Sepenggal Novel Kaca Negara - Sastra Education

Breaking

Sabtu, 20 Januari 2018

Sepenggal Novel Kaca Negara



Bencana besar telah melanda, Palu Tuhan telah diketuknya.
Namaku Kaca Negara. Umurku sebelas tahun. Ia tinggal bersama paman dan bibinya serta saudara sepupunya. Rumah sederhana berada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kota Jogja kota Budaya dan Pendidikan. Bibinya bernama Suketi dan Pamannya bernama Raketi. Pamannya Raketi seorang manager pabrik kulit. Ia seorang laki-laki gemuk. Walaupun kumisnya besar sekali. Bibinya Suketi kurus berambut hitam, lehernya dua Lili panjang leher biasa. Raketi dan Suketi mempunyai anak laki-laki yang seumuran dengan Kaca bernama Sakuni. Sifatnya rakus dan tamak seperti badannya gempal. Mereka tinggal di perumahan Puri Indah no 4 Jln Jogja Solo.  
“Bangun! Bangun! Cepat!”
Kaca terbangun dengan kaget. Bibinya menggedor pintunya.
“Banguuun!” lengkingnya. Kaca mendengarnya melangkah menuju dapur, lalu bunyi wajan yang dielakkan di atas kompor. Bibinya sudah kembali berada di depan pintu kamarnya.
“Kau sudah bangun belum?” tuntutnya.
“Hampir,” jawab Kaca.
“Ayo, cepat. Aku mau kau yang menggoreng daging asap. Jangan sampai gosong. Aku ingin segalanya sempurna pada hari ulang tahun Raketi.”
Kaca mengeluh.
“Apa katamu?”
“Tidak, tidak apa-apa...”

Diulang tahun Paman Raketi bagaimana mungkin dia bisa lupa? Dengan enggan Kaca turun dari tempat tidur dan mencari-cari kaus kaki. Ditemukannya sepasang di bawah tempat tidur, dan setelah menarik labah-labah dari salah satu di antaranya, dipakainya kaus kaki itu.  Kaca sudah terbiasa dengan labah-labah, karena lemari di bawah tangga penuh labah-labah, dan di situlah dia tidur.
Setelah berpakaian, dia pergi ke dapur. Meja dapur nyaris tersembunyi di bawah tumpukan hadiah untuk Sakuni. Tampaknya Sakuni mendapatkan komputer baru yang diinginkannya, belum lagi televisi baru, dan sepeda balap.
Kenapa persisnya Sakuni ingin sepeda balap, sungguh suatu misteri bagi Kaca, karena Sakuni gemuk dan benci olahraga kecuali, tentu saja, bentuk olahraganya adalah meninju orang lain. Kantong tinju favorit Sakuni adalah Kaca, tetapi Sakuni jarang berhasil mengenainya. Kaca memang tidak kelihatan gesit, tetapi dia gesit sekali.
Mungkin ada hubungannya dengan tinggal di dalam lemari yang gelap, tetapi Kaca termasuk kecil dan kurus untuk umurnya. Dia bahkan kelihatan lebih kecil dan lebih kurus dari yang sesungguhnya karena semua pakaiannya lungsuran Sakuni, dan Sakuni empat kali lebih besar daripadanya. Kaca berwajah kurus, lututnya menonjol, rambutnya hitam, dan matanya hitam cemerlang. Dia memakai kacamata bulat yang bingkainya dilekat dengan banyak selotip karena seringnya Sakuni memukul hidungnya. Satu-satunya yang disukai Kaca pada penampilannya adalah bekas luka tipis pada dahinya yang berbentuk sambaran kilat. Sejauh yang dia ingat, dari dulu bekas luka itu sudah ada dan pertanyaan pertama yang seingatnya dia tanyakan kepada Bibi Suketi adalah bagaimana dia mendapatkan bekas luka itu.
“Dalam kecelakaan waktu orangtuamu meninggal,” katanya.
“Dan jangan tanya-tanya lagi.”
Jangan tanya-tanya itu peraturan pertama jika mau hidup tenang bersama keluarga Raketi. Paman Raketi masuk dapur ketika Kaca sedang membalik daging.
“Sisir rambutmu!” perintahnya, sebagai ucapan selamat paginya.
Sekali seminggu, Paman Raketi memandang dari atas korannya dan berteriak bahwa Kaca harus potong rambut. Kaca pastilah sudah potong rambut lebih sering dibanding seluruh teman sekelasnya sekligus. Tetapi sama saja, rambutnya tetap saja tumbuh begitu berantakan.
Kaca sedang menggoreng telur ketika Sakuni muncul di dapur dengan ibunya. Sakuni mirip sekali dengan Paman Raketi. Wajahnya lebar dan merah jambu, lehernya pendek, matanya kecil, biru, berair.  Rambutnya yang tebal hitam menempel rapi pada kepalanya yang gemuk. Bibi Suketi sering mengatakan bahwa Sakuni kelihatan seperti bayi malaikat, sedangkan Kaca sering mengatakan Sakuni seperti babi pakai wig.
Kaca menaruh piring berisi daging dan telur ke atas meja. Ini susah, karena nyaris tak ada tempat. Sakuni, sementara itu, menghitung hadiahnya. Wajahnya langsung cemberut.
“Tiga puluh enam,” katanya sambil memandang ayah dan ibunya. “Kurang dua dibanding tahun lalu.”
“Sayang, kau belum menghitung hadiah Bibi Waketi, lihat, ini dia di bawah hadiah dari Bapak dan Ibu.”
“Baik, tiga puluh tujuh,  kalau  begitu,” kata  Sakuni, yang wajahnya sudah merah.  Kaca yang sudah bisa menduga kemarahan Sakuni akan meledak, cepat-cepat mengunyah dagingnya. Siapa tahu Sakuni akan menjungkirkan meja. Bibi Suketi rupanya menyadari datangnya bahaya juga, karena dia cepat-cepat berkata,
“Dan kami akan membelikan untukmu dua hadiah lagi kalau kita jalan-jalan nanti. Bagaimana, Manis? Dua hadiah tambahan. Oke, kan?”
Sejenak Sakuni berpikir. Kelihatannya susah baginya. Akhirnya dia berkata pelan-pelan, “Jadi aku akan punya tiga puluh... tiga puluh...”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar