Sepenggal Novel Gudeg - Sastra Education

Breaking

Minggu, 22 April 2018

Sepenggal Novel Gudeg


Pagi itu, rumah kecil pingiran desa hidup keluarga kecil bahagia. Badan kurus tinggi dan berkumis tipis, rambut hitam ikal pendek, dia ayah Herman. Namanya Rohman. Ibunya agak sedikit berisi rambut hitam ikal panjang. Ibunya bernama Sugeng. Rumah kami sedehana, rumah pedesaan bagi orang pingiran. Batu-batu yang berlapis semen dengan cat kuning yang hampir terkelupas. Konsen-konsen yang lapuk karena usia, pintu kayu tua yang berjamur dan dimakan usia.
Sebuah kelezatan tercipta, ibunya pandai memasak, masakan favorit keluarga gudeg bahan dari alam kebun sendiri. Pohon nangka tua tumbuh di kebun dekat aliran sungai. Tumbuh berbuah lebat dibagikan untuk tetatanga. Buah nangka merupakan bahan utama gudeg, resep ibu memang berbeda, alami dan menyehatkan keluarga.

Hindangan sederhana tertata di meja. Nasi liwet andalan keluarga. Karena miskin bukan halangan untuk bahagia. Namanya Herman, rambut hitam pendek ikal, wajah oval, kulit kuning langsat atau sawo matang. Usianya sebelas tahun mau masuk SMP. Kelulusan dengan nilai terbaik membuat banyak pilihan untuk masuk smp favorit.
Salah satu SMP favorit adalah SMP N 2 Prambanan terletak di daerah dataran tinggi Pereng Sumberharjo Prambanan Sleman. SMP Yang paling dekat dengan rumahku.
“Bangun!” teriak ibuku. “Pertama kali masuk sekolah jangan sampai terlambat.”
“Ngertos mak,” kata Herman sambil merapikan tempat tidurnya.
Herman bergegas ke kamar mandi. Biarpun sudah zaman milenial tetapi keluarga tetap sederhana. Untuk mengambil air harus ditimba. Air sanyo mungkin ada tapi air tiba lebih sehat dan mengasyikan. Air tiba merupakan air segar dan menyehatkan karena kerja keras untuk mengambilnya. Mungkin anak jaman now takut melakukannya tetapi hidup sederhana lebih nyaman dan terasa berharga.
Pertama kali masuk sekolah membuat Ia agak sedikit bangun terlambat, bau haru masakan ibu tercium keras disela-sela hidungnya. Bau harum rempah-rempah dengan cita rasa keluarga dan kasih sayang orang tua membahana memberikan semangat pagi untu melakukan usaha.
“Ayo cepat, kita makan bersama,” kata ayahnya sambil membersihkan motor buntutnya.
Motor yang sudah lama dibelinya semenjak ia masih remaja, menemani ia sekolah hingga kerja. Ayahnya merupakan buruh pabrik biasa. Pekerja prabik dengan penghasilan pas-pas saja. Tetapi memiliki jiwa sosial tinggi terhadap tetangga maupun saudara. Ia menyayangi motor buntutnya. Setiap hari tak lupa ia membersihkan kotoran kecil pada motor buntut.
“Siap pak!” jawab Herman sambil mengayunkan air untuk membersihkan tubuhnya.
Badan terasa segar dan bersemangat untuk aktivitas pertama. Saat berjalan ke  ruang makan keluarga aroma harum gudeg tercium hidungnya. Kenikmatan makan desa yang menggugah selera. Gudeg adalah masakan khas dari jogja mungkin bisa dibilang legenda. Menurut cerita Ibunya, ibunya memang jago memyiap makanan apalagi gudeg, menurut ibu kakek pernah bercerita bahwa tangan ibuku pencipta makanan yang nikmat dan sehat untuk dinikmati.
“Oke!” kata ayahnya. “Mari kita semua makan bersama.”
Santapan nikmat telah dihidangkan ibunya. Aroma tercium saat kami duduk bersama. Ruang makan sederhana dengan kursi hasil karya ayahnya menemani makan di meja. Kaloborasi meja makan yang menggugah selera. Onion bawang merah yang memberikan rasa lembut dan nyaman pada kuah gudeg, rasa rempah-rempah beradu menghasilkan kelezatan kasih sayang keluarga. Kelezatan rasa yang menampilkan kasih sayang orang tua pada anaknya, dengan belaian lembut dan penuh cinta.
“Gimana rasanya,” tanya Ibu penuh senyuman memandang anak dan suami menikmati masakannya. “Hanya ini yang dapat ibu hidangkan!”
 “Rasa enak, mak!” kata Herman menyantap hidangan penuh selera.
Jangan salah ibumu memang jago memasak,” kata Ayahnya. “Tangan ibumu seperti emas penuh cita rasa. Masakan apa yang dibuatnya akan memberikan selera.”
“Bapak bisa aja memuji Ibu,” kata Ibunya tersipu malu.
“Benar kata bapak, mak!” kata Herman. “Masakan mak memang sangat menggugah selera. Ibaratnya seorang penyanyi yang menggetarkan hati penontonnya.”
“Bisa saja kamu Her!” kata ibunya sambil tersenyum.
“Makanya besok kalau kau cari istri sepertimu pintar masak dan yang lebih penting sederhana,” kata ayahnya.
“Benar juga kata bapakmu Her!” sahut Ibunya. “Di agama kita mengajarkan untuk hidup sederhana dan selalu berbagi kepada orang yang kurang beruntung.”
“Benar kata mak,” kata Herman. “Tauladan yang baik dari orang tua agar membangun kepribadian baik bagi anaknya.”
“Sudah! Sudah! Sudah siang ini cepat makan nanti kalian berdua terlambat,” kata ibunya sambil mengambilkan nasi untuk ayahnya.
Mereka bertiga makan dengan lahapnya. Gudeg, ayam goreng serta sayur genjer disantap dengan nikmatnya. Makan pagi yang menggugah selara membuat makanan desa menyenangkan.
“Her cepat habiskan nanti terlambat,” kata ibunya.
“Oke mak!” kata Herman.
“Matur nuwun makanannya!” kata Herman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar