Bayangan-bayangan di Suralaya semakin gelap.
Tiba-tiba mereka sampai disebuah tempat terbuka lagi, dibawah langit malam
pucat bertaburkan beberapa bintang yang muncul awal. Didepan mereka ada tempat
luas tanpa pohon, berbentuk lingkaran besar dan membelok keluar di kedua
sisinya. Di luarnya ada jurang dalam yang hilang dalam kegelapan, tapi rumput
ditebingnya tampak hijau, seolah masih bersinar mengenang matahari yang sudah
pergi. Disisi seberang berdiri menjulang sebuah dinding hijau, mengurung bukit
hijau yang dipenuhi pohon mallorn yang lebih tinggi daripada yang telah mereka
lihat di negeri itu. Tingginya tak bisa ditebak, tapi dalam cahaya senja itu,
mereka tampak seperti menara-menara yang hidup. Didalam dahan-dahannya yang
bercabang-cabang, dan di tengah dedaunannya yang selalu bergerak, menyala
lampu-lampu yang tak terhitung jumlahnya-hijau, emas, dan perak. Tinggi tampan
berpakaian surjan panjang memakai mahkota emas pendek. Batara Indra berbicara
pada mereka.
“Selamat datang ke Jonggring Saloka!” katanya.
“Inilah kota tempat tinggal Batara Guru Dan Batara Uma.”
Gerbang-gerbang itu menghadap ke barat daya,
terletak diantara ujung-ujung dinding yang mengelilinginya, yang di sini saling
menutupi. Pintu-pintunya tinggi dan kuat, diterangi banyak lampu gantung.
Mereka melewati banyak jalan dan mendaki
banyak tangga, sampai akhirnya tiba di tempat tinggi. Didepan mereka, di tengah
halaman luas, sebuah air mancur berkilauan. Air mancur itu diterangi
lampu-lampu perak yang menggantung pada dahan-dahan pepohonan, airnya jatuh ke
dalam mangnyak perak, dan dari situ mengalir menjadi aliran putih. Di sisi
selatan halaman berdiri pohon paling
besar; batangnya yang besar dan mulus bersinar seperti sutra kelabu, dan Ia
menjulang begitu tinggi, hingga dahan-dahannya yang pertama, jauh di atas,
membuka tangan-tangan besar mereka di bawah awan daun yang gelap.
Ketika Wisanggeni memanjat perlahan, banyak
sekali flet yang dilewatinya: beberapa di satu sisi, beberapa di sisi lain, dan
beberapa mengurung batang pohon, sehingga tangga itu melewati tengahnya.
Disuatu ketinggian, jauh di atas tanah, Ia sampai ke sebuah talan yang luas,
seperti geladak kapal besar. Ia masuk dibelakang Batara Indra, dan menyadari Ia
berada di sebuah ruang berbentuk lonjong; di tengah ruangan tumbuh sebatang
pohon mallorn besar, namun batangnya semakin keatas semakin mengecil, sampai ke
mahkotanya, tapi masih membentuk tiang dengan lingkaran sangat besar.
Ruangan itu berisi cahaya lembut;
dinding-dindingnya hijau dan perak, dan atapnya dari emas. Banyak Batara duduk
disana. Diatas dua kursi, dibawah batang pohon dan beratap dahan hidup, duduk
berdampingan Batara Guru dan Batai Uma. Mereka berdiri untuk menyambut tamu
mereka, sesuai adat-istiadat kaum Batara, bahkan mereka yang termasuk raja-raja
hebat. Mereka sangat jangkung, dan sang Batari juga tak kalah jangkung daripada
sang Batara; mereka tampak khidmat dan indah. Pakaian mereka serba putih;
rambut Batari berwarna hitam pekat, panjang sampai ke ujung kaki, wajah cantik
terlihat muda. Sebelah kanan berdiri sang Batari Durga muka seram bagai murka
para pasukan buta dan rambut Batara Guru keperakan dan panjang, serta bersinar;
tapi tak ada tanda-tanda ketuaan pada diri mereka, kecuali dalam mata mereka;
karena mata mereka tajam bagai lembing dibawah sinar bintang, namun sangat
dalam, seperti sumur ingatan yang dalam.
“Duduklah menghadapku, Wisanggeni!” kata Guru.
“Kalau semua sudah datang, kita akan bercakap-cakap.”
“Bektiku kaki Guru!” kata Wisanggeni.
“Ya ger bektimu aku terima!” kata Batara Guru.
Wisanggeni duduk bersila dihadapan Batara Guru,
Batara Guru menatap lagi.
“Disini ada kamu seorang,” katanya. “Kegelapan
membubung diantara Mereka, dan sepanjang tahun ini bayang-bayang yang muncul
semakin panjang.”
“Ada apa ger Wisanggeni kau menghadapku?”
tanya Batara Guru.
“Aku memang ingin menanyakan tentang ibuku
Dewi Dursanala apa yang kau lakukan pada ibuku?” tanya Wisanggeni kembali.
“Ia belum tahu ger bocah bagus Wisanggeni,”
kata Batara Guru
“Aduh!” kata Wisanggeni. “Sudah lama aku
khawatir ada kejahatan yang tertidur di bawah Suralaya. Tapi seandainya aku
tahu bahwa kaum Batara sudah membangunkan lagi kejahatan di Suralaya, aku akan
menyerang kalian melewati perbatasan utara, kau dan semua yang pergi bersamamu.
Dan bila mungkin, akan ada yang bilang bahwa Dewasrani akhirnya jatuh dari
kebijakan ke kebodohan, pergi sia-sia masuk ke dalam jaring Suralaya. Aku akan
menumpas kegelapan yang ada dihatinya.”
“Gegabah sekali kalau ada yang berkata
begitu,” kata Batari Durga muram. “Karena perbuatan Dewasrani sepanjang
hidupnya tak pernah sia-sia. Mereka yang mengikutinya tidak tahu pikirannya,
dan tak bisa melaporkan keseluruhan rencananya.”
Hening sejenak. Akhirnya Batara Guru
berbicara. “Aku tidak tahu bahwa keadaanmu begitu mengerikan,” katanya.
Terdiam sejenak Wisanggeni, Ia memandang dalam
paseban agung Suralaya. Duduk banyak batara menghadap. Dimulai dari wujud
brahala dan Batara tampan menghadap sang raja suralaya.
Ia terlihat seperti masuk dalam tempurung
katak. Ia dihujat dan dipandang banyak batara. Ia seperti memberikannya
tekanan. Rasa kegelapan Suralaya menujam keras memandang Wisanggeni.
Akhirnya Batara Guru berbicara lagi. “Tugas
kalian sudah Mereka ketahui,” kata Batara Guru, sambil menatap Wisanggeni.
“Tapi kita tak akan membicarakannya disini dengan lebih terbuka. Mungkin
kedatanganmu ke Suralaya ini untuk mencari sesuatu yang hal yang kau cintai.
Tampaknya ini memang direncanakan oleh Kakang Narada.”
Dan dengan kata itu Ia menahan mereka dengan
matanya, dalam keheningan Ia memandang
mereka satu per satu. Wisanggeni yang bisa menahan tatapannya untuk waktu lama.
“Aku ingin ibuku kembali, jika kau tak
mengembalikan ibuku akan aku rusak Jonggring Saloka,” kata Wisanggeni.
“Kau mau apa bocah merusak kahyangan,
bagaimana tangan seperti tangkai cangkul bisa merusak Jonggring Saloka,” Batara
Guru menghina. “Perbuatan manusia merusak suralaya akan mendapat balasan
setimpal dari perbuatannya.”
“Kau meremehkan Wisanggeni, biar kau batara
memiliki empat senjata aku tak takut berhadapanmu,” kata Wisanggeni.
“Berbicara sopan pada yang lebih tua, aku ini
kakek buyutmu,” kata Batara Guru marah menatap Wisanggeni.
Gelap gulita Suralaya. Para batara yang
menghadap merasa terhina, raja mereka diremehkan oleh bocah kemarin sore. Bocah
nakal dan tolol seperti Wisanggeni akan mendapat balasan yang setimpal. Gejolak
perbuatan dosa menuruti nafsu sesatnya. Membuat Batara Guru lupa tugasnya. Ia
raja, bukan rakyat jelata, perkataan dan kuasanya dituruti bawahanya.
“Kakek buyut, memang kau lebih tua dariku,
tetapi kau mudah termakan rayuan manis wanita,” kata Wisanggeni.
“Jangan lancang kau bocah, bicara tak tahu
tata krama pada Batara Guru,” kata Batari Durga disampingnya.
“Oh kau Durga kau mau membuat masalah
denganku,” bentak Wisanggeni sambil memberikan senyuman.
“Lancang kau bocah, ini aku Batari Durga
penguasa alam bawah,” kata Durga murka.
“Kau sombong sekali Durga, aku memang bocah
tapi aku bisa memberimu luka,” kata Wisanggeni.
“Memang kau sudah mendengar tentang diriku,”
kata Batari Durga. “Tapi dari apa yang pernah kudengar, tampaknya kebanyakan
berupa dongeng nenek-nenek, seperti yang kita ceritakan pada anak-anak kita.
Semua yang letaknya di sebelah Utara Sentra Ganda Mayit sekarang begitu jauh
dari Mereka, sehingga khayalan bisa bergerak bebas. Sejak dulu Batara Kala
berada di perbatasan dunia kita; tapi sudah lama sekali berlalu, sejak ada
diantara Mereka yang mengunjunginya, untuk membuktikan kebenaran ataupun ketidakbenaran
legenda-legenda yang sudah turun-temurun dari zaman dulu.”
“Cerita turun temurun tak berpengaruh pada
Wisanggeni,” kata Wisanggeni.
“Kalau begitu, Ia tak perlu mengatakan apa-apa
lagi,” kata Batara Guru. “Tapi jangan meremehkan pengetahuan yang sudah
turun-temurun; karena sering kali nenek-nenek tua mengingat hal-hal yang dulu
memang perlu diketahui orang-orang bijak.”
Wisanggeni bangkit dari tempat duduknya. Ia
siap menerjang Batara Guru dengan kerisnya. Melihat pergerakan Wisanggeni yang
mengancam nyawa, Trisula yaang dilepaskan dari tangan Batara Guru. Karena
kegelapan akan mengalir diantara kita, dan mungkin kita tidak akan bertemu
lagi, kecuali jauh di sana, di suatu jalan yang tak ada jalur kembali.
“Sudah lama kau menyembunyikan ibuku. Namun
bukan hakmu untuk memberikannya padaku, meski kau mau; hanya melalui keadilan
aku bisa mencapainya” kata Wisanggeni sambil terlempar keluar.
“Durga, Yama, dan Panyarikan kau urus bocah
tak tahu tata krama” kata Batara Guru.
“Baik!” kata mereka bertiga.
Dada Wisanggeni terasa sesak terkena punyalan
trisula. Ia merasa bahwa nyawa Diambang kematian tetapi Ia dapat berdiri tegak
lagi. Petruk menghampirinya,
“Bagaimana keadaanmu Wisanggeni?” tanya
Petruk.
“Ia tak apa-apa darah tidak keluar dari
dadaku, terasa bahwa tubuhnya sudah kebal dengan senjata. Mungkin ini adalah
hadiah dari petualanganku’, kata Wisanggeni.
“Bagaimanapun kau cucu Dewa? Mungkin selama
ini kau terluka untuk penyesuaian tubuhmu terhadap ancaman dan bahaya!” kata
Petruk dengan tegas.
“Kau benar kawan, sekarang tubuhku telah
menyesuaikan keadaan, hingga senjata tak mempan mengenai tubuhnya,” kata Wisanggeni.
Datang menghadang tak diundang Batara Yama.
Batara Panyarikan, langkah kaki kedua batara seperti mengusik ketenangan.
Mereka memasang muka merah padam, murka keduanya untuk menenggelamkan
Wisanggeni.
“Siapa kau berani menghadang jalanku?” tanya Wisanggeni
“Disini bukan kau yang berkuasa tetapi Batara
Penyarikan, jika kau ingin melakukan kudeta maka hadapi aku terlebih dahalu,”
kata Panyarikan.
“Oh! Panyarikan kau sombong terhadapku, Ia
disini juga putra Dewa, tapi kata-katamu akan membalik kepadamu, itulah sifatmu
karena kekuasaan menghantui hidupmu,” kata Wisanggeni sambil tertawa.
“Kau sesumbar dihadapan tubuh kecil, engkau
akan melihat jika menerima kepalanku,” kata Panyarikan marah.
Tubuhnya kecil, wajahnya bergaris merona
dengan muka yang mempesona tetapi sifatnya yang kurang diduga seperti kata hina
yang dibalut dengan kata-kata manisnya.
“Oh kau cukup lihai untuk membuatku tertawa, rupanya
kau menyimpan kuasamu ditangan penuh dosa itu Panyarikan,” guman Wisanggeni.
“Aku tak cukup lihai dalam bercanda tetapi
kudengar kabar burung disana kau agak sinting dalam berbicara,” kata Batara
Panyarikan.
“Sinting kata! kau boleh berkata apa saja tapi
pertemukan aku dengan Batara Guru sekarang juga, aku akan memberinya tangan
ringan yang panas membakar Jonggring Saloka,” kata Wisanggeni.
“Kau menghina rajaku, aku tak terima memang
ringan tanganmu dapat membumihangguskan Jonggring Saloka,” kata Batara
Panyarikan.
“Belum tahu, apa kau tak melihat tubuh,
trisula yang dilemparkan tak sanggup membuat kulitku luka,” kata Wisanggeni.
“Kau meremehkan Mereka bocah kemarin sore,
sekarang kau terima kepalan tanganku,” teriak Panyarikan.
Tangan membentang keluar, seperti siap
melayang, hantaman Panyarikan diterima Wisanggeni dengan dadanya. Tangan
memental keluar, batara Panyarikan tersungkur dalam keadaan pingsan.
“Bagaimana Panyarikan, apa kau mengaku kalah
berhadapan dengan Wisanggeni,” kata Wisanggeni. Itu belum seberapa, kau hanya
menerima tubuh kecil, bagaimana saat hantamanku menerima dadamu?” tanya
Wisanggeni.
Terdiam tak ada perkataan, tubuh Panyarikan
berbaring tak berdaya dihadapan Wisanggeni. Seperti tanah menerima pelukan
Panyarikan. Beberapa saat kemudian ia tersadar.
“Hebat kau bocah, Ia tak berdaya dihadapan
kekuatanmu, tapi bagaimana kau akan menerima kekuatanku, terima ini,” kata
Panyarikan.
Gandewa di rentangkan, busur panah siap
diluncurkan, tangan menarik anak panah, melesat cepat bagai kilat, dada
Wisanggeni membentang kuat menahan busur panah Panyarikan, tubuh kebal, anak
panah terjatuh dihadapan.
“Bagaimana ini pusaka tak mempan dengan
tubuhnya, mungkin lebih baik aku memanggil kakang Batara Yama,” pikir
Panyarikan.
Ia meninggalkan palagan. Kehebatan batara yang
sudah berumur ratusan tahun tak ada guna dihadapan anak kemarin sore.
“Kakang Batara, aku tak sanggup melawan
Wisanggeni, Ia terlalu kuat untuk aku kalahkan,” kata Panyarikan.
“Oh! kau memang lemah Panyarikan, tak
sebanding dengan Yamadipati, Dewa kematian yang siap mencambut nyawa orang,”
kata Yama.
“Oh! Kakang Yama, buktikan kalau kakang lebih
hebat,” kata Panyarikan dengan kesal.
“Sekali aku datang, tangan kulayangkan pada
tubuhnya, nyawa sudah hilang,” kata Yama.
“Mudah sekali kau berbicara, buktikan kang!”
guman Panyarikan.
“Ok! rupa bagus tidak bisa menyelesaikan,
kalau aku sekali cabut langsung binasa,” kata Yama.
“Buktikan kakang batara!” kata Panyarikan
mengulang.
Maju tubuh besar dan kekar tapi muka tak
karuan, tidak tampan dan tidak buruk, tetapi tak enak kalau dipandang, Mungkin
ini nasib Yamadipati Muka sanggar seperti preman, tetapi penuh pengertian.
Hatinya menuruti perintah atas benar atau salah tak pernah dipikirkan, asal
atasan menyuruhnya selalu dilakukan. Ia menghadang laju Wisanggeni.
Wisanggeni memandang, Ia merasa bahwa yang
menghadang seperti pelawak siap melontarkan kata-kata kicauan yang mengasyikan.
Rupanya bukan itu yang keluar. Ia memberikan celoteh yang tak karuan. Politik
dibicarakan. Memang kurang sopan dalam pertarungan, tapi itulah sang pencabut
kematian.
“Kau siapa batara?” tanya Wisanggeni.
“Mungkin kau lupa wajahku, tetapi aku tak bisa
lupa darimu Wisanggeni, aku pernah memasukkanmu ke dalam Kawah Candradimuka,”
kata Yama.
“Oh Yamadipati! Tukang cabut nyawa, silakan
kau cabut nyawaku jika kau bisa tapi kalau tak bisa aku akan melenyapkanmu,”
kata Wisanggeni.
“Kau akan melenyapkanku bocah! Belum
menyentuhku, kau akan musnah dengan tanganku,” kata Yama.
“Kau memang besar, seperti buta yang siap menerkam,
tetapi apa kau tak melihat bahwa kau bukan tandingan Wisanggeni,” kata
Wisanggeni dengan tegas.
“Kau meremehkan batara Yama, disini manusia
berada dalam kuasaku, mati atau hidup tergantung pada tanganku, kau bisa apa
dihadapanku,” kata Yama marah.
“Lihat tubuhku, apa kau pernah melihat
amarahku? Apakah kau melihat jilatan api di tubuhku? Inilah wujudku,” kata Wisanggeni.
“Disini jangan kau pandang remeh Batara,
Batara ada diatas, Batara lebih mulia dari dirimu, Batara pemimpin manusia
marcapada, kau melemahkan kekuasaan Batara, kau meremehkan kekuatan batara,”
kata Yama.
Wisanggeni memandang, Batara Yama kembali
memandang, mata melotot Yama pertanda amarah siap diletuskan. Merapi yang
menahan tak sanggup menahan lava panas, tetapi Ia mendinginkan pikiran,
seakan-seakan masih dalam perbincangan.
“Batara memang mempunyai kekuasaan, tetapi apa
kekuaasan digunakan dalam kesewanang-wenang? aku juga rakyat! lahir di bumi ini
! Negara ini! Tetapi mengapa aku ingin dilenyapkan?” guman Wisanggeni.
“Mungkin jawaban yang kuberikan tak memuaskan
hasrat dan jiwamu tetapi apa salah mematuhi perintah pemimpin?” tanya Yama.
“Disini jika salah maka harus dibenarkan,
bukan untuk menjadi junjungan, kesalahan sekecil apapun jika dibiarkan akan
membesar, seperti masalah terjadi sekarang mungkin kau akan melenyapkanku
tetapi kenapa kau menahan ibuku?” tanya Wisanggeni.
“Aku memang salah jika aku melihat dengan
hati, tetapi aku cuma menuruti perintah atasannya, mau salah atau benar aku
tetap lakukan” kata Yama.
“Kau memang tak dapat diperingatkan, kau
memandang rendah manusia tak dosa, inilah akibat jika politik keluarga
berkuasa” kata Wisanggeni.
“Politik keluarga!” kaget Yama.
“Rasanya kau akan terus menuruti nafsumu
daripada hatimu, terlihat bahwa matamu ingin melenyapkanku segera,” kata
Wisanggeni.
“Ya,” kata Yama, “tapi apa pun yang timbul
dalam pikiran, aku siap untuk melenyapkanmu.”
“Oke!” kata Wisanggeni.
Tiba-tiba tangan menimpa dada Wisanggeni, Ia
belum bertahan, Yama melayangkan hamtaman. Dada Wisanggeni terasa sesak sesaat.
Amarah merapi siap diletuskan. Tubuhnya membara dari ujung kaki hingga kepala,
palagan perang terasa panas bagai matahari mendekat. Yama melihat penuh dengan
ketakutan, tangan yang siap dilayangkan kedua untuk mencabut nyawa terpaksa
ditunda dilepaskan. Api Wisanggeni mengejar Yama, Ia lari tunggang langgang
meninggalkan palagan.
“Kau kenapa kakang Batara?” tanya Panyarikan
penuh dengan tawa.
“Akuuuu, kalah adhi Batara,” kata Yama penuh
kecemasan,
“Kalah! Tadi kau bilang sekali cabut ia akan
musnah,” ejek Panyarikan.
“Memang akui Wisanggeni sungguh kuat, aku
cabut nyawanya ia seperti menghinaku,” guman Yama.
“Aku tahu kakang batara kalah, lebih baik kita
mundur biar diurus Batari Durga,”kata Panyarikan.
Disisi lain Batari Durga menghadang, buta perempuan
menghalangi laju Wisanggeni.
“Oh kau Durga, kau ingin lenyap bersama
kegelapanmu,” bentak Wisanggeni dengan marah.
“Kau bocah kemarin sore menghinaku, terima ini
pukulanku,” kata Durga.
Pukulan Durga melayang ke kepala Wisanggeni,
Ia menghindar dengan gesit, nyala api tubuhnya belum padam, Ia membara
mendekati tubuh Durga, Ia coba membakar Durga, Ia menahan api nyalIa. Lama
kelamaan terasa panas ditubuh Durga. Ia menghilang entah kemana.
Wisanggeni heran, musuh sudah tidak ada
dipalagan. Ia memandang sekitar tak ada batara menghadang. Ia mencoba melayang,
tiba-tiba Ia melayang dan terbang.
Sigasana marcupundumanik Batara Guru merasa
resah dan kebingungan. Ia duduk dalam pikiran kecemasan. Kekhawatiran terlambat
memikirkan. Ia duduk dipangnyaan Batara Guru.
“Guru, kembalikan ibuku!” kata Wisanggeni.
Diam ia berkata sepatah katapun. Hening saat
itu susasana jonggring Saloka.
“Guru, kembalikan ibuku!” kata Wisanggeni
mengulang.
Bara api menyala mengenai baju Batara Guru. Ia
tahan api yang mengenai tubuhnya. Pusaka trisula kembali dilepaskan. Terbang
mengenai tubuh Wisanggeni. Ia terlempar kedua kali dengan Trisulanya. Bangkit
siap menerjang, luapan api merah hitam menyerang.
Ia terbang membara menuju Batara Guru. Ia
memandang penuh kekhawatiran. Api nyala menyebabkan rusaknya kahyangan.
Kegelapan selama ini telah menyelimuti hatinya. Ia melupakan kewajiban sebagai
pemimpin, menjunjung tinggi nafsunya, melupakan hati nurinainya. Lebih mementing
keluarga daripada rakyatnya.
Batara Guru lari mencari kakang Semar. Ia
telah bersalah pada pucuk pimpin yang dilIakan. Wisanggeni mengejar. Batara
Guru melihat pertanda bahwa kakang Semar ada di kahyangan. Ia melihat sekitar,
terlihat bahwa indra loka ada kakang Semar. Batara Guru mendekat untuk meminta
ampunan.
“Kakang, kakang Semar aku bersalah telah
menginyati nafsu” kata Guru.
“Oh Guru, kenapa kau berlari tunggang
langgang?” tanya Semar.
“Aku salah kakang, selama ini Ia lebih
menurutnya nafsunya daripada hati nuraniknya” kata Guru.
“Baguslah kalau begitu, ini merupakan
pelajaran bagimu, kau sudah kuserahi kahyangan ini bukan untuk melindungi
kesalahan dan keburukan dalam keluarga melainkan untuk menegakkan keadilan dan
kebijaksanaanmu” kata Semar.
“Baik kakang!” kata Guru.
Wisanggeni telah datang. Ia telah siap untuk
membakar habis Batara Guru.
“Kakang hentikan Wisanggeni agar tidak
membakarnya” kata Guru.
“Wisanggeni berhenti!” teriak Semar.
“Kaki Semar kenapa kau menghentikan, aku untuk
menghajar kaki Guru?” tanya Wisanggeni.
“Sudah Wisanggeni, ia sudah mengakui
kesalahannya, sekarang kau racut dulu ajimu kita bicara dengan tenang” kata
Semar.
“Baik kaki!” kata Wisanggeni.
Wisanggeni meracut ajiannya. Tubuhnya yang
membara kembali seperti seIa kala. Jilatan api karena amarahnya mulai padam,
tetapi rasa panas hati belum sirna, Ia harus menyelamatkan ibunya.
“Sekarang katakan dimana ibunya kaki Guru?”
tanya Wisanggeni.
“Dewasrani telah membawanya ke Parang Gupita,
disana ibumu berada” kata Guru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar