Bolos - Sastra Education

Breaking

Sabtu, 09 November 2019

Bolos


Matematika.
Pelajaran pertama di sekolahanku hari itu. Kupikirkan memang aku akan masuk sekolah. Tetapi aku membolos bersama kawanku. Kami tak masuk sekolah dan nongkrong di warung dekat sekolah anak SMA.
Warung itu lumayan sepi pagi itu. Memang warung itu terletak ditempat stategis untuk lalu lalang orang tetapi itu pada waktu istirahat dan makan siang. Karena belum jam istirahat jadi kami lebih leluasa untuk menikmati udara pagi.
Aku duduk di sudut warung bersama kawanku Bronto. Kami menikmati gorengan sambil ditemani segelas teh hangat yang menyenangkan. Teh hangat menyebarkan aroma khas yang mengundang alunan hijau. Dimana titik simpul dalam kehidupan terasa berkumandang.
Aroma bawang yang mengiurkan memang bukan perkara muda untuk ditinggalkan. Ketika hidung mencium semerbak pedang perang ada sambar tajam merangsang otak untuk menikmati aroma lezat yang mematikan.
 “Bagaimana bro?” tanyaku. “Nikmat bukan! Disini kita bisa melepaskan pikiran rumit tentang pelajaran. Bahkan kita bisa memandang gadis cantik dari anak SMA. Sungguh anugerah Tuhan. Alhamdulillah!”

Mataku memperhatikan anak-anak SMA yang berlarian masuk ke gerbang sekolah. Karena tepat jam masuk pintu gerbang akan segera ditutup.
“Kau memang benar,” kata Bronto. “Tetapi Al bukannya kau pintar matematika. Kenapa kau membolos? Apa otakmu sudah error?”
Dia memandangku tajam sambil menggigit tempe goreng. Tempe itu terlihat rapi dan teratur lepas dari gigitannya. Seakan giginya terawat dengan benar. Memang kalau gigi sehat minimal tiga kali sehari menggosok gigi.
Aku menyambar gelas tehku. Aku mengangkat bahu dan kutuangkan ke mulut hingga air teh itu mengalir mulus ke tenggorokanku. Saat air teh itu sudah lepas dari tenggorokan dan masuk ke perut.
“Aku bosan,” kataku sepihak.
Bronto yang hampir kembali menggigit tempe goreng, dia mendadak terkejut. Matanya hampir terbelalak memperhatikanku. Tempe goreng itu hanya berada tepat di depan mulut lalu dia menurunkan bahunya. tempe goreng itu hanya dipegangnya sambil dia berbicara.
“Dasar!” kata Bronto. “Masa juara kelas bisa bosan. Memang kau tak dimarahi orang tuamu. Bukankah orang tuamu begitu peduli tentang prestasimu. Buktinya kau sering mendapatkan hadiah dari prestasi itu.”
“Peduli!” kataku terkejut. “Kau belum tahu selama tentang kehidupanku. Yang kau lihat hanya kulit saja.”
Bronto serius memperhatikanku. Dia kembali menggigit tempe gorengnya. Belum lama dia mengunyahnya. Mulutnya kembali berbicara.
“Maksudmu,” kata Bronto. “Seperti yang kulihat selama ini. Orang tuamu selalu ada untukmu. Waktu kau SD saja mereka selalu hadir mengambil raportmu. Bahkan mereka selalu datang bersama.”
Aku tertawa kecil.
“Itu hanya topeng saja,” kataku. “Selama ini kau belum tahu tentang masalah keluargaku. Keluargaku memang berada. Tetapi semua itu hanya fana saja. Bapakku jarang sekali berada dirumah. Ibuku selalu pulang malam. Bahkan mereka jarang sekali berkumpul bersama dalam ruang keluarga.”
“Oh! Kata Bronto. Dia menyambar teh hangat milik dan meminum. Ketia dia lega.
“Bukankah mereka selalu memenuhi kebutuhan!” kata Bronto kembali. “Apalagi mereka selalu memberimu uang saku lumayan banyak. Bahkan kau sering menaktirku.”
“Dasar Bronto!” kataku. “Memang uang segalanya.”
Aku mengeryit mata. Dahiku berkerut memandang Bronto. Tanganku memegang gelas dan memperhatikan serius.   
“Dengan uang kita bisa makan,” kata Bronto. “Uang bikin perut kita kenyang.”
“Memang kau gila bro!” kataku kesal. “Apa yang kau pikirkan cuma makan dan perut kenyang?”
Aku sambil memainkan gelas dihadapanku. Tanganku memang rajin untuk melakukan gerakan bebas. Ini di warung mas broo! Jadi apa salahnya memainkan gelas.
“Terus apalagi,” kata Bronto. “Orang hidup perlu makan. Jika tak makan maka matilah!”
Aku menggelang-gelengkan kepala. Aku menikmati segelas teh hangat untuk menghilangkan dahagaku. Kembali aku menoleh ke arah gerbang sekolah.
Bronto kembali menyambar tempe goreng dan menikmatinya. Belum sempat tempe itu masuk ke mulutnya.
“Apa rencanamu saat ini?” tanyanya. “Apa kita hanya nongkrong disini? Atau kita kembali ke sekolah. Kalau menurutku lebih baik kita disini hingga jam pulang sekolah.”
Kemudian dia menggigit tempe goreng itu.
“Jam sembilan kita kembali ke sekolah,” kataku. “Tetapi kemungkinan kita akan masuk ruang BP.”
“Baik,” kata Bronto lesu. “Aku kira kita membolos seharian.”
Wajahnya tampak kusut. Dia seperti kurang bersemangat.
“Itu bukan gayaku,” kataku. “Aku bolos bukan untuk menghindari pelajaran. Tetapi aku bosan mengenai kehidupanku. Orang tuaku tidak pernah memperhatikanku. Mereka hanya memikirkan hidupnya sendiri. Mungkin kami banyak uang tetapi apa hidup hanya butuh uang saja?”
“Bosan,” kata Bronto mengulang. “Memang kau aneh mas brooo.  Dengan uang kita bisa beli apa saja? Memang apa yang kau cari selama ini? Kita ini masih SMP.”
“Belum tahu,” kataku. “Tetapi apa yang kucari sepertinya bukan hal mudah untuk selami.”
“Terserah,” kata Bronto sepihak. Dia kembali menyambar teh hangat dan mengangkat bahu menuangkan the itu ke mulutnya.
Kami puas dengan makanan. Aku membayar semua makanan yang kami makan. Kami meluncur keluar. Belum sempat jauh dari warung. Kira-kiran lima puluh meteran. Kami dihadang dua anak SMK. Mereka begitu garang. Pakaian tidak dimasukan. Lengan dilipat hingga bahu. Memang itu anak sekolah kurang ajar. Mereka mendekati kami.
Tangan anak SMK yang jangkung dan besar menyambar kerahku. Dia menarik kencang. Leherku sedikit tertekan. Muka begitu dekat dengan mukaku.
“Serah uangmu!” katanya.
Aku hanya ternganga memandang. Wajahku begitu santai. Tanganku agak tegang untuk menjaga kekuatan. Tubuhku memang menegang untuk menjaga keseimbangan. Kaki kokoh menahan beban tubuh.
“Uang,” kataku. “Aku tak punya uang. Kami hanya anak SMP. Mana mungkin kami ada uang. Kalau ingin punya uang, kerja dong!”
Wajahnya mereka menjadi masam. Tangan anak SMK jangkung menarik kencang kerah leher. Aku sedikit tertekan. Sementara anak SMK satunya lagi mencoba mengeledahku. Dia mengacak-acak seluruh saku milikku. Bahkan tasku diambilnya dan buku-buku dijatuhkan. Ternyata memang tak ada uang.
Bronto juga digeladah. Setiap saku milikinya diperiksa. Tasnya juga tak lupa di periksa. Ternyata memang tak ditemukan uang.
“Kalian ini miskin,” katanya.  Tangannya melepaskan kerahku dan mendorongku. Aku sedikit mundur ke belakang.
Mereka lalu pergi meninggalkan kami.
Bronto terkejut memperhatikan. Dia mendadak ternganga diam sejenak. Seperkian detik dia berbicara.
“Memang dimana kau menaruh uang?” tanyanya. “Aku tahu tadi kau bawa uang. Tetapi waktu kau digeladah mereka tak menemukan uangmu sepersenpun.”
Aku tertawa kecil memperhatikannya.
“Rahasia,” kataku.
Baru dua langkah kami beranjak dari tempat itu suara tembak terdengar. Desingan peluru yang terdengar keras dan menakutkan. Dua kali suara tembakan itu membahana. Aku terkejut. Tubuhku agak menggigil ketakutan. Bronto mendekat memegang tanganku. Dia memegang erat dan kuat tanganku. Tekanan kuat dari tangan Bronto bikin aku cemas. Mataku memperhatikan keadaan sekitar. Aku menoleh ke belakang ternyata memang tak ada orang. Jalan ini ternyata begitu sepi.
“Kemana perginya dua anak SMK tadi?” pikirnya. “Apa mereka menghilang?”
Ketika otakku memikirkannya, memang bukan perkara mudah untuk membuat kesimpulan. Apalagi rona kulit merasakan adanya ancaman kuat yang merangsang bulu kuduk berdiri.
Kecemasan adalah bentuk dari kata sebelum rasa takut melanda cukup besar. Gigi Bronto berderit kencang. Aku mendengarkan derit giginya. Rasanya ketakutan menghantui kami.
Perlahan-lahan kami mulai melangkah lagi. Bronto tetap kuat memegang tanganku. Dia menggigil ketakutkan. Matanya begitu cemas dan gelisah memandang.
Ketika kami baru beberapa langkah, sesosok tubuh besar dan seponyongan menabrakku. Dia memakai jas setelan putih, rambutnya telah memutih. Tangannya terasa bergetar memegang tubuhku. Aku hanya ternganga memandangnya. Mataku tak berkedip dibuatnya. Lalu dia secara tergesa-gesa melepaskan pegangannya. Dia menoleh ke belakang dan kembali menatapku.
“Maaf!” katanya.
Kemudian dia kembali berlari. Langkahnya begitu seponyongan. Aku memutar dan memandangnya. Tanpa mengalihkan pandangan, aku memperhatikannya. Tetapi entah apa yang terjadi dia lenyap saat itu.
Aku terpaku. Aku mungkin sedang syok. Mataku begitu terbelalak. Memang apa yang terjadi sudah diluar nalarku.
 Sebuah tangan mencengkeram bahu kami. Lelaki tua berada dibalik gang sempit menarik kami. Dia menyuruh kami untuk diam. Tanpa sadar kami mengikuti petunjuknya. Kami duduk melipat. Terlihat seperti jongkok sih! Tangan kami memegang lutut. Udara terasa menggetarkan seluruh bulu kuduk kami. Rasanya sebuah kematian menghampiri kami. Memang itu ibaratnya terlalu berlebihan. Tentu saja itu bukan berlebihan.
 Sesosok tubuh jangkung mulai terlihat dijalan yang kami lalui tadi. Dia memakai setelan bisnis santai bernuasa hitam dengan potongan pas tubuh, kemeja hitam coklat dibaliknya, dan tanpa dasi. Dia tinggi dan langsing, tapi solid. Dia kekar dan berotot, yang entah bagaimana, dapat terlihat meski tertutup pakaian longgar.
Dia berjalan dan sambil memperhatikan. Matanya begitu intens memandang. Dia terlihat waspada mengamati keadaan.
Ketika dia berada digaris lindung kami. Maksudku sejajar dengan arah pandang kami. Aku merasakan kegelapan mengancam. Rasanya udara disekitarku terasa berat dan sesak. Jantung berdetak kencang. Tubuh kami menggigil ketakutan. Tangan kami bergetar memegang lutut kami.
Yang jelas aku melihat wajah sangar dan menakutkan. Dia seperti manusia tetapi memiliki wajah yang menakutkan. Terlihat dari gang sempit itu ketika aku sedikit memperhatikan kepalanya begitu garang dan menyeramkan.  Garis codet dipipinya seperti sayatan memperlihatkan betapa kejamnya dia. Tangan kanan memegang pistol.
Aku terpaku. Mungkin aku sedikit syok. Aku mencengkeram lututku begitu kencang. Menyaksikan wajah begis dan kejam tepat berada di sampingku. Saat itu kami merasakan terror yang murni melumpuhkan. Kami meringkuk disudut gang, merintih, gemetar, mencoba mengenyahkan gambaran kematian mengerikan yang terlihat disampingku.
Lelaki itu melepaskan cengkeramnya. “Jangan bergerak!” katanya tanpa suara.
Kami menggangguk, terlalu takut untuk melakukan apapun. Sosok Jangkung sedang berguman sendiri. Meskipun aku bisa menoleh melihatnya tetapi aku rasa ketakutan membungkamku. Tetapi Aku cukup dengar suaranya.
“Dimana Profesor itu?” katanya kesal. “Cepat sekali dia melarikan diri padahal aku telah menyarangkan dua tembakan. Tadi aku sempat melihatnya berlari ke arah sini. Tetapi kemana perginya dia?”
Dengan wajah kesal dia berbalik dan berjalan kembali ke arah dia datang. Lelaki tua di sampingku mengintip pelan-pelan. Dia memperhatikan sosok jangkung telah menghilang.
Aku melihat wajahnya tegang kembali tenang. Aku mendengar dia mengucapkan Alhamdulillah.
“Tenang,” katanya. “Dia sudah pergi. Sekarang kita aman.”
Dia menatap kami. Wajahnya begitu sayup memandang.
Rasanya memang nyawa kami menjadi taruhan. Aku merasakan ancaman kuat membuat jantungku terus terpompa kencang. Aku mungkin masih tegang. Aku memperhatikan Bronto, wajahnya terlihat pucat masam. Dia masih menggigil ketakutan duduk berjongkok.
“Siapa dia Al?” dia bertanya padaku masih gugup dan tegang.
Tangan Bronto begitu kuat mencengkeram lututnya. Dia seperti tak sanggup untuk berdiri. Tubuhnya seponyongan ketika dia menaikkan kakinya.
“Aku tak tahu,” kataku. “Seperti dia bukan orang sini.”
 Aku menatap tajam ke arah lelaki tua itu. Sesosok besar dan tinggi memakai jubah putih panjang. Dia memakai surban. Tangannya memegang tasbih.
“Mungkin dia kyai!” pikirku. “Tetapi kenapa ada kyai disini? Apa dia habis ceramah atau mungkin habis pengajian. Tetapi kenapa dia ada disini? Apa ini sebuah kebetulan?”
Ekpresi wajahnya terlihat mengudara. Dia memberikan senyuman. Dia menatap kami memancarkan aura kebijaksanaan. Aku merasakan ketentraman dan ketenangan mengelilingi kami saat itu. Ketegangan dan kecemasan telah hilang. Wajahnya menebarkan pesona keceriaan.
“Maaf aki ini siapa?” tanyaku. “Apa kami kenal aki?”
 Aku menatap tajam. Wajahku mungkin agak terlihat tegang. Tetapi memang itu hanya perubahan sesaat untuk merasakan kecemasan.
Dia tersenyum.
“Kalian jangan takut!” katanya. “Aku bukan orang jahat. Aku hanya lewat saja.”
Dia menepuk-nepuk bahuku. Rasanya tangannya menyalurkan energy positif yang melepaskan keteganganku. Bahkan rasa menggigilku seakan lenyap ditelan energy itu.
“Apa yang kalian lakukan disini?” tanyanya. “Bukankah kalian seharusnya sekolah! Ini masih jam sekolah.”
“Kami bolos!” kataku pelan.
Aku menundukkan kepala saat itu. Rasanya aku tak sanggup untuk memandangnya.
“Bolos!” katanya mengulang. Dia kembali tersenyum kecil. Mungkin aku tak sempat melihatnya.
“Kenapa kalian bolos?” tanyanya. Ekpresi wajahnya tetap sama. Tak ada rona kesal dan marah dari raut mukanya.
“Aku bosan,” kataku. “Jadi kami bolos sebentar ke warung dekat sekolah anak SMA.”
“Bosan,” katanya mengulang.
Dia menghela nafas. Rasanya dia berfikir sejenak. Dia memegang bahuku. Matanya menatap tajam ke arahku. Aku melihat matanya begitu sayup memancarkan kasih sayang terdalam.
“Datanglah ke Masjid Al Mutaqim,” katanya. “Tentunya sehabis pulang sekolah. Assalamu alaikum!”
Tanpa sadar dia menghilang padahal aku cukup jeli memperhatikan. Suasana kala itu hampir membuat bulu kuduk kami berdiri. Kami jadi merinding ketakutan.
“Kemana perginya dia?” tanya Bronto. “Apa dia hantu?”
“Entah!” kataku meringis takut melihat keadaan.
 Saat itu juga perasaan tidak enak berubah menjadi kegugupan yang luar biasa,
dan berlarut menjadi rasa ngeri yang tidak bisa ditahan lagi
Bronto berpaling. Dia sama sekali tidak bermaksud lari. Tapi kakinya sudah melakukannya, tanpa menunggu diperintah lagi. Kedua kakinya membawa dirinya ke luar gang menuju ke jalan. Bronto lari segesit kijang, Dan aku ikut lari di sampingnya. Baru sekali itu Bronto melihatku begitu cepat melarikan diri.
"Kusangka kakimu hanya menuruti perintah otakmu," seru Bronto.
"Memang begitu!" jawabku. "Dan otakku memerintahkan untuk melarikan diri."
Keduanya terus lari dengan langkah panjang-panjang, sementara keduanya meninggalkan gang sempit yang sunyi dan seram, Meninggalkan rasa ngeri yang serasa melumpuhkan syaraf.
Kami kembali ke sekolah. Tepat jam sepuluh kami dipanggil di ruang BP. Langkah kami begitu pelan. Memang banyak mata memandang. Mereka menatapku bukan karena kasian melainkan tatapan ketidak percayaan. Ketidakpercayaan bahwa anak pintar juga membolos juga. 
Mereka pikir bolos hanya bagi anak bodoh saja. Nyata tidak. Buktinya aku termasuk anak pintar bolos juga. Alasannya mungkin kurang tepat. Tetapi itulah kehidupan.
Duduk diruang penuh itimidasi. Aku dan Bronto merasakan sesak dan panik. Lebih tetap kami merasakan kebingungan. Pak Muhammad Fajri. Termasuk guru Bp kami. Beliau masih muda paling baru berumur tiga puluh lima. Wajahnya memang terlihat biasa tetapi di agak galak. Kami dintrogasi selama tiga puluh menit pertanyaan demi pertanyaan membombardir kami.
“Kenapa kalian membolos?” tanyanya agak kesal. “Apa kalian sudah pintar?”
Dia menatapku tajam. Matanya hampir keluar dari lubangnya.
“Bosan, Pak!” kataku sepihak.
Dia ternggangga. Wajahnya terlihat syok tetapi ada rasa kesal dari raut muka.
“Bosan!” katanya. “Jadi kalau kalian membersihkan kamar mandi tak bosan.”
Kami hanya diam. Kami menunduk tak memandang. Dia terus berbicara memberi nasehat pada kami. Tiga puluh menit berjalan. Dia menghela nafas.
“Bersihkan kamar mandi!” katanya. 
Hukuman membersihkan kamar mandi penalty kami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar