Perhatikan diri kita secara seksama.
Sudah diri kita menjadi pribadi yang tangguh dan unggul. Sebuah pribadi yang
kokoh dan ideal dibangun. Pribadi bukanlah semata-mata terkait dengan kehebatan
fisik. Kondisi fisik tentu sangat penting, sebab seorang sulit merealisasikan
pribadinya, tanpa fisik yang sehat dan kuat.
Mungkin ada belum tahu bahwa keterkaitan
antara kesehatan badan dengan kepribadian tidak diragukan lagi. Jika kesehatan
terganggu, seseorang tidak leluasa lagi untuk berinteraksi dengan orang lain
dan bekerja. Tetapi bagi bagi orang-orang tertentu, kekurangan dalam kesehatan
dan kesempurnaan fisiknya, tidak mempengaruhi untuk menjadi pribadi yang hebat.
Kita perhatikan sejarah bangsa kita.
Kita mengenal Jendral besar Panglima Sudirman. Pastilah kita mengenal. Ini
merupakan pribadi hebat dari Panglima Soedirman. Pribadi yang satu ini sungguh
luar biasa. Biar pun paru-parunya
tinggal sebelah, Jenderal Soedirman memimpin gerilya dengan ditandu; keluar
masuk hutan; hujan kehujanan, panas kepanasan. Kelemahan fisiknya tidak
menghalangi semangat juang dan
kepemimpinannya.
Mutu pribadi tidak ditentukan oleh
faktor dari luar diri seseorang. Dirinyalah yang harus berusaha keras
meningkatkan mutu pribadinya. Semua itu harus dilatih dengan tekun dan
sungguh-sungguh. Sifat cerdik, misalnya, memerlukan latihan yang terus-menerus
sehingga potensi kecerdikan seseorang dapat terasah dengan semakin tajam.
Cerdik adalah kemampuan berpikir dengan cepat, dan dapat segera mengetahui
tujuan pikiran orang lain. Orang yang lamban berpikir, walaupun pintar dan
banyak persediaan pengetahuannya, pribadinya menjadi tidak menarik, bahkan
membosankan.
Setiap dari kita bisa memiliki satu atau
beberapa sifat menonjol, meskipun dia memiliki kekurangan yang lain. Seorang
yang jujur, meskipun kurang cerdik, akan dihargai orang, dan meraih kedudukan
terpuji. Dalam kaitan inilah kita
sungguh sangat memprihatinkan banyaknya cerita tentang kecurangan-kecurangan dan budaya jalan pintas
dalam Ujian Nasional.
Dunia pendidikan di Indonesia banyak
yang ikut terjebak pada gejala pragmatisme, dimana banyak anak didik yang
memasuki dunia pendidikan semata-mata hanya untuk mengejar ijazah sebagai alat
mencari kerja.
Sesungguhnya diakui atau tidak, system
pendidikan di Indonesia kini adalah sistem sekuler materialistic. Hal ini dapat
dibuktikan antara lain pada UU Siskdinas Nomor 20 Tahun 2003 Bab VI tentang
jalur, jenjang, dan jenis pendidikan bagian satu pasal 15 dengan bunyi, “ jenis
pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi dan advokasi,
keagamaan, dan khusus.”
Terlihat jelas bahwa sistem pendidikan
Indonesia sudah adanya dikotomi pendidikan, yaitu pendidikan agama dan
pendidikan umum. Sudah sangat jelas sistem dikotomi pendidikan terbukti gagal
dalam melahirkan manusia berkepribadian luhur dan beradab, sekaligus mampu
menjawab tantangan perkembangan melalui penguasaan sains dan teknologi di era
globalisasi.
Lebih jelas lagi, pasal 37 UU Sisdiknas
Bab X tentang ketentuan kurikulum pendidikan dasar dan menengah yang mewajibkan
memuat sepuluh bidang mata pelajaran dengan pendidikan agama yang tidak
proporsional dan tidak dijadikan landasan bagi bidang pelajaran lainnya.
Bukankah hal ini jelas tidak akan mampu
melahirkan anak didik yang sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Kacau
balaunya kurikulum ini tetntu saja berawal dari azas yang sekuler hingga
kemudian mempengaruhi struktur penyusunan kurikulum yang tidak memberikan ruang
pada pembentukan karakter dan adab.
Dampak buruk mungkin telah terjadi,
salah satunya banyak korupsi yang melanggeng di jaman reformasi. Bisa dikatakan
para koruptor itu berpendidikan tetapi mereka tak berkarakter dan beradab.
Kegagalan pendidikan di Indonesia merupakan kepahitan era reformasi. Kegagalan
dalam membentuk manusia berkepribadian dan beradad hanya sebatas wacana saja. Kita
tahu Indonesia negeri yang berbudaya sopan bahkan santun. Tetapi kita melihat
perilaku dalam masyarakat, kebanyakan orang Indonesia berperilaku tak beradab
dan tidak mempunyai karakter yang tidak mencerminkan identitas bangsanya.
Hilangnya identitas bangsa merupakan
bentuk pahit perubahan yang terjadi. Pengaruh buruk akan berimbas pada generasi
muda kita jika tak segera dihentikan. Sikap hidup yang budaya barat akan
melahirkan generasi muda tak beradab dan berkarakter.
Dan jika terdapat kekurangan pada badan,
pada kesehatan janganlah putus asa membangunkan pribadi yang sejati. Sebab,
pribadi yang sejati ada pada jiwa manusia. Bukan pada fisiknya.
Salah satu faktor penting pembentuk
pribadi ideal adalah sikap berani. berani
ialah sikap tenang,
walaupun bagaimana hebatnya
dihadapi, tidak gugup. Keinsafan kita akan harga dirilah yang menyebabkan kita
berani. Misalnya jika kita bertemu dengan seorang berpangkat tinggi, sebagai
bangsa merdeka kita akan berlaku hormat kepadanya, sebagai kepada orang yang tidak berpangkat juga. Kita tidak akan
menjilat-jilat dan tidak pula akan menyombong. Sebab, arti pengkatnya itu
adalah kewajiban yang dipikulkan rakyat kepadanya. Kalau dia salah dia dihukum,
kalau dia curang dia dituntut. Dan hukuman yang paling berat ialah kebencian
hati orang banyak.
Faktor penting lain pembentuk pribadi
yang kokoh adalah sikap bijaksana. Bijaksana adalah bersikap tidak buru-buru,
mempunyai ilmu dan pengalaman, cerdik cendikia, teguh hati. Bijaksana dapat
menyisihkan mana yang benar dan mana yang salah; memilih mana yang patut
dikerjakan dan mana yang patut ditinggalkan. Orang bijak juga kenal akan tempat
dan waktu.
Sikap lain pembentuk pribadi mulia
adalah sikap ”Tahu diri”. Tahu
diri, artinya tawadhu’. Tahu diri bukan merendahkan diri; bukan
menghinakan diri; bukan segan dan menyisih-nysihkan diri, sehingga enggan
bergaul dengan masyarakat. Orang yang mengangkat dirinya lebih dari pada
semestinya, membesar-besarkan diri, tidak tahu mengaku tahu, lama kelamaan juga
akan ketahuan. Emas tetaplah emas dan tembaga tetap tembaga. Orang yang tahu
diri, tahu akan potensi dan kelemahan dirinya.
Orang yang tahu diri, dia tahu akan
harga dirinya, dan kenal dimana tempatnya. Tidaklah dia akan sombong dan tidak akan menjadi pembohong.
Tidak perlu menonjol-nonjolkan diri. Yang perlu ialah ia bekerja keras. ”Karena
tawadhu’ orang ditinggikan, karena sombong orang direndahkan.”
Bagaimana kita bisa mengaplikasikan
dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam dunia pendidikan, sehingga
pendidikan kita benar-benar mampu melahirkan pribadi-pribadi yang unggul
(khairu ummah), yang mampu mengemban misi-misi besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar