Petir meretih di angkasa. Angin kencang
kian menjadi. Manusia menjerit, terjerembap, dan mencengkeram tiang. Awan Badai
Terpuntir Menjadi Angin topan mini. Angin puting beliung mengular ke arah kota
bagaikan tentakel monster ubur-ubur.
Anak-anak menjerit dan lari ke dalam
bangunan. Angin merampas bangunan, kantor, masjid ,hotel dan perumahan. Seorang
pemuda meluncur menyeberangi kota. Gagah dan tinggi. Memakai pakaian ketat
tetapi tak seketat pakaian wanita. Topeng yang ia kenakan sedikit berbeda
dengan para pahlawan di film-film modern sekarang. Pakaian bergaris merah putih
didada lambing Pancasila dan bercelana batik sepatu boot serta topeng yang
hampir mirip kepala garuda membawa perisai segi lima.
Pemuda berlari ke arah badai, tapi
rasanya seperti berlari di tiup angin sepoi-sepoi. Angin seolah tidak dapat
menghadangnya, ia mendorong angin ke depan.
“Tolong!...tolong!...tolong!” teriak
para manusia.
Salah satu manusia tua cuma berdiri di
sana sambil nyengir bodoh, seakan dia mendadak menikmati badai tersebut.
“Maaf, penduduk kota,” kata salah satu
manusia tua . “Sampai di sini saja aku berbuat baik pada kalian.”
Salah satu manusia tua menyentakkan
pergelangan tangan, dan Para penduduk pun terbang ke belakang, menghantam
bangunan dan meluncur di jalan.
Pemuda bertopeng berusaha menerjang
maju, tapi badai tak menghalanginya. mendorong angin ke depan.
“Hei kau siapa?,” kata pemuda bertopeng.
“Lepaskan mereka!”
Manusia tua itu memberi senyum psikopat
girang. “Oh, ayolah, kau siapa?. Biarkan aku memuaskan hasratku! Bagaimanapun,
kau tidak ada urusan dengan ini. Kota ini adalah milikku, biarkan hasrat
kejahatanku mendapatkan kepuasan? Aku sudah berada dalam kota sepanjang musim
ini, dan kau bahkan tidak tahu. Kau sudah menghalangi jalanku, pemuda.”
“Kau belum kenal diriku,” kata pemuda
bertopeng. “Sebelum aku menyebutkan namaku, kau siapa dahulu berani merusak
kotaku.”
“Kota ini sungguh aneh,” kata manusia
tua itu. “Kau lebih muda dariku kau seharusnya menyebutkan namamu terlebih
dahalu. Dimana sopan santunmu?”
“Kau datang bagai badai kejahatan,” kata
pemuda bertopeng. “Tak pantas orang jahat macam kau di beri kesopanan.”
Badai masih menerjang diantara manusia
tua dan pemuda bertopeng. Berita menyebar. Salah satu stasiun tv mendapatkan
kesempatan. Seorang penyunting kamera dalam lautan badai. Ia menyalakan camera.
Gambar dan suara ia rekam dalam percakapan kedua orang dalam badai menerjang.
“Sungguh bodoh sekali.” Kata manusia tua
sambil ketawa. Untuk apa aku menjawab pertanyaanmu, tetapi karena keberanianmu,
maka sudah sepantas aku memberitahu namaku.”
Dengan tangan gemetaran memegang kamera.
Seorang cameramen terus merekam percakapan. Ia mengambil resiko demi
mendapatkan berita utama.
“Cepat bicaralah tanpa basa-basi,” kata
pemuda bertopeng. “Kau mau kehempaskan atau kulumatkan.”
“Jangan sombong,” kata manusia tua.
“Memang aku takut padamu, aku tak gentar padamu bocah!”
“Cepat sebutkan namamu,” kata pemuda
bertopeng dengan keras.
“Aku mantra,” kata manusia tua.
“Mantra!” tegas pemuda bertopeng. “Jangan kau bersembunyi dibalik topeng
manusiamu. Cepatkan sebutkan namamu yang asli.”
“Memang itu namaku bocah,” kata manusia.
“Aku hanya manusia tua yang mempunyai usaha.”
“Kau masih belum mau memberitahuku
mengenai kedokmu,” kata pemuda bertopeng. “Kekacaun kota, penjarahan, narkoba,
pencurian, perampok, pembunuhan dan perjudian, semua itu kau adalah dalangnya.”
“Mana mungkin pemuda,” kata manusia
tua. “Usaha hotel, resort dan restoran
yang aku jalankan tak seburuk dalam pandangan.”
“Kau masih saja berkelit,” kata pemuda
bertopeng. “Pembunuhan menteri sekretaris Negara yang terbunuh dalam keadaan
telanjang di hotel itu adalah ulahmu.”
“Mana mungkin,” kata manusia tua. “Saat
kejadian terjadi aku ada dikantor, dan pak menteri terbunuh dirumahnya. Mana
mungkin aku membunuhnya.”
“Kau masih saja menggelak,” kata pemuda
bertopeng. “Apa harus memperlihatkan wujudmu?”
“Memang wujudku seperti apa?” kata
manusia tua mungkin penasaran.
“Sudah basa-basinya,” kata pemuda itu.
Saat masih dalam pusaran badai.
Hantaman keras menunjamkan ke arah
Mantra. Pemuda bertopeng menlancarkan serangan bertubi-tubi ke arah muka
Mantra. Ia menghindar dengan mudahnya.
“Kau bodoh atau apa anak muda?” kata
Mantra. “Kau menyerangku tanpa menyebutkan namamu. Kau mau mati tanpa nama
pemuda.”
“Kau gesif Mantra,” kata pemuda
bertopeng. “Pukulan telak yang aku lancarkan dengan mudah kau menghindarinya.”
“Jangan sombong anak muda,” kata Mantra.
“Biar sudah tua, aku masih gesif sepertimu anak muda, kau belum menyebutkan
nama anak muda. Kau mau mati dalam bungkusan pakaian norakmu itu tanpa nama.”
“Siapa juga yang mau mati di tanganmu,
Pak Tua?” kata pemuda bertopeng. “Panggil aku kapten Garuda.”
“Kapten Garuda!” kata Mantra. “Norak
sekali namamu.”
“Namamu saja yang norak,” kata Kapten
Garuda (KG). “Namamu masih kuno untuk jaman sekarang.”
Cameramen yang masih merekam percakapan
dan pertarungan keduanya. Ia gemetaran tapi takjud akan keadaan. “Kapten
Garuda,” gumannya.
“Kuno katamu,” kata Mantra.
“Kau kuno,” kata KG. “Kau harusnya mati
dan binasa di jaman ini seharusnya. Kau merusak tatanan Negara, menghancurkan
anak muda, menghancur kota, kau harus binasa.”
“Memang kau sanggup membunuhku,” kata
Mantra. “Tanganmu saja tak mampu menyentuh kulitku.”
“Jangan sombong kau pak tua,” kata KG.
“Tadi aku hanya bermain saja. Sekarang kedokmu mungkin akan kubuka.”
Layangan keras pukulan mengenai kepala
Mantra. Baru kali ia tak dapat menghindari dari KG. pukulan keras telah
mengenai kepala. Perubahan bentuk tubuhnya. Seakan cameramen yang merekam tak
percaya. Ia berubah menjadi raksasa tinggi, ganas dan menyeramkan. Tak disangka
ia berkuasa atas seluruh usaha gelap di dunia. Seorang kakek tua menjadi
raksasa ganas dan bengis. Wujudnya sungguh berbeda. Mata tajam dan melotot
tajam ke arah KG. Tubuh raksasa tiga
meter tinggi. Wajahnya bengis dan seram mungkin hampir mirip Hulk.
“Kedok sudah terbongkar,” kata KG. “Kau
telah banyak melakukan kejahatan.”
“Hebat kau KG,” katanya agak serak-serak
kasar dan mengguncang. “Kau bisa membuka kedok yang selama ini aku sembunyikan
bertahun-tahun. Orang akan percaya dengan wujud manusiaku. Sambil aku
melebarkan sayapku di dunia usaha. Kuputar balikkan dunia. Dengan uang aku
puaskan hasratku. Membunuh, merampok, dan kejahatan lainnya dibalik usaha yang
aku jalankan. Serangan badai yang aku lancarkan ini adalah serangan terakhir
untuk melenyapkan umat manusia.”
“Melenyapkan manusia,” kata KG. “Akan ku
gagalkan seluruh usahamu. Dengan kekuatanku ini, akan ku musnahkan kau dibumi
ini.”
“Sombong sekai kau anak muda,” kata
Mantra. “Memangnya kau manusia super atau iron man atau para pahlawan lainnya.
Bahkan Superman, Thor sekalipun tak mampu melenyapkanku. Kau anak manusia
berharap dapat menang dariku.”
“Kalau belum mencoba siapa tahu,” kata
KG. “Sebelum mati sebutkan nama aslimu.”
“Begitukah yang kau perlukan,” kata Mantra.
“Nama asli Kalamantra.”
“Jadi itu namamu sebenarnya,” kata KG.
“Rasakan hantaman terakhirku.”
Badai masih menyelubingi dalam
pertarungan Kapten Garuda dan Kalamantra. Cameramen masih merekam pertarungan
keduanya.
Kalamantra menunjuk KG, dan angin puting
beliung pun mewujud di sekelilingnya. KG dapat menahan serangan badai
Kalamantra. Suara tawa Kalamantra bagaikan tornado yang memorak-porandakan
atap. Dua angin puting beliung mendarat di kiri-kanan KG dan berubah yang mirip
hantu dengan sayap setipis asap serta mata yang berkilat laksana petir. KG
mengepalkan tinju dan bersiap menyerang, tapi dia tidak memperoleh kesempatan
itu.Kalamantra mengangkat tangan, lengkungan listrik mengalir di antara
jari-jarinya, dan menyetrum KG di bagian dada.
Gedubrak! KG mendapati dirinya
telentang. Mulutnya terasa seperti kertas alumunium yang terbakar. Dia mengangkat
kepala dan melihat bahwa pakaiannya berasap. Sambaran petir itu menjalari
tubuhnya dan menghantam sepatu kirinya hingga copot. Jari-jari kakinya hitam
terkena jelaga.
Kalamantra tertawa. Angin mengamuk. Tornado
gelap bersayap yang memiliki mata petir, menjulang di atas KG.
“Stop,” kata KG parau. Dia bangun sambil
terhuyung-huyung, dan dia yakin siapa yang lebih kaget: dirinya sendiri atau
Kalamantra.
“Bagaimana mungkin kau masih hidup?”
sosok Kalamantra berkedip-kedip. “Petir tadi seharusnya cukup untuk membunuh
dua puluh orang!”
“Giliranku,” ujar KG.
Hantaman
Kapten Garuda dilancarkan. Serangan dhasyat menghujani tubuh Kalamantra. Tak
sadar dan tak dapat menghindar. Tubuhnya hancur berkeping-keping. Tubuh raksasa
tinggi tiga meter jadi debu terkena hantaman Kapten.
Kumpulan debu itu menyatu menjadi satu
kembali. Kekuatan Kalimantra kembali sempurna. Kalamantra melolong murka. Dia
memandang ke bawah, seolah-olah berharap rekannya akan mewujud kembali, tapi
mereka tetap menjadi serbuk emas dan tersebar ditiup angin. “Mustahil. Kau ini
siapa, anak muda?”
Cameramen begitu terperanjat
sampai-sampai dia menjatuhkan cameranya. Lalu, ia mengambil dan merekam kembali
kejadian itu.
Kalamantra mendesis kepada KG, KG dapat
melihat kilatan rasa takut di matanya. Bosku akan menghancurkan semua manusia.
Perang ini takkan bisa kalian menangi.”
Di atas mereka, badai menggila menjadi
topan ganas. Retakan menyebar di titian. Hujan deras tumpah ruah, dan KG harus
berjongkok untuk menjaga keseimbangan.
Sebuah lubang terbuka di antara
awan-awan, sebuah pusaran hitam dan perak.
“Kau tak akan menang melawanku!” teriak
Kalamantra girang. “Dan kau, mati bersama pakaian nyentrikmu!”
Dia menyerang KG, tapi KG menjegal
Kalamantra itu dari belakang. Walaupun Kalamantra terbuat dari asap, KG entah
bagaimana berhasil menyentuhnya. Kalamantra melepaskan angin kencang yang
menjatuhkan KG.
KG meluncurkan tendangan keras dan tajam
ke arah Kalamantra, menghajarnya dengan hamtaman tajam dan kuat, Kalamantra
ganti mencengkram lengan sang KG. KG berusaha menyundulnya, lalu menendangnya
dan menyebutnya bocah lembek. Mereka membubung ke udara, semakin cepat.
Kalamantra terlontar jauh di bawah
tanah. Ia bangkit dan menguat serangan. Tubuh kembali kekal dan kuat untuk
melontarkan serangan. Badai hitam dan pekat dikeliling halilintar menyerang ke
arah KG. KG menahan dengan perisainya. Halilintar terus mendorongnya ke
belakang. Dengan kekuatan penuh ia menahan dan menerima serangan Kalamantra.
Tubuhnya kembali terjungkal. Ia bangkit dan melancarkan serangan. Pukulan telak
kuat dan tajam mengarah ke tubuh Kalamantra. Ia hancur dan lebur dalam debu
kedua kali. Kalamantra tak bisa bangkit dan pulih kembali. Tubuhnya hancur
menjadi debu hilang seketika.
Dengan membalik badan Kapten Garuda
pergi dan terbang melesat entah kemana.
Seorang cameramen berhasil mengabadikan pertarungan keduanya. Gambar
yang diambil memang tak sekualitas bluray tetapi ini membuktikan bahwa ada
pahlawan yang menghentikan kehancuran kota.
Badai telah reda. Kota kembali dalam bayangan
kerusakan. Tetapi kejahatan telah menghilang. Orang-orang dalam kebingungan. Bangunan
rumah, tata jalan rusak akibat badai pertarungan.
Cameramen segera menerbitkan berita.
Surat kabar nasional berguncang mengenai sosok pahlawan misterius yang menamai
diri Kapten Garuda.
Apa yang terjadi
Berita cepat menyebar. Pertarungan
Kapten Garuda dan Raksasa tayang di media tv. Banyak orang bertanya-tanya.
“Siapa dia?”, kata penonton yang
menyaksikan. “Dimana?”
Itulah awal munculnya Pahlawan Kapten
Garuda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar