Matematika.
Pelajaran pertama di sekolahanku hari
itu. Kupikirkan memang aku akan masuk sekolah. Tetapi aku membolos bersama
kawanku. Kami tak masuk sekolah dan nongkrong di warung dekat sekolah anak SMA.
Warung itu lumayan sepi pagi itu. Memang
warung itu terletak ditempat stategis untuk lalu lalang orang tetapi itu pada
waktu istirahat dan makan siang. Karena belum jam istirahat jadi kami lebih
leluasa untuk menikmati udara pagi.
Aku duduk di sudut warung bersama
kawanku Bronto. Kami menikmati gorengan sambil ditemani segelas teh hangat yang
menyenangkan. Teh hangat menyebarkan aroma khas yang mengundang alunan hijau.
Dimana titik simpul dalam kehidupan terasa berkumandang.
Aroma bawang yang mengiurkan memang
bukan perkara muda untuk ditinggalkan. Ketika hidung mencium semerbak pedang
perang ada sambar tajam merangsang otak untuk menikmati aroma lezat yang
mematikan.
“Bagaimana
bro?” tanyaku. “Nikmat bukan! Disini kita bisa melepaskan pikiran rumit tentang
pelajaran. Bahkan kita bisa memandang gadis cantik dari anak SMA. Sungguh
anugerah Tuhan. Alhamdulillah!”
Mataku memperhatikan anak-anak SMA yang
berlarian masuk ke gerbang sekolah. Karena tepat jam masuk pintu gerbang akan
segera ditutup.
“Kau memang benar,” kata Bronto. “Tetapi
Al bukannya kau pintar matematika. Kenapa kau membolos? Apa otakmu sudah
error?”
Dia memandangku tajam sambil menggigit
tempe goreng. Tempe itu terlihat rapi dan teratur lepas dari gigitannya. Seakan
giginya terawat dengan benar. Memang kalau gigi sehat minimal tiga kali sehari
menggosok gigi.
Aku menyambar gelas tehku. Aku
mengangkat bahu dan kutuangkan ke mulut hingga air teh itu mengalir mulus ke
tenggorokanku. Saat air teh itu sudah lepas dari tenggorokan dan masuk ke
perut.
“Aku bosan,” kataku sepihak.
Bronto yang hampir kembali menggigit
tempe goreng, dia mendadak terkejut. Matanya hampir terbelalak memperhatikanku.
Tempe goreng itu hanya berada tepat di depan mulut lalu dia menurunkan bahunya.
tempe goreng itu hanya dipegangnya sambil dia berbicara.
“Dasar!” kata Bronto. “Masa juara kelas
bisa bosan. Memang kau tak dimarahi orang tuamu. Bukankah orang tuamu begitu
peduli tentang prestasimu. Buktinya kau sering mendapatkan hadiah dari prestasi
itu.”
“Peduli!” kataku terkejut. “Kau belum
tahu selama tentang kehidupanku. Yang kau lihat hanya kulit saja.”
Bronto serius memperhatikanku. Dia
kembali menggigit tempe gorengnya. Belum lama dia mengunyahnya. Mulutnya
kembali berbicara.
“Maksudmu,” kata Bronto. “Seperti yang
kulihat selama ini. Orang tuamu selalu ada untukmu. Waktu kau SD saja mereka
selalu hadir mengambil raportmu. Bahkan mereka selalu datang bersama.”
Aku tertawa kecil.
“Itu hanya topeng saja,” kataku. “Selama
ini kau belum tahu tentang masalah keluargaku. Keluargaku memang berada. Tetapi
semua itu hanya fana saja. Bapakku jarang sekali berada dirumah. Ibuku selalu
pulang malam. Bahkan mereka jarang sekali berkumpul bersama dalam ruang
keluarga.”
“Oh! Kata Bronto. Dia menyambar teh
hangat milik dan meminum. Ketia dia lega.
“Bukankah mereka selalu memenuhi
kebutuhan!” kata Bronto kembali. “Apalagi mereka selalu memberimu uang saku
lumayan banyak. Bahkan kau sering menaktirku.”
“Dasar Bronto!” kataku. “Memang uang
segalanya.”
Aku mengeryit mata. Dahiku berkerut
memandang Bronto. Tanganku memegang gelas dan memperhatikan serius.
“Dengan uang kita bisa makan,” kata
Bronto. “Uang bikin perut kita kenyang.”
“Memang kau gila bro!” kataku kesal.
“Apa yang kau pikirkan cuma makan dan perut kenyang?”
Aku sambil memainkan gelas dihadapanku.
Tanganku memang rajin untuk melakukan gerakan bebas. Ini di warung mas broo!
Jadi apa salahnya memainkan gelas.
“Terus apalagi,” kata Bronto. “Orang
hidup perlu makan. Jika tak makan maka matilah!”
Aku menggelang-gelengkan kepala. Aku
menikmati segelas teh hangat untuk menghilangkan dahagaku. Kembali aku menoleh
ke arah gerbang sekolah.
Bronto kembali menyambar tempe goreng
dan menikmatinya. Belum sempat tempe itu masuk ke mulutnya.
“Apa rencanamu saat ini?” tanyanya. “Apa
kita hanya nongkrong disini? Atau kita kembali ke sekolah. Kalau menurutku
lebih baik kita disini hingga jam pulang sekolah.”
Kemudian dia menggigit tempe goreng itu.
“Jam sembilan kita kembali ke sekolah,”
kataku. “Tetapi kemungkinan kita akan masuk ruang BP.”
“Baik,” kata Bronto lesu. “Aku kira kita
membolos seharian.”
Wajahnya tampak kusut. Dia seperti
kurang bersemangat.
“Itu bukan gayaku,” kataku. “Aku bolos
bukan untuk menghindari pelajaran. Tetapi aku bosan mengenai kehidupanku. Orang
tuaku tidak pernah memperhatikanku. Mereka hanya memikirkan hidupnya sendiri.
Mungkin kami banyak uang tetapi apa hidup hanya butuh uang saja?”
“Bosan,” kata Bronto mengulang. “Memang
kau aneh mas brooo. Dengan uang kita
bisa beli apa saja? Memang apa yang kau cari selama ini? Kita ini masih SMP.”
“Belum tahu,” kataku. “Tetapi apa yang
kucari sepertinya bukan hal mudah untuk selami.”
“Terserah,” kata Bronto sepihak. Dia
kembali menyambar teh hangat dan mengangkat bahu menuangkan the itu ke
mulutnya.
Kami puas dengan makanan. Aku membayar
semua makanan yang kami makan. Kami meluncur keluar. Belum sempat jauh dari
warung. Kira-kiran lima puluh meteran. Kami dihadang dua anak SMK. Mereka
begitu garang. Pakaian tidak dimasukan. Lengan dilipat hingga bahu. Memang itu
anak sekolah kurang ajar. Mereka mendekati kami.
Tangan anak SMK yang jangkung dan besar
menyambar kerahku. Dia menarik kencang. Leherku sedikit tertekan. Muka begitu
dekat dengan mukaku.
“Serah uangmu!” katanya.
Aku hanya ternganga memandang. Wajahku
begitu santai. Tanganku agak tegang untuk menjaga kekuatan. Tubuhku memang
menegang untuk menjaga keseimbangan. Kaki kokoh menahan beban tubuh.
“Uang,” kataku. “Aku tak punya uang.
Kami hanya anak SMP. Mana mungkin kami ada uang. Kalau ingin punya uang, kerja
dong!”
Wajahnya mereka menjadi masam. Tangan
anak SMK jangkung menarik kencang kerah leher. Aku sedikit tertekan. Sementara
anak SMK satunya lagi mencoba mengeledahku. Dia mengacak-acak seluruh saku
milikku. Bahkan tasku diambilnya dan buku-buku dijatuhkan. Ternyata memang tak
ada uang.
Bronto juga digeladah. Setiap saku
milikinya diperiksa. Tasnya juga tak lupa di periksa. Ternyata memang tak
ditemukan uang.
“Kalian ini miskin,” katanya. Tangannya melepaskan kerahku dan mendorongku.
Aku sedikit mundur ke belakang.
Mereka lalu pergi meninggalkan kami.
Bronto terkejut memperhatikan. Dia
mendadak ternganga diam sejenak. Seperkian detik dia berbicara.
“Memang dimana kau menaruh uang?”
tanyanya. “Aku tahu tadi kau bawa uang. Tetapi waktu kau digeladah mereka tak
menemukan uangmu sepersenpun.”
Aku tertawa kecil memperhatikannya.
“Rahasia,” kataku.
Baru dua langkah kami beranjak dari
tempat itu suara tembak terdengar. Desingan peluru yang terdengar keras dan
menakutkan. Dua kali suara tembakan itu membahana. Aku terkejut. Tubuhku agak
menggigil ketakutan. Bronto mendekat memegang tanganku. Dia memegang erat dan
kuat tanganku. Tekanan kuat dari tangan Bronto bikin aku cemas. Mataku
memperhatikan keadaan sekitar. Aku menoleh ke belakang ternyata memang tak ada
orang. Jalan ini ternyata begitu sepi.
“Kemana perginya dua anak SMK tadi?”
pikirnya. “Apa mereka menghilang?”
Ketika otakku memikirkannya, memang
bukan perkara mudah untuk membuat kesimpulan. Apalagi rona kulit merasakan
adanya ancaman kuat yang merangsang bulu kuduk berdiri.
Kecemasan adalah bentuk dari kata
sebelum rasa takut melanda cukup besar. Gigi Bronto berderit kencang. Aku
mendengarkan derit giginya. Rasanya ketakutan menghantui kami.
Perlahan-lahan kami mulai melangkah
lagi. Bronto tetap kuat memegang tanganku. Dia menggigil ketakutkan. Matanya
begitu cemas dan gelisah memandang.
Ketika kami baru beberapa langkah,
sesosok tubuh besar dan seponyongan menabrakku. Dia memakai jas setelan putih,
rambutnya telah memutih. Tangannya terasa bergetar memegang tubuhku. Aku hanya
ternganga memandangnya. Mataku tak berkedip dibuatnya. Lalu dia secara
tergesa-gesa melepaskan pegangannya. Dia menoleh ke belakang dan kembali
menatapku.
“Maaf!” katanya.
Kemudian dia kembali berlari. Langkahnya
begitu seponyongan. Aku memutar dan memandangnya. Tanpa mengalihkan pandangan, aku
memperhatikannya. Tetapi entah apa yang terjadi dia lenyap saat itu.
Aku terpaku. Aku mungkin sedang syok.
Mataku begitu terbelalak. Memang apa yang terjadi sudah diluar nalarku.
Sebuah tangan mencengkeram bahu kami. Lelaki
tua berada dibalik gang sempit menarik kami. Dia menyuruh kami untuk diam.
Tanpa sadar kami mengikuti petunjuknya. Kami duduk melipat. Terlihat seperti
jongkok sih! Tangan kami memegang lutut. Udara terasa menggetarkan seluruh bulu
kuduk kami. Rasanya sebuah kematian menghampiri kami. Memang itu ibaratnya
terlalu berlebihan. Tentu saja itu bukan berlebihan.
Sesosok tubuh jangkung mulai terlihat dijalan
yang kami lalui tadi. Dia memakai setelan bisnis santai bernuasa hitam dengan
potongan pas tubuh, kemeja hitam coklat dibaliknya, dan tanpa dasi. Dia tinggi
dan langsing, tapi solid. Dia kekar dan berotot, yang entah bagaimana, dapat
terlihat meski tertutup pakaian longgar.
Dia berjalan dan sambil memperhatikan. Matanya
begitu intens memandang. Dia terlihat waspada mengamati keadaan.
Ketika dia berada digaris lindung kami.
Maksudku sejajar dengan arah pandang kami. Aku merasakan kegelapan mengancam.
Rasanya udara disekitarku terasa berat dan sesak. Jantung berdetak kencang.
Tubuh kami menggigil ketakutan. Tangan kami bergetar memegang lutut kami.
Yang jelas aku melihat wajah sangar dan
menakutkan. Dia seperti manusia tetapi memiliki wajah yang menakutkan. Terlihat
dari gang sempit itu ketika aku sedikit memperhatikan kepalanya begitu garang
dan menyeramkan. Garis codet dipipinya
seperti sayatan memperlihatkan betapa kejamnya dia. Tangan kanan memegang
pistol.
Aku terpaku. Mungkin aku sedikit syok.
Aku mencengkeram lututku begitu kencang. Menyaksikan wajah begis dan kejam
tepat berada di sampingku. Saat itu kami merasakan terror yang murni
melumpuhkan. Kami meringkuk disudut gang, merintih, gemetar, mencoba
mengenyahkan gambaran kematian mengerikan yang terlihat disampingku.
Lelaki itu melepaskan cengkeramnya.
“Jangan bergerak!” katanya tanpa suara.
Kami menggangguk, terlalu takut untuk
melakukan apapun. Sosok Jangkung sedang berguman sendiri. Meskipun aku bisa
menoleh melihatnya tetapi aku rasa ketakutan membungkamku. Tetapi Aku cukup
dengar suaranya.
“Dimana Profesor itu?” katanya kesal.
“Cepat sekali dia melarikan diri padahal aku telah menyarangkan dua tembakan.
Tadi aku sempat melihatnya berlari ke arah sini. Tetapi kemana perginya dia?”
Dengan wajah kesal dia berbalik dan
berjalan kembali ke arah dia datang. Lelaki tua di sampingku mengintip pelan-pelan.
Dia memperhatikan sosok jangkung telah menghilang.
Aku melihat wajahnya tegang kembali
tenang. Aku mendengar dia mengucapkan Alhamdulillah.
“Tenang,” katanya. “Dia sudah pergi.
Sekarang kita aman.”
Dia menatap kami. Wajahnya begitu sayup
memandang.
Rasanya memang nyawa kami menjadi
taruhan. Aku merasakan ancaman kuat membuat jantungku terus terpompa kencang.
Aku mungkin masih tegang. Aku memperhatikan Bronto, wajahnya terlihat pucat
masam. Dia masih menggigil ketakutan duduk berjongkok.
“Siapa dia Al?” dia bertanya padaku
masih gugup dan tegang.
Tangan Bronto begitu kuat mencengkeram
lututnya. Dia seperti tak sanggup untuk berdiri. Tubuhnya seponyongan ketika
dia menaikkan kakinya.
“Aku tak tahu,” kataku. “Seperti dia
bukan orang sini.”
Aku
menatap tajam ke arah lelaki tua itu. Sesosok besar dan tinggi memakai jubah
putih panjang. Dia memakai surban. Tangannya memegang tasbih.
“Mungkin dia kyai!” pikirku. “Tetapi
kenapa ada kyai disini? Apa dia habis ceramah atau mungkin habis pengajian.
Tetapi kenapa dia ada disini? Apa ini sebuah kebetulan?”
Ekpresi wajahnya terlihat mengudara. Dia
memberikan senyuman. Dia menatap kami memancarkan aura kebijaksanaan. Aku
merasakan ketentraman dan ketenangan mengelilingi kami saat itu. Ketegangan dan
kecemasan telah hilang. Wajahnya menebarkan pesona keceriaan.
“Maaf aki ini siapa?” tanyaku. “Apa kami
kenal aki?”
Aku
menatap tajam. Wajahku mungkin agak terlihat tegang. Tetapi memang itu hanya
perubahan sesaat untuk merasakan kecemasan.
Dia tersenyum.
“Kalian jangan takut!” katanya. “Aku
bukan orang jahat. Aku hanya lewat saja.”
Dia menepuk-nepuk bahuku. Rasanya tangannya
menyalurkan energy positif yang melepaskan keteganganku. Bahkan rasa
menggigilku seakan lenyap ditelan energy itu.
“Apa yang kalian lakukan disini?”
tanyanya. “Bukankah kalian seharusnya sekolah! Ini masih jam sekolah.”
“Kami bolos!” kataku pelan.
Aku menundukkan kepala saat itu. Rasanya
aku tak sanggup untuk memandangnya.
“Bolos!” katanya mengulang. Dia kembali
tersenyum kecil. Mungkin aku tak sempat melihatnya.
“Kenapa kalian bolos?” tanyanya. Ekpresi
wajahnya tetap sama. Tak ada rona kesal dan marah dari raut mukanya.
“Aku bosan,” kataku. “Jadi kami bolos
sebentar ke warung dekat sekolah anak SMA.”
“Bosan,” katanya mengulang.
Dia menghela nafas. Rasanya dia berfikir
sejenak. Dia memegang bahuku. Matanya menatap tajam ke arahku. Aku melihat matanya
begitu sayup memancarkan kasih sayang terdalam.
“Datanglah ke Masjid Al Mutaqim,”
katanya. “Tentunya sehabis pulang sekolah. Assalamu alaikum!”
Tanpa sadar dia menghilang padahal aku
cukup jeli memperhatikan. Suasana kala itu hampir membuat bulu kuduk kami
berdiri. Kami jadi merinding ketakutan.
“Kemana perginya dia?” tanya Bronto.
“Apa dia hantu?”
“Entah!” kataku meringis takut melihat
keadaan.
Saat itu juga
perasaan tidak enak berubah menjadi kegugupan yang luar biasa,
dan berlarut menjadi rasa ngeri yang tidak bisa ditahan lagi
dan berlarut menjadi rasa ngeri yang tidak bisa ditahan lagi
Bronto
berpaling. Dia sama sekali tidak bermaksud lari. Tapi kakinya sudah melakukannya, tanpa menunggu
diperintah lagi. Kedua kakinya membawa dirinya
ke luar gang menuju ke jalan. Bronto lari segesit kijang, Dan aku ikut lari di sampingnya.
Baru sekali itu Bronto melihatku begitu cepat melarikan diri.
"Kusangka
kakimu hanya menuruti perintah otakmu," seru Bronto.
"Memang
begitu!" jawabku. "Dan otakku memerintahkan untuk melarikan diri."
Keduanya terus
lari dengan langkah panjang-panjang, sementara keduanya meninggalkan gang sempit yang
sunyi dan seram, Meninggalkan rasa ngeri
yang serasa melumpuhkan syaraf.
Kami kembali ke
sekolah. Tepat jam sepuluh kami dipanggil di ruang BP. Langkah kami begitu
pelan. Memang banyak mata memandang. Mereka menatapku bukan karena kasian
melainkan tatapan ketidak percayaan. Ketidakpercayaan bahwa anak pintar juga
membolos juga.
Mereka pikir
bolos hanya bagi anak bodoh saja. Nyata tidak. Buktinya aku termasuk anak
pintar bolos juga. Alasannya mungkin kurang tepat. Tetapi itulah kehidupan.
Duduk diruang
penuh itimidasi. Aku dan Bronto merasakan sesak dan panik. Lebih tetap kami
merasakan kebingungan. Pak Muhammad Fajri. Termasuk guru Bp kami. Beliau masih
muda paling baru berumur tiga puluh lima. Wajahnya memang terlihat biasa tetapi
di agak galak. Kami dintrogasi selama tiga puluh menit pertanyaan demi
pertanyaan membombardir kami.
“Kenapa kalian
membolos?” tanyanya agak kesal. “Apa kalian sudah pintar?”
Dia menatapku
tajam. Matanya hampir keluar dari lubangnya.
“Bosan, Pak!”
kataku sepihak.
Dia ternggangga.
Wajahnya terlihat syok tetapi ada rasa kesal dari raut muka.
“Bosan!”
katanya. “Jadi kalau kalian membersihkan kamar mandi tak bosan.”
Kami hanya diam.
Kami menunduk tak memandang. Dia terus berbicara memberi nasehat pada kami.
Tiga puluh menit berjalan. Dia menghela nafas.
“Bersihkan kamar
mandi!” katanya.
Hukuman
membersihkan kamar mandi penalty kami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar