
diberi bumbu bothok, ia mengarahkan langkah dan pandangannya menuju korban yang
di sajikan dari Giripurwa. Selangkah demi selangkah kaki yang besar dan berat
itu menginjak bumi, dan menimbulkan getar disekitarnya. Bimasena, Arjuna, Lurah
Sagotra, Rara Winihan, Rawan dan para pengiring mulai meningkatkan kewaspadaan.
Kecuali Bima dan Arjuna, jantung mereka berdetak semakin cepat merasakan getar
tanah yang ditimbulkan oleh langkah Prabu Dwaka, hawa dingin mulai mengalir
dari ujung kaki dan telapak tangan mereka.
Prabu
Dwaka semakin tidak kuasa menahan lapar, melihat sosok Bima yang berbadan
tinggi besar, berotot kuat dan kencang, berlumuran bumbu bothok kesukaannya.
Karena tertariknya dengan sosok Bima, Prabu Dwaka tidak memperhatikan rangkaian
korban yang lain yang telah disiapkan oleh Rara Winihan di dalam sebuah
gerobak. Tangan Prabu Dwaka yang besar kuat, penuh dengan bulu, mendulit bumbu
bothok di tubuh Bima.
“Hmm
enaaak”
Bima
tidak gentar menghadapi Prabu Dwaka. Sejak ia sanggup menjadi korban untuk
menggantikan Rawan, ia sudah siap lahir batin. Ditatapnya Prabu Dwaka
dihadapannya dengan ketajaman mata laksana burung hantu. Otot tubuh yang
menjadi daya kekuatan Bimasena mulai dikencangkan.
Prabu
Dwaka tidak sabar, dengat cepat ia menyahut Bima. Jika pada korban sebelumnya,
baik yang bulanan maupun yang tahunan, korban hanya dapat menjerit dan kemudian
diam, kali ini tidak ada jeritan. Bima mampu menepis tangan Prabu Dwaka dengan
kekuatan yang lebih besar. Prabu Dwaka terkejut bukan kepalang, merasakan
kekuatan besar yang keluar dari calon koorbannya. Ulah Bima yang belum pernah
dilakukan oleh para korban sebelumnya, justru meningkatkan selera Prabu Dwaka.
Ia dengan tawa sinisnya mengelilingi Bima, ingin mempermainkan calon korbannya
sebelum disantapnya.
Namun
yang apa yang terjadi sungguh mengejutkan, terutama bagi Prabu Dwaka. Bima
dengan cepat dan tiba-tiba melayangkan kakinya ke dada Prabu Dwaka. Prabu Dwaka
senggoyoran hampir jatuh. Ia baru sadar, bahwa korban yang disajikan kali ini
bukan orang sembarangan. Prabu Dwaka menatapnya Bima dengan kemarahan puncak.
Bima tidak mau kalah, ia balas menatapnya sembari berdiri teguh, seteguh batu
karang. Dengan menghimpun kekuatan, Prabu Dwaka menerkam Bima. Kali ini Bima
menghindar. Prabu Dwaka semakin marah. Dan sebentar kemudian terjadilah
pertepuran yang dahsyat. Dikarenakan keduanya tidak merasa leluasa bertempur di
pelataran sitihinggil, maka tanpa kesepakatan pertempuran bergeser keluar dari
sitihinggil menuju ke alun-alun.
Korban
besar tahunan menjadi kacau. Para pelaku korban, petugas jaga, para perajurit
dan pengawal raja, menghentikan aktifitasnya. Mereka bersama-sama menyaksikan
pertepuran langka. Bahkan orang-orang mulai berdatangan ke alun-alun untuk
menyaksikan pertempuran dahsyat sepanjang abad.
Para
pajurit yang setia kepada raja, ikut geram kepada Bimasena. Namun dibalik
kegeramannya, mereka mengakui keberanian Bima untuk melawan raja mereka. Karena
selama mereka mengabdi kepada Prabu Dwaka, belum pernah ia menjumpai seseorang
yang berani kepada raja mereka. Barulah sekarang untuk yang pertamakali ia
menyaksikan ada orang yang berani melawan raja mereka dengan tidak menampakkan
ketakutannya.
Walaupun
diantara mereka pernah menyaksikan dan merasakan kesaktian Bima ketika menolong
para pengungsi, mereka semakin tergetar keberaniannya menyaksikan kehebatan
Bima saat melawan Prabu Dwaka.
Sementara
itu, bagi mereka, baik para perajurit atau kawula Ekacakra yang selama ini
tidak senang dengan raja mereka, sangat berharap agar Bima berhasil memenangkan
pertempuran.
Hari
semakin siang, matahari telah hampir berada di tengah. Pertempuran berlangsung
semakin seru. Keduanya saling mengeluarkan ilmu-ilmu andalan. Debu mengepul,
mengelilingi dan menutupi Prabu Dwaka dan Bimasena. Para penonton tidak dapat
lagi melihat keduanya dengan jelas. Namun melalui suara yang ditimbulkan mereka
dapat ikut merasakan bahwa pertempuran tersebut semakin dahsyat. Oleh karenanya
para penonton semakin mundur dengan perasaan cemas, sehingga tempat bertempur
pun menjadi semakin luas.
Beberapa
saat kemudian, debu yang membumbung perlahan-lahan pergi dibawa angin. Dari
kejauhan, tampaklah Bimasena dan Prabu Dwaka berdiri berhadapan. Rupanya mereka
sepakat untuk beristirahat sejenak sambil mengatur napas mereka masing-masing.
Tidak beberapa lama kemudian, pertempuran dilanjutkan kembali.
Prabu
Dwaka yang lapar karena belum berhasil menyantap korban, bertempur dengan
membabi buta. Ia ingin segera mengakhiri pertempuran. Namun lawannya bukanlah
orang sembarangan, ia mempunyai ilmu tingkat tinggi yang jarang ada
tandingannya. Oleh karenanya, Prabu Dwaka menjadi frustasi karena tidak dapat
segera mengalahkan Bimasena. Sebaliknya, Bimasena menjadi semakin tenang dan
mantap. Sehingga dengan demikian ia dapat dengan jelas melihat kelemahan daya
pertahanan lawannya. Pusaka Kuku Pancanaka andalan Bimasena telah disiapkan.
Dan pada saat yang tepat, Bimasena berhasil menyarangkan Kuku Pancanaka ke dada
Prabu Dwaka.
Terdengar
suara teriakan menggelegar dan disusul dengan robohnya tubuh Prabu Dwaka yang
tinggi besar. Sorak membahana gemuruh menyambut kemenangan Bimasena. Beberapa
pengawal yang setia Raja mengarahkan mata tombaknya ke dada Bimasena, namun
sebelum Bimasena luka, Arjuna dengan tangkas menarik busur dan melepaskan anak
panahnya dalam jumlah banyak. Maka berjatuhanlah mereka. Pengawal yang lain
tergetar hatinya, melihat kesaktian Arjuna dalam memananh.. Mereka mengurungkan
niatnya membela rajanya, dan meyerah dihadapan Bimasena.
Setelah dipastikan bahwa Prabu Dwaka sudah gugur, para kawula
Ekacakra memohon agar badan Prabu Dwaka yang sudah tidak bernyawa dipisahkan,
yang satu ditanam di gunung gamping barat yang satu ditanam di gunung gamping
Timur. Menurut kepercayaan, hal tersebut dimaksudkan untuk menghilangkan energi
negatif yang akan ditimbulkan oleh raga Prabu Dwaka.
Pada
puncak korban tahunan kali ini, tidak ada lagi kawula yang dikorbankan,
melainkan Prabu Dwaka sendiri dan beberapa pengawalnya yang menjadi korban.
Prabu
Baka atau Prabu Dwaka yang menjadi sumber ketakutan kawula Ekacakra telah
dihancurkan oleh Bimasena. Para pejabat, pengawal perajurit dan pengikut yang
selama ini berada di lingkaran pusat kekuasaan merasa terancam keberadaannya.
Pengawal raja lapis pertama yang mengandalkan insting jika rajanya ada dalam
bahaya dengan cepat menyerang Bima yang telah mencelakai tuannya, namun dengan
cepat pula dilumpuhkan oleh panah Arjuna.
Walaupun
tenaganya belum pulih, setelah mengalahkan Prabu Dwaka, Bima sendiri juga telah
bersiaga untuk menghadapi para pengawal dan pengikut Prabu Dwaka yang tidak
terima akan kematian Rajanya. Namun tidak ada lagi yang menyerang Bima setelah
serangan pengawal lapis pertama gagal total. Mereka keder juga menyaksikan
kesaktian Bima yang menggetarkan.
Ditambah
lagi bahwa rombongan pembawa korban dari Giripurwa terdapat orang sakti selain
Bima, yang ahli menggunakan senjata panah. Kesaktiannya dalam memanah telah
ditunjukkan ketika membendung serangan para pengawal raja lapis pertama yang
hendak mengeroyok Bimasena. Orang sakti tersebut adalah adik Bimasena yang
bernama Arjuna. Ia memang sengaja mennunjukan kesaktiannya agar yang lain jera,
sehingga dengan demikian akan mengurangi korban.
Kesaktian
memanah yang ditunjukan Arjuna dengan melumpuhkan puluhan korban dalam waktu
sekejab merupakan ilmu terbaik Sokalima. Ditambah pula dengan pusaka ali-ali
ampal dari Prabu Ekalaya raja Paranggelung, membuat ilmu memanah Arjuna tidak
tertandingi. Maka jika pun pengawal lapis dua berniat melawan Bima dan Arjuna
dapat dipastikan nasibnya akan sama seperti pengawal lapis pertama yang dalam
sekejap roboh bersamaan.
Untung
saja gebrakan awal Arjuna berhasil membuat nyali para pengawal raja menciut,
sehingga mereka mengurungkan niatnya untuk melawan Bima dan Arjuna. Karena
sudah tidak punya nyali untuk melawan, para pejabat, pengawal dan pengikut
setia Prabu Dwaka kini sudah tidak setia lagi, mereka meletakan senjata dan
menyerah.
Sorak
sorai membahana. Kawula Ekacakra merayakan kemenangan. Korban bakaran yang
sedianya diperuntukan untuk kehormatan dan kekuasaan raja menjadi korban
sukacita dan pesta kemenangan rakyat Ekacakra. Bimasena dielu-elukannya dan
juga Arjuna. Hal yang lebih membanggakan dirasakan oleh rombongan korban dari
Giripurwa. Karena berawal dari Bima yang hadir di wilayahnya dan bersedia
menjadi silih korban menggantikan Rawan, akhirnya mampu menumbangkan
angkaramurka dan menanamkan ketamakan Prabu Baka di gunung Gamping yang beku.
Gugurnya
Prabu Baka membuat keadaan negeri Ekacakra secara keseluruhan berbalik 180
derajat. Jika sebelumnya rasa takut dan suasana mencekam melanda setiap hati
kawula Ekacakra, kini setelah Prabu Baka gugur, suasana berubah menjadi
sukacita dan lepas bebas dari takut dan cemas. Seluruh rakyat menjadi tenteram
karenanya.
Dengan
perubahan itu, beberapa bebahu desa Kabayakan teringat akan kata-kata Rara
Winihan yang memberikan pengharapan, bahwa tidak lama lagi desa Kabayakan akan
terbebas dari rasa cemas takut. Bahkan Desa ini akan mendapat anugerah yang
begitu besar.
Tanda
akan datangnya anugerah besar itu di sampaikan oleh Hyang Widi Wasa lewat
mimpinya. Pada dini hari tadi, Rara Winihan bermimpi sedang melakukan perjalanan
ke dusun-dusun, bersama Ki Lurah Sagotra, Para Bebahu, dan beberapa orang yang
dituakan. Sesampainya di setiap dusun yang mereka kunjungi, para warga
mengelu-elukan rombongan Lurah Sagotra. Suasana kunjungan tersebut mirip sebuah
perjalanan pesiar. Diakhir perjalanannya, rombongan Lurah Sagotra memasuki
jalur sungai. Keanehan terjadi, mereka berjalan di atas sungai dan kakinya
tidak menyentuh air.
Dan
benarlah, makna yang terselubung dalam mimpi, bahwa jika orang yang bermimpi
berjalan di atas air, akan mendapat kabegjan anugerah yang luar biasa. Kini
mimpi Rara Wunihan telah menjadi kenyataan.
Selain
Bima dan Arjuna nama Rara Winihan menjadi semakin berkibar. Banyak kawula
Giripurwa menginginkan Ibu Lurah tersebut menempati jabatan yang lebih tinggi lagi.
Namun Rara Winihan menolaknya. Ia justru menjadi malu, karena sesungguhnya ia
hanyalah seorang yang tidak berarti dibandingkan dengan Bimasena dan Arjuna,
atau dengan Ibu Kunthi. Ia hanyalah istreri Lurah Sagotra, Kanca Wingking yang
seharusnya hanya berada di wilayah belakang.
Ambisi
para bebahu yang ingin mengangkat dirinya menduduki jabatan yang lebih tinggi,
justru telah menyadarkan dirinya, bahwa langkah yang ia jalankan selama ini
telah kemajon, atau terlalu ke depan dibandingkan dengan peran yang seharusnya
ia jalani, yaitu sebagai isteri Lurah, tidak lebih.
Pada
keesok harinya ketika semuanya berkumpul di Rumah Resi Hijrapa, tak satupun
rasa takut menyusup di hati dan pikiran mereka. Sehingga yang nampak adalah
wajah-wajah ceria yang terbebas dari kecemasan. Dalam kesempatan tersebut, Resi
Hijrapa, Rawan, Lurah Sagotra dan Rara Winihan mengucapkan terimakasih yang tak
terhingga kepada Ibu Kunthi, Bimasena dan Arjuna. Selain itu Resi Hijrapa dan
kemudian diikuti oleh Rawan, Ki Lurah Sagotra dan Rara Winihan menyatakan diri,
jika kelak terjadi perang besar antara Pandhawa dan Korawa yang disebut
Bharatayudha mereka siap membantu Pandhawa sebagai tawur awal pada perang
tersebut. Kunthi dan Pandhawa sangat terharu merasakan ketulusan yang dinyatakan
mereka untuk siap berkorban bagi Pandhawa.
Sepeninggal
Prabu Dwaka, kerajaan Ekacakra komplang, tanpa raja. Untuk sementara sebelum
sampai kepada orang yang paling berhak menduduki tahta, kebijaksanaan kerajaan
dipasrahkan kepada Prabu Durpada yang memerintah di negara Pancala. Karena
wilayah Ekacakra bergandengan dengan wilayah Pancala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar