BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Setiap
negara dibangun atas dasar falsafah tertentu. Adapun falsafah merupakan
perwujudan atau cerminan dari cita-cita dan watak suatu bangsa. Falsafah setiap
bangsa akan berbeda-beda, tergantung pada cita-cita, jiwa, cara pandang dan
idealisme dari suatu bangsa.
Pancasila
merupakan cita-cita, harapan, atau dambaan bangsa Indonesia yang diwujudkan
dalam kehidupan. Pancasila merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh.
Kesatuan system nilai yang dimiliki bangsa Indonesia yang menentukan pola
sikap, tingkah laku, dan tindakan bangsa Indonesia. Pancasila bersifat dinamis
dan terbuka. Pancasila luwes dan kreatif. Dapat diartikan Pancasila bisa
digunakan untuk menghadapi dan menjalani zaman yang terus-menerus berkembang
sesuai dengan keadaan dengan tanpa mengubah nilai-nilai dasarnya.
Menurut
Prof. Notonagoro, sebagai dasar bangsa, Pancasila memiliki kedudukan yang
istimewa dalam hukum dan kehidupan bernegara, yakni sebagai pokok kaidah yang
fundamental. Dengan demikian Pancasila memiliki kedudukan yang tetap, tidak
berubah.
Pancasila
merupakan nafas dari rukun Islam. Karena nilai-nilai yang terkandung bersifat
objektif dan subjektif. Pancasila bukan hanya merupakan hasil pemikiran
seseorang seperti ideology yang dimiliki bangsa-bangsa lain. Ideologi Pancasila
diangkat dari nilai-nilai adat istiadat, budaya, serta agama masyarakat
Indonesia sejak zaman sebelum terbentuknya negara Indonesia. Nilai-nilai itu
digali dan dirumuskan oleh pendiri negara kemudian dijadikan sebagai dasar dan
ideology negara.
Akhlak
karimah dalam Pancasila merupakan nafas islam yang dijaga dan dimuliakan.
Ideologi Pancasila merupakan bentuk sederhana dari nafas islam yang mulia. Dari
sila pertama hingga kelima merupakan unsur Akhlak Karimah yang mulia. Pertama
ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan adalah bagian Akhlak
Karimah dalam Islam. Nilai-nilai ini adalah nilai yang universal karena
sesungguhnya dapat diterapkan dan digunakan juga oleh bangsa-bangsa lain.
B. Rumusan
Masalah
1. Mengapa
nilai Pancasila bersifat objektif dan subyketif?
2. Mengapa
Pancasila nafas Islam?
BAB
II
ISI
C. Pembahasan
I.
Nilai Objektif dan Subyektif.
Nilai-nilai
yang terkandung di dalam Pancasila bersifat objektif dan subyektif. Nilai-nilai
Pancasila bersifat Objektif karena memiliki pengertian sebagai berikut:
1. Rumusan
setiap sila Pancasila sebenarnya mempunyai sifat umum dan abstrak. Hal ini
karena rumusan itu merupakan nilai
2. Nilai-nilai
Pancasila akan tetap ada sepanjang masa dalam kehidupan bangsa Indonesia baik
dalam adat istiadat, budaya, negara maupun agama.
3. Pancasila
memenuhi syarat sebagai pokok kaidah yang Fundamental (staats fundamental norm). Maka, Pancasila menjadi sumber tertib
hukum tertinggi di Indonesia yan isi dan kedudukannya tidak dapat diubah.
Nilai-nilai
subjektif Pancasila dapat diartikan sebagai berikut:
1.
Nilai-nilai Pancasila mengandunh
nilai-nilai kerohanian, seperti kebenaran, keadilan, kebaikan, kebijaksanaan,
etika, keindahan dan agama yang perwujudannya sesuai hati nurani bangsa
Indonesia karena bersumber pada kepribadian bangsa Indonesia yang senafas
dengan rukun Islam
2.
Nilai-nilai Pancasila timbul dari bangsa
Indonesia sebagai hasil pemikiran, penilaian kritis, serta perenungan filosofis
bangsa Indonesia.
3.
Nilai-nilai Pancasila merupakan filsafat
bangsa Indonesia merupakan jati diri bangsa yang diyakini sebagai sumber nilai
mengenai kebenaran, keadilan, dan kebijaksanaan dalam hidup bermasyarakat,
berbangsa, bernegara.
II.
Pancasila Nafas Islam
Nilai-nilai
Pancasila sebagai dasar negara hakikatnya terletak pada kedudukannya sebagai
sumber dari segala hukum di negara Indonesia. Sebagai sumber dari segala sumber
hukum, nilai-nilai Pancasila menjadi pandangan hidup, kesadaran, cita-cita
hukum, serta cita-cita moral. Hal ini berlaku dalam segala bidang kehidupan
Rukun
Islam merupakan syarat syah/wajib bagi seorang muslim, 5 rukun yang mengandung
nilai-nilai mulia kehidupan dunia dan akherat. Syahadat, sholat, puasa, zakat
dan umroh/haji merupakan dasar ideologi Islam.
Pancasila
merupakan syarat wajib bagi warga Indonesia, 5 sila yang mengandung nilai-nila
mulia untuk bangsa dan negara. Ketuhanan, Kemanusian, Persatuan, Kerakyatan
serta Keadilan merupakan dasar ideology Indonesia.
Dalam
sebuah Diskursus Islam dan Pancasila sebagai sebuah ideologi di Indonesia menarik
untuk dikaji, untuk itu
dalam bagian ini akan diulas serta dianalisis sila-sila Pancasila dalam kaitan dengan Islam melalui ayat-ayat Quran.
Quran digunakan sebagai pisau analisis dalam tulisan ini karena ia adalah
sumber acuan tertinggi dalam ranah hukum Islam. Ideologi Islam selalu mengacu
kepada hukum tertingginya yang digunakan pula sebagai Grundnorm dalam konsep hukum Islam. Mengkaitkan keduanya dengan membedah
sila serta ayat memiliki tujuan untuk melihat titik taut selain itu juga dikaji
apakah terdapat benturan filosofis diantara
keduanya.
Sila Ketuhanan yang
Maha Esa
Perdebatan
sila Pancasila yang memuat nilai Ketuhanan ini menjadi mengemuka ketika muncul pertanyaan
mendasar siapakah yang dimaksud dengan Ketuhanan Yang Maha Esa? Secara historis
kultural, Bangsa Indonesia telah mengenal
konsep Tuhan melalui beragam cara. Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa jelas
mengadopsi konsep bertuhan Islam, hal ini begitu jelas dan
tegas Tuhan berfirman
dalam Quran:
“Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa”
(Qs.an-Nahl [16]: 22), “Dan Allah berfirman:
“Janganlah kamu menyembah dua tuhan, hanyalah Dia Tuhan Yang Maha Esa (Qs.an-Nahl
[16]: 51).
Ketuhanan
Islam dalam Sila Pertama Pancasila adalah tepat mengingat bahwa Islam telah
berkembang sebagai agama Nusantara yang mewarnai kehidupan manusia Nusantara
sejak lama hingga kini. Penerapan ideologi Islam dalam Pancasila Sila Pertama
tidaklah mengandung makna menutup hak hidup bagi pemeluk agama lainnya di Indonesia. Justru
menerapkan ideologi Islam
dalam sila pertama Pancasila memberikan ruang hidup bagi pemeluk agama
lain di bumi Indonesia. Islam mengajarkan hubungan baik dengan sesama
manusia. Rasulullah Saw sangat menghormati kaum dzimmi yang hidup dalam
lindungan Islam.
Peletakan
Sila pertama Pancasila dengan Ketuhanan yang Maha Esa sebagai landasan ideologi
negara merupakan kemenangan para ideolog muslim Indonesia. Nilai Pancasila
telah mengadopsi ideologi utama Islam yaitu Tauhid. Tauhid adalah dasar utama dalam
sokoguru bangunan ajaran Islam. Ideologi
Islam yang berazaskan Tauhid telah diterapkan
oleh para Bapak Pendiri Bangsa dengan meletakkannya
pada Sila pertama Pancasila. Ayat Quran
sebagai basis Tauhid umat Islam terdapat dalam
banyak ayat Quran, dan salah satu
yang menegaskan nilai Tauhid adalah Quran Surah AlIkhlas. Surah
Al-Ikhlas diakui sebagai inti dari ajaran Islam, yaitu Pengakuan atas Keesaan
Tuhan. Nilai ini kemudian diletak-kan
dalam basis utama fondasi filosofi bangsa yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sila Kemanusiaan yang
Adil dan Beradab
Nilai
kemanusiaan dalam sila kedua Pancasila menunjukkan sebuah kesadaran sikap
penghargaan atas nilai-nilai kemanusiaan tanpa memandang suku, agama, bangsa
dan negara. Kemanusiaan melampaui batas
negara, ia adalah sikap untuk dengan sadar menghargai nilai-nilai kemanusiaan.
Sila
Ketuhanan Yang Maha Esa mengilhami sila-sila berikutnya, dengan demikian dapat
dikatakan bahwa nilai Tauhid Islam mewarnai sila-sila dalam Pancasila. Dalam
konteks kemanusiaan yang adil juga beradab, maka Islam juga turut memasukkan
nilai-nilai dasarnyanya yaitu sifat adil yang merupakan sifat utama Allah Swt
yang wajib diteladani oleh manusia. Sifat beradab merupakan lawan dari sifat
zalim, dan sifat adil serta beradab terdapat secara tegas di dalam Quran Surah
an-Nahl [16]:90:
“Sesungguhnya Allah
menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari berbuat
keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepada kamu agar kamu
dapat mengambil pengajaran”
Sikap
manusia yang menghargai manusia lainnya, menghargai hak azasi manusia sebagai hak
yang paling mendasar tampak nyata pula dalam Quran. Tuhan berfirman:
“Dan sungguh kami telah memuliakan anak-anak
Adam.” (Qs.al-Isra [17]:70).
Firman
Tuhan ini menunjukkan sebuah ketegasan bahwa Tuhan memuliakan manusia semuanya.
Tuhan memuliakan siapapun dengan tidak merendahkan manusia yang satu dengan
yang lain. Manusia apapun keyakinan yang dianutnya merupakan anak-anak Adam,
dan Tuhan memuliakan mereka semua. Ayat Tuhan tersebut berkait erat dengan Firman
Tuhan di dalam Quran:
“dan
jangan kamu membunuh nyawa yang diharamkan Allah, kecuali dengan alasan yang
benar..” (Qs. al-Israa [17]:33).
Firman
Allah ini merupakan perintah larangan tegas untuk membunuh nyawa yang
diharamkan, kecuali dengan alasan yang dibenarkan. Alasan yang dibenarkan
tentunya berkaitan dengan hukuman atas pelaku kejahatan (Qishas) yang telah
menimbulkan kerusakan dimuka bumi.
Ketiga
Firman Allah Swt tersebut menunjukkan sebuah perilaku kesusilaan, sebuah sikap
manusia Indonesia yang bebrudi luhur, menghargai manusia tanpa memandang
keyakinan religiusnya. Inilah sumbangsih
Islam guna mewujudkan manusia yang tak terpisahkan dari dunia internasional
yang menghargai hak azasi manusia. Islam bukanlah agama yang merusak kemanusiaan,
Islam adalah agama yang membangun peradaban manusia. Islam sangat menghargai
nilai-nilai kemanusiaan, bahkan Rasulullah Saw sangat menghormati pemeluk agama
lainnya dimana di Kota Madinah hidup masyarakat Islam dan Yahudi.
Sikap
dan perilaku manusia yang adil dan beradab adalah pencerminan sifat Tuhan yang
Maha Adil, dan Maha Memuliakan HambaNya. Sifat inilah yang wajib diteladani oleh
manusia Indonesia yang menyatakan keadilan dan keberadaban sebagai sebuah
ideologi. Ideologi manusia yang mengutamakan penghormatan dan penghargaan atas manusia.
Dalam rukun Islam yang ketiga adalah Sholat, Sholat merupakan bentuk kewajiban
seorang muslim setelah bertauhid kepada Allah SWT. Sholat dapat mencegah
perbuatan buruk. Inilah penjelmaan hablum minallah dan habluminanas dalam ideologi Pancasila (Azhary,1992:22). Manusia melihat dirinya
sebagai kreasi Tuhan Yang Maha Esa, dan untuk itu ia wajib menyadari dan
sekaligus meneladani sifat-sifat keadilan dan kebajikanNya.
Sila Persatuan
Indonesia
Persatuan
Indonesia mengandung makna sebuah persatuan berbagai ragam bahasa, budaya,
suku, dan beragam kehidupan manusia Indonesia. Inilah semangat nasionalisme
Indonesia yang beragam. Penghargaan atas keberagaman dalam persatuan dalam
Islam tergambar jelas dalam firman Allah Swt:
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah
menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan, kemudian Kami jadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal”
(Qs. al-Hujuurat [49]:13)
Masyarakat
dan Bangsa Indonesia menciptakan kesadaran dalam sikap batin akan kesamaan nasib
yang menyatukan semua komponen anak bangsa dalam sebuah semangat Nasional.
Faham nasionalisme dalam konteks Islam juga dilakukan oleh Rasulullah Saw ketika mengadakan sebuah
perjanjian perdamaian dalam sebuah piagam yang dikenal dengan nama Piagam Madinah.
Piagam Madinah memuat hubungan persaudaraan antara Kaum Muslimin dengan Kaum
Yahudi yang bersama-sama tinggal di Madinah. Kedua belah pihak bersepakat untuk
saling membantu dalam hal terjadinya peperangan yang mereka hadapi. Piagam Madinah
menjadi contoh hubungan baik yang terjadi antara umat beragama yang dicontohkan
oleh Rasulullah Saw. Hubungan antar umat beragama terjalin dengan sebuah
kesadaran bahwasanya kita hidup di bawah
atap langit yang sama.
Kehancuran
antar umat beragama perlu dijalin dengan menghilang beragam prasangka buruk
terhadap pemeluk agama lainnya.
Konsep persaudaran antar umat
beragama membolehkan kita untuk saling
bekerjasama, bermuamallah, saling tolong-menolong yang dilandasi oleh semangat persaudaraan
dan persatuan seperti yang terangkum dalam perjanjian antar umat Islam dan
Yahudi tersebut. Dalam lapangan muamallah kita diwajibkan untuk menciptakan
rasa persaudaraan, dan Rasulullah Saw melarang
umat Islam untuk
mengganggu tetangga, karena Islam
adalah rahmat bagi semesta alam.
Sila Kerakyatan yang
dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Permusyawaratan Perwakilan
“Dan bermusyawarahlah
dengan mereka dalam urusan itu” (Qs.Ali Imran
[3]:159)
Islam
adalah agama yang mengutamakan kemaslahatan umat, dengan demikian menjadi logis
bahwa Islam mengutamakan musyawarah dan kerjasama konstruktif untuk mencapai
suatu tujuan yang diharapkan. Kerjasama dan sikap saling menolong begitu utama
dalam Islam sehingga Rasulullah Saw
dalam menghadapi berbagai peperangan perlu mengundang para sahabat untuk
bermusyawarah. Rasulullah adalah orang yang suka bermusyawarah dengan para
sahabatnya, bahkan beliau adalah orang yang paling banyak bermusyawarah dengan
sahabat.
Begitu
agungnya cara musyawarah untuk mencapai sebuah tujuan sehingga musyawarah
merupakan bagian dari perintah Allah Swt bagi kaum muslimin setelah sholat.
Allah Swt berfirman:
“Dan (bagi) orang-orang
yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan
mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan
sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka.”
(Qs. as-Syuura [42]: 38)
Islam
mewarnai nilai-nilai ideologi bangsa melalui proses bermusyawarah dalam
penyelesaian setiap masalah yang dihadapi oleh Bangsa Indonesia.
Sila Keadilan Sosial
Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Keadilan
sosial berkait dengan pemerataan kesejahteraan bagi seluruh rakyat yang
Indonesia, dan Islam telah mencanangkan bentuk masyarakat yang berkeadilan.
Allah Swt berfirman dalam Qs. Az-Dzariyat [51]:19:
“Dan pada harta-harta
mereka, ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak
mendapat bagian.”
Konsep
keadilan sosial dalam Islam juga berbeda dengan keadilan sosial dalam sistem
sosialisme. Keadilan sosial dalam Islam memiliki basis tauhid, dimana Allah Swt
sebagai Maha Pencipta menciptakan segala benda bagi kesejahteraan umat manusia.
Harta diyakini sebagai karunia Tuhan Yang Maha
Esa dan setiap
orang berhak untuk
memperoleh karunia ciptaanNya
tersebut. Jika diruntut keadilan sosial Islam dengan Pancasila sila
Kelima, maka Sila Pertama Pancasila (tauhid) mewarnai setiap sila, maka
sebagai Bangsa kita meyakini bahwa harta yang
kita peroleh adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa dan untuk itu maka
kekayaan negara harus dirasakan oleh setiap warga Bangsa Indonesia.
Konsep
keadilan sosial dalam Islam diterapkan secara konkrit dalam bentuk zakat. Zakat
adalah bentuk nyata dari tebaran kesejahteraan bagi umat. Harta didistribusikan
kepada segenap masyarakat, dan zakat adalah bersifat wajib mengandung makna pembersihan menuju
kesucian. Harta diperoleh dengan
cara-cara yang dibenarkan oleh Islam serta disitribusikan secara adil. Pada
ayat yang lain Allah Swt berfirman:
“Dan
orang-orang yang dalam hartanya tersedia bahagian tertentu, bagi orang
(miskin) yang meminta dan orang yang
tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau
meminta).” (Qs. al-Ma’rij
[70]:24-25)
Penerapan
keadilan sosial haruslah dimaknai bukan hanya sekedar membangun lembaga-lembaga
keuangan yang berbasis Islam (syariah), akan tetapi keadilan sosial adalah pendistribusian
kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Islam
dan Pancasila bukanlah dua ideologi yang saling berbenturan. Islam adalah
sebuah ajaran yang utuh, yang mengedepankan nilai-nilai Ketuhanan sekaligus
kemanusiaan dan kemasyarakatan. Khazanah Islam telah diletakkan sebagai fondasi
dalam ideologi Pancasila. Islam bukanlah Pancasila, akan tetapi nilai-nilai
Islam telah masuk ke dalam Pancasila yang
hingga kini digunakan sebagai ideologi bangsa Indonesia.
Perdebatan antara golongan Islam dan golongan Nasionalis harus menyadari
bahwasanya Islam dan Pancasila mampu menciptakan proses dialogis, sehingga tak
perlu lagi dibenturkan dalam dua ideologi yang saling bertolak belakang
sekaligus berhadap-hadapan. Kemampuan para Bapak Bangsa dalam meletakkan
fondasi ideologi bangsa yaitu Pancasila mulai dengan fondasi tauhid sebagai sokoguru
utama Pancasila yang mewarnai sila-sila dalam Pancasila mengakhiri benturan
tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
Sugiyanto,
2009. Pendidikan kewarganegaraan untuk
SMP Dan MTs kelas VIII, Jakarta : Pusat perbukuan Departemen
Pendidikan Nasional.
Fokky
Fuad, 2012. Islam dan Ideologi Pancasila,
Sebuah Dialektika. Jurnal. Lex Jurnalica volume 9 nomer 3, Desember 2012.
Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar