Membangun Pribadi Ideal - Sastra Education

Breaking

Minggu, 18 November 2018

Membangun Pribadi Ideal


Perhatikan diri kita secara seksama. Sudah diri kita menjadi pribadi yang tangguh dan unggul. Sebuah pribadi yang kokoh dan ideal dibangun. Pribadi bukanlah semata-mata terkait dengan kehebatan fisik. Kondisi fisik tentu sangat penting, sebab seorang sulit merealisasikan pribadinya, tanpa fisik yang sehat dan kuat.
Mungkin ada belum tahu bahwa keterkaitan antara kesehatan badan dengan kepribadian tidak diragukan lagi. Jika kesehatan terganggu, seseorang tidak leluasa lagi untuk berinteraksi dengan orang lain dan bekerja. Tetapi bagi bagi orang-orang tertentu, kekurangan dalam kesehatan dan kesempurnaan fisiknya, tidak mempengaruhi untuk menjadi pribadi yang hebat.

Kita perhatikan sejarah bangsa kita. Kita mengenal Jendral besar Panglima Sudirman. Pastilah kita mengenal. Ini merupakan pribadi hebat dari Panglima Soedirman. Pribadi yang satu ini sungguh luar biasa.  Biar pun paru-parunya tinggal sebelah, Jenderal Soedirman memimpin gerilya dengan ditandu; keluar masuk hutan; hujan kehujanan, panas kepanasan. Kelemahan fisiknya tidak menghalangi  semangat juang dan kepemimpinannya.
Mutu pribadi tidak ditentukan oleh faktor dari luar diri seseorang. Dirinyalah yang harus berusaha keras meningkatkan mutu pribadinya. Semua itu harus dilatih dengan tekun dan sungguh-sungguh. Sifat cerdik, misalnya, memerlukan latihan yang terus-menerus sehingga potensi kecerdikan seseorang dapat terasah dengan semakin tajam. Cerdik adalah kemampuan berpikir dengan cepat, dan dapat segera mengetahui tujuan pikiran orang lain. Orang yang lamban berpikir, walaupun pintar dan banyak persediaan pengetahuannya, pribadinya menjadi tidak menarik, bahkan membosankan.
Setiap dari kita bisa memiliki satu atau beberapa sifat menonjol, meskipun dia memiliki kekurangan yang lain. Seorang yang jujur, meskipun kurang cerdik, akan dihargai orang, dan meraih kedudukan terpuji.  Dalam kaitan inilah kita sungguh sangat memprihatinkan banyaknya cerita tentang  kecurangan-kecurangan dan budaya jalan pintas dalam Ujian Nasional.
Dunia pendidikan di Indonesia banyak yang ikut terjebak pada gejala pragmatisme, dimana banyak anak didik yang memasuki dunia pendidikan semata-mata hanya untuk mengejar ijazah sebagai alat mencari kerja.
Sesungguhnya diakui atau tidak, system pendidikan di Indonesia kini adalah sistem sekuler materialistic. Hal ini dapat dibuktikan antara lain pada UU Siskdinas Nomor 20 Tahun 2003 Bab VI tentang jalur, jenjang, dan jenis pendidikan bagian satu pasal 15 dengan bunyi, “ jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi dan advokasi, keagamaan, dan khusus.”
Terlihat jelas bahwa sistem pendidikan Indonesia sudah adanya dikotomi pendidikan, yaitu pendidikan agama dan pendidikan umum. Sudah sangat jelas sistem dikotomi pendidikan terbukti gagal dalam melahirkan manusia berkepribadian luhur dan beradab, sekaligus mampu menjawab tantangan perkembangan melalui penguasaan sains dan teknologi di era globalisasi.
Lebih jelas lagi, pasal 37 UU Sisdiknas Bab X tentang ketentuan kurikulum pendidikan dasar dan menengah yang mewajibkan memuat sepuluh bidang mata pelajaran dengan pendidikan agama yang tidak proporsional dan tidak dijadikan landasan bagi bidang pelajaran lainnya.
Bukankah hal ini jelas tidak akan mampu melahirkan anak didik yang sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Kacau balaunya kurikulum ini tetntu saja berawal dari azas yang sekuler hingga kemudian mempengaruhi struktur penyusunan kurikulum yang tidak memberikan ruang pada pembentukan karakter dan adab.
Dampak buruk mungkin telah terjadi, salah satunya banyak korupsi yang melanggeng di jaman reformasi. Bisa dikatakan para koruptor itu berpendidikan tetapi mereka tak berkarakter dan beradab. Kegagalan pendidikan di Indonesia merupakan kepahitan era reformasi. Kegagalan dalam membentuk manusia berkepribadian dan beradad hanya sebatas wacana saja. Kita tahu Indonesia negeri yang berbudaya sopan bahkan santun. Tetapi kita melihat perilaku dalam masyarakat, kebanyakan orang Indonesia berperilaku tak beradab dan tidak mempunyai karakter yang tidak mencerminkan identitas bangsanya.
Hilangnya identitas bangsa merupakan bentuk pahit perubahan yang terjadi. Pengaruh buruk akan berimbas pada generasi muda kita jika tak segera dihentikan. Sikap hidup yang budaya barat akan melahirkan generasi muda tak beradab dan berkarakter.
Dan jika terdapat kekurangan pada badan, pada kesehatan janganlah putus asa membangunkan pribadi yang sejati. Sebab, pribadi yang sejati ada pada jiwa manusia. Bukan pada fisiknya.
Salah satu faktor penting pembentuk pribadi ideal adalah sikap berani. berani  ialah  sikap  tenang,  walaupun  bagaimana hebatnya dihadapi, tidak gugup. Keinsafan kita akan harga dirilah yang menyebabkan kita berani. Misalnya jika kita bertemu dengan seorang berpangkat tinggi, sebagai bangsa merdeka kita akan berlaku hormat kepadanya, sebagai kepada orang yang  tidak berpangkat juga. Kita tidak akan menjilat-jilat dan tidak pula akan menyombong. Sebab, arti pengkatnya itu adalah kewajiban yang dipikulkan rakyat kepadanya. Kalau dia salah dia dihukum, kalau dia curang dia dituntut. Dan hukuman yang paling berat ialah kebencian hati orang banyak.
Faktor penting lain pembentuk pribadi yang kokoh adalah sikap bijaksana. Bijaksana adalah bersikap tidak buru-buru, mempunyai ilmu dan pengalaman, cerdik cendikia, teguh hati. Bijaksana dapat menyisihkan mana yang benar dan mana yang salah; memilih mana yang patut dikerjakan dan mana yang patut ditinggalkan. Orang bijak juga kenal akan tempat dan waktu.
Sikap lain pembentuk pribadi mulia adalah sikap ”Tahu diri”. Tahu  diri,  artinya tawadhu’. Tahu  diri bukan merendahkan diri; bukan menghinakan diri; bukan segan dan menyisih-nysihkan diri, sehingga enggan bergaul dengan masyarakat. Orang yang mengangkat dirinya lebih dari pada semestinya, membesar-besarkan diri, tidak tahu mengaku tahu, lama kelamaan juga akan ketahuan. Emas tetaplah emas dan tembaga tetap tembaga. Orang yang tahu diri, tahu akan potensi dan kelemahan dirinya.
Orang yang tahu diri, dia tahu akan harga dirinya, dan kenal dimana tempatnya. Tidaklah dia akan  sombong dan tidak akan menjadi pembohong. Tidak perlu menonjol-nonjolkan diri. Yang perlu ialah ia bekerja keras. ”Karena tawadhu’ orang ditinggikan, karena sombong orang direndahkan.”
Bagaimana kita bisa mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam dunia pendidikan, sehingga pendidikan kita benar-benar mampu melahirkan pribadi-pribadi yang unggul (khairu ummah), yang mampu mengemban misi-misi besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar