Bencana
besar telah melanda, Palu Tuhan telah diketuknya.
Namaku
Kaca Negara. Umurku sebelas tahun. Ia tinggal bersama paman dan bibinya serta
saudara sepupunya. Rumah sederhana berada di Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta. Kota Jogja kota Budaya dan Pendidikan. Bibinya bernama Suketi dan
Pamannya bernama Raketi. Pamannya Raketi seorang manager pabrik kulit. Ia
seorang laki-laki gemuk. Walaupun kumisnya besar sekali. Bibinya Suketi kurus
berambut hitam, lehernya dua Lili panjang leher biasa. Raketi dan Suketi
mempunyai anak laki-laki yang seumuran dengan Kaca bernama Sakuni. Sifatnya
rakus dan tamak seperti badannya gempal. Mereka tinggal di perumahan Puri Indah
no 4 Jln Jogja Solo.
“Bangun!
Bangun! Cepat!”
Kaca
terbangun dengan kaget. Bibinya menggedor pintunya.
“Banguuun!”
lengkingnya. Kaca mendengarnya melangkah menuju dapur, lalu bunyi wajan yang
dielakkan di atas kompor. Bibinya sudah kembali berada di depan pintu kamarnya.
“Kau
sudah bangun belum?” tuntutnya.
“Hampir,”
jawab Kaca.
“Ayo,
cepat. Aku mau kau yang menggoreng daging asap. Jangan sampai gosong. Aku ingin
segalanya sempurna pada hari ulang tahun Raketi.”
Kaca
mengeluh.
“Apa
katamu?”
“Tidak,
tidak apa-apa...”
Diulang
tahun Paman Raketi bagaimana mungkin dia bisa lupa? Dengan enggan Kaca turun
dari tempat tidur dan mencari-cari kaus kaki. Ditemukannya sepasang di bawah
tempat tidur, dan setelah menarik labah-labah dari salah satu di antaranya,
dipakainya kaus kaki itu. Kaca sudah terbiasa
dengan labah-labah, karena lemari di bawah tangga penuh labah-labah, dan di
situlah dia tidur.
Setelah
berpakaian, dia pergi ke dapur. Meja dapur nyaris tersembunyi di bawah tumpukan
hadiah untuk Sakuni. Tampaknya Sakuni mendapatkan komputer baru yang diinginkannya,
belum lagi televisi baru, dan sepeda balap.
Kenapa
persisnya Sakuni ingin sepeda balap, sungguh suatu misteri bagi Kaca, karena Sakuni
gemuk dan benci olahraga kecuali, tentu saja, bentuk olahraganya adalah meninju
orang lain. Kantong tinju favorit Sakuni adalah Kaca, tetapi Sakuni jarang
berhasil mengenainya. Kaca memang tidak kelihatan gesit, tetapi dia gesit
sekali.
Mungkin
ada hubungannya dengan tinggal di dalam lemari yang gelap, tetapi Kaca termasuk
kecil dan kurus untuk umurnya. Dia bahkan kelihatan lebih kecil dan lebih kurus
dari yang sesungguhnya karena semua pakaiannya lungsuran Sakuni, dan Sakuni
empat kali lebih besar daripadanya. Kaca berwajah kurus, lututnya menonjol,
rambutnya hitam, dan matanya hitam cemerlang. Dia memakai kacamata bulat yang bingkainya
dilekat dengan banyak selotip karena seringnya Sakuni memukul hidungnya.
Satu-satunya yang disukai Kaca pada penampilannya adalah bekas luka tipis pada
dahinya yang berbentuk sambaran kilat. Sejauh yang dia ingat, dari dulu bekas
luka itu sudah ada dan pertanyaan pertama yang seingatnya dia tanyakan kepada Bibi
Suketi adalah bagaimana dia mendapatkan bekas luka itu.
“Dalam
kecelakaan waktu orangtuamu meninggal,” katanya.
“Dan
jangan tanya-tanya lagi.”
Jangan
tanya-tanya itu peraturan pertama jika mau hidup tenang bersama keluarga Raketi.
Paman Raketi masuk dapur ketika Kaca sedang membalik daging.
“Sisir
rambutmu!” perintahnya, sebagai ucapan selamat paginya.
Sekali
seminggu, Paman Raketi memandang dari atas korannya dan berteriak bahwa Kaca
harus potong rambut. Kaca pastilah sudah potong rambut lebih sering dibanding
seluruh teman sekelasnya sekligus. Tetapi sama saja, rambutnya tetap saja
tumbuh begitu berantakan.
Kaca
sedang menggoreng telur ketika Sakuni muncul di dapur dengan ibunya. Sakuni
mirip sekali dengan Paman Raketi. Wajahnya lebar dan merah jambu, lehernya pendek,
matanya kecil, biru, berair. Rambutnya
yang tebal hitam menempel rapi pada kepalanya yang gemuk. Bibi Suketi sering mengatakan
bahwa Sakuni kelihatan seperti bayi malaikat, sedangkan Kaca sering mengatakan Sakuni
seperti babi pakai wig.
Kaca
menaruh piring berisi daging dan telur ke atas meja. Ini susah, karena nyaris
tak ada tempat. Sakuni, sementara itu, menghitung hadiahnya. Wajahnya langsung
cemberut.
“Tiga
puluh enam,” katanya sambil memandang ayah dan ibunya. “Kurang dua dibanding
tahun lalu.”
“Sayang,
kau belum menghitung hadiah Bibi Waketi, lihat, ini dia di bawah hadiah dari
Bapak dan Ibu.”
“Baik,
tiga puluh tujuh, kalau begitu,” kata
Sakuni, yang wajahnya sudah merah.
Kaca yang sudah bisa menduga kemarahan Sakuni akan meledak, cepat-cepat mengunyah
dagingnya. Siapa tahu Sakuni akan menjungkirkan meja. Bibi Suketi rupanya
menyadari datangnya bahaya juga, karena dia cepat-cepat berkata,
“Dan
kami akan membelikan untukmu dua hadiah lagi kalau kita jalan-jalan nanti.
Bagaimana, Manis? Dua hadiah tambahan. Oke, kan?”
Sejenak
Sakuni berpikir. Kelihatannya susah baginya. Akhirnya dia berkata pelan-pelan, “Jadi
aku akan punya tiga puluh... tiga puluh...”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar