Pagi
itu, rumah kecil pingiran desa hidup keluarga kecil bahagia. Badan kurus tinggi
dan berkumis tipis, rambut hitam ikal pendek, dia ayah Herman. Namanya Rohman. Ibunya
agak sedikit berisi rambut hitam ikal panjang. Ibunya bernama Sugeng. Rumah
kami sedehana, rumah pedesaan bagi orang pingiran. Batu-batu yang berlapis
semen dengan cat kuning yang hampir terkelupas. Konsen-konsen yang lapuk karena
usia, pintu kayu tua yang berjamur dan dimakan usia.
Sebuah
kelezatan tercipta, ibunya pandai memasak, masakan favorit keluarga gudeg bahan
dari alam kebun sendiri. Pohon nangka tua tumbuh di kebun dekat aliran sungai.
Tumbuh berbuah lebat dibagikan untuk tetatanga. Buah nangka merupakan bahan
utama gudeg, resep ibu memang berbeda, alami dan menyehatkan keluarga.
Hindangan
sederhana tertata di meja. Nasi liwet andalan keluarga. Karena miskin bukan
halangan untuk bahagia. Namanya Herman, rambut hitam pendek ikal, wajah oval,
kulit kuning langsat atau sawo matang. Usianya sebelas tahun mau masuk SMP.
Kelulusan dengan nilai terbaik membuat banyak pilihan untuk masuk smp favorit.
Salah
satu SMP favorit adalah SMP N 2 Prambanan terletak di daerah dataran tinggi
Pereng Sumberharjo Prambanan Sleman. SMP Yang paling dekat dengan rumahku.
“Bangun!”
teriak ibuku. “Pertama kali masuk sekolah jangan sampai terlambat.”
“Ngertos
mak,” kata Herman sambil merapikan tempat tidurnya.
Herman
bergegas ke kamar mandi. Biarpun sudah zaman milenial tetapi keluarga tetap
sederhana. Untuk mengambil air harus ditimba. Air sanyo mungkin ada tapi air
tiba lebih sehat dan mengasyikan. Air tiba merupakan air segar dan menyehatkan
karena kerja keras untuk mengambilnya. Mungkin anak jaman now takut
melakukannya tetapi hidup sederhana lebih nyaman dan terasa berharga.
Pertama
kali masuk sekolah membuat Ia agak sedikit bangun terlambat, bau haru masakan
ibu tercium keras disela-sela hidungnya. Bau harum rempah-rempah dengan cita
rasa keluarga dan kasih sayang orang tua membahana memberikan semangat pagi
untu melakukan usaha.
“Ayo
cepat, kita makan bersama,” kata ayahnya sambil membersihkan motor buntutnya.
Motor
yang sudah lama dibelinya semenjak ia masih remaja, menemani ia sekolah hingga
kerja. Ayahnya merupakan buruh pabrik biasa. Pekerja prabik dengan penghasilan
pas-pas saja. Tetapi memiliki jiwa sosial tinggi terhadap tetangga maupun
saudara. Ia menyayangi motor buntutnya. Setiap hari tak lupa ia membersihkan
kotoran kecil pada motor buntut.
“Siap
pak!” jawab Herman sambil mengayunkan air untuk membersihkan tubuhnya.
Badan
terasa segar dan bersemangat untuk aktivitas pertama. Saat berjalan ke ruang makan keluarga aroma harum gudeg
tercium hidungnya. Kenikmatan makan desa yang menggugah selera. Gudeg adalah
masakan khas dari jogja mungkin bisa dibilang legenda. Menurut cerita Ibunya,
ibunya memang jago memyiap makanan apalagi gudeg, menurut ibu kakek pernah
bercerita bahwa tangan ibuku pencipta makanan yang nikmat dan sehat untuk
dinikmati.
“Oke!”
kata ayahnya. “Mari kita semua makan bersama.”
Santapan
nikmat telah dihidangkan ibunya. Aroma tercium saat kami duduk bersama. Ruang
makan sederhana dengan kursi hasil karya ayahnya menemani makan di meja. Kaloborasi
meja makan yang menggugah selera. Onion bawang merah yang memberikan rasa
lembut dan nyaman pada kuah gudeg, rasa rempah-rempah beradu menghasilkan
kelezatan kasih sayang keluarga. Kelezatan rasa yang menampilkan kasih sayang
orang tua pada anaknya, dengan belaian lembut dan penuh cinta.
“Gimana
rasanya,” tanya Ibu penuh senyuman memandang anak dan suami menikmati
masakannya. “Hanya ini yang dapat ibu hidangkan!”
“Rasa enak, mak!” kata Herman menyantap
hidangan penuh selera.
Jangan
salah ibumu memang jago memasak,” kata Ayahnya. “Tangan ibumu seperti emas
penuh cita rasa. Masakan apa yang dibuatnya akan memberikan selera.”
“Bapak
bisa aja memuji Ibu,” kata Ibunya tersipu malu.
“Benar
kata bapak, mak!” kata Herman. “Masakan mak memang sangat menggugah selera.
Ibaratnya seorang penyanyi yang menggetarkan hati penontonnya.”
“Bisa
saja kamu Her!” kata ibunya sambil tersenyum.
“Makanya
besok kalau kau cari istri sepertimu pintar masak dan yang lebih penting
sederhana,” kata ayahnya.
“Benar
juga kata bapakmu Her!” sahut Ibunya. “Di agama kita mengajarkan untuk hidup
sederhana dan selalu berbagi kepada orang yang kurang beruntung.”
“Benar
kata mak,” kata Herman. “Tauladan yang baik dari orang tua agar membangun
kepribadian baik bagi anaknya.”
“Sudah!
Sudah! Sudah siang ini cepat makan nanti kalian berdua terlambat,” kata ibunya
sambil mengambilkan nasi untuk ayahnya.
Mereka
bertiga makan dengan lahapnya. Gudeg, ayam goreng serta sayur genjer disantap
dengan nikmatnya. Makan pagi yang menggugah selara membuat makanan desa
menyenangkan.
“Her
cepat habiskan nanti terlambat,” kata ibunya.
“Oke
mak!” kata Herman.
“Matur
nuwun makanannya!” kata Herman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar